Anda di halaman 1dari 11

Jurnal Psikologi Indonesia

2010, Vol VII, No. 1, 65-75, ISSN. 0853-3098

Himpunan Psikologi Indonesia

MERUBAH PERILAKU MEROKOK DENGAN SUBLIMINAL


CONDITIONING: SEBUAH PENELITIAN EKSPERIMENTAL

(CHANGE SMOKING BEHAVIOR BY SUBLIMINAL CONDITIONING: AN EXPERIMENTAL STUDY)


Whisnu Thomas dan Eunike Sri Tyas Suci
Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta
Subliminal messages merupakan cara mempengaruhi sikap, tindakan, dan keputusan manusia dengan memasukkan informasi ke pikirannya dalam waktu yang sangat cepat sehingga tidak dapat ditangkap oleh indera manusia.
Subliminal messages berhasil dilakukan dalam bidang industri dan perdagangan, namun kurang berhasil dilakukan
di bidang klinis untuk terapi karena berbagai kelemahan. Peneliti mencoba memperbaikinya dengan mengubah
subliminal messages menjadi subliminal conditioning dan diuji coba sebagai terapi berhenti merokok. Subliminal
conditioning tidak menyampaikan pesan, melainkan asosiasi. Metode penelitian ini adalah eksperimen laboratorium desain within group, dengan variabel bebas subliminal conditioning dan variabel terikat perilaku merokok.
Partisipan penelitian adalah mahasiswa sebuah universitas swasta di Jakarta berusia 20 tahun atau lebih, merokok
minimal 5 batang seminggu dan ingin berhenti merokok. Dari 34 partisipan yang mendaftar, hanya data dari 12
partisipan yang dapat digunakan. Asosiasi yang diberikan adalah merokok dengan rasa takut, dengan memberikan
gambar rokok bersamaan dengan gambar yang menakutkan berupa orang mati secara tragis, yang diselipkan
dalam sebuah film serial. Eksperimen dilakukan dengan menonton film tersebut selama satu jam per hari dalam
10 hari berturut-turut, kecuali hari minggu. Partisipan diminta untuk mencatat perilaku merokok mereka setiap hari
selama eksperimen berlangsung. Berdasarkan hasil analisis statistik Wilcoxon Signed Rank Test, terapi subliminal
conditioning terbukti berhasil menurunkan perilaku merokok secara signifikan (Z = 2.1, p < 0.05), namun tidak cukup kuat untuk membuat partisipan berhenti merokok. Penelitian ini merupakan awal pengembangan terapi bagi
perokok dan perlu dikembangkan di masa depan. Hal yang perlu diperhatikan adalah persiapan eksperimen yang
lebih terkontrol, jumlah partisipan yang lebih banyak, dan tingkat kecanduan rokok yang lebih tinggi.
Kata kunci: subliminal, conditioning, merokok, terapi, psikoterapi, adiksi.
Subliminal messages are the ways to influence human attitude, decision and action by inserting information to
his/her mind in a so fast a fashion that it cant be captured by human sense. Subliminal messages have been
successfully applied in the area of industry and trade, but not so in clinical area as a therapy due to a number of
weaknesses. We tried to improve it by modifying subliminal messages into subliminal conditioning, and examined it
to smokers. Subliminal conditioning does not send messages, but associations. This study was a laboratory experiment with a within group design. The independent variable was Subliminal Conditioning, and the dependent variable is smoking behavior. Participants were selected from students at a private university in Jakarta aged at least
20 years old, and smoked at least five cigarettes a week. Of the 34 participants who participated in the study, only
the data of 12 of them could be used. The association was smoking with fear, in which a picture of a cigarette was
concurrently presented with a picture of a tragic death to the participants through a movie serial. The participants
were required to watch the movie serial one hour each day for 10 consecutive days, except Sunday. They were also
required to make notes on the number of cigarettes they smoked every day during the experimental week. Using the
Wilcoxon Signed Rank Test, the study showed that subliminal conditioning therapy was able to significantly reduce
their smoking behavior (Z = 2.1, p < 0.05), though it failed to entirely stop their smoking behavior. This research was
a start to the development a better therapy for smokers. The use of a better control, more participants, and higher
level of smoking addiction was recommended for future research.
Keywords: subliminal, conditioning, smoking cessation, therapy, psychotherapy, addiction.

66

WHISNU THOMAS DAN EUNIKE SRI TYAS SUCI

Perilaku merokok di Indonesia cukup


besar. Survei World Health Organization
(WHO) pada tahun 2006 menunjukkan
ada 199 miliar rokok yang dikonsumsi di
Indonesia. Jumlah tersebut menempatkan
Indonesia pada posisi keempat konsumen
rokok terbesar di dunia. Survei dari Asean
Tobacco Control Report pada tahun 2007
menunjukkan ada 57,56 juta perokok di
Indonesia, dan jumlah tersebut merupakan
46,16% dari seluruh perokok di Asia Tenggara
(Susuwongi, 2008).
Ditinjau dari aspek kesehatan, merokok
menyebabkan banyak jenis penyakit seperti
kanker paru-paru, serangan jantung, stroke,
kanker mulut maupun kanker tenggorokan
(Utamadi, 2002). Penelitian menunjukkan
bahwa satu dari sepuluh perokok berat
mengalami kanker paru-paru (Prihatiningsih,
2007). Penelitian lain juga menunjukkan
bahwa merokok dapat meningkatkan resiko
menglami gangguan ereksi pada pria dan
kehamilan di luar kandungan pada wanita
hingga 24 kali dibandingkan wanita yang
tidak merokok (Anthony, 2007). Walaupun
pada setiap iklan dan bungkus rokok telah
dituliskan peringatan bahwa merokok dapat
menyebabkan kanker, serangan jantung,
impotensi, dan gangguan kehamilan dan
janin, namun perilaku merokok tetap menjadi
sumber masalah kesehatan di seluruh
dunia. Organisasi WHO memperkirakan
bahwa pada tahun 2020 penyakit-penyakit
yang berkaitan dengan rokok akan menjadi
masalah kesehatan utama di banyak negara.
Selain itu, kebiasaan merokok juga dianggap
sebagai awal mula penyalahgunaan narkotika
dan obat-obatan berbahaya lainnya (Jamal,
2006).
Resiko yang ditimbulkan oleh perilaku
merokok bukan hanya menimpa perokok
yang bersangkutan, tetapi juga lingkungan
sekitarnya. Survei dari Medika Jurnal
Kedokteran Indonesia menunjukkan bahwa
lebih dari 90% perokok aktif mengaku
merokok di dalam rumah ketika bersama
anggota keluarga, sehingga sekitar 70%
penduduk Indonesia berumur 0-14 tahun
telah terpapar asap rokok sejak lahir atau
dapat dikatakan menjadi perokok pasif
(Jamal, 2006). Penelitian juga menunjukkan
bahwa anak-anak yang ayah dan ibunya
merokok beresiko lebih tinggi mengalami

masalah pernapasan. Persidangan Antar


Bangsa Persatuan Rongga Dada Amerika
Serikat 2007 menyatakan bahwa meskipun
anak-anak tersebut tidak menunjukkan tanda
masalah pernapasan, mereka mungkin
mengalami perubahan membahayakan dalam
proses pernapasan yang dapat menyebabkan
penyakit paru-paru di kemudian hari (Hazira,
2007).
Melihat
besarnya
resiko
perilaku
merokok sedangkan Indonesia merupakan
negara dengan konsumsi rokok yang
cukup besar, maka perlu ada penanganan
terhadap masalah rokok di Indonesia. Cara
menurunkan prevalensi perilaku merokok
dengan memberikan informasi mengenai
bahaya rokok seperti banyak dilakukan dalam
kampanye-kampanye anti merokok dapat
dikatakan kurang efektif. Penelitian Gibson,
Eggleston, dan Benthin (1997) menunjukkan
gejala pembenaran diri di kalangan perokok,
sehingga sulit untuk berhenti merokok.
Pembenaran diri yang dimaksud dilakukan
dengan cara mengubah pola pikir dan
percaya bahwa sebenarnya merokok tidak
menyebabkan kanker atau percaya bahwa
informasi yang disampaikan itu dibesarbesarkan padahal sebenarnya tidak separah
itu, atau dengan memasukkan informasi baru
ke dalam kognisi misal bahwa merokok dapat
membuat rileks atau menjernihkan pikiran.
Untuk melawan pembenaran diri tersebut,
peneliti mencoba mencari cara terapi yang
tidak dipengaruhi oleh pikiran agar orang
yang bersangkutan tidak dapat melakukan
pembenaran diri.
Salah satu alternatif cara terapi adalah
subliminal messages, yaitu tulisan, gambar,
ataupun suara yang tidak dapat ditangkap oleh
alat indera seseorang namun mempengaruhi
keputusan, sikap, dan perilaku orang tersebut
(Aronson et al., 2006). Subliminal messages
visual dapat dilakukan dengan cara
memberikan potongan-potongan gambar
atau tulisan yang berisi pesan tertentu yang
tidak dapat ditangkap oleh mata orang yang
melihatnya karena potongan tersebut berlalu
dalam waktu yang sangat cepat, lebih cepat
dari kemampuan mata menangkap stimulus,
yaitu 1/25 detik. Subliminal messages auditori
dapat dilakukan dengan memberikan suarasuara dalam frekuensi yang berlainan dalam
musik yang sedang didengarkan oleh orang

WHISNU THOMAS DAN EUNIKE SRI TYAS SUCI


yang bersangkutan. Gambar ataupun suara
yang tidak tertangkap oleh kesadaran orang
ini tetap dapat mempengaruhi keputusan,
sikap, dan perilakunya. Saunders (1999)
menggambarkan subliminal messages seperti
gelombang ultrasonik, gelombang infrasonik,
gelombang mikro, atau radar yang dapat
memicu reaksi tubuh tanpa adanya stimulus
yang dapat ditangkap oleh kesadaran.
Keefektivan
subliminal
messages
masih dipertanyakan. Dalam penelitiannya,
Greenwald (1992) melibatkan 237 peserta
suka rela untuk mendengarkan kaset
berisi subliminal messages dengan tujuan
meningkatkan memori ataupun harga
diri (self-esteem). Subliminal messages
disembunyikan dalam bentuk suara ombak
lautan. Label kaset tersebut ditukar-tukar
antara yang meningkatkan memori dan yang
meningkatkan harga diri, sehingga ada 4
jenis kaset, pertama, kaset dengan pesan
tersembunyi untuk meningkatkan memori
dan dituliskan untuk meningkatkan memori.
Kedua, kaset dengan pesan tersembunyi
untuk meningkatkan memori dan dituliskan
untuk meningkatkan harga diri. Ketiga,
kaset dengan pesan tersembunyi untuk
meningkatkan harga diri dan dituliskan untuk
meningkatkan memori. Keempat, kaset untuk
meningkatkan harga diri dan dituliskan untuk
menigkatkan harga diri. Pada penelitian
ini, baik peneliti maupun partisipan tidak
mengetahui siapa yang mendapatkan kaset
untuk meningkatkan memori dan siapa yang
mendapatkan kaset untuk meningkatkan
harga diri. Hasil dari penelitian ini menunjukkan
tidak ada perbedaan peningkatan memori
ataupun self esteem yang signifikan antara
keempat kelompok yang mendapatkan kaset
berbeda-beda tersebut (dalam Saunders,
1999).
Selain banyaknya penelitian yang
menunjukkan
kegagalan
subliminal
messages dalam memanipulasi tingkah laku
orang, ada juga beberapa penelitian yang
menunjukkan bahwa subliminal messages
dapat berhasil dengan baik. Contohnya
adalah penelitian Murphy dan Zajonk (1993)
dalam mengasosiasikan ideograf Cina dengan
gambar wajah tersenyum, balok, ataupun
wajah marah. Kelompok yang diberi pesan
tersembunyi berupa wajah tersenyum lebih
menyukai bentuk ideograf tersebut dibanding

67

kelompok yang diberi pesan tersembunyi


berupa gambar balok ataupun wajah marah
(dalam Aronson, 2006). Demikian juga
halnya dengan penelitian Epley, Savitisky,
dan Kochelski. Mereka membuat sebuah
penelitian dengan meminta mahasiswa
yang baru lulus menuliskan sebuah ide
penelitian. Setelah menuliskan ide tersebut
mereka diminta menilai seberapa baik ide
penelitian yang mereka buat tersebut. Tanpa
disadari sebenarnya mereka telah diberikan
subliminal messages berupa gambar wajah
mahasiswa doktoral yang familiar atau wajah
cemberut dari pengurus fakultas. Ternyata
mereka yang diberi subliminal messages
berupa gambar mahasiswa doktoral menilai
idenya lebih baik dibanding mereka yang
diberi subliminal messages berupa gambar
cemberut dari pengurus fakultas (Examines
the Efficacy, 1999).
Pada intinya, subliminal messages dapat
bekerja dengan syarat-syarat tertentu.
Layne
Wallace
menunjukkan
bahwa
subliminal messages tidak dapat efektif jika
menggunakan informasi yang sama sekali
baru (Wallace, 1991). Subliminal messages
ini hanya menjadi efektif jika digunakan dalam
situasi yang terkontrol dalam laboratorium,
yaitu jarak pandang yang terkontrol, dan tidak
adanya distraksi dari stimulus lain di sekitar
lingkungan (Holender, dalam Moore 1995).
Selain situasinya yang harus terkontrol,
subliminal messages tidak dapat digunakan
untuk membuat seseorang melakukan
sesuatu yang tidak ingin dilakukannya
(Murphy & Zajonk, dalam Aronson et al,
2006). Hal ini terjadi karena dalam pikiran
manusia ada skema yang sulit berubah.
Secara tidak disadari, informasi-infirmasi
yang tidak sesuai dengan pikiran yang ada
dalam skema seseorang akan terbuang
sehingga akan cenderung terlupakan.
Karena kedua hal tersebut, maka subliminal
messages akan sulit digunakan sebagai
terapi jika dibuat dalam bentuk kaset yang
dapat dibawa pulang, karena situasi rumah
yang tanpa kontrol ketat akan membuat efek
subliminal messages menjadi tidak efektif.
Selain itu jika isinya berupa hal yang tidak
ingin dilakukan orang.yang bersangkutan
seperti harus berhenti merokok, subliminal
messages akan sulit bekerja secara efektif.
Berdasarkan semua karakteristik dari

68

WHISNU THOMAS DAN EUNIKE SRI TYAS SUCI

subliminal messages, khususnya karena


subliminal messages ternyata tidak dapat
efektif jika isinya merupakan sesuatu yang
tidak ingin dilakukan seseorang, maka peneliti
memilih untuk memberikan subliminal yang
tidak berisi perintah, melainkan asosiasi.
Dalam bentuk asosiasi, subliminal message
tersebut tidak dapat disaring oleh skema
dalam pikiran seseorang karena yang
dapat disaring oleh skema adalah hal-hal
yang bersifat informasi, bukan hal-hal yang
berkaitan dengan emosi. Karena itu, intervensi
yang diberikan sebaiknya berupa hal-hal yang
berhubungan dengan emosi. Dari bentukbentuk emosi, peneliti memilih emosi takut
sebagai bentuk emosi yang paling cocok untuk
diasosiasikan untuk menghasilkan perilaku
berupa penurunan perilaku merokok. Rasa
takut adalah salah satu teknik yang sering
digunakan untuk melakukan perubahan
sikap. Karena itu, organisasi-organisasi sosial
sering menggunakan cara menakut-nakuti
untuk mengarahkan masyarakat melakukan
perilaku sehat yang diharapkan, misalnya
seks yang aman, menggunakan sabuk
pengaman, dan menghindari penggunan
obat-obatan terlarang (Aronson, 2006).
Dengan diberi asosiasi rokok dengan rasa
takut, diharapkan rasa takut tersebut akan
muncul setiap kali orang yang bersangkutan
merokok, sehingga perilaku merokok
menjadi tidak nyaman dan akan menurunkan
dorongan untuk merokok pada kesempatan
berikutnya.
Proses asosiasi yang akan dilakukan
merupakan classical conditioning, yaitu an
acquisition procedure in which a previously
neutral stimulus is paired with a responseproducing stimulus until the neutral stimulus
elicits the same type of response (Wittig,
1998, h. 37). Pada intinya, classical
conditioning adalah proses pemberian
asosiasi tertentu pada suatu objek. Dalam
penelitian ini, asosiasi tidak lagi dilakukan
pada respon tingkah laku, melainkan pada
dimensi emosi seseorang tanpa melalui
proses kesadaran, yaitu asosiasi suatu
emosi tertentu pada suatu objek dengan
proses pengkondisian yang tidak ditangkap
oleh alat indera seseorang. Emosi yang akan
diasosiasikan adalah rasa takut, objek dari
perasaan takut tersebut adalah rokok, dan
dilakukan dengan cara subliminal yang tidak

dapat ditangkap oleh alat indera.


Dalam melakukan classical conditioning,
ada empat komponen utama yang harus
muncul, yaitu unconditioned stimulus
(UCS), yaitu stimulus yang direspon oleh
organisme secara refleks (tidak disengaja);
unconditioned response (UCR), yaitu respon
alamiah terhadap UCS; conditioned stimulus
(CS), yaitu stimulus yang awalnya tidak berarti
bagi organisme tetapi menjadi berarti setelah
melalui proses conditioning; dan conditioned
response (CR), yaitu respon yang diharapkan
terjadi jika organisme diberikan CS setelah
proses conditioning (Wortman, 1999).
Dalam penelitian mengenai perilaku
merokok ini, UCS adalah gambar yang
menakutkan (gambar orang mati), UCR
adalah rasa takut, CS adalah rokok, dan CR
adalah rasa takut karena rokok. UCS berupa
gambar orang mati menakutkan bukan
merupakan asosiasi bahwa rokok akan
menyebabkan kematian, melainkan dua hal
yang sama sekali tidak berhubungan namun
dengan munculnya stimulus yang satu
(rokok), respon tertentu akan muncul (rasa
takut). Proses yang terjadi adalah seperti
berikut:
1. UCS (gambar menakutkan) UCR (rasa
takut)
Saat diberikan gambar yang menakutkan,
seharusnya orang akan merasa takut.
2. CS( rokok) + UCS(gambar yang menakutkan) UCR (rasa takut)
Gambar menakutkan yang dapat membuat orang merasa takut diasosiasikan
dengan rokok. Setiap diberikan gambar
rokok, diberikan gambar yang menakutkan, sehingga orang merasa takut.
3. CS (rokok) CR (rasa takut)
Setelah proses conditioning tersebut, setiap kali orang tersebut melihat rokok akan
muncul rasa takut.
Jadi, secara umum dinamika proses
subliminal dan classical conditioning pada
perilaku merokok kurang lebih adalah seperti
berikut. Saat diberikan informasi berupa
subliminal, seseorang tidak dapat mengolah
kembali informasi tersebut dari kognisi atau
pikirannya. Hal ini terjadi karena subliminal
bekerja di kognisi tingkat tinggi sehingga
tidak dipersepsikan secara sadar oleh
orang yang menerima subliminal tersebut.

WHISNU THOMAS DAN EUNIKE SRI TYAS SUCI

69

Tabel 1
Partisipan Penelitian
Partisipan Penelitian
Total

Fakultas

Fakultas Psikologi
Fakultas Ilmu Admistrasi
Faklutas Ekonomi
Fakultas Teknik
Fakultas Hukum

34
10
11
8
2
3

100
29
32
24
6
9

Status Partisipan

Mendaftarkan diri
Mengisi Informed Consent
Hadir
Hadir hingga akhir
Lolos manipulation check

34
21
17
13
12

100

Walaupun begitu, subliminal messages sulit


untuk berhasil karena dalam pikiran manusia
ada skema yang sulit berubah. Secara tidak
disadari, informasi-informasi yang tidak
sesuai dengan pikiran yang ada dalam skema
seseorang akan terbuang sehingga akan
cenderung terlupakan oleh orang tersebut.
Karena ada skema dalam pikiran manusia
tersebut, informasi yang bertentangan
dengan skema seseorang mungkin sulit
diterima walaupun dalam bentuk subliminal.
Untuk mengatasi masalah tersebut, maka
subliminal yang diberikan tidak berupa
informasi melainkan dalam bentuk asosiasi,
yaitu dengan menerapkan prinsip classical
conditioning dalam subliminal tersembunyi
tersebut. Classical Conditioning yang
diterapkan dalam bentuk subliminal tidak
berusaha mengubah informasi yang ada pada
skema, melainkan berusaha menghubungkan
suatu informasi dalam skema dengan sesuatu
hal, dalam hal ini menghubungkan suatu
benda dengan suatu emosi tertentu. Hal yang
berusaha dihubungkan atau diasosiasikan
pada penelitian ini adalah rokok dengan rasa
takut. Dengan seringkali memberikan gambar
rokok dengan gambar yang membuat orang
yang melihatnya merasa takut, maka perasaan
takut tersebut akan tersimpan secara implisit
dalam memori. Jika asosiasi berhasil, maka
rokok akan menjadi cues terhadap rasa takut
sehingga setiap kali melihat rokok, orang
yang bersangkutan akan kembali teringat
akan rasa takut yang muncul saat melihat

35

gambar yang menakutkan.


Dengan perasaan takut yang seringkali
muncul bersamaan dengan saat seseorang
melihat rokok, maka kualitas merokok orang
tersebut akan menurun dan menurunnya
kualitas tersebut diharapkan akan disertai
dengan penurunan kwatitas jumlah rokok yang
dikonsumsi karena rokok tidak lagi diasakan
sebagai sesuatu yang nikmat melainkan
sebagai sesuatu yang menakutkan.

Metode
Partisipan Penelitian
Partisipan penelitian ini adalah mahasiswa
salah satu kampus di sebuah universitas
swasta di Jakarta yang merokok setidaknya 5
batang seminggu dalam tiga bulan terakhir.
Secara keseluruhan, ada 34 orang yang
mendaftar untuk menjadi partisipan yang
berasal dari Fakultas yang beragam seperti
FE, FIA, FP, FH, FT. Namun seperti yang
terlihat pada Tabel 1 di atas, dari 34 orang
tersebut, hanya 21 orang yang pada akhirnya
mengisi informed consent dan 17 orang yang
hadir pada pelaksanaan penelitian subliminal
conditioning. Dari 17 orang tersebut ada
13 orang yang hadir hingga akhir, namun
satu partisipan menyatakan bahwa gambar
yang diberikan tidak menakutkan sehingga
datanya dibuang. Akhirnya, secara total ada
12 partisipan yang datanya dapat dianalisis.
Pada Tabel 2 di atas dapat dilihat bahwa

70

WHISNU THOMAS DAN EUNIKE SRI TYAS SUCI

Tabel 2.
Data Partisipan yang Memiliki Data Valid
Partisipan Penelitian dengan data valid
Total

12
6
5
1

100
50
42
8

Fakultas

Fakultas Psikologi
Fakultas Ilmu Admistrasi
Faklutas Ekonomi

Angkatan

Angkatan 2004
Angkatan 2005
Angkatan 2006
Angkatan 2007

2
6
3
1

17
50
25
8

Usia

20 tahun
21 tahun
22 tahun
23 tahun

3
3
5
1

25
25
42
8

Usia Inisiasi
Merokok

5-9 tahun

10 - 19 tahun
> 19 tahun
tidak menjawab

9
1
1

75
8
8

12 partisipan yang datanya dianggap valid


berasal hanya dari tiga Fakultas namun dari
angkatan yang beragam, yaitu 2004 hingga
hingga 2007. Usia partisipan beragam dari
20 tahun hingga 23 tahun dengan mayoritas
berusia 22 tahun (42%). Jika dilihat dari usia
inisiasi merokok, 75% partisipan merokok
pada usia belasan tahun (10-19 tahun).
Apparatus
Aparatus pada penelitian ini adalah
sebuah ruang eksperimen dengan satu
komputer yang dilengkapi dengan DVD room
yang disambungkan dengan VGA Splitter ke
enam monitor dan film seri yang telah diselipi
subliminal conditioning, yaitu dorama atau
drama Jepang yang sebelumnya telah disisipi
gambar rokok dan gambar orang yang mati
secara menakutkan berkecepatan 1/30 detik
sebanyak 100 kali di setiap episode. Film
tersebut diedit menjadi 10 episode dimana
pada episode terakhir tidak diselipkan
subliminal conditioning.
Film seri yang ditampilkan adalah
dorama atau drama Jepang dengan tujuan

agar partisipan penelitian belum menonton


film yang ditayangkan karena dorama
Jepang adalah salah satu genre yang jarang
ditayangkan di Indonesia. Dorama jepang
yang digunakan adalah Liar Game. Dorama
ini juga dipilih karena ceritanya cukup rumit
sehingga menuntut atensi yang tinggi dari
para partisipan dalam menontonnya dan
diharapkan dapat membuat partisipan datang
secara berturut-turut dalam 10 hari penelitian.
Dorama ini juga dipilih karena target pasar
film ini adalah anak muda, dengan para
pemain yang cukup terkenal di kalangan anak
muda, dan juga memiliki rating yang cukup
tinggi, yaitu rata-rata 11.4 bahkan episode
terakhirnya mencapai angka rating 13.6.
Alat ukur pada penelitian ini berupa sebuah
tabel self report yang harus diisi partisipan
setiap pertemuan. Tabel tersebut harus
diisi dengan jumlah rokok yang dikonsumsi
partisipan hari sebelumnya serta dilengkapi
data tambahan berupa manipulation check
yang harus diisi hanya pada hari terakhir.
Manipulation
check
tersebut
berupa
pertanyaan apakah gambar menakutkan yang

WHISNU THOMAS DAN EUNIKE SRI TYAS SUCI

71

Tabel 3
Data Jumlah Konsumsi Rokok Partisipan per Hari
Nama
Jumlah
(Inisial)
kehadiran
RS
10
BAW
10
HP
10
YW
10
APB
9
R
9
K
9
RP
8
NOB
8
RDP
8
RA
8
CAS
7
H
10***
AA
9
J
5
EW
4
S
1
Keterangan:

Pre
7
12
8
15
10
27
5
12
5
2
10
2
3
10
12
0
6

1
6
10
15
12
6
13
3
17
5
0
8
6
12
12
10

2
8
12
18
12
4
8
9
16
3
6
12
5
5
7
10
7

Jumlah Konsumsi Rokok (per hari)


3
4
5
6
7
8
9
4
2
2
3
2
2
3
9
9
10
10
5 14
6
13
13
15
16
3 12 10
10 10* 8**
8
6
8
8
6
7
4*
2**
0
3
15* 12** 10
12
6
14
17
19
7* 12** 11
9
7*
14
11
11
12
14 13* 10*
3*
3
4
3
4
3*
2
7
6*
6**
5*
3
4
8*
9
7
7
12 11* 9
5
8*
5**
2
1
3*
9*
8
4
3
7
8
2
3
6
8
9
8
10 5
6
11
10
7
7

10
6
6
9
8
4
9
8
8
3
5
5
7
2

Post*
4
10
10
8
2
9
5
9
3
5
5
2
5

* tidak datang pada hari tersebut


** datang dua kali pada hari tersebut
*** tidak lolos manipulation check
Catt: beberapa data tidak terisi karena partisipan tidak hadir dan lupa jumlah rokok yang dikonsumsi

ditunjukkan memang merupakan sesuatu yang


menakutkan bagi partisipan. Jika partisipan
menyatakan bahwa gambar tersebut tidak
menakutkan, maka skor partisipan tersebut
tidak digunakan pada analisis utama
penelitian ini karena berdasarkan asumsi
latar belakang penelitian ini, jika gambar
yang diberikan tidak menimbulkan rasa takut,
maka rokok tidak dapat terasosiasi dengan
rasa takut dan tidak ada rasa takut yang
tersimpan di dalam memori implisit berkaitan
dengan rokok. Manipulation check ini penting
digunakan untuk meningkatkan validitas
internal penelitian.
Prosedur Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan design
Within Group. Dari setiap partisipan diambil
data lebih dari sekali, yang kemudian
dibandingkan ketika awal mereka mengikuti
penelitian ini dan setelah selesai menjalankan
penelitian ini.
Penelitian ini tidak melibatkan deception.
Sejak awal peneliti menjelaskan bahwa

penelitian ini bertujuan menurunkan perilaku


merokok. Semua partisipan diharapkan hadir
selama sepuluh hari berturut-turut (kecuali
Minggu). Setiap hari semua partisipan
diminta menonton film yang telah diselipi
subliminal conditioning kemudian diminta
untuk mencatat jumlah rokok yang dikonsumsi
pada hari sebelumnya. Untuk tidak mengikat
waktu partisipan, maka setiap selesai sesi
terapi, partisipan diminta membuat janji
waktu datang keesokan harinya. Waktu
eksperimen dapat ditentukan sendiri oleh
partisipan sepanjang sesuai ketentuan, yaitu
antara pukul 08.00 hingga pukul 16.00. Di
luar waktu tersebut ruangan ditutup sehingga
tidak dapat dilakukan terapi.
Hasil
Hasil Utama
Berdasarkan hasil analisis statistik dengan
menggunakan Wilcoxon Signed Rank Test
pada data perilaku merokok dari 12 partisipan
yang datanya dapat digunakan, ditemukan
bahwa perilaku merokok partisipan setelah

WHISNU THOMAS DAN EUNIKE SRI TYAS SUCI

72

R a ta -r a ta P e rila k u M e ro k o k

Rata-rata Perilaku Merokok Partisipan per Hari


12,00
10,00
8,00
6,00
4,00
2,00
0,00
pre

10

post

Hari

Gambar 1. Rata-rata perilaku merokok partisipan setiap hari


menjalankan terapi subliminal conditioning
lebih rendah secara signifikan dibandingkan
perilaku merokok mereka sebelum melakukan
terapi subliminal conditioning. Ho ditolak pada
taraf signifikansi 0.05 (r = .018, p < 0.05).
Pada Tabel 3 di atas dapat dilihat
perubahan perilaku merokok para partisipan
penelitian secara deskriptif. Jika dibandingkan
di saat pre dan post, 8 orang mengalami
penurunan perilaku merokok, 2 orang
tidak mengalami perubahan, dan 2 orang
mengalami peningkatan perilaku merokok.
Secara rata-rata, penurunan perilaku merokok
partisipan dapat terlihat pada grafik yang
ditampilkan. Dapat dilihat bahwa penurunan
perilaku merokok partisipan mulai terlihat
signifikan pada hari kelima. Hal yang menarik
adalah bahwa partisipan sempat mangalami
peningkatan perilaku merokok sebelum
akhirnya kembali menurun. Sebagian besar
partisipan mengalami peningkatan tersebut
pada hari kedua dan menurun pada hari
yang berbeda-beda. Pada dua hari terakhir,
semua perilaku merokok berkumpul pada
range yang kurang lebih sama, yaitu antara
0-5 dan 5-10. Tidak ada satu pun partisipan
yang merokok lebih dari 10 batang pada dua
hari terakhir tersebut.
Hasil Tambahan
Salah satu variabel sekunder yang
dikhawatirkan muncul adalah latent inhibition,
yaitu asosiasi lain yang terbentuk pada rokok

selain asosiasi dengan rasa takut. Hal ini


dikhawatirkan terjadi karena pada hari minggu
tidak ada sesi terapi, sehingga mungkin
terjadi asosiasi lain pada hari tersebut yang
dapat menurunkan efektifitas subliminal
conditioning yang diberikan. Berdasarkan
statistik deskriptif, dapat dilihat bahwa ratarata jumlah konsumsi rokok partisipan pada
hari Sabtu (7.69) lebih besar dibandingkan
rata-rata rokok yang dikonsumsi hari Minggu
(5.92) sehingga disimpulkan latent inhibition
tidak terjadi pada partisipan.
Untuk melihat pengaruh latent inhibition
secara lebih seksama, peneliti ingin melihat
apakah ada perbedaan perubahan perilaku
merokok antara mereka yang sempat tidak
hadir dalam 10 pertemuan tersebut, baik
yang ditebus dengan menonton dua kali di
hari berikutnya maupun tidak. Kelompok
dibagi menjadi mereka yang selalu hadir,
sekali tidak hadir, dua kali tidak hadir, tiga
kali tidak hadir, dan juga empat kali tidak
hadir. Setelah dibandingkan dengan analisis
statistik Kruskal Wallis, peneliti menemukan
tidak ada perbedaan yang signifikan (p =
0.223, p > 0.05). Dari hasil analisis tersebut,
dapat disimpulkan bahwa latent inhibition
tidak mempengaruhi hasil penelitian ini
secara signifikan.
Hasil lain yang peneliti temukan adalah
beberapa partisipan mengaku bahwa
dorongannya untuk merokok menjadi
berkurang sejak melakukan terapi subliminal

WHISNU THOMAS DAN EUNIKE SRI TYAS SUCI


conditioning dan beberapa mengaku saat
merokok ada perasaan tidak enak sehingga
ketika merokok tidak menghabiskan satu
batang. Walaupun terbukti subliminal
conditioning dapat menurunkan perilaku
merokok, namun tidak ada satupun diantara
partisipan yang berhasil berhenti merokok
secara total.
Peneliti juga menemukan bahwa salah
satu hal yang mempengaruhi penelitian ini
adalah jumlah awal merokok partisipan.
Partisipan yang sejak awal merokok dalam
jumlah banyak cenderung mengalami
penurunan merokok, sedangkan partisipan
yang sejak awal merokok dalam jumlah
kecil cenderung tidak mengalami perbahan
perilaku merokok. Hal ini menjelaskan
kenapa ada dua partisipan yang mengalami
peningkatan perilaku merokok dalam jumlah
kecil dan ada dua partisipan yang tidak
berubah sama sekali. Keempat partisipan
tersebut merupakan partisipan yang sejak
awal merokok dalam jumlah yang tidak
banyak, sehingga tidak mengalami banyak
perubahan.
Dari 12 partisipan yang menjalani terapi
hingga akhir, 11 orang menyatakan bahwa film
yang diputar saat terapi merupakan film yang
seru dan hanya 1 orang yang menyatakan
film tersebut tidak seru. Satu partisipan yang
juga menjalani terapi hingga akhir namun
datanya tidak digunakan karena tidak lolos
manipulation check juga menyatakan bahwa
film yang ditayangkan seru. Karena itu, secara
total ada 12 orang yang menyatakan film
tersebut seru dan 1 orang yang menyatakan
film tersebut kurang seru. Semua partisipan
mengaku belum pernah menonton film yang
ditayangkan tersebut. Hal ini menunjukkan
pemilihan film dapat dikatakan cukup tepat.
Diskusi
Sesuai dengan asumsi pada latar belakang
masalah, terapi Subliminal Conditioning
terbukti dapat mempengaruhi perilaku
merokok, yaitu secara signifikan menurunkan
jumlah rokok yang dikonsumsi. Hal ini dapat
terjadi karena subliminal conditioning tidak
berupa pemberian informasi yang dapat
dijustifikasi oleh pikiran, melainkan melalui
kognisi tingkat tinggi yang merekam emosi
yang disampaikan oleh gambar menakutkan
dalam memori implisit dimana emosi berupa

73

rasa takut tersebut muncul kembali saat


partisipan melihat rokok. Dengan munculnya
rasa takut yang menyertai rokok tersebut
perokok akan merasa tidak nyaman dengan
rokok sehingga kualitas merokok mereka
menurun dan dengan sendirinya diikuti
dengan menurunnya perilaku merokok
sehingga konsumsi rokok setelah terapi lebih
sedikit dibandingkan sebelum mengikuti
terapi. Asumsi peneliti tersebut didukung
oleh pernyataan para partisipan bahwa saat
mengikuti terapi dorongan merokok mereka
menurun dan ada perasaan tidak nyaman
yang muncul saat mereka merokok.
Walaupun terapi subliminal conditioning
terbukti menurunkan perilaku merokok,
tidak ada satu pun partisipan yang berhasil
berhenti merokok secara total. Hal ini mungkin
disebabkan oleh salah satu kelemahan
penelitian, yaitu gambar yang diselipkan di
dalam film seringkali terlihat oleh partisipan
penelitian. Hal ini dapat terjadi karena terjadi
after image, yaitu partisipan masih dapat
melihat gambar yang diselipkan tersebut
di monitor walaupun sebenarnya gambar
tersebut sudah tidak ada di layar monitor.
Hal ini mungkin terjadi karena warna pesan
tersembunyi tersebut adalah warna terang
di atas warna hitam, sehingga pesan yang
disampaikan dengan durasi selama 1/30
detik menjadi bertahan lebih lama di mata
partisipan sehingga pada akhirnya dapat
dilihat. Jika partisipan dapat melihat gambar
tersebut, maka terapi subliminal conditioning
ini dapat dikatakan kurang berhasil karena
informasi masih dapat diolah pikiran sadar
sehingga masih dapat dijustifikasi.
Walau hampir seluruh partisipan mengaku
dapat melihat gambar yang diselipkan
tersebut, tidak satu pun partisipan menyadari
bahwa gambar yang diselipkan berjumlah 100
gambar. Dalam kata lain, walau partisipan
dapat melihat gambar yang diselipkan, namun
partisipan seringkali tidak menyadari ketika
gambar tersebut muncul sehingga informasi
tersebut memiliki peluang besar untuk diolah
oleh kognisi tingkat tinggi. Partisipan seringkali
tidak menyadari kemunculan gambar
yang diselipkan tersebut mungkin karena
setting cerita berwarna cerah gambar yang
diselipkan tersebut tidak terlihat (tidak terjadi
after image). Selain itu beberapa partisipan
juga mengaku tidak menyadari kemunculan

74

WHISNU THOMAS DAN EUNIKE SRI TYAS SUCI

gambar yang diselipkan tersebut jika adegan


cerita dalam film tersebut sedang seru. Dalam
kata lain ada kemungkinan atensi partisipan
mempengaruhi kemampuan mereka dalam
melihat gambar yang diselipkan.
Beberapa partisipan mengaku bahwa
berkat menurunnya dorongan merokok,
maka walaupun di tabel mereka menuliskan
jumlah rokok yang banyak, namun seringkali
mereka sudah membuang rokok mereka
sebelum rokok tersebut habis. Dalam kata
lain, ketika pengukuran dilakukan dengan
cara menuliskan jumlah rokok, maka
hasil tidak terlalu akurat. Jika pengukuran
diperhitungkan berdasarkan jumlah hisap
atau sentimeter panjang batang rokok yang
dihabiskan setiap harinya maka pengukuran
akan lebih akurat. Namun kiranya sulit
memperhitungkan hal-hal tersebut jika
dilakukan dengan self report.
Penelitian ini belum berhasil sepenuhnya
membuktikan bahwa perilaku merokok
partisipan menurun karena efek subliminal
conditioning. Ada kemungkinan perilaku
merokok
menurun
karena
sugesti,
yaitu karena percaya bahwa subliminal
conditioning memang diolah oleh kognisi
tingkat tinggi dan mempengaruhi perilaku
mereka sehingga mereka menurunkan
perilaku mereka sendiri. Hal ini seharusnya
dikontrol dengan cara membuat kelompok
kontrol dimana ada kelompok partisipan
lain yang juga diberikan perlakuan yang
sama, yaitu diminta untuk menonton selama
10 hari namun pada film yang mereka
tonton tidak diberi pesan tersembunyi.
Jika perilaku mereka juga menurun dan
penurunan perilaku merokok mereka tidak
berbeda secara signifikan dari penurunan
perilaku merokok kelompok eksperimen
yang diberikan pesan tersembunyi, maka
penurunan perilaku merokok tersebut dapat

disimpulkan sebagai hasil dari sugesti, bukan


dari pesan tersembunyi yang diberikan.
Saran yang dapat diberikan peneliti untuk
penelitian berikutnya yang mengangkat
tema yang serupa adalah untuk memberikan
subliminal conditioning yang lebih cepat dari
1/30 detik. Dengan begitu akan lebih terjamin
bahwa partisipan tidak dapat melihat gambar
tersembunyi tersebut. Selain itu
pesan
tersembunyi jangan diberikan dengan warna
terang di atas gelap, tetapi
sebaiknya
diletakkan pada latar belakang gambar yang
sama persis dengan latar pada adegan yang
sedang berjalan dalam film, sehingga tidak
akan disadari oleh partisipan penelitian.
Dengan begitu maka pesan tersembunyi
yang diberikan akan semakin tepat ditujukan
pada kognisi tingkat tinggi.
Secara teoretis, penelitian ini dapat
mengkritisi penelitian Greenwald yang
menunjukkan bahwa subliminal tidak dapat
digunakan untuk tujuan klinis (Saunders
1999). Penelitian ini membuktikan bahwa
subliminal mungkin masih dapat digunakan
jika diberikan dalam bentuk asosiasi.
Penelitian ini juga dapat menjadi masukan
untuk teori Subliminal Messages. Peneliti
yang berniat menggunakan Subliminal
Messages perlu mengingat untuk berhatihati terhadap after image, sebab ingatan
sensoris manusia dapat merekam dan
menangkap stimulus dan memperlama
sensasi atas stimulus tersebut (Wittig, 1998).
Jika hal tersebut terjadi, maka gambar yang
diberikan bukan lagi merupakan subliminal.
Peneliti harus memperhatikan warna dan
gambar yang ditampilkan di layar. Semakin
mirip warna pesan subliminal dengan warna
latar belakang di dalam film yang sedang
diputar, semakin kecil kemungkinan terjadi
after image.

Daftar Pustaka
Anthony (2007). Rokok dan kesehatan reproduksi. Diakses pada 25 Agustus 2007
dari
www.waspada.co.id/Serba-Serbi/
Kesehatan/Rokok-Dan-Kesehatan-Reproduksi.html
Aronson, E., Wilson, T. D., & Akert, R. M.
(2006). Social psychology (6th ed.). New

Jersey: Prentice Hall.


Examines the efficacy of subliminal persuation (1999, 3 September). Skeptical Inquirer The Magazine for Science and
Reason, 30.

WHISNU THOMAS DAN EUNIKE SRI TYAS SUCI

75

Hazira (2007, 24 Mei). Ibu bapa perokok,


Anak derita. Diakses pada 25 Agustus
2007 dari www.idesa.net.my/modules/
news/article.php?storyid=1712

Susuwongi (2008). Remaja tereksploitasi


industri rokok. Diakses pada 21 September 2008 dari niasonline.net/2008/01/06/
remaja-terekploitasi-industri-rokok/

Jamal, S. (2006, 14 Maret). Pria desa berpendidikan rendah, perokok terbanyak.


Diakses pada 25 Agustus 2007 dari www.
pdpersi.co.id/?show=detailnews&kode=9
57&tbl=artikel

Utamadi, G. (2002, 1 Februari). Rokok bagi


remaja, gaya atau bahaya? Diakses pada
25 Agustus 2007 dari kompas.com/kompas cetak/0202/01/dikbud/roko27.htm

Moore, T. E. (1995, Januari). Subliminal selfhelp auditory tapes: An empirical test of


perceptual consequences. Canadian
Journal of Behavioural Science, 27, 9.

Wallace, F. L., Flanery, J. M., & Knezek, G. A.


(1991, 3 Februari). The effect of subliminal help presentations on learning a text
editor. Information Processing and Management, 27.

Prihatiningsih, P. (2007). Dampak merokok


bagi kesehatan dan lingkungan. Jurnal
Lingkungan Keluarga, 2.

Wittig, A.F. (1998). Theory and problems


of psychology of learning. New York:
McGraw-Hill.

Saunders, M.D. (1999). Are we already learning in a subliminal way? Diakses pada 13
September 2007 dari www.braincourse.
com/subliminala.html

Wortman, C. B., Loftus, E. F., & Weaver, C.


(1999). Psychology (5th ed.). New York:
McGraw-Hill.

___________________________
e-mail: tyas.suci@atmajaya.ac.id

Anda mungkin juga menyukai