Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
TESIS
ARIZAH KUSUMAWATI
1006787092
FAKULTAS FARMASI
PROGRAM S2 ILMU KEFARMASIAN
DEPOK
JANUARI 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Farmasi
ARIZAH KUSUMAWATI
1006787092
FAKULTAS FARMASI
PROGRAM STUDI S2 ILMU KEFARMASIAN
DEPOK
JANUARI 2013
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat dan
rahmatNya, saya dapat menyelesaikan tesis ini. Penulisan tesis ini dilakukan
dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Magister Farmasi
pada Fakultas Farmasi Universitas Indonesia. Saya menyadari banyaknya bantuan
dan bimbingan dari berbagai pihak dari masa perkuliahan sampai pada
penyusunan tesis ini, sehingga tesis ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu,
perkenankanlah saya dengan setulus hati mengucapkan rasa terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada:
(1)
Prof. Dr. Maksum Radji, M.Biomed., Apt. dan Dr. Adi Santoso, M.Sc.,
selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan
pikiran untuk mengarahkan saya dalam penelitian dan penyusunan tesis ini;
(2)
Prof. Dr. Yahdiana Harahap, MS., Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi
Universitas Indonesia;
(3)
Prof. Dr. Effionora Anwar, MS., Apt., selaku Ketua Program Studi S2 Ilmu
Kefarmasian
Fakultas
Farmasi
Universitas
Indonesia
yang
telah
Dr. Amarila Malik, M.Si., Apt., Dr. Herman Suryadi, MS., Apt., dan Dr.
Mahdi Jufri, M.Si., Apt. selaku Dewan penguji yang telah banyak
memberikan
penilaian
maupun
saran-saran
untuk
perbaikan
dan
(6)
(7)
Ayah, Ibu, Kakak, Mertua dan Suami yang senantiasa memberikan doa,
semangat dan kasih sayang kepada saya;
(8)
(9)
Semua pihak yang telah memberikan bantuan hingga tesis ini dapat
diselesaikan.
Akhir kata, saya berharap Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan
semua pihak yang telah membantu. Semoga tesis ini membawa manfaat bagi
pengembangan ilmu.
Depok, 2 Januari 2013
Penulis
ABSTRAK
Nama
Program Studi
Judul
: Arizah Kusumawati
: S2 Ilmu Kefarmasian
: Kloning Gen Human Interferon Alpha 2a pada Vektor
pET-32b(+) dan Ekspresi pada Escherichia coli
Interferon (IFN) merupakan sitokin yang diproduksi oleh berbagai tipe sel sebagai
respon rangsangan terhadap stimulasi virus, bakteri, parasit, sel tumor, atau
antigen lain. Interferon termasuk kelompok IFN tipe I yang mempunyai
berbagai efek biologis yang meliputi antiviral, antitumor dan juga sebagai
immunoterapetik. Penelitian ini bertujuan untuk mensintesis protein rekombinan
human IFN 2a melalui sistem ekspresi pada bakteria E. coli BL21(DE3). Pada
gen human ifn 2a dilakukan penambahan situs pemotongan enzim restriksi Nco I
dan Xho I menggunakan metode PCR, kemudian dilanjutkan dengan proses ligasi
ke vektor pET-32b(+) dan selanjutnya ditransformasikan pada E. coli DH5.
Hasil sekuensing menunjukkan bahwa vektor rekombinan (pET-32b(+)-IFN 2a)
memiliki urutan nukleotida yang benar. Vektor rekombinan ini selanjutnya
ditransformasikan ke dalam E.coli BL21(DE3). Klon transforman yang diperoleh
dikultur dan diinduksi dengan penambahan IPTG 1 mM sehingga
mengekspresikan protein rekombinan human IFN 2a. Dari hasil isolasi,
diperoleh protein rekombinan human IFN 2a dalam bentuk protein terfusi
sehingga mempermudah proses deteksi dan purifikasi. Protein dikarakterisasi
melalui metode SDS PAGE dilanjutkan dengan Western blot dan pewarnaan
CBB. Pita protein rekombinan human IFN2a yang diperoleh berukuran 36 kDa.
Hasil maksimal ditunjukkan ekspresi pada suhu 37C dengan waktu inkubasi 5
jam setelah induksi.
Kata Kunci
xiv+74 halaman
Daftar Pustaka
ABSTRACT
Name
: Arizah Kusumawati
Study Program : Magister of Pharmacy
Title
: Cloning Human Interferon Alpha 2a Gene at pET-32b(+)
Vector and Expression in Escherichia coli
Interferon (IFN) is a cytokine produced by various cell types as a response of
stimulation to viruses, bacteria, parasites, tumor cells, or other antigens. Interferon
type I IFN groups have various biological effects, including antiviral, antitumor
and immunotherapeutic. The aim of this research is to synthesize recombinant
human IFN 2a proteins through bacterial expression systems in E. coli BL21
(DE3). Addition genes of human IFN 2a, which are restriction enzyme cutting
sites for Nco I and Xho I, are added through PCR method. This step is followed by
ligation process to the pET-32b(+) vector and then transformed into E. coli DH5.
The recombinant vector (pET-32b(+)-IFN 2a) has a nucleotide right sequence
after it was being sequenced, after was transformed into E. coli BL21 (DE3).
Obtained transformant clones were cultured and induced by addition of IPTG 1
mM to produce the expression of recombinant human IFN 2a proteins. As result
of isolation process, recombinant protein of human IFN 2a are collected in fused
protein thus can simplify the detection and purification method. The proteins are
characterized by the SDS PAGE method followed by Western blot and CBB
staining. The results show that the recombinant human IFN 2a protein bands are
exactly 36 kDa. The maximum expression results were obtained at 37C with 5
hours incubation after induction process.
Key Words
xiv+74 pages
Bibliography
DAFTAR ISI
1
1
2
2
3
3
4
4
8
11
13
13
14
15
15
17
17
18
20
23
23
23
25
25
25
25
26
26
26
29
29
30
31
31
34
34
35
39
39
42
44
68
68
68
69
46
48
53
54
56
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1
Gambar 2.2
Gambar 2.3
Gambar 2.4
Gambar 4.1
Gambar 4.2
Gambar 4.3
Gambar 4.4
Gambar 4.5
Gambar 4.6
Gambar 4.7
Gambar 4.8
Gambar 4.9
Gambar 4.10
Gambar 4.11
Gambar 4.12
Gambar 4.13
Gambar 4.14
Gambar 4.15
Gambar 4.16
Gambar 4.17
Gambar 4.18
Gambar 4.19
Gambar 4.20
Gambar 4.21
Gambar 4.22
5
6
8
12
39
40
41
42
43
45
47
47
48
49
50
51
52
52
54
55
55
57
58
58
60
60
Gambar 4.23
Gambar 4.24
Gambar 4.25
Gambar 4.26
Gambar 4.27
Gambar 4.28
Gambar 4.29
Gambar 4.30
61
61
62
62
63
63
64
66
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1
65
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
Lampiran 2
Lampiran 3
Lampiran 4
Lampiran 5
73
74
75
77
79
BAB 1
PENDAHULUAN
vektor pET-32b(+) kedepannya akan digunakan untuk pemisahan antara fusi tag
dengan protein target setelah proses purifikasi.
Sebagian besar produk farmasi yang telah dipasarkan pada kelompok
rekombinan interferon diproduksi dan dipurifikasi dari E. coli (Rabhi-Essafi,
2007). Inang E. coli galur BL21(DE3) dipilih sebagai sistem ekspresi karena
mempunyai berbagai keuntungan. Escherichia coli BL21(DE3) merupakan
bakteri yang umum untuk ekspresi protein yang menggunakan promotor T7. DE3
menunjukkan bahwa inang merupakan lisogen dari prophage (DE3), oleh
karena itu membawa salinan kromosom gen T7 RNA polimerase di bawah kontrol
promotor lacUV5 yang diinduksi dengan penambahan isopropyl-1-thio--Dgalactopyranoside (IPTG). T7 RNA polimerase diekspresikan pada saat
penambahan IPTG yang mana akan menginduksi level ekspresi tinggi protein
pada vektor ekspresi dengan promotor T7 (Studier, 1991). Escherichia coli
BL21(DE3) merupakan inang umum yang digunakan untuk ekspresi protein
karena defisiensi protease Lon dan OmpT, yang mana kedua protease tersebut
dapat menginduksi proteolisis dari protein yang dioverekspresi (Srensen dan
Mortensen, 2005).
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Interferon
Interferon (IFN) termasuk kelompok glikoprotein yang diproduksi oleh
berbagai tipe sel sebagai respon terhadap rangsangan yang diterima oleh sel.
Rangsangan tersebut bisa disebabkan oleh virus, bakteri, parasit, sel tumor, atau
antigen lain. Interferon mempunyai berat molekul sekitar 20-30 kDa. Interferon
juga termasuk dalam golongan sitokin seperti interleukin (ILS), colonystimulating factors dan growth factors. Sitokin bekerja pada reseptor spesifik di
permukaan sel dan berfungsi sebagai pengatur kelangsungan hidup sel, proliferasi
sel, diferensiasi dan aktivasi fungsional sel (Obeid dan Bouvois, 2006).
Interferon berdasarkan tipe reseptornya dikelompokkan menjadi 2 tipe.
Interferon tipe I berikatan pada reseptor tipe 1, yaitu IFN alpha (), IFN beta (),
IFN omega (), dan IFN tao (). Interferon tipe 2 berikatan pada reseptor tipe 2,
yaitu IFN gamma (). Hampir semua tipe sel memproduksi IFN tipe I. Interferon
tipe II hanya diproduksi oleh sel limfosit T dan NK-cells (Natural Killer Cells)
(Jonasch dan Haluska, 2001).
Interferon memiliki aktivitas spektrum luas dan mekanisme kerjanya
melalui interaksi yang komplek. Interferon mempunyai aktivitas antivirus,
antitumor, berpengaruh pada metabolisme dan diferensiasi sel serta memodulasi
sistem imun (Jonasch dan Haluska, 2001). Interferon dapat mencegah replikasi
virus pada sel, serta dapat mengaktifkan fungsi khusus dari sel meliputi
deferensiasi,
pertumbuhan,
pengekspresian
antigen
permukaan
dan
Mekanisme aksi dari IFN dimulai dengan zat penginduksi IFN akan
memicu sel untuk mengaktifkan gen ifn sehingga dihasilkan mRNA yang
kemudian ditranslasikan menjadi protein IFN. Protein IFN selanjutnya
disekresikan keluar sel. Interferon ekstraseluler akan terikat ke reseptor pada
membran sel sekitarnya. Proses pengikatan IFN pada reseptor ini akan
menginisiasi sinyal kaskade JAK/STAT yang selanjutnya akan menstimulasi
ekspresi gen penghasil protein efektor. Protein efektor akan memediasi efek IFN
sebagai antivirus, anti tumor, dan imunomodulator (Pang et al., 2005). Sel yang
teraktivasi juga dapat menghasilkan protein aktivator bagi sel lain sehingga
menghasilkan protein efektor (Samuel, 2001).
IFN dan IFN akan menghasilkan fosforilasi dan dimerisasi protein Stat-1
(p91) dan Stat-2 (p113) yang selanjutnya ditranslokasi bersama IRF-9 (p48) ke
inti sel. Komplek ketiga protein ini disebut dengan IFN-Stimulated Gene Factor 3
(ISGF 3) yang dapat mengaktifkan gen-gen pengkode ifn dan melalui IFNStimulted Response Element (ISRE). Pada IFN kinase Jak-1 dan Jak-2 yang
teraktivasi akan memfosforilasi dan menyebabkan homodimerisasi protein Stat-1
yang kemudian ditranslokasi ke inti sel. Komplek dimer ini disebut dengan Jak-1
dan Gamma Activation Factor (GAF) yang mengaktifkan gen-gen pengkode ifn .
Komplek GAF akan mengaktivasi gen-gen IFN melalui elemen GammaActivated Sequence (GAS) (Samuel, 2001).
dipenetrasi oleh virus. Kedua IFN tersebut juga bersifat sitostatis yaitu
menghambat pertumbuhan sel-sel tumor dan menstimulasi makrofag serta NKcells (Natural Killer Cells) yang mana dapat mendeteksi sel-sel tumor dan sel-sel
yang diinvasi virus dan kemudian menghancurkannya. Interferon digunakan
untuk pengobatan pada hepatitis dan jenis leukimia tertentu. Interferon
digunakan pengobatan pada penyakit multiple sclerosis (Tan Hoan Tjay, 2007).
Interferon gamma (IFN ) diproduksi oleh limfosit T dan NK-cells dengan
gen pengkode ifn terletak pada kromosom 12 manusia. Gen ifn memiliki 3
intron dan terdiri dari 146 asam amino dengan kandungan karbohidrat 30%
(Arbabi, 2003). Interferon berfungsi sebagai immunostimulator (Tan Hoan Tjay,
2007). Interferon memiliki daya antiviral lebih lemah dibandingkan IFN dan
IFN . Aktivitas biologis dari IFN juga dapat mencegah pertumbuhan sel
neoplastik (Arbabi, 2003).
Interferon merupakan glikoprotein yang terdiri atas 165 asam amino
dalam bentuk 2a dan 2b dengan masing-masing asam amino lisin dan arginin pada
posisi 23. Interferon memiliki dua ikatan disulfida yaitu antara Cys1 ke Cys98
dan Cys29 ke Cys138 (Tae-ok Bae et al., 1995). Interferon adalah glikoprotein
yang terdiri atas 165 asam amino dalam bentuk 1a dan 1b dengan masing-masing
asam amino sistein dan serin pada posisi 17. Interferon adalah glikoprotein yang
terdiri atas 140 asam amino dengan bentuk 1a dan 1b yang memiliki masingmasing asam amino glutamin atau arginin diposisi 137 (Tan Hoan Tjay, 2007).
Interferon 2a merupakan subtipe dari IFN yang terdiri atas 165 asam
amino sistein dengan 4 sistein dan 2 ikatan disulfida. Interferon 2a adalah
glikoprotein dengan berat molekul sekitar 19.000 dalton (Tae-Ok Bae et al.,
1995). Struktur 3 dimensi protein IFN 2a yang ditentukan menggunakan
spektroskopi nuclear magnetic resonance (NMR) pada pH 3,5 menunjukkan
bahwa IFN 2a sebagian besar mengandung alpha heliks (6 alpha heliks, 65%
alpha heliks) dalam struktur sekunder dan sisanya adalah kumparan koil dan loop
(Klaus et al., 1997).
DNA rekombinan yang memungkinkan untuk dibuatnya satu DNA tertentu dalam
jumlah besar dan murni. Metode kloning DNA melibatkan ligasi sekuen tertentu
misalnya gen manusia ke dalam vektor. Vektor merupakan urutan DNA yang
terdapat di dalam satu sel, tetapi bukan merupakan bagian dari genom sel.
Pembawa kloning dengan DNA yang diklon di dalamnya akan diperbanyak dalam
sel inang untuk menghasilkan sejumlah besar DNA dengan urutan spesifik yang
kemudian dilakukan isolasi untuk studi selanjutnya (Grompe et al., 1998).
Vektor adalah DNA untai ganda sirkuler yang ukurannya kecil (2000-5000
pb) yang dapat bereplikasi di dalam sel inang. Vektor berdasarkan jumlah
salinannya dibedakan menjadi dua yaitu vektor dengan jumlah salinan tinggi dan
salinan rendah. DNA vektor murni dapat dipisahkan dari DNA genom sel inang,
karena DNA vektor memiliki ukuran jauh lebih kecil. Ukuran DNA genom sel
inang memiliki ukuran yang besar misalnya pada genom E. coli 1x106 pb. Vektor
memiliki origin of replication (ORI) sendiri sehingga mampu memperbanyak diri
dengan bantuan mesin-mesin seluler endogen. Vektor kloning juga memiliki
marka untuk seleksi yang umumnya berupa gen yang membawa resistensi
terhadap antibiotika tertentu. Hanya klon rekombinan yang mengandung vektor
maka yang akan mampu tumbuh dalam media yang mengandung antimikroba
tertentu (Grompe et al., 1998).
Vektor modern saat ini telah direkayasa sehingga memiliki beberapa situs
restriksi (polylinker sites). Vektor pada saat sekarang ini telah dibuat mempunyai
jumlah salinan tinggi dan memiliki ukuran 3 kb sehingga dapat menerima DNA
sisipan sampai 15 kb. Kebanyakan DNA yang diklon ke dalam vektor berukuran
relatif kecil kurang dari 10 kb, karena ukuran DNA yang jauh lebih besar biasanya
tidak stabil. Oleh karena itu, juga dikembangkan vektor kloning yang dapat
membawa DNA dengan ukuran besar diantaranya vektor kloning faga (phage),
kosmid, Bacterial Artificial Chromosomes (BAC) dan
Yeast Artificial
pET-32b(+)
(5899 pb)
dapat mengenal DNA untai ganda dengan urutan basa spesifik serta memotong
pada tempat yang tertentu. Enzim endonuklease restriksi berfungsi untuk
membatasi masuknya DNA asing dengan cara memotong DNA pada situs
restriksi yang tidak terdapat pada bakteri. Setiap enzim endonuklease restriksi
dapat mengenal, mengikat dan memotong urutan basa tertentu. Urutan basa yang
dipotong biasanya terdiri dari 4-8 pasang basa (pb), dan enzim endonuklease
restriksi hanya memotong DNA yang mempunyai urutan basa yang benar-benar
persis dengan kode tersebut. Sebagai contohnya yaitu urutan basa yang dikenal
oleh enzim EcoRI adalah GAATTC. Semua situs yang memiliki urutan basa
GAATTC akan dipotong oleh enzim EcoR1, namun jika ada satu basa yang
berbeda misalnya CAATTC maka mampu mencegah terjadinya pemotongan.
Proses
pemotongan
DNA
dengan
enzim
endonuklease
restriksi
dapat
menghasilkan potongan asimetris 5' atau 3' terbuka sehingga ujungnya kohesif
(sticky end), ataupun potongan simetris sehingga ujungnya tumpul (blunt end)
(Grompe et al., 1998).
Enzim endonuklease restriksi diberi nama sesuai dengan bakteri
penghasilnya, misalnya EcoRI berasal dari Escherichia coli. Penggunaan enzim
restriksi adalah dengan menginkubasi enzim bersama-sama dengan DNA dalam
larutan bufer yang sesuai, sehingga akan dihasilkan potongan-potongan DNA
dengan ukuran tertentu. Pemotongan enzim restriksi bersifat spesifik untuk urutan
basa tertentu, sehingga DNA yang berbeda akan menghasilkan pola pemotongan
yang khas. Pola yang khas ini dapat diketahui setelah dilakukan elektroforesis gel
dan pewarnaan sehingga fragmen DNA yang berbeda-beda ukurannya dapat
terlihat (Grompe et al., 1998). Enzim endonuklease restriksi sangat bermanfaat
diaplikasian pada teknologi DNA rekombinan karena sangat selektif dalam
memotong untai DNA (Radji, 2011).
2.4.2
DNA secara kovalen (Grompe et al., 1998). Enzim DNA ligase merupakan enzim
yang terdapat pada sistem biologis yang dapat mengkatalis pembentukan ikatan
kovalen yang merekatkan kembali potongan fragmen-fragmen DNA. Enzim DNA
ligase adalah salah satu enzim yang sangat penting dalam perkembangan
teknologi DNA rekombinan (Radji, 2011). Enzim DNA ligase ini terutama
digunakan untuk menyisipkan sepotong DNA ke dalam vektor kloning. Enzim
DNA ligase yang paling banyak digunakan adalah T4 DNA ligase. Reaksi ligasi
terjadi antara gugus 3'OH dari salah satu untai DNA dengan gugus fosfat dari
untai DNA pasangannya. Reaksi ligasi menggunakan ATP sebagai sumber energi
(Grompe et al., 1998).
Proses ligasi menggunakan T4 DNA ligase memerlukan kofaktor ATP
yang kemudian membentuk kompleks enzim-AMP. Kompleks ini menempel dan
menyambung gugus 5'-fosfat dan 3'-hidroksi dengan ikatan kovalen sehingga
terbentuk rantai fosfodiester (Sudjadi, 2008). Ligasi DNA hanya dapat terjadi
antara dua ujung fragmen DNA yang kompatibel. Kompatibilitas inilah yang
digunakan untuk mengatur ligasi beberapa fragmen DNA yang berbeda secara
sekaligus dalam satu campuran reaksi (Grompe et al., 1998). Proses
penyambungan fragmen DNA dengan ujung kohesif dengan enzim DNA ligase
cukup efisien dan telah banyak digunakan dalam pembuatan vektor rekombinan.
Pada fragmen DNA dengan ujung tumpul memerlukan kondisi ligasi yang spesial,
yaitu kadar fragmen DNA harus tinggi dan larutan reaksi agak kental sehingga
gerakan molekul lebih lambat (Sudjadi, 2008).
2.4.3
mampu diperoleh DNA dalam jumlah besar dan murni secara kimia. Metode PCR
memungkinkan untuk dibuat sejumlah besar DNA dengan urutan basa tertentu
dalam waktu yang singkat dan tanpa kloning. Sejumlah kecil DNA untai tunggal
dapat disintesis dari nukleotida tunggal dengan bantuan oligonukleotida (Grompe
et al., 1998). Metode PCR merupakan suatu proses sintesis enzimatik untuk
mengamplifikasi fragmen DNA secara in vitro. Teknik PCR dapat meningkatkan
jumlah fragmen DNA hingga mencapai 106-107 kali dalam waktu singkat (Radji,
2011).
Prosedur PCR menggunakan DNA polimerase yang tahan terhadap panas
(thermostable) dan dua primer oligonukleotida sintetik. Urutan DNA gen yang
akan diamplifikasi harus diketahui sebagian sehingga dapat dibuat primer yang
membatasi ujung DNA target. Prosedur PCR terdiri dari 3 tahap yaitu: (1)
denaturasi DNA untai ganda, (2) penempelan primer ke DNA (annealing), dan (3)
memperpanjang primer (extension) (Grompe et al., 1998). Ketiga tahapan siklus
tersebut diatas diulang sesuai dengan jumlah siklus amplifikasi yang akan
dilakukan (Radji, 2011).
Pada tahap denaturasi terjadi pemanasan pada suhu 94-98C, yang mana
bertujuan untuk memisahkan untai ganda DNA target menjadi untai tunggal.
Untai tunggal lalu siap dihibridisasikan dengan oligonukleotida yang sesuai pada
proses annealing. Pada proses annealing temperatur diturunkan sampai di bawah
titik leleh hibrid DNA-oligonukleotida yaitu pada suhu sekitar 50-68C. Tahapan
selanjutnya yaitu setelah primer menempel maka enzim DNA polimerase dapat
menyalin urutan DNA untai tunggal pada temperatur 72C (extension), dengan
deoksinukleotida trifosfat (dNTP) yang tersedia. Setiap untai DNA target yang
ada sejak awal akan disalin dan jumlah DNA akan menjadi dua kali lipat pada
akhir tiap siklus. Jadi, setelah 25-30 siklus maka urutan DNA yang diinginkan
diperbanyak sampai jutaan kali lipat. DNA hasil PCR dapat divisualisasikan
sebagai pita (band) pada gel agarosa dengan pengecatan menggunakan etidium
bromida (EtBr), dan selanjutnya dapat digunakan untuk kloning ataupun
sekuensing DNA. Perubahan temperatur berturut-turut pada PCR dilakukan pada
mesin thermocycler. Satu kali proses PCR biasanya selesai dalam jangka waktu 3
jam. Oleh karena itu, metode PCR merupakan metode tercepat untuk membuat
DNA tertentu untuk dilakukan studi lebih lanjut (Grompe et al., 1998).
Keterbatasan dari metode PCR diantaranya
yaitu adanya
salah
sistem gel berdasarkan prinsip perbedaaan ukuran. DNA dan RNA pada pH netral
bermuatan negatif dan akan bermigrasi ke arah anoda. Pada saat migrasi pada
matriks polimer gel, maka fragmen kecil akan bergerak lebih cepat daripada
fragmen yang besar. Migrasi elektroforetik melalui gel akan dapat memisahkan
campuran fragmen DNA sehingga tampak sebagai pita-pita yang berbeda
ukurannya. Matriks gel yang dapat dipakai untuk pemisahan asam nukleat
diantaranya yaitu gel agarosa dan gel poliakrilamid. Gel agarosa dapat digunakan
untuk pemisahan fragmen DNA berukuran 0.1-20 kb, sedangkan poliakrilamid
untuk fragmen DNA berukuran 0.025-2 kb (Grompe et al., 1998). Gel agarosa
mempunyai daya pemisahan lebih rendah dibandingkan dengan gel poliakrilamid,
tetapi mempunyai rentang pemisahan yang lebih besar. Gel agarosa biasanya
dilakukan dalam konfigurasi horisontal dalam kekuatan medan listrik dan arah
tetap (Sudjadi, 2008).
Sekuensing DNA
Sekuensing adalah analisis DNA yang paling detil karena menggunakan
DNA, maka akan dapat ditentukan urutan basa-basa DNAnya. Hasil sekuensing
DNA merupakan urutan basa yang komplementer terhadap urutan basa-basa yang
terbaca pada hasil elektroforesis (Radji, 2011).
Perkembangan teknologi modern dewasa ini telah memungkinkan
dilakukannya automatisasi sekuensing DNA. Perkembangan peralatan yang ada
pada saat ini telah memungkinkan dapat membaca hasil sekuensing secara
langsung dan sekaligus menyimpan data ke dalam database komputer. Adanya
automasisasi dapat mengurangi faktor kesalahan yang sering terjadi dalam
pembacaan dan pemulisan urutan DNA secara manual. Mesin sekuensing
sekarang telah menggunakan fluoresen sebagai pengganti radioaktif. Senyawa
fluoresen dapat diinkorporasikan ke dalam primer sekuensing atau ke dalam
nukleotida. Pada sekuensing manual menggunakan elektroforesis gel atau
elektroforesis kapiler untuk memisahkan fragmen DNA berdasarkan ukurannya.
Pada sekuensing otomatis deteksi fragmen DNA yang berfluoresensi dilakukan
dengan bantuan sinar laser dan sinyal diproses oleh komputer (Grompe et al.,
1998).
Western Blot
Protein spesifik dalam campuran protein dapat diidentifikasi dengan teknik
anionik
yang
berguna
untuk
menyelubungi
molekul
protein.
Analisis Densitometri
Densitas merupakan kemampuan sebuah material untuk menyerap atau
memantulkan sinar. Densitas dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu densitas
transmisi yaitu kemampuan lapisan material untuk menyerap sinar yang datang
dan densitas refleksi yaitu kemampuan lapisan material untuk memantulkan sinar
yang datang. Pengukuran densitas dapat menggunakan sebuat alat ukur yang
disebut densitometer. Densitometer merupakan alat yang berfungsi untuk
mengukur besarnya densitas atau dengan kata lain merupakan alat yang digunakan
untuk mengukur derajat kehitaman atau kepekatan (densitas optis) suatu model
atau bahan semi-transparan (Siregar, 2009).
Analisis densitometri merupakan salah satu cara untuk konfirmasi hasil
elektroforesis. Hasil analisis densitometri terhadap pita-pita pada gel hasil
elektroforesis dapat digunakan untuk konfirmasi keberadaan pita, dan untuk
kuantifikasi proporsi penyusun protein yang dielektroforesis (Aulanniam, 2004).
Suatu pita menandakan adanya akumulasi protein pada gel hasil elektroforesis
diidentifikasi sebagai oleh suatu puncak (peak). Masing-masing puncak memiliki
karakteristik ketinggian (height) sebagai intensitas densitograf dan luas daerah di
bawah kurva (area) sebagai gambaran kuantitas protein pada pita tersebut.
Ketebalan pita pada gel hasil SDS-PAGE dikuantifikasi dalam bentuk luas daerah
di bawah kurva pada kurva densitograf (Mustofa et al., 2006).
Kuantifikasi intensitas pita Western blot dapat dilakukan dengan sistem
digitalisasi automatik menggunakan UN-SCAN-IT. Program UN-SCAN-IT dapat
mengkuantifikasi data Western blot dengan menggunakan dua metode. Metode
analisis segmental memberikan informasi piksel total dan analisis pita pada setiap
segmen, sedangkan analisis lane yang memberikan informasi profil densitas
ekstraksi dan analisis pita untuk seluruh jalur (lane). Pada pengukuran pita
dilakukan pemindaian sebagai JPEG dalam format 8 bit grayscale pada 600 dpi
dan intensitas piksel. Pada pengukuran intensitas piksel dilakukan pengkoreksian
terhadap latar (background). Derajat kehitaman atau kepekatan digunakan
program UN-SCAN-IT untuk menganalisa pita dan diukur dalam bentuk piksel.
Piksel adalah unsur gambar atau representasi sebuah titik terkecil dalam sebuah
gambar grafis yang dihitung per inci. Data digital piksel total yang diperoleh dapat
digunakan untuk menghitung kepadatan optik relatif pada setiap pita untuk
analisis yang lebih lanjut (Rezvani et al., 2009).
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.2.2 Alat
Alat PCR (Biometra), alat elektroforeis DNA (Advance), alat elektroforeis
protein (Bio-rad), Ultraviolet (UV) Transiluminator, autoklaf, inkubator shaker,
penangas air, laminar, lemari pendingin -20C, lemari pendingin 4C, oven,
mikropipet, vortex, sentrifus, cawan petri, labu erlenmeyer, tabung reaksi, tip,
tabung PCR, tabung sentrifus.
3.3 Tahap Kerja
Metode yang digunakan dalam penelitian ini secara garis besar
berdasarkan metode pada buku panduan pET Sistem Manual (2006).
3.3.1
3.3.2
dengan enzim restriksi Nco I dan Xho I pada suhu 37C selama 1 jam. Proses
pemotongan vektor pET-32b(+) dimulai dengan dicampurkannya semua
komponen ke dalam tabung, yaitu ddH2O (16,5 l), bufer H (2,5 l), vektor pET32b(+) (4 l), enzim Nco I (1 l), enzim Xho I (1 l) dengan volume total 25 l
dan selanjutnya diinkubasi pada suhu 37C dalam penangas air selama 1 jam.
Hasil proses pemotongan kemudian dilakukan pengecekan dengan metode
elektroforesis pada medium agarosa 1% dengan sampel (3 l), ddH2O (7 l),
loading buffer (2 l) dan dilakukan pengamatan diatas sinar UV. Vektor pET32b(+) yang telah dipotong kemudian dipurifikasi menggunakan fenol kloroform
yang mana metodenya serupa dengan purifikasi fenol kloroform pada penyiapan
DNA insert.
Vektor pET-32b(+) yang telah linear selanjutnya dilakukan tahapan ligasi
dengan DNA insert (gen human ifn 2a) yang telah dipersiapkan. Reaksi ligasi
terdiri dari nuclease free water (12 l), bufer T4 DNA ligase (2 l), vektor pET32b(+) (2 l), DNA insert (3 l), enzim T4 DNA ligase (1 l) dengan volume
total 20 l dan diinkubasi pada suhu 4C semalam. Hasil dari proses ligasi
diharapakan dapat diperoleh vektor rekombinan pET-32b(+)-IFN 2a yang
sirkuler.
3.3.3
4. Kultur disentrifus 6000 rpm pada suhu 4C selama 5 menit dan supernatan
dibuang.
5. Pelet diresuspen dalam 4 ml CaCl2 60 mM dingin untuk masing-masing
tabung, dikocok-kocok supaya homogen.
6. Campuran didiamkan di es 30 menit lalu disentrifus 6000 rpm pada suhu 4C
selama 5 menit dan supernatannya dibuang.
7. Pelet diresuspen dalam 4 ml CaCl2 60 mM dingin untuk masing-masing
tabung, dikocok-kocok supaya homogenkan.
8. Campuran didiamkan di es selama 30 menit lalu disentrifus 6000 rpm pada
suhu 4C selama 5 menit dan supernatannya dibuang.
9. Pelet diresuspen dengan 1 ml CaCl2 60 mM dingin untuk masing-masing
tabung, kemudian digabung menjadi satu dan ditambah 1 ml CaCl2 60 mM
sehingga volume akhir 4 ml. Sel kompeten dapat langsung digunakan atau
disimpan semalam dalam lemari es 4C untuk meningkatkan kompetensi.
3.3.4
dengan beberapa metode yaitu PCR colony screening, isolasi vektor rekombinan
pET-32b(+)-IFN 2a, analisis restriksi dan juga sekuensing (pET Sistem Manual,
2006). Proses PCR colony screening dilakukan dengan menggunakan primer
pET_Screen_F 5' TAATACGACTCACTATAGGGGAAT 3' dan pET_Screen_R
5' TTATTGCTCAGCGGTGGCAGCAGC 3'. Metode PCR colony screening
dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:
1. Koloni yang tumbuh berdiameter lebih dari 1 mm diambil dengan pipet tip.
2. Pipet tip dicelupkan ke tabung 0,5 ml yang telah diisi 50 l aquades.
3. Tabung dipanaskan di heat block pada suhu 99C selama 5 menit untuk
melisiskan sel dan merusak DNAse.
4. Campuran disentrifus pada 12.000 rpm selama 1 menit untuk mengendapkan
debris sel.
5. Campuran diambil 10 l supernatan dan dilakukan prosesPCR.
6. Reaksi PCR terdiri atas supernatan (10l), primer pET_Screen_F (2 l),
primer pET_Screen_R (2 l), GoTag Green Master Mix (12,5 l) dengan
volume total 26,5 l.
7. Setelah proses PCR selesai dilakukan pengecekan dengan elektrofosesis gel
agarosa dan divisualisasikan menggunakan EtBr.
15. Pelet dikeringkan pada suhu kamar kurang lebih 30 menit dan dilarutkan
dengan 20 ml ddH2O yang ditambah 1 l RNAse 1:5.
16. Campuran diinkubasi selama 20-60 menit pada 37C, lalu disimpan di -20C.
Vektor rekombinan pET-32b(+)-IFN 2a yang telah diisolasi selanjutnya
dilakukan analisis restriksi dan disekuen untuk konfirmasi adanya DNA insert dan
peletakan kodon yang tepat. Vektor rekombinan pET-32b(+)-IFN 2a dilakukan
pemotongan kembali menggunakan enzim restriksi Nco I dan Xho I. Komponen
analisis restriksi terdiri dari ddH2O (12,5 l), bufer H (2,5 l), vektor rekombinan
(8 l), enzim Nco I (1 l), enzim Xho I (1 l) dengan total volume 25 l dan
diinkubasi 37C pada penangas air selama 1 jam. Hasil pemotongan kemudian
dielektroforesis pada gel agarosa 1%.
Vektor rekombinan pET-32b(+)-IFN2a yang telah benar selanjutnya
dilakukan perbanyakan dengan dikultivasi. Isolasi dan purifikasi purifikasi vektor
rekombinan dilakukan dengan Qiagen Plasmid Maxi Kit serta diukur
konsentrasinya menggunakan alat Nanophotometer. Prosedur Qiagen Plasmid
Maxi Kit adalah sebagai berikut:
1. Kultur stok gliserol 35 l ditumbuhkan ke dalam LB cair 5 ml yang telah
ditambah ampisilin dan diinkubasi pada 37C dikocok 200 rpm semalam.
2. Kultur diambil 4 ml dan diinokulasikan ke LB cair 200 ml yang telah
ditambah ampisilin.
3. Kultur diinkubasi pada 37C dikocok 200 rpm selama 6 jam.
4. Kloramfenikol 30 mg ditambahkan dan diinkubasi pada 37C dikocok 200
rpm semalam.
5. Pemanenan sel dilakukan dengan disentrifus pada 4000 rpm 4C selama 15
menit dan supernatannya dibuang.
6. Pelet diresuspensi dengan 10 ml bufer P1 yang mana sudah mengandung
RNase.
7. Bufer P2 10 ml ditambahkan dengan dibolak-balik 5 kali dan campuran
selanjutnya diinkubasi selama 5 menit pada suhu kamar.
8. Bufer P3 10 ml dingin ditambahkan dan dihomogenkan dengan dibolak-balik
5 kali dan campuran selanjutnya diinkubasi selama 20 menit pada suhu kamar.
3.3.7
rekombinan
pET-32b(+)-IFN2a
yang
benar
selanjutnya
3.3.8
3.3.9
uji ekspresi protein rekombinan pada skala kecil menggunakan medium produksi
yaitu media LB cair 10 ml yang ditambah 50 g/ml ampisilin. Inkubasi dilakukan
dengan variasi suhu pada 28C, 30C dan 37C. Kultur sel bakteri pada OD600
sekitar 0,5 diinduksi menggunakan IPTG konsentrasi akhir 1 mM. Adapun
protokol induksi yang digunakan adalah sebagai berikut:
1. Kultur stok gliserol 20 l ditumbuhkan pada media LB cair 3 ml yang telah
ditambah ampisilin dan diinkubasi pada 37C dikocok 200 rpm semalam.
2. Kultur semalam diambil 0,5 ml dan dimasukkan ke LB cair 10 ml yang telah
ditambah ampisilin.
3. Kultur ditumbuhkan dengan dikocok 250 rpm pada suhu 37C mencapai
OD600: 0,5 sekitar 2 jam.
4. Kultur diambil 0,5 ml dimasukkan ke tabung 1,5 ml dan disentrifus pada 8000
rpm 4C selama 10 menit, selanjutnya dipisahkan antara supernatan dan pelet
sebagai sampel 0 jam sebelum induksi lalu disimpan pada -20C.
5. Kultur diinduksi dengan penambahan IPTG konsentrasi akhir 1 mM dan
dilanjutkan inkubasi pada variasi suhu 28C, 30C, dan 37C dengan dikocok
250 rpm.
6. Pengambilan sampel 0,5 ml dilakukan pada waktu 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7 jam dan
semalam, selanjutnya disentrifus dan dipisahkan antara supernatan dan pelet
lalu
disimpan
pada
-20C.
Pelet
selanjutnya
diresuspensi
dengan
suhu -20C. Supernatan merupakan protein yang tidak terlarut yaitu sebagai
badan inklusi di dalam sitoplasma.
Karakterisasi protein rekombinan human IFN 2a yang diperoleh
dilakukan dengan metode elektroforesis SDS-PAGE yang dilanjutkan dengan
pewarnaan CBB atau Western blot. Tahapan metode elektroforesis SDS-PAGE
adalah sebagai berikut:
1. Pembuatan gel poliakrilamid yang terdiri atas separating gel dan stacking gel.
Larutan separating gel 12%: 1,5 M tris HCl pH 8,8 (2,5 ml); 10% SDS (100
l); 40% akrilamid (3 ml); aquades (4,4 ml); APS 10% (100 l); TEMED (6
l). Larutan separating gel dimasukkan dalam cetakan dan dibiarkan selama
30 menit supaya berpolimerisasi sehingga terbentuk gel.
Larutan stacking gel: 0,5 M tris HCl pH 6,8 (1,25 ml); 10% SDS (100 l);
40% akrilamid (900 l); aquades (7 ml); APS 10% (100 l); TEMED (15 l).
Larutan stacking gel dimasukkan ke dalam cetakan pada posisi diatas
separating gel kemudian sisir dimasukkan pada cetakan dan gel akan
terbentuk setelah 30 menit.
2. Penyiapan sampel untuk dielektroforesis.
Pada supernatan dan pelet masing-masing diambil 10 l dimasukkan ke dalam
tabung dan ditambahkan 10 l loading buffer RSB 2x (1:1) lalu dipanaskan
pada 95C selama 4 menit. Marker 5 l ditambah 5 l loading bufer RSB 2x.
3. Sampel dimasukkan kedalam sumuran dan dielektroforesis dalam bufer
elektroforesis pada tegangan 90 volt selama 90 menit.
Bufer elektroforesis untuk 1 liter pH 8,3: tris 15,5 g, glisin 72 g, SDS 5 g, lalu
ditambah aquades sampai 1 liter.
Gel poliakrilamid yang telah selesai dielektroforesis SDS PAGE kemudian
dikarakterisasi dengan pewarnaan commasie brilliant blue (CBB) atau
menggunakan Western blot. Proses pewarnaan CBB adalah sebagai berikut:
1. Gel SDS-PAGE diinkubasi dengan stain (40% metanol: 20 ml; 7% asam
asetat glasial: 3,5 ml; ddH2O: 26,5 ml; CBB stain: 6 ml) dan dikocok 3 jam.
2. Gel dicuci dengan destain I (40% metanol: 20 ml; 7% asam asetat glasial: 3,5
ml; ddH2O: 26,5 ml) dan dikocok semalam.
3. Gel dicuci dengan destain II (5% methanol: 2,5 ml; 7% asam asetat glasial:
3,5 ml; ddH2O 44 ml) dikocok 1 jam.
Tahapan metode Western blot adalah sebagai berikut:
1. Protein sebelumnya telah dipisahkan dengan metode SDS PAGE.
2. Protein selanjutnya ditransfer ke membran nitriselulosa dengan cara
dielektroforesis dalam bufer transfer pada tegangan 90 volt selama 90 menit.
Bufer transfer untuk 1 liter: tris 25 mM 3,03 g, glisin 192 mM 14,4 g, 20%
metanol 200 ml, ditambah aquades sampai 1 liter.
3. Membran diambil kemudian diinkubasi dengan 10% susu bebas lemak dalam
bufer TBS 1x dengan dikocok selama 1 jam.
Bufer TBS (Tris Buffer Saline) untuk 1 liter dengan pH 7,6: tris 2,42 g, NaCl
8g, HCl 1N 3,8 g, ditambah aquades sampai 1 liter.
4. Pencucian dilakukan 3 kali menggunakan 0,1% Tween 20 dalam TBS 1x
selama 15 menit, 5 menit dan 5 menit dengan dikocok.
5. Larutan antibodi primer ditambahkan dan diinkubasi 1 jam dengan dikocok.
Larutan antibodi primer: 10 l anti--Interferon Mouse mAb dilarutkan pada
10 ml 10% susu bebas lemak dalam bufer TBS 1x.
6. Pencucian dilakukan 3 kali menggunakan 0,1% Tween 20 dalam TBS 1x
selama 15 menit, 5 menit dan 5 menit dengan dikocok.
7. Larutan antibodi sekunder ditambahkan dan diinkubasi 1 jam dengan dikocok.
Larutan antibodi sekunder: 3 l anti-mouse IgG (H+L) AP conjugate
dilarutkan pada 10 ml 10% susu bebas lemak dalam bufer TBS 1x.
8. Pencucian dilakukan 3 kali menggunakan 0,1% Tween 20 dalam TBS 1x
selama 15 menit, 5 menit dan 5 menit dengan dikocok.
9. Hasil analisis diketahui dengan munculnya pita pada membran nitriselulosa
setelah pemberian substrat NBT-BCIP (bufer alkaline phosphatase 5 ml; NBT
33 l; dan BCIP 16,5 l).
Hasil SDS PAGE yang dilanjutkan Western blot difoto yang selanjutnya
dilakukan
analisis
densitometri
dengan
sistem
digitalisasi
automatik
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
750 pb
500 pb
510 pb
510 pb
750 pb
500 pb
510 pb
Gambar 4.2 Elektroforesis Hasil Purifikasi Produk PCR dan Hasil Pemotongan
Ganda dengan Enzim Nco I dan Xho I.
Keterangan: (1) Produk PCR; (2) Produk PCR dipurifikasi Agarose gel DNA
extraction kit; (3) Produk PCR dipurifikasi Fenol kloroform; (4 dan 6) Kosong;
(5) Marker (7) Hasil purifikasi Agarose gel DNA extraction kit dipotong enzim
Nco I dan Xho I.
Pita hasil purifikasi menggunakan metode Agarose Gel DNA Extraction
Kit dan metode fenol kloroform sama-sama mempunyai ukuran 510 pb (Gambar
4.2 nomor 2 dan 3). Akan tetapi hasil elektroforesis purifikasi dengan metode
Agarose Gel DNA Extraction Kit menunjukkan pita yang lebih bersih daripada
purifikasi dengan metode fenol kloroform. Pita hasil purifikasi dengan metode
fenol kloroform terlihat smear, hal ini menunjukkan masih terdapatnya pengotor
meskipun telah dilakukan proses purifikasi. Purifikasi metode Agarose gel DNA
extraction kit adalah dengan menggunakan silika. Silika digunakan karena dapat
mengabsorbsi DNA, tidak mengadsorbsi protein, RNA, dan oligonukleotida yang
panjangnya kurang dari 50 pb sehingga dapat diperoleh DNA yang cukup murni.
Purifikasi metode fenol kloroform merupakan campuran pelarut organik yang
dapat mendenaturasi protein dan melarutkan komponen lipid, sehingga antara
protein dan DNA dapat dipisahkan. Fenol dapat mengikat protein dan sebagian
kecil RNA, sedangkan kloroform dapat membersihkan protein dan polisakarida
dari larutan (Muladno, 2010). Purifikasi dengan metode Agarose Gel DNA
Extraction Kit menunjukkan hasil yang lebih baik sehingga hasilnya digunakan
untuk tahapan penelitian selanjutnya.
Proses pemotongan ganda dengan enzim restriksi Nco I dan Xho I
dilakukan produk PCR yang telah dipurifikasi. Hasil elektroforesis yang diperoleh
menunjukkan pita yang berukuran 510 pb (Gambar 4.2 nomor 7), hal ini
menunjukkan proses pemotongan ganda telah berhasil dilakukan. Beberapa faktor
yang perlu diperhatikan dalam pemotongan menggunakan enzim restriksi
diantaranya yaitu jumlah DNA, enzim, dan bufer dalam volume reaksi total yang
sesuai. Hasil dari proses pemotongan ganda selanjutnya dilakukan purifikasi
menggunakan metode fenol kloroform. Hasil purifikasi dengan metode fenol
kloroform dilakukan pengecekan dengan dielektroforesis pada gel agarosa 1%.
750 pb
500 pb
510 pb
5845 pb
5899 pb
4590 pb
1309 pb
1500 pb
1000 pb
(Gambar 4.4). Hal ini terbukti dari hasil pemotongan ganda menggunakan enzim
Mlu I menghasilkan dua pita yang ukurannya benar. Vektor pET-32b(+) yang
dipotong dengan enzim Nco I dan enzim Mlu I diperoleh dua pita yang berukuran
4590 pb dan 1309 pb. Hasil pemotongan ganda vektor pET-32b(+) dengan enzim
Xho I dan Nco I terlihat pita yang mempunyai ukuran 5845 pb. Pita kecil yang
berukuran 54 pb tidak dapat terlihat dikarenakan konsentrasinya yang kecil dan
sewaktu proses elektroforesis pita tersebut bermigrasi dengan cepat pada gel
agarosa 1% sehingga keluar dari gel. Terdapatnya pita yang berukuran 5845 pb
menunjukkan bahwa pemotongan ganda pada vektor pET-32b(+) dengan enzim
Xho I dan Nco I telah berhasil dilakukan.
Vektor pET-32b(+) yang telah dipotong ganda menggunakan enzim Xho I
dan Nco I selanjutnya dilakukan purifikasi menggunakan metode fenol kloroform.
Purifikasi dilakukan pada vektor pET-32b(+) yang telah terpotong bertujuan
untuk menghilangkan sisa-sisa enzim, dan pengotor-pengotor lainnya. Pemurnian
DNA yang umum dilakukan yaitu melalui penambahan larutan fenol dan
kloroform dengan perbandingan 1:1. Pengendapan DNA dilakukan menggunakan
cara presipitasi etanol absolut dan dipisahkan dengan cara disentrifus (Radji,
2011). Hasil purifikasi vektor pET-32b(+) dengan metode fenol kloroform
dilakukan pengecekan dengan dielektroforesis pada gel agarosa 1%.
5899 pb
5845 pb
Elektroforesis hasil purifikasi metode fenol kloroform pada vektor pET32b(+) yang telah dilakukan pemotongan ganda dengan enzim Xho I dan Nco I
menunjukkan hanya satu pita dan tidak ada smear (Gambar 4.5). Hal ini
menunjukkan bahwa proses purifikasi vektor pET-32b(+) telah berhasil
dilakukan. Vektor pET-32b(+) telah bersih dan siap digunakan untuk diligasikan
ke DNA insert (gen human ifn 2a) yang telah dipersiapkan. Tahapan ligasi harus
menggunakan DNA insert dan vektor yang bersih supaya proses ligasinya benar
dan tidak mengalami gangguan.
4.3 Kloning Gen human ifn 2a
Kloning diawali dengan memasukkan DNA insert ke dalam vektor. Ligasi
dilakukan antara vektor pET-32b(+) yang dilinearkan dengan gen human ifn 2a
(insert) yang telah dipersiapkan sebelumnya. Proses ligasi menggunakan enzim
ligase yang berfungsi untuk mengkatalis pembentukan ikatan kovalen DNA untuk
menyisipkan sepotong DNA ke dalam vektor (Radji, 2011). Pada penelitian ini
reaksi ligasi dilakukan dengan menggunakan enzim T4 DNA ligase yang
diinkubasi pada suhu 4C semalam. Komposisi vektor dan insert yang digunakan
untuk proses ligasi adalah sekitar 1:3. Hasil dari proses ligasi diharapakan
diperolehnya vektor rekombinan pET-32b(+)-IFN 2a yang sirkuler. Reaksi ligasi
dikerjakan sedemikian rupa sehingga akan meghasilkan rekombinan yang banyak
(Sudjadi, 2008)
Hasil ligasi kemudian ditransformasikan pada sel kompeten E. coli DH5
sebagai inang kloning. Sel E. coli DH5 mempunyai laju rekombinasi yang
rendah sehingga memungkinkan digunakan untuk pemeliharaan yang stabil
plasmid DNA (Tolia dan Joshua-Tor, 2006). Faktor penting yang mempengaruhi
efisiensi transformasi adalah kualitas dari sel kompeten (Xiaowei Li et al., 2010).
Sel E. coli dibuat kompeten supaya permeabilitas dinding sel meningkat sehingga
vektor rekombinan lebih mudah masuk ke dalam sel. Sel E. coli dibuat kompeten
dengan penambahan larutan CaCl2 dingin. Laruan CaCl2 dalam keadaan dingin
efektif menyebabkan perubahan permeabilitas dinding sel bakteri menjadi lebih
permiabel (Radji, 2011). Perlakuan heat shock yang diikuti dengan pendinginan
akan menjadikan dinding sel kembali seperti semula.
Proses transformasi dilakukan dengan metode heat shock pada suhu 42C
selama 90 detik (Radji, 2011). Metode heatshock dipilih karena metodenya
sederhana, pori-pori membran sel E. coli dapat terbuka dalam waktu yang singkat
dan siap untuk menerima vektor rekombinan yang akan masuk. Hasil dari
transformasi dicek keberhasilannya dengan cara ditumbuhkan pada media LB
padat yang ditambahkan ampisilin. Sebagai kontrol negatif digunakan suspensi sel
kompeten yang ditumbuhkan pada media LB padat yang ditambahkan ampisilin.
Klon transforman E. coli diseleksi dengan menggunakan marker antibiotik
ampisilin. Hanya klon E. coli yang mengandung vektor rekombinan pET-32b(+)IFN 2a yang dapat tumbuh pada media padat LB yang ditambah dengan
ampisilin.
dan sepuluh klon transforman tumbuh pada inokulasi 350 l. Proses transformasi
ke sel kompeten E. coli DH5 telah berhasil dilakukan yang mana ditunjukkan
dengan terdapatnya klon transforman yang tumbuh pada media LB padat yang
ditambah ampisilin meskipun efisiensinya rendah. Efisiensi transformasi yang
rendah kemungkinan disebabkan oleh kurang optimalnya proses ligasi yang
dilakukan. Suhu optimum untuk ligasi merupakan kompromi antara kecepatan
aksi enzim dan penyambungan kedua ujung yang berdasarkan percobaan sekitar
4-15C (Sudjadi, 2008). Tingkat efisiensi transformasi juga dipengaruhi oleh
konsentrasi DNA dan kondisi sel inang. Klon transforman yang diperoleh masih
perlu dilakukan skrining dan verifikasi untuk mengetahui masuknya vektor
rekombinan ke dalam sel E. coli DH5. Pada kontrol negatif terlihat tidak ada
yang tumbuh pada media LB padat yang telah ditambah ampisilin, hal ini
menunjukkan sel kompeten E. coli DH5 yang digunakan untuk transformasi
kondisinya baik.
4.4 Skrining dan Verifikasi Klon Transforman di E. coli DH5
Skrining dan verifikasi klon transforman pada penelitian ini dilakukan
dengan beberapa metode yaitu PCR colony screening, isolasi vektor rekombinan
pET-32b(+)-IFN 2a, analisis restriksi dan juga dilakukan sekuensing (pET
Sistem Manual, 2006). Beberapa metode skrining dan verifikasi dilakukan
bertujuan untuk memastikan keberhasilan ligasi gen human ifn 2a pada vektor
pET-32b(+) membentuk vektor rekombinan (pET-32b(+)-IFN 2a) dan juga
keberhasilan proses transformasi ke inang kloning E. coli DH5. Proses seleksi
klon bakteri ini tergolong sulit karena dari ribuan sel bakteri, hanya beberapa sel
bakteri saja yang kemunginan menerima plasmid DNA rekombinan yang masuk
ke dalam sel bakteri (Radji, 2011).
Skrining koloni rekombinan E. coli untuk mengetahui terdapatnya gen
target dapat dilakukan dengan metode PCR koloni. Metode PCR koloni
merupakan metode yang mudah dan sederhana untuk skrining klon bakteri
(Azhahianambi et al., 2008). Metode PCR colony screening dilakukan dengan
menggunakan sepasang primer upstream dan downstream dari DNA insert.
Sepasang primer dibuat yaitu primer pET_Screen_F dan pET_Screen_R yang
9 10 11 12
1500 pb
1000 pb
1100 pb
9 10 11 12
750 pb
500 pb
510 pb
10
11
12
6355 pb
sampai 12 (Gambar 4.9). Hal ini menunjukkan bahwa proses miniprep pada klon
transforman 1-11 telah berhasil dilakukan dengan baik. Dalam melakukan isolasi
DNA plasmid harus memperhatikan keberadaan DNA genom yang berasal dari
sel bakteri. Adanya kontaminasi dari DNA genom bakteri dapat mempengaruhi
keberhasilan kloning DNA (Radji, 2011). Hasil isolasi vektor rekombinan (pET32b(+)-IFN 2a) pada klon transforman 1, 2, 3, 4, 11 dipilih untuk dilakukan
pengecekan lebih lanjut menggunakan metode PCR. Proses PCR menggunakan
primer gabungan antara primer IFN_NcoI_F dengan pET_Screen_R dan
pET_Screen_F dengan IFN_XhoI_R. Hasil PCR yang diperoleh selanjutnya
dilakukan cek dengan dielektroforesis pada gel agarosa 1,5%.
10
11
1000 pb
1000 pb
600 pb
500 pb
benar disekitar 1000 pb. Hal ini menunjukkan bahwa pada klon transforman 1, 2,
3, 4, dan klon 11 terdapat vektor rekombinan (pET-32b(+)-IFN 2a) yang telah
masuk ke dalam inang E. coli DH5.
Hasil minirep vektor rekombinan pada klon transforman 2 selanjutnya
dipilih dan dipurifikasi dengan menggunakan metode fenol kloroform. Proses
purifikasi bertujuan untuk menghilangkan RNAse pada proses isolasi DNA
rekombinan. RNAse digunakan pada proses miniprep berfungsi untuk
membersihkan DNA dari RNA (Radji, 2011). Metode analisis restriksi dilakukan
pada hasil miniprep klon transforman 2 yang sudah dilakukan purifikasi. Hasil
miniprep pada klon transforman 2 dilakukan pemotongan ganda dengan
menggunakan enzim restriksi Xho I dan Nco I. Vektor rekombinan (pET-32b(+)IFN 2a) yang telah dipotong selanjutnya dilakukan pengecekan dengan
dielektroforesis pada gel agarosa 1%.
5899 pb
5845 pb
750 pb
500 pb
510 pb
untuk dikultivasi pada media LB cair 200 mL yang telah ditambah ampisilin
untuk perbanyakan vektor rekombinan (pET-32b(+)-IFN 2a). Isolasi dan
purifikasi vektor rekombinan dilakukan dengan menggunakan Qiagen Plasmid
Maxi Kit.
Hasil Qiagen Plasmid Maxi Kit selanjutnya diukur konsentrasinya dengan
menggunakan alat Nanophotometer. Hasil pengukuran menunjukkan A260/A280:
1,851 dan diperoleh konsentrasi 405 ng/l. Kemurnian larutan DNA dihitung
dengan membandingkan absorbansi pada panjang gelombang 260 nm dan
absorbansi pada panjang gelombang 280 nm. Nilai kemurnian DNA hasil isolasi
dan purifikasi menggunakan Qiagen Plasmid Maxi Kit adalah 1,851 sehingga
telah murni dan dapat digunakan untuk tahapan selanjutnya. Rasio A 260/A280
antara 1,8-2,0 mencerminkan DNA yang relatif murni dan terbebas dari
kontaminan protein (Muladno, 2010).
6355 pb
dan nicked open circular. Vektor rekombinan (pET-32b(+)-IFN 2a) dari klon 2
hasil Qiagen Plasmid Maxi Kit selanjutnya dilakukan analisis sekuensing untuk
mengetahui urutan nukleotidanya. Sekuensing DNA merupakan teknik yang dapat
dimanfaatkan untuk menentukan urutan basa nukleotida suatu gen ataupun sekuen
genom total suatu sel atau organisme (Radji, 2011). Analisis urutan nukleotida
dengan metode sekuensing dilakukan di perusahaan Macrogen Korea dengan
menggunakan dua primer yaitu Stag-18mer-primer dan T7terminator-primer.
1500 pb
1000 pb
1100 pb
750 pb
500 pb
510 pb
Gambar 4.17 Elektroforesis Hasil PCR Skrining dengan Primer IFN_NcoI_F dan
IFN_XhoI_R pada Klon Transforman E. coli BL21(DE3).
Keterangan: (1) Marker; (2) Klon 1; (3) Klon 2; (4) Klon 3; (5) Klon 4;
(6) Klon 5; (7) Klon 6; (8) Klon 7.
120 kDa
80 kDa
60 kDa
36 kDa
35 kDa
30 kDa
20 kDa
10
36 kDa
Gambar 4.19 Pewarnaan CBB Klon 2, 3, 6, dan 7 Inkubasi 37C IPTG 1 mM.
Keterangan: (1) Pelet 3 jam klon 7; (2) Supernatan 3 jam klon7; (3) Supernatan 3
jam klon 6; (4) Pelet 3 jam klon 6; (5) Supernatan 3 jam klon 2; (6) Pelet 3 jam
klon 2; (7) Supernatan 3 jam klon 3; (8) Pelet 3 jam klon 3; (9) Pelet 0 jam klon 3;
(10) Marker.
1
10
36 kDa
Gambar 4.20 Pewarnaan CBB Klon 4 dan Klon 5 Inkubasi 37C IPTG 1 mM.
Keterangan: (1) Supernatan 4 jam klon 5; (2) Supernatan 3 jam klon 5;
(3) Supernatan 4 jam klon 4; (4) Supernatan 3 jam klon 4; (5) Marker;
(6) Pelet 4 jam klon 5; (7) Pelet 3 jam klon 5; (8) Pelet 4 jam klon 4;
(9) Pelet 3 jam klon 4; (10) Pelet 0 jam klon 4.
Hasil elektroforesis SDS-PAGE dengan pewarnaan CBB pada klon 2, 3, 6,
dan klon 7 dengan membandingkan waktu inkubasi 3 jam setelah induksi IPTG
juga menunjukkan adanya pita tebal yang mempunyai berat molekul sekitar 36
kDa pada pelet (Gambar 4.19). Hasil elektroforesis SDS-PAGE dengan
pewarnaan CBB pada klon 4 dan klon 5 dengan membandingkan waktu inkubasi
3 jam dan 4 jam setelah induksi IPTG juga menunjukkan terdapatnya pita tebal
yang mempunyai berat molekul sekitar 36 kDa pada pelet (Gambar 4.20). Hasil
yang diperoleh menunjukkan bahwa inkubasi pada suhu 37C dengan induksi
36 kDa
Gambar 4.21 Pewarnaan CBB Pelet Klon 3 Inkubasi 37C IPTG 1 mM.
Keterangan: (1) Pelet 10 jam; (2) Pelet 9 jam; (3) Pelet 8 jam; (4) Pelet 7 jam;
(5) Pelet 6 jam; (6) Pelet 5 jam; (7) Pelet 4 jam; (8) Pelet 3 jam; (9) Marker.
1
10
36 kDa
Gambar 4.22 Pewarnaan CBB Supernatan Klon 3 Inkubasi 37C IPTG 1 mM.
Keterangan: (1) Marker; (2) Supernatan 0 jam; (3) Supernatan 3 jam;
(4) Supernatan 4 jam; (5) Supernatan 5 jam; (6) Supernatan 6 jam; (7) Supernatan
7 jam; (8) Supernatan 8 jam; (9) Supernatan 9 jam; (10) Supernatan 10 jam.
Hasil SDS PAGE dengan pewarnaan CBB pada klon 3 yang diinkubasi
pada suhu 37C dengan induksi IPTG 1 mM menunjukkan terdapatnya pita yang
mempunyai berat molekul sekitar 36 kDa (Gambar 4.21 dan Gambar 4.22).
Perbandingan hasil ekspresi protein pada supernatan dan pelet menunjukkan
bahwa ekspresi protein rekombinan human IFN 2a dengan waktu pemanenan 3,
4, 5, 6, 7, 8, 9, dan 10 jam setelah induksi lebih dominan diekspresikan dalam
bentuk tidak terlarut yaitu terdapat pada pelet sel.
10
36 kDa
10
36 kDa
10
36 kDa
Gambar 4.25 Pewarnaan CBB Pelet Klon 3 Inkubasi 28C IPTG 1 mM.
Keterangan: (1) Pelet semalam; (2) Pelet 8 jam; (3) Pelet 7 jam; (4) Pelet 6 jam;
(5) Pelet 5 jam; (6) Pelet 4 jam; (7) Pelet 3 jam; (8) Pelet 2 jam;
(9) Marker; (10) Pelet 0 jam.
1
10
36 kDa
Gambar 4.26 Pewarnaan CBB Supernatan Klon 3 Inkubasi 28C IPTG 1 mM.
Keterangan: (1) Pelet 1 jam; (2) Marker; (3) Supernatan 2 jam; (4) Supernatan 3
jam (5) Supernatan 4 jam; (6) Supernatan 5 jam; (7) Supernatan 6 jam
(8) Supernatan 7 jam; (9) Supernatan 8 jam; (10) Supernatan semalam.
Hasil SDS PAGE dengan pewarnaan CBB pada klon 3 yang diinkubasi
pada suhu 28C dengan induksi IPTG 1 mM menunjukkan terdapatnya pita yang
mempunyai berat molekul sekitar 36 kDa (Gambar 4.25 dan Gambar 4.26).
Perbandingan hasil ekspresi protein pada supernatan dan pelet menunjukkan
bahwa ekspresi protein rekombinan human IFN 2a dengan waktu pemanenan 1,
2, 3, 4, 5, 6, 7, 8 jam dan semalam setelah induksi lebih dominan diekspresikan
dalam bentuk tidak terlarut yaitu terdapat pada pelet sel.
10
36 kDa
Gambar 4.27 Pewarnaan CBB Pelet Klon 3 Suhu 28C, 30C, 37C IPTG 1 mM.
Keterangan: (1) Marker; (2) Pelet 3 jam (28C); (3) Pelet 4 jam (28C); (4) Pelet
5 jam (28C); (5) Pelet 3 jam (30C); (6) Pelet 4 jam (30C); (7) Pelet 5 jam
(30C); (8) Pelet 3 jam (37C); (9) Pelet 4 jam (37C); (10) Pelet 5 jam (37C).
1
10
36 kDa
Gambar 4.28 Western Blot Pelet Klon 3 Suhu 28C, 30C, 37C IPTG 1 mM.
Keterangan: (1) Marker; (2) Pelet 3 jam (28C); (3) Pelet 4 jam (28C); (4) Pelet
5 jam (28C); (5) Pelet 3 jam (30C); (6) Pelet 4 jam (30C); (7) Pelet 5 jam
(30C); (8) Pelet 3 jam (37C); (9) Pelet 4 jam (37C); (10) Pelet 5 jam (37C).
10
36 kDa
Gambar 4.29 Western Blot Supernatan Klon 3 Suhu 28C, 30C, 37C
IPTG 1 mM.
Keterangan: (1) Marker; (2) Supernatan 3 jam (28C); (3) Supernatan 4 jam
(28C); (4) Supernatan 5 jam (28C); (5) Supernatan 3 jam (30C);
(6) Supernatan 4 jam (30C); (7) Supernatan 5 jam (30C); (8) Supernatan 3 jam
(37C); (9) Supernatan 4 jam (37C); (10) Supernatan 5 jam (37C).
Hasil SDS PAGE klon 3 dengan pewarnaan CBB (Gambar 4.27) dan
Western blot (Gambar 4.28) yang membandingkan hasil ekspresi protein
rekombinan human IFN 2a pada pelet sel yang diinduksi IPTG 1 mM dengan
variasi suhu 28C, 30C, dan 37C menunjukkan bahwa ekspresi optimal
diperoleh pada suhu inkubasi 37C dengan rentang waktu pemanenan antara 3
sampai 5 jam setelah induksi. Hasil SDS PAGE klon 3 dengan Western blot
(Gambar 4.29) yang membandingkan hasil ekspresi protein rekombinan human
IFN 2a pada supernatan yang diinduksi IPTG 1 mM dengan variasi suhu 28C,
30C, dan 37C menunjukkan bahwa ekspresi maksimal diperoleh pada suhu
inkubasi 30C dengan waktu pemanenan 3 jam setelah induksi.
Kuantifikasi data tingkat ekspresi pada penelitian ini dilakukan dengan
cara analisis densitometri pita hasil Western blot pada pelet (Gambar 4.28) dan
supernatan (Gambar 4.29) menggunakan sistem digitalisasi automatik program
UN-SCAN-IT Gel versi 6.1. Kuantifikasi yang dilakukan yaitu dengan
membandingkan hasil piksel total pada masing-masing sampel yang terdeteksi
sehingga dapat dibandingkan tingkat ekspresi pada masing-masing perlakuan dan
diketahui hasil yang maksimal. Piksel total merupakan jumlah total keseluruhan
piksel dalam area pita.
Tabel 4.1
Hasil Kuantifikasi Tingkat Ekspresi pada Pelet dan Supernatan.
Perlakuan
3 jam (28C)
4 jam (28C)
5 jam (28C)
3 jam (30C)
4 jam (30C)
5 jam (30C)
3 jam (37C)
4 jam (37C)
5 jam (37C)
Piksel Total
Pelet Supernatan
143960
71505
154760
77770
149549
82115
142012
129810
135055
87573
150057
65391
148327
39584
173122
24274
181773
18872
36 kDa
seringnya
dalam
bentuk
sitoplasma
(Swaminathan dan Khanna, 1999; Bedarrain et al., 2001; Srivasta et al., 2005).
Berbagai strategi untuk meningkatkan kelarutan protein rekombinan yang
diproduksi pada E. coli dapat dilakukan dengan cara pembatasan agregrasi invivo
protein yang diantaranya melaui kultivasi pada temperatur yang lebih rendah,
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian secara keseluruhan menunjukkan bahwa gen
human ifn 2a telah berhasil dimasukkan ke dalam vektor pET-32b(+)
membentuk vektor rekombinan pET-32b(+)-IFN 2a. Vektor rekombinan juga
telah berhasil ditransformasikan pada inang kloning E. coli DH5 dan selanjutnya
ditansformasikan pada inang ekspresi E. coli BL21(DE3). Ekspresi protein
rekombinan human IFN 2a dengan induksi IPTG 1 mM pada variasi suhu 28C,
30C, dan 37C menunjukkan bahwa hasil optimal diperoleh pada suhu inkubasi
37C dengan waktu pemanenan 5 jam setelah induksi. Protein rekombinan human
IFN 2a yang diperoleh lebih dominan diekspresikan dalam bentuk terlarut di
sitoplasma sebagai protein terfusi dengan berat molekul sekitar 36 kd.
5.2 Saran
Protein rekombinan human IFN 2a pada penelitian masih perlu dilakukan
pemisahan fusi tag dan purifikasi sehingga didapatkan protein rekombinan yang
murni. Protein rekombinan human IFN 2a yang telah murni perlu diuji
aktivitasnya secara in vitro mengunakan sel mamalia dan uji in vivo menggunakan
hewan uji dengan dibandingkan IFN 2a komersial. Hasil penelitian ini juga perlu
dilakukan scale up untuk mendapatkan protein rekombinan human IFN 2a dalam
jumlah yang lebih banyak.
68
DAFTAR PUSTAKA
Arbabi M., Alasti F., Sanati M.H., Hosseini S., Deldar A., and Maghsoudi N.
(2003). Kloning and expression of human gamma-interferon cDNA in E.
Coli. Iraian Journal of Biotechnology, 1 (2), 87-94.
Aulanniam. (2004). Prinsip dan Teknik Analisis Biomolekul. Fakultas Pertanian
Universitas Brawijaya Press.
Azhahianambi P., Ghosh S., Kumar A., and Suryanaraya V.V.S. (2008). Cost
effectiveness of colony lysis and colony PCR methods for screening of
recombinant Escherichia coli colonies--a comparative study. Indian J Exp
Biol. 46 (10), 731-735.
Baneyx F., and Mujacic M. (2004). Recombinant protein folding and misfolding
in Escherichia coli. Nat. Biotechnol., 22, 1399-1408.
Bedarrain A., Cruz Y., Cruz O., Navarro M., and Gil M. (2001). Purification and
conformational properties of a human interferon alpha2b produced in
Escherichia coli. Biotechnol. Appl. Biochem., 33, 173-182.
Brassard D.L., Grace M.J., and Bordens R.W. (2002). Interferon- as an
immunotherapeutic protein. Journal of Leukocyte Biology, 71, 565-581.
Chiti F., Stefani M., Taddei N., Ramponi G., and Dobson C.M. (2003).
Rationalization of the effects of mutations on peptide and protein
aggregation rates. Nature, 424, 805-808.
Fathallah M.D., Carthage T., Rabhi-Essafi I., and Coteaux M. (2009). Method for
the production of high-level soluble human recombinant interferon alpha in
E. coli and vectors useful for such a production. US Patent Application
Publication. US 2009/0258394 A1.
Fuh G., Mulkerrin M. G., Bass S., McFarland N., Brochier M., Bourell J. H.,
Light D. R., and Wells J. A. (1990). The human growth hormone receptor.
Secretion from Escherichia coli and disulfide bonding pattern of the
extracellular binding domain. J. Biol. Chem., 265, 3111-31153.
Grompe M., Johnson W., and Jameson L. (1998). Recombinant DNA and genetic
techniques. In Principles of molecular medicine. Edited by J. Larry
Jameson. Humana Press Inc. Totowa, New Jersey.
Hodgson J. (1993). Expression sistems: a users guide. Bio/Technology, 11, 887893.
Jeong W., and Shin H.C. (1998). Supply of the argU gene product allows highlevel expression of recombinant human interferon-2a in Escherichia coli.
Biotechnology Letters, 20 (1), 19-22.
Jonasch E., and Haluska F.G. (2001). Interferon in oncological practice : review
of interferon biology, clinical application, and toxicities. The Oncologist, 6,
34-55.
Kapust R.B., and Waugh D.S. (1999). Escherichia coli maltose-binding protein is
uncommonly effective at promoting the solubility of polypeptides to which
it is fused. Protein Sci., 8, 1668-1674.
Klaus W., Gsella B., Labhardta A.M., Wipfa B., Senn H. (1997). The threedimensional high relarutan structure of human interferon -2a determined by
heteronuclear NMR spectroscopy in larutan. Journal of Molecular Biology,
274 (4), 661-675.
Kiefhaber T., Rudolph R., Kohler H.H., and Buchner J. (1991). Protein
aggregation in vitro and in vivo: a quantitative model of the kinetic
competition between folding and aggregation. Biotechnology (NY), 9, 825829.
LaVallie E.R., DiBlasio E.A., Kovacic S., Grant K.L., Schendel P.F., and McCoy
J.M. (1993). A thioredoxin gene fusion expression system that circumvents
inclusion body formation in the E. coli cytoplasm. Bio/Technology, 11, 18793.
Lilie H., Schwarz E., and Rudolph,R. (1998). Advances in refolding of proteins
produced in E. coli. Curr. Opin. Biotechnol., 9, 497-501.
Makrides S.C. (1996). Strategies for achieving high-level expression of genes in
Escherichia coli. Microbiol Rev., 60 (3), 512-538.
Meager A. (2006). The Interferons: characterization and application. WILEYVCH Verlag GmbH & Co. KGaA, Weinheim.
Middelberg A. (2002). Preparative protein refolding. Trend Biotechnol., 20, 437.
Muladno. (2010). Teknologi rekayasa genetika, Edisi Kedua. Penerbit IPB Press.
Bogor.
Mustofa I., Mahaputra L., Dachlan Y.P., Rantam F.A., dan Hinting A. (2006).
Analisis densitometrik protein reseptor fertilisasi (ZP3) pada zona pelusida
kambing sebagai kandidat bahan imunokontrasepsi. Media Kedokteran
Hewan., 22 (2).
Novagen. https://wasatch.biochem.utah.edu/chris/links/pET32.pdf.
Novy R., Berg J., Yaeger K., and Mierendorf,R. (1995). inNovations, 3, 7-9.
Obeid D., and Bauvois B. (2006). Interferons: mechanisms, biological activities
and survey of their use in human diseases. Current Bioactive Compounds, 2
(4), 431-444.
Pang K.R., Wu J.J., Huang D.B., Tyring S.K., and Baron S. (2005). Biological
and clinical basis for molecular studies of interferons. In Interferon methods
and protocols. Edited by Daniel J.J. Carr. Humana Press Inc., Totowa, New
Jersey.
pET Sistem Manual (11th ed). (2006). Novagen. EMD Biosciences Inc., an
affiliate of Merck KGaA, Darmstadt, Germany.
Rabhi-Essafi I., Sadok A., Khalaf S.A., and Fathallah D.M. (2007). A strategy for
high-level expression of soluble and functional interferon f as a GST fusion
protein in E. coli. Protein Engineering, Design & Selection, 20 (5), 201-209.
Radji M. (2011). Rekayasa genetika pengantar untuk profesi kesehatan. Penerbit
Sagung Seto. Jakarta.
Rezvani K., Teng Y., Pan Y., Dani J.A., Lindstrom J., Gras E.A.G., McIntosh
J.M., and Biasi M.D. (2009). UBXD4, a UBX-containing protein, regulates
the cell surface number and stability of 3-containing nicotinic acetylcholine
receptors. The Journal of Neuroscience, 29 (21), 6883-6896.
Roche. 2010. Roferon-A (Interferon alpha-2a). Australia. http://www.rocheaustralia.com/fmfiles/re7229005/downloads/anti-virals/roferon-pi.pdf.
Roy R.K., Sapatnekar S.M., and Deshmukh R.A. (2005). The Effect of heat shock
on production of recombinant human interferon alpha 2a by Escherichia
coli. Iranian Biomedical Journal, 9 (4), 155-162.
Samuel C.E. (2001). Antiviral actions of interferons. Clin Microbiol Rev., 14 (4),
778-809.
Siregar M.L. (2009). Peningkatan mutu standar kualitas hasil cetakan
mengunakan kombinasi pengaturan. Tesis. Fakultas Teknik Universitas
Indonesia Press-Jakarta.
Srensen H.P., and Mortensen K.K. (2005). Advanced genetic strategies for
recombinant expression in Escherichia coli. J Biotechnol, 115,113-128.
Srivasta P., Bhattacharaya P., Pandey G., and Mukherjee K.J. (2005).
Overexpression and purification of recombinant human interferon alpha2b in
Escherichia coli. Protein Expr. Purif., 41, 313-322.
Studier F.W., Rosenberg A.H., Dunn J.J., Dubendorff J.W. (1990). Use of T7
RNA polymerase to direct expression of cloned genes. Methods Enzymol.,
185, 60-89.
Sudjadi. (2008). Bioteknologi kesehatan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta,
Swaminathan,S. and Khanna,N. (1999). Affinity purification of recombinant
interferon-alpha on a mimetic ligand adsorbent. Protein Expr. Purif., 15,
236-242.
Tae-Ok Bae, Ho-Jin Chang, Jung Ho Kim, and Soon Jae Park. (1995).
Purification and Characteization of Recombinant Human Interferon Alpha
2a Produced from Saccharomyces cerevisiae. J. Biochem. Mol. Biol., 28 (6),
477-483.
Tan Hoan Tjay, dan Rahardja K. (2007). Obat-Obat Penting Khasiat,
Penggunaan, dan Efek-Efek Sampingya. Jakata: PT Elex Media
Komputindo.
Tolia N. H., and Joshua-Tor L. (2006). Strategies for protein coexpression in
Escherichia coli. Nature Methods, 3 (1), 55-64.
Villaverde A., and Carrio M.M. (2003). Protein aggregation in recombinant
bacteria: biological role of inclusion bodies. Biotechnol Lett., 25, 13851395.
Xiaowei Li, Xin sui, Yan Zhang, Yepen Sun, Yan Zhao, Ying Zhai and Qingyu
Wang. (2010). An improved calcium chloride method preparation and
transformation of competent cells. African Journal of Biotechnology, 9 (50),
8549-8554.
Yon J.M. (2002). Protein folding in the post-genomic era. J Cell Mol Med., 6,
307-327.
Yu-Ling Sun, Yi-Juain Lin, and Chih-Sheng Lin. (2011). Soluble expression and
production of rabbit neutrophil peptide-1 in Escherichia coli. Romanian
Biotechnological Letters, 16 (5), 6618-6629.
Zhang Y., Olsen D.R., Nguyen K.B., Olson P.S., Rhodes E.T. and Mascarenhas
D. (1998). Expression of eukaryotic proteins in soluble form in E. coli.
Protein Exp Purif., 12, 159-165.
Penyiapan
DNA insert
Penyiapan
vektor pET-32b(+)
Pemotongan
Purifikasi fenol kloroform
Lanjutan
Lanjutan