Anda di halaman 1dari 7

Halo kawan baca!

Kali ini Admin ingin memberikan sebuah tip teknik menulis cerita
yang sering digunakan dalam acara reality show televisi. Teknik ini efektif untuk
membuat efek dramatis.

Ini cocok digunakan pada genre drama, horror, dan genre sejenis yang memiliki nafas
atau pace lambat. Sebab, memosisikan pembaca seolah berada di sekitar kejadiankejadian di dalam cerita seolah nyata!

Sayangnya, tak cocok untuk jenis action atau genre menegangkan lain yang bertempo
cepat.

Contoh naskah di bawah ini Admin tuliskan ulang sebagai materi kita kali ini, sama persis
sesuai narasi yang ada dalam sebuah tontonan reality show yang Admin sertakan di dalam
link berikut:

www.youtube.com/watch?v=XOojI6STSrE

Saran Admin, sebaiknya kawan-baca tamatbacakan dulu naskah di bawah ini sebelum
menonton, karena Admin sendiri hampir urung menulis setelah capek meneliti videonya.
Hehe.

Jika masih bingung atau ada yang ingin mendiskusikan hal ini, Admin akan layani
dengan senang hati :)

Selamat membaca dan pelajari tekniknya. Durasi baca kurang-lebih 15 menit.


___________________________________________

Untaian Doa Mak Darsih

*ilustrasi Darsih memasukkan sesuatu ke dalam karung*

Selagi masih diberi kesempatan untuk hidup, selama itu pula manusia mencari rejeki
untuk memenuhi kebutuhannya. Begitu pula yang dilakukan Darsih, demi menyambung
hidup, wanita kelahiran Purbalingga, 55 tahun yang lalu ini mengandalkan ganggang
sebagai sumber rejekinya.

*ilustrasi Darsih menggendong karungnya yang sudah terisi penuh*

Ganggang ini sudah tidak seberat sebelumnya. Kadar air yang terkandung dalam
ganggang ini sudah berkurang karena dijemur. Darsih senang, kesabaran atas
penantiannya selama berhari-hari akan terbayar hari ini.

Sudah dua hari ia menjemur ganggang. Semoga kali ini, ganggang yang didapatnya bisa
menggenapkan perolehannya selama sebulan.


*dialog Darsih dengan pengepul setelah memberikan karungnya tadi*

Harapan darsih hari ini pupus sudah. Kecewa sudah pasti, tapi apa mau dikata, mungkin
hari ini memang belum rejekinya. Hanya karena kemurahan hati sang pengepullah, uang
10 ribu ini bisa berada di genggamannya.

*monolog Darsih pendapatan yang diperolehnya dari memanen ganggang*

Darsih harus menjemur kembali ganggangnya. Musim penghujan seperti ini membuat
ganggang sulit kering.

*dialog Darsih dengan suami*

Segelas air ini semoga bisa melunturkan kekecewaan Darsih. Memberi kesabaran lebih
dan semangat baru untuk tetap berusaha. Beruntung, Darsih memiliki suami yang
pengertian. Wage, menghargai segala jerih payah dan usaha yang dilakukan sang istri.

Hidup tak hanya kemarin dan hari ini. Begitu juga dengan kesempatan. Darsih yakin
kesempatan esok akan lebih baik dari hari ini.

*ilustrasi pantai*

Pantai Karapyak ini merupakan salah satu objek wisata di Jawa Barat. Jaraknya sekitar 78
kilometer dari Ciamis. Hamparan laut yang luas menjadi berkah tersendiri bagi
masyarakat sekitar pantai.

Sebagian dari mereka bermatapencaharian sebagai nelayan. Mencari ikan atau menjaring
udang hingga ke tengah laut. Namun untuk orang seperti Darsih dan Wage, hidup serasa
tak memiliki banyak pilihan.

*monolog Darsih*

Fisik yang telah renta dimakan usia, membuat mereka harus berpandai-pandai mencari
peluang untuk sekadar bertahan hidup. Tak ada perahu atau jaring untuk menjala ikan.
Karenanya, mereka memanfaatkan hasil alam yang mudah terjangkau dan tak
membutuhkan peralatan yang beraneka ragam.

*ilustrasi Wage mengangkat ganggang*

Ganggeung atau yang disebut ganggang ini melekat pada bebatuan karang di pantai.
Karenanya, mereka harus menyisir pantai di mana terdapat batu karang. Ganggang coklat
atau payau vita memiliki nilai ekonomis dan banyak digunakan dalam industri makanan,
farmasi, dan kosmetik.

*ilustrasi Darsih dan Wage mengangkat ganggang*


Untuk mengambil ganggang ini, Darsih dan Wage tak perlu membutuhkan peralatan
khusus. Mereka hanya perlu memerhitungkan waktu yang tepat. Darsih dan Wage harus
menanti air laut surut. Saat itulah mereka baru bisa turun ke pantai. Pada pagi hari
biasanya air akan surut sekitar pukul 5-6 pagi.

Ya, hanya ada satu jam bagi Darsih dan Wage untuk mendapatkan ganggang sebanyak
mungkin.

*monolog Darsih takut dengan terjangan ombak ketika mengangkat ganggang*

Karenanya, Darsih selalu bersama Wage saat bekerja. Keberadaan Wage di sisinya,
setidaknya, bisa menenangkan hatinya. Sayang, cuaca sedang tak menentu. Air pasang
datang lebih cepat setengah jam dari yang diperkirakan.

Sebelum matahari makin tinggi, Darsih dan Wage harus segera menjemur ganggang
perolehannya hari ini. Semakin cepat mereka bekerja, maka akan semakin cepat
ganggang kering nantinya.

*ilustrasi Darsih menjemur ganggang*

Saat hujan tiba, Darsih terpaksa bolak-balik dari rumah, menuju tempat ini hanya untuk
menyimpan ganggang agar tidak basah. Sayangnya, meski sudah disimpan rapi terkadang
ada ganggang kering yang menjadi basah kembali. Akibatnya, ganggang seperti ini tak
bisa diterima pengepul.

*monolog Darsih mengeluh soal ganggang yang dijemur basah lagi*

*ilustrasi Darsih mengulek cabe*

Bekerja sejak dini hari dengan perut kosong tentunya melelahkan. Tak tega rasanya
melihat sang suami yang kelelahan. Cabe rawit dan garam ini biasa menjadi teman makan
mereka sehari-hari. Apa daya, hanya ini yang bisa tersaji untuk hari ini.

*ilustrasi Wage makan*

Wage tak pernah mengeluh. Apa saja yang disajikan sang istri pasti akan dia santap. Bagi
Wage maupun Darsih, bisa makan nasi saja sudah sangat disukurinya. Tak peduli dengan
atau tanpa lauk, bagi mereka yang penting ada makanan yang bisa mengisi kekosongan di
perutnya.

Darsih dan Wage berharap, semoga tuhan memberi kemurahan untuk mereka, semoga
matahari yang bersinar cerah akan mengeringkan ganggangnya.

*ilustrasi kebun*

Bagi darsih, rejeki bukan didapat dengan jalan menunggu. Manusialah yang harus
berusaha mencarinya. Tak ada waktu bersantai bagi Darsih. Selagi hari masih terang, ia
memanfaatkan waktu sebaik mungkin untuk mengais rejeki.

*ilustrasi Darsih berjalan di kebun*

Kebun ini bukan milik darsih. Tentu saja untuk orang seperti dirinya, memiliki kebun
sendiri rasanya sulit terwujud. Merawat kebun biasa disebut dengan ngoret. Ngoret
sebenarnya cukup mudah, darsih cukup menyiangi rumput dan semak liar yang tumbuh
memenuhi kebun ini.

Hanya saja, luasnya kebun membuat Darsih tak bisa menyelesaikan pekerjaannya dalam
tempo sehari. Tubuh rentanya sulit berkompromi. Jika lelah sudah mendera sekujur
tubuhnya, ia hanya bisa berhenti bekerja. Serangga kebun yang mengganggunya sudah
menjadi hal yang biasa.

*ilustrasi Darsih menggaruk dan menepuk tangan dan wajah*

*ilustrasi Wage membawa jaring*

Tak mau berpangku tangan, Wage pun berusaha mencari penghasilan tambahan.
Kecelakaan yang menimpa beberapa tahun silam membuat tubuhnya tak bisa bekerja
sempurna layaknya orang lain. Karenanya, Wage mencari peruntungan lain dengan jalan
merongsok.

*ilustrasi Wage merajut jala*

Rongsok yang ia dapat tak selalu ia tukar dengan rupiah. Terkadang, rongsok yang ia
dapat sengaja ia jual pada pengepul. Ia lebih memilih memanfaatkan barang rongsok
yang ia dapat ketimbang harus membeli barang serupa yang baru. Setidaknya, dengan
cara ini bisa menghemat pengeluaran.

*ilustrasi jaring rusak*

Jaring dengan kondisi seperti ini sudah tak layak digunakan untuk menjaring ikan.
Karena hanya menyulitkan nelayan, tak banyak ikan yang bisa tertangkap karenanya.

*monolog Wage mendapatkan jaring bekas*

Bagaimanapun juga, bagi wage jaring ini masih bisa bermanfaat. Meski untuk
menggunakannya, wage harus memerbaikinya terlebih dahulu.

Usianya sudah mencapai 68 tahun, namun ia masih bisa melihat dengan jeli bagian mana
saja yang putus dan memerlukan perbaikan.

Sebisa mungkin, Wage segera menyelesaikan pekerjaannya. Wage khawatir bila

sawahnya tak segera ia pasang jaring akan banyak tanaman padi yang rusak.

*ilustrasi Wage membawa jaring ke sawah*

Lega rasanya, akhirnya wage bisa mendapatkan barang yang ia butuhkan. Meski bukan
jaring baru, setidaknya ia bisa mengatasi masalahnya untuk saat ini.

Jaring ini bukan ia gunakan untuk mencari ikan. Benda ini ia manfaatkan untuk
melindungi sawah garapannya.

*monolog Wage menjelaskan fungsi jaring untuk melindungi sawah dari ayam*

Sudah beberapa tahun belakangan ini Wage menjadi buruh tani. Sejak mengalami
kecelakaan, Wage tak bekerja di kebun kelapa. Selain karena tubuhnya yang sudah renta,
cacat permanen yang ia miliki saat ini sudah tak memungkinkan baginya untuk memanjat
pohon kelapa.

Beruntung ada seseorang yang baik hati mau menggunakan jasa Wage untuk mengolah
sawahnya.

*monolog Wage menjelaskan bagi hasil yang didapatnya dari orang baik hati itu*

Jatuh berkali-kali, namun tak sekalipun tubuhnya tersentuh oleh tangan medis. Jauhnya
lokasi sarana kesehatan seperti puskesmas maupun dokter, membuat Wage memilih
mengobati luka dan cedera dengan caranya sendiri. Kini, semua kejadian itu menyisakan
kenangan yang tak terlupakan, kenangan yang membekas di tubuhnya.

*monolog Wage cara mengobati cederanya*

Semua kejadian yang ia alami tak pernah disesalinya. Baginya, setiap peristiwa adalah
teguran dari tuhan agar ia lebih berhati-hati lagi.

Meski tuhan memberikan banyak cobaan, tuhan pasti juga akan memberikan solusinya.
Nyatanya, ia masih bisa beraktivitas dan bekerja.

*monolog Wage sembuh sendiri*

*ilustrasi Darsih sendirian memunguti ranting di samping rumah*

*monolog Darsih mengeluh stres ketika sedang sendirian, melamun, karena rindu anak*

Bila tengah dirundung rasa rindu, tak jarang ibu tiga anak ini menjadi hilang konsentrasi.
Seringkali ia melamun dalam kesendiriannya. Kondisi ini terkadang sedikit
mengganggunya saat bekerja.

Komunikasi yang terputus, hingga tanpa kabar berita acapkali membuat Darsih diliputi

kecemasan. Khawatir dengan nasib anak-anaknya.

Rindu sudah pasti menggelayut dalam pikirannya, naum apa daya, tak ada yang bisa ia
perbuat.

*monolog Darsih sering menangis mengkhawatirkan anak-anaknya*

Bahagia hati Darsih saat ini. Bukan lantaran uang ataupun materi lain.

*ilustrasi Darsih senang melihat kedatangan anaknya sambil menggendong anaknya*

Bisa melihat wajah sang anak dan cucu saja, baginya adalah sebuah kebahagiaan terbesar.
Meski terkadang sang anak datang dengan segala keluh kesah kesulitan hidupnya. Pintu
Darsih selalu terbuka lebar.

Tak pernah ada kata selesai untuk sang anak. Bagi Darsih, selagi ia mampu, ia akan
membahagiakan sang anak, bagaimanapun caranya.

*monolog Darsih menceritakan pertemuannya dengan anak-anak*

*ilustrasi rumah Darsih*

Rumah yang terletak di dusun Sendangmangu, kelurahan Bagolo, kecamatan Kalipucang,


kabupaten Ciamis, Jawa Barat ini adalah harga yang paling berharga yang Darsih miliki.

Meski tak seperti hunian milik orang lain, Darsih bersyukur masih memiliki tempat
berlindung dari teriknya panas matahari dan hujan. Lantai yang berubin dan dinding yang
bolong di sana-sini dibiarkan begitu saja.

Dinding-dinding anyaman bambu ini tak mampu menahan hawa dingin yang masuk.
Lokasi rumah yang berada di dalam hutan, kerap membuat Darsih diliputi rasa
kekhawatiran ketika sedang sendiri, ketika malam menjelang.

*monolog Darsih tetangga kesulitan untuk membantunya ketika kesulitan karena jarak
rumah mereka berjauhan*

Beruntung Darsih memiliki listrik tenaga surya. Sebuah bantuan dari pemerintah yang
didapatnya dua tahun silam. Darsih tak lagi berteman gelap saat malam tiba, Darsih juga
tak perlu memikirkan biaya bulanan untuk listrik. Karena, listrik ini memanfaatkan sinar
matahari sebagai sumber tenaga.

*ilustrasi Darsih memandang keluar dari jendela rumahnya*

Sunyinya hidup sangat terasa di saat-saat seperti ini. Tak ada sanak famili yang menemani
mereka di sisa hidupnya. Untuk mengusir sepi, biasanya Darsih bertandang ke rumah
tetangga, tetapi di musim hujan seperti sekarang ini sulit bagi Darsih untuk keluar rumah.


Tak ada gelak canda tawa anak cucu yang menghiasi hari-hari mereka. Setelah menikah,
si sulung tinggal bersama sang suami.

Satu-satunya anak lelaki Darsih sudah lama tak berkunjung, sementara anak bungsunya
sudah lama tak terdengar kabar beritanya.

*monolog Darsih menceritakan kabar-kabar terakhir anak-anaknya*

*ilustrasi Wage menyetel radio*

Radio ini menjadi satu-satunya hiburan di kala sepi. Mendengarkan alunan lagu di antara
suara rintik hujan setidaknya mengusir rasa sepi dan penat. Sebenarnya, jauh dalam lubuk
hatinya, Wage pun menyimpan kerinduan yang sama pada anak-anaknya. Namun, Wage
memilih diam. Wage tak ingin ungkapan isi hatinya justru membuat istrinya semakin
sedih.

*monolog Wage rindu anak-anaknya, masih berharap melihat mereka baik-baik saja*

Bila sudah begini, tak ada yang bisa Wage lakukan. Wage hanya bisa menghibur Darsih
dengan nasehat. Darsih kini hanya bisa mengenang kebersamaannya dahulu, saat anakanaknya masih kecil.

*monolog Darsih kecewa dilupakan anaknya, hanya bisa mengenang masa bersama
mereka ketika masih kecil-kecil*

Tak ada yang bisa menebak kapan hidup seseorang di dunia akan berakhir. Yang Darsih
tau, usianya semakin menua. Tubuhnya pun makin hari makin renta. Darsih berharap
tuhan mendengar dan mengabulkan doanya, semoga ia diberi kesempatan bertemu
dengan sang anak sebelum menutup usia.

*monolog Darsih berdoa untuk anaknya, semoga baik-baik saja di manapun mereka
berada*

Anda mungkin juga menyukai