Anda di halaman 1dari 47

LAPORAN HASIL DISKUSI

BLOK RESPIRASI
Skenario 5

Tutor

: dr. Susiyadi, Sp. An.


Kelompok 4

Ketua

: Putri Restu Wulandari

1413010007

Sekretaris

: Venda Happy Pinesa

1413010019

Anggota:
Yuanita Hasna Rahmadhani

1413010010

Hudaya Taufiq

1413010017

Ani Setyowati

1413010023

Abdul Khalik Adam

1413010025

Tyas Ratna Pangestika

1413010030

Ade Guvinda Perdana

1413010035

Arumita Puspa Hapsari

1413010038

Ririn Pratiwi Nunsi

1413010040

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
2015

DAFTAR ISI
BAB I KLARIFIKASI ISTILAH..................................................................................
BAB II IDENTIFIKASI MASALAH...........................................................................
BAB III ANALISIS MASALAH..................................................................................
BAB IV SKEMA.........................................................................................................
BAB V LEARNING OBJECTIVE.............................................................................
BAB VI PEMBAHASAN LEARNING OBJECTIVE...............................................
Kesimpulan..................................................................................................................
Saran............................................................................................................................
Daftar Pustaka..............................................................................................................

BAB I
KLARIFIKASI ISTILAH

1.1.

Suara Nafas Amforik


Merupakan suara napas menyerupai bunyi tiupan diatas mulut botol yang
kosong, terjadi karena pembentukan kavitas di paru. (Hidayat, 2008)

1.2.

Kavitas
Merupakan rongga atau lubang yang berada pada parenkim paru dengan

dinding dan isinya. (Darmanto, 2009)


1.3.

Bronkoskopi
Merupakan tekhnik pemeriksaan yang menggunakan alat bronkoskop yang
dimasukkan ke dalam saluran napas untuk enilai keadaan saluran napas dan
juga dapat mengambil spesimen untuk pemeriksaan sel kanker serta untuk
menilai apakah ada kegawatan. (Suryo, 2010)

BAB II
IDENTIFIKASI MASALAH

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Mengapa laki-laki tersebut mengalami batuk darah?


Mengapa demam dan keringat malam hari?
Apa hubungan penurunan berat badan dengan keluhan?
Mengapa pasien muntah-muntah dan mata kuning?
Apa hubungan riwayat sosial ekonomi dengan keluhan pasien?
Bagaimana interpretasi PF dan PP?
Bagaimana interpretasi foto thorax?
Apa indikasi dari bronkoskopi?

BAB III
ANALISIS MASALAH

3.1.

Batuk darah merupakan suatu gejala atau tanda dari suatu penyakit
infeksi.Volume darah yang dibatukkan bervariasi dan dahak bercampur darah
dalam jumlah minimal hingga masif, tergantung laju perdarahan dan lokasi
perdarahan. Batuk darah atau hemoptisis adalah ekspektorasi darah akibat
perdarahan pada saluran napas di bawah laring, atau perdarahan yang keluar
melalui saluran napas bawah laring. Batuk darah lebih sering merupakan
tanda atau gejala dari penyakit dasar sehingga etiologi harus dicari melalui
pemeriksaan yang lebih teliti. Batuk darah masif dapat diklasifikasikan
berdasarkan volume darah yang dikeluarkan pada periode tertentu. Batuk
darah masif memerlukan penanganan segera karena dapat mengganggu
pertukaran gas di paru dan dapat mengganggun kestabilan hemodinamik
penderita sehingga bila tidak ditangani dengan baik dapat mengancam jiwa.

Asal anatomis perdarahan berbeda tiap proses patologik tertentu:


a. Bronkitis akibat pecahnya pembuluh darah superfisial di mukosa,
b. TB paru akibat robekan atau ruptur aneurisma arteri pulmoner (dinding
kaviti aneurisma Rassmussen). atau akibat pecahnya anastomosis
bronkopulmoner atau proses erosif pada arteri bronkialis,
c. Infeksi kronik akibat inflamasi sehingga terjadi pembesaran & proliferasi
arteri bronchial misal : bronkiektasis, aspergilosis atau fibrosis kistik,
d. Kanker paru akibat pembuluh darah yg terbentuk rapuh sehingga mudah
berdarah.
(Rasmin, 2010)
Batuk darah adalah salah satu gejala respiratorik selain sesak napas
(dyspneu), dan nyeri dada. Klasifikasi batuk darah berdasarkan berat
ringannya gejala dan volume darah yang dibatukkan:
a. Bercak (streaking), volume darah 15-20 ml dalam 24 jam, bercampur
dengan sputum, biasanya pada bronkitis,
b. Hemoptisis, volume darah 20-600 ml dalam 24 jam, biasanya karena
kanker paru, necrotizing pneumonia, TB, atau emboli paru,

c. Hemoptisis masif, volume darah lebih dari 600 mL dalam 24 jam,


umumnya karena kanker paru, kavitas TB, atau bronkiektasis,
d. Pseudohemoptisis, luka terletak di saluran napas atas atau saluran
cerna
(Amin, 2009)
3.2.

Demam merupakan salah satu manifestasi apabila terjadi infeksi di


dalam tubuh kita. Ketika kuman atau pirogen eksogen masuk, respon imun
akan dimunculkan. Salh satunya yaitu sel monosit yang ada di pembuluh
darah mengeluarkan TNF atau tumor necrosis factor yang kemudian akan
ikut bersirkulasi ke dalam aliran darah. Ketika TNF tersebut masuk ke aliran
darah hipotalamus maka respon hipotalamus akan merespon dengan
meningkatkan set point tubuh sehingga terjadilah demam. Kemudian tubuh
akan mengkompensasi dengan vasodilatasi pembuluh darah agar panasnya
berkurang dengan pengeluaran keringat.
Keringat malam adalah keluhan subjektif berupa keluhan berkeringat di
malam hari yang bisa disebabkan oleh irama teperatur sirkardian normal yang
berlebihan. Suhu normal manusia memiliki irama sirkardian dimana suhu
paling rendah didapatkan pada saat pagi hari sekitar fajar yaitu 36,1 derajat.
Sedangkan pada siang hari meningkat menjadi 37,4 derajat dan pada sore hari
menjadi lebih tinggi yaitu pada sekitar pukul 18.00.
Selain karena irama sirkardian, keringan malam bia disebabkan karena
respon aktif terhadap mediator inflamasi yang dikeluarkan ketika tubuh
terpapar oleh bakteri maupun virus. Mediator inflamasi ini akan
menyebabkan timbulnya demam dan pada fase akhir demam akan terjadi
vasodilatasi kulit yang menyebabkan hilangnya panas dari dalam tubuh
berupa keringat. (Arif, 2009)

3.3.

Menurut Kalra dkk (2006) pengaturan pola makan kita diatur oleh
hipotalamus, dimana di dalam hipotalamus terdapat dua sistem. Sistem
tersebut yaitu melanocortin (pro-opiomelanocortin) yang merupakan system
syaraf serotonergik dan neuropeptide Y (NPY) yang merupakan system syaraf
prophagic.
6

Suatu saat apabila terdapat stimulus yang merangsang system syaraf


melanocortin maka akan menyebabkan supresi nafsu makan atau penurunan
nafsu makan. Sebaliknya apabila ada suatu rangsangan terhadap system
syaraf NPY maka akan menyebabkan peningkatan nafsu makan.
Pada saat tubuh terkena infeksi bakteri maupun virus, maka system imun
akan merespon dengan mengeluarkan mediator mediator inflamasi. Mediator
inflamasi ini akan merangsang pembentukan serotonin. Peningkatan kadar
serotonin akan merangsang system syaraf melanocortin yang menyebabkan
supresi nafsu makan. Hal ini karena system syaraf melanocorin dipengaruhi
langsung oleh sinyal sinyal metabolic seperti leptin yang berasal dari jaringan
adipose dan insulin dari pancreas.
Untuk mencegah supresi nafsu makan maka bisa diberikan BCAA
(leucine, isoleucine, valine), dimana BCAA ini akan memblok triptofan yang
merupakan asal dari serotonin. Pemblokan ini akan menyebabkan kadar
serotonin turun. Selanjutnya BCAA akan merangsang NPY dan menyebabkan
peninkatan nafsu makan kembali.
Pada skenario, pasien mengeluh nafsu makan turun dikarenakan adanya
rangsang pada system syaraf melanocortin yang merupakan akibat adanya
infeksi dan pengeluaran sitokin inflamasi sehingga nafsu makan menjadi
turun. Penurunan nafsu makan ini menyebabkan pemasukan glukosa kedalam
tubuh akan menurun sedangkan tubuh perlu untuk terus melakukan
metabolisme, sehingga menyebabkan berat badannya menjadi menurun.
(Kalra, 2006)
Pada keadaan nafsu makan menurun dan kegiatan metabolisme terus aktif
maka akan mengakibatkan terjadinya penurunan berat badan pada seseorang.
Metabolisme akan terus aktif dikarenakan kita akan selalu membutuhkan
energy (Almatsier, 2005).
3.4.

Pasien mengalami mual muntah dan skera kuning sebabkan karena efek
samping dari OAT yng dikonsumsinya yaitu :

(PDPI, 2006)
Sedangkan ikterus merupakan akumulasi dari ke abnormalan pigmen
bilirubin dalam darah. Sering terlihat dalam mata karena sklera elastin.
Ikterus dapat terjadi karena :
a. Over Produksi: Keadaan dimana meningkatnya jumlah HB yang dilepas
dari sel darah merah yang sudah tua atau yang mengalami hemolisis dan
disebut hiperbilirubinemia. Konjugasi dan transfer bilirubin normal,
tetapi suplai bilirubin tidak terkonjugasi melampui kemampuan sel hati.
Ketika terjadi peningkatan bilirubin tidak terkonjugasi dalam plasma.
Jadi, penyerapan ke dalam sel hati, dan pengekresia bilirubin oleh hati
meningkat. Contoh : Circle Cell Anemia
8

b. Penurunan kecepatan penyerapan bilirubin oleh sel hati. Pengambilan


bilirubin tidak terkonjugasi dilakukan dengan memisahkannya dari
albumin dan berikatan dengan protein penerima. Contoh : Sindrom
Gilbert
c. Gangguan konjugasi bilirubin. Karena sudah terdefisiensi enzim glukonil
transferase. Contoh : Sindrom Crigler Najsav
d. Gangguan ekresi bilirubin ke dalam empedu. Akibat disfungsi
intrahepatik/obstruksi mekanik ekstrahepatik. Contohnya : Reaksi obat,
hepatitis alkoholik.
Pada skenario penyebab sklera ikterik adalah efek dari OAT yang bersifat
hepatotoksik yang menyebabkan penurunan kecepatan penyerapan bilirubin
oleh sel hati sehingkan birirubin menupuk di plasma. (Arif, 2009)
3.5.

Pada riwayat keluarga pasien didapatkan ayahnya pernah terkena


penyakit paru menular. Salah satu penyakit paru emnular adalah Tuberculosis
Paru. Kemungkinan pasien untuk terinfeksi TB tergantung pada:
a. Kepadatan droplet nuclei yang infeksius per volume udara
b. Lamanya kontak dengan droplet nuclei tersebut
c. Kedekatan dengan penderita TB
Risiko terinfeksi TB
Karena faktor eksternal terutama karena faktor lingkunganseperti rumah
tak sehat, pemukiman padat dan kumuh. Penyakit Tblebih banyak menyerang
masyarakat yang berasal dari kalangan sosio ekonomi rendah. Lingkungan
yang buruk dan pemukiman yang terlampau padat sangat potensial dalam
penyebaran penyakit TB.
Risiko menjadi sakit TB
Karena faktor internal dalam tubuh penderita itu sendiri yang disebabkan
oleh terganggunya sistem kekebalan dalam tubuh penderita seperti kurang
gizi, infeksi HIV/AIDS, pengobatan dengan immunosupresan dan lain
sebagainya. Malnutrisi akan mengurangi daya tahan tubuh sehingga akan
menurunkan resistensi terhadap berbagai penyakit termasuk TB. Faktor ini
sangat berperan pada negara miskin dan tidak mengira usia. (Croft, 2002)

3.6.

Tekanan darah pasien (100/60mmHg) dinyatakan berada di bawah


standar tekanan darah normal yaitu 120/80mmHg pada pemeriksaan dalam
keadaan sehat. Pada umumnya, infeksi pada saluran respirasi menyebabkan
penurunan tekanan darah. Pada pemeriksaan didapatkan konjungtiva pucat,
yang merupakan tanda-tanda dari anemia hemoragik, yang dapat terjadi
akibat dari defisiensi vitamin B12 dan asam folat. Hal ini dimunkinkan terkait
adanya anoreksia atau penurunan nafsu makan yang dialami oleh pasien.
Suara napas amforik adalah bunyi suara napas menyerupai bunyi tiupan di
atas mulut botol yang kosong. Suara ini didapatkan karena terjadi
pembentukan kavitas di paru. Pembesaran kelenjar leher terjadi karena basil
telah menyebar melalui aliran limfe (secara limfogen).Karena juml ah bakteri
lebih banyak, terjadi pembengkakan sebagai kompensasi dari tubuh untuk
mencapai kondisi normal/ seimbang. (Amin,2007)
Pemeriksaan darah hasilnya tidak sensitif dan tidak spesifik. Pada saat
tuberkulosis baru mulai (aktif), akan didapatkan jumlah lekosit yang sedikit
meninggi. Jumlah limfosit masih dibawah normal. Laju endap darah mulai
meningkat. Bila penyakit mulai sembuh, jumlah lekosit kembali normal dan
jumlah limfosit masih tinggi. Laju endap darah mulai turun ke arah normal.
Hasil pemeriksaan lain dari darah didapatkan anemia ringan normokrom
normositer. (Amin, 2007)

3.7.

Pada pemeriksaan foto thorax ditemukan gambaran fibroinfiltrat dan


kavitas di paru kanan. Gambaran sarang tawon di apex paru kiri. Mekanisme
terjadinya gambaran fibroinfiltrat dan kavitas berkaitan dengan patogenesis
penyakit Tuberculosis Paru.
Tuberkulosis disebabkan Mycobacterium tuberculosis. Kuman berbentuk
batang, tahan asam dalam pewarnaan bakteri tahan asam (BTA). Cepat mati
dengan sinar matahari langsung tetapi dapat bertahan hidup di tempat gelap
dan lembab. Cara penularan, melalui droplet (percikan dahak). Kuman dapat
menyebar secara langsung jaringan sekitar, pembuluh limfe, pembuluh darah.
Daya penularan ditentukan banyaknya kuman yang dikeluarkan dari paru.
Bakteri tuberculosis berada di udara dalam bentuk droplet kemudian
masuk ke saluran pernafasan atas. Basil yang tertelan atau masuk ke saluran
10

pernafasan merupakan gumpalan basil (unit) yang terdiri dari 2-3 basil, yang
lebih besar dari itu biasanya tidak bias masuk karena terlalu besar dan
tertahan di bronkus/bronkiolus, saluran hidung, dan tidak menimbulkan
penyakit. Setelah berhasil masuk kesaluran pernafasan bagian bawah sampai
ke alveolus biasanya daerah yang disenangi oleh bakteri TB adalah di daerahdaerah yang memiliki tekanan oksigen yang tinggi yaitu di lobus tengah pada
paru-paru kanan, atau pada apex paru bagian bawah sampai lobus atas bagian
bawah, kemudian lobus inferior bagian atas. Basil tuberkel yang berada di
alveolus akan membangkitkan reaksi radang berupa odema mukosa,
pelebaran pembuluh darah, produksi cytokine, senyawa kimia yang bersifat
kemotaktik bagi PMN. PMN yang datang ke alveolus kemudian berkumpul,
berakumulasi dan bertambah bayak untuk memfagosit basil tersebut. Dalam
tubuh PMN basil tersebut tidak mati melainkan berkembang biak didalam sel
PMN. Sesudah hari pertama terjadinya infeksi leukosit yaitu PMN tadi
digantikan perannya oleh makrofag. Makrofag tersebut berkumpul menjadi
banyak akhirnya terjadilah konsolidasi alveolus akibat terdapatnya makrofag
dan PMN yang berkumpul disertai cairan-cairan dari pembuluh darah yang
vasodilatasi akibat reaksi peradangan tadi. Ketika terjadi konsolidasi inilah
ditemukan adanya tanda-tanda pneumonia akut. Bakteri yang difagosit oleh
makrofag yang seharusnya mati justru berkembang biak lagi di dalam
makrofag. Sampai pada proses ini banyak yang menamainya proses infeksi
primer Ghon. Basil yang sudah banyak ini melalui pembuluh darah yang
rusak dan aliran limfatik paru menyebar ke nodus limfatikus regional. Sampai
pada penyebaran ini dinamakan proses infeksi primer kompleks Ranke.
Proses ini berjalan dan memakan waktu 3-8 minggu. Pada tahap ini pada
sebagian orang dapat sembuh sendiri tanpa cacat. Sebagian orang
meninggalkan sedikit berkas-berkas berupa garis fibrotic, kalsifikasi di hilus
yang berpotensi untuk kambuh lagi karena kuman yang dormant. Dan pada
sebagian

orang

lagi

ada

yang

terus

berlanjut

menyebar

secara

perkontinuitatum, secara bronkogen menyebabkan paru sebelahnya ikut


terinfeksi. Kuman juga dapat tertelan bersama sputum dan ludah sehingga
sampai ke usus dan secara limfogen ke oragan tubuh lainnya, secara
11

hematogen ke organ tubuh yang lainnya. Bila masuk ke arteri pulmonalis


maka akan menjadi TB milier karena menjalar keseluruh lapang paru.
Basil tuberkel yang didalam makrofag berhasil mengambil alih makrofag
sehingga mengatur makrofag agar dapat menyatu satu sama lainnya menjadi
Tuberkel yaitu suatu granuloma yang terdiri dari histiosit dan sel datia
langerhans yang dikelilingi oleh sel-sel limfosit dan berbagai jaringan ikat.
Keadaan ini biasanya memakan waktu 3-10 minggu setelah gejala pneumonia
yang berupa konsolidasi. Sarang-sarang granuloma ini dapat direabsorbsi
kembali tanpa cacat atau sarang-sarang tadi meluas namun sembuh dengan
meninggalkan bekas sebukan jaringan fibrosis. Ada yang membungkus diri
menjadi keras dan menimbulkan pengapuran. Selanjutnya yang paling parah
adalah keadaan granuloma yang terus meluas dan menyebar sehingga
jumlahnya juga banyak pada lapang paru sehingga bagian yang meluas tadi
akan menghancurkan jaringan ikat sekitarnya dan bagian tengahnya
mengalami nekrosis menjadi lembek membentuk jaringan keju kejadian
inilah yang disebut perkejuan. Bila jaringan keju tadi copot dan dibatukkan
keluar maka akan terbentuklah kavitas pada tengah-tengahnya. Mula-mula
dinding kavitasi ini tipis namun semakin lama semakin tebal karena sebukan
fibroblast membentuk jaringan fibrositik yang pada akhirnya menjadi kronik
dinamai kavitas sklerotik. Terjadinya perkejuan tersebut dikarenakan pada
jaringan nekrotik tersebut dihasilkan TNF dan sitokin yang berlebihan oleh
jaringan sekitar dan oleh leukosit, selain itu juga dihasilkannya enzim-enzim
hidrolisis protein, lipid dan asam nukleat yang dihasilkan makrofag yang
sebetulnya ditujukan pada basil TB namun karena makrofagnya rusak maka
enzim tersebut keluar ke jaringan.
Banyak komplikasi yang terjadi akibat dari persarangan ini diantaranya
adalah meluasnya lesi tersebut dan membuat sarang pneumonia baru. Bila
masuk dalam arteri pulmonalis maka akan menjadi TB millier. Tertelan akan
menjadi TB ekstra paru. Apabila sampai pada bronchial dan tracea makan
akan menjadi TB endobronchial dan TB endotracheal dan bisa menjadi
empiema bila rupture ke pleura. Sarang-sarang ini bisa memadat dan
membentuk suatu pengerasan yang dinamakan tuberkuloma. Tuberkuloma ini
12

dapat cair yang membentuk kavitas baru. Komplikasi kronik kavitas adalah
apabila berinteraksi dan kolonisasi dengan fungus seperti Aspergillus dan
kemudian menjadi mycetoma. Selain itu komplikasi TB yang lain adalah
bronkiektasis yang ditandai dengan adanya gambaran sarang tawon. (Price
dan Standridge, 2006; Amin dan Bahar, 2007).
3.8.

Indikasi dilakukannya bronkoskopi adalah sebagai berikut :


a. Pemeriksaan hemoptisis, mencari asal perdarahan.
b. Pengambilan benda asing (corpus alienum).
c. Terapi pada atelectasis.
d. Penggunaan di ICU: intubasi intratrakea, menghisap sekret.
e. Mendiagnosis dan menentukan staging kanker paru.
f. Mendiagnosis nodul di perifer dan infiltrate.
g. Mendiagnosis penyakit paru interstisial.
h. Mendiagnosis pnemonia dengan cara mendapat sekret atau mukus di
trakea atau bronkus.
i. Mendiagnosis penyebab batuk.
j. Mendiagnosis penyebab efusi pleura.
(Djojodibroto, 2009)

13

BAB IV

SKEMA

14

BAB V
LEARNING OBJECTIVE

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Mahasiswa mampu menjelaskan karsinoma paru.


Mahasiswa mampu menjelaskan bronkiektasis.
Mahasiswa mampu menjelaskan tuberculosis.
Mahasiswa mampu menjelaskan komplikasi tuberculosis.
Mahasiswa mampu menjelaskan pemeriksaan sputum pada tuberculosis.
Mahasiswa mampu menjelaskan pemeriksaan darah pada tuberculosis.
Mahasiswa mampu menjelaskan gambaran radiologis dari tuberculosis.
Mahasiswa mampu menjelaskan penatalaksanaan tuberculosis.

15

BAB VI
PEMBAHASAN LEARNING OBJECTIVE

6.1

Kanker paru dalam arti luas adalah semua penyakit keganasan di paru,
mencakup keganasan yang berasal dari paru sendiri maupun keganasan dari
luar paru (metastasis tumor di paru). (PDPI, 2003)
Etiologi

a. Merokok

Menurut Van Houtte, merokok merupakan faktor yang berperan paling


penting, yaitu 85% dari seluruh kasus ( Wilson, 2005). Rokok mengandung
lebih dari 4000 bahan kimia, diantaranya telah diidentifikasi dapat
menyebabkan kanker. Kejadian kanker paru pada perokok dipengaruhi oleh
usia mulai merokok, jumlah batang rokok yang diisap setiap hari, lamanya
kebiasaan merokok, dan lamanya berhenti merokok (Stoppler,2010)
b. Polusi udara
Kematian akibat kanker paru juga berkaitan dengan polusi udara, tetapi
pengaruhnya kecil bila dibandingkan dengan merokok kretek. Kematian
akibat kanker paru jumlahnya dua kali lebih banyak di daerah perkotaan
dibandingkan dengan daerah pedesaan. Hal ini, sebagian dapat dijelaskan dari
kenyataan bahwa kelompok sosial ekonomi yang lebih rendah cenderung
hidup lebih dekat dengan tempat pekerjaan mereka, tempat udara
kemungkinan besar lebih tercemar oleh polusi.
c. Gas Radon
Radon adalah gas yang tidak berwarna dan tidak berbau dihasilkan dari
penguraian radioaktif radium, yang merupakan produk dari peluruhan
uranium, yang ditemukan di lapisan kerak bumi. Produk peluruhan radiasi
16

meng ion kan materi genetika, sehingga menyebabkan mutasi yang kadang
menjadi bersifat kanker. Radon merupakan penyebab kanker paru paling
banyak kedua di AS, setelah rokok. Risikonya meningkat hinggga 816%
untuk setiap peningkatan konsentrasi radon sebesar 100Bq/m. United States
Environmental Protection Agency (EPA) memperkirakan satu dari 15 rumah
di AS memiliki tingkat radon lebih tinggi dari tingkat rekomendasi 4
picocurie per liter (pCi/l) (148 Bq/m).
d. Asbestos
Asbestos dapat menyebabkan berbagai penyakit paru-paru, termasuk
kanker paru. Merokok tembakau dan asbestos memberikan efek sinergis
dalam pembentukan kanker paru. Asbestos juga dapat menyebabkan kanker
pada pleura, yang disebut mesotelioma (yang berbeda dari kanker paru).
e. Genetika
Diperkirakan bahwa 8 hingga 14% dari kanker paru disebabkan oleh
faktor diturunkan. Pada orang dengan saudara yang terkena kanker paru,
risiko meningkat hingga 2.4 kali. Hal ini disebabkan oleh adanya kombinasi
gen.
Patofisiologi

17

(Price, 2006)
Manifestasi Klinis
Gejala tidak khas: batuk, sesak napas atau nyeri dada (gejala respirasi)
yang tidak kunjung sembuh dengan pengobatan biasa pada kelompok
risiko. Suara serak menandakan telah terjadi kelumpuhan syaraf atau
gangguan pada pita suara. Gejala sistemik : penurunan berat badan dalam
waktu yang singkat, nafsu makan menurun, demam hilang timbul. Gejala
neurologis :sakit kepala, lemah/paresesering terjadi jika telah terjadi
penyebaran ke otak atau tulang belakang. Nyeri tulang sering menjadi gejala
awal pada kanker yang telah menyebar ke tulang. (KNPK, 2015)
Deteksi DinI
Sasaran untuk deteksi dini terutama ditujukan pada subyek dengan risiko
tinggi yaitu:
a. Laki -laki, usia lebih dari 40 tahun, perokok
b. Paparan industri tertentu
Dengan satu atau lebih gejala: batuk darah, batuk kronik, sesak napas,
nyeri dada dan berat badan menurun.Golongan lain yang perlu diwaspadai
adalah perempuan perokok pasif dengan salah satu gejala di atasdan
seseorang yang dengan gejala klinik : batuk darah, batuk kronik, sakit dada,
penurunan berat badan tanpa penyakit yang jelas. Riwayat tentang anggota
keluarga dekat yang menderita kanker paru juga perlu jadi faktor
pertimbangan. Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk deteksi dini ini,
selain pemeriksaan klinis adalah pemeriksaan radio toraks dan pemeriksaan
sitologi sputum. Jika ada kecurigaan kanker paru, penderita sebaiknya segera
dirujuk ke spesialis paru. (PDPI, 2003)
Klasifikasi Ca Paru
1) Karsinoma skuamosa
Karsinoma sel skuamosa menjadi penyebab sekitar 30% kanker paru
2) Karsinoma sel kecil
Berkembang cepat dan menyebar di tahap awal perkembangan penyakit.
60%-70% memiliki penyakit metastatik saat penyakit mulai memberikan
gejala. sangat berkaitan dengan kebiasaan merokok.
3) Adenokarsinoma
18

40% kanker paru adalah adenokarsinoma, yang biasanya bermula di


jaringan paru perifer.
4) Karsinoma sel besar
Sekitar 9% kanker paru adalah karsinoma sel besar.
Diagnosis
Anamnesis
Gambaran klinik penyakit kanker paru tidak banyak berbeda dari penyakit
paru lainnya, terdiri dari keluhan subyektif dan gejala obyektif. Keluhan
utamanya antara lain:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.

Batuk-batuk dengan / tanpa dahak (dahak putih, dapat juga purulen)


Batuk darah
Sesak napas
Suara serak
Sakit dada
Sulit / sakit menelan
Benjolan di pangkal leher
Sembab muka dan leher, kadang-kadang disertai sembab lengan dengan
rasa nyeri yang hebat
Gejala dan keluhan yang tidak khas seperti:

a.
b.
c.
d.

Berat badan berkurang


Nafsu makan hilang
Demam hilang timbul
Sindrom paraneoplastik, seperti "Hypertrophic pulmonary
osteoartheopathy", trombosis vena perifer dan neuropatia.

Alur Deteksi Kanker Paru

19

Pemeriksaan Fisik
Tampilan umum biasanya menurun. Pemeriksaan fisis paru (suara napas
yang abnormal), benjolan suprafisial pada leher, ketiak atau di dinding dada ,
tanda pembesaran hepar atau tanda asites , nyeri ketok di tulang-tulang.
Pemeriksaan Penunjang
a. Radiologis
Pada pemeriksaan foto toraks PA/lateral akan dapat dilihat bila masa tumor
dengan ukuran tumor lebih dari 1 cm. Tanda yang mendukung keganasan
adalah tepi yang ireguler, disertai identasi pleura, tumor satelit tumor
b. CT scan
Tehnik pencitraan ini dapat mendeteksi tumor dengan ukuran lebih kecil
dari 1 cm secara lebih tepat.
Pemeriksaan khusus
a.

Bronkoskopi
Bronkoskopi adalah pemeriksan dengan tujuan diagnostik sekaligus dapat
dihandalkan untuk dapat mengambil jaringan atau bahan agar dapat
dipastikan ada tidaknya sel ganas. Pemeriksaan ada tidaknya masa
intrabronkus atau perubahan mukosa saluran napas, seperti terlihat kelainan
20

mukosa tumor misalnya, berbenjol-benjol, hiperemis, atau stinosis infiltratif,


mudah berdarah.
b.

Biopsi aspirasi jarum


Apabila biopsi tumor intrabronkial tidak dapat dilakukan, misalnya karena
amat mudah berdarah, atau apabila mukosa licin berbenjol, maka sebaiknya
dilakukan biopsi aspirasi jarum.

c.

Sitologi sputum
Sitologi sputum adalah tindakan diagnostik yang paling mudah dan murah.
Semua bahan yang diambil dengan pemeriksaan tersebut di atas harus dikirim
ke laboratorium Patologi Anatomik untuk pemeriksaan sitologi/histologi.
Bahan berupa cairan harus dikirim segera tanpa fiksasi, atau dibuat sediaan
apus, lalu difiksasi dengan alkohol absolut atau minimal alkohol 90%. Semua
bahan jaringan harus difiksasi dalam formalin 4%.
(PDPI, 2003)

6.2

Bronkiektasis merupakan kelainan karena terjadi dilatasi bronkus yang


bersifat abnormal dan permanen. Dilatasi ini dapat bersifat fokal atau difus
yang biasanya diakibatkan oleh infeksi kronik, obstruksi pernapasan
proksimal atau abnormalitas bronkus kongenital.
Insidens bronkiektasi meningkat seiring bertambahnya usia, sekitar 272
per 100.000 orang dengan usia lebih dari 75 tahun. Sering ditemui pada
perempuan berusia di atas 50 tahunyang tidak merokok. Bronkiektasis sering
terjadi pada perempuan dibandingkan laki-laki. Sebanyak 42% kasus
disebabkan oleh infeksi.
Penyakit bronkiektasis bersifat kronis dengan eksaserbasi akut sepanjang
perjalanannya. Pseudomonas aeruginosa atau Haemophilus influenza
menyebabkan proses peradangan dan menyebabkan rusaknya bronkus.
Kemudian akan menghasilkan pigmen, protease, dan toksin yang dapat
merusak epitel pernapasan dan klirens mukosilia. Proses inflamasi tersebut
juga dapat menyebabkan kolonisasi bakteri mudah terjadi sehingga terjadi
gangguan klirens mukosilier yang disebut dengan Vicious Cycle, kemudian
menyebabkan neutrophil dan mediatorlainnya keluar dan menyebabkan
21

kerusakan epitel yang semakin berat, obstruksi, kerusakan jalur napas, dan
infeksi berulang.

Untuk menegakkan diagnosis bronkiektasis perlu dilakukan anamnesis,


pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis dan
pemeriksaan fisik dapat ditemukan gejala klinis seperti batuk berdahak,
hemoptysis, lemas, penurunan berat badan, myalgia, sesak napas, mengi,
demam, nyeri dada pleuritik, cor pulmonal, tidak ada atau riwayat merokok,
riwayat keluhan yang kronik. Dari pemeriksaan fisik juga dapat ditemukan
gejala seperti takipneu, ronki basah, mengi, jari tabuh. Jika disertai penyakit
sistemik berat lainnya dapat terjadi hipoksemia kronik, cor pulmonal atau
bahkan gagal jantung.
Pada pemeriksaan foto thorax dapat terlihat gambaran seperti jalur tram,
cincin, garis paralel dan struktur tubular serta terdapat gambaran khas yaitu
honey comb. CT-Scan merupakan standar baku dalam mendiagnosis
bronkiektasis dan lebih sensitive untuk mengetahui adanya dilatasi saluran
22

napas pada kedua lobus dan lingual. Karakteristiknya yaitu bronchial tapering
menurun, bronkus terlihat 1 cm pada tepi paru, rasio ukuran bronkoarteri
meningkat. Pemeriksaan bronkoskopi fiberoptik dapat dilakukan untuk
mengetahui penyebab penyumbatan endobronkial. Pemeriksaan sputum atau
kultur sputum dapat ditemukan neutrofilia dan kolonisasi. Selain itu dapat
dilakukan tes resistensi antibiotic terutama pada infeksi pseudomonas
aeruginosa. (Hoffbrand, 2014)
6.3

Etiologi
Disebebabkan oleh bakteri mycobacterium tuberculosis yang dapat
menyerang paru dan ektra paru (pleura, tulang, usus, ginjal dan organ
lainnya)

a) Gejala sistemik/umum
a. Penurunan nafsu makan dan berat badan.
b. Perasaan tidak enak (malaise), lemah.
c. Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya
dirasakan malam hari disertai keringat malam. Kadang-kadang
serangan demam seperti influenza dan bersifat hilang timbul.

b) Gejala khusus
23

a. Bila terjadi sumbatan sebagian bronkus (saluran yang menuju ke paruparu) akibat penekanan kelenjar getah bening yang membesar, akan
menimbulkan suara "mengi", suara nafas melemah yang disertai
sesak.
b. Jika ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat
disertai dengan keluhan sakit dada.
Pada lesi minimal, pemeriksaan fisis dapat normal atau dapat ditemukan
tanda konsolidasi paru utamanya apeks paru. Tanda pemeriksaan fisik paru
tersebut dapat berupa:
a. Fokal

fremitus

meningkat,

perkusi

redup,

bunyi

napas

bronkovesikuler atau adanya ronkhi terutama di apeks paru.


b. Pada lesi luas dapat pula ditemukan tanda-tanda seperti deviasi trakea
ke sisi paru yang terinfeksi, tanda konsolidasi, suara napas amporik
pada cavitas atau tanda adanya penebalan pleura.

Pemeriksaan foto toraks memberi gambaran bermacam-macam bentuk.


Gambaran radiologi yang dicurigai lesi Tb paru aktif:
a. Bayangan berawan/nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas dan
segmen superior lobus bawah paru.
b.

Kaviti terutama lebih dari satu, dikelilingi bayangan opak berawan atau
nodular.
24

c.

Bayangan bercak milier.

d.

Efusi Pleura
Gambaran radiologi yang dicurigai Tb paru inaktif:

a. Fibrotik, terutama pada segmen apical dan atau posterior lobus atas dan
atau segmen superior lobus bawah.
b. Kalsifikasi.
c. Penebalan pleura

6.4

Menurut PDPI (2006) komplikasi tuberculosis adalah :


a) Batuk darah
b) Pneumotorax
c) Luluh paru
d) Gagal napas
e) Gagal jantung
f) Efusi pleura

25

6.5

Pemeriksaan Sputum termasuk Pemeriksaan bakteriologik untuk


menemukan kuman tuberkulosis mempunyai arti yang sangat penting dalam
menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan bakteriologik ini selain
berasal dari dahak/sputum dapat berasal dari : cairan pleura, liquor
cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar
(bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faeces dan jaringan biopsi (termasuk
biopsi jarum halus/BJH).
Cara pengumpulan dan pengiriman bahan
Cara pengambilan dahak 3 kali, setiap pagi 3 hari berturut-turut atau
dengan cara:
a. Sewaktu/spot (dahak sewaktu saat kunjungan)
b. Dahak Pagi ( keesokan harinya )
c. Sewaktu/spot ( pada saatmengantarkan dahak pagi)
Bahan pemeriksaan / spesimen yang berbentuk cairan dikumpulkan/

ditampung dalam pot yang bermulut lebar, berpenampang 6 cm atau lebih


dengan tutup berulir, tidak mudah pecah dan tidak bocor. Apabila ada fasiliti,
spesimen tersebut dapat dibuat sediaan apus pada gelas objek (difiksasi)
sebelum dikirim ke laboratorium.
Bahan pemeriksaan hasil BJH, dapat dibuat sediaan apus kering di gelas
objek atau untuk kepentingan biakan dan uji resistensi dapat ditambahkan
NaCl 0,9% 3-5 ml sebelum dikirim ke laboratorium.
Spesimen dahak yang ada dalam pot (jika pada gelas objek dimasukkan ke
dalam kotak sediaan) yang akan dikirim ke laboratorium, harus dipastikan
telah tertulis identitas penderita yang sesuai dengan formulir permohonan
pemeriksaan laboratorium.
Bila lokasi fasiliti laboratorium berada jauh dari klinik/tempat pelayanan
penderita, spesimen dahak dapat dikirim dengan kertas saring melalui jasa
pos.
Cara pembuatan dan pengiriman dahak dengan kertas saring:

26

a. Kertas saring dengan ukuran 10 x 10 cm, dilipat empat agar terlihat bagian
tengahnya
b. Dahak yang representatif diambil dengan lidi, diletakkan di bagian tengah
dari kertas saring sebanyak +1 ml
c. Kertas saring dilipat kembali dan digantung dengan melubangi pada satu
ujung yang tidak mengandung bahan dahak
d. Dibiarkan tergantung selama 24 jam dalam suhu kamar di tempat yang
aman, misal di dalam dus
e. Bahan dahak dalam kertas saring yang kering dimasukkan dalam kantong
plastik kecil
f. Kantong

plastik

kemudian

ditutup

rapat

(kedap

udara)

dengan

melidahapikan sisi kantong yang terbuka dengan menggunakan lidi


g. Di atas kantong plastik dituliskan nama penderita dan tanggal
pengambilan dahak
h. Dimasukkan ke dalam amplop dan dikirim melalui jasa pos ke alamat
laboratorium.
Pemeriksaan mikroskopik:
a. Mikroskopik biasa (Pewarnaan Ziehl-Nielsen, pewarnaan Kinyoun
Gabbett)
b. Mikroskopik fluoresens (Pewarnaan auramin-rhodamin (khususnya untuk
screening))
Untuk mendapatkan hasil yang lebih baik, dahak dipekatkan lebih dahulu
dengan cara sebagai berikut:
a. Masukkan dahak sebanyak 2 4 ml ke dalam tabung sentrifuge dan
tambahkan sama banyaknya larutan NaOH 4%.
b. Kocoklah tabung tersebut selam 5 10 menit atau sampai dahak mencair
sempurna
27

c. Pusinglah tabung tersebut selama 15 30 menit pada 3000 rpm


d. Buanglah cairan atasnya dan tambahkan 1 tetes indicator fenol-merahpada
sediment yang ada dalam tabung tersebut, warnanya menjadi merah
e. Netralkan reaksi sedimen itu dengan berhati-hati meneteskan larutan HCl
2n ke dalam tabung sampai tercapainya warna merah jambu ke kuningkuningan
f. Sedimen ini selanjutnya dipakai untuk membuat sediaan pulasan (boleh
juga dipakai untuk biakan M.tuberculosis )
lnterpretasi hasil pemeriksaan mikroskopik dari 3 kali pemeriksaan ialah
bila :
a. 2 kali positif, 1 kali negatif Mikroskopik positif
b. 1 kali positif, 2 kali negatif ulang BTA 3 kali , kemudian bila 1 kali
positif, 2 kali negatif Mikroskopik positif bila 3 kali negatf
Mikroskopik negatif
Intrepetasi hasil dilihat dari dahaknya :
1) Sputum

yang

dihasilkan

sewaktu

membersihkan

tenggorokan,

kemungkinan berasal dari sinus, atau saluran hidung, bukan berasal dari
saluran napas bagian bawah.
2) Sputum banyak sekali & purulen proses supuratif (eg. Abses paru)
3) Sputum yg terbentuk perlahan & terus meningkat tanda bronkhitis/
bronkhiektasis.
4) Sputum kekuning - kuningan proses infeksi.
5) Sputum hijau proses penimbunan nanah. Warna hijau ini dikarenakan
adanya verdoperoksidase yg dihasikan oleh PMN dlm sputum. Sputum
hijau ini sering ditemukan pada penderita bronkhiektasis karena
penimbunan sputum dalam bronkus yang melebar dan terinfeksi.
6) Sputum merah muda & berbusa tanda edema paru akut.
28

7) Sputum berlendir, lekat, abu-abu/putih tanda bronkitis kronik.


8) Sputum berbau busuk tanda abses paru/ bronkhiektasis.
6.6

Kelainan hematologi pada seorang penderita tuberkulosis dapat


disebabkan karena proses infeksi tuberkulosis, efek samping OAT atau
kelainan dasar hematologis yang sudah ada sebelumnya. Tuberkulosis dapat
memberikan kelainan-kelainan hematologi yang sangat bervariasi dan dapat
mengenai seri eritrosit, lekosit , trombosit serta gangguan pada sumsum
tulang. (Lichtman A, 2001)

1) Eritrosit
Menurun (anemia), disebabkan karena:
a. Anemi penyakit kronis
b. Defisiensi asam folat sekunder karena anoreksia atau peningkatan
pemakaian folat
Efisiensi vitamin B12 sekunder karena keterlibatan ileum
Anemia hemolisis autotoimun
Anemia sideroblastik sekunder karena gangguan metabolisme B6
Fibrosis sumsum tulang
Aplasi sumsum tulang
Infiltrasi amiloid pada sumsum tulang
Hipersplenisme
Meningkat (polisitemi), disebabkan karena:
a. Tuberculosis ginjal menyebabkan penaingkatan eritropoietin (Lichtman
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.

A, 2001)
Anemia hemolitik
Tuberkulosis dapat menimbulkan anemi hemolitik auotoimun yang bersifat
sementara dan reaksi tes Coombs postitif. Anemia hemolitik berat kadangkadang didapatkan pada tuberkulosis, beberapa di antaranya didapatkan pada
tuberkulosis milier atau tuberkulosis limpa.
Anemia sideroblastik
Gangguan metabolisme B6 dapat menimbulkan anemi sideroblastik
dengan pembentukan sel sideroblast bercincin. Pemberian isoniazid,
sikloserin

atau

pirazinamide

dapat

mencetuskan

terjadinya

anemi

sideroblastik. (Lichtman A, 2001)


Polisitemia
29

Polisitemi ditemukan pada 8% penderita tuberkulosis dengan infiltrasi ke


sumsum tulang.

2) Trombosit
Menurun, disebabkan karena:
a. Mekanisme imunologis
b. Koagulasi intravaskuler diseminata
c. Fibrosis sumsum tulang
d. Aplasia sumsum tulang
e. Hipersplenisme
Meningkat, disebabkan karena:
a. Reaksi fase akut
Trombositosis
Trombositosis adalah jumlah trombosit di atas 450000/mm3. Pada
tuberkulosis dapat terjadi trombositosis reaktif, kadang-kadang melebihi
1.000.000/mm3. (Lichtman A, 2001)
Trombositopeni
Trombositopeni adalah jumlah trombosit di bawah 100000/mm3.
Trombositopeni ditemukan pada 52 % penderita dengan infiltrasi tuberkulosis
pada sumsum tulang. (Lichtman A, 2001)
3) Limfosit
Menurun, karena:
a. Infeksi tuberculosis
Meningkat, karena:
a. Respon inflamasi
4) Leukosit
Leukositosis
5) Netrofilia
Netrofilia adalah peningkatan jumlah netrofil di atas 6000/mm3.
Netrofilia ditemukan pada 20 % penderita tuberculosis dengan infiltrasi ke
sumsum tulang. Netrofilia disebabkan karena reaksi imunologis dengan
mediator sel limfosit T dan membaik setelah pengobatan.
Pada infeksi tuberkulosis yang berat atau tuberkulosis milier, dapat
ditemukan peningkatan jumlah netrofil dengan pergeseran ke kiri dan granula
toksik (reaksi lekemoid).
6) Eosinofilia
Eosinofili adalah peningkatan jumlah eosinofil di atas 700/mm3.
Tuberkulosis dapat menimbulkan sindroma PIE (Pulmonary Infiltration with

30

Eosinophilia) yang ditandai dengan adanya batuk, sesak, demam ,berkeringat,


malaise dan eosinofili.
7) Basofilia
Basofili adalah peningkatan jumlah basofil di atas 150/mm3. Merupakan
respon terhadap inflamasi serta menunjukkan kemungkinan adanya kelainan
dasar penyakit mieloproliferatif.
8) Monositosis
Monositosis adalah peningkatan jumlah monosit di atas 950/mm3.
Monosit berperan penting dalan respon imun pada infeksi tuberkulosis.
Monosit berperan dalam reaksi seluler terhadap bakteri tuberkulosis. Monosit
merupakan sel utama dalam pembentukan tuberkel. Aktivitas pembentukan
tuberkel ini dapat tergambar dengan adanya monositosis dalam darah.
Monositosis dianggap sebagai petanda aktifnya penyebaran tuberkulosis.
Adanya monositosis menunjukkan prognosis yang kurang baik. (Lichtman A,
2001)
9) Limfositosis
Limfositosis adalah peningkatan jumlah limfosit di atas 4000/mm3.
Limfositosis merupakan respon imun normal di dalam darah dan jaringan
limfoid

terhadap

tuberkulosis.

Limfositosis

menunjukkan

proses

penyembuhan tuberculosis
10) Leukopeni
Lekopeni adalah penurunan jumlah lekosit di bawah 4000/mm3. Pada
umumnya lekopeni disebabkan karena penurunan jumlah netrofil (netropeni).
Infeksi mikobakterium tuberculosis dapat menimbulkan pansitopeni (anemi,
lekopeni, trombositopenia.
11) Netropeni
Netropeni adalah penurunan netrofil di bawah 2000 /mm3. Netropeni
biasanya merupakan bagian dari anemi dan disebabkan karena fibrosis atau
disfungsi sumsum tulang atau sekuestrasi di limpa. Defisiensi folat dan
vitamin B12 dapat menyebabkan netropeni.
12) Limfopeni
Limfopeni adalah penurunan jumlah limfosit di bawah 1500 /mm3.
Limfopeni menunjukkan proses tuberculosis aktif. Tuberkulosis yang aktif
menyebabkan penurunan total limfosit T sebagai akibat penurunan sel T4.
Limfopeni ditemukan pada 100 % penderita dengan infiltrasi tuberkulosis
pada sumsum tulang.
13) Monositopeni
31

Monositopeni adalah penurunan jumlah monosit di bawah 200/mm3.


Monositosis ditemukan pada 40% penderita tuberkulosis dengan infiltrasi ke
sumsum tulang. (Lichtman A, 2001)

6.7

Foto toraks menunjukkan gambaran fibroinfiltrat dan kavitas di paru


kanan serta gambaran sarang tawon di apeks paru kiri. Gambaran radiologis
beranekaragam ini semakin menguatkan diagnosis tuberkulosis, namun untuk
memastikan diagnosis melalui gambaran radiologis selain gambaran posterior
anterior dan lateral seharusnya dilakukan foto toraks top lordotik, oblik, dan
tomografi dengan densitas keras karena masing-masing gambaran yang
beranekaragam ini menggambarkan juga proses penyakit lain seperti kavitas
pada abses paru dan infiltrat pada kanker paru. (Zulkifli, 2006)
Sedangkan gambaran radiologis pada pasien skenario kemungkinan
dimulai dengan proses TB primer dimulai di paru kanan yang membuat
banyak lesi dan kavitas sehingga memungkinkan relaps menjadi TB
pascaprimer yang menyebar ke paru kiri serta akibat terbentuknya banyak
kavitas menyebabkan juga bronkiektasis di apeks paru kiri karena tingginya
tekanan oksigen di daerah tersebut dibandingkan daerah lain membuat kuman
tumbuh dengan baik.
Pemeriksaan radiologis seringkali menunjukkan adanya TB, tetapi hampir
tidak dapat membuat diagnosis berdasarkan pemeriksaan ini saja karena
hampir semua manifestasi TB dapat menyerupai penyakit-penyakit lainnya.
(Price, 2006)
Secara patologis, manifestasi TB paru biasanya berupa suatu kompleks
kelenjar getah bening parenkim. Pada orang dewasa, segmen apeks dan
posterior lobus atas atau segmen superior lobus bawah merupakan tempattempat yang sering menimbulkan lesi yang terlihat homogen dengan densitas
yang lebih pekat. Dapat juga terlihat adanya pembentukan kavitas dan
gambaran penyakit yang menyebar yang biasanya bilateral. Ketidaknormalan
apapun pada foto dada seseorang yang positif HIV dapat mengindikasikan
adanya penyakit TB. Sebenarnya, seseorang yang positif HIV dengan
penyakit TB dapat memiliki foto dada yang normal. (CDC, 2000)
32

Pada saat ini pemeriksaan radiologis dada merupakan cara yang praktis
untuk menentukan lesi tuberkulosis. Pemeriksaan ini memang membutuhkan
biaya lebih dibandingkan pemeriksaan sputum, tetapi dalam beberapa hal
memberikan keuntungan seperti pada tuberculosis anak-anak dan tuberculosis
milier. Pada kedua hal di atas diagnosis dapat diperoleh melalui pemeriksaan
radiologis dada, sedangkan pemeriksaan sputum hampir selalu negatif.
Lokasi lesi tuberculosis umumnya di daerah apeks paru (segmen apikal
lobus atas atau segmen apikal lobus bawah), tetapi dapat juga mengenai lobus
bawah (bagian inferior) atau daerah hillus menyerupai tumor paru (misalnya
pada tuberculosis endokondrial).
Pada awal penyakit saat lesi masih merupakan sarang-sarang pneumonia,
gambaran radiologis berupa bercak-bercak seperti awan dan dengan batasbatas yang tidak tegas. Bila lesi sudah diliputi jaringan ikat maka bayangan
terlihat berupa bulatan dengan batas yang tegas. Lesi ini dikenal sebagai
tuberculoma.
Gambar 1: Bayangan berawan pada lapang paru
Pada kavitas bayangannya berupa cincin yang mula-mula berdinding tipis.
Lama-lama dinding jadi sklerotik dan terlihat menebal. Bila terjadi fibrosis
terlihat bayangan yang bergaris-garis. Pada kalsifikasi bayangannya tampak
sebagai bercak-bercak padat dengan densitas tinggi. Pada atelektasis terlihat
seperti fibrosis yang luas disertai penciutan yang dapat terjadi pada sebagian
atau satu lobus maupun pada satu bagian paru.

33

Gambar 2: Cavitas pada apex paru dextra


Gambaran tuberculosis milier terlihat berupa bercak-bercak halus yang
umumnya tersebar merata pada seluruh lapangan paru.
Gambar 3: Gambaran TB milier

Gambaran radiologis lain yang sering menyertai tuberculosis paru adalah


penebalan pleura (pleuritis), massa cairan di bagian bawah paru (efusi
pleura/empiema), bayangan hitam radio-lusen di pinggir paru/ pleura
(pneumotoraks).

34

Gambar 4:

Gambaran

efusi pleura pada

cavum pleura

sinistra
Pada
satu

foto

sering

dada

didapatkan

bermacam-macam bayangan sekaligus (pada tuberculosis yang sudah lanjut)


seperti

infiltrat,

garis-garis

fibrotik,

kalsifikasi,

kavitas

(non

sklerotik/sklerotik) maupun atelektasis dan emfisema.


Tuberculosis sering memberikan gambaran yang aneh-aneh, terutama
gambaran radiologis sehingga dikatakan tuberculosis is the great imitator.
Gambaran infiltrasi dan tuberculoma sering diartikan sebagai pneumonia,
mikosis paru, karsinoma bronkus atau karsinoma metastasis. Gambaran
kavitas sering diartikan sebagai abses paru. Di samping itu perlu diingat juga
faktor kesalahan dalam mebaca foto. Faktor kesalahan ini dapat mencapai
25%. Oleh sebab itu untuk diagnosisd radiologi sering dilakukan juga foto
dengan proyeksi densitas keras.
Adanya bayangan (lesi) pada foto dada, bukanlah menunjukkan adanya
aktivitas penyakit, kecuali suatu infiltrat yang betul-betul nyata. Lesi penyakit
yang sudah non-aktif, sering menetap selama hidup pasien. Lesi yang berupa
fibrotik, kalsifikasi, kavitas, schwarte, sering dijumpai pada orang-orang yang
sudah tua.
Pemeriksaan khusus yang kadang-kadang juga diperlukan adalah
bronkografi, yakni untuk melihat kerusakan bronkus atau paru yang
disebabkan oelh tuberculosis. Pemeriksaan ini umumnya dilakukan bila
pasien akan mengalami pembedahan paru.
Pemeriksaan radiologis dada yang lebih canggih dan saat ini sudah banyak
dipakai di rumah sakit rujukan adalah Computed Tomography Scanning (CT
Scan). Pemeriksaan ini lebih superior dibanding lebih superior dibanding
35

radiologis biasa. Perbedaan densitas jaringan terlihat lebih jelas dan sayatan
dapat dibuat transversal.
Pemeriksaan lain yang lebih canggih lagi adalah Magnetic Resonance
Imaging (MRI). Pemeriksaan MRI ini tidak sebaik CT Scan, tetapi dapat
mengevaluasi proses-proses dekat apeks paru, tulang belakang, perbatasan
dada-perut. Sayatan bisa dibuat transversal, sagital dan koronal. (Amin, 2007)

6.8

Penggunaan Obat Anti TB yang dipakai dalam pengobatan TB adalah


antibotik dan anti infeksi sintetis untuk membunuh kuman Mycobacterium.
Aktifitas obat TB didasarkan atas tiga mekanisme, yaitu aktifitas membunuh
bakteri, aktifitas sterilisasi, dan mencegah resistensi. Obat yang umum
dipakai adalah Isoniazid (H), Etambutol (E), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z),
dan Streptomisin (S). (PDPI, 2006)
Sesuai dengan sifat kuman TB, untuk memperoleh efektifitas pengobatan,
maka prinsip-prinsip yang dipakai yaitu:
a. Menghindari penggunaan monoterapi. Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis obat, dalam
jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Hal ini
untuk mencegah timbulnya kekebalan terhadap OAT.
b.

Untuk menjamin kepatuhan penderita dalam menelan obat, pengobatan


dilakukan dengan pengawasan langsung (DOT = Directly Observed
Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).

c. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan


lanjutan:
a) Tahap Intensif
Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari dan
perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan
obat. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat,
biasanya penderita menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2

36

minggu. Sebagian besar penderita TB BTA positif menjadi BTA negatif


(konversi) dalam 2 bulan.
b) Tahap Lanjutan
Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit,
namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting
untuk membunuh kuman persisten (dormant) sehingga mencegah
terjadinya kekambuhan
Paduan pengobatan yang

digunakan

oleh

Program

Nasional

Penanggulangan TB oleh Pemerintah Indonesia:

(PDPI, 2006)
1) KATEGORI-1 (2HRZE/4H3R3)
Tahap intensif terdiri dari HRZE diberikan setiap hari selama 2 bulan.
Kemudian diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari HR diberikan
tiga kali dalam seminggu selama 4 bulan. Obat ini diberikan untuk:
a. Penderita baru TB Paru BTA Positif
b. Penderita baru TB Paru BTA negatif Rntgen Positif yang sakit berat
c. Penderita TB Ekstra Paru berat
(PDPI, 2006)

37

2) KATEGORI -2 (2HRZES/HRZE/5H3R3E3)
Tahap intensif diberikan selama 3 bulan, yang terdiri dari 2 bulan dengan
HRZES setiap hari. Dilanjutkan 1 bulan dengan HRZE setiap hari. Setelah itu
diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang diberikan
tiga kali dalam seminggu.
Obat ini diberikan untuk penderita TB paru BTA (+) yang sebelumnya
pernah diobati, yaitu:
a. Penderita kambuh (relaps).
b. Penderita gagal (failure).
c. Penderita dengan pengobatan setelah lalai (after default).

(PDPI, 2006)

38

3) KATEGORI-3 (2HRZ/4H3R3)
Tahap intensif terdiri dari HRZ diberikan setiap hari selama 2 bulan
(2HRZ), diteruskan dengan tahap lanjutan terdiri dari HR selama 4 bulan
diberikan 3 kali seminggu. Obat ini diberikan untuk:
a. Penderita baru BTA negatif dan rntgen positif sakit ringan.
b. Penderita TB ekstra paru ringan.

(PDPI, 2006)
4) OAT SISIPAN (HRZE)

39

Bila pada akhir tahap intensif pengobatan penderita baru BTA positif
dengan kategori 1 atau penderita BTA positif pengobatan ulang dengan
kategori 2, hasil pemeriksaan dahak masih BTA positif, diberikan obat sisipan
(HRZE) setiap hari selama 1 bulan. Paduan OAT sisipan untuk penderita
dengan berat badan antara 33 50 kg yaitu 1 tablet Isoniazid 300 mg, 1
kaplet Rifampisin 450 mg, 3 tablet Pirazinamid 500 mg, 3 tablet Etambutol
250 mg Satu paket obat sisipan berisi 30 blister HRZE yang dikemas dalam 1
dos kecil.
OBAT ANTI TUBERKULOSIS KOMBINASI TETAP
Disamping Kombipak, saat ini tersedia juga obat TB yang disebut Fix
Dose Combination (FDC). Obat ini pada dasarnya sama dengan obat
kompipak, yaitu rejimen dalam bentuk kombinasi, namun didalam tablet yang
ada sudah berisi 2, 3 atau 4 campuran OAT dalam satu kesatuan. WHO sangat
menganjurkan pemakaian OAT-FDC karena beberapa keunggulan dan
keuntungannya dibandingkan dengan OAT dalam bentuk kombipak apalagi
dalam bentuk lepas.
Keuntungan penggunaan OAT FDC yaitu:
a. Mengurangi kesalahan peresepan karena jenis OAT sudah dalam satu
kombinasi tetap dan dosis OAT mudah disesuaikan dengan berat badan
penderita
b. Dengan jumlah tablet yang lebih sedikit maka akan lebih mudah
pemberiannya dan meningkatkan penerimaan penderita sehingga dapat
meningkatkan kepatuhan penderita.
c. Dengan kombinasi yang tetap, walaupun tanpa diawasi, maka penderita
tidak bisa memilih jenis obat tertentu yang akan ditelan.
d. Dari aspek manajemen logistik, OAT-FDC akan

lebih

mudah

pengelolaannya dan lebih murah pembiayaannya.

40

PERHATIAN KHUSUS UNTUK PENGOBATAN


Beberapa kondisi berikut ini perlu perhatian khusus yaitu :
a. Wanita hamil Pada prinsipnya paduan pengobatan TB pada wanita hamil
tidak berbeda dengan pengobatan TB pada umumnya. Semua jenis OAT
aman untuk wanita hamil, kecuali streptomisin karena dapat menembus
barier placenta dan dapat menyebabkan permanent ototoxic terhadap janin
dengan akibat terjadinya gangguan pendengaran dan keseimbangan yang
menetap pada janin tersebut. Perlu dijelaskan kepada ibu hamil bahwa
keberhasilan pengobatannya sangat penting artinya supaya proses
kelahiran dapat berjalan lancar dan bayi yang akan dilahirkannya terhindar
dari kemungkinan penularan TB. (PDPI, 2006)
b. Ibu menyusui dan bayinya Pada prinsipnya paduan pengobatan TB pada
ibu menyusui tidak berbeda dengan pengobatan pada umumnya. Semua
jenis OAT aman untuk ibu menyusui. Seorang ibu menyusui yang
menderita TB harus mendapat paduan OAT secara adekuat. Pemberian
OAT yang tepat merupakan cara terbaik untuk mencegah penularan kuman
TB kepada bayinya. Ibu dan bayi tidak perlu dipisahkan dan bayi tersebut
dapat terus menyusu. Pengobatan pencegahan dengan INH dapat diberikan
kepada bayi tersebut sesuai dengan berat badannya selama 6 bulan. BCG
diberikan setelah pengobatan pencegahan. (PDPI, 2006)
c. Wanita penderita TB pengguna kontrasepsi. Rifampisin berinteraksi
dengan kontrasepsi hormonal (pil KB, suntikan KB, susuk KB), sehingga
dapat menurunkan efektifitas kontrasepsi tersebut.

Seorang wanita
41

penderita TB seyogyanya mengggunakan kontrasepsi nonhormonal, atau


kontrasepsi yang mengandung estrogen dosis tinggi (50 mcg). (PDPI,
2006)
d. Penderita TB dengan infeksi HIV/AIDS Prosedur pengobatan TB pada
penderita dengan infeksi HIV/AIDS adalah sama seperti penderita TB
lainnya. Obat TB pada penderita HIV/AIDS sama efektifnya. (PDPI, 2006)
e. Penderita TB dengan hepatitis akut Pemberian OAT pada penderita TB
dengan hepatitis akut dan atau klinis ikterik, ditunda sampai hepatitis
akutnya mengalami penyembuhan. Pada keadaan dimana pengobatan TB
sangat diperlukan dapat diberikan SE selama 3 bulan sampai hepatitisnya
menyembuh dan dilanjutkan dengan RH selama 6 bulan, bila hepatitisnya
tidak menyembuh seharus dilanjutkan sampai 12 bulan. (PDPI, 2006)
f. Penderita TB dengan penyakit hati kronik Bila ada kecurigaan gangguan
fungsi hati, dianjurkan pemeriksaan faal hati sebelum pengobatan TB.
Kalau SGOT dan SGPT meningkat lebih dari 3 kali OAT harus dihentikan.
Pirazinamid (Z) tidak boleh digunakan. Paduan obat yang dapat dianjurkan
adalah 2RHES/6RH atau 2HES/10HE atau 9RE. (PDPI, 2006)
g. Penderita TB dengan gangguan ginjal Isoniazid, Rifampisin dan
Pirazinamid dapat diberikan dengan dosis normal pada penderita-penderita
dengan gangguan ginjal. Hindari penggunaan Streptomisin dan Etambutol
kecuali dapat dilakukan pengawasan fungsi ginjal dan dengan dosis
diturunkan atau interval pemberian yang lebih jarang. Paduan OAT yang
paling aman untuk penderita dengan gangguan ginjal adalah 2RHZ/6HR.
(PDPI, 2006)
h. Penderita TB dengan Diabetes Melitus Diabetesnya harus dikontrol. Perlu
diperhatikan bahwa penggunaan Rifampisin akan mengurangi efektifitas
obat oral anti diabetes (sulfonil urea) sehingga dosisnya perlu ditingkatkan.
Hati-hati dengan penggunaan etambutol, karena mempunyai komplikasi
terhadap mata. (PDPI, 2006)
EFEK SAMPING
1) Efek samping ringan

42

(PDPI, 2006)

2) Efek samping berat

43

(PDPI, 2006)

44

Kesimpulan
Berdasarkan tanda-tanda yang diperlihatkan pasien pada skenario kali ini,
diagnosis yang mungkin pada pasien adalah tuberkulosis (TB). Tuberkulosis
adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Mycrobacterium
tuberculosis.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakkan
diagnosis pada skenario adalah pemeriksaan sputum, pemeriksaan darah,
pemeriksaan foto rongent thorax, dan pemeriksaan biopsi jarum halus
(BAJAH).
Penatalaksaan yang dapat dilakukan adalah dengan penggunaan obat anti
TB yang berupa antibotik dan antiinfeksi sintetis untuk membunuh kuman
Mycobacterium. Aktifitas obat TB didasarkan atastiga

mekanisme,

yaitu

aktifitas membunuh bakteri, aktifitas sterilisasi, dan mencegahresistensi.


Obat yang umum dipakai adalah Isoniazid (H), Etambutol (E), Rifampisin
(R),Pirazinamid (Z), dan Streptomisin (S).
Penatalaksanaan TB dilakukan dalam 2 tahap yaitu tahap intensif dan
tahap lanjutan. Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari
danperlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan obat.
Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit,namun dalam
jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan pentinguntuk membunuh
kuman persister (dormant) sehingga mencegahterjadinya kekambuhan.
Saran
Pada tutorial skenario 5 ini kelompok kami sudah dapat mengemukakan
pendapat nya dengan baik. Diharapkan kelompok kami lebih dapat mencari
referensi yang bersifat klinis dan semua anggota kelompok dapat berfikir kritis.
Semoga pada tutorial berikutnya kelompok kami dapat lebih aktif berpendapat
dan memahami skenario dengan lebih baik.

45

Daftar Pustaka
A, Aziz Alimul, 2008, Pengantar Konsep Dasar Keperawatan, Jakarta: Salemba
Medika
Almatsier S. 2005. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Amin Z. Manifestasi Klinik Dan Pendekatan Pada Pasien Dengan Kelainan
Sistem Pernapasan. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata
M, Setiati S, Editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Ed 5. Jakarta:
InternaPublishing; 2009. h. 969-73
Arif, Mansjoer, dkk. 2009. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Medica
Aesculpalu: FKUI
A.V. Hoffbrand, J.E. Petit, P.A.H. Moss. 2014. Kapita Selekta Hematologi Jilid 2
Edisi 4. Jakarta: EGC
Centers for Disease Control and Prevention (CDC), 2000. Outbreak Of
Mesotherapy Associated Skin Reactions District of Columbia Area,
January - February 2000. MMWR Morb Mortal Wkly Rep 54(44): 1127-30
Croft, J, Norman, H, Fred, M., 2002.Tuberkulosis Klinik. Edisi 2. Jakarta:
Penerbit Widya Medik
Darmanto Sp.P FCCP, 2009, Respirologi, Jakarta EGC
DR. R. Darmanto djojodibroto, SP. p, FCCP, 2009, Respirologi, Jakarta, EGC
KNPK.2015.Pedoman Nasional Penanganan Kanker Paru. Jakarta : Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). 2006. Tuberculosis: Pedoman
Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia.

46

Price, S.A, Standridge, M.P, 2006. Tuberkulosis Paru. Dalam: Price S.A., Wilson,
L.M., Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, 6th ed. Volume
1. Jakarta: EGC, 852-861.
Price, S.A, Standridge, M.P, 2006. Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, 6th ed.
Volume 2. Jakarta: EGC
Rasmin, Menaldi.2010.Editorial Hemoptisis. Departemen Pulmonologi & Ilmu
Kedokteran Respirasi FKUI SMF Paru RSUP Persahabatan
Seligsohn U. Disseminated Intravascular Coagulopathy. In : Beutler E. Lichtman
A,Coleer BS, Kipps TJ, Selingsohn U, eds. William Hematology, 6th ed. Vol
1.New York: Mc Graw-Hill, 2001 : 882.
Sudoyo, Aru W, dkk. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1 edisi IV.
Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI
Suryo, Joko. 2010. Herbal: Penyembuh Gangguan Sistem Pernapasan.
Yogyakarta: B First
Stoppler, M.C.2010.Lung Cancer. Available from: http://www.emedicinehealth
Zulkifli. (2006). Psikologi Perkembangan, Bandung: Rosdakarya

47

Anda mungkin juga menyukai