I. Pendahuluan
Tantangan dalam melakukan penataan ruang
sebuah Kota Pusaka saat ini adalah bagaimana
merumuskan langkah strategi penataan ruang
kota dalam sinergi kegiatan pelestarian yang
tepat.
Tidak
hanya
melibatkan
kebijakan/keputusan dan berbagai bentuk
advokasi maupun mitigasi terkini, namun
penting mempertimbangkan kota dalam
peradabannya di masa lampau.
Salah satunya adalah dengan mempelajari
tipologi perkembangan sebuah kota, yang tentunya akan memberikan gambaran tentang
pengaruh-pengaruh bentuk tata ruang kota, perbedaan-perbedaannya serta menemukenali
kearifan lokal yang bisa diterapkan di masa kini.
Kota Pusaka adalah kota yang memiliki kekentalan sejarah yang besar yang terwujud dan
berisikan keragaman pusaka alam, budaya baik ragawi dan tak ragawi, serta saujana (Adishakti,
2008). Walau kota-kota di Indonesia banyak yang memiliki kelimpahan keragaman pusaka,
tetapi klasifikasi sebagai kota pusaka (atau sebutan lain kota bersejarah, kota warisan, ataupun
kota cagar budaya) baru mulai dipakai setelah Konferensi Organisasi Kota-kota Pusaka Dunia
di Surakarta bulan Oktober 2008 yang berhasil membentuk Jaringan Kota Pusaka Indonesia
(JKPI/Indonesian Heritage Cities Network).
Terminologi Kota Pusaka dipakai untuk mendefinisikan sebuah bentuk kota yang
menempatkan penerapan kegiatan pelestarian pusaka (heritage) sebagai strategi utama
pengembangan kotanya. JKPI hingga kini telah beranggotakan 33 kota pusaka, termasuk DI
Yogyakarta. Inisiatif pembentukan jaringan ini merupakan sebuah upaya strategis untuk
membantu penataan ruang kota berbasis pelestarian dalam berbagai kota yang sarat dengan
kekentalan tradisi dan keragaman pusaka yang dimilikinya.
II. Pemahaman Sejarah Perkembangan Kota
Pemahaman sejarah memiliki kandungan akan sesuatu yang tetap yang perlu dipertahankan,
bukan berarti tidak bisa menerima perubahan, walau memang ada yang tidak boleh diubah
sama sekali. Pembangunan masa depan secara berkelanjutan hendaknya mampu
menyinambungkan berbagai peninggalan yang bernilai dengan dinamika zaman secara
terseleksi. Termasuk menjadi alat dan modal untuk pengembangan budaya dan ekonomi.
Apresiasi dan rasa yang dimiliki insan di bumi terhadap pusaka yang ada menjadi kekuatan
utama mencapai tujuan tersebut. Sehingga perkembangan kota merupakan manifestasi dari
upaya manusia mengembangkan peradaban yang dimilikinya di masa lalu.
Studi sejarah kota di Indonesia meliputi pengenalan konsepsi, struktur dan bentuk kota
sebelum zaman kolonial yang didominasi oleh sistem kerajaan. Kota Daerah Istimewa
Yogyakarta (DIY) merupakan kota yang berperan penting dalam menentukan perkembangan
sejarah Jawa. Pusat kerajaan di masa lampau merupakan tempat pemusatan hampir seluruh
aspek kehidupan kota baik tata ruang, arsitektur dan aktivitas masyarakatnya. Dalam hal ini
pusat kerajaan berarti sebuah wilayah kota yang melingkupi keraton serta kompleksnya yang
berada di dalam tembok benteng yang mengelilinginya (Santoso, 2008). Dimensi ruang kota
sudah terbentuk di masa tersebut dengan pola catur pathus yaitu pusat kota berupa alun-alun
dengan bagian sebelah utara adalah lapangan bubat, sebelah timur adalah tempat
persembahyangan, sebelah selatan adalah keraton, dan sebelah barat adalah kompleks
pemukiman. Salah satu instrumen yang kuat dalam sejarah perkotaaan adalah pengaturan
teritorial, ruang dan bangunan berdasarkan konsepsi kosmografis serta kaidah penataannya.
undang-undang yang lain yaitu UU no.28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung. Di dalamnya
berisikan pula peraturan untuk pelestarian bangunan gedung, namun pedoman teknis
pelaksanaan untuk pelestarian bangunan gedung itu sendiri hingga kini belum diterbitkan.
Undang Undang 26/2007 tentang Penataan Ruang telah menyertakan Perencanaan Persiapan
Resiko Bencana untuk Pusaka. DI Yogyakarta sangat rentan terhadap bencana alam. Sudah
saatnya perencanaan tata ruang dan bangunan kota pusaka mengantisipasi pula persoalan
resiko bencana untuk pusaka.
.
IV. Pengembangan Yogyakarta sebagai Kota Pusaka
Kenyataan di Indonesia menunjukkan bahwa persoalan lingkungan pusaka masih merupakan
hal yang relatif baru. Konsentrasi yang sudah dijalankan lebih pada persoalan pusaka tunggal
atau beberapa pusaka dengan perwujudan yang sama.
Di Indonesia, indikator kota pusaka apakah dikelola dengan benar, dapat dicermati dari sistem
pengelolaan dan aspek legal yang melindunginya. Sistem pengelolaan ini dapat ditunjukkan
dengan:
-
Apakah daftar pusaka kota yang telah ditetapkan oleh kota itu sendiri telah dimiliki?
Adakah dinas khusus pemerintah kota yang menangani pusaka kota baik fisik maupun non
fisik?
Adakah kebijakan untuk investasi pusaka, karena pada dasarnya banyak komponen kota
pusaka yang membutuhkan investasi bagi pengembangannya yang tepat?
Menurut Adishakti, ada beberapa indikator yang mendukung kesimpulan ini. Pertama, belum
ada aspek legal yang tepat untuk melindunginya. Revisi Undang-undang No. 5 tahun 1992
tentang Benda Cagar Budaya yaitu UU no. 12 tahun 2010 diharapkan mulai mengakomodasi
persoalan kawasan. Di sisi lain pengelolaan pelestarian kawasan pusaka bukanlah bertujuan
untuk mengawetkan/preservasi kawasan tersebut. Kawasan pusaka perlu dapat terus tumbuh
dan berkembang mengikuti zaman, namun tetap harus memperhatikan proteksi dan
kesinambungan pusaka-pusaka di dalam teritori kawasan. Perlu kita cermati. Perda Propinsi
DIY No. 11 tahun 2005 tentang Pengelolaan Kawasan Cagar Budaya. Tepatkah penggunaan
terminologi Kawasan Cagar Budaya?
Kedua, tentang aspek kelembagaan yang perlu mengakomodasi berbagai persoalan pelestarian
pusaka maupun umum secara komprehensif dan sistematik dalam mengelolanya. Suatu
kawasan perlu pengelolaan dari banyak sektor. Sementara pusaka di dalam kawasan yang
kemudian membentuk kawasan pusaka juga terdiri banyak aset mulai dari pusaka alam, pusaka
budaya tangible dan intangible, serta pusaka saujana. Sudahkah kelembagaan di DIY
mencerminkan hal tersebut?
Ketiga, pengelolaan pelestarian kawasan pusaka mensyaratkan adanya regristasi dan
dokumentasi semua pusaka yang dimilikinya baik alam, budaya maupun saujana, adi pusaka
maupun pusaka rakyat. Registrasi ini harus terus diperbaharui dan menjadi acuan dalam
perencanaan pembangunan daerah maupun informasi terbuka kepada publik luas dan
masyarakat. Sudahkah registriasi yang selalu diperbaharui dilakukan? Dimanakah di DIY
lembaga yang secara terpadu melakukan hal ini?
Keempat, sudahkah ruang lingkup perencanaan kawasan menyertakan keseluruhan pusaka
kawasan yang dimiliki sebagai bagian yang tidak terpisahkan baik dalam penataan ruang
maupun bangunan, termasuk Perencanaan Persiapan Resiko Bencana untuk Pusaka.?
Kenyataan menunjukkan pula bahwa pelestarian pusaka tidak terakomodasi dalam UU RI No.
24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Gempa Jogja tahun 2006 dan pemulihan
Kawasan Pusaka Kotagede justru telah membangunkan banyak pihak akan terpinggirkannya
persoalan pusaka dalam pembangunan daerah.
Kelima, arsitektur pusaka memang sangat dominan dalam menentukan eksistensi kawasan
pusaka. Kembali di sini aspek legal untuk mengakomodasi pemanfaatan kembali dan olah
disain arsitektur pusaka dipertanyakan. UU No. 12 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya sangat
diharapkan dapat digunakan untuk melingkupi bangunan pusaka yang dalam upaya
pelestariannya perlu seleksi mana yang harus diawetkan mana yang bisa dibongkar atau
ditambah baru. Demikian pula undang-undang yang lain yaitu UU no.28 tahun 2002 tentang
Bangunan Gedung. Di dalamnya berisikan pula peraturan untuk pelestarian bangunan gedung,
namun pedoman teknis pelaksanaan untuk pelestarian bangunan gedung itu sendiri hingga kini
belum diterbitkan.