Anda di halaman 1dari 11

KONDISI EKONOMI MASA DEMOKRASI TERPIMPIN

Taufiq Firdaus Al Muzaky 20.30 2 comments

Dalam hal ini, untuk membahas dan menjelaskan kondisi perekonomian masa
pemerintahan Demokrasi Terpimpin kami membagi menjadi dua bagian. Bagian
pertama kami merasa perlu terlebih dahulu mengetahui dan memahami pemikiranpemikiran Soekarno mengenai ekonomi pada masa itu. Karena dari pemikiranpemikiran Soekarno inilah yang nantinya akan sangat mempengaruhi hal-hal yang
akan dibahas pada bagian kedua seperti landasan ekonomi dan langkah-langkah
pelaksanaan sistem ekonomi beserta kebijakan perekonomian masa Demokrasi
Terpimpin. Selanjutnya, pada bagian kedua kami akan menguraikan sistem
ekonomi beserta implementasi kebijakan ekonomi tersebut.

1. Pemikiran-pemikiran Soekarno
Membahas kondisi perekonomian masa Demokrasi Terpimpin, perlu terlebih
dahulu melihat pemikiran-pemikiran ekonomi yang berkembang pada masa itu.
Ini dikarenakan pemikiran ekonomi para tokoh secara otomatis akan sangat
mempengaruhi konsep serta implementasi kebijakan ekonomi yang nantinya di
diambil dan dijalankan pada masa tersebut. Dalam kesempatan kali ini kami akan
mengkaji kondisi ekonomi pada masa demokrasi terpimpin, menurut pemikiran
yang berkembang dari tokoh terkait yaitu Presiden Soekarno. Mengapa
Soekarno ? karena sebagai pemimpin demokrasi, Soekarno telah menjadi tokoh
yang paling berpengaruh pada masa pemerintahan Demokrasi Terpimpin.
Pemikiran-pemikiran Soekarno mengenai ekonomi pada masa itu, tertuang dalam
teks pidato-pidatonya yang kami rangkum dan akan kami uraikan sebagai
berikut :

Dalam pidato yang berjudul kembali ke Rel Revolusi (1959).


Soekarno menyatakan bahwa tujuan jangka pendek yang ingin ditempuh pada
masa Demokrasi Terpimpin ialah: program Kabinet Kerja yang dinilai amat
sederhana, meliputi fokus pada sandang-pangan, dan keamanan, kemudian
ditopang dengan melanjutkan perjuangan anti imperialisme, ditambah dengan
mempertahankan kepribadian bangsa di tengah-tengah tarikan-menarik ke kanan
dan ke kiri, (antara hagemoni sosialis-liberalis) yang sedang berjalan dalam
pergolakan dunia menuju kepada satu kekuatan baru.

Dan tujuan jangka panjang, ialah: menciptakan masyarakat yang adil dan makmur,
melenyapkan imperialisme di mana-mana, dan mencapai dasar-dasar bagi
perdamaian dunia yang kekal dan abadi. Maka untuk menanggulangi segala
masalah-masalah berhubungan dengan tujuan-tujuan jangka pendek dan jangka
panjang tersebut, Soekarno menyatakan kita tidak dapat mempergunakan sistem
yang sudah-sudah dan alat-alat (tools) yang sudah-sudah. Sistem liberalisme harus
dibuang jauh-jauh, demokrasi terpimpin dan ekonomi terpimpin harus
ditempatkan sebagai gantinya. Susunan peralatan yang dulu ternyata tak efisien,
harus dibongkar, dan diganti dengan susunan peralatan yang baru. Ordening baru
dan herordening baru harus diadakan, agar demokrasi terpimpin dan ekonomi
terpimpin dapat berjalan. Menurut pemikiran Soekarno, inilah yang disebut
retooling for the future. Dalam hal retooling di bidang ekonomi, perlu diadakan
retooling alat-alat produksi dan alat-alat distribusi.
Alat-alat produksi dan alat-alat distribusi semuanya harus di-retool dan semuanya
harus direoganisasi, harus berpedoman ke arah pelaksanaan Pasal 33 Undangundang 1945 dengan mempergunakan relnya demokrasi terpimpin. Selama kita
mempunyai beberapa badan yang diserahi oleh negara untuk mengurus dan
mengembangkan beberapa bidang produksi dan distribusi, tetapi bukan produksi
dan distribusi itu menjadi teratur-beres dan berkembang, tetapi badan-badan itu
menjadi sarangnya orang-orang yang mamadet-madet kan isi kantungnya sendiri,
orang-orang yang menjadi kaya-raya, orang yang menjadi milyuner!
Daar moet een eind aan komen! Soekarno berpendapat keadaan yang demikian itu
harus diubah! Dan bukan saja badan-badan itu harus di-retool, tetapi juga semua
alat-alat vital dalam produksi dan semua alat-alat vital dalam distribusi harus
dikuasai atau sedikitnya diawasi oleh pemerintah. Tidak boleh lagi terjadi, alatalat vital tidak dikuasai atau tidak diawasi Pemerintah, yang menyebabkan
beberapa gelintir spekulan atau beberapa gelintir profiteur dapat mengguncangkan
seluruh ekonomi nasional, dan mengkucar-kacirkan seluruh kebutuhan Rakyat.
Disini terlihat jelas Soekarno menginginkan Demokrasi Terpimpinnya di iringi
dengan semangat perjuangan revolusi yang anti imperialisme dan disertai
retooling alat produksi dan alat distribusi agar pemerintah leluasa untuk
menguasai dan mengawasi seluruh alat-alat vital milik Negara demi
perekonomian nasional yang stabil.

Dalam pidato yang berjudul Bangsa yang Dihormati dan Dikagumi (1962).

Soekarno menyatakan, dengan selesainya soal keamanan, dan dengan selesainya


soal Irian Barat, maka modal pemerintah untuk memecahkan ekonomi akan sangat
bertambah. Dulu pernah Soekarno mengatakan, bahwa untuk menyelesaikan tugas
keamanan saja, 50 persen dari seluruh kegiatan nasional dicurahkan kepada itu,
dan kemudian, ditambah dengan tugas TRIKORA, jumlah ini menjadi lebih besar
lagi! Hampir-hampir tiga peremat dari kegiatan nasional negara, digunakan untuk
menyelesaikan keamanan dan menjalankan Trikora itu. Jelasnya lebih dari 70
persen dari Kegiatan Nasional negara, ditumplekkan ke arah itu! Lebih dari 70
persen!. Soekarno mencoba meyakinkan, bahwa inilah salah satu penyebab
terbesar yang membawa kesulitan dalam kehidupan ekonomi. Dalam hal ini
Soekarno memberi penjelasan sekaligus meminta pengertian dari para hadirin
pada saat itu, bahwa dengan ditumplekkannya lebih daripada 70 persen Kegiatan
Nasional itu, menyebabkan program Sandang-Pangan belum sama sekali
terlaksana dengan cara yang memuaskan.
Menurut Soekarno, duduk perkaranya, keamanan dan Irian Barat tidak bisa
tunggu satu hari lebih lama lagi, sedangkan soal Sandang Pangan bisa kita
pecahkan sambil berjalan, dan kedepannya akan lebih mudah, karena modal yang
tadinya kita pergunakan untuk memulihkan keamanan dan mengembalikan Irian
Barat itu, dapat dipergunakan untuk memecahkan persoalan-persoalan ekonomi.
Kecuali daripada itu, keadaan Sandang-Pangan toh masih boleh dikatakan
lumayan, mengingat bahwa kita melemparkan hampir tiga perempat dari Kegiatan
Nasional ke arah Keamanan dan Irian Barat itu?, mengingat bahwa kita ini
setengah-setengah dalam keadaan perang?, mengingat bahwa pembangunanpembangunan vital yang menelan ongkos milyar-milyar berjalan terus?,
mengingat bahwa kita tahun yang lalu dihamuk oleh kemarau yang maha hebat,
ditambah dengan hama baru yang bernama ganjur? Adakah orang Indonesia yang
mati kelaparan? Adakah orang Indonesia yang telanjang tidak berpakaian?.
Menurut kami, disini secara tersirat Soekarno berpandangan untuk lebih memilih
mendahulukan proses politik daripada proses ekonomi.

Dalam pidato yang berjudul Revolusi Berjalan Terus (1965).


Dengan semangat yang menggelora Soekarno berbicara dihadapan hadirin yang
ada. Bagaimana mengukur suatu revolusi dengan ukuran-ukuran revolusi? Segalasesuatu hendaknya diamati: untuk kesejahteraan umum, ya atau tidak? Pro bono
publico, inilah semboyan kita, artinya pro bono publico, untuk kesejahteraan
umum! Sekalipun ada yang secara pribadi dirugikan, sekalipun ada yang laba
perusahaannya berkurang, tapi asal pro bono publico, maka ia harus diterima.

Sebaliknya, walaupun ada yang ditambah mobil, tambah bungalow, tambah


koelkast, tambah air conditioner, walaupun ada yang menyekolahkan anaknya ke
Eropa atau ke jabalkat sekalipun, tapi tidak pro bono publico, maka ia harus
ditolak. Kecuali kecuali, kataku jika orang sudah menjadi orang asing di tanah
air sendiri, atau sudah menjadi orang pribumi di negeri asing! Ya, kecuali jika
orang sudah cidera, sudah durhaka, sudah khianat terhadap urusan revolusi!.
Selanjutnya, Soekarno berargumen kita perlu melihat kepada kaum buruh dan
kaum tani, karena mereka dapat dianggap sebagai sokoguru-sokoguru revolusi
kita. Mereka memang pantas, pantas, tepat disebut sokoguru revolusi. Mereka
bekerja, mereka menghasilkan, mereka berproduksi, tanpa mengeluh dan tanpa
banyak cincong. Mereka mempunyai tuntutan-tuntutan mereka sudah barang
tentu tetapi tuntutan-tuntutan itu biasanya masuk akal. Kalau kaum buruh ingin
supaya upahnya bisa naik sedikit untuk pembeli buku sekolah untuk anaknya,
apakah itu tidak masuk akal? Kalau kaum tani menghasratkan tanah, tanah
senyari bumi, apakah itu tidak masuk akal? Soekarno teringat kepada senimanseniman ludruk Marhaen yang mengatakan Ia kalau punya pacul tapi ndak punya
tanah, ke mana pacul itu mesti dipaculkan! Tetapi ada di antara kita yang ndorondoroan, yang main tuan besar, yang mengira dirinya eigenaar revolusi, mengira
dirinya presdir republik, lalu maunya bukan dia berkurban buat republik, tapi
republik berkurban buat dirinya!... orang-orang semacam ini, Pervenuparvenu,
charlatan-charlatan, profitor-profitor macam ini ada baiknya kita promovir
menjadi penghuni bui Nusakambangan.
Soekarno selalu mengatakan bahwa perjuangan kelas harus ditundukkan kepada
perjuangan nasional. Dan Soekarno merasa gembira bahwa jeritannya itu
dipahami oleh sebagian besar rakyat. Di sisi lain, Soekarno juga memperingatkan,
kalau koruptor-koruptor dan pencoleng-pencoleng kekayaan negara meneruskan
operasi mereka yang sesungguhnya antirepublik dan antirakyat itu, maka jangan
kaget jika pada satu waktu perjuangan antargolongan berkobar dan membakari
kemewahan hidup kaum koruptor dan pencoleng itu.

Sekadar tambahan :
Menurut Herbert Feith dan Lance Castles dalam buku Pemikiran politik Indonesia
1945-1965, dijelaskan bahwa dengan keberhasilan pemerintahan Presiden
Sukarno membebaskan Irian Barat pada bulan Agustus 1962, maka timbulah
tekanan dari berbagai kelompok, di luar maupun di dalam negeri, agar pemerintah
memusatkan perhatiannya pada masalah ekonomi yang sudah menjadi demikian
peliknya. Akan tetapi kebijakan ekonomi yang mana yang akan dipilih? Pemilihan

kebijakan inilah yang membawa pemerintah pada semacam persimpangan jalan.


Pada bulan Mei 1963 Menteri Pertama, Djuanda, mengeluarkan serangkaian
peraturan untuk mengurangi subsidi dan memangkas pengeluaran pemerintah. Ini
perlu dilihat dalam konteks terjadinya perundingan International Monetary Fund
(IMF) dan beberapa negara Barat yang menjanjikan memberikan pinjaman pada
Indonesia apabila pemerintah mengambil langkah-langkah reformasi yang mereka
anjurkan. Dikeluarkannya peraturan-peraturan Djuanda itu memadai bahwa para
pendukung kebijakan ekonomi yang berhaluan kanan dan pro-Barat mendapat
angin. Namun tantangan terhadap peraturan Mei itu pun sangat gencar, dan
Presiden Sukarno sendiri tidak pernah merestuinya secara penuh.
Dalam waktu empat bulan sesudahnya, konflik kanan-kiri menjadi panas sekali.
Pertentangan mengenai peraturan Mei ini jalin menjalin dengan perbedaan sikap
mengenai bagaiamana Indonesia harus menanggapi usulan pembentukan negara
baru Malaysia. Presiden Sukarno pernah menyatakan sikap konfrontasi terhadap
proyek yang diprakarsai Inggris ini, yang bertujuan mempersatukan Malaya,
Singapura, Serawak, Sabah dan Brunei. Namun demikian tampaknya ia tertarik
oleh sebuah gagasan Filipina yang didukung pulah oleh Amerika Serikat, yakni
MA-PHIL-INDO, suatu aliansi tiga Negara Malaysia, Filipina dan Indonesia, di
mana Indonesia akan menerima keberadaan negara baru Malayasia. Seandainya
gagas itu diterima, maka hal itu akan merupakan kemenangan kekuatan kanan di
Indonesia, dan kekuatan itu mungkin sekali akan memperoleh jalan pula bagi
dilaksanakannya kebijakan di bidang ekonomi.
Namun sekali lagi, seperti halnya pada tanggal 17 Oktober 1952, Presiden
Sukarno mengambil kebutuhan penting yang menguntungkan golongan Kiri. Pada
tanggal 15 September pemerintah memutuskan bahwa ia akan menahan diri
dalam hal pengakuan terhadap Malaysia apabila kelahirannnya diumumkan pada
esok hari. Pada tanggal 18 September kedutaan Inggris di Jakarta dibakar oleh
sekolompok pemuda, dan banyak rumah-rumah orang Inggris di Jakarta dirampok
dan dibakar. Pada tanggal 21 September pemerintah mengambil keputusan untuk
memutuskan semua hubungan dengan Malaya dan Singapura. Beberapa hari
kemudian IMF menegaskan bahwa paket pinjaman yang direncanakan, tidak akan
diberikan kepada Indonesia.
Pada akhir September 1963 transisi dari Demokrasi Terpimpin Awal ke
Demokrasi Terpimpin Akhir telah selesai. Selama dua tahun berikutnya proses
kemerosotan ekonomi semakin lama semakin cepat. Agitasi anti-imperialis
semakin lama semakin tinggi nadanya. Yang terpokok, masyarakat Indonesia
semakin lama semakin dikuasai polarisasi kanan-kiri yang akhirnya mencapai
puncaknya pada tanggal 1 Oktober 1965.

2. Sistem Ekonomi beserta Implementasi Kebijakan Ekonomi


Sampai saat ditetapkannya Dekrit Presiden, dapat dikatakan bahwa keadaan
ekonomi Indonesia pada saat itu sangat suram, hal tersebut disebabkan oleh
kekacauan politik pada masa demokrasi liberal sehingga masalah ekonomi tidak
ditangani secara serius, ditambah lagi tindakan ekonomi salah urus terhadap
perusahaan-perusahaan asing, sehingga menambah beban di bidang ekonomi, dan
di perparah dengan adanya pemberontakan-pemberontakan daerah seperti PRRIPermesta sehingga menghambat pendapatan negara.
Sebagai akibat dari dekrit presiden 5 Juli 1959, maka Indonesia menjalankan
sistem demokrasi terpimpin dan struktur ekonomi Indonesia menjurus pada sistem
etatisme (segala-galanya diatur oleh pemerintah). Dengan sistem ini, diharapkan
akan membawa pada kemakmuran bersama dan persamaan dalam sosial, politik,
dan ekonomi (Mazhab Sosialisme). Akan tetapi, kebijakan-kebijakan ekonomi
yang diambil pemerintah di masa ini belum mampu memperbaiki keadaan
ekonomi Indonesia.

Sistem Ekonomi Terpimpin


Seiring dengan perubahan politik menuju demokrasi terpimpin maka ekonomipun
mengikuti ekonomi terpimpin. Sehingga ekonomi terpimpin merupakan bagian
dari demokrasi terpimpin. Dimana semua aktivitas ekonomi disentralisasikan di
pusat pemerintahan sementara daerah merupakan kepanjangan dari pusat.
Langkah yang ditempuh pemerintah untuk memperbaiki kondisi ekonomi negara
serta menunjang pembangunan ekonomi adalah sebagai berikut :
1) Devaluasi.
Pada tanggal 25 Agustus 1959 pemerintah mengumumkan keputusannya
mengenai penuruan nilai uang (devaluasi), yaitu pendevaluasian mata uang Rp
1.000,00 dan Rp 500,00 menjadi Rp 100,00 dan Rp 50,00. Mata uang pecahan Rp
100,00 ke bawah tidak didevaluasi. Tujuan dilakukan Devaluasi yaitu guna
membendung inflasi yang tetap tinggi, dan untuk mengurangi jumlah uang yang
beredar di masyarakat, serta agar dapat meningkatkan nilai rupiah sehingga rakyat
kecil tidak dirugikan.
Selain itu dibelakukannya pembekuan terhadap semua simpanan di bank yang
melebihi jumlah Rp 25.000,00. Namun, tindakan itu tidak dapat mengatasi
kemunduran ekonomi, sehingga pada tanggal 28 Maret 1963 Presiden Soekarno

menyampaikan Deklarasi Ekonomi yang ternyata tidak berhasil juga.


Pembentukan Deklarasi Ekonomi (Dekon) untuk mencapai tahap ekonomi sosialis
Indonesia dengan cara terpimpin. Dalam pelaksanaannya justru mengakibatkan
stagnasi bagi perekonomian Indonesia. Bahkan pada 1961-1962 harga barangbarang naik 400%.
Devaluasi juga dilakukan pada 13 Desember 1965 menjadikan uang senilai Rp
1000 menjadi Rp 1. Sehingga uang rupiah baru mestinya dihargai 1000 kali lipat
uang rupiah lama, tapi di masyarakat uang rupiah baru hanya dihargai 10 kali lipat
lebih tinggi. Maka tindakan pemerintah untuk menekan angka inflasi ini malah
meningkatkan angka inflasi.

2) Pembentukan Front Nasional.


Front Nasional dibentuk berdasarkan Penetapan Presiden No.13 Tahun 1959.
Front Nasional merupakan sebuah organisasi massa yang memperjuangkan citacita proklamasi dan cita-cita yang terkandung dalam UUD 1945. Tujuannya
adalah menyatukan segala bentuk potensi nasional menjadi kekuatan untuk
menyukseskan pembangunan. Front Nasional dipimpin oleh Presiden Sukarno
sendiri. Tugas front nasional adalah sebagai berikut :
Menyelesaikan Revolusi Nasional, melaksanakan pembangunan, dan
mengembalikan Irian Barat.
3) Pembentukan Kabinet Kerja.
Tanggal 9 Juli 1959, presiden membentuk kabinet Kerja. Sebagai wakil presiden
diangkatlah Ir. Juanda. Hingga tahun 1964 Kabinet Kerja mengalami tiga kali
perombakan (reshuffle). Program kabinet ini adalah sebagai berikut, mencukupi
kebutuhan sandang pangan, menciptakan keamanan negara, dan berjuang
mengembalikan Irian Barat.
4) Pembentukan Badan Perancang Pembangunan Nasional (Bappenas).
Untuk melaksanakan pembangunan ekonomi di bawah Kabinet Karya maka
dibentuklah Dewan Perancang Nasional (Depernas) pada tanggal 15 Agustus 1959
dipimpin oleh Moh. Yamin dengan anggota berjumlah 50 orang. Tugas Depernas :
Mempersiapkan rancangan Undang-undang Pembangunan Nasional yang
berencana dan Menilai Penyelenggaraan Pembangunan. Hasil yang dicapai, dalam
waktu 1 tahun Depernas berhasil menyusun Rancangan Dasar Undang-undang

Pembangunan Nasional Sementara Berencana tahapan tahun 1961-1969 yang


disetujui oleh MPRS.
Mengenai masalah pembangunan terutama mengenai perencanaan dan
pembangunan proyek besar dalam bidang industri dan prasarana tidak dapat
berjalan dengan lancar sesuai harapan. 1963 Dewan Perancang Nasional
(Depernas) diganti dengan nama Badan Perancang Pembangunan Nasional
(Bappenas) yang dipimpin oleh Presiden Sukarno. Tugas Bappenas adalah
menyusun rencana jangka panjang dan rencana tahuanan, baik nasional maupun
daerah, mengawasi dan menilai pelaksanaan pembangunan, menyiapkan serta
menilai hasil kerja mandataris untuk MPRS.
5) Deklarasi Ekonomi (Dekon)
Latar belakang dikeluarkan Deklarasi Ekonomi adalah karena berbagai peraturan
dikeluarkan pemerintah untuk merangsang ekspor (export drive) mengalami
kegagalan, misalnya Sistem Bukti Ekspor (SBE). Sulitnya memperoleh bantuan
modal dan tenaga dari luar negeri sehingga pembangunan yang direncanakan guna
meningkatkan taraf hidup rakyat tidak dapat terlaksana dengan baik. Sehingga
pada tanggal 28 Maret 1963 dikeluarkan landasan baru guna perbaikan ekonomi
secara menyeluruh yaitu Deklarasi Ekonomi (DEKON) dengan 14 peraturan
pokoknya.
Dekon dinyatakan sebagai strategi dasar ekonomi Terpimpin Indonesia yang
menjadi bagian dari strategi umum revolusi Indonesia. Strategi Dekon adalah
mensukseskan Pembangunan Sementara Berencana 8 tahun yang polanya telah
diserahkan oleh Bappenas tanggal 13 Agustus 1960. Pemerintah Indonesia
menyatakan bahwa sistem ekonomi Indonesia adalah Berdikari yaitu berdiri diatas
kaki sendiri. Tujuan utama dibentuk Dekon adalah untuk menciptakan ekonomi
yang bersifat nasional, demokratis, dan bebas dari sisa-sisa imperialisme untuk
mencapai tahap ekonomi sosialis Indonesia dengan cara terpimpin.
Dalam tahap pelaksanaannya, peraturan tersebut tidak mampu mengatasi kesulitan
ekonomi dan masalah inflasi, Dekon mengakibatkan stagnasi bagi perekonomian
Indonesia, kesulitan-kesulitan ekonomi semakin mencolok, tampak dengan
adanya kenaikan harga barang mencapai 400 % pada tahun 1961-1962,
mengakibatkan beban hidup rakyat semakin berat.
Kegagalan Peraturan Pemerintah disebabkan karena tidak terwujudnya pinjaman
dari International Monetary Fund (IMF) sebesar US$ 400 juta, adanya masalah
ekonomi yang muncul karena pemutusan hubungan dengan Singapura dan

Malaysia dalam rangka Dwikora, politik konfrontasi dengan Malaysia dan negara
barat semakin memperparah kemerosotan ekonomi Indonesia.
6) Kenaikan laju inflasi
Latar Belakang meningkatnya laju inflasi yaitu penghasilan negara berupa devisa
dan penghasilan lainnya mengalami kemerosotan, nilai mata uang rupiah
mengalami kemerosotan, anggaran belanja mengalami defisit yang semakin besar,
pinjaman luar negeri tidak mampu mengatasi masalah yang ada, upaya likuidasi
semua sektor pemerintah maupun swasta guna penghematan dan pengawasan
terhadap pelaksanaan anggaran belanja tidak berhasil, penertiban administrasi dan
manajemen perusahaan guna mencapai keseimbangan keuangan tak memberikan
banyak pengaruh, penyaluran kredit baru pada usaha-usaha yang dianggap penting
bagi kesejahteraan rakyat dan pembangunan mengalami kegagalan.
Kegagalan-kegagalan tersebut disebabkan karena pemerintah tidak mempunyai
kemauan politik untuk menahan diri dalam melakukan pengeluaran, diperparah
dengan tindakan pemerintah yang menyelenggarakan proyek-proyek mercusuar
seperti GANEFO (Games of the New Emerging Forces ) dan CONEFO
(Conference of the New Emerging Forces) yang memaksa pemerintah untuk
memperbesar pengeluarannya pada setiap tahunnya.
Dampak yang ditimbulkan yaitu inflasi semakin bertambah tinggi, harga-harga
semakin bertambah tinggi, kehidupan masyarakat semakin terjepit, Indonesia pada
tahun 1961 secara terus menerus harus membiayai kekurangan neraca pembayaran
dari cadangan emas dan devisa, ekspor semakin buruk dan pembatasan Impor
karena lemahnya devisa, pada tahun 1965 cadangan emas dan devisa telah habis
bahkan menunjukkan saldo negatif sebesar US$ 3 juta sebagai dampak politik
konfrontasi dengan Malaysia dan negara-negara barat.
Kebijakan pemerintah dalam keadaan defisit negara yang semakin meningkat ini
diakhiri pemerintah dengan pencetakan uang baru tanpa perhitungan matang.
Sehingga menambah berat angka inflasi. Dampaknya dari kebijakan pemerintah
tersebut, uang rupiah baru yang seharusnya bernilai 1000 kali lipat uang rupiah
lama akan tetapi di masyarakat uang rupiah baru hanya dihargai sekitar 10 kali
lipat lebih tinggi dari uang rupiah baru, dan tindakan moneter pemerintah untuk
menekan angka inflasi malahan menyebabkan meningkatnya angka inflasi.
7) Meningkatkan Perdagangan dan Perkreditan Luar Negeri.
Pemerintah membangkitkan ekonomi agraris atau pertanian, sebab kurang lebih
80% penduduk Indonesia hidup dari bidang pertanian. Hasil pertanian tersebut

diekspor untuk memperoleh devisa yang selanjutnya digunakan untuk mengimpor


berbagai bahan baku/ barang konsumsi yang belum dihasilkan di Indonesia.
Jika Indonesia tidak mampu memperoleh keuntungan maka akan mencari bantuan
berupa kredit luar negeri guna memenuhi biaya import dan memenuhi kebutuhan
masyarakat di dalam negeri. Sehingga Indonesia mampu memeprbesar komoditi
ekspor, dari eksport tersebut maka akan digunakan untuk membayar utang luar
negeri dan untuk kepentingan dalam negeri. Dengan bantuan kredit tersebut
membuka jalan bagi perdagangan dari negara yang memberikan pinjaman kepada
Indonesia.
8) Pembentukan Komando Tertinggi Operasi Ekonomi (KOTOE) dan Kesatuan
Operasi (KESOP)
Dikeluarkan peraturan tanggal 17 April 1964 mengenai adanya Komando
Tertinggi Operasi Ekonomi (KOTOE) dan Kesatuan Operasi (KESOP) dalam
usaha perdagangan.
Selain itu diadakannya peleburan bank-bank Negara. Presiden berusaha
mempersatukan semua bank negara ke dalam satu bank sentral sehingga didirikan
Bank Tunggal Milik Negara berdasarkan Penpres No. 7 tahun 1965. Tugas bank
tersebut adalah sebagai bank sirkulasi, bank sentral, dan bank umum. Untuk
mewujudkan tujuan tersebut maka dilakukan peleburan bank-bank negara seperti
Bank Koperasi dan Nelayan (BKTN), Bank Umum Negara, Bank Tabungan
Negara, Bank Negara Indonesia ke dalam Bank Indonesia. Dibentuklah Bank
Negara Indonesia yang terbagi dalam beberapa unit dengan tugas dan pekerjaan
masing-masing. Tindakan itu menimbulkan spekulasi dan penyelewengan dalam
penggunaan uang negara sebab tidak ada lembaga pengawas.
Kegagalan pemerintah dalam menanggung masalah ekonomi, disebabkan karena
semua kegiatan ekonomi terpusat sehingga kegitan ekonomi mengalami
penurunan yang disertai dengan infasi, masalah ekonomi tidak diatasi berdasarkan
prinsip-prinsip ekonomi, tetapi diatasi dengan cara-cara politis, kemenangan
politik diutamakan sedangkan kehidupan ekonomi diabaikan (politik
dikedepankan tanpa memperhatikan ekonomi). Peraturan yang dikeluarkan oleh
pemerintah sering bertentangana antara satu peraturan dengan peraturan yang
lainnya. Tidak ada ukuran yang objektif untuk menilai suatu usaha atau hasil dari
suatu usaha. Terjadinya berbagai bentuk penyelewengan dan salah urus.
Kebangkrutan tidak dapat dikendalikan, masyarakat mengalami kesulitan hidup,
kemiskinan, dan angka kriminalitas yang meningkat.
9) Konfrontasi Ekonomi dalam rangka perjuangan pembebasan Irian Barat

Konfrontasi ekonomi dilakukan oleh pemerintah Indonesia terhadap aset-aset dan


kepentingan-kepentingan ekonomi Belanda di Indonesia. Konfrontasi ekonomi
tersebut sebagai berikut :
A) Tahun 1956 secara sepihak Indonesia membatalkan hasil KMB, diumumkan
pembatalan utang-utang RI kepada Belanda.
B) Selama tahun 1957 dilakukan pemogokan buruh di perusahaan-perusahaan
Belanda, melarang terbitan-terbitan dan film berbahasa Belanda, dan melarang
penerbangan kapal-kapal Belanda, serta memboikot kepentingan-kepentingan
Belanda di Indonesia.
C) Selama tahun 1958-1959 dilakukan nasionalisasi terhadap 700 perusahaanperusahaan Belanda di Indonesia, dan mengalihkan pusat pemasaran komoditi RI
dan Rotterdam (Belanda) ke Bremen, Jerman.
Sumber : http://almuzaky.blogspot.co.id/2009/12/kondisi-ekonomi-masademokrasi.html

Anda mungkin juga menyukai