Anda di halaman 1dari 5

BAB III

KASUS
Kebiri Pelaku Pencabulan?
Lagi lagi kita harus mengelus dada. Sementara kasus sodomi oleh AS
di Sukabumi yang korbannya mencapai ratusan masih diselidiki, namun
kasus baru pencabulan pada anak anak kembali mencuat.
Kali ini tindakan cabul dilakukan oleh kakek dengan panggilan Abah di
Sumedang. Korban pria umur 61 tahun itu, lelaki dan perempuan pelajar SD usia
6-9 tahun. Sungguh miris, meski korbannya tak mencapai ratusan, namun polisi
telah mencatat setidaknya ada 9 orang anak yang menjadi korban.
Perlu kita cermati para pelaku kejahatan seksual semacam Abah serta si
raja sodomi AS alias Emon di Sukabumi (24) bukan orang yang bodoh. Mereka
mampu menutupi tindakan kejahatannya hingga korbannya sangat banyak dan
korban akan terus berjatuhan jika tidak ada yang melapor.
Ketika ketahuan pun mereka juga sudah menyiapkan alasan pemaaf.
Seperti AS mengaku menjadi korban sodomi waktu kecil dan kini dia
melampiaskan pada orang lain. Dalam kasus ini korbannya adalah anak anak yang
kita akan sulit membayangkan masa depannya akan seperti apa setelah mengalami
kejadian traumatik disodomi paksa seperti itu.
Kita juga perlu waspada pelaku kejahatan seksual memiliki kepintaran
menjebak korbannya.AS sukses memikat anak anak dengan uang Rp 25 ribu,
sementara Abah memberikan jajan gratis di warungnya.Selain itu pelaku
pencabulan juga memiliki kepandaian memanipulasi ketakutan, sehingga anak
anak secara efektif tidak berani melapor ke orang tuanya.
Pelaku kejahatan seksual pada anak anak ini biasanya juga punya alasan
pemaaf lain berupa alasan ilmu hitam. Seperti Emon yang mengaku terus mencari
korban akibat mendengar bisikan gaib.

19

Dalam kasus Emon, jika diketahui dia menderita kelainan seks sejak awal,
mungkin kejadiannya akan lain. Ia belakangan diketahui selalu mencatat korban di
buku hariannya untuk dijadikan fantasi seks. Ia juga sering menggambar wajah
manusia tapi tak memiliki hidung. Jika dilihat dari ilmu psikologi ini
membuktikan ia menderita kelainan seksual yang sangat parah.
Sayangnya Emon yang sebenarnya membutuhkan pertolongan psikolog
dan psikiater ini baru diketahui kelainan seksualnya setelah dia melakukan
pencabulan pada ratusan anak-anak. Saat ini yang mencuat adalah memberi efek
jera pada pelaku agar tidak jatuh korban yang lain. Berbagai pihak telah
mewacanakan hukum kebiri pada pelaku pelecehan seksual agar mereka tak
memiliki hasrat seks lagi.Hukuman itu juga dinilai pantas dijatuhkan pada pelaku
pelecehan seks, dan juga diyakini mampu memberikan efek jera.
Data kasus pelecehan seks sendiri sangat memprihatinkan. Dari awal
Januari 2014 hingga Mei 2014 untuk KPAI saja mencatat ada 400 kasus pelecehan
seksual terhadap anak. Bahkan 23 anak di antaranya tewas dalam kasus pelecehan
seks itu.
Selama ini pelecehan seksual sering hanya ramai ketika kasusnya meledak
saja.Namun kasus pelecehan seksual bisa kendor.Bahkan mirisnya pelaku
pelecehan seksual ada yang hanya dipidana selama tiga bulan.Bisa kita
bandingkan dengan di negara-negara maju, kebanyakan pelaku pelecehan seks
harus menghabiskan sebagian besar umurnya di penjara.Mereka dianggap
membahayakan jika ada di luar penjara.Mereka juga dianggap sangat
membahayakan bagi anak anak.
Mengebiri pelaku kekerasan seksual bisa saja dilakukan asal instrumen
hukumnya sudah jelas. Sementara memberikan pendampingan psikiater dan
psikolog pada orang yang berpotensi memiliki perilaku menyimpang juga
selayaknya harus segera dilakukan.(*)
Berdasarkan kasus di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa si Emon
memiliki gangguan keabnormalan seksual yaitu pedofilia.Pedofilia adalah

20

pemuasan seksual dengan objeknya anak baik sejenis atau lawan jenis yang belum
akil baligh (Sunaryo, 2004).Perilaku ini merupakan perilaku seksual abnormal
yang mana perilaku seks ini tidak dapat menyesuaikan diri yang didorong oleh
kompulsi-kompulsi dan dorongan-dorongan yang abnormal.Menurut Maramis
(1999) pedofilia merupakan bentuk perilaku seksual abnormal yang termasuk
dalam kategori deviasi seksual (penyimpangan seksual).Menurut Kartini Kartono
(1989) pedofilia merupakan abnormalitas seks yang disebabkan adanya partner
seks yang abnormal.
Jika ditinjau dari sudut pandang kesadaran,menurut teori Sigmud Freud
dalam kehidupan psikis terdapat 3 unsur penting yang membentuk kepribadian,
Das Es (the id), Das Ich (the ego), dan Das Ueber Ich (the superego) sehingga dari
kasus tersebut dapat disimpulkan bahwa si Emon tidak ada keseimbangan antara
id, ego dan superego. Karena, dalam kasus tersebut Emon memiliki napsu seksual
atau libido yang kuat untuk melakukan hubungan seksual, Namun, dalam egonya
dia tidak bisa menghayati secara lahiriah dan batiniyah, tidak memiliki akal budi
yang baik sehingga tidak dapat memfilter keluarnya dorongan instingtif dari Das
Es sehingga tidak dapat menghambat dan mengendalikan prinsip kesenangan
(libidonya).
Dari sudut pandang super ego, karena id lebih mendominasi kehidupan
psikisnya, sehingga perilaku yang dilakukan tidak sesuai dengan moralitas yang
berlaku di masyarakat dan tidak mampu membedakan mana perilaku baik dan
mana perilaku yang buruk.
Dari kasus tersebut disebutkan juga bahwa si Emon suka menuliskan
nama-nama

korbannya

di

dalam

buku

harian

yang

digunakan

untuk

berfantasi.Menurut Sunaryo (2004) fantasi dan khayalan merupakan bentuk


manifestasi ketidaksadaran yang bersangkutan dengan mimpi dan timbul pada saat
taraf kesadaran merendah.Sehingga disimpulkan bahwa si Emon memiliki
penurunan kesadaran yang ditandai dengan penurunan kemampuan persepsi,
perhatian dan pemikiran saat dia berfantasi dengan bukunya.

21

Saat si Emon terbukti melakukan sodomi kepada banyak korban dan


ditemukan bukti-bukti nyata atas tindakannya, Ia pun melakukan pembelaan diri
yang dalam ilmu psikologi disebut mekanisme pertahanan ego. Mekanisme
pertahanan ego adalah alternative yang diambil individu dalam rangka melindungi
diri dari kecemasan atau ancaman harga dirinya. Dalam kasusu tersebut Emon
sudah tidak dapat melakukan problem solving lagi atas konsekuensi dari tindakan
yang telah dilakukan, sehingga dia melakukan mekanisme pertahanan ego dengan
berdalih bahwa ada bisikan gaib yang membuat ia ingin terus mencari korban.
Berdasarkan interview dengan si Emon, pelaku melakukan tindakan
pedofilia ini bukan tanpa alasan tetapi dimungkinkan Ia melakukan tindakan
tersebut karena trauma pada masa lalunya bahwa Ia pernah menjadi korban
tindakan sodomi. Menurut Sarlito Wirawan Sarwono (2000) salah satu
faktor yang dapat mempengaruhi hingga mengubah sikap individu adalah
perasaan trauma. Trauma adalah suatu cara pembentukan dan perubahan
sikap melalui suatu kejadian secara tiba-tiba dan mengejutkan sehingga
meninggalkan kesan mendalam dalam diri individu tersebut
Oleh karena itu, perilaku menyimpang yang dilakukan Emon
termasuk perilaku yang dipengaruhi oleh faktor eksternal, yaitu pernah
menjadi korban sodomi.Hal itulah yang menyebabkan Emon melampiaskan
perasaan traumanya dengan melakukan pelecehan seksual pada anak-anak.
Menurut kelompok kami sikap dan perilaku si Emon kemungkinan
besar dapat diubah, karena menurut Gerungan (1996), Abu Ahmadi (1999),
Sarwito Wirawan Sarwono (2000), Bimo Walgito (2011) ciri-ciri sikap salah
satunya adalah tidak dibawa sejak lahir tetapi dipelajari dan dibentuk
berdasarkan pengalaman dan latihan sepanjang perkembangan individu juga
dapat berlangsung lama atau sebentar. Maka dari itu, menurut kelompok
kami Emon mempunyai harapan untuk bisa kembali berperilaku normal
kembali dan tidak melakukan penyimpangan seksual seperti pedofilia lagi,
jika dia mendapatkan rehabilitasi atau bimbingan dari psikiater atau
psikolog. Dikarenakan perilaku yang dilakukan Emon bukan semata-mata

22

tindakan kriminalitas namun cenderung tertuju pada gangguan psikisnya


sehinngga hukuman penjara pun tidak akan menjamin dapat mengubah sikap
dan perilakunya serta belum tentu dapat memberikan efek jera bagi pelaku.

23

Anda mungkin juga menyukai