Anda di halaman 1dari 5

QAIDAH TA’AMUL (Kaidah Saling Berinteraksi)

Dengan atau tanpa da’wah, interaksi dengan masyarakat adalah suatu kepastian. Bagi seorang muslim,
untuk menyebarkan rahmat Islam bagi semesta alam tentu dilakukan dengan berinteraksi dengan
masyarakat lebih-lebih dalam kaitannya dengan da’wah, karena da’wah sendiri harus dengan
mukholathah (berbaur) dengan masyarakat secara ijabi (positif).
Dengan demikian, thobi’at da’wah itu adalah ‘aammah (diperuntukkan bagi kalangan umum/masyarakat
luas). Da’wah khoshshoh (da’wah untuk kalangan khusus) bukan merupakan suatu badil (pengganti) bagi
da’wah ‘aammah, tetapi lebih merupakan penunjang bagi da’wah ‘aammah, karena da’wah ‘aammah
belum dapat dimunculkan sebagaimana mestinya.
Berinteraksi dengan masyarakat ini dimulai dari yang terdekat dengan kita. Kita melihatnya dengan
mizanud-da’wah (neraca tolok ukur da’wah) Sikap atau asas berinteraksi dengan masyarakat adalah al
mu’amalah bilmitsli (interaksi dengan sesama), baik sesama manusia dan sesama muslim. Sedangkan
َ ‫اس ِب َما ُتحِبُّ أَنْ ي َُعامِلُ ْو‬
sikap atau asas ta’amul da’wah (kreativitas dalam da’wah) adalah ‫ك ِب ِه‬ َ ‫( َعامِلُ ْوا ال َّن‬cara
berinteraksi dengan manusia adalah dengan memberikan kepada mereka kebaikan apapun yang kalian
juga harapkan muncul dari mereka kepada kalian)

A. Berinteraksi Dengan Tetangga


1. Menjaga hak-hak tetangga.
2. Tidak mengganggu mereka.
3. Berbuat baik dan menghormatinya serta berbuat ihsan kepada mereka, minimal berwajah ceria di
hadapan mereka dan bertegur sapa dengan ramah.
4. Memperhatikan mereka dan memeriksa keadaan mereka. Pesan Rasulullah saw : “Jika membuat
sayur, perbanyaklan airnya, dan perhatikan tetangga”.
5. Mendengarkan mereka.
6. Shabar. Ingat peristiwa Rasulullah saw dengan nenek tua tetangganya yang Yah udi!
7. Menda’wahi mereka dan mendo’akan mereka.

B. Berinteraksi Dengan Masyarakat Non-muslim


1. Mu’amalah dengan yang setimpal.
2. Tidak mengakui kekufuran mereka.
3. Berbuat yang adil terhadap mereka dan menahan diri dari mengganggu mereka.
4. Mengasihani mereka dengan rahmah basyariyyah.
5. Menunjukkan kemuliaan akhlaq muslim dan izzah Islam.

C. Berinteraksi Dengan Para Da’i Yang Lain


Yang dimaksud dengan da’i di sini adalah para da’i yang belum indhimam satu shaffi dengan kita.
1. Kita memiliki tujuan umum yang sama, yaitu : membela Islam dan memajukan ummat.

2. Namun demikian, kita tetap menyadari adanya perbedaan dalam khiththah dan uslub (cara kerja).

3. ‫اخ َتلَ ْف َنا فِ ْي ِه‬


ْ ‫ض َنا َبعْ ضًا فِ ْي َما‬
ُ ْ‫ َويُعْ ِذ ُر َبع‬،ِ‫( َن َت َع َاونُ فِ ْي َما ا َّت َف ْق َنا فِ ْيه‬Menjalin kerja sama dalam hal-hal yang disepakati dan
bersikap toleran dalam hal-hal yang ikhtilaf).

4. Menyenangi ijma’ untuk mencapai al wihdah al fikriyyah dan tidak senang nyeleneh (syadz). Syadz
berbeda dengan ghoriib (aneh, asing, tidak dikenal atau lupa dikenal). Syadz artinya bertolak belakang
dengan yang shahih. Sedangkan ghariib adalah berkonotasi baik, yang tidak atau belum dikenal oleh
masyarakat banyak. Karena inilah Rasulullah saw bersabda:
)‫ اَلَّ ِذي َْن يُصْ لِح ُْو َن َما أَ ْف َس َد ال َّناسُ (الحديث‬،‫ط ْو َبى ل ِْل ُغ َر َبا ِء‬
ُ ‫َبدَأَ ْاإلسْ الَ ُم غَر ْيبًا َو َس َيع ُْو ُد غَر ْيبًا َك َما َبدَ أَ َف‬
ِ ِ ِ
Islam datang sebagai sesuatu yang ghariib (asing dan tidak dikenal) dan ia akan kembali asing
sebagaimana saat datang pertama kalinya, maka beruntung sekali orang-orang yang ghariib itu, yaitu
orang-orang yang meng-ishlah (memperbaiki) apa yang dirusak oleh orang lain. (Hadits).

5. Beroleransi dalam masalah khilafiyah dan furu’ dan membenci ta’ashub (fanatisme).

6. ‫ الَ ُت ْفسِ ُد ل ِْلوُ ِّد َقضِ ي ٌَّة‬Persoalan apapun tidak boleh merusak mawaddah (rasa saling mencintai) antar sesama
kaum muslimin. Pernah Hasan Al Banna difitnah bahwa janah ‘askari (sayap militer) akan menyerang
jama’ah jihad. Tentu saja pimpinan jama’ah jihad marah dan meminta dialog dengan Hasan Al Banna
untuk mengeluarkan segala unek-uneknya. Hasan Al Banna hanya menjawab: saamihuuni (ma’afkan
saya).

7. Khilafiyah silahkan dikaji secara ilmiyyah dalam suasana jernih dan ukhuwwah dan jangan hanya
berhenti sebatas apologetik (pembelaan diri) saja.

D. Berinteraksi Dengan Tokoh Masyarakat


1. Tempatkanlah mereka sesuai dengan kedudukannya.
)‫ازلَ ُه ْم (الحديث‬ َ ‫ِا ْن ِزلُ ْوا ال َّن‬
ِ ‫اس َم َن‬
Tempatkanlah manusia itu sesuai dengan kedudukannya (Al Hadits)‫ز‬
Lihatlah bagaimana sikap Rasulullah saw terhadap Abu Sufyan ra waktu fathu Makkah, beliau saw
bersabda: “Siapa yang memasuki rumah Abu Sufyan, maka dia aman …”. Dalam kejadian ini Rasulullah
saw menjadikan rumah Abu Sufyan sebagai baitul qashiidi (rumah yang dituju), dan kedudukan Abu
Sufyan tidak direbut, justru di-ta’ziz.

2. Hormatilah mereka di tengah-tengah para pengikutnya.


Sa’ad bin Mu’adz ketika diberikan kehormatan untuk mengambil keputusan hukum atas Bani Quraizhah,
Rasulullah saw bersabda: Quumu ila sayyidikum.

3. Sebutkan juga jasa-jasa mereka kepada Islam.


a. Ketika pemilihan khalifah di Tsaqifah Bani Sa’idah, pidato Abu Bakar sangat bijak. Ia menyebut-nyebut
nikmat Islam, jasa-jasa Anshar dan kebaikan-kebaikan Muhajirin. Dengan begitu, kaum Anshar ikut
mendukung.

b. Dalam sebuah munasabah (kesempatan) Hasan Al Banna juga pernah diminta untuk mengisi acara
semacam tabligh. Namun sayangnya panitia kurang memiliki fiqhul mujtama’ (fiqh sosial masyarakat),
sehingga terjadi konflik dengan ulama’ disekitar tempat acara. Setelah diceritakan oleh panitia mengenai
konflik tersebut kepada Hasan Al Banna sehari sebelum acara dimulai, maka Hasan Al Banna meminta
ijin untuk mendatangi para ulama’ itu satu persatu untuk memohon ma’af kepada mereka. Setelah itu
barulah beliau memulai ceramahnya. Dalam ceramahnya beliau menyebut-nyebut kebaikan dan jasa-
jasa mereka terhadap Islam. Akhirnya para ulama’ itu mendatangi tempat di mana Hasan Al Banna
berceramah.

4. Menjalin hubungan dengan mereka dan mendo’akan mereka.


a. Rasulullah saw menghubungi tokoh Thaif serta mendo’akan mereka.
b. Umar At-Tilmitsani ketika Anwar Sadat meninggal dunia, ia mengucapkan: “Inna Lillahi wa inna ilaihi
Raji’un”. Ucapan ini membuat tercengang semua ikhwah yang mendengar, sebab Anwar Sadatlah yang
menghukum dan menyiksa ikhwah termasuk Syaikh Umar At-Tilmitsani!

5. Memperhatikan kepentingan bersama


a. Mulailah pembicaraan dari titik-titik persamaan, jangan dari titik yang perbedaan.
b. Hasan Al Banna dalam berda’wah memulai dari titik-titik yang sama, kemudian mendudukkan poin-
poin yang berbeda.

QAIDAH TA’AWUN (Kaidah Saling Tolong-menolong)


Manusia adalah makhluq sosial, dia tidak bisa hidup seorang diri, atau mengasingkan diri dari kehidupan
bermasyarakat. Dengan dasar penciptaan manusia yang memikul amanah berat menjadi khalifah di
bumi, maka Islam memerintahkan ummat manusia untuk saling ta’awun (saling tolong menolong) bagi
tersebarnya nilai rahmatan lil ‘alamin Islam. Maka dalam hal ini, Islam hanya menganjurkan ummatnya
untuk ta’awun dalam kebaikan saja, dan tidak membenarkan ummatnya untuk ta’awun dalam kejahatan
(QS Al Maidah: 2).
Oleh sebab itu manusia selalu memerlukan kepada orang lain untuk terus mengingatkannya, supaya
kembali memakai kompas yang ada, supaya tidak tersesat jalan. Dan Allah swt telah mengajarkan
kepada ummat-Nya bahwa peringatan sangat bermanfaat bagi kaum mukminin (QS Adz Dzaariyaat : 55).
Bahkan Allah swt menjadikan orang-orang yang selalu ta’awun dalam kebenaran dan kesabaran sebagai
kaum yang tidak merugi dalam hidupnya. (QS Al Ashr).

Ummat Islam perlu mempraktekkan kembali prinsip ta’awun ini dalam kehidupannya, misalnya dengan
melakukan hal-hal berikut:
1. Dengan saling mengingatkan akan pentingnya mengisi waktu secara maksimal untuk beribadah di
bulan ini, atau saling membangunkan untuk menyantap hidangan sahur dengan mengetuk pintu
tetangga atau via telepon, pager dan lain-lain.

2. Mempergunakan sarana-sarana yang disyari’atkan Allah swt untuk membina ta’awun, dengan
membuka lebar-lebar pintu yang dapat mengundang kepada hal-hal yang menggembirakan hati orang
lain dan dengan menutup segala pintu yang dapat mengundang perselisihan, apalagi perpecahan.
Karena itu, Islam mengharamkan tindak penyebaran isu yang tidak ditopang dengan bukti-bukti nyata,
demikian juga ghibah, namimah, berprasangka buruk dengan sesama, saling menghina dan
merendahkan, memanggil orang dengan sebutan yang tidak pantas, memata-matai setiap gerak
temannya ataupun merasa tinggi hati (lihat QS Al Hujurat : 11 – 12). Dalam kaitan ini ta’awun tidak akan
mungkin terwujud dari hati yang tidak padu.

3. Dan diantara perbuatan-perbuatan yang dianjurkan Islam untuk memperkuat ‘alaqah ijtima’iyyah
(interaksi sosial) adalah:

a. Silatur-rahim
Islam sangat menganjurkan silatur-rahim antar keluarga, baik dekat maupun jauh, baik mereka mahram
ataupun bukan. Apalagi terhadap kedua orang tua. Islam bahkan mengkategorikan tindak “pemutusan
hubungan silatur-rahim” sebagai dosa besar. Rasulullah saw bersabda: “Tidak masuk surga orang yang
memutuskan hubungan silatur-rahim”. (HR Bukhari dan Muslim).

b. Memuliakan tamu
Tamu dalam Islam mempunyai kedudukan yang sangat terhormat. Dan menghormati tamu merupakan
salah satu indikasi iman seseorang. Rasulullah saw bersabda: “…barang siapa beriman kepada Allah dan
hari akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya”. (HR Bukhari dan Muslim).

c. Menghormati tetangga
Demikian juga menghormati tetangga, ia merupakan salah satu indikator apakah seseorang beriman
dengan benar atau belum. Rasulullah saw bersabda: “… barang siapa beriman kepada Allah dan hari
akhir hendaklah ia memuliakan tetanggana”. (HR Bukhari dan Muslim).

d. Saling Menziarahi
Rasulullah saw sering menziarahi para sahabatnya. Beliau pernah menziarahi Qais bin Sa’ad bin Ubadah
di rumahnya dan mendo’akannya: “Ya Allah, limpahkanlah shalawat-Mu serta rahmat-Mu buat keluarga
Sa’ad bin Ubadah”. Beliau juga menziarahi Abdullah bin Zaid bin ‘Ashim, Jabir bin Abdillah dan sahabat-
sahabat lainnya. Ini menunjukkan bahwa ziarah memiliki nilai positif dalam mengharmoniskan hidup
bermasyarakat.

e. Memberi ucapan selamat


Islam sangat menganjurkan perbuatan ini. Dan ucapan itu bisa dilakukan ketika acara pernikahan,
kelahiran anak baru, menyambut bulan puasa, menyambut lebaran dan lain-lain. Sedangkan sarana yang
dipakai bisa disesuaikan dengan zamannya. Untuk sekarang bisa dilakukan dengan mengirim kartu
ucapan selamat, atau mengirim telegram indah, atau pesan lewat pager, atau saling kontak via telepon
atau sarana-sarana lain yang bisa dimanfaatkan.

f. Saling memberi hadiah


Hadiah meski sekecil apapun, sangat bernilai bagi si penerima. Ia dapat menumbuhkan rasa saling
mencintai antara yang memberi dan yang menerima. Inilah yang diisyaratkan oleh sabda nabi
Muhammad saw: “Hendaklah kalian saling memberi hadiah, niscaya kalian akan saling mencintai”.
g. Peduli dengan aktifitas sosial di sekitarnya
Orang yang peduli dengan aktifitas orang disekitarnya, serta sabar menghadapi resiko yang mungkin
akan dihadapinya, seperti cemoohan, cercaan serta sikap apatis masyarakat, adalah lebih baik daripada
orang yang pada asalnya sudah enggan untuk berhadapan dengan resiko yang mungkin menghadang,
sehingga ia lebih memilih untuk mengisolir diri dan tidak menampakkan wajahnya di muka khalayak.

h. Memberi bantuan sosial


Islam sangat memperhatikan orang-orang lemah. Maka orang yang tidak terbetik hatinya untuk
menolong kalangan ini, atau mendorong orang lain untuk melakukan amal mulia ini, dikatakan sebagai
orang yang mendustakan agama (lihat QS Al Ma-‘un: 1 - 3). Sedang memberi buka kepada orang yang
berpuasa, Allah akan menyediakan ganjaran seperti yang didapat oleh orang yang berpuasa itu (HR At-
Tirmidzi dan An-Nasa-i).

Dengan merealisasikan beberapa hal di atas, ta’awun akan dapat terbina, karena ta’awun baru akan
dapat terealisasi apabila ada kesatuan jiwa. Dengan jiwa yang satu, akan tercapailah satu tujuan yang
dicita-citakan. Insya-Allah.

Anda mungkin juga menyukai