PEMBANGUNAN
PROVINSI BANTEN 2014
OUTLINE ANALISIS PROVINSI
1. Perkembangan Indikator Utama
1.1 Pertumbuhan Ekonomi
1.2 Pengurangan Pengangguran
1.3 Pengurangan Kemiskinan
2. Kinerja Pembangunan Kota/ Kabupaten
2.1 Pertumbuhan Ekonomi dan
Pengurangan kemiskinan
2.2 Pertumbuhan Ekonomi dan
Peningkatan IPM
2.3 Pertumbuhan Ekonomi dan
Pengurangan Pengangguran
2.4 Kesenjangan Wilayah
3. Penyebab Permasalahan Pembangunan
3.1 Ketergantungan pada Sektor
Industri
3.2 Kurangnya Sumber Pertumbuhan
Ekonomi yang Berkelanjutan
3.3 Rendahnya Kualitas lapangan
Kerja
3.4 Kualitas dan Kuantitas Infrastruktur
Wilayah
3.5 Rendahnya Kualitas Sumber Daya
Manusia
3.6 Terbatasnya Mobilitas Tabungan
Masyarakat
3.7 Rendahnya Kualitas Belanja
Daerah
4. Prospek Pembangunan Tahun 2015
5. Penutup
5.1 Isu Strategis Daerah
5.2 Rekomendasi Kebijakan
Desember 2014
Perkembangan Pembangunan
Provinsi Banten 2014
SERI ANALISA PEMBANGUNAN DAERAH
ekonomi dan meningkatkan landasan ekonomi daerah yang memperluas kesempatan kerja
dan mempercepat peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat.
2. Pengurangan Pengangguran
Tingkat pengangguran terbuka Provinsi Banten selama 2006-2013 berkurang
sebesar 6,71 persen (Gambar 3). Pada tahun 2006 tingkat pengangguran daerah tinggi
sebagai dampak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Hal ini mengindikasikan
industri penyedia lapangan kerja di Banten sangat sensitif terhadap gejolak harga BBM.
Tingkat pengangguran di Provinsi Banten lebih tinggi daripada nasional karena lemahnya
pengembangan aktivitas ekonomi yang mampu mendorong penyerapan tenaga kerja, yaitu
sektor unggulan yang memiliki keterkaitan hulu hilir dan atau industri unggulan yang
bersifat padat karya, serta lemahnya kemampuan wirausaha yang dimiliki oleh angkatan
kerja. Diperlukan upaya untuk mendorong pengembangan sektor dan kegiatan ekonomi
yang menyerap tenaga kerja relatif tinggi seperti industri pengolahan, pertanian
perdagangan, jasa. Tantangan lainnya adalah mengembangkan usaha mikro, kecil,
menengah dan koperasi yang mampu menyerap tenaga kerja di sektor informal.
3. Pengurangan Kemiskinan
Walaupun tingkat pengangguran relatif tinggi dan tidak menunjukkan penurunan
yang signifikan, tingkat kemiskinan Banten berhasil ditekan dan lebih rendah
dibandingkan nasional, terutama di perkotaan. Hal ini mengindikasikan tenaga kerja yang
ada merupakan tenaga kerja yang berkualitas. Selama periode 2006-2013, persentase
penduduk miskin menurun dari 10,67 persen menjadi 5,74 persen (Gambar 4).
Pertama, tidak ada kabupaten dan kota di Provinsi Banten yang memiliki rata-rata
pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan di atas rata-rata provinsi. Kedua,
Kabupaten Pandeglang, Lebak dan Serang yang terletak di kuadran II termasuk kategori
daerah dengan pertumbuhan ekonomi di bawah rata-rata, tapi pengurangan kemiskinan di
atas rata-rata (low growth, pro-poor). Tantangan yang harus diatasi oleh pemerintah daerah
4
adalah menjaga efektvititas dan efisiensi kebijakan dan program pengurangan kemiskinan,
dan secara bersamaan mendorong percepatan pembangunan ekonomi dengan prioritas
sektor atau kegiatan ekonomi yang punya potensi berkembang seperti industri
manufaktur, pertanian, serta perdagangan dan jasa.
Ketiga, tidak ada kabupaten dan kota di Banten yang memiliki rata-rata
pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan di bawah rata-rata provinsi (low
growth, less pro-poor).
Keempat, Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang dan Kota Cilegon terletak di
kuadran IV dengan rata-rata pertumbuhan tinggi di atas rata-rata, tapi pengurangan
kemiskinan di bawah rata-rata (high-growth, less-pro poor). Kondisi ini menunjukkan bahwa
pertumbuhan ekonomi yang tinggi di daerah tersebut belum memberi dampak penuruan angka
kemiskinan secara nyata. Upaya yang harus dilakukan pemerintah daerah adalah
meningkatkan koordinasi sinergi dalam mengoptimalkan kebijakan dan program
penanggulangan kemiskinan.
2. Pertumbuhan Ekonomi dan Peningkatan IPM
Gambar 6 menunjukkan distribusi kabupaten dan kota di Provinsi Banten
berdasarkan rata-rata pertumbuhan ekonomi dan peningkatan IPM selama tahun 20082012. Pertama, tidak ada kabupaten dan kota di Banten yang terletak pada Kuadran I
dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi dan peningkatan IPM di atas rata-rata provinsi.
Pada kuadran ini pertumbuhan ekonomi sejalan dengan peningkatan IPM (pro-growth,
pro-human development). Dengan kinerja yang baik ini, tantangan yang dihadapi oleh
pemerintah daerah adalah menjaga momentum pertumbuhan dengan tetap
meningkatkan produktivitas dan nilai tambah, dan sekaligus mempertahankan efektivitas
dan efisiensi pelayanan publik di bidang pendidikan dan kesehatan.
Kedua, Kabupaten Serang dan Pandeglang yang terletak di kuadran II termasuk
kategori daerah dengan pertumbuhan ekonomi di bawah rata-rata, tapi peningkatan IPM di
atas rata-rata (low growth, pro-human development). Hal ini mengindikasikan bahwa berbagai
kebijakan dan program pembangunan untuk meningkatkan pelayanan publik dapat
meningkatkan IPM. Tantangan yang harus diatasi adalah mendorong percepatan
pembangunan ekonomi melalui peningkatan produktivitas dan nilai tambah sektor dan
kegiatan ekonomi seperti Industri manufaktur, pertanian, perdagangan, dan jasa.
Ketiga, Kabupaten Lebak terletak di kuadran III dengan rata-rata pertumbuhan
ekonomi dan peningkatan IPM di bawah rata-rata provinsi (low growth, less pro-human
development). Kondisi ini menegaskan perlunya pemerintah daerah membenahi
pelayanan publik di bidang pendidikan dan kesehatan. Selain itu, pemerintah daerah juga
harus bekerja keras mendorong seluruh SKPD untuk memacu pembangunan ekonomi
dengan meningkatkan produktivitas dan nilai tambah sektor dan kegiatan utama daerah.
Keempat, Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang dan Kota Cilegon terletak di
kuadran IV dengan rata-rata pertumbuhan tinggi di atas rata-rata, tapi peningkatan IPM di
bawah rata-rata (high-growth, less-pro human development). Tantangan bagi pemerintah
daerah adalah menjaga keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan peningkatan mutu
pelayanan publik terutama di bidang pendidikan dan kesehatan.
Gambar 6
Dampak Pertumbuhan Ekonomi terhadap Peningkatan IPM Tahun 2008-2012
Gambar 7
Dampak Pertumbuhan Ekonomi terhadap Rata-Rata Pengurangan Jumlah
Pengangguran Tahun 2008-2012
Gambar 8
Perkembangan Kesenjangan Ekonomi (Indeks Williamson)
Provinsi Banten Tahun 2009-2013
2007
5.515
5.229
8.977
7.295
23.872
64.057
12.500
2008
6.175
5.770
9.758
7.858
25.306
70.333
7.912
13.825
2009
6.734
6.333
11.286
8.301
28.184
76.398
8.778
8.182
14.692
2010
7.552
6.995
12.227
9.013
31.480
83.064
9.743
8.944
16.072
2011*
8.115
7.527
13.533
9.856
34.454
89.616
10.682
9.974
117.596
2012**
9.010
8.185
14.615
10.754
36.937
97.152
11.652
10.883
19.003
Lapangan Usaha
Pertanian
Pertambangan
Industri Pengolahan
Listrik, Gas, Air Minum
Konstruksi
Perdagangan, Hotel, Restauran
Angkutan, Telekomunikasi
Keuangan
Jasa-jasa
Jika ditelusuri lebih jauh, sektor-sektor basis daerah antara lain sektor listrik dan
gas, industri pengolahan khususnya industri tanpa migas (tekstil, barang kulit dan alas kaki,
barang kayu, kertas, pupuk, logam dasar besi dan baja), angkutan, pos dan telekomunikasi,
serta perdagangan dan restoran. Sektor-sektor tersebut ini memiliki nilai Location Quotient
(LQ) di atas satu yang mengindikasikan keunggulan komparatif daerah (Tabel 3).
Tabel 3
Nilai LQ Sektor Perekonomian Provinsi Banten Tahun 2008-2012
Lapangan Usaha
1. Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan
a. Tanaman Bahan Makanan
b. Tanaman Perkebunan
c. Peternakan
d. Kehutanan
e. Perikanan
2. Pertambangan dan Penggalian
a. Pertambangan Minyak dan Gas Bumi
2008
2009
2010
2011
2012
0,54
0,62
0,30
1,00
0,06
0,34
0,01
0,00
0,54
0,61
0,30
1,02
0,06
0,37
0,01
0,00
0,58
0,65
0,31
1,09
0,06
0,37
0,01
0,00
0,57
0,66
0,31
1,09
0,06
0,37
0,01
0,00
0,58
0,66
0,30
1,09
0,06
0,37
0,01
0,00
Lapangan Usaha
b. Pertambangan Bukan Migas
c. Penggalian
3. Industri Pengolahan
a.Industri Migas
1). Pengilangan Minyak Bumi
2). Gas Alam Cair (LNG)
b. Industri Bukan Migas
4. Listrik, Gas & Air Bersih
a. Listrik
b. Gas
c. Air Bersih
5. Konstruksi
6. Perdagangan, Hotel & Restoran
a. Perdagangan Besar dan Eceran
b. Hotel
c. Restoran
7. Pengangkutan dan Komunikasi
a. Pengangkutan
1). Angkutan Rel
2). Angkutan Jalan Raya
3). Angkutan Laut
4). Angkutan Sungai, Danau & Penyeberangan
5). Angkutan Udara
6). Jasa Penunjang Angkutan
b. Komunikasi
8. Keuangan, Real Estate & Jasa Perusahaan
a. Bank
b. Lembaga Keuangan Tanpa Bank
c. Jasa Penunjang Keuangan
d. Real Estate
e. Jasa Perusahaan
9. Jasa-jasa
a. Pemerintahan Umum
b. Swasta
1). Jasa Sosial Kemasyarakatan
2). Jasa Hiburan dan Rekreasi
3). Jasa Perorangan dan Rumah tangga
Nilai LQ dihitung menggunakan PDRB ADHK Tahun 2000
Sumber: BPS, 2012 (diolah)
10
2008
2009
2010
2011
2012
0,01
0,08
1,99
0,00
0,00
0,00
2,18
4,89
5,41
6,01
0,70
0,40
1,02
1,05
0,16
1,11
0,98
1,77
0,87
1,76
1,38
0,97
2,95
1,27
0,32
0,35
0,29
0,21
0,00
0,60
0,16
0,46
0,50
0,42
0,45
0,18
0,44
0,01
0,09
1,99
0,00
0,00
0,00
2,17
4,45
5,26
4,37
0,71
0,41
1,07
1,11
0,16
1,13
0,93
1,79
0,92
1,84
1,24
0,98
2,93
1,23
0,32
0,38
0,34
0,20
0,00
0,63
0,17
0,46
0,52
0,42
0,47
0,19
0,43
0,01
0,09
1,97
0,00
0,00
0,00
2,13
4,77
5,30
5,48
0,73
0,41
1,08
1,11
0,16
1,18
0,91
1,85
0,94
1,95
1,22
0,98
2,87
1,22
0,31
0,39
0,34
0,20
0,00
0,64
0,17
0,46
0,51
0,42
0,46
0,19
0,43
0,01
0,09
1,94
0,00
0,00
0,00
2,10
4,76
5,24
5,59
0,76
0,43
1,08
1,10
0,15
1,23
0,92
1,91
1,02
2,06
1,21
0,99
2,84
1,22
0,31
0,39
0,34
0,20
0,00
0,64
0,17
0,46
0,52
0,43
0,48
0,19
0,43
0,01
0,09
1,90
0,00
0,00
0,00
2,03
4,77
5,28
5,45
0,77
0,43
1,11
1,14
0,15
1,24
0,92
1,97
1,12
2,11
1,20
0,99
2,97
1,24
0,31
0,39
0,35
0,21
0,00
0,65
0,17
0,48
0,55
0,43
0,50
0,19
0,44
Lapangan Pekerjaan
Pertanian
Pertambangan
Industri Pengolahan
Listrik, Gas, Air
Bangunan
Perdagangan, Hotel, Restoran
Angkutan & Telekomunikasi
Keuangan
Jasa-Jasa
Total
2010
717.535
20.897
863.269
12.334
153.951
984.513
354.674
105.460
602.082
3.814.715
1.123.378
11
Tabel 5
PDRB Menurut Penggunaan 2013
No.
Lapangan Usaha
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Peran impor yang tinggi dapat bernilai positif jika lebih banyak digunakan untuk
investasi. Investasi berperan meningkatkan stok kapital di daerah yang digunakan untuk
berproduksi. Tingkat investasi yang rendah akan diikuti oleh terbatasnya kemampuan
daerah untuk memacu peningkatan produksi. Pada tahun 2013, ekspor dan impor masih
tetap merupakan sumber utama pertumbuhan daerah.
Pertumbuhan yang terlalu bertumpu pada ekspor sangat rentan terhadap gejolak
ekonomi dunia. Kontraksi sektor-sektor yang berorientasi ekspor berpotensi diikuti
pengurangan tenaga kerja yang dapat berakibat pada meningkatnya pengangguran di
daerah. Sementara itu, pertumbuhan yang terlalu bertumpu pada konsumsi masyarakat
memiliki batas dan tidak berkelanjutan. Dalam jangka menengah kondisi ini akan
mengurangi potensi tabungan masyarakat, padahal tabungan sangat penting bagi
perekonomian karena dapat menjadi sumber investasi sektor produktif melalui
intermediasi perbankan. Tantangan yang harus dihadapi adalah mendorong terciptanya
keseimbangan sumber-sumber pertumbuhan khususnya dengan meningkatkan peran
investasi dalam perekonomian daerah.
Mengingat pentingnya investasi bagi pertumbuhan ekonomi daerah, hal yang perlu
ditingkatkan adalah iklim usaha di daerah. Iklim usaha yang kondusif bagi investasi
terbentuk dari kualitas regulasi yang konsisten, perpajakan yang transparan dan tidak
tumpang tindih, pelayanan perijinan yang efisien, dan kelembagaan penyelesaian konflik
yang efektif. Langkah penting dalam perbaikan pelayanan perijinan adalah pelaksanaan
dan penerapan Sistem Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) secara sungguh-sungguh dan
konsisten. Dalam hal ini, semua kabupaten/kota di Banten secara formal telah memiliki
badan/kantor yang menyelenggarakan PTSP. Ukuran keberhasilan pelaksanaan PTSP
tersebut adalah peningkatan efisiensi perijinan yang harus tercermin dari menurunnya
biaya dan waktu yang diperlukan oleh para pelaku usaha.
3. Rendahnya Kualitas Lapangan Kerja
Salah satu penyebab dari rendahnya PDRB/kapita dan masih tingginya kemiskinan
daerah adalah rendahnya kualitas lapangan kerja yang tersedia. Hal ini bisa ditelusuri dari
besarnya jumlah pekerja bebas di sektor pertanian, pekerja bebas di sektor non-pertanian,
12
dan pekerja tidak dibayar. Mereka ini terhitung bekerja namun menghadapi ketidakpastian
yang tinggi sehingga sangat rentan terhadap sedikit saja guncangan ekonomi yang terjadi.
Perkembangan tingkat pekerja yang kurang berkualitas di Provinsi Banten persentasenya
sedikit meningkat dari tahun 2007 ke 2011, yaitu dari sebesar 19,23 persen pada tahun
2007 menjadi sebesar 19,92 persen pada tahun 2011. Persentase ini masih lebih rendah
dibandingkan rata-rata nasional sebesar 27,60 persen pada tahun 2011. Dibandingkan
wilayah lainnya di Jawa, jumlah pengangguran kurang berkualitas di Banten menempati
posisi kedua terendah setelah Provinsi DKI Jakarta.
13
Tabel 6
Kerapatan Jalan dan PDRB Per Kapita Provinsi Tahun 2012
No
Provinsi
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
19
30
31
32
33
DKI Jakarta
DIY
Bali
Jawa Timur
Jawa Tengah
Jawa Barat
Sulawesi Selatan
Banten
Sulawesi Utara
Lampung
Kep. Riau
Sumatera Barat
Sumatera Utara
NTB
Gorontalo
Sulawesi Barat
NTT
Bengkulu
Aceh
Sulawesi Tenggara
Kep. Bangka Belitung
Sulawesi Tengah
Kalimantan Selatan
Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Maluku Utara
Maluku
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Papua Barat
Kalimantan Timur
Papua
Indonesia
Kerapatan
Jalan
1.068,36
146,56
130,28
95,37
88,75
72,08
69,68
66,81
57,89
56,44
54,95
52,36
49,50
43,55
40,85
40,62
39,95
38,99
38,76
30,71
29,93
29,73
29,28
27,25
24,81
17,86
16,72
15,39
10,00
8,96
8,24
7,22
5,06
25,99
Dengan memperhatikan pola hubungan antara pendapatan per kapita dan kerapatan
jalan wilayah seluruh provinsi di Indonesia, posisi Banten menunjukkan adanya hubungan
yang positif antara PDB per kapita dan tingkat kerapatan jalan (Gambar 10). Kondisi ini
menunjukkan bahwa pendapatan per kapita semakin tinggi diikuti dengan semakin
tingginya kerapatan jalan. Provinsi yang posisinya terletak di bawah kurva linier berarti
mengalami defisiensi infrastruktur jalan. Dengan kata lain, panjang jalan kurang dari yang
seharusnya dimiliki suatu negara sesuai dengan tingkat pendapatannya. Posisi Banten
berada di atas kurva, berarti secara kuantitas kerapatan jalan di Banten di atas rata-rata
provinsi lain di Indonesia.
14
Gambar 10
Hubungan antara Kerapatan Jalan dan GDP Per Kapita Tahun 2012
Banten
Dari segi kualitas kualitas, kondisi jalan di Banten relatif baik, ditunjukkan dari
panjang jalan yang sudah beraspal di provinsi ini. Permukaan jalan yang beraspal di
Banten sudah mencapai 81 persen pada tahun 2012 (Tabel 7), menunjukkan daya dukung
jalan untuk pergerakan barang relatif baik. Kondisi jalan yang buruk akan meningkatkan
waktu tempuh perjalanan dan membengkakkan biaya distribusi barang antar daerah, yang
pada gilirannya menghambat perekonomian daerah. Dengan adanya perbedaan kapasitas
fiskal antardaerah, hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi upaya peningkatan integrasi
jaringan jalan antarwilayah.
Tabel 7
Panjang Jalan Nasional Menurut Jenis Permukaan Tahun 2012
PROVINSI
Banten
Jawa Bali
INDONESIA
Aspal
Km
724
11.081
42.284
%
81
73
79
%
8
4
7
Lainnya
Km
2
2.688
2836
%
0
17
5
Total
Km
2.001
15.270
53.642
%
100
100
100
Infrastruktur lain yang juga sangat penting bagi perekonomian wilayah adalah
kelistrikan. Dengan membandingkan kondisi di 33 provinsi, konsumsi listrik perkapita di
Banten berada di atas rata-rata nasional dan merupakan yang tertinggi ketiga di wilayah
Jawa setelah DKI Jakarta dan Jawa Barat (Gambar 11).
Untuk mengukur defisiensi terhadap infrastruktur kelistrikan digunakan cara yang
sama, yaitu dengan melihat korelasi antara pendapatan perkapita dan konsumsi listrik
perkapita. Dengan menggunakan data 146 negara, terlihat hubungan yang positif antara
15
PDB per kapita dengan tingkat konsumsi listrik (Gambar 12). Negara maupun wilayah yang
memiliki posisi di bawah kurva linier mengalami defisiensi infrastruktur listrik. Dengan
menggunakan perbandingan internasional, konsumsi listrik di Banten juga lebih tinggi
dibandingkan provinsi dengan pendapatan per kapita setara, menunjukkan infrastruktur
listrik bukan merupakan masalah bagi Provinsi Banten.
Gambar 12
Hubungan Konsumsi Listrik dan Pendapatan Tahun 2013
Banten
16
IPM Banten menduduki peringkat ke-24 secara nasional pada tahun 2013 dengan
nilai IPM sebesar 71,90. Pada indikator usia harapan hidup, terjadi perbaikan dari angka
64,6 tahun pada tahun 2008 menjadi 65,47 tahun pada tahun 2013. Rata-rata lama sekolah
di Banten meningkat dari 8,1 tahun pada 2008 menjadi 8,61 tahun pada 2013. Sementara
itu pada indikator angka melek huruf, capaian di Banten pada tahun 2008 dan 2013
meningkat dari 95,6 menjadi 96,87 persen, lebih tinggi dari angka nasional sebesar 94,14.
17
Tabel 8
Angkatan Kerja Menurut Pendidikan yang Ditamatkan
No.
1
2
3
5
6
2008
2.073.699
781.685
1.131.147
137.945
200.979
4.325.455
2014
2.093.090
948.412
1.703.227
206.318
528.045
5.479.092
Perubahan
19.391
166.727
572.080
68.373
327.066
1.153.637
Banten
Jawa Bali
Nasional
Posisi Simpanan di
Bank Umum dan
BPR (Milyar Rp)
104.185
2.785.534
3.575.891
Posisi Pinjaman di
bank Umum dan
BPR (Milyar Rp)
186.430
2.357.461
3.322.683
Rasio Pinjaman
terhadap
Simpanan
1,79
0,84
0,92
Rasio PMTB
terhadap
Simpanan
0,71
0,42
0,47
Sumber:BPS, 2013
Dalam jangka panjang terbatasnya sumber dana pinjaman ini akan berisiko
meningkatkan harga modal (cost of fund) di daerah. Dengan kondisi tingginya permintaan
kredit, bank-bank umum mungkin menerapkan tingkat bunga kredit yang sama
antardaerah, namun Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan lembaga-lembaga keuangan non
bank lainnya tentu akan meningkatkan imbal hasil (bunga) pinjaman. Kenaikan bunga
pinjaman akan memberatkan bagi pelaku usaha mikro, kecil dan menengah. Tantangan
yang harus diatasi oleh Pemeirntah Provinsi Banten adalah mengembangkan kerjasama
dengan perbankan dalam penjaminan kredit dan mobilisasi tabungan masyarakat.
18
Sumber:BPS, 2013
19
semakin penting di daerah-daerah yang level investasi swastanya relatif rendah. Investasi
pemerintah dalam konteks ini adalah sebagai perintis dan pembuka jalan bagi masuknya
investasi swasta.
20
Sasaran pertumbuhan ekonomi Banten dalam RPJMN 2015-2019 sebesar 4,9 7,7
persen dapat tercapai dengan meningkatkan optimalisasi potensi sumberdaya yang
dimiliki daerah. Pada tahun 2015 prospek pertumbuhan ekonomi di Provinsi
Banten akan meningkat seiring dengan membaiknya perekonomian global. Kinerja
ekspor akan semakin meningkat yang juga didukung oleh kinerja sektor industri
pengolahan di Banten.
Upaya menurunkan tingkat kemiskinan di Banten harus dilakukan dengan optimal
agar sesuai dengan Buku III RPJMN 2015-2019. Sasaran pengurangan tingkat
kemiskinan dalam Buku III RPJMN 2015-2019 adalah 5,3 3,7 persen, sedangkan
pada tahun 2013 tingkat kemiskinan di Provinsi Banten sebesar 5,74 persen, untuk
itu diperlukan upaya konsisten untuk menurunkan tingkat kemiskinan di provinsi
ini. Selama kurun waktu 2014-2019 Provinsi Banten harus menurunkan persentase
penduduk miskin sebesar 2,04 poin persentasae atau 0,34 poin persentase per
tahun.
Prospek pencapaian sasaran-sarasan utama pembangunan Provinsi Banten akan
sangat dipengaruhi oleh dinamika lingkungan baik internal daerah Banten maupun
lingkungan eksternal. Perlambatan arus perdagangan global merupakan ancaman
eksternal yang bisa mengganggu kinerja perekonomian daerah.
E. Penutup
1. Isu Strategis Daerah
Dari hasil analisis dan informasi yang tersedia, dan memperhatikan kriteria isu
staretgis: (i) berdampak besar bagi pencapaian sasaran pembangunan nasional; (ii)
merupakan akar permasalahan pembangunan di daerah; dan (iii) mengakibatkan dampak
buruk berantai pada pencapaian sasaran pembangunan yang lain jika tidak segera
diperbaiki, maka isu-isu strategis Provinsi Banten adalah sebagai berikut:
a. Pengembangan industri unggulan daerah;
b. Pengembangan lapangan kerja berkualitas;
c. Peningkatan investasi di daerah;
d. Peningkatan kualitas infrastruktur jalan;
e. Peningkatan kualitas sumber daya manusia;
f. Mobilisasi tabungan masyarakat dan fungsi intermediasi perbankan untuk
mendorong akses permodalan usaha;
g. Peningkatan kualitas belanja modal pemerintah daerah.
2. Rekomendasi Kebijakan
Penanganan isu-isu strategis daerah diperkirakan akan dapat meningkatkan kinerja
perekonomian daerah secara keseluruhan. Oleh karena itu, kebijakan yang perlu ditempuh
dalam percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Provinsi Banten adalah sebagai
berikut:
a. Pemberdayaan usaha kecil, menengah, dan koperasi khususnya dalam hal akses
permodalan dan penguasaan teknologi tepat guna;
b. Peningkatan jumlah produk industri pengolahan berkualitas ekspor;
c. Peningkatan kemudahan perijinan usaha;
d. Perbaikan kualitas jaringan jalan;
e. Peningkatan akses pendidikan khususnya pendidikan menengah (umum dan
kejuruan) dan kesehatan;
f. Peningkatan porsi belanja modal APBD yang diprioritaskan pada sektor
infrastruktur yang menjadi kewenangan daerah;
g. Peningkatan koordinasi antara pemerintah daerah dan otoritas moneter di tingkat
wilayah dalam menciptakan iklim usaha yang kondusif: peningkatan fungsi
intermediasi perbankan di daerah, penjaminan kredit dan pengendalian inflasi
daerah
21
22