Anda di halaman 1dari 15

DISKUSI

A. ASPEK KLINIS

Morbili/ campak merupakan penyakit akut yang sangat menular,


disebabkan oleh virus genus Morbillivirus

yang terutama menyerang anak.

Morbili memiliki gejala klinis khas, yang terdiri dari tiga stadium yaitu
a. Stadium Prodromal
Stadium ini berlangsung selama 4-5 hari disertai gambaran klinis seperti
demam, malaise, batuk, fotopobia, konjungtivitis, dan coryza. Menjelang akhir
dari stadium kataral dan 24 jam sebelum timbul enantema, terdapat bercak
koplik berwarna putih kelabu sebesar ujung jarum dan dikelilingi oleh eritema.
Lokasinya di mukosa bukalis yang berhadapan dengan molar bawah. Secara
klinis, gambaran penyakit pada stadium ini memberikan gejala menyerupai
influenza dan sering didiagnosis sebagai influenza. Diagnosis perkiraan yang
besar dapat ditegakkan jika adanya bercak koplik dan penderita pernah kontak
dengan penderita morbili. 1,2
b. Stadium Erupsi
Coryza dan batuk bertambah. Timbul enantema atau titik merah di palatum
durum dan palatum mole. Kadang kadang terlihat bercak koplik. Terjadi
eritema bentuk makulopapuler disertai naiknya suhu badan. Mula-mula eritema
timbul dibelakang telinga, bagian atas lateral tengkuk sepanjang rambut dan
bagian belakang bawah. Kadang-kadang terdapat perdarahan ringan pada kulit.
Rasa gatal, wajah terasa bengkak merupakan gejala lain yang sering

ditemukan. sering ditemukan. Ruam mencapai anggota bawah pada hari ke 3,


dan menghilang sesuai urutan terjadinya. Penyebaran makula pada campak
khas dengan pola dari luar ke dalam (sentripetal). Terdapat pembesaran
kelenjar getah bening di sudut mandibula dan di daerah leher belakang. Sedikit
terdapat splenomegali, tidak jarang disertai diare dan muntah. Variasi yang
biasa terjadi adalah Black Measless, yaitu morbili yang disertai dengan
perdarahan di kulit, mulut, hidung, dan traktus digestivus, 1,2,3
c. Stadium Konvalesensi
Pada stadium ini, erupsi berkurang menimbulkan bekas yang berwarna lebih
tua atau hiperpigmentasi (gejala patognomonik) yang lama kelamaan akan
hilang

sendiri.

Selain

itu

ditemukan

pula

kelainan

kulit

bersisik.

Hiperpigmentasi ini merupakan gejala patognomonik untuk morbilli. Pada


penyakit-penyakit lain dengan eritema atau eksantema ruam kulit menghilang
tanpa hiperpigmentasi. Suhu menurun sampai normal kecuali bila ada
komplikasi.1,2,3
Penularan terjadi secara droplet dari 1-2 hari sebelum timbul gejala dan 4 hari
setelah timbul ruam. Virus masuk ke dalam limfatik lokal, bebas maupun
berhubungan dengan sel mononuklear dan menuju kelenjar getah bening lokal.
Disini virus memperbanyak diri dengan perlahan dan menyebar ke sel jaringan
limforetikuler. Sel mononuklear yang terinfeksi menyebabkan terbentuknya sel
raksasa berinti banyak dan limfosit T aktif membelah. Pada hari ke 5-6 infeksi
masuk ke dalam pembuluh darah dan menyebar ke permukaan epitel orofaring,
konjungtiva, saluran nafas, kulit, kandung kemih dan usus. 3,4

Pada hari ke-9 dan ke-10, fokus infeksi berada di epitel saluran napas dan
konjungtiva sehingga muncul gejala seperti common cold dan selaput konjungtiva
tampak hiperemis. Proses peradangan diikuti dengan demam tinggi. Tampak suatu
ulseratif kecil pada mukosa pipi yang disebut bercak koplik yang merupakan
tanda pasti penegakan diagnosis. Pada hari ke 14 akan mulai muncul ruam
mukolopapular selanjutnya daya tahan tubuh menurun. Daerah epitel nasofaring
yang mengalami neksosis akan mudah terjadi infeksi sekunder sehingga dapat
memberikan koplikasi berupa bronkopneumonia dan otitis media.3,4,5
Penegakan diagnosis pada kasus ini didasarkan pada anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Pada kasus ini, pasien datang dengan keluhan ruam diseluruh
badan sejak 5 hari sebelum dibawa ke PKM . Menurut ibu pasien, ruam merah
muncul di bagian telinga, menyebar ke seluruh wajah, kemudian ke badan,
punggung, tangan dan kaki, mata pasien selalu berair selama demam. pasien juga
mengalami batuk serta flu. Pasien juga mengalami muntah. Berdasarkan
kepustakaan, morbilli diawali dengan timbulnya demam yang mendadak, diikuti
dengan batuk, coryza, konjungtivitis, anoreksia dan adanya bercak koplik pada
mukosa bukalis. Adanya bercak koplik menjadi tanda patognomonik dari
morbilli.2
Pasien memiliki riwayat kontak dengan penderita sebelumnya yaitu kakak
pasien yang mengalami hal yang sama 3 minggu yang lalu. Pasien juga tidak
mendapatkan vaksin campak usia 9 bulan, sehingga faktor resiko terkena campak
sangat besar. Berdasarkan kepustakaan, faktor resiko terjadinya morbili yaitu
kontak dengan penderita 1-2 minggu sebelumnya, tidak mendapatkan vaksin
campak saat usia 9 bulan dan imunosupresi. 1,3

Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya konjungtiva hiperemis, dan


ditemukan bercak koplik pada mukosa pipi. Bercak koplik yang timbul multipel
sebesar pasir,dengan sekelilingnya kemerahan. Pada kulit wajah, dada, abdomen,
punggung, kaki dan tangan tampak ruam eritema makulopapular. Adanya tanda
patogomonik berupa bercak koplik, yang mendasari ditegakkan diagnosis sebagai
campak/ Morbilli.1,2
Pada kasus ini, saat pasien datang ke puskesmas, kemungkinan pasien sudah
dalam stadium erupsi karena ruam makulopapular sudah timbul. Bercak koplik
sebagai tanda patognomonik morbilli biasanya didapatkan pada akhir stadium
prodromal dan menghilang dalam 24 jam sampai hari kedua setelah timbulnya
rash.3,4
Morbili bersifat self limiting disease sehingga pengobatannya hanya
bersifat simptomatik, yaitu untuk mengurangi gejala yang muncul dan mencegah
komplikasi yang dapat terjadi. Dapat diberikan antipiretik untuk menurunkan
demam dan antibiotik untuk mencegah bronkopneumonia. Diberikan ekspektoran
atau mukolitik atau untuk mengurangi batuk. vitamin A dosis tunggal untuk
mencegah terjadinya gangguan ophtalmologi. Dosis vitamin A untuk kurang 6
bulan 50.00 IU, usia 6 bulan-1 tahun 100.000 IU, 1 tahun-5 tahun 200.000 IU.3,4
Pada pasien ini diberikan paracetamol dengan dosis 10 mg 15mg/
kgBB per dosis sebanyak setiap 6 jam sehari. Pada pasien ini dapat diberikan
syrup dengan dosis 120 mg. Ambroxol juga diberikan untuk mengurangi batuk
dengan dosis 1,5mg/kgBB/hari. Diberikan juga vitamin A 200. 000 IU untuk
mencegah terjadinya gangguan ophtalmologi.3,4,5

Jika pasien mengalami konjungtivitis ringan dengan cairan mata jernih,


maka tidak perlu diberikan terapi. Sedangkan apabila pasien mengalami
konjungtivitis berat berupa banyaknya sekret pada mata, maka dapat diberikan
tetrasiclin 1% atau Kloramphenicol 0,25% dan apabila terdapat kekeruhan kornea,
kapsul vitamin A di berikan pada hari ke-1, ke-2, dan ke-14. Pada pasien ini tidak
diberikan untuk pengobatan mata karena hanya mengalami konjungtivitis ringan
dengan cairan mata yang jernih.2,6
Pada morbilli biasanya memberikan komplikasi seperti sebagai berikut :
1. Bronkopnemonia
Bronkopneumonia dapat disebabkan oleh virus campak atau oleh infeksi
sekunder oleh bakteri pneumococcus, streptococcus atau staphylococcus.
Bronkopneumonia ini dapat menyebabkan kematian bayi yang masih muda,
anak dengan malnutrisi energi protein, penderita penyakit menahun seperti
tuberkulosis, leukemia dan lain-lain. Oleh karena itu pada keadaan tertentu
perlu dilakukan pencegahan.2,3
2. Encephalitis morbili akut
Encephalitis morbili akut ini timbul pada stadium eksantem, angka kematian
rendah. Angka kejadian ensefalitis setelah infeksi morbili ialah 1:1000 kasus,
sedangkan ensefalitis setelah vaksinasi dengan virus morbili hidup adalah 1,16
tiap 1.000.000 dosis.2
4. SSPE (Subacute Scleroting panencephalitis)
SSPE yaitu suatu penyakit degenerasi yang jarang dari susunan saraf pusat.
Ditandai oleh gejala yang terjadi secara tiba-tiba seperti kekacauan mental,
disfungsi motorik, kejang, dan koma. Perjalan klinis lambat, biasanya

meninggal dalam 6 bulan sampai 3 tahun setelah timbul gejala spontan.


Meskipun demikian, remisi spontan masih dapat terjadi. Biasanya terjadi pada
anak yang menderita morbili sebelum usia 2 tahun. SSPE timbul setelah 7
tahun terkena morbili, sedang SSPE setelah vaksinasi morbili terjadi 3 tahun
kemudian. Penyebab SSPE tidak jelas tetapi ada bukti-bukti bahwa virus
morbilli memegang peranan dalam patogenesisnya. Anak menderita penyakit
campak sebelum umur 2 tahun, sedangkan SSPE bisa timbul sampai 7 tahun
kemudian SSPE yang terjadi setelah vaksinasi campak didapatkan kira-kira 3
tahun kemudian. Kemungkinan menderita SSPE setelah vaksinasi morbili
adalah 0,5-1,1 tiap 10.000.000, sedangkan setelah infeksi campak sebesar 5,29,7 tiap 10.000.000.2,3
Pencegahan penyakit morbilli dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut :
1. Imunisasi aktif.
Pencegahan utama dengan melakukan imunisasi campak, imunisasi campak
termasuk yang wajib diberikan terhadap anak usia 9 bulan yang dapat diulang
saat anak berusia dan termasuk ke dalam program pengembangan imunisasi
(PPI). Imunisasi dapat pula diberikan bersama Mumps dan Rubela (MMR)
pada usia 12-15 bulan. Anak yang telah mendapat MMR tidak perlu mendapat
imunisasi campak ulangan pada usia 6 tahun.2
2. Imunisasi pasif.
Campak dapat dicegah dengan menggunakan imunoglobulin serum dengan
dosis 0,25 mL/kgBB diberikan secara intramuskuler dalam 5 hari sesudah
pemajanan tetapi lebih baik sesegera mungkin. Namun tidak banyak dianjurkan
karena beresiko terjadinya ensefalitis dan aktivasi tuberkulosis.1,2,3
3. Isolasi

Penderita rentan menghindari kontak dengan seseorang yang terkena penyakit


campak dalam kurun waktu 20-30 hari, demikian pula bagi penderita campak
untuk diisolasi selama 20-30 hari guna menghindari penularan lingkungan
sekitar.2
Morbilli merupakan penyakit self limiting disease dan berlangsung 7-10
hari sehingga bila tanpa disertai dengan komplikasi maka prognosisnya baik.
Morbiditas morbili dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti:1,2
-

Diagnosis dini. Pengobatan adekuat terhadap komplikasi yang timbul

Kesadaran dan pengetahuan yang rendah dari orangtua penderita

Masih percaya tahayul

Penggunaan fasilitas kesehatan yang kurang.

B. ASPEK KESEHATAN MASYARAKAT


Suatu penyakit dapat terjadi oleh karena adanya ketidakseimbangan
faktor-faktor utama yang dapat mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat.
Paradigma hidup sehat yang diperkenalkan oleh H. L. Blum mencakup 4
faktor yaitu faktor genetik (keturunan), perilaku (gaya hidup) individu atau
masyarakat, faktor lingkungan (sosial ekonomi, fisik, politik) dan faktor
pelayanan kesehatan (jenis, cakupan dan kualitasnya), namun yang paling
berperan dalam terjadinya campak adalah faktor perilaku, lingkungan serta
pelayanan kesehatan.

a. Determinan Penyakit Campak


Host (Penjamu)
Beberapa faktor Host yang meningkatkan risiko terjadinya campak antara
lain:
-

Umur
Pada

sebagian

besar

masyarakat,

maternal

antibodi

akan

melindungi bayi terhadap campak selama 6 bulan dan penyakit tersebut


akan dimodifikasi oleh tingkat maternal antibodi yang tersisa sampai
bagian pertama dari tahun kedua kehidupan. Tetapi, di beberapa populasi,
khususnya Afrika, jumlah kasus terjadi secara signifikan pada usia
dibawah 1 tahun, dan angka kematian mencapai 42% pada kelompok usia
kurang dari 4 tahun. Di luar periode ini, semua umur sepertinya memiliki
kerentanan yang sama terhadap infeksi. Umur terkena campak lebih
tergantung oleh kebiasaan individu daripada sifat alamiah virus. Di
Amerika Utara, Eropa Barat, dan Australia, anak-anak menghabiskan
lebih banyak waktu di rumah, tetapi ketika memasuki sekolah jumlah
anak yang menderita menjadi meningkat.
Sebelum imunisasi disosialisasiksan secara luas, kebanyakan kasus
campak di negara industri terjadi pada anak usia 4-6 tahun ataupun usia
sekolah dasar dan pada anak dengan usia yang lebih muda di negara
berkembang. Cakupan imunisasi yang intensif menghasilkan perubahan
dalam distribusi umur dimana kasus lebih banyak pada anak dengan usia
yang lebih tua, remaja, dan dewasa muda.
Penelitian Casaeri dengan desain kasus kontrol di Kabupaten
Kendal menyebutkan bahwa anak dengan usia rentan yakni kurang dari 15
tahun memiliki kemungkinan risiko 4,9 kali lebih besar untuk terinfeksi
campak dibanding pada anak umur kurang rentan.
Pada kasus ini, usia pasien terserang umur 3 tahun. Resiko meningkat
karena adanya paparan langsung dari anggota keluarga lainnya dan pasien
8

yang tidak mendapat imunisasi campak sehingga tidak memiliki kekebalan


tubuh untuk virus campak sehingga sangat mudah untuk terserang
penyakit ini.
-

Umur Pemberian Imunisasi


Sisa antibodi yang diterima dari ibu melalui plasenta merupakan
faktor yang penting untuk menentukan umur imunisasi campak dapat
diberikan pada balita. Maternal antibodi tersebut dapat mempengaruhi
respon imun terhadap vaksin campak hidup dan pemberian imunisasi yang
terlalu awal tidak selalu menghasilkan imunitas atau kekebalan yang
adekuat.
Pada umur 9 bulan, sekitar 10% bayi di beberapa negara masih
mempunyai antibodi dari ibu yang dapat mengganggu respons terhadap
imunisasi. Menunda imunisasi dapat meningkatkan angka serokonversi.
Secara umum di negara berkembang akan didapatkan angka serokenversi
lebih dari 85% bila vaksin diberikan pada umur 9 bulan. Sedangkan di
negara maju, anak akan kehilangan antibodi maternal saat berumur 12-15
bulan sehingga pada umur tersebut direkomendasikan pemberian vaksin
campak. Namun, penundaan imunisasi dapat mengakibatkan peningkatan
morbiditas dan mortalitas akibat campak yang cukup tinggi di kebanyakan
negara berkembang
Penelitian

kohort

di

Arkansas

menyebutkan

bahwa

jika

dibandingkan dengan anak yang mendapatkan vaksinasi pada usia >15


bulan, anak yang mendapatkan vaksinasi campak pada usia <12 bulan
memiliki risiko 6 kali untuk terkena campak. Sedangkan anak yang
mendapatkan vaksinasi campak pada usia 12-14 bulan memiliki risiko 3
kali untuk terkena campak dibanding dengan anak yang mendapat
vaksinasi pada usia 15 bulan.
Sedangkan sebuah studi kasus kontrol yang juga dilakukan di
Arkansas menyebutkan bahwa anak yang mendapatkan vaksinasi campak
pada usia 12-14 bulan memiliki kemungkinan risiko terkena campak 5,6
kali lebih besar dibanding anak yang mendapatkan vaksin pada usia 15
bulan atau lebih.

Pekerjaan
Dalam lingkungan sosio-ekonomis yang buruk, anak-anak lebih
mudah mengalami infeksi silang. Kemiskinan bertanggungjawab terhadap
penyakit yang ditemukan pada anak. Hal ini karena kemiskinan
mengurangi kapasitas orang tua untuk mendukung perawatan kesehatan
yang memadai pada anak, cenderung memiliki higiene yang kurang,
miskin diet, miskin pendidikan. Frekuensi relatif anak dari orang tua yang
berpenghasilan rendah 3 kali lebih besar memiliki risiko imunisasi
terlambat dan 4 kali lebih tinggi menyebabkan kematian anak dibanding
anak yang orang tuanya berpenghasilan cukup.
Pada kasus ini, sosial ekonomis pasien termasuk dalam menengah
ke atas. Rentannya seseorang terserang penyakit diakibatkan karena pasien
dalam kasus ini tidak mendapatkan vaksinasi campak baik pada imunisasi
dasar maupun lanjutan.

Pendidikan
Tingkat pendidikan sangat mempengaruhi bagaimana seseorang
untuk bertindak dan mencari penyebab serta solusi dalam hidupnya. Orang
yang berpendidikan lebih tinggi biasanya akan bertindak lebih rasional.
Oleh karena itu orang yang berpendidikan akan lebih mudah menerima
gagasan baru. Pendidikan juga mempengaruhi pola berpikir pragmatis dan
rasional terhadap adat kebiasaan, dengan pendidikan lebih tinggi orang
dapat lebih mudah untuk menerima ide atau masalah baru.

Imunisasi
Vaksin campak adalah preparat virus yang dilemahkan dan berasal
dari berbagai strain campak yang diisolasi. Vaksin dapat melindungi tubuh
dari infeksi dan memiliki efek penting dalam epidemiologis penyakit yaitu
mengubah distribusi relatif umur kasus dan terjadi pergeseran ke umur
yang lebih tua. Pemberian imunisasi pada masa bayi akan menurunkan
penularan agen infeksi dan mengurangi peluang seseorang yang rentan
untuk terpajan pada agen tersebut. Anak yang belum diimunisasi akan
tumbuh menjadi besar atau dewasa tanpa pernah terpajan dengan agen

10

infeksi tersebut. Pada campak, manifestasi penyakit yang paling berat


biasanya terjadi pada anak berumur kurang dari 3 tahun.
Pemberian imunisasi pada umur 8-9 bulan diprediksi dapat
menimbulkan serokonversi pada sekurang-kurangnya 85% bayi dan dapat
mencegah sebagian besar kasus dan kematian. Dengan pemberian satu
dosis vaksin campak, insidens campak dapat diturunkan lebih dari 90%.
Namun karena campak merupakan penyakit yang sangat menular, masih
dapat terjadi wabah pada anak usia sekolah meskipun 85-90% anak sudah
mempunyai imunitas.

Status Gizi
Kejadian kematian karena campak lebih tinggi pada kondisi
malnutrisi, tetapi belum dapat dibedakan antara efek malnutrisi terhadap
kegawatan penyakit campak dan efek yang ditimbulkan penyakit campak
terhadap nutrisi yang dikarenakan penurunan selera makan dan
kemampuan untuk mencerna makanan. Scrimshaw mencatat bahwa
kematian karena campak pada anak-anak yang ada di desa Guatemala
menurun dari 1% menjadi 0,3% tiap tahunnya ketika anak-anak tersebut
diberikan suplemen makanan dengan kandungan protein tinggi. Sedangkan
pada desa yang menjadi kontrol dimana anak-anak tersebut tidak diberikan
suplemen protein, angka kematian menunjukkan angka 0,7%. Tetapi
karena hanya 27% saja dari anak-anak tersebut yang secara teratur
mengkonsumsi protein ekstra, dapat disimpulkan bahwa perubahan rate
yang didapatkan pada kasus observasi tidak seluruhnya disebabkan oleh
suplemen makanan.
Dari sebuah studi dinyatakan bahwa elemen nutrisi utama yang
menyebabkan kegawatan campak bukanlah protein dan kalori tetapi
vitamin A. Ketika terjadi defisiensi vitamin A, kematian atau kebutaan
menyertai penyakit campak. Apapun urutan kejadiannya, kematian yang
berhubungan dengan penyakit campak mencapai tingkat yang tinggi,
biasanya lebih dari 10% terjadi pada keadaan malnutrisi.

ASI Eksklusif

11

Sebanyak lebih dari tiga puluh jenis imunoglobulin terdapat di


dalam ASI yang dapat diidentifikasi dengan teknik-teknik terbaru. Delapan
belas diantaranya berasal dari serum si ibu dan sisanya hanya ditemukan di
dalam ASI/kolostrum. Imunoglobulin yang terpenting yang dapat
ditemukan pada kolostrum adalah IgA, tidak saja karena konsentrasinya
yang tinggi tetapi juga karena aktivitas biologiknya. IgA dalam kolostrum
dan ASI sangat berkhasiat melindungi tubuh bayi terhadap penyakit
infeksi. Selain daripada itu imunoglobulin G dapat menembus plasenta dan
berada dalam konsentrasi yang cukup tinggi di dalam darah janin/bayi
sampai umur beberapa bulan, sehingga dapat memberikan perlindungan
terhadap beberapa jenis penyakit. Adapun jenis antibodi yang dapat
ditransfer dengan baik melalui plasenta adalah difteri, tetanus, campak,
rubela, parotitis, polio, dan stafilokokus.
b. Agent
Penyebab infeksi adalah virus campak, anggota genus Morbilivirus dari
famili Paramyxoviridae.
c. Lingkungan
Epidemi campak dapat terjadi setiap 2 tahun di negara berkembang
dengan cakupan vaksinasi yang rendah. Kecenderungan waktu tersebut
akan hilang pada populasi yang terisolasi dan dengan jumlah penduduk
yang sangat kecil yakni < 400.000 orang. Status imunitas populasi
merupakan faktor penentu. Penyakit akan meledak jika terdapat akumulasi
anak-anak yang suseptibel. Ketika penyakit ini masuk ke dalam komunitas
tertutup yang belum pernah mengalami endemi, suatu epidemi akan terjadi
dengan cepat dan angka serangan mendekati 100%. Pada tempat dimana
jarang terjangkit penyakit, angka kematian bisa setinggi 25%
Pencegahan Penyakit Campak
a.

Pencegahan Tingkat Awal (Priemordial Prevention)


Pencegahan tingkat awal berhubungan dengan keadaan penyakit yang
masih dalam tahap prepatogenesis atau penyakit belum tampak yang dapat

12

dilakukan dengan memantapkan status kesehatan balita dengan memberikan


makanan bergizi sehingga dapat meningkatkan daya tahan tubuh.
b. Pencegahan Tingkat Pertama (Primary Prevention)
Pencegahan tingkat pertama ini merupakan upaya untuk mencegah seseorang
terkena penyakit campak, yaitu :
a) Memberi

penyuluhan

kepada

masyarakat

mengenai

pentingnya

pelaksanaan imunisasi campak untuk semua bayi.


b) Imunisasi dengan virus campak hidup yang dilemahkan, yang diberikan
pada semua anak berumur 9 bulan sangat dianjurkan karena dapat
melindungi sampai jangka waktu 4-5 tahun.
c.

Pencegahan Tingkat Kedua (Secondary Prevention)


Penceahan tingkat kedua ditujukan untuk mendeteksi penyakit sedini
mungkin untuk mendapatkan pengobatan yang tepat. Dengan demikian
pencegahan ini sekurang-kurangnya dapat menghambat atau memperlambat
progrefisitas penyakit, mencegah komplikasi, dan membatasi kemungkinan
kecatatan, yaitu :
a) Menentukan diagnosis campak dengan benar baik melalui pemeriksaan
fisik atau darah.
b) Mencegah perluasan infeksi. Anak yang menderita campak jangan masuk
sekolah selama empat hari setelah timbulnya rash. Menempatkan anak
pada ruang khusus atau mempertahankan isolasi di rumah sakit dengan
melakukan pemisahan penderita pada stadium kataral yakni dari hari
pertama hingga hari keempat setelah timbulnya rash yang dapat
mengurangi keterpajanan pasien-pasien dengan risiko tinggi lainnya.
c) Pengobatan simtomatik diberikan untuk mengurangi keluhan penderita
yakni antipiretik untuk menurunkan panas dan juga obat batuk. Antibiotika
hanya diberikan bila terjadi infeksi sekunder untuk mencegah komplikasi.
d) Diet dengan gizi tinggi kalori dan tinggi protein bertujuan untuk
meningkatkan daya tahan tubuh penderita sehingga dapat mengurangi
terjadinya komplikasi campak yakni bronkhitis, otitis media, pneumonia,
ensefalomielitis, abortus, dan miokarditis yang reversibel.

d. Pencegahan Tingkat Ketiga (Tertiary Prevention)

13

Pencegahan tingkat ketiga bertujuan untuk mencegah terjadinya


komplikasi dan kematian. Adapun tindakan-tindakan yang dilakukan pada
pencegahan tertier yaitu :
a) Penanganan akibat lanjutan dari komplikasi campak.
b) Pemberian vitamin A dosis tinggi karena cadangan vitamin A akan turun
secara cepat terutama pada anak kurang gizi yang akan menurunkan
imunitas mereka.

DAFTAR PUSTAKA

1. Soedarma SP. Garna H. Hadinegoro SR. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak:
Infeksi dan Penyakit Tropis .Edisi 1. IDAI: Jakarta; 2002.
2. TH, Tampengan, IR, Laurent. Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak. EGC.
Jakarta;2007.
3. Widagdo. Masalah Dan Tatalaksana Penyakit Infeksi Pada Anak. Sagung
Seto;2002.
14

4. Hasan R. dkk. Buku Kuliah 2, Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran


Universitas Indonesia : Jakarta. 2005.
5. Arvin. Behrman. Kliegman. Nelson Ilmu Kesehatan Anak volume 2 Edisi
15. EGC: Jakarta; 2000.
6. Permana, Adhy, dkk. The Disease: Diagnosis & Terapi. Fakultas
Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta; 2010.

15

Anda mungkin juga menyukai