Anda di halaman 1dari 14

TINEA CAPITIS

Definisi
Tinea capitis adalah infeksi jamur pada rambut dan kulit kepala, alis mata, dan
bulu mata yang disebabkan oleh jamur dermatofita spesies Tricophyton dan
Microsporum.

Gambar Tinea capitis


Etiologi
Tinea capitis disebabkan oleh jamur golongan Dermatofita yang mempunyai
sifat mencernakan keratin.Dematofita yang dapat menyebabkan infeksi pada kulit
kepala dan rambut adalah genus Tricophyton dan Microsporum. 11 Jamur penyebab
tinea capitis ini ada yang bersifat antropofilik, geofilik, dan zoofilik.11
Jamur yang bersifat antropofilik atau hanya mentransmisikan penyakit antar
manusia antara lain adalah Tricophyton violaceum yang banyak ditemukan pada
orang Afrika, Tricophyton schoenleinii, Tricophyton rubrum, Tricophyton
megninii, Trichophyton soudanense, Tricophyton yaoundei, Microsporum
audouinii, dan Microsporum ferrugineum.
Jamur geofilik merupakan jamur yang hidup di tanah dan dapat menyebabkan
radang yang moderat pada manusia. Golongan jamur ini antara lain adalah
Microsporum gypseum dan Microsporum fulvum.
Jamur zoofilik merupakan jamur yang hidup pada hewan, namun dapat
mentransmisikan penyakit pada manusia. Jamur zoofilik penyebab tinea capitis
antara lain Microsporum canis yang berasal dari kucing, Microsporum nanum

yang berasal dari babi, Microsporum distortum yang merupakan varian dari
Microsporum canis, Tricophyton verrucosum yang berasal dari sapi, dan
Tricophyton mentagrophytes var. equinum yang berasal dari kuda.

Gambar Jamur Microsporum

Gambar Jamur Trichophyton


Cara Penularan
Penularan infeksi jamur dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung.
Penularan langsung melalui epitel kulit dan rambut yang mengandung jamur baik
dari manusia, binatang, atau tanah. Penularan tak langsung dapat melalui tanaman,
kayu, pakaian, dan barang-barang lain yang dihinggapi jamur, atau dapat juga
melalui debu dan air

Ada beberapa faktor yang dapat mempermudah penularan infeksi jamur :


1. Faktor virulensi dari jamur
Virulensi jamur tergantung dari sifatnya apakah antropofilik, zoofilik,
atau geofilik. Jamur antropofilik menyebabkan perjalanan penyakit yang
kronik dan residif karena reaksi penolakan tubuh yang sangat ringan.
Sementara jamur geofilik menyebabkan gejala akut ringan sampai sedang
dan mudah sembuh
2. Keutuhan kulit
Kulit yang intak tanpa adanya lesi lebih sulit untuk terinfeksi jamur.
3. Faktor suhu dan kelembapan
Kondisi tubuh yang banyak berkeringat menyebabkan lingkungan
menjadi lembap sehingga mempermudah tumbuhnya jamur.
4. Faktor sosial ekonomi
Infeksi jamur secara umum lebih banyak menyerang masyarakat
golongan sosial ekonomi menengah ke bawah karena rendahnya kesadaran
dan kurangnya kemampuan untuk memelihara kebersihan diri dan
lingkungan.
5. Faktor umur dan jenis kelamin
Tinea capitis sering terjadi pada anak-anak dan lebih banyak
ditemukan pada anak laki-laki dibandingkan perempuan.
Patofisiologi
Tinea capitis berhubungan dengan Pityrosporum orbiculare dan Pityrosporum
ovale, yaitu flora normal pada kulit kepala yang dapat berubah sesuai dengan
keadaan lingkungan, seperti suhu, media, dan kelembapan.Selain itu, adanya zat
fungistatik berupa asam lemak rantai pendek dari sekret yang dihasilkan oleh
kelenjar sebacea pada masa post pubertal juga menjadi faktor yang berperan
dalam terjadinya tinea capitis.
Hifa jamur bertumbuh secara sentrifugal dari tempat inokulasi awalnya ke
dalam lapisan startum korneum, kemudian mencernakan keratin yang terdapat

pada rambut. Pertumbuhan jamur meluas seiring dengan pertumbuhan rambut.


Pada hari ke 12 14, mulai tampak kelainan pada kulit kepala. Rambut yang
terkena infeksi jamur menjadi rapuh dan pecah. Kerusakan rambut mulai tampak
pada minggu ketiga. Sementara rambut menjadi rapuh, infeksi pada stratum
korneum juga terus meluas. Pada minggu ke 8 10, pertumbuhan jamur pada
kulit kepala bisa mencapai diameter 3,5 7 cm sehingga menginfeksi bagian
rambut lain.
Ada 3 tipe invasi pertumbuhan jamur pada rambut :
1. Invasi ektotriks
Biasanya disebabkan oleh M.canis, M.gypseum, T.equinum, dan
T.verrucosum. Pada jenis ini, jamur menginvasi hingga ke luar batang
rambut karena terjadi penghancuran kutikula rambut. Pada pemeriksaan
dengan sinar Wood, tampak rambut yang terinfeksi memberikan
fluoresensi berwarna hijau kekuningan.no.1
2. Invasi endotriks
Disebabkan oleh jamur yang bersifat antropofilik, yaitu T.tonsurans
dan T.violaceum. Invasi jamur terbatas hanya di dalam batang rambut saja
dan kutikula rambut masih utuh. Pada penyinaran dengan sinar Wood tidak
tampak fluoresensi.no.1
3. Favus
Disebabkan oleh T.schoenleinii yang memproduksi krusta sehingga
mengakibatkan kerontokan rambut.no.1

Gejala Klinik
Pasien dengan tinea capitis umumnya mengeluh gatal pada kepala dan
terkadang juga terasa nyeri.Kulit kepala yang terinfeksi tampak kemerahan,
membengkak, dan adanya sisik yang mengelupas seperti ketombe. Rambut
menjadi rontok sehingga terjadi kebotakan yang sering menetap.Terkadang
ditemukan adanya pembesaran kelenjar getah bening pada leher.

Pada beberapa kasus, gejala tidak ditemukan secara menyeluruh. Terkadang


ditemukan tinea capitis hanya dengan gejala kerontokan rambut tanpa adanya
reaksi apapun pada kulit kepala, atau bahkan hanya terjadi pengelupasan kulit
kepala tanpa adanya kerontokan rambut sehingga seringkali dikira sebagai
ketombe.
Dalam klinis, tinea capitis terbagi menjadi 4 bentuk :
1. Grey patch ringworm
Tinea capitis jenis ini disebabkan oleh jamur Microsporum dan lebih
sering ditemukan pada anak-anak. Gejala diawali dengan adanya papula
merah kecil di sekitar muara rambut yang melebar secara sirkular dan
membentuk bercak, kemudian menjadi pucat dan bersisik.Papula dan
perkembangannya tersebut bersifat kering dan tidak meradang.
Rambut menjadi berwarna abu-abu dan suram, mudah patah, dan
mudah dicabut tanpa rasa nyeri sehingga tampak alopesia setempat yang
terlihat sebagai grey patch.
Pemeriksaan yang cukup membantu diagnosis tinea capitis bentuk ini
adalah pemeriksaan dengan sinar Wood, di mana rambut yang sakit
tampak menunjukkan fluoresensi hijau kekuningan melampaui batas grey
patch tersebut.

Gambar Grey patch ringworm


2. Black dot ringworm

Tinea capitis jenis ini disebabkan oleh jamur golongan Trichophyton,


terutama T.tonsurans dan T.violaceum. Gejala pada permulaan penyakit
menyerupai tinea capitis bentuk grey patch ringworm.
Rambut yang terkena infeksi menjadi sangat rapuh dan patah tepat
pada muara folikel sehingga meninggalkan ujung rambut yang penuh
spora. Ujung rambut yang hitam di dalam folikel rambut ini memberikan
gambaran black dot atau seperti titik-titik hitam.
Sebagai pemeriksaan penunjang dapat dibuat preparat langsung dari
rambut untuk menemukan adanya hifa atau spora jamur. Namun terkadang
ujung rambut yang patah tumbuh masuk ke bawah permukaan kulit
sehingga untuk mendapat sediaannya perlu dilakukan irisan kulit.

Gambar Black dot ringworm


3. Kerion
Kerion merupakan reaksi peradangan berat pada tinea capitis berupa
bisul-bisul kecil dan pembengkakan menyerupai sarang lebah yang nyeri
disertai dengan skuamasi dan sebukan sel radang yang padat di
sekitarnya.Reaksi ini lebih sering ditemukan pada infeksi yang disebabkan
oleh Microsporum dibandingkan Tricophyton.
Kerion sering dikira sebagai abses pada kulit kepala karena adanya
pustula dan krusta. Rambut yang terinfeksi menjadi mudah putus dan
dapat meninggalkan jaringan parut sehingga mengakibatkan alopesia yang
menetap. Terkadang jaringan parut dapat membentuk suatu penonjolan.
Beberapa ahli meyakini reaksi peradangan pada kerion terjadi akibat
respon dari sistem imun yang berlebihan atau akibat terjadinya reaksi

alergi terhadap jamur. Gejala lokal pada kerion seringkali disertai gejala
sistemik berupa demam.

Gambar Kerion

4. Tinea favosa
Bentuk tinea capitis ini jarang ditemukan, terutama disebabkan oleh
T.violaceum dan T.gypsum. Merupakan proses lanjut dari kerion disertai
penghancuran batang rambut yang sangat parah.
Kelainan pada kepala dimulai dengan bintik-bintik kecil berwarna
merah kekuningan di bawah kulit yang kemudian berkembang menjadi
krusta yang berbentuk cawan atau skutula. Rambut di atas skutula ini
menjadi tidak berkilau, putus-putus, dan mudah dicabut.
Yang khas dari bentuk infeksi ini adalah lesinya yang berbau seperti
tikus atau sering disebut mousy odor. Bila menyembuh, lesi meninggalkan
jaringan parut dan menyebabkan alopesia yang permanen.

GambarTinea favosa
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang awal yang dapat dilakukan untuk membantu
menegakkan diagnosis adalah pemeriksaan dengan sinar Wood. Pada infeksi
jamur dengan tipe invasi ektotriks, rambut yang terinfeksi tampak memberikan
fluoresensi hijau kekuningan. Sedangkan pada tipe invasi endotriks penyinaran
dengan sinar Wood tidak memberikan fluoresensi.
Pemeriksaan dengan sinar Wood dilakukan sebelum pengumpulan bahan
untuk pemeriksaan mikologik agar dapat mengetahui lebih jelas batas daerah yang
terkena infeksi.

Gambar Tinea capitis dengan pemeriksaan sinar Wood

Pemeriksaan mikologik baik dalam bentuk sediaan basah maupun biakan


diperlukan untuk membantu menegakkan diagnosis. Pengambilan bahan
dilakukan dengan mencabut rambut pada bagian kulit yang mengalami kelainan
dan kulit daerah tersebut dikerok untuk mengumpulkan sisik kulit. Untuk
membuat sediaan basah, bahan yang telah diambil untuk sediaan diletakkan di
atas gelas alas kemudian diberikan larutan KOH 10% untuk melarutkan keratin
Melalui mikroskop dapat terlihat adanya makrospora maupun mikrospora
pada sediaan yang diambil dari rambut. Spora tersebut dapat tersusun di luar
rambut pada tipe invasi ektotriks maupun di dalam rambut pada invasi endotriks.
Terkadang dapat juga ditemukan adanya hifa.
Sementara pada sediaan yang diambil dari kerokan kulit, tampak adanya hifa
sebagai 2 garis sejajar yang terbagi oleh sekat dan bercabang. Pada infeksi kulit
yang sudah lama atau telah diobati, tampak adanya spora yang berderet atau
artrospora.

Gambar Sediaan jamur dengan KOH

Gambaran mikroskopik hifa


Diagnosis
Diagnosis tinea capitis ditegakkan berdasarkan gejala yang dikeluhkan pasien,
tanda-tanda infeksi jamur yang ditemukan, ditambah dengan pemeriksaan
penunjang untuk memastikan diagnosis. Gejala yang sering dikeluhkan pasien
adalah rasa gatal atau pasien merasa berketombe. Sementara tanda klinis
bervariasi tergantung dari bentuk klinis infeksinya. Pemeriksaan penunjang yang
mudah dilakukan adalah melalui penyinaran dengan lampu Wood.2
Diagnosis Banding
1. Alopesia areata
Terdapat daerah di kepala tanpa adanya rambut atau hanya tampak
pertumbuhan rambut yang pendek seperti bercak. Pada alopesia areata,
daerah lesi tampak lebih halus dan tidak bersisik.
2. Dermatitis seboroik
Kerontokan rambut tidak hanya pada satu daerah, tetapi menyebar di
beberapa tempat. Selain itu juga terdapat lesi berupa pengelupasan kulit
namun tampak berminyak yang juga bersifat difus.
3. Impetigo dan karbunkel
Lesi menunjukkan tanda-tanda radan yang lebih jelas disertai rambut
yang patah. Terjadinya impetigo dan karbunkel pada kulit kepala dapat
memicu terjadinya kerion.

4. Diskoid lupus eritematosus


Merupakan suatu kelainan yang berjalan kronis dan berakhir dengan
alopesia disertai pembentukan sikatriks. Tampak adanya pengelupasan
kulit yang bersisik dengan bercak-bercak kemerahan, dan kulit wajah juga
ikut terlibat. Pemeriksaan mikologik memberikan hasil yang negatif.
5. Lichen planus
Lesi berbentuk papula dengan puncak yang agak mendatar, terutama
pada ekstremitas dan daerah pipi. Kelainan ini dapat berakhir dengan
alopesia yang disertai pembentukan sikatriks.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan awal yang mudah dilakukan dan memberikan hasil yang
cukup baik adalah dengan memotong rambut yang terkena infeksi jamur.
Pengobatan tinea capitis melalui obat-obatan dilakukan dengan pemberian terapi
sistemik maupun topikal. Anti jamur sistemik yang dapat diberikan antara lain :
1. Griseofulvin
Merupakan obat pilihan utama untuk tinea capitis. Griseofulvin adalah
metabolit sekunder dari jamur Penicillium griseofulvin. Obat ini menghambat
pertumbuhan dan reproduksi jamur dengan menghambat pembentukan
mikrotubula di sitoplasma
Dosis griseofulvin untuk dewasa adalah 0,5 1 gram, sedangkan untuk
anak-anak diberikan 10 mg/kg BB/hari. Pada kasus tinea capitis yang
disebabkan oleh T.tonsurans, dosis dapat ditingkatkan hingga 20 mg/kg
BB/hari. Untuk mempertinggi absorpsi dalam usus, obat sebaiknya dimakan
bersama makanan yang banyak mengandung lemak. Terapi griseofulvin
membutuhkan waktu hingga 6 minggu agar obat mencapai pembuluh darah di
stratum basale dari kulit. Setelah sembuh klinis, terapi dilanjutkan selama 2
minggu agar tidak menjadi residif.
Efek samping griseofulvin jarang dijumpai, namun pada beberapa
penderita dapat terjadi sakit kepala dan gangguan pencernaan berupa nausea,
vomitus, dan diare.

2. Ketokonazol
Ketokonazol merupakan anti jamur spektrum luas yangd apat digunakan
pada kasus infeksi jamur yang resisten terhadap griseofulvin. Dosis sebesar
200 400 mg per hari diberikan pada pagi hari setelah makan selama 10 hari
hingga 2 minggu.
Selama terapi dengan ketokonazol, perlu dilakukan pemeriksaan enzim
hepar secara rutin minimal sebulan sekali karena obat ini bersifat
hepatotoksik. Terapi harus segera dihentikan apabila terjadi peningkatan
SGPT hingga 2 3 x nilai normal. Selain bersifat hepatotoksik, ketokonazol
memberikan efek samping berupa sakit kepala, rasa mual, dan terhambatnya
sintesis hormon androgen.
Ketokonazol

merupakan

kontraindikasi

pada

pasien

dengan

hipersensitivitas, ibu hamil dan menyusui, serta pasien dengan gangguan


hepar.
3. Itrakonazol
Merupakan anti jamur derivat azol yang cukup efektif dengan efek
hepatotoksik yang lebih rendah. Obat diberikan dengan dosis 100 200 mg
per hari selama 2 minggu. Efek samping itrakonazol antara lain berupa
gangguan pencernaan, sakit kepala, dan terkadang ditemukan adanya
dermatitis eksfoliatif.
4. Terbinafin
Terbinafin merupakan salah satu anti jamur dari golongan alilamin yang
efektif untuk dermatofitosis. Obat ini bekerja menghambat pembentukan
skualen, yaitu suatu zat hidrokarbon tidak jenuh yang membentuk membran
sel. Beberapa ahli mengatakan terbinafin dapat mengurangi kemungkinan
terjadinya relaps dari infeksi jamur.
Dosis terbinafin untuk anak-anak tergantung dari berat badannya. Pada
anak dengan berat badan di bawah 20 kg diberikan terbinafin 62,5 mg per
hari, dan pada anak dengan berat badan 20 40 kg diberikan 125 mg per hari.
Sementara untuk orang dewasa diberikan dosis 250 mg per hari.

Efek samping terbinafin yang tersering adalah gangguan pencernaan


berupa nausea, vomitus, nyeri lambung, serta diare atau konstipasi. Gangguan
pengecapan dan sefalgia ringan dapat terjadi namun presentasinya lebih kecil.
Pemberian kortikosteroid sistemik sebagai anti inflamasi diindikasikan pada
kerion stadium dini. Dapat diberikan adalah prednison 3 x 5 mg sehari atau
prednisolon 3 x 4 mg sehari selama 2 minggu. Kortikosteroid diberikan bersamasama dengan griseofulvin atau terbinafin.1
Di samping pengobatan secara sistemik, diperlukan pengobatan topikal untuk
membantu mempercepat penyembuhan. Mencuci rambut dengan shampo yang
mengandung selenium sulfida dapat mengurangi penyebaran infeksi pada stadium
awal karena mengurangi jumlah spora yang viabel dalam rambut.
Obat-obatan topikal konvensional yang masih banyak digunakan sebagai
terapi tinea capitis antara ain asam salisil 2 4%, asam benzoat 6 12%, sulfur 4
6%, vioform3%, asam undesilenat 2 5%, dan zat warna hijau brilian 1% dalam
cat Castellani. Selain obat tersebut, kini banyak ditemukan obat topikal baru
seperti tolnaftat 2%, derivat imidazol, siklopiroksolamin, dan naftilin 1%.
Pencegahan
Untuk mencegah terkena infeksi tinea capitis dapat dilakukan dengan :
1. Menghindari kontak yang erat dengan penderita tinea capitis
2. Menjaga kebersihan diri dengan mandi setelah beraktivitas dan
berkeringat
3. Mengeringkan badan dengan baik setiap setelah mandi
4. Mencuci pakaian, sprei, dan barang-barang pribadi lainnya secara rutin
5. Tidak menggunakan sisir, alat cukur, dan handuk secara bersama-sama.

Daftar Pustaka
Unandar Budimulja. Mikosis: dalam Prof.Dr. dr. Adhi Djuanda, dkk Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin. Edisi 5. Jakarta : FKUI. 2008; p.92-99
E.M Higgins, dkk. Guideline for The Management of Tinea Capitis.British Journal of
Dermatology. 2000; 143:53-58
Health Protection Agency. Tinea Capitis in The United Kingdom: A report on its
diagnosis, management and prevention. London : Health Protection Agency, March
2007
N rebollo, dkk. Tinea Capitis. Review Article. Actas Dermosifiliogr. 2008;99:91-100
Maha A, Dayel, Iqbal Bukhari. Tinea Capitis. The Gulf Journal of Dermatology and
Venereology.Vol.1. No.1. 2004
Prof.Dr.R.S.Siregar. Penyakit Kulit Jamur. Edisi 2. Jakarta : EGC.2004; p.24
Klaus Wolff, Richard Allen Johnson, dkk. Fitzpatricks Color Atlas & Synopsis of
Cinival Dermatology 5th ed.New York Mc Graw Hill. 2007
Brendan P. Kelly. Superficial Fungal Infections : Pediatrics in Review. American
Academy of Pediatrics. 2012;33;e22

Anda mungkin juga menyukai