Anda di halaman 1dari 21

Dinamika Psikologis Pada Orang Dengan HIV Dan AIDS (Odha)

Kusumawijaya Paputungan
Universitas Ahmad Dahlan
Jl. Kapas No.9 Semaki, Yogyakarta.
Email : Kwijayap88@Gmail.Com
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui 1) dinamika psikologis pada
ODHA? 2) bagaimana kecenderungan penggunaan coping pada ODHA?
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus.
Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan observasi dan wawancara.
Metode analisis data pada penelitian ini dengan menggunakan metode analisis
tematik. Subyek penelitian ini dipilih dengan menggunakan teknik sampel
kriteria. Subyek penelitian ini adalah ODHA yang terdata di LSM pendampingan
ODHA di D.I.Yogyakarta. Hasil penelitian ini menemukan bahwa kedua subyek
memiliki dinamika psikologis yang berbeda sebagai reaksi akibat terinfeksi HIV.
Reaksi yang dialami oleh kedua subyek dalam penelitian ini terjadi secara
berurutan. Subyek pertama mengalami reaksi denial, depression, anger,
bargaining, anxiety, acceptance. Sedangkan subyek kedua mengalami reaksi
acceptance, denial, acceptance, bargaining, depression, frustation, bargaining,
acceptance. Secara umum, kedua subyek cenderung menggunakan Emotional
Focused Coping. Sedangkan secara khususnya, kedua subyek memiliki perbedaan
kecenderungan penggunaan coping. Subyek pertama cenderung menggunakan
positive reappraisal, sedangkan subyek kedua cenderung menggunakan seeking
social emotional support.
Kata Kunci : ODHA, Dinamika Psikologis, Coping.

Abstract
This study aimed to determine 1) psychological dynamics of people living
with HIV and AIDS? 1) how to use coping tendency to people living with HIV
and AIDS? This study uses a qualitative case study approach. Data collection in
this study using observation and interviews. The method of data analysis in this
study using thematic analysis. The subjects of this study were selected using
criterion sampling technique.The subjects of this people living with HIV and
AIDS were recorded in NGO assistance people living with HIV and AIDS in
D.I.Yogyakarta. The results of this study found that both subjects have different
psychological dynamics as a reaction to HIV. Reactions experienced by the two
subjects in this study occur sequentially. This subjects first had a reaction of
denial, depression, anger, bargaining, anxiety, acceptance. While the second
subject had a reaction acceptance, denial, acceptance, bargaining, depression,
frustation, bargaining, acceptance. In general, the two subjects tend to use the
Emotional Focused Coping. While in particular, the two subjects have different
coping tendencies usage. The first subjects tend to use positive reappraisal, while
the second subject tend to use seeking emotional social support.
Keywords : People living with HIV and AIDS, Psychological Dynamics, Coping.

PENDAHULUAN
Diantara berbagai virus yang telah dikenal saat ini, yang dianggap paling
berbahaya adalah Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang menyebabkan
penyakit Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS). HIV merupakan virus
yang menyerang sistem kekebalan tubuh orang yang dijangkitinya (Sarafino,
1998). Sedangkan AIDS merupakan kumpulan simptom yang terjadi karena
terjangkit HIV. Jadi, HIV dan AIDS tidak sama.
Pusat AIDS Internasional Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Harvard, Amerika Serikat (Mann, 1993 dalam Hawari, 2004) melukiskan
bagaimana fenomena infeksi virus HIV mulai menampakkan diri pada 1980-an.
Bila pada tahun 1981 yaitu epidemi itu pada tahap awal hanya terdapat sekitar 100
ribu orang yang terinfeksi, maka pada tahun 1992 (11 tahun kemudian) penyakit
ini telah menyebar kepada 12,9 juta orang di seluruh dunia, dengan perincian
sebagai berikut : 7,1 juta pria; 4,7 juta wanita; dan 1,1 juta anak-anak. Dari jumlah
tersebut di atas terdapat 2,6 juta orang yang terinfeksi virus HIV telah berkembang
secara klinis (penyakti AIDS) dan 2,5 juta darinya telah meninggal dunia (Hawari,
2004).
AIDS pertama kali ditemukan di kota San Francisco, Amerika Serikat.
Penyakit ini muncul karena hubungan seksual (sodomi) yang dilakukan oleh
komunitas kaum homoseksual (Hawari, 2004). Informasi dari UNAIDS
menyatakan bahwa sampai tahun 2010 jumlah penderita HIV mencapai 34 juta
orang di dunia.

Di Indonesia, AIDS pertama kali dijumpai pada bulan April tahun 1987.
Data situasi perkembangan HIV & AIDS di Indonesia yang dilaporkan oleh
Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia pada tanggal 13 Juni 2011
menyebutkan bahwa sampai dengan Juni 211 secara kumulatif jumlah kasus AIDS
yang dilaporkan adalah 26.483 kasus (Ditjen PP & PL Kementerian Kesehatan RI,
2011). Sebanyak 33 provinsi dan 300 kabupaten/kota yang melapor. Ratio kasus
AIDS antara laki-laki dan perempuan adalah 3 : 1. Cara penularan kasus AIDS
kumulatif yang dilaporkan melalui heteroseksual (54, 8%), Injection Drug Use
(36,2%), lelaki seks lelaki (2,9%), perinatal (2,8%), transfusi darah (0,2%) dan
tidak diketahui (3,0). Pada kelompok umur, proporsi kumulatif kasus AIDS
tertinggi dilaporkan 20-29 tahun (46,4%), disusul kelompok umur 30-39 tahun
(31,5%), dan kelompok umur 40-49 tahun (9,8%). Kasus terbanyak dilaporkan
dari DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Barat, Papua, Bali, Jawa Tengah, Kalimantan
Barat, Sulawesi Selatan, D.I.Yogyakarta, dan Sulawesi Utara. Rate kumulatif
kasus AIDS Nasional sampai dengan Juni 2011 adalah 11,09 per 100.000
penduduk (berdasarkan data Badan Pusat Statistik 2011, jumlah penduduk
Indonesia 238.893.400 jiwa).
Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta berada di peringkat ke sembilan
dari 33 provinsi di Indonesia dalam jumlah penderita HIV dan AIDS. Sedangkan
dari seluruh wilayah D.I.Y, Kota Yogyakarta menduduki peringkat pertama dalam
hal banyaknya jumlah penderita (Tribunnews.com, 2012).
Dinas Kesehatan Propinsi D.I.Y dalam laporan surveilans kasus HIV &
AIDS tahun 1993 2011 (sampai dengan Desember 2011) melaporkan data hasil
pengawasan perkembangan kasus HIV & AIDS selama 18 tahun terakhir,
menyebutkan bahwa distribusi frekuensi kasus HIV & AIDS menurut jenis
kelamin, yaitu laki-laki berjumlah 968 dan perempuan berjumlah 475. Distribusi
frekuensi kasus HIV & AIDS menurut alamat tinggal, yaitu Kota Yogyakarta
berjumlah 485, Kab. Sleman berjumlah 343, Kab. Bantul berjumlah 238, Kab.
Kulon Progo berjumlah 83, dan Kab. Gunung Kidul berjumlah 42. Data frekuensi
kasus HIV & AIDS menurut kondisi, yaitu hidup berjumlah 1269 dan meninggal
188. Data frekuensi kasus HIV & AIDS menurut faktor risiko, yaitu heteroseksual
berjumlah 653, narkotik suntik berjumlah 243, homoseksual berjumlah 75,
perinatal berjumlah 51, transfusi darah berjumlah 13, beseksual berjumlah 13,
neonatal berjumlah 1. Data frekuensi kasus HIV & AIDS menurut golongan umur,
yaitu umur 20-29 berjumlah 581, umur 30-39 berjumlah 453, umur 40-49
berjumlah 202, umur 50-59 berjumlah 72, umur 01-04 berjumlah 34, umur kurang
1 tahun berjumlah 23, umur 05-14 berjumlah 20, umur 15-19 berjumlah 18, umur
60 keatas berjumlah 7 (Laporan Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi DIY,
2012).
Sampai saat ini belum ditemukan vaksin yang dapat melawan virus
tersebut. Para ahli berusaha mendapatkan obat untuk mengatasi AIDS dan obat itu
disebut sebagai Antiretroviral (ARV). Namun, ternyata obat ini tidak dapat
menyembuhkan AIDS, hanya dapat memperlambat reproduksi HIV pada tahap
awal (Taylor, 1995).

Lubis (2009), mengemukakan suatu studi telah menyimpulkan bahwa


pasien yang menderita suatu penyakit dengan kondisi akut sebagian besar akan
menunjukkan adanya gangguan psikologis di antaranya depresi. Seperti yang
dikemukakan oleh Sarafino (1998), suatu penyakit dan akibat yang diderita, baik
akibat penyakit ataupun intervensi medis tertentu dapat menimbulkan perasaan
negatif seperti kecemasan, depresi, marah, ataupun rasa tidak berdaya dan
perasaan-perasaan negatif tertentu yang dialami terus-menerus ternyata dapat
memperbesar kecenderungan seseorang terhadap suatu penyakit tertentu.
Kondisi ini mendesak mereka untuk melakukan perubahan-perubahan
sosial secara cepat. Namun, tidak semua orang mampu menyesuaikan diri dengan
perubahan-perubahan tersebut yang pada gilirannya yang bersangkutan dapat
jatuh sakit, atau mengalami gangguan penyesuaian diri/adjustment disorder
(Hawari, 2004). Perubahan-perubahan psikososial pada sebagian orang dapat
merupakan beban atau tekanan mental yang disebut stresor psikososial. Stresor
psikososial (Hawari, 2004), adalah setiap keadaan atau peristiwa yang
menyebabkan perubahan dalam kehidupan seseorang, sehingga orang itu terpaksa
mengadakan adaptasi atau penyesuaian diri untuk menanggulanginya.
Masing-masing orang memiliki caranya sendiri untuk mengatasi
permasalahannya yang pada akhirnya reaksi menekan itu memunculkan
strategi/pola menghadapi untuk melindungi keutuhan dirinya dan beradaptasi
terhadap stres yang dialami. Hal-hal ini yang disebut coping menurut Sarafino
(1998).
Coping adalah usaha-usaha kognitif dan perilaku yang berkesinambungan
untuk mengelola tekanan dari dalam dan atau dari luar individu yang dirasakan
merugikan atau melebihi kemampuan individu itu (Lazarus dan Folkman, 1984).
Proses coping muncul karena adanya berbagai peristiwa bernuansa penuh tekanan
dalam kehidupan. Respon seseorang terhadap permasalahan ini sangat
dipengaruhi oleh perkembangan kekuatan yang ada dalam dirinya serta dukungan
sosial.
Penelitian mengenai ODHA yang memfokuskan pada perkembangan
status identitas pada penderita HIV & AIDS dengan menggunakan metode
kualitatif yang dilakukan oleh Yunita dan Ginanjar (2001), menghasilkan bahwa
secara khusus terdapat perubahan status identitas pada tiga area yang di alami oleh
penderita pada saat sebelum dan sesudah ia mengetahui bahwa menderita HIV
positif, yaitu area pekerjaan, kepercayaan religius, dan tingkah laku seksual.
Keduanya menambahkan bahwa penderita HIV mengalami semua reaksi
psikologis yang umumnya dialami oleh penderita HIV & AIDS, seperti terkejut,
penyangkalan dan kemarahan, menarik diri dan depresi, membuka diri, mencari
teman, status spesial, tingkah laku altruistik, dan menerima.
Jia, dkk. (2004), melalui penelitiannya mengenai kualitas hidup laki-laki
muda pengidap HIV menyimpulkan bahwa dampak dukungan sosial dan coping
merupakan faktor utama mengantarkan pada simptom depresi. Dengan
memperbaiki dukungan sosial, coping, dan depresi pada individu yang terinfeksi
HIV akan memperbaiki kualitas hidup.
Phillips (2007), menyimpulkan dalam penelitiannya mengenai dukungan
sosial, coping, dan ketaatan berobat wanita dewasa positif HIV yang tinggal di

pedesaan di negara bagian tenggara bahwa dukungan sosial dan strategi coping
merupakan indikator yang berpengaruh terhadap ketaatan mengkonsumsi ARV.
Penelitian yang dilakukan oleh Nugroho (2009), mengenai coping stres
pada orang dengan HIV dan AIDS dengan pendekatan kualitatif menyatakan
bahwa pemilihan strategi coping pada ODHA masih menghambat untuk memulai
terbuka dengan orang lain. ODHA masih cenderung menggunakan emosional
focused coping dengan bertahan dalam keadaan sesulit apapun. Sedangkan pada
strategi problem focused coping, ODHA masih pada tahap mencari dukungan
serta merencanakan pemecahan masalah secara bertahap. Sampel penelitian belum
memulai untuk memecahkan masalah yang dihadapi.
Penulis, melalui Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang pernah
penulis dan teman-teman mahasiswa kelola sejak tahun 2010 sampai tahun 2012,
penulis sering berinteraksi langsung dengan ODHA yang tergabung dalam
komunitas pada kegiatan-kegiatan bersama. Seperti kegiatan Malam Renungan
AIDS Nusantara (MRAN), rapat bersama LSM-LSM dan pemerintah daerah
Propinsi dan Kota Yogyakarta maupun pada kegiatan-kegiatan sosialisasi yang di
selenggarakan oleh pemerintah. Pada beberapa kesempatan tersebut, penulis tidak
bisa membedakan antara ODHA dengan yang bukan ODHA. Sebab, secara fisik
dan pola interaksi, para ODHA sama dengan kebanyakan orang yang tidak
terinfeksi HIV. Hal ini membuat penulis ingin mengetahui cara mereka
menghadapi masalah akibat terinfeksi HIV sehingga seolah-olah seperti tidak ada
masalah, terutama dari aspek psikologisnya.
Permasalahan diatas, membuat penulis tertarik untuk melakukan
penelitian, untuk menjawab ketertarikan penulis dalam mengungkap misteri
dibalik kehidupan ODHA dalam hal ini adalah dinamika psikologis pada ODHA
dan kecenderungan penggunaan coping pada ODHA.
A. Tujuan penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap dinamika psikologis pada
ODHA dan kecenderungan penggunaan coping pada ODHA.
B. Tinjauan Pustaka
1. Orang Dengan HIV dan AIDS (ODHA)
a. Pengertian
Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Daerah Istimewah Yogyakarja nomor
20 tahun 2010 tentang penanggulangan human immunodefficiency virus (HIV) dan
acquired immuno defficiency sindrome (AIDS) menyatakan bahwa orang dengan
HIV dan AIDS (ODHA) adalah orang yang sudah terinfeksi HIV baik pada tahap
sebelum ada gejala maupun yang sudah ada gejala. Sedangkan orang yang hidup
dengan pengidap HIV dan AIDS yang selanjutnya disingkat dengan OHIDHA
adalah orang yang terdekat, teman kerja, atau keluarga dari orang yang sudah
tertular HIV.
Perda Provinsi D.I.Y no 20 tahun 2010 tentang penanggulangan HIV dan
AIDS menyebutkan bahwa Human Immunodefficiency Virus (HIV) adalah virus
penyebab AIDS yang digolongkan sebagai jenis yang disebut retrovirus yang
menyerang sel darah putih dan melumpuhkan sistem kekebalan tubuh dan

ditemukan dalam cairan tubuh pengidap HIV dan AIDS yang berpotensi
menularkan melalui darah, air, mani, air susu ibu dan cairan vagina. Sedangkan
Acquires Immuno Defficiency Syndrome (AIDS) adalah kumpulan gejala penyakit
yang disebabkan oleh HIV yang merusak sistem kekebalan tubuh manusia
sehingga daya tahan tubuh melemah dan mudah terjangkit penyakit infeksi.
AIDS muncul setelah virus HIV menyerang sistem kekebalan tubuh kita
selama lima hingga sepuluh tahun atau lebih. Sistem kekebalan tubuh kita menjadi
lemah, dan satu atau lebih penyakit dapat timbul. Karena lemahnya sistem
kekebalan tubuh tadi, beberapa penyakit bisa menjadi lebih berat daripada
biasanya. Individu yang AIDS rentan terjangkit berbagai penyakit yang
mengancam (Sarafino, 1998). Berikut ini tabel perjalanan virus HIV :
Tabel 1. Perjalanan virus HIV
Perjalanan Virus HIV
3 bulan
10 15 tahun
1 2 tahun
HIV Positif
AIDS
Terinfeksi HIV
- Gejala ringan
- Infeksi oportunistik
Tanpa gejala
- Belum perlu ke RS
- Perlu ke RS
b. Penularan HIV
HIV ditularkan khususnya dengan pertukaran cairan tubuh, yaitu cairan
seksual dan darah (Taylor, 1995). Virus HIV hidup di semua cairan tubuh tetapi
hanya bisa menular melalui cairan tubuh tertentu, yaitu : darah, air mani (cairan,
bukan sperma), cairan vagina, air susu ibu (ASI).
Cara penularan virus HIV melalui :
1) Hubungan seks yang tidak aman (homoseksual dan heteroseksual), penerimaan
organ, jaringan atau sperma. Kemungkinan penularan melalui hubungan
kelamin menjadi lebih besar bila terjadi penyakit kelamin, khususnya yang
menyebabkan luka atau ulterasi pada alat kelamin.
2) Transfusi darah. Penerimaan darah ataupun produk darah, dimana resiko
serokonversi (kemungkinan status HIV penderita dari negatif menjadi positif)
90% setelah pemberian darah yang positif HIV.
3) Perinatal. Ibu yang HIV positif kepada bayinya (selama atau sesudah
kehamilan), dimana resiko berkisar 15% hingga 50%.
4) Penggunaan jarum suntik yang tidak steril secara bergantian.
Golongan yang berrisiko tinggi terinfeksi HIV adalah :
1) Orang yang berganti-ganti pasangan seksual (homoseksual atau heteroseksual).
2) Penyalahgunaan obat secara intervena.
3) Penerima darah atau produk darah (bila darah tidak diperiksa terlebih dahulu).
Yang paling sering tertular adalah penderita hemophilia.
4) Bayi dari ibu yang telah terinfeksi HIV. Virus HIV mungkin menular pada fetus
melalui plasenta, air susu, perlukaan yang terinfeksi darah ibu selama kelahiran
dan ditularkan pada bayi.
2. Penyesuaian Psikososial Pada ODHA
Hawari (2004), mengatakan bahwa penderita AIDS akan mengalami krisis
kejiwaan pada dirinya, pada keluarganya, pada orang yang dicintainya dan pada

masyarakat. Krisis kejiwaan tersebut adalah dalam bentuk kepanikan, ketakutan,


kecemasan, serba ketidakpastian, keputusasaan, dan stigma. Perlakuan terhadap
penderita AIDS seringkali bersifat diskriminatif dan resiko bunuh diri pada
penderita AIDS cukup tinggi akibat depresi mental yang dialaminya (Hawari,
2004).
AIDS dapat dipandang sebagai penyakit kronik dibandingkan penyakit
akut. Pengalaman individu sering bercampur antara kaget, menolak, merasa
bersalah dan takut, semua itu menyatu dengan apakah akan membuka penyakit ini
kepada lainnya (Ostrow dkk, dalam Carey dan Vanable, 2003). Hasan (2008),
mengatakan bahwa ODHA dengan penyakit mematikan yang dialaminya,
memiliki tiga tantangan utama, yaitu menghadapi reaksi terhadap penyakit yang
memiliki stigma, berhadapan dengan kemungkinan waktu kehidupan yang
terbatas, dan mengembangkan strategi untuk mempertahankan fisik dan emosi.
Selain itu, ODHA juga harus menghadapi diagnosis kematian. Hal ini dapat
mendorong mereka mengalami stres atau depresi, yang dapat membuat mereka
mengisolasi diri dari orang lain (Hasan, 2008).
Ketika dokter mendiagnosis bahwa seseorang menderita penyakit kronis
seperti AIDS, ada tiga bentuk respon emosional yang secara umum mungkin
muncul, yaitu penolakan, kecemasan, dan depresi (Taylor, 1995). Meskipun reaksi
psikologis terhadap diagnosis penyakit dan penanganan sangat beragam dan
keadaan serta kemampuan masing-masing penderita tergantung pada banyak
faktor, tetapi ada enam reaksi psikologis yang utama menurut Prokop (Lubis,
2009) yaitu, kecemasan, depresi, perasaan kehilangan kontrol, gangguan kognitif
(impairment), gangguan seksual serta penolakan terhadap kenyataan (denial).
Kubler-Rosss (Sarafino, 2006), melakukan wawancara terhadap 200
individu yang mengalami terminal illnes dan mengatakan bahwa penyesuaian
individu biasanya mengikuti pola-pola yang dapat diprediksi dalam 5 tahapan
yang dapat dialami secara berbeda oleh setiap penderita. Artinya setiap penderita
mempunyai tahapan tersendiri, dapat urut atau melompat, dapat juga maju
kemudian mundur kembali. Reaksi-reaksi tersebut adalah :
a. Denial
Reaksi pertama untuk prognosa yang mengarah ke kematian melibatkan
perasaan menolak mempercayainya sebagai suatu kebenaran. Ia menjadi gelisah,
menyangkal, gugup dan kemudian menyalahkan hasil diagnosis. Penyangkalan
sebenarnya merupakan suatu mekanisme pelindung terhadap trauma psikologis
yang dideritanya.
b. Anger
Secara tidak sadar proses psikologis akan terus berkembang menjadi rasa
bersalah bahwa dirinya telah terinfeksi, marah terhadap dirinya sendiri atau orang
yang menularinya, tidak berdaya dan kehilangan kontrol serta akal sehatnya.
c. Bargaining
Pada tahapan ini, orang tersebut berusaha mengubah kondisinya dengan
melakukan tawar-menawar atau berusaha untuk bernegosiasi dengan Tuhan.
d. Depression

Perasaan depresi muncul ketika upaya negosiasi tidak menolong dan orang
tersebut merasa tidak ada harapan serta tidak berdaya. Mereka berada dalam
keadaan tidak menentu dalam menghadapi reaksi orang lain terhadap dirinya.
e. Acceptance
Akhir dari proses psikologis ini adalah menerima nasib. Keadaan ini
merupakan suatu keadaan dimana seseorang menyadari bahwa ia memiliki suatu
penyakit, bukan akibat dari penyakitnya itu. Orang dengan kesempatan hidup
yang tidak banyak lagi akan mencapai penerimaan ini setelah tidak lagi
mengalami depresi, tetapi lebih merasa tenang dan siap menghadapi kematian.
3. Coping
a. Pengertian Coping
Matheny, dkk. (Rice, 1992), mendefinisikan coping sebagai segala usaha,
sehat maupun tidak sehat, positif maupun negatif, usaha kesadaran atau
ketidaksadaran, untuk mencegah, menghilangkan, atau melemahkan stresor, atau
untuk memberikan ketahanan terhadap dampak stres.
Lazarus dan Folkman (1984), mengemukakan bahwa coping adalah usahausaha kognitif dan perilaku (behavioral) yang berkesinambungan untuk
mengelola tekanan dari dalam (internal) dan atau dari luar (eksternal) individu
yang dirasakan merugikan atau melebihi kemampuan individu itu. Menurut
Lazarus dan Folkman (1984), coping yang efektif untuk dilakukan adalah coping
yang membantu seseorang untuk mentoleransi dan menerima situasi menekan dan
tidak merisaukan tekanan yang tidak dapat dikuasainya.
Billing dan Moss (Rice, 1992), menguraikan perilaku coping bisa
dikategorikan pertama-tama dalam istilah metode coping (coping method)
menghadapi atau menghindari (active or avoidance), lebih terperinci dalam fokus
responnya coping bisa dikategorikan pada orientasi masalah (problem oriented),
atau orientasi emosi (emotion oriented).
Dari beberapa definisi coping yang dikemukakan oleh para ahli di atas,
maka dapat disimpulkan bahwa coping adalah usaha kognitif dan perilaku dalam
mengelola tekanan-tekanan yang berfungsi membantu seseorang untuk bisa
menerima dan mentoleransi situasi yang menekan
b. Tujuan Coping
Menurut Cohen dan Lazarus (Sarafino, 1998), tujuan coping, yaitu :
1) Mengurangi hal-hal yang diperkirakan akan menimbulkan situasi stres
terutama yang berasal dari lingkungan. Usaha ini meliputi cara mencari
alternatif pemecahan masalah.
2) Tercapainya penyesuaian yang baik terhadap kejadian-kejadian negativ yang
dialami seseorang dalam kehidupannya.
3) Bertahannya anggapan positif terhadap diri sendiri.
4) Memiliki kemampuan untuk dapat mempertahankan keseimbangan emosional.
5) Dapat menjalin hubungan yang memuaskan dengan orang lain
c. Strategi Coping

Lazarus & Folkman (1984), menggolongkan dua strategi coping yang


biasanya digunakan oleh individu, yaitu problem focused coping dan emotion
focused coping.
1) Problem focused coping
Merupakan usaha individu yang secara aktif mencari penyelesaian dari
masalah untuk menghilangkan kondisi atau situasi yang menimbulkan stres.
Problem focused coping terdiri dari :
a) Confrontative coping, usaha untuk mengubah keadaan yang dianggap menekan
dengan cara yang agresif, tingkat kemarahan yang cukup tinggi dan
pengambilan resiko.
b) Seeking social support, yaitu usaha untuk mendapatkan kenyamanan dan
bantuan informasi dari orang lain untuk menyelesaikan masalahnya.
c) Planful problem solving, usaha untuk mengubah keadaan yang dianggap
menekan dengan cara yang hati-hati, bertahap, dan analitis
2) Emotion focused coping
Merupakan usaha individu untuk mengatur emosinya dalam rangka
menyesuaikan diri dengan dampak yang akan ditimbulkan oleh suatu kondisi atau
situasi yang penuh tekanan, sedangkan kondisi objektif yang menimbulkan
masalah tidak ditangani. Emotion focus coping terdiri dari :
a) Seeking social emotional support, yaitu usaha untuk memperoleh dukungan
secara emosional maupun sosial dari orang lain.
b) Self control, usaha untuk mengatur perasaan ketika menghadapi situasi yang
menekan.
c) Distancing, usaha untuk tidak terlibat dalam permasalahan, seperti menghindar
dari permasalahan seakan tidak terjadi apa-apa atau menciptakan pandanganpandangan yang positif, seperti menganggap masalah sebagai lelucon.
d) Positive reappraisal, usaha mencari makna positif dari permasalahan dengan
berfokus pada pengembangan diri, biasanya juga melibatkan hal-hal yang
bersifat religious.
e) Accepting responsibility, usaha untuk menyadari tanggung jawab diri sendiri
dalam permasalahan yang di hadapinya, dan mencoba menerimanya untuk
membuat semuanya menjadi lebih baik. Strategi ini baik, terlebih bila masalah
terjadi karena pikiran dan tindakannya sendiri. Namun strategi ini menjadi
tidak baik bila individu tidak seharusnya bertanggung jawab atas masalah
tersebut.
f) Escape/avoidance, usaha untuk mengatasi situasi menekan dengan lari dari
situasi tersebut atau menghindarinya dengan beralih pada hal lain seperti
makan, minum, merokok, atau menggunakan obat-obatan.
d. Strategi Coping Pada ODHA
Schrimashaw dan Siegel (2000), dalam penelitiannya mengenai strategi
kognitif penderita HIV pada gay menemukan ada 40 strategi kognitif yang
digunakan sebagai coping terhadap HIV & AIDS yang kesemuanya di masukkan
dalam empat kategori besar, yaitu menghindari ancaman kematian, mengurangi
perasaan sebagai korban, mengontrol perasaan, dan menyiapkan mental untuk
menghadapi kekacauan emosi.

Sebuah penelitian studi kasus yang dilakukan oleh Kurniawati (2006),


mengenai coping stres pada ODHA menunjukkan bahwa ODHA memiliki
kecenderungan untuk melakukan emotion focus coping daripada problem focus
coping. Pengeksplorasian emosi ternyata merupakan proses penting bagi ODHA
untuk kemudian dapat menerima keadaan. Problem focus coping dilakukan
ODHA untuk mempertahankan daya tahan tubuhnya. Strategi ini dilakukan
ODHA dengan menjaga pola hidup sehatnya ataupun dengan mencari informasi
sebanyak-banyaknya tentang HIV & AIDS untuk mengantisipasi adanya
penurunan kesehatan. Keberhasilan coping ditentukan oleh dua faktor, yaitu
dukungan dari orang-orang di sekitar ODHA (OHIDHA) dan pemenuhan
kebutuhan ODHA. Hal senada juga di kemukakan oleh Nihayati (2012), melalui
penelitiannya yang mengungkapkan bahwa dukungan sosial memberikan efek
positif bagi ODHA.
Leiphart dalam artikelnya yang berjudul pengobatan tubuh-pikiran dan
HIV & AIDS mengemukakan sebuah hasil penelitian mengenai hubungan tubuh
dan pikiran terhadap emosi, kepercayaan, hubungan kita dengan orang lain serta
kebiasaan perilaku kita dapat mempengaruhi kekebalan tubuh kita, sehingga
mengarahkan tubuh ke arah sakit atau sehat. Para peneliti telah menemukan
penyebab mengapa beberapa orang jatuh sakit dan meninggal karena HIV,
sementara orang lain tetap bebas dari gejala dan sehat, yaitu kepercayaan, stres,
kesedihan, pengungkapan kepada pendukung yang terpercaya, tujuan hidup dan
cita-cita, orang yang punya pendirian, dan perawatan tubuh (odhaindonesia.org).
Marguari, Ketua Yayasan Spiritia, melalui siaran Iptek Voice yang
diberitakan oleh wartapedia.com menjelaskan bahwa penelitian yang melibatkan
sekitar 2000 ODHA di 10 provinsi menyimpulkan mutu ODHA baik dan cukup
tinggi. Sebanyak 71% mutu ODHA baik karena ada sistem dukungan kelompok
sebaya (wartapedia.com). Hal senada juga telah dibuktikan oleh Nihayati (2012)
melalui penelitiannya bahwa dukungan sosial berdampak positif bagi ODHA.
METODE
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Penelitian ini dilakukan di LSM
pendampingan ODHA di D.I.Yogyakarta.
Sasaran penelitian ini adalah ODHA yang terdata di LSM pendampingan
ODHA di D.I.Yogyakarta yang mampu dan bersedia memberikan informasi
mengenai dinamika psikologis dan kecenderungan penggunaan coping pada
ODHA. Oleh karena itu, subyek pada penelitian ini adalah orang yang benar
terinfeksi HIV, jenis kelamin laki-laki atau perempuan, berusia antara 20-39
tahun, mampu berkomunikasi dengan baik. Teknik sampling yang digunakan
dalam penelitian ini adalah criterion sampling.
Metode pengumpulan data dengan menggunakan teknik wawancara dan
observasi. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan teknik
analisis tema untuk mendeskripsikan hasil penelitian.

HASIL DAN PEMBAHASAN


1. Identitas Subyek
Berikut ini adalah identitas subyek penelitian :
Ciri-ciri
Subyek Pertama
Subyek Kedua
Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan
Tempat. Tanggal lahir Jakarta, 26 Mei 1976
Yogyakarta, 18 Februari 1986
Usia
36 tahun
26 tahun
Asal
Jakarta
Yogyakarta
Status
Menikah
Cerai mati
Pendidikan Terakhir
Diploma
SMA
Pekerjaan
Terakhir Karyawan
FKL Wirausaha
(Sebelum terinfeksi Ekspedisi muatan kapal
HIV)
laut di Papua
Pekerjaan
Terakhir Staff di LSM Vicktory Staff di LSM Vicktory Plus
(Setelah
terinfeksi Plus
HIV)
Pertama kali tahu September 2003
Desember 2006
status
Latar
belakang Narkoba jarum suntik
Heterosexual
terinfeksi
2. Dinamika Psikologis Pada ODHA
Kedua subyek memiliki dinamika psikologis yang berbeda selama menjadi
ODHA. Subyek pertama ketika pertama kali mengetahui terinfeksi HIV
mengalami reaksi denial atau penolakan. Subyek menolak mempercayai bahwa
dirinya terinfeksi HIV, karena menurut subyek HIV tidak akan menular hanya
dengan menggunakan narkoba jarum suntik bergantian dan HIV hanya menular
kepada pelaku seks bebas dan homoseksual. Kubler-Rosss (Taylor, 1995),
berpendapat bahwa pada sebagian orang akan kaget dan menolak hasil apapun
sebagai sebuah kesalahan, dimana kondisi ini hanya berlangsung beberapa hari
saja.
Menurut Taylor (1995), hasil diagnosis penyakit kronis kerap kali
membuat pasien mengalami shok. Kondisi ini yang terjadi pada subyek kedua,
ketika pertama kali mengetahui positif HIV, yaitu subyek diam tanpa ekspresi.
Sesaat kemudian, subyek berpikir bahwa ini adalah resiko menjadi istri pengguna
narkoba jarum suntik. Sikap menerima ini diambil oleh subyek atas dasar subyek
sangat mencintai suaminya dan juga sebagai upaya agar lebih merasa tenang dan
siap menerima resiko. Reaksi ini yang disebut oleh Kubler-Rosss sebagai
acceptance atau menerima (Sarafino, 2006).
Selain itu, subyek kedua bisa menerima karena subyek menganggap
bahwa masalah ini sebagai bentuk kasih sayang Allah SWT. Sikap subyek ini
diperkuat oleh Ironson melalui penelitiannya yang menyatakan (Hawari, 2004)
bahwa agama mempunyai peran yang penting dalam memperpanjang usia
seseorang yang menderita HIV dan AIDS.

Setelah kedua subyek mengalami reaksi psikologis saat mengetahui


terinfeksi HIV, kedua subyekpun mengalami reaksi berikutnya, yaitu depression
bagi subyek pertama dan denial bagi subyek kedua. Subyek pertama mengalami
reaksi psikologis berupa depression. Perasaan ini muncul ketika individu merasa
tidak ada harapan serta tidak berdaya. Menurut Kubler-Rosss reaksi ini
merupakan waktu untuk perasaan duka terlebih dahulu ketika pasien melihat
dirinya akan mati (Taylor, 1995).
Sarafino (2006), mengatakan bahwa penyakit AIDS bisa membangunkan
perasaan kehilangan harapan dan ketidakberdayaan. Bahkan subyek bisa
mengalami depresi berat. Hal serupa juga dikatakan oleh Hawari (2004), bahwa
penderita AIDS akan mengalami rasa takut (fear) dan rasa putus asa (burn out).
Lubis (2009), mengemukakan suatu studi telah menyimpulkan bahwa pasien yang
menderita suatu penyakit dengan kondisi akut sebagian besar akan menunjukkan
adanya gangguan psikologis di antaranya depresi.
Subyek pertama merasa harapan hidup menipis, semangat hidup menurun,
berpikir tidak ada harapan untuk hidup, orang yang HIV sama dengan mati, tidak
bisa menikah dan tidak bisa memiliki keturunan. Subyek juga tidak membuka
statusnya kepada keluarga karena takut akan ditolak/diisolasi secara sosial.
Menurut Taylor (1995), denial atau penolakan merupakan mekanisme
pertahanan diri untuk menghindari dampak dari penyakit. Selain itu, KublerRosss (Taylor, 1995), mengungkapkan bahwa penolakan dijadikan orang-orang
sebagai reaksi untuk mempelajari diagnosis penyakit menular. Hal ini seperti yang
terjadi pada subyek kedua yang mengalami reaksi psikologis berupa denial, yaitu
tidak bisa menerima dan tidak percaya bahwa dirinya terinfeksi HIV. Subyek
merasa jangan-jangan hasilnya negatif, hasil pemeriksaan laboratorium bohong.
Penolakan ini muncul ketika subyek mengalami kesendirian setelah suaminya
meninggal.
Menurut Taylor (2009), kesendirian (aloneness) adalah kondisi obyektif di
mana seseorang terpisah atau tidak bersama orang lain. Keadaan ini disebabkan
oleh perubahan hidup yang membuat kita jauh dari sahabat dan kehilangan
hubungan dekat. Weiss (Taylor, 2009) menyebutnya sebagai emotional loneliness
(kesepian emosional) yang berasal dari hilangnya sosok yang intim, seperti orang
tua atau pasangan kekasih hati.
Setelah kedua subyek mengalami reaksi tersebut, kedua subyek pun
mengalami reaksi berikutnya, yaitu anger bagi subyek pertama dan acceptance
bagi subyek kedua. Subyek pertama mengalami reaksi marah (anger). Subyek
merasa tidak berdaya dan kehilangan kontrol diri. Rasa bersalah yang mendalam
membuat subyek menambah dosis penggunaan narkoba. Hal ini dilakukannya
untuk mempercepat kematian. Subyek mengetahui bahwa jika terinfeksi HIV,
maka akan mati. Kubler-Rosse (Sarafino, 2006), mengatakan bahwa reaksi ini
timbul sebagai akibat pengaruh gencarnya kampanye AIDS yang mengandung
informasi menakutkan.
Sedangkan pada subyek kedua, reaksi yang dialaminya adalah acceptance.
Subyek menerima dirinya terinfeksi HIV setelah melihat hasil tes CD-4 dan
menyadari konsekuensi sebagai istri mantan pecandu narkoba. Tes CD-4 ini
dilakukan subyek untuk meyakinkan bahwa dirinya terinfeksi HIV. Hal ini sesuai

dengan yang dikemukakan oleh Kubler-Rosss (Sarafino, 2006), mengenai


acceptance.
Reaksi selanjutnya yang dialami kedua subyek adalah bargaining.
Sepertinya yang dikemukakan oleh Kubler-Rosss (Sarafino, 2006), bahwa
subyek melakukan tawar menawar dan mulai membuka diri (self-disclossur)
dengan memilih siapa yang akan menerima keadaan dirinya, kemudian akan
menceritakan keadaannya. Hal serupa di kemukakan oleh Kaplan (1993), bahwa
dukungan sosial dapat diperoleh melalui individu-individu yang diketahui dapat
diandalkan, menghargai, memperhatikan serta mencintai kita dalam suatu jaringan
sosial. Kondisi ini dijelaskan pula oleh Sarafino (2006), bahwa berinteraksi
dengan orang lain dapat memodifikasi atau merubah persepsi individu mengenai
kejadian tersebut, dan ini akan mengurangi potensi munculnya stres baru atau
stres yang berkepanjangan.
Subyek pertama melakukan tawar-menawar dengan dirinya untuk mulai
membuka diri (self-disclosure) pada orang yang di anggap bisa menerima
keterbukaannya, sebab subyek merasa tidak mampu menghadapi masalahnya
sendirian. Subyek membutuhkan orang-orang yang perhatian terhadap ODHA,
baik sesama ODHA maupun orang-orang yang tidak terinfeksi HIV. Begitupun
subyek kedua, subyek mulai membuka diri (self-disclosure) kepada orang yang
dianggap bisa menerimanya dan memulai untuk melakukan terapi dan pengobatan
herbal. Seperti yang dikemukakan oleh McClallend bahwa pada situasi yang
penuh dengan tekanan psikologis, orang membutuhkan afiliasi atau need for
affiliation (Wikipedia, 2013). Murray (Chaplin, 2006), mengemukakan bahwa
affiliation adalah kebutuhan akan pertalian perkawanan dengan orang lain,
pembentukkan persahabatan, ikut serta dalam kelompok-kelompok tertentu,
bercinta. Motif afiliasi merupakan salah satu motif sosial yang sering diartikan
sebagai kebutuhan untuk bersama dengan orang lain.
Reaksi berikutnya yang di alami oleh kedua subyek adalah anxiety bagi
subyek pertama dan depression bagi subyek kedua. Menurut Sarafino (2006),
penyakit AIDS bisa membangunkan perasaan kehilangan harapan dan
ketidakberdayaan. Hal serupa juga dikatakan oleh Hawari (2006), bahwa
penderita AIDS akan mengalami rasa takut (fear).
Kecemasan pada subyek pertama bukan disebabkan oleh virus HIV
melainkan masalah membuka statusnya kepada calon istri dan mengenai terapi
yang akan di jalaninya. Subyek pertama ini mengalami kecemasan untuk
membicarakan penyakitnya kepada calon istrinya. Subyek juga mencemaskan
harga ARV yang mahal serta ketakutan akan kebijakan pemerintah yang akan
menghentikan subsidi obat bagi penderita HIV.
Subyek kedua mengalami reaksi depresi karena pada kondisi ini subyek
mengalami masa-masa sulit sebelum mengenal sesama ODHA. Kesulitan yang
dialaminya adalah tidak ada teman sesama yang bisa diajak sharing. Kondisi ini
juga membuat subyek sering menangis dan murung atau diam dan mengisolasi
diri. Hal ini dapat mendorong mereka mengalami stres atau depresi, yang dapat
membuat mereka mengisolasi diri dari orang lain (Hasan, 2008).
Selain itu, subyek tidak memberitahu statusnya sebagai ODHA kepada
kedua orang tua kandungnya. Hal ini dilakukan subyek karena subyek khawatir

akan berpengaruh terhadap kondisi kesehatan orang tuanya dan juga latar
belakang pendidikan orang tua yang rendah.
Menurut Hawari (2004), dampak psikologis tidak hanya dialami oleh
penderita HIV, tetapi bagi keluarga/orang tua yang salah satu anggota keluarganya
menderita AIDS, akan menimbulkan rasa duka cita (grief) dan kepedihan yang
mendalam, terlebih-lebih lagi manakala saat kematian telah tiba.
Reaksi selanjutnya adalah acceptance bagi subyek pertama dan frustation
bagi subyek kedua. Subyek pertama menerima dirinya terinfeksi HIV atas izin
Tuhan. Subyek yakin bahwa, Tuhan mengizinkan dirinya terinfeksi juga sekaligus
memberikan solusinya. Subyek juga yakin bahwa, sesuatu yang tidak mungkin
bagi manusia, bagi Tuhan pasti mungkin. Subyek kemudian menjadikan ini
sebagai pegangan hidupnya. Selain itu, subyek bergabung dengan teman senasib
dan memperbaiki hidup lebih baik serta rutin beribadah di gereja.
Selain itu, ketika pertama kali subyek mengetahui hasil tes yang
menyatakan bahwa subyek positif HIV, saat itu subyek bersama-sama dengan
temannya yang juga di diagnosa positif HIV dan tinggal di panti rehabilitasi. Hal
ini kemudian membuat subyek tidak merasa sendiri dan bisa menerima statusnya
sebagai ODHA.
Subyek kedua mengalami frustation, yaitu suatu keadaan ketegangan yang
tak menyenangkan, dipenuhi kecemasan, dan aktivitas simpatetis yang semakin
meninggi disebabkan oleh perintangan dan penghambatan (Chaplin, 2006).
Subyek kedua mengalami keadaan frustrasi, disebabkan subyek
memunculkan ingatan mengenai masalah-masalah yang sedang dialaminya,
seperti di usia 20 tahun menjadi ODHA sekaligus single parent, ingat temanteman seusianya yang masih kuliah dan bersenang-senang, menangis sendiri,
mempertanyakan nasib hidupnya kepada dirinya sendiri dan Tuhan, dan
pertanyaan tentang suaminya sebagai jodoh yang diberikan Tuhan kepadanya.
Selain itu, subyek merasa berat ditinggal mati oleh suaminya. Taylor
(2009), mengemukakan bahwa kesendirian (aloneness) adalah kondisi obyektif di
mana seseorang terpisah atau tidak bersama orang lain. Keadaan ini disebabkan
oleh perubahan hidup yang membuat kita jauh dari sahabat dan kehilangan
hubungan dekat. Weiss (Taylor, 2009) menyebutnya sebagai emotional loneliness
(kesepian emosional) yang berasal dari hilangnya sosok yang intim, seperti orang
tua atau pasangan kekasih hati. Keadaan sendiri muncul karena subyek merasa
harus menjalani hidup sebagai orang tua tunggal, merasa mengasuh anak
sendirian, merasa keluarganya pincang dan tidak memiliki teman curhat
Proses psikologis yang dialami subyek kedua ini akan terus berkembang
menjadi rasa bersalah bahwa dirinya terlah terinfeksi, marah terhadap diri sendiri
atau orang yang menularinya, demikian yang dikatakan Kubler-Rosss (Sarafino,
2006).
Reaksi selanjutnya yang dialami subyek kedua adalah bargaining. Subyek
kedua mencari dan menjalin hubungan sosial dengan sesama ODHA yang
tergabung dalam komunitas KDS guna saling men-support. Subyek juga sering
mengikuti kegiatan-kegiatan berbagai komunitas untuk mengalihkan perhatiannya
manakala ingatan-ingatan mengenai masalahnya muncul dan dirasa mengganggu.
Selain itu, subyek juga berpacaran dengan seorang lelaki yang perhatian terhadap

dirinya, yang menurut subyek kehadiran pacarnya tersebut membuat dirinya tidak
merasa sendiri. Menurut subyek, kehadiran pacar yang penuh perhatian juga dapat
mengurangi tekanan psikologis yang dialami subyek.
Reaksi selanjutnya dari subyek kedua adalah acceptance setelah melewati
dinamika perubahan psikososial yang panjang. Subyek bisa menerima, sebab
sudah terbiasa dengan situasi yang dialaminya. Bentuk penerimaan subyek berupa
pasrah pada nasib yang dialaminya.
Dari uraian diatas, peneliti menemukan bahwa virus HIV menimbulkan
reaksi psikologis pada pengidapnya. Kedua subyek dalam penelitian ini memiliki
dinamika psikologis yang berbeda dalam menjalani kehidupannya sebagai
ODHA.
3. Kecenderungan Penggunaan Coping Pada ODHA
Setelah mengalami kejadian yang menekan, biasanya kita berusaha untuk
mengatasinya. Masing-masing orang memiliki caranya sendiri untuk mengatasi
permasalahannya. Ketika seseorang dihadapkan pada situasi baru, mau tidak mau
dia harus berusaha menyesuaikan dirinya dengan situasi tersebut, begitu juga para
ODHA.
Menurut Lazarus dan Folkman (1984), individu cenderung menggunakan
PFC ketika individu yakin bahwa sumber daya atau tuntutan terhadap situasi yang
menekan bisa dirubah. Hal ini dapat dijumpai pada kedua subyek. Subyek
pertama menggunakan seeking social support ketika merasa takut seandainya
pemerintah menghentikan subsidi obat bagi para penderita HIV, mengingat harga
obat yang mahal. Subyek menggunakan usaha ini dengan cara menceritakannya
kepada teman dan sekaligus bergabung dalam LSM guna memantau kebijakan
pemerintah terhadap para penderita.
Solono dkk (Manne, 2003), mengemukakan individu akan berjuang
dengan semangat untuk memperkecil perkembangan penyebaran HIV setahun
kemudian, setelah melakukan kontrol untuk mengetahui jumlah sel CD-4. Subyek
kedua melakukan tes CD-4 untuk menghilangkan keraguan yang menyatakan
bahwa dirinya positif HIV. Setelah mengetahui informasi yang jelas, barulah
subyek bisa menerimanya. Lalu, subyek berusaha keras untuk mendapatkan
bantuan orang lain berupa informasi mengenai HIV, pengobatan dan terapi herbal
dengan harapan bisa sembuh dari penyakit HIV. Usaha yang dilakukan oleh
subyek kedua ini disebut oleh Lazarus dan Folkman (1984), sebagai seeking
social support.
Menurut Lazarus dan Folkman (1984), individu cenderung menggunakan
EFC ketika yakin kecil kemungkinan untuk bisa merubah keadaan yang menekan.
Kejadian menekan yang menimbulkan perasaan ketidakberdayaan dikarenakan
situasinya tidak terduga dan tidak terkontrol seperti AIDS (Folkman dan
Moskowitz, 2000).
Seeking social emotional support, yaitu usaha untuk memperoleh
dukungan secara emosional maupun sosial dari orang lain (Lazarus & Folkman,
1984). Hal ini dapat dilihat dari tindakan kedua subyek dalam mengatasi tekanan
yang dialami. Subyek pertama berusaha mencari dukungan emosional dan sosial
dari orang lain, dengan cara menceritakan masalah-masalah yang sedang

dialaminya kepada orang tua dan teman. Hal ini dilakukan subyek, sebab subyek
merasa tidak mampu menghadapi masalahnya sendirian dan juga agar subyek
tidak merasa sendirian. Subyek juga bergabung dalam LSM untuk saling mensupport sesama ODHA, karena menurut subyek, dukungan dari orang lain sangat
dibutuhkan. Hal yang sama juga dilakukan subyek kedua yaitu, mencari dukungan
dengan cara menceritakan masalahnya kepada orang lain dalam hal ini adalah
beberapa anggota keluarga dan teman, bergabung dalam LSM sesama ODHA, dan
mengikuti berbagai kegiatan-kegiatan komunitas seperti klub motor, sepeda, dan
komunitas peduli lingkungan.
Subyek kedua menggunakan coping ini, sebab menurut subyek dukungan
orang-orang disekitarnya sangat membantu sebagai penguat untuk menghilangkan
kondisi atau situasi yang menekan. Perhatian dan kepedulian dari orang-orang
penting, seperti orangtua, pasangan hidup, teman, rekan kerja, dan para anggota
gereja atau kelab dapat berdampak besar pada kesehatan (Sundberg, Winebarger,
Taplin, 2007). Dukungan sosial yang diterima subyek berdampak positif terhadap
aspek kesehatan, psikologis, sosial dan pekerjaan, sehingga hal tersebut dapat
membantu subyek dalam meningkatkan kesehatan guna memerangi virus HIV
(Nurbani, 2008). Billings & Moos (Lubis, 2009) mengemukakan hasil penelitian
menunjukkan bahwa dukungan sosial dapat memerangi tekanan psikologis selama
masa stres.
Self control, yaitu usaha untuk mengatur perasaan ketika menghadapi
situasi yang menekan. Hal ini bisa ditemukan pada subyek kedua. Tindakan yang
dilakukan subyek kedua untuk mengatur perasaannya dengan cara berdoa,
menuliskan perasaannya ke dalam diary, dan ikut kegiatan-kegiatan komunitas
untuk mengalihkan dan menghilangkan perasaan sedih. Subyek juga menjalin
hubungan dengan berpacaran untuk menghilangkan perasaan sedih dan merasa
sendiri. Sedangkan subyek pertama tidak menggunakan cara ini untuk mengatur
emosinya. Hal ini dikarenakan subyek cenderung menggunakan proses berpikir
untuk menghadapi masalah, sehingga dengan cara ini subyek bisa mengatur
perasaannya.
Positive reappraisal, yaitu usaha mencari makna positif dari permasalahan
dengan berfokus pada pengembangan diri, biasanya juga melibatkan hal-hal yang
bersifat religious. Pemaknaan berdampak panjang pada penilaian terhadap
tekanan (Lazarus dalam Folkman dan Moskowitz, 2000). Underwood dan Teresi
(Fowler dan Hill, 2004), mengemukakan bahwa spiritualitas merupakan tipe yang
lain dari coping, yang menunjukkan persepsi dan interaksi dengan kerohanian dan
perasaan yang kuat dari dalam diri dalam kehidupan sehari-hari.
Hal ini dapat dilihat dari pikiran yang muncul dari kedua subyek dalam
memaknai kejadian yang dialami. Subyek pertama, menguatkan aspek spiritualitas
dan menjadikannya sebagai pegangan hidup. Menurut subyek, pemikiran manusia
berbeda dengan Tuhan. Hal yang terpenting bagi subyek adalah memiliki
keinginan untuk berubah dan menjalani hidup dengan baik akan membawa pada
perubahan yang lebih baik. Sedangkan subyek kedua juga menggunakan aspek
religious dalam memaknai permasalahannya. Derezotes (Fowler dan Hill, 2004),
mengungkapkan dalam studinya bahwa religious ini pada umumnya selalu

menunjukkan hubungan petunjuk agama seperti sistem kepercayaan, ritual dan


perilaku.
Menurut subyek kedua, masalah yang dialaminya adalah bentuk kasih
sayang Allah SWT. Aspek ini hanya digunakan subyek disaat pertama kali
mengetahui terinfeksi HIV, sedangkan ketika menghadapi permasalahan
psikologis selama menjadi ODHA, subyek tidak menggunakan aspek religious
ini. Strategi ini cenderung positif dalam melihat situasi menekan untuk
mempertahakan keadaan yang positif (Moskowitz, Folkman, Collete, &
Vittinghoff dalam Folkman dan Moskowits, 2000).
Accepting responsibility, yaitu usaha untuk menyadari tanggung jawab diri
sendiri dalam permasalahan yang dihadapinya dan mencoba menerimanya untuk
membuat semuanya menjadi lebih baik. Kedua subyek penelitian ini
menggunakan cara ini untuk mengatur emosinya. Subyek pertama menerima
masalah yang dialaminya, sebab subyek menyadari bahwa ini adalah akibat
menggunakan jarum suntik dimasa lalu. Subyek juga berpikir bahwa apa yang
dialami merupakan kehendak dan izin Tuhan terhadap dirinya. Sedangkan subyek
kedua, menyadari bahwa apa yang dialaminya saat ini merupakan resiko menjadi
istri seorang mantan pecandu narkoba jarum suntik yang harus diterimanya.
Subyek kedua sangat mencintai suaminya, sehingga keadaan ini
membuatnya bisa menerima. Subyek juga bersikap pasrah pada nasib yang
dialaminya. Selain itu, proses panjang yang dilalui oleh subyek kedua selama
menjadi ODHA membuat dirinya terbiasa dengan keadaan dan situasi yang
mengalami perubahan, sehingga subyek bisa menerima sebagai tanggung jawab
pribadi.
Escape/avoidance, yaitu usaha untuk mengatasi situasi menekan dengan
lari dari situasi tersebut atau menghindarinya dengan beralih pada hal lain seperti
makan, minum, merokok atau menggunakan obat-obatan. Coping ini ditemui pada
subyek pertama ketika pertama kali subyek mengetahui bahwa dirinya terinfeksi
HIV. Saat itu, subyek menggunakan narkoba dengan menambah dosisnya bersama
dengan teman-teman sesama pemakai untuk menghindari situasi yang menekan.
Setelah mengetahui bahwa cara ini tidak membuahkan hasil yang diinginkan,
subyek menghentikannya dan mencari cara yang lain. Sedangkan subyek kedua
tidak menggunakan coping ini.
Menurut Lazarus dan Folkman (1984), orang bisa mengatur respon
emosinya melalui pendekatan merubah cara berpikir (kognitif) dan perilaku
(behavior). Usaha-usaha kognitif yang dilakukan oleh kedua subyek berupa
memaknai kejadian yang menekan sebagai bentuk kasih sayang dan atas izin
Tuhan, menyadari sebagai konsekuensi pengalaman masa lalu, dan pasrah.
Sedangkan usaha-usaha perilaku yang dilakukan subyek berupa menceritakan
masalah yang dialami kepada sesama ODHA dan OHIDHA, mengikuti KDS,
menulis diary, pacaran, mengikuti berbagai kegiatan komunitas.
Bila dilihat dari data yang didapat berkaitan dengan jenis-jenis coping
yang ada, maka dapat disimpulkan bahwa ODHA cenderung menggunakan
Emotional Focus Coping. Kedua subyek juga memiliki kecenderungan
penggunaan coping jenis EFC yang berbeda. Berdasarkan analisis data, subyek
pertama cenderung menggunakan positif reappraisal. Hal ini bisa dilihat dari

pernyataan subyek yang mengatakan bahwa aspek spiritualitas menjadi pegangan


hidup. Subyek kedua cenderung menggunakan seeking social emotional support.
Hal ini bisa dilihat dari pernyataan subyek yang mengatakan bahwa peran orangorang disekeliling sangat penting bagi subyek sebagai penguat. Menurut subyek,
menyibukkan diri dengan mengikuti berbagai kegiatan komunitas, dapat
mengalihkan perhatiannya terhadap masalah yang dialaminya.

KESIMPULAN
Penelitian ini menemukan bahwa ODHA memiliki dinamika psikologis
yang berbeda-beda sebagai reaksi akibat terinfeksi HIV. Reaksi yang dialami oleh
kedua subyek dalam penelitian ini terjadi secara berurutan. Subyek pertama
mengalami reaksi denial, depression, anger, bargaining, anxiety dan acceptance.
Subyek kedua mengalami reaksi acceptance, denial, acceptance, bargaining,
depression, frustation, bargaining, dan acceptance.
Penelitian ini juga menemukan bahwa masing-masing subyek penelitian
memiliki kecenderungan penggunaan coping. Secara umum, kedua subyek
cenderung menggunakan Emotional Focused Coping. Subyek pertama
menggunakan seeking social support, seeking social emotional support, positive
reappraisal, accepting responsibility, dan escape/avoidance. Subyek kedua
menggunakan seeking social support, seeking social emotional support, self
control, positive reappraisal, dan accepting responsibility. Secara khusus, kedua
subyek memiliki perbedaan kecenderungan penggunaan coping. Subyek pertama
cenderung menggunakan positive reappraisal, sedangkan subyek kedua
cenderung menggunakan seeking social emotional support.
Keterbatasan Penelitian
Ada beberapa keterbatasan dalam penelitian ini, antara lain :
1. Penulis tidak melakukan observasi di lingkungan tempat tinggal subyek.
2. Penulis hanya menggunakan satu significant person dari kedua subyek
penelitian.

DAFTAR PUSTAKA
Carey, M.P., & Vanable, P.A. 2003. AIDS/HIV in Irving B. Weiner (editor).
Handbook of Health Psychology (9 : 219-239). New Jersey : John Wiley
& Sons, Inc.
Chaplin, J.P. 2006. Kamus Lengkap Psikologi. Penerjemah : Kartono, K. Jakarta :
PT. RajaGrafindo Persada.
Creswell, John W. 2009. Research Design, Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif,
dan Mixed. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

DickyN. 2012. Deskripsi Singkat Tentang Yogyakarta. http://blog-tentang-jogjadeskripsi-singkat-tentang-yogyakarta.htm. 25 Oktober 2012.


Ditjen PP & PL Kementerian Kesehatan RI. 2011. Laporan Perkembangan
Situasi HIV & AIDS Di Indonesia Triwulan 2 Tahun 2011. Jakarta.
Folkman, S., & Moskowitz, T. 2000. Positive Affect and the Other Side of
Coping. American Psychologist Journal. 55 : 647-654.
Forum Kompas. 2012. Penderita Baru AIDS Di Indonesia Capai 6.087 Orang.
http://forum.kompas.com/nasional/48348-penderita-baru-aids-diindonesia-capai-6-087-org.html. 25 Oktober 2012.
Fowler, D.N., & Hill, H.M. 2004. Social Support and Spirituality as Culturally
Relevant Factors in Coping Among African American Women Survivors
of Partner Abuse. Violence Againts Women Journal. 10 : 1267-1282.
Halim, M.S & Atmoko, W.D. 2005. Hubungan Antara Kecemasan Akan
HIV/AIDS Dan Psychological Well-Being Pada Waria Yang Menjadi
Pekerja Seks Komersial. Jurnal Psikologi. 15 : 17-31.
Hasan, A.B.P. 2008. Pengantar Psikologi Kesehatan Islami. Jakarta: Rajawali
Pers.
Hawari, D. 2004. Al Quran : Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa. Edisi
III (Revisi). Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa.
Jih, H., dkk. 2004. Health-Related Quality of Life Among Men with HIV
Infection : Effects of Social Support, Coping, and Depression. AIDS
PATIENT CARE and STDs. 18 : 594-603.
Kaplan, H.I., Sadock, B.I., Grebb, J.A.1993. Sinopsis Psikiatri : Ilmu
Pengetahuan Perilaku Psikiatri. Jilid dua : edisi ke tujuh. Jakarta :
Binarupa Aksara.
KPA Provinsi DIY. 2012. Laporan Surveylans Kasus HIV&AIDS Provinsi DIY
Tahun 1993-2011(sampai dengan Desember 2011). http://data-kasus-hivaids-diy-s-d-des-2011komisi-penanggulangan-aids-diy.htm. 25 Oktober
2012.
Kurniawati. 2006. Coping Stres Pada Orang Dengan HIV/AIDS (Sebuah Studi
Kasus). Skripsi. (tidak diterbitkan). Surabaya : Fakultas Psikologi
Universitas Airlangga.
Lazarus, R.S., & Folkman, S. 1984. Stress, Appraisal and Coping. New York:
Spranger.

Leiphart,
J.
2007.
Pengobatan
tubuh-pikiran
dan
HIV/AIDS.
http://www.pengobatan-tubuh-pikiran-dan-HIV-AIDS-ODHAIndonesia.htm. 25 Oktober 2012.
Lubis, N.L. 2009. Depresi : Tinjauan Psikologis. Jakarta : Kencana.
Manne, S. 2003. Coping and Social Support in Irving B. Weiner (editor).
Handbook of Health Psychology (9 : 51-67). New Jersey : John Wiley &
Sons, Inc.
Minza, W. M. dkk. 2006. Pedoman Penulisan Proposal dan Skripsi S1
Pendekatan kualitatif. Yogyajarta : Universitas Ahmad Dahlan.
Nihayati, A. 2012. Dukungan Sosial Pada Penyandang HIV/AIDS Dewasa.
Skripsi. (tidak diterbitkan). Surakarta : Fakultas Psikologi Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
Nugroho, P. 2009. Coping Stres Pada Orang Dengan HIV dan AIDS. Skripsi.
(tidak diterbitkan). Malang : Fakultas Psikologi Universitas
Muhammadiyah Malang.
Nurbani, F. 2008. Dukungan Sosial Pada ODHA. Skripsi. (tidak diterbitkan).
Jakarta : Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma.
Organisasi.Org. 2007. Informasi Profil Provinsi DI Yogyakarta. http://informasiprofil-provinsi-di-yogyakarta-jogjakarta-info-daerah-yang-ada-diindonesia-organisasi.Org.htm. 25 Oktober. 2012.
Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewah Yogyakarta nomor 20 tahun 2010
tentang penanggulanagan human immunodefficiency virus (HIV) dan
acquired immuno defficiency sindrome (AIDS). 2010. Yogyakarta.
Phillips, K.D. 2007. Social Support, Coping, and Medication Adherence Among
HIV-Positive Women with Depression Living in Rural Areas of the
Southeastern United States. AIDS PATIENS CARE and STDs. 21 : 667680.
Rice, P.L. 1992. Stress and Health. Second Edition. California: Pasific Grove,
Brook/Cole Publishing Company.
Poerwandari, E. K. 2009. Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku
Manusia. Jakarta : Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan
Pendidikan Psikologi, Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

Sarafino, E.P. 1998. Health Psychology: Biopsychosocial Interaction. New York:


John Wiley & Sons Inc.
Sarafino, E.P. 2006. Health Psychology: Biopsychosocial Interaction. Fifth
Edition. New York: John Wiley & Sons Inc.
Schrimshaw, E.W., & Siegel. K. 2000. Coping with Negative Emotions : The
Cognitive Strategies of HIV-infected Gay/Besexual Men. Journal of
Health Psychology. 5 : 517-530.
Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung : Alfabeta.
Sunberg, N.D., Winebarger, A.A., & Taplin, J.R. 2007. Psikologi Klinis,
Perkembangan Teori, Praktik, dan Penelitian. Edisi Keempat. Penerjemah
: Soetjipto, H.P & Soetjipto, S.M. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Taylor, S.E. 1995. Health Psychology. Third Edition. New York: inc. Mc. Graw
Hill.
Taylor, S.E, Peplau, L.A., & Sears. D.O. 2009. Psikologi Sosial. Edisi Kedua
Belas. Jakarta : Kencana
Tribunnews. 2012. Yogyakarta Peringkat Sembilan Jumlah Penderita HIV &
AIDS. http://id.berita.yahoo.com/yogyakarta-peringkat-sembilan-jumlahpenderita-hiv-aids.123151544.html. 25 Oktober 2012.
Vicktory Plus Yogyakarta. 2010. LSM Vicktory Plus. http://lsm-victory-plus.htm.
25 Oktober 2012.
Wartapedia.com. 2011. AIDS : KDS Berupaya Tingkatkan Mutu Hidup ODHA.
http://AIDS-KDS-Berupaya-Tingkatkan-Mutu-Hidup-ODHA.htm.
25
Oktober 2012.
Wikipedia. 2013. Need theory. http://Need_theory.htm. 30 Januari 2012.
Yayasan Spiritia. 2009. Hidup dengan HIV/AIDS. Jakarta : Yayasan Spiritia.
Yunita, B.S., & Ginanjar, A.S. 2001. Perkembangan Status Identitas Pada
Penderita HIV & AIDS. Jakarta : Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai