Kejang Demam
Kejang Demam
PENDAHULUAN
Kejang merupakan suatu manifestasi klinis yang sering dijumpai di ruang gawat
darurat. Hampir 5% anak berumur di bawah 16 tahun setidaknya pernah mengalami sekali
kejang selama hidupnya. Kejang penting sebagai suatu tanda adanya gangguan neurologis.
Keadaan tersebut merupakan keadaan darurat. Kejang mungkin sederhana, dapat berhenti
sendiri dan sedikit memerlukan pengobatan lanjutan, atau merupakan gejala awal dari
penyakit berat, atau cenderung menjadi status epileptikus. Tatalaksana kejang seringkali tidak
dilakukan secara baik. Karena diagnosis yang salah atau penggunaan obat yang kurang tepat
dapat menyebabkan kejang tidak terkontrol, depresi nafas dan rawat inap yang tidak perlu.
PEMBAHASAN
Skenario:
Seorang anak laki laki berusia 3 tahun dibawa ke UGD RS dalam keadaan kejang sejak 20
menit lalu. Kejang berupa seluruh badan kelonjotan dengan kedua mata mendelik keatas dan
mengeluaran air liur. Sebelum kejang pasien mengalami demam 39C, dan sedang batuk
pilek sejak 3 hari yang lalu.
(RR 20x/menit, Nd: 130x/menit, tensi 90/60 mmHg, suhu 40C, GDS 130mg/dl)
Observasi sepintas: tetanus atau bukan? Bila tetanus, ada riwayat terkena luka yang tidak
dibersihkan dengan baik.
Tatalaksana emergency:
Anak yang sedang mengalami kejang, prioritas utama adalah menjaga agar jalan nafas
tetap terbuka. Pakaian dilonggarkan, posisi anak dimiringkan untuk mencegah aspirasi.
Sebagian besar kasus kejang berhenti sendiri, tetapi dapat juga berlangsung terus atau
berulang. Pengisapan lendir dan pemberian oksigen harus dilakukan teratur, kalau perlu
dilakukan intubasi. Keadaan dan kebutuhan cairan, kalori dan elektrolit harus diperhatikan.
Suhu tubuh dapat diturunkan dengan kompres air hangat dan pemberian antipiretik
(asetaminofen oral 10 mg/kg BB, 4 kali sehari atau ibuprofen oral 20 mg/kg BB, 4 kali
sehari). Saat ini diazepam merupakan obat pilihan utama untuk kejang demam fase akut,
karena diazepam mempunyai masa kerja yang singkat. Diazepam dapat diberikan secara
intravena atau rektal, jika diberikan intramuskular absorbsinya lambat. Dosis diazepam pada
anak adalah 0,3 mg/kg BB, diberikan secara intravena pada kejang demam fase akut, tetapi
pemberian tersebut sering gagal pada anak yang lebih kecil. Jika jalur intravena belum
terpasang, diazepam dapat diberikan per rektal dengan dosis 5 mg bila berat badan kurang
dari 10 kg dan 10 mg pada berat badan lebih dari 10 kg.
Anamnesis
Anamnesis dapat langsung dilakukan terhadap pasien (auto-anamnesis) atau terhadap
keluarganya atau pengantarnya (alo-anamnesis) bila ditemukan keadaan pasien yang tidak
memungkinkan untuk diwawancarai, misalnya keadaan gawat-darurat atau pada anak kecil.
Karena pada kasus kita ini mengenai seorang anak, maka anamnesis yang kira lakukan adalah
secara alloanamnesis. Anamnesis yang di lakukan pada kasus ini antara lain :1
Identitas pasien
Perlu di tanyakan nama lengkap, tempat tanggal lahir, status perkawinan, pekerjaan,
alamat, jenis kelamin, umur, agama, suku bangsa, dan pendidikan.
Keluhan utama
Keluhan yang membuat pasien datang ke dokter dan perlu di tanyakan onsetnya.
Riwayat penyakit sekarang
apakah disertai dengan keluhan lain misalnya Demam sejak kapan? Suhunya berapa?
Naik turun? Ada mual muntah? Sakit kepala? Ada kejang ? Kejangnya berapa lama?
Sudah berapa kali kejang selama demam? Pernah kejang sebelumnya? Usia berapa
kejang pertama kali? Apa ada pencetusnya? Sudah diberi obat kejang?
kecil?
Riwayat kehamilan
Tanyakan kesehatan ibunya pada waktu hamil apakah terkena penyakit atau tidak, dan
juga tanyakan riwayat persalinan, apakah bersalin di rumah sakit atau di dukun.
Pemeriksaan Fisik
Tidak ada pemeriksaan fisik yang spesifik pada kejang demam. Umumnya dapat
dilakukan pemeriksaan tanda tanda vital yaitu pemeriksaan suhu, frekuensi pernapasan,
denyut nadi serta tekanan darah pada penderita. Yang menonjol disini biasanya didapatkan
peningkatan suhu tubuh.
Pemeriksaan tingkat kesadaran diperlukan pasca kejang untuk memperhatikan apakah
ada defisit neurologis atau tidak. Bentuk pemeriksaan kesadaran yang digunakan dapat
berbentuk pemeriksaan kualitatif maupun kuantitatif. Tingkat kesadaran kualitatif pasien
terbagi atas:
Compos mentis: sadar terhadap diri dan lingkungan.
Delirium : gaduh gelisah, kacau, disorientasi
Somnolen : mengantuk, mudah dibangunkan, menangkis nyeri
Stupor: dapat dibangunkan dengan rangsangan kuat, kemudian kesadaran turun lagi
Koma : tanpa gerakan sama sekali
Secara kuantitatif dapat digunakan Glasgow Coma Scale, tabel berikut akan menjelaskan
tentang Glasgow Coma Scale.
Table 2. indikasi lumbal pungsi pada bayi kejang demam di bawah 18 bulan4
Ada riwayat gangguan iritabilita, susah makan, lethargi
Abnormal mental status selama periode postictal
Ada tanda klinis meningitis, fontanel bulging, kernig dan brudzinsky +, photofobia,
manangis melengking
Kejang demam kompleks
Pretreatment antibiotic
Berlangsung singkat
Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului dengan kejang
parsial
Kejang berulang 2 kali atau lebih dalam 24 jam, anak sadar kembali di antara
bangkitan kejang.3
Diagnosis diferensial
1. Epilepsi: Keadaan yang ditandai bangkitan berulang akibat gangguan fungsi otak secara
intermiten akibat lepasnya muatan listrik abnormal dan berlebihan.3
Etiologi :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
idiopatik
penyakit cerebrovaskular
peminum alkohol kronis
tumor
post trauma kapitis
penyakit degeneratif11
Gejala Klinis :
Bangkitan Parsial
a. Parsial Sederhana : tanpa perubahan kesadaran, kejang dimaulai dari tangan
kaki muka (unilateral / fokal) kemudian menyebar ke sisi yang sama
b. Parsial Kompleks : gejala pada bangkitan parsial sederhana diikuti dengan
perubahan kesadaran
Bangkitan Umum
a) Lena : gangguan kesadaran mendadak dalam beberapa detik, selama gangguan
kesadaran bangkitan motorik terhenti, mata memandang jauh ke depan
b) Klonik : kejang seluruh tubuh
c) Tonik : kaku otot
d) Tonik Klonik : kehilangan kesadaran, fase tonik 10-30 detik diikuti fase
klonik 30-60 detik disertai mulut berbusa.
e) Atonik : kehilangan tonus seluruh tubuh3
Hingga kini belum diketahui dengan pasti. Demam sering disebabkan infeksi saluran
pernapasan atas, otitis media, pneumodia, gastroenteritis, dan infeksi salurah kemih. Kejang
tidak selalu timbul pada suhu yang tinggi. Kadang kadang pada suhu yang tidak begitu tinggi
kejang dapat timbul. Kontribusi genetic pada kasus kejang demam di temukan positive pada
keluarga yang memiliki sejarah kejang demam. Pada banyak keluarga yang memiliki kejadia
kejang demam di turunkan secara outosomal dominan dan sudah diidentifikasikan multiple
single gen yang menyebabkan kelainan ini. Dibanyak kasus kelainan ini ditemukan poligenik
dan gen pendisposi telah diidentifikasi yaitu FEB 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7 pada kromosom 5q13-q21,
19p13.3, 2q24, 5q14-q15, 6q22-24, 18p11.2 dan 21q22. Hanya fungsi FEB 2 yang diketahui
sebagai gen sodium channel, SCN1A. Di perkirakan herpes virus tipe 6 penyebab sepertiga
dari kasus kejang demam pertama kali pada anak dibawah 2 tahun, dan begitu juga herpes
virus 7 dikena sebagai agen penyebab kejang demam.6
Epidemiologi
Kejadian kejang demam diperkirakan 2-4% di amerika serikat, amerika selatan, dan
eropa barat. Di asia dilaporkan lebih tinggi. Kira kira 20% kasus merupakan kejang demam
kompleks. Umumnya kejang demam timbul pada tahun kedua kehidupan (17-23 bulan).
Kejang demam sedikit lebih tinggi pada laki laki.6
Patofisiologi
Meskipun mekanisme pasti terjadinya kejang tidak diketahui, beberapa faktor fisiologis
dianggap bertanggung jawab atas berkembangnya suatu kejang.
Untuk mempertahankan hidup sel atau organ otak, diperlukan suatu energi yang didapat
dari metabolisme. Bahan baku untuk memetabolisme otak yang terpenting adalah glukosa.
Sifat proses itu adalah oksidasi dimana oksigen disediakan dengan perantaraan fungsi paruparu dan diteruskan ke otak melalui sistem kardiovaskuler. Jadi sumber energi otak adalah
glukosa yang melalui proses oksidasi dipecah menjadi CO2 dan air.
Sel dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri dari permukaan dalam adalah lipid dan
permukaan luar adalah ionik. Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui
dengan mudah oleh ion kalium (K +) dan sangat sulit dilalui oleh ion natrium (Na +) dan
elektrolit lainnya, kecuali ion klorida (Cl-). Akibatnya kosentrasi K+ dalam sel neuron tinggi
dan konsentrasi Na+ menjadi rendah sedangkan di luar sel neuron terjadi keadaan sebaliknya.
Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di luar sel, maka terdapat perbedaan
potensial yang disebut potensial membran dari sel neuron. Untuk menjaga keseimbangan
petensial membran ini diperlukan energi dan bantuan enzim Na-K-ATPase yang terdapat pada
permukaan sel.
Keseimbangan petensial membran ini dapat diubah oleh adanya:
1.
2.
3.
Pada keadaan demam, kenaikan 1oC akan mengakibatkan kenaikan metabolisme basal
10-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat sampai 20%. Jadi pada kenaikan suhu tubuh
tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membran sel neuron, dan dalam waktu
yang singkat dapat terjadi difusi ion kalium listrik. Lepas muatan listrik ini demikian
besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke membran tetangganya dengan
bantuan bahan yang disebut neurotransmitter dan terjadilah kejang. Tiap anak mempunyai
ambang kejang yang berbeda dan tergantung dari tinggi rendahnya ambang kejang seorang
anak menderita kejang pada kenaikan suhu tubuh tertentu. Pada anak dengan ambang kejang
yang rendah, kejang sudah dapat terjadi pada suhu 38oC, sedangkan pada anak dengan
ambang kejang yang tinggi, kejang baru dapat terjadi pada suhu 40oC atau lebih.
Pada kejang yang berlangsung lama biasanya disertai terjadinya apnea, meningkatnya
kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet sedangkan otot pernafasan tidak
efisien sehingga tidak sempat bernafas yang akhirnya terjadi hipoksemia, hiperkapnea,
hipoglikemia, laktat asidosis disebabkan metabolisme anaerob, hipotensi artenal disertai
denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh yang semakin meningkat oleh karena
meningkatnya aktivitas otot dan selanjutnya menyebabkan metabolisme otot meningkat.
Faktor terpenting adalah gangguan peredaran darah mengakibatkan hipoksia sehingga
meninggikan permeabilitas kapiler dan timbul oedem otak yang mengakibatkan kerusakan sel
neuron.
Dari kenyataan ini dapat disimpulkan bahwa berulangnya kejang demam lebih sering
terjadi pada ambang kejang yang rendah sehingga di dalam penanggulangannya perlu
diperhatikan pada tingkat suhu berapa penderita menjadi kejang.4
Pencegahan
Karena kejang demam berlangsung singkat dan luarannya baik, sebagian anak tidak
memerlukan tatalaksana. Diazepam rectal diberikan saat kejang untuk mencegah kejang
lama. Pemberian fenobarbital atau asam valproat rumatan dapat mencegah kejang demam,
namun penggunaannya terbatas karena ada potensi menimbukan efek samping serius. Terapi
intermitten dengan diazepam oral 3-4 kali sehari selama demam menunjukan efektivitas
yang bervariasi.6
Komplikasi
1. Epilepsi
Anak yang menderita kejang demam beresiko lebih besar mengalami epilepsi
dibandingkan dengan yang tidak. Besarnya resiko ini dipengaruhi banyak faktor, namun
yang terpenting adalah kelainan status neurologik sebelum dan sesudah kejang,
timbulnya kejang demam yang kompleks dan riwayat kejang afebris pada keluarga.
Seorang anak normal yang mengalami kejang demam memiliki resiko 2x lipat lebih
besar dibandingkan populasi kontrol.2
Apabila kejang pertamanya kompleks, atau bila anaknya abnormal, resiko dapat
meningkat hingga 5 kali lipat. Bila kedua faktor ada maka resikonya menjadi 18 kali
lipat dan insidensi epilepsi dapat mencapai 10% dalam kelompok ini. Anak dengan
serangan kejang demam fokal, berkepanjangan, dan berulang dengan penyakit yang
sama memiliki 50% kemungkinan menderita epilepsi saat ia berusia 25 tahun.
2. Retardasi mental
Gangguan belajar dan perilaku, retardasi mental, defisit koordinasi dan motorik dan
status epileptikus pernah dilaporkan sebagai gejala sisa kejang demam. Kejang yang
berkepanjangan tampaknya merupakan faktor pemicu timbulnya sekuele. 6
Prognosis
Dengan penanggulangan yang tepat dan cepat, prognosisnya baik dan tidak
menyebabkan kematian. Frekwensi berulangnya kejang berkisar antara 25-50%, umumnya
terjadi pada 6 bulan pertama dan 28% anak dengan kejang demam pertama diatas 1 tahun.
Sekitar 10% anak dengan kejang demam berulang tiga kali atau lebih. Anak dengan kejang
demam kompleks akan mendapat resiko 7% untuk mendapat kejang demam kompleks lagi.6
Tata laksana
1. Non medika mentosa
Seringkali kejang yang terjadi akan berhenti dengan sendirinya. Penting untuk menjaga
jalan napas agar tetap lancar pada pasien yang mengalami serangan kejang demam.
Jika anak mengalami kejang, posisikan anak miring (semiposisi) dengan leher yang
diekstensikan sehingga sekresi dapat keluar secara lancar melalui mulut.
Jika pernasapan sulit: buka saluran napas dengan ekstensi leher secara hati-hati,
angkat rahang ke depan. Jangan letakkan apapun ke dalam mulut. Berikan O 2 jika
tersedia.
Tetap perhatikan keadaan vital pasien seperti kesadaran, suhu, tekanan darah,
pernapasan dan fungsi jantung. Penting untuk mengetahui pada suhu berapa anak
mengalami kejang sehingga kita dapat mengetahui ambang kejang anak tersebut.
Jangan letakkan apapun (sendok, jari) di mulut pasien.
Suhu tubuh yang tinggi dapat diturunkan dengan kompres dan pemberian
antipiretik. Antipiretik yang dapat digunakan pada anak adalah Paracetamol.
Jangan gunakan asam salisilat sebagai antipiretik karena dapat menyebabkan
sindrom Reye.
Setelah kejang berhenti, periksa kadar glukosa dan elektrolit darah. Pada kejang demam
biasanya didapati peningkatan kadar fosfor, penurunan kadar magnesium dan kalsium serta
penurunan kadar glukosa darah.7
2. Medikamentosa
Penobatan medikamentosa saat kejang dapat dilihat pada tatalaksana penglihatan
kejang (lihat bagan). Saat ini lebih diutamakan pengobatan profilaksis intermiten pada saat
demam, berupa:
Antipiretik
Tujuan utama pengobatan kejang demam adalah mencegah demam meningkat.
Parasetamol 10-15 mg/kgBB/kali diberikan 4 kali sehari dan tidak lebih dari 5 kali
atau ibuprofen 5-10 mg/kgBB/kali, 3-4 kali sehari. 3,4
Antikejang
Diazepam oral dengan dosis 0,3 mg/kgBB setiap 8 jam atau diazepam rectal dosis
0,5 mg/kgBB setiap 8 jam pada saat suhu tubuh >38,5 oC. terdapat efek samping
berupa ataksia, iritabel dan sedasi yang cukup berat pada 25-39% kasus. 3,4
Pengobatan jangka panjang
Pengobatan jangka panjang hanya diberikan jika kejang demam menunjukkan ciri
sebagai berikut (salah satu):
- Kejang lama > 15 menit
- Kelainan neurologi yang nyata sebelum/sesudah kejang: hemiparesis, paresis
todd, palsi serebral, retardasi mental, hidrosefalus.
Kejang fokal
Obat untuk pengobatan jangka panjang: fenobarbital (dosis 3-4 mg/kgBB/ hari dibagi
1-2 dosis) atau asam valproat (dosis 15-40 mg/kgBB/hari dibagi 2-3 dosis) pemberian obat
ini efektif dalam menurunkan risiko berulangnya kejang (level I). pengobatan diberikan
selama 1 tahun bebas kejang. Kemudian dihentikan secara bertahap selama 1-2 bulan.
Kesimpulan
Kejang demam pada anak sering terjadi pada masyarakat. Banyak keluarga tidak
menyadari. Berbagai kondisi kegawatan dapat terjadi pada kasus kejang demam pada anak
yang tidak segera ditangani. Kegawatan tersebut diantaranya : kegawatan karena kejang,
sesak nafas, suhu yang meninggi dan cedera. Terjadinya bangkitan kejang demam bergantung
kepada umur, tinggi serta cepatnya suhu meningkat. Faktor hereditas juga mempunyai
peranan. Dengan penangulangan yang tepat dan cepat, prognosis kejang demam baik dan
tidak perlu menyebabkan kematian.
Daftar Pustaka
1. Gleadle,
Jonathan.At
Glance
Anamnesis
dan
pemeriksaan
fisik.
Jakarta:Erlangga;2003. h.112-3
2. Wahidiyat I, Matondang CS, Sastroasmoro HS. Diagnosis fisis pada anak. Jakarta:
FKUI, 2000.h. 3-37.
3. Beherman RE, Kliegman R. Nelson ilmu kesehatan anak. Vol 3. Ed. 15. Jakarta:
EGC, 2000.h. 2114 2142.
4. Isselbacher, Braunwald, Wilson, Martin, Fauci, Kasper. Harrison prinsip-prinsip ilmu
penyakit dalam volume 1. Edisi 13. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran ECG;2000.
5. Radji M. Imunologi dan Virologi. Edisi 1. Jakarta: penerbit P.T ISFI; 2009
6. Rudolph AM, Hoffman JIE, Rudolph CD. Buku ajar pediatri rudolph. Vol 3. Edisi ke
20. Jakarta: EGC; 2006. h. 37-8,710-12.
7. Elzouki AY, Harfi HA, Nazer HM.Textbook of clinical pediatrics, Volume 1.New
York: Springer, 2012. p. 1244.