Anda di halaman 1dari 34

I.

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan Negara kaya dengan berlimpah potensi sumberdaya yang
teramat bernilai. Hampir 75 % dari seluruh wilayah indonesia merupakan perairan pesisir
dan lautan.

Indonesia adalah negara kepulauan, negeri bahari dengan 3,1 km2 lautan

teritorian dan archipelago, serta 2,7 juta km2 Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Perairan laut
Indonesia teramat kaya dan beragam dengan sumberdaya hayati, juga terumbu karangnya nan
elok tempat beragam biota mengerumuni. Luasan daerah terumbu karang indonesia saat ini
adalah 85.707 km2 atau 18 % dari luasan terumbu karang dunia. Kondisi ini menempatkan
indonesia pada peringkat ke-2 yang memiliki terumbu karang terluas di dunia setelah
australia (Rudianto, 2007).
Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting karena
menjadi sumber kehidupan bagi beraneka ragam biota laut. Di dalam ekosistem terumbu
karang ini pada umumnya hidup lebih dari 300 jenis karang, yang terdiri dari sekitar 200 jenis
ikan dan berpuluhpuluh jenis moluska, crustacean, sponge, alga, lamun dan biota lainnya
(Dahuri, 2003). Terumbu karang mempunyai fungsi yang sangat penting sebagai tempat
memijah, mencari makan, daerah asuhan bagi biota laut dan sebagai sumber plasma nutfah.
Terumbu karang juga merupakan sumber makanan dan bahan baku substansi bioaktif yang
berguna dalam farmasi dan kedokteran. Selain itu terumbu karang juga mempunyai fungsi
yang tidak kalah pentingnya yaitu sebagai pelindung pantai dari degradasi dan abrasi.
Semakin bertambahnya nilai ekonomis maupun kebutuhan masyarakat akan sumberdaya
yang ada di terumbu karang seperti ikan, udang lobster, tripang dan lainlain, maka aktivitas
yang mendorong masyarakat untuk memanfaatkan potensi tersebut semakin besar pula.
Dengan demikian tekanan ekologis terhadap ekosistem terumbu karang juga akan semain
meningkat.
Kabupaten Tapanuli Tengah terletak di pantai Barat Sumatera Utara, yaitu pada 1o 11'
00" - 2o 22' 0" Lintang Utara ( LU ) dan 98o 07' - 98o 12' Bujur Timur (BT), dengan
ketinggian wilayah berkisar antara 0 1.266 m di atas permukaan laut. Kabupaten Tapanuli
Tengah juga terdiri dari bereberapa pulau kecil yang mempunyai potensi sumber daya alam
pesisir dan lautan serta jasa-jasa lingkungan khususnya terumbu karang, yang memiliki
prospek perekonomian yang mampu untuk mendorong pertumbuhan dan pengembangan
kegiatan ekonomi serta sosial lainnya di sekitar kawasan tersebut.
1

Desa Jago-jago merupakan salah satu desa pesisir yang berada di wilayah Kecamatan
Badiri Kabupaten Tapanuli Tengah, provinsi Sumatera Utara. Luas wilayah Desa Jago-jago
2.283 Ha. Kondisi tanah Desa Jago-jago berbentuk dataran dan pantainya berpasir, hamparan
terumbu karang berada di sepanjang pantai Jago-jago. Desa Jago-jago juga masuk kedalam
program Coremap II (Program rehabilitasi dan pengelolaan terumbu karang) sejak tahun
2004.
1.2 Tujuan
Tujuan dari kegiatan Praktek Kerja Lapang (PKL) ini adalah sebagai berikut :
-

Untuk mengetahui komoditas utama dari desa Jago-jago di wilayah COREMAP II


Kabupaten Tapanuli Tengah.

Untuk mengetahui keanekaragaman dan luas tutupan terumbu karang wilayah


COREMAP II Kabupaten Tapanuli Tengah.

Untuk mengetahui keadaan umum wilayah COREMAP II Kabupaten Tapanuli


Tengah.

1.3 Sasaran
Sasaran yang ingin dicapai dari kegiatan Praktek Kerja Lapang (PKL) ini adalah
melestarikan daerah terumbu karang serta mencegah terjadinya kegiatan pemanfaatan sumber
daya terumbu karang yang dapat menimbulkan kerusakan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Terumbu Karang dan Karang


Terumbu karang merupakan struktur di dasar laut berupa deposit kalsium karbonat di
laut yang dihasilkan terutama oleh hewan karang. Terumbu karang terutama disusun oleh
karang-karang jenis anthozoa dari klas Scleractinia (Nybakken, 1992). Batuan kapur
(CaCO3) yang dihasilkan oleh organisme karang pembentuk terumbu (karang hermatipik)
dari filum Cnidaria, ordo Scleractinia yang hidup bersimbiosis dengan Zooxantellae, dan
sedikit tambahan dari algae berkapur serta organisme lain yang menyekresi kalsium karbonat
(Bengen, 2002).
Menurut Dahuri (2003), kemampuan menghasilkan terumbu ini disebabkan oleh
adanya sel-sel tumbuhan yang bersimbiosis di dalam jaringan karang hermatifik yang
dinamakan zooxanthellae. Sel-sel yang merupakan sejenis algae tersebut hidupdi jaringanjaringan polyp karang, serta melaksanakan fotosintesa. Hasil samping dariaktivitas
fotosintesa tersebut adalah endapan kalsium karbonat (CaCO3), yangstruktur dan bentuk
bangunannya khas. Ciri ini akhirnya digunakan untuk menentukan jenis atau spesies binatang
karang.
Karang adalah hewan tak bertulang belakang yang termasuk dalam filum Coelenterata
(hewan berrongga) atau Cnidaria. Yang disebut sebagai karang (coral) mencakup karang dari
Ordo scleractinia dan Sub kelas Octocorallia (kelas Anthozoa) maupun kelas Hydrozoa
(Timotius, 2003).Karang adalah anggota filum Cnidaria, yang termasuk mempunyai
bermacam-macam bentuk seperti ubur-ubur, hidroid, hydra air tawar dan anemon laut.
Karang dan anemon laut adalah anggota taksonomi kelas yang sama yaitu Anthozoa.
Perbedaan yang utama adalah terumbu karang menghasilkan kerangka luar kalsium karbonat
(Nybakken, 1992).

2.2 Klasifikasi Terumbu Karang dan Jenis Pertumbuhan Karang


Berdasarkan bentuk pertumbuhannya (gambar.1), karang dibedakan menjadi enam
kategori utama, yaitu : (1) karang bercabang (branching); (2) karang padat (massive); (3)
karang mengerak (encrusting); (4) karang meja (tabulate); (5) karang berbentuk daun
(foliose); dan (6) karang jamur (mushroom) (Coremap II, 2007). Sedangkan berdasarkan
struktur geomorphologi dan proses pembentukannya, terumbu karang terdiri atas 4 (empat)
tipe terumbu, yaitu : (1) terumbu karang tepi (fringing reef); (2) terumbu karang penghalang
3

(berrier reef); (3) terumbu karang cincin (attol); dan (4) terumbu karang takat/ gosong (Patch
reef) (Sudarsono, 1996).
Pertumbuhan karang dan penyebarannya tergantung pada kondisi lingkungannya,
yang pada kenyataannya tidak selalu tetap karena adanya gangguan yang berasal dari alam
atau aktivitas menusia. Menurut Dahuri (2003) bahwa terumbu karang terdapat pada
lingkungan perairan yang agak dangkal. Untuk mencapai pertumbuhan yang maksimum,
terumbu karang memerlukan perairan yang jernih, dengan suhu perairan yang hangat,
gerakkan gelombang besar dan sirkulasi air yang lancar serta terhindar proses sedimentasi.

Gambar.1 Bentuk Pertumbuhan koloni pertumbuhan karang: (a) bentuk lembaran


daun (foliose), (b) bentuk padat/keras (massive), (c) bentuk jamur (mushroom),
(d) bentuk bercabang (branching), (e) bentuk Meja (tabulate) dan (f) bentuk
mengerak/merayap (encrusting)

2.3 Identifikasi Genera Karang


Identifikasi karang hingga ke tingkat spesies masih tergolong langka di
Indonesia. Berbeda dengan identifikasi pada ikan karang yang umumnya langsung ke tahap
spesies, umum nya kemampuan identifikasi karang saat ini hanya sebatas genera (genus)
karang. Berikut ini beberapa identifikasi genus karang berdasarkan sumber buku dyang sering
ditemukan di indonesia :

Genus Acropora

Ciri- ciri :

Bentuk koloni : bercabang dan ada yang membentuk meja

Bentuk koralit : axial dan radial

Septa costae tampak jelas, dinding koralit dipisahkan oleh coenesteum.

Terdapat lubang ditengah koralit (axial dan radial) sebagai tempat hidup polip.

Hanya satu satunya karang yang memiliki bentuk koralit axial dan radial.

Genus Pocillopora

Ciri-ciri :

Bentuk koloni : sub massive, bercabang.

Colony ditutupi oleh verrucae (tonjolan2 kecil). Hanya pocillopora yg memiliki


verrucae, koralit terdapat didalam verrucae.

Bentuknya mirip seriatopora, namun koralitnya tidak tersusun rapi.

Genus Seriatopora

Ciri- ciri :

Bentuk koralit : bercabang tapi kurus dan halus

Coralite tersusun rapi ( sejajar) sepanjang percabangan.

Koralit sebagian besar tenggelam.

Bentuknya coralit mirip stylopora (tenggelam) tapi coralit stylopora tidak beraturan
dan percabangan nya sedikit gemuk ke arah submassive

Genus Stylopohora

Ciri- ciri :

Bentuk koralit : submassive branching tpi pendek.

Coralit tersusun sepanjang percabangan dan berkerudung (hooded) dan polip berada
didalamnya.

Bentuk

coralit mirip seriatopora berada disepanjang percabangan tetapi tidak

beraturan

Genus Montipora

Ciri- ciri :

Bentuk koloni : submassive, laminar, encrusting dan branching.

Coralite nya kecil dan tenggelam, memiliki permukaan yang kasar.

Bentuknya coralit mirip porites tetapi susunan coralitnya tidak tersusun rapi.

Genus Astreopora

Ciri-ciri :

Bentuk Colony : Massive, Laminar dan encrusting.

Coralites seperti pipa-pipa kecil berlubang dan letaknya tidak beraturan

Genus Porites

Ciri- ciri :

Colony berbentuk Flat (laminer atau encrusting), masif atau

bercabang. koloni besar-besar berbentuk bola dan berbentuk kubah ketika besar.
7

Permukaan nya kasar.

Corallites kecil, tenggelam dan penuh dengan septa.

Mirip dengan montipora tetapi susunan koralitnya tersusun rapi dan terlihat jelas.

Genus Pavona

Ciri- ciri :

Bentuk Koloni yang besar, Columnar ( Berupa Kolom) , laminar(Lembaran/Tipis dan


datar),

Coralitnya terletak di antara dua sisi terlihat halus dan seperti guratan guratan kecil
dengan septa costae saling berhubungan.

Genus Favites

Ciri- ciri :

Bentuk Koloni biasanya besar Massive , datar atau kubah.

coralites nya monocentric dan cerioid, kadang-kadang subplocoid dan menjorok


kedalam

Septa costa saling berhubungan dan tidak memiliki colummela.

Bentuknya mirip Goniastrea tetapi septa costa pada goniastera tidak memiliki
pembatas sehingga dinding pembatas terlihat menyatu dan strukturnya lebih kurus.
8

Berbeda dengan Favites septacostanya menyatu tapi masih terlihat batasan antara
keduanya sehingga terlihat lebih gemuk.

Genus Favia

Ciri- ciri :

Bentuk Koloni : biasanya besar Massive , datar (flat) atau kubah.

Bentuk Coralitesnya Plocoid,

Mirip favites namun septa costa tampak jelas dan dipisahkan conosteum

Genus Galaxea

Ciri- ciri :

Bentuk Koloni Besar Massive, Columnar (berupa Colom2), Encrusting.

Coralitnya Cilinder, Berdinding tipis tidak memiliki columela.

Bentuknya terlihat seperti pipa pendek yang tersusun rapi.

Genus Echinopora

Ciri- ciri :

Bentuk Coloni Massive, Laminar (Lembaran Tipis datar)

Coralites nya berbentuk plocoid dan kenampakannya terlihat lebih besar.

Genus Fungia

Ciri- ciri :

Hidupnya yg solitare.

Bentuk coralitenya kubah (Dome).

Memiliki septa yang besar dan bergigi.

Tidak menempel di substrat

Genus Platygyra

Ciri- ciri :

Bentuk colony massive,

coralitnya selalu meandroid tetapi seperti ceroid dengan dinding relatif tebal. Septa
tipis kolumella kecil di tengah.

Bentuknya mirip goniastrea tetapi platygyra tidak mempunyai pali.


Gambar 2. Genus Karang

10

2.4 Fungsi dan Manfaat Terumbu Karang


Terumbu karang mempunyai nilai dan arti yang penting baik dari segi sosial,ekonomi
maupun budaya masyarakat Indonesia di bagian pesisir yang hampir seluruhnya
mengantungkan mata pencarian dari hasil tangkapan perikanan di laut. Menurut Riyanti
(2008), terdapat setidaknya tiga fungsi utama dan manfaat ekosistem terumbu karang, yaitu:
(a) Pelindung ekosistem pantai.
Terumbu karang akan menahan dan memecah energi gelombang sehingga mencegah
terjadinya abrasi dan kerusakan di sekitarnya. (b) Terumbu karang sebagai penghasil
oksigen. Terumbu karang memiliki kemampuan untuk memproduksi oksigen sama seperti
fungsi hutan di daratan, sehingga menjadi habitat yang nyaman bagi biota laut.
(b) Rumah bagi banyak jenis mahluk hidup.
Terumbu karang menjadi tempat bagi hewan dan tanaman yang berkumpul untuk mencari
makan, berkembang biak, membesarkan anaknya dan berlindung. Bagi manusia, ini artinya
terumbu karang mempunyai potensial perikanan yang sangat besar, baik untuk sumber
makanan maupun mata pencaharian mereka. Diperkirakan, terumbu karang yang sehat dapat
menghasilkan 25 ton ikan per tahunnya. Sekitar 300 juta orang di dunia menggantungkan
nafkahnya pada terumbu karang.
(c) Sumber obat-obatan.
Pada terumbu karang banyak terdapat bahan-bahan kimia yang diperkirakan bisa menjadi
obat bagi manusia. Saat ini sudah banyak dilakukan berbagai penelitian mengenai bahanbahan kimia tersebut untuk dipergunakan untuk mengobati berbagai penyakit.
(d) Objek wisata .
Terumbu karang yang bagus akan menarik minat wisatawan pada kegiatan diving, karena
viariasi terumbu karang yang berwarna-warni dan bentuk yang memikat merupakan atraksi
tersendiri bagi wisatawan baik asing maupun domestik. Diperkirakan sekitar 20 juta
penyelam, menyelam dan menikmati terumbu karang per tahun. Hal ini dapat memberikan
alternatif pendapatan bagi masyarakat sekitar.
(e) Daerah Penelitian
Penelitian akan menghasilkan informasi penting dan akurat sebagai dasar pengelolaan yang
lebih baik. Selain itu, masih banyak jenis ikan dan organisme laut serta zat-zat yang terdapat
di kawasan terumbu karang yang belum pernah diketahui manusia sehingga perlu penelitian
yang lebih intensif untuk mengetahuinya.
(f) Mempunyai nilai spiritual

11

Bagi banyak masyarakat, laut adalah daerah spiritual yang sangat penting. Laut yang terjaga
karena terumbu karang yang baik tentunya mendukung kekayaan spiritual ini.
Menurut Moberg and Folke (1999) dalam Cesar (2000) menyatakan bahwa fungsi
ekosistem terumbu karang yang mengacu kepada habitat, biologis atau proses ekosistem
sebagai penyumbang barang maupun jasa. Untuk barang merupakan yang terkait dengan
sumberdaya pulih seperti bahan makanan yaitu ikan, rumput laut dan tambang seperti pasir,
karang. Sedangkan untuk jasa dari ekosistem terumbu karang dibedakan :
1. Jasa struktur fisik sebagai pelindung pantai.
2. Jasa biologi sebagai habitat dan dan suport mata rantai kehidupan.
3. Jasa biokimia sebagai fiksasi nitrogen.
4. Jasa informasi sebagai pencatatan iklim.
5. Jasa sosial dan budaya sebagai nilai keindahan, rekrasi dan permainan.

2.5 COREMAP (Coral Reef Rehabilitation and Management Program)


COREMAP (Coral Reef Rehabilitation and Management Program), atau Program
Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang, adalah program jangka panjang yang
diprakarsai oleh Pemerintah Indonesia dengan tujuan untuk melindungi, merehabilitasi, dan
mengelola pemanfaatan secara lestari terumbu karang serta ekosistem terkait di Indonesia,
yang pada gilirannya akan menunjang kesejahteraan masyarakat pesisir (COREMAP
II,2007).
Upaya untuk mengatasi kerusakan terumbu karang dan mengembangkan pola
pemanfaatan terumbu karang secara lestari yang dilakukan oleh pemerintah melalui Proyek
Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang atau dikenal dengan nama COREMAP (Coral
Reef Rehabilitation and Management Program). Proyek tersebut merupakan kerja sama
antara pemerintah Indonesia dengan ADB dan World Bank. COREMAP dikenal di Indonesia
sejak tahun 1998, dengan tujuan utama untuk menyelamatkan dan memanfaatkan terumbu
karang secara lestari dan berkelanjutan bagi masyarakat. COREMAP ini sendiri dilaksanakan
di 10 Provinsi yaitu Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi
Selatan, Sulawesi Tenggara, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Maluku dan Papua.
Salah satu daerah yang menjadi sasaran program di Provinsi Sumatera Utara ini adalah di
Kabupaten Tapanuli Tengah. Salah satu lokasi COREMAP tersebut adalah Desa Jago-jago
Kecamatan Badiri.

12

COREMAP mempunyai kegiatan yang berfokus pada lima komponen, yaitu 1)


Peningkatan kesadaran dan partisipasi masyarakat; 2) Pengelolaan berbasis masyarakat; 3)
Pengembangan kelembagaan; 4) Melakukan penelitian, monitoring dan evaluasi; 5)
Penegakan hukum. Dalam komponen pengelolaan yang berbasis masyarakat, juga dilakukan
melalui kegiatan alternatif seperti budaya, pemandu wisata dan usaha kerajian tangan yang
ditujukan untuk peningkatan pendapatan. Pembinaan tersebut diberikan dengan bantuan
pendanaan yang disalurkan dengan berbagai sistem yang telah ada di masyarakat. Selain itu
masyarakat juga diberi pengetahuan dan teknologi rehabilitasi dan pengelolaan terumbu
karang agar dapat di manfaatkan secara lestari (Ikawati et al, 2001 dalam Sunarti Sri dan
Djohan Eniarthi, 2007).

Gambar.3 Peta lokasi COREMAP Kabupaten Tapanuli Tengah

Adapun Visi dan Misi COREMAP Kabupaten Tapanuli Tengah yaitu:


Visi :
Menjadi Pusat Pertumbuhan dan Lalu Lintas Perdagangan serta Wisata Bahari di Wilayah
Pantai Barat Sumatera Utara, Singkil dan Sinabang.
13

Misi :
Misi Kabupaten Tapanuli dalam rangka mewujudkan Pusat Pertumbuhan dan Lalu lintas
Perdagangan serta Wisata Bahari berdasarkan nilai-nilai Budaya Tapanuli Tengah adalah :

Mewujudkan kepemerintahan yang baik (Good Governance)

Pemberdayaan potensi sumber daya manusia dan sumber daya alam sebagai kekuatan
sosial ekonomi yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan.

Mendorong percepatan pembangunan untuk mendukung pertumbuhan dan lalu lintas


perdagangan serta wisata bahari.

Meningkatkan mutu pendidikan dan derajat kesehatan masyarakat.

2.6 Faktor Penyebab Kerusakan Terumbu Karang


Sejak dahulu penduduk yang tinggal di dekat pantai berhubungan dengan
terumbu karang dalam kondisi yang harmonis. Namun dalam beberapa waktu terakhir ini,
melalui adanya teknologi baru

dan

naiknya

permintaan

terhadap

produksi

laut

menyebabkan terumbu karang menjadi obyek dari perusakan yang serius. Ekosistem
terumbu karang sangat rentan terhadap perubahan yang terjadi di lingkungan sekitarnya
termasuk gangguan yang berasal dari kegiatan manusia dan pemulihannya memerlukan
waktu yang lama. Menurut Burke et all (2002) bahwa Terdapat beberapa penyebab kerusakan
terumbu karang yaitu : (1) Pembangunan di wilayah pesisir yang tidak dikelola dengan baik;
(2) Aktivitas dilaut antara lain dari kapal dan pelabuhan termasuk akibat langsung dari
pelemparan jangkar kapal; (3) Penebangan hutan dan perubahan tata guna lahan yang
menyebabkan peningkatan sedimentasi; (4) Penangkapan ikan secara berlebihan memberikan
dampak terhadap keseimbangan yang harmonis di dalam ekosistem terumbu karang; (5)
Penangkapan ikan dengan menggunakan racun dan bom; dan (6) Perubahan iklim global.

2.7 Permasalahan Pengelolaan Terumbu Karang


Berdasarkan fungsi terumbu karang maka keberadaan terumbu karang dapat
dimanfaatkan baik secara langsung maupun tidak langsung, yakni sebagai tempat
penangkapan biota laut konsumsi dan biota hias, sebagai bahan konstruksi bangunan dan
pembuatan kapur, sebagai bahan perhiasan dan sebagai bahan baku farmasi. Berbagai
penelitian dan pengamatan terhadap pemanfaatan sumberdaya terumbu karang menunjukkan
bahwa secara umum terjadinya degradasi terumbu karang ditimbulkan oleh dua penyebab

14

utama, yaitu akibat kegiatan manusia ( anthrophogenic causes ) dan akibat alam ( natural
causes ).
Kegiatan manusia yang menyebabkan terjadinya degradasi terumbu karang antara
lain: (1) Penambangan dan pengambilan karang, (2) Penangkapan ikan dengan menggunakan
alat dan metoda yang merusak, (3) Penangkapan yang berlebih, (4) Pencemaran perairan, (5)
Kegiatan pembangunan di wilayah pesisir, dan (6) Kegiatan pembangunan di wilayah hulu
(Gambar 3). Sedangkan degradasi terumbu karang yang diakibatkan oleh alam antara lain:
pemanasan global ( global warming ), bencana alam seperti angin taufan ( storm ), gempa
teknonik ( earth quake ), banjir ( floods ) dan tsunami serta fenomena alam lainnya seperti ElNino , La-Nina dan lain sebagainya.

Gambar 4. Beberapa Bentuk eksploitasi yang sangat merusak

Menurut Dahuri (2003), masalah yang mendasar dalam pengelolaan kawasan


konservasi laut adalah (1) batasan hukum kawasan konservasi; (2) perusakan habitat; (3)
penangkapan yang berlebihan terhadap sumberdaya hayati; (4) polusi dan sedimentasi; (5)
kurangnya fasilitas dan infrastruktur; (6) lemahnya keikutsertaan dan kesadaran masyarakat
lokal; (7) rendahnya keahlian SDM yang ada; dan (8) lemahnya komitmen politik.
Meningkatnya pengertian, kerjasama dan perasaan memiliki dalam komunitas setempat
adalah amat penting. Sementara ketidakpastian tentang dampak nyata dari kerusakan terumbu
karang terus berlangsung. Menurut Westmacott et al (2000) bahwa langkah-langkah
pencegahan yang dapat dilakukan terhadap kerusakan terumbu karang adalah dengan
memberikan pengertian khusus bagi kebijakankebijakan sebagai berikut: (1) Mendirikan zona
dilarang memancing dan pembatasan alat perikanan, (2) mempertimbangkan ukuran
perlindungan tertentu untuk ikan pemakan alga dan ikan pemakan karang, (3)
memberlakukan peraturan yang melarang praktek penangkapan ikan yang merusak, (4)
memonitor komposisi dan ukuran penangkapan, (5) mengembangkan mata pencaharian bagi
15

komunitas nelayan (bila diperlukan), (6) membatasi masuknya nelayan baru kedaerah
penangkapan dengan sistem pemberian ijin, dan (7) mengatur pengambilan biota-biota
terumbu karang untuk akuarium dan cinderamata.
Menurut Dahuri (2000) bahwa beberapa pedoman dalam meminimalkan usaha untuk
pemeliharaan dan kelangsungan hidup terumbu karang, yaitu :
1. Mencari berbagai sumber alternatif bahan konstruksi dan bahan kalsium karbonat (bahan
kapur dan semen) untuk mencegah penambangan dan kehilangan sumber daya alam yang
tidak dapat diperbaharui.
2. Jangan melakukan pengerukkan atau aktifitas lainnya yang menyebabkan teraduknya
sedimentasi dan membuat air keruh dan hindarkan pencemaran & peningkatan nutrien serta
perubahan salinitas dan suhu air yang melampaui ambang batas untuk areal terumbu karang.
3. Hentikan penggunaan bahan peledak dan bahan beracun sebagai alat tangkap ikan dan
tetapkan batas maksimum pemanfaatan tahunan bahan-bahan karang dan spesies yang
berasosiasi dengannya seperti ikan & kerang-kerangan.
4. Melakukan pemantauan ekosistem terumbu karang dan kontrol kegiatan pariwisata dengan
memberi wawasan bahwa terumbu karang merupakan aset yang tidak dapat dinilai dengan
uang.
5. Menyadarkan masyarakat pengguna tentang pentingnya ekosistem terumbu karang dan
bahaya yang mengancam kelestariannya serta mengikutsertakan masyarakat pengguna dalam
pengelolaannya dan melakukan rehabilitasi terhadap terumbu karang yang telah mengalami
kerusakan dengan transplantasi.

2.8 Metode LIT (Line Intercept Transect)


LIT merupakan metode yang paling sering digunakan, ditujukan untuk menentukan
komunitas bentik sesil di terumbu karang berdasarkan bentuk pertumbuhan dalam satuan
persen, dan mencatat jumlah biota bentik yang ada sepanjang garis transek. Komunitas
dicirikan dengan menggunakan kategori lifeform yang memberikan gambaran deskriptif
morfologi komunitas karang. LIT juga digunakan untuk melakukan memonitor kondisi
terumbu karang secara detail dengan pembuatan garis transek permanen (English et al., 1994)
atau COREMAP.
Metode ini memerlukan dua tingkatan kemampuan dari pencatat data. Pertama,
kemampuan pencatat data untuk mengenal biota laut dan bentuk pertumbuhannya. Kedua,
pencatat data harus mampu mengidentifikasi biota hingga taksa genera atau spesies. Metode
ini dilakukan dengan melakukan penyelaman SCUBA atau snorkling. Sebelum melaksanakan
16

metode LIT, dapat didahului dengan manta tow untuk memberi gambaran umum kondisi
lokasi studi. Pada tiap lokasi, minimum pengamatan dilakukan pada 2 kedalaman yaitu 3 dan
10 meter. Prosedur kerja untuk LIT adalah sebagai berikut;

Pengamat terdiri atas minimal dua orang; satu orang bertugas untuk membuat transek
sedangkan yang lainnya bertugas untuk mencatat kategori lifeform karang yang
dijumpai.

Transek dibuat pada dua kedalaman (3 dan 10 meter). panjang transek adalah 20
meter dengan minimum 3 kali replikasi. Garis transek dibuat dengan membentangkan
roll meter yang memiliki skala sentimeter (cm).

Pengamat harus menguasai dan mengenal tipe-tipe bentuk pertumbuhan karang, baik
karang hidup maupun biota lainnya.

Pengamat berenang dari titik nol hingga titik 20 meter mengikuti garis transek yang
telah dibuat dan mencatat semua lifeform karang pada area yang dilalui oleh garis
transek. Setiap life form harus dicatat lebarnya (hingga skala centimeter). Kategori
lifeform dapat mengacu pada AIMS (English et al., 1994) atau COREMAP.

Gambar 5. Model Pencatatan data lifeform karang

Bila memungkinkan, pengamat juga dapat mengidentifikasi jenis karang yang diamati
minimal hingga taksa genus.

17

Gambar 6. Model pecatatan Lifeform karang

18

III. METODOLOGI PELAKSANAAN


3.1 Waktu Pelaksanaan
Praktek kerja dilaksanakan di Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Tapanuli
Tengah beralamat di Jl. Oswald Siahaan, Pandan Kabupaten Tapanuli Tengah. Kegiatan ini
dilaksanakan mulai tanggal 03 Agustus 18 Agustus 2015.

3.2 Prosedur Pelaksanaan


1. Jenis Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian diperoleh dari data ; (a) data primer, (b)
data sekunder. Data primer yaitu langsung dikumpulkan dari sumber utamanya, sedangkan
data sekunder yaitu data yang dikumpulkan melalui lembaga atau instansi terkait. Data
sekunder telah tersusun (terkodifikasi) dalam dokumen-dokumen (hadi, 2005). Sumber data
utama dalam penelitian ini adalah informasi aktual, dan tindakan selebihnya adalah data
tambahan seperti dokumen dan lain-lain. Hasil pendataan survey yang diamati atau
diwawancarai merupakan sumber data utama. Sumber data utama dicatat melalui catatan
tertulis .Sumber data tambahan yang berasal dari sumber tertulis dapat dibagi atas sumber
buku dan majalah ilmiah, sumber dari arsip, dokumen pribadi, dan dokumen resmi. Sumber
data yang berasal dari foto menghasilkan data deskriptif yang cukup berharga dan sering
digunakan untuk menelaah segi-segi subjektif dan hasilnya sering dianalisis secara induktif.
2. Program Utama
Program utama yang dilaksanakan dalam kegiatan praktek kerja lapangan ini adalah
sebagai berikut :

Pengenalan mengenai prodsedur kerja di Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten


Tapanuli Tengah.

Pengamatan lokasi di desa Jago-jago Kecamatan Badiri Kabupaten Tapanuli Tengah.

Mengetahui potensial wilayah pesisir di kabupaten Tapanuli Tengah khususnya di


Desa Jago-jago Kecamatan Badiri.

Melihat dan mengetahui sejauh mana pengaruh pengetahuan masyarakat akan


terumbu karang.

Identifikasi genera karang Desa Jago-jago Kecamatan Badiri


a. Mempelajari bentuk pertumbuhan karang
b. Mempelajari bentuk koralit karang
19

c. Melakukan identifikasi genus karang

Gambar 7. (a) Peta Desa Jago-jago Kecamatan Badiri

20

IV. HASIL PELAKSANAAN

4.1 Profil Desa Jago-jago


4.1.1 Keadaan Geografis
Desa Jago-jago, secara administratif termasuk dalam wilayah kecamatan badiri, yang
terletak pada bagian barat kecamatan. Tiga sungai mengalir di wilayah desa ini, yang
semuannya bermuara ke pantai Desa Jago-jago, Teluk Sibolga dan Lautan Indonesia. Letak
desa ini di sekitar garis katulistiwa, yaitu antara 1032 LU 1037 LU dan 9804730 BT
9805306 BT, dimana iklim tropis yang kuat mempengaruhinya. Kondisi ini berdampak
terhadap pola pemanfaatan sumber daya alam yang ada di daerah ini (Sunarti & Djohan, 2007
dalam Daliyo & Ngadi 2007).
Letak Desa Jago-jago dengan ibu kota Kecamatan Badiri, yakni Desa Lopian, tidak
jauh (sekitar 5 kilometer) dan mudah dicapai menggunakan kendaraan bermotor seperti becak
motor. Batasan wilayah Desa Jago-jago sebagian besar berbatasan dengan laut lepas yang
berbatasan langsung dengan kawasan perairan Kepulauan Nias. Sedangkan batas darat, yaitu
sebelah utara berbatasan dengan Desa Aek Horsik, sebelah timur dengan Desa Hutabalang,
sebelah selatan dengan Desa Lumut dan Desa Sitardas, dan sebelah barat dengan Teluk
Tapanuli. Luas wilayah Desa Jago-jago adalah sekitar 22,8 kilometer persegi, yakni sekitar
11% dari total wilayah Kecamatan Badiri, yang memanjang dari arah timur ke barat (Daliyo
& Ngadi 2007 dalam Sunarti & Djohan, 2007).

4.1.2 Keadaan Iklim


Letak Desa Jago-jago tepat di garis katulistiwa sehingga dipengaruhi oleh iklim
tropis. Dalam satu tahun tiga musil melintasi kawasan ini, yakni musim angin timur, angin
barat dan angin pancaroba (peralihan). Musim angin timur antara bulan Desember hingga
Maret yang ditandai dengan ombak berika dan curah hujan rendah. Musim ini merupakan
musim paling menyenangkan bagi masyarakat pantai, khususnya nelayan, karena banyak ikan
dan dapat melaut setiap hari. Musim angin barat terjadi antara bulan Juni hingga September
dengan ciri-ciri ombak besarm angin kencang, dan sering terjadi badai. Pada musim ini, ikan
di sekitar teluk Sibolga berkurang dan situasi alamnya sangat ditakuti nelayan. Musim
pancaroba (peralihan) merupakan musim peralihan dari musim angin barat ke musim angin
timur yang terjadi dua kali dalam satu tahun, yakni antara bulan Oktober November dan
bilan April hingga Mei.

21

4.1.3 Kondisi Umum Lingkungan Darat


Lahan perkebunan yang merupakan lahan terluas di Desa Jago-jago dan ditumbuhi
tanaman keras seperti kelapa, sait dan karet, sebagian kecil di tanami tanaman ubi kayu.
Sungai Lumut, sungai Badiri dan sungai Aek Lobu merupakan sungai yang mengalir di desa
ini. Umumnya sungai dimanfaatkan untuk transportasi penyebrangan. Tipe aliran sungainya
adalah turbulen sehingga terjadi pengadukan dasar sungai yang mengakibatkan sungai
menjadi keruh.

4.1.4 Aspek Sosial Demografi (Kependudukan)


Jumlah penduduk desa jago-jago pada saat pengambilan data berjumlah 968 orang,
terdiri dari 584 orang laki-laki dan 384 orang perempuan (berdasarkan survei yang dilakukan
pada tahun 2011). Tingkat heterogenitas penduduk berdsarkan suku di desa Jago-jago cukup
tinggi, hal ini ditandai dengan adanya suku Batak (52%), Minang (47,5%), dan selebihnya
suku Nias sebagai pendatang. Mengingat bahwa desa ini merupakan desa pesisir, maka
bahasa yang digunakan adalah bahasa Melayu pesisir.
Mayoritas penduduk beragama Islam yaitu sekitar 99,48% dan 0,52% beragama
Kristen Protestan. Secara umum kehidupan antar umat beragama di desa ini terjalin dengan
baik. Tingkat kesadaran masyarakat akan kesehatan lingkungan masih rendah. Berdasarkan
hasil wawancara dalam buku Merajut Harapan Bersama Siumbu yang telah dilakukan,
mereka mengakui bahwa mereka membuang hajat dan sampah lainnya ke laut. Pembuangan
sampah yang melekat di terumbu karang dapat mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan
karang tersebut, dan akibatnya nanti akan mengakibatkan kematian pada terumbu karang.
Sebelum program COREMAP sampai ke desa ini, masyarakat masih membangun rumahnya
dari bahan batu karang, namun saait ini kegiatan itu tidak di lakukakan oleh masyarakat desa.

4.2 BME Reef Health (Monitoring Kesehatan Karang)


Meningkatnya tutupan karang hidup 2% oer tahun merupakan salah satu out put dari
Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang (COREMAP). Untuk melihat
pertumbuhan tutupan karang hidup dilaksanakan monitoring kesehatan karang di Daerah
Perlindungan Laut (DPL). Kegiatan ini dilaksanakan dengan metode Line Intersect Transect
(LIT) dengan melihat Live Coral, biotik dan abiotik serta alga yang ada di sekitar stasiun
transek permanen. Pertumbuhan karang dimulai dari awal survey (T0) sejak tahun 2007
hingga tahun 2011(T4). Keragaman jenis ikan indicator juga bagian dari survey ini. Dengan
kata lain kegiatan ini dilaksanakan untuk membeikan gambaran kesehatan terumbu karang di
22

sekitar Daerah Perlindungan Lau (DPL). Hasil dari survey di pergunakan sebagai data
informasi tentang kondisi kesehatan karang setiap tahunnya. Disamping itu dapat juga dilihat
hal-hal penyebab kerusakan karang. Dengan demikian kegiatan Monitoring Kesehatan karang
akan di uraikan dalam bentuk trend pada masing-masing daerah Perlindungan Laut (DPL) di
lokasi COREMAP II, Kabupaten Tapanuli Tengah.

Gambar 8. Peta Kabupaten Tapanuli Tengah


A. DPL Jago-jago
DPL Desa Jago-jago dengan nama Batu Badinding dengan luas 0,49 Km2. Terumbu
karang yang ada di Desa Jago-jago merupakan karang keras (hard coral) dari jenis
acropora dan karang lunak (soft coral). Pada umumnya terumbu karang di Desa Jagojago berada pada kedalaman 10-15 m merupakan karang tepi (freenging reef) juga
terdapat beberapa gosong di tengah perairan. Hasil survey monitoring kesehatan
terumbu karang menunjukan trend positif.

23

Diagram 1. Trend Persentse Biota dan Substrat di Desa Jago-jago Tahun 2007-2011
Dari diagram diatas (hasil survey BME reef Health COREMPAP) menggambarkan bahwa
persentase tutupan karang hidup (Live Coral) meningkat setiap tahunnya. Peningkatan blum
mencapai 2% per tahun masih bersekitar 1,2% per tahun sejak tahun 2008. Dapat dilihat juga
bahwa karang mati (dead coral) juga menurun sejak tahun 2007 hingga 2010. Dari hasil
pengamatan bahwa kerusakan terumbu karang di Desa Jago-jago pada umumnya disebabkan
oleh sedimentasi. Sedimentasi berasal dari sungai yang ada di sekitar Desa Jago-jago.
Nilai persentase penutupan karang hidup di daerah rataan terumbu sebesar 45,51%
yang termasuk dalam katagori sedang. Sedangkan nilai persentase nilai persentase penutupan
karang hidup di tubir sebesar 46,2 %. Pada daerah rataan terumbu mempunyai persentase
penutupan karang hidup lebih kecil dari pada persentase penutupan karang hidup di daerah
tubir. Hal ini dipengaruhi pada kondisi perairan dimana pada daerah rataan terumbu
pergerakan air yang lebih tenang yaitu 0,04 - 0,06 m/s. Sedangkan pada daerah tubir
memilki pergerakan air yang lebih besar yaitu 0,09 0,18 m/s dikarenakan kondisi angin
yang berhembus kencang yang juga menghasilkan gelombang ombak besar, namun
selanjutnya dapat diredam oleh jenis karang keras yang terdapat di tubir seperti jenis
Pocillopora sp. Menurut Nontji (1987), pertumbuhan karang karang juga akan lebih baik
24

didaerah berarus atau bergelombang dibandingkan dengan perairan yang tenang. Menurut
Gufron (2010), arus dapat membantu membersihkan terumbu dari endapan seperti
sedimen dan untuk mensuplai oksigen.
B. Pengetahuan masyarakat akan terumbu karang
Desa Jago-jago merupakan salah satu desa di Kabupaten Tapanuli Tengah yang
masuk dalam program COREMAP II (Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu
Karang) sejak tahun 2004 yang lalu. Tujuan kegiatan proyek COREMAP II antara lain adalah
terkelola nya daerah-daerah terumbu karang secara efektif dengan melibatkan partisipasi aktif
masyarakat. Untuk itu diperlukan informasi yang menggambarkan tentang keadaan fisik,
sosial ekonomi dan demografi penduduk lokasi COREMAP II yang menjadi sasaran
pelaksanaan proyek tersebut. Hamparan terumbu karang berada di bagian Tenggara Laut
Jago-jago. Umumnya masyarakat Desa Jago-jagosudah terbiasa dengan ekosistem terumbu
karang, dan biasanya mereka menyebutnya dengan karang. Adapun jenis karang yang mereka
ketahui ada di desa ini antara lain: karang jari dan karang pinggang.
Pengetahuan masyarakat Desa Jago-jago tentang terumbu karang sudah baik.
Sebagian besar masyarakat desa lokasi COREMAP ini sudah mengerti akan kegunaan
terumbu karang. Rata-rata mereka menjawab bahwa kegunaan dari terumbu karang adalah
sebagai tempat bertelur ikan, mencari makanan dan berkembang biaknya hewan laut
khususnya ikan. Tindakan yang paling merusak terumbu karang adalah menangkap ikan
dengan menggunakan air mas dan sianida, pemboman dan penambakan karang. Sejak
disosialisasikannya program COREMAP di desa ini, tindakan perusakan terumbu karang
tidak lagi terjadi dan masyarakat desa Jago-jago juga ikut ambil bagian mendukung program
pelestarian dan pemanfaatan terumbu karang di desa mereka.

C. pengelolaan Terumbu Karang


Sumberdaya Terumbu Karang memegang peranan penting dalam menopang
kehidupan masyarakat nelayan dan khususnya masyarakat pesisir. Isu permasalahan
ekosistem Terumbu Karang adalah adanya kecenderungan terjadinya degradasi sumber daya
akibat dari exploitasi sumberdaya yang bermuara dari pengrusahan hutan, mangrove, Padang
Lamun bahkan pengrusakan langsung terhadap Terumbu Karang itu sendiri. Degradasi ini
semakin diperparah dengan kurang perhatian pemerintah dalam pengelolaan kawasan
Terumbu Karang yang konsisten dan terintegrasi. Salah satu langkah ansipatif yang perlu
digalakkan adalah melibatkan langsung peranan masyarakat dalam menjaga, melindungi dan
25

mengelola kawasan Terumbu Karang di lingkungannya sendiri. Pemerintah daerah harus


mempelopori pengelolaan Terumbu Karang ini dengan mengerakkan dan mendukung
keterlibatan masyarakat dalam upaya pelestarian, pemanfaatan dan pengawasan Terumbu
Karang. Salah satu strategi adalah pembuatan peraturan desa yang berlaku untuk seluruh
wilayah pesisir yang berisikan tentang upaya, pemanfaatan dan pengawasan Terumbu
Karang. Oleh karena itu perlunya adanya pemberian pemahaman kepada masyarakat
khususnya nelayan dan umumnya masyarakat wilayah pesisir mengenai pentingnya
pengelolaan sumberdaya Terumbu Karang melalui kegiatan-kegiatan seperti sosialisasi,
seminar berbasis masyarakat, kesepakatan bersama dan aksi pengelolaan.

4.3 Identifikasi Genera Karang

Gambar 9. Identifikasi Genera Karang


Dari hasil gambar diatas diperoleh bahwa terdapat 3 genus karang yaitu :
1. Genus Platygra yang memiliki ciri-ciri yaitu : (a) bentuk koloni massive, (b)coralitnya
selalu meandroid tetapi seperti ceroid, dengan dinding relatif tebal. (c) Septa tipis

26

kolumella kecil di tengah (d) Bentuknya mirip goniastrea tetapi platygyra tidak
mempunyai pali.
2. Genus Echinopora yang memiliki ciri-ciri yaitu : (a) Bentuk koloni Massive, Laminar
(Lembaran Tipis datar) ,(b) koralit nya berbentuk plocoid dan kenampakannya terlihat
lebih besar.
3. Genus Acropora yang memiliki ciri- ciri yaitu : (a) Bentuk koloni bercabang; (b)
Bentuk koralit : axial dan radial; (c) Septa costae tampak jelas, dinding koralit
dipisahkan oleh coenesteum; (d) Terdapat lubang ditengah koralit (axial dan
radial) sebagai tempat hidup polip; (e) hanya satu satunya karang yang memiliki
bentuk koralit axial dan radial.

27

V. PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Dari hasil pelaksanaan Praktek Kerja Lapang ini, maka dapat disimpulkan sebagai
berikut :
1. BEM Reef Health (Monitoring Kesehatan Karang) merupakan salah satu Program
Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang (COREMAP) yang memberikan
gambaran kesehatan terumbu karang di sekitar Daerah Perlindungan Laut (DPL).
2. Nilai Persentase peningkatan tutupan karang hidup (live coral) masih berkisar 1,2% per
tahun dan mengalami peningkatan sejak tahun 2008. Dapat dilihat juga bahwa karang
mati (dead coral) mengalami penurunan sejak tahun 2007 hingga 2010. Selain itu karang
jenis Acropora mengalami peningkatan hingga tahun 2011 dan Non Acropora mengalami
penurunan drastis di tahun 2009 hingga tahun 2011.
3. Terdapat beberapa hal yang harus dipahami dalam mengidentifikasi tingkat genera
karang, diantaranya bentuk pertumbuhan karang, bentuk coralit, struktur rangka
(skeleton) karang.
4. Penyebab kerusakan terumbu karang yaitu : pertambahan penduduk, kemiskinan,
rendahnya pemahaman tentang penting menjaga kelestarian terumbu karang karena
kurangnya sosialisasi dan pembinaan, rendahnya kualitas SDM, lemahnya pengawasan
dan penegakan hukum, degradasi habitat di wilayah pesisir, pencemaran (sedimentasi),
belum optimalnya pemanfaatan jasa-jasa lingkungan sebagai sumber mata pencaharian
alterntif yang ramah lingkungan bagi masyarakat lokal.

5.2 Saran

28

DAFTAR PUSTAKA

Bengen DG, 2002. Sinopsis Ekosistem Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut serta Prinsip
Pengelolaannya. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian
Bogor (PKSPL-IPB).
Burke L,. Selig E,. Spalding M,. 2002 Terumbu Karang Yang Terancam Di Asia Tenggara
(Ringkasan untuk Indonesia). World Resources Institute.Amerika Serikat.

Cesar, HS.2000. Coral Reefs : Their functions, threats and economic value. Working Paper
Series Work in Progress World Bank. Washington DC
Coremap II. 2007. Pengenalan Karang Family Merulinidae. Buletin Coremap II Vol. 2.
ISSN : 1907-7416. Jakarta.
Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut.Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia.
Penerbit PT.Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
ENGLISH, S,. C. WILKINSON and V. BAKER 1997. Survey manual for tropical
marine resources.Second edition. AIMS, Townsville: 390pp.
Ghufron H. 2010. Ekosistem Terumbu Karang : Potensi, Fungsi dan Pengelolaan. Rineka
Cipta. 212 hlm. Jakarta
Nontji A. 2005. Laut Nusantara. Edisi Revisi. Penerbit Djambatan. Jakarta.
Nybakken J.W. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. (Terjemahan Alih Bahasa
oleh H.M Eidman. PT. Gramedia.Jakarta
Riyantini I. 2008. Pelestarian Ekosistem Terumbu Karang Sebagai Upaya Konservasi.
Makalah disajikan pada Ceramah Ilmiah "Padjadjaran Diving Club" FPIK. Bandung,
25 November 2008.
Rudianto, 2007. Keindahan yang belum terjaga. PT Bhaliekreasi Cikal Errilindo. Jakarta.
Suharsono. 1996.Jenis-jenis Karang Yang Umum Dijumpai Di Perairan Indonesia. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Oseanologi LIPI. Proyek Penelitian dan Pengembangan
Daerah Pantai. Jakarta.
29

Timotius, S. 2003. Karakteristik Terumbu Karang. Makalah Traning Course. Yayasan


Terumbu Karang Indonesia.
Westmacott S,. Teleki K,. Wells S,. dan West J,. 2000. Pengelolaan Terumbu Karang Yang
Telah Memutih dan Rusak Kritis. Diterjemahkan oleh Jan Hanning Steffen IUCN.
Gland, Switzerland and Cambridge. Inggris Information Press, Oxford.

30

LAMPIRAN

Pesisir Pantai Desa Jago-jago

Pesisir Pantai Desa Jago-jago

31

Substrat Dasar Perairan Desa Jago-jago

Substrat Dasar Perairan Desa Jago-jago

32

Substrat Dasar Perairan Desa Jago-jago

Substrat Dasar Perairan Desa Jago-jago

33

Persentase Tutupan Terumbu Karang

34

Anda mungkin juga menyukai