Dinamika Psikologis Pada Orang Dengan HIV Dan AIDS (Odha)
Dinamika Psikologis Pada Orang Dengan HIV Dan AIDS (Odha)
Kusumawijaya Paputungan
Universitas Ahmad Dahlan
Jl. Kapas No.9 Semaki, Yogyakarta.
Email : Kwijayap88@Gmail.Com
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui 1) dinamika psikologis pada
ODHA? 2) bagaimana kecenderungan penggunaan coping pada ODHA?
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus.
Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan observasi dan wawancara.
Metode analisis data pada penelitian ini dengan menggunakan metode analisis
tematik. Subyek penelitian ini dipilih dengan menggunakan teknik sampel
kriteria. Subyek penelitian ini adalah ODHA yang terdata di LSM pendampingan
ODHA di D.I.Yogyakarta. Hasil penelitian ini menemukan bahwa kedua subyek
memiliki dinamika psikologis yang berbeda sebagai reaksi akibat terinfeksi HIV.
Reaksi yang dialami oleh kedua subyek dalam penelitian ini terjadi secara
berurutan. Subyek pertama mengalami reaksi denial, depression, anger,
bargaining, anxiety, acceptance. Sedangkan subyek kedua mengalami reaksi
acceptance, denial, acceptance, bargaining, depression, frustation, bargaining,
acceptance. Secara umum, kedua subyek cenderung menggunakan Emotional
Focused Coping. Sedangkan secara khususnya, kedua subyek memiliki perbedaan
kecenderungan penggunaan coping. Subyek pertama cenderung menggunakan
positive reappraisal, sedangkan subyek kedua cenderung menggunakan seeking
social emotional support.
Kata Kunci : ODHA, Dinamika Psikologis, Coping.
Abstract
This study aimed to determine 1) psychological dynamics of people living
with HIV and AIDS? 1) how to use coping tendency to people living with HIV
and AIDS? This study uses a qualitative case study approach. Data collection in
this study using observation and interviews. The method of data analysis in this
study using thematic analysis. The subjects of this study were selected using
criterion sampling technique.The subjects of this people living with HIV and
AIDS were recorded in NGO assistance people living with HIV and AIDS in
D.I.Yogyakarta. The results of this study found that both subjects have different
psychological dynamics as a reaction to HIV. Reactions experienced by the two
subjects in this study occur sequentially. This subjects first had a reaction of
denial, depression, anger, bargaining, anxiety, acceptance. While the second
subject had a reaction acceptance, denial, acceptance, bargaining, depression,
frustation, bargaining, acceptance. In general, the two subjects tend to use the
Emotional Focused Coping. While in particular, the two subjects have different
coping tendencies usage. The first subjects tend to use positive reappraisal, while
the second subject tend to use seeking emotional social support.
Keywords : People living with HIV and AIDS, Psychological Dynamics, Coping.
PENDAHULUAN
Diantara berbagai virus yang telah dikenal saat ini, yang dianggap paling
berbahaya adalah Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang menyebabkan
penyakit Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS). HIV merupakan virus
yang menyerang sistem kekebalan tubuh orang yang dijangkitinya (Sarafino,
1998). Sedangkan AIDS merupakan kumpulan simptom yang terjadi karena
terjangkit HIV. Jadi, HIV dan AIDS tidak sama.
Pusat AIDS Internasional Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Harvard, Amerika Serikat (Mann, 1993 dalam Hawari, 2004) melukiskan
bagaimana fenomena infeksi virus HIV mulai menampakkan diri pada 1980-an.
Bila pada tahun 1981 yaitu epidemi itu pada tahap awal hanya terdapat sekitar 100
ribu orang yang terinfeksi, maka pada tahun 1992 (11 tahun kemudian) penyakit
ini telah menyebar kepada 12,9 juta orang di seluruh dunia, dengan perincian
sebagai berikut : 7,1 juta pria; 4,7 juta wanita; dan 1,1 juta anak-anak. Dari jumlah
tersebut di atas terdapat 2,6 juta orang yang terinfeksi virus HIV telah berkembang
secara klinis (penyakti AIDS) dan 2,5 juta darinya telah meninggal dunia (Hawari,
2004).
AIDS pertama kali ditemukan di kota San Francisco, Amerika Serikat.
Penyakit ini muncul karena hubungan seksual (sodomi) yang dilakukan oleh
komunitas kaum homoseksual (Hawari, 2004). Informasi dari UNAIDS
menyatakan bahwa sampai tahun 2010 jumlah penderita HIV mencapai 34 juta
orang di dunia.
Di Indonesia, AIDS pertama kali dijumpai pada bulan April tahun 1987.
Data situasi perkembangan HIV & AIDS di Indonesia yang dilaporkan oleh
Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia pada tanggal 13 Juni 2011
menyebutkan bahwa sampai dengan Juni 211 secara kumulatif jumlah kasus AIDS
yang dilaporkan adalah 26.483 kasus (Ditjen PP & PL Kementerian Kesehatan RI,
2011). Sebanyak 33 provinsi dan 300 kabupaten/kota yang melapor. Ratio kasus
AIDS antara laki-laki dan perempuan adalah 3 : 1. Cara penularan kasus AIDS
kumulatif yang dilaporkan melalui heteroseksual (54, 8%), Injection Drug Use
(36,2%), lelaki seks lelaki (2,9%), perinatal (2,8%), transfusi darah (0,2%) dan
tidak diketahui (3,0). Pada kelompok umur, proporsi kumulatif kasus AIDS
tertinggi dilaporkan 20-29 tahun (46,4%), disusul kelompok umur 30-39 tahun
(31,5%), dan kelompok umur 40-49 tahun (9,8%). Kasus terbanyak dilaporkan
dari DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Barat, Papua, Bali, Jawa Tengah, Kalimantan
Barat, Sulawesi Selatan, D.I.Yogyakarta, dan Sulawesi Utara. Rate kumulatif
kasus AIDS Nasional sampai dengan Juni 2011 adalah 11,09 per 100.000
penduduk (berdasarkan data Badan Pusat Statistik 2011, jumlah penduduk
Indonesia 238.893.400 jiwa).
Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta berada di peringkat ke sembilan
dari 33 provinsi di Indonesia dalam jumlah penderita HIV dan AIDS. Sedangkan
dari seluruh wilayah D.I.Y, Kota Yogyakarta menduduki peringkat pertama dalam
hal banyaknya jumlah penderita (Tribunnews.com, 2012).
Dinas Kesehatan Propinsi D.I.Y dalam laporan surveilans kasus HIV &
AIDS tahun 1993 2011 (sampai dengan Desember 2011) melaporkan data hasil
pengawasan perkembangan kasus HIV & AIDS selama 18 tahun terakhir,
menyebutkan bahwa distribusi frekuensi kasus HIV & AIDS menurut jenis
kelamin, yaitu laki-laki berjumlah 968 dan perempuan berjumlah 475. Distribusi
frekuensi kasus HIV & AIDS menurut alamat tinggal, yaitu Kota Yogyakarta
berjumlah 485, Kab. Sleman berjumlah 343, Kab. Bantul berjumlah 238, Kab.
Kulon Progo berjumlah 83, dan Kab. Gunung Kidul berjumlah 42. Data frekuensi
kasus HIV & AIDS menurut kondisi, yaitu hidup berjumlah 1269 dan meninggal
188. Data frekuensi kasus HIV & AIDS menurut faktor risiko, yaitu heteroseksual
berjumlah 653, narkotik suntik berjumlah 243, homoseksual berjumlah 75,
perinatal berjumlah 51, transfusi darah berjumlah 13, beseksual berjumlah 13,
neonatal berjumlah 1. Data frekuensi kasus HIV & AIDS menurut golongan umur,
yaitu umur 20-29 berjumlah 581, umur 30-39 berjumlah 453, umur 40-49
berjumlah 202, umur 50-59 berjumlah 72, umur 01-04 berjumlah 34, umur kurang
1 tahun berjumlah 23, umur 05-14 berjumlah 20, umur 15-19 berjumlah 18, umur
60 keatas berjumlah 7 (Laporan Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi DIY,
2012).
Sampai saat ini belum ditemukan vaksin yang dapat melawan virus
tersebut. Para ahli berusaha mendapatkan obat untuk mengatasi AIDS dan obat itu
disebut sebagai Antiretroviral (ARV). Namun, ternyata obat ini tidak dapat
menyembuhkan AIDS, hanya dapat memperlambat reproduksi HIV pada tahap
awal (Taylor, 1995).
pedesaan di negara bagian tenggara bahwa dukungan sosial dan strategi coping
merupakan indikator yang berpengaruh terhadap ketaatan mengkonsumsi ARV.
Penelitian yang dilakukan oleh Nugroho (2009), mengenai coping stres
pada orang dengan HIV dan AIDS dengan pendekatan kualitatif menyatakan
bahwa pemilihan strategi coping pada ODHA masih menghambat untuk memulai
terbuka dengan orang lain. ODHA masih cenderung menggunakan emosional
focused coping dengan bertahan dalam keadaan sesulit apapun. Sedangkan pada
strategi problem focused coping, ODHA masih pada tahap mencari dukungan
serta merencanakan pemecahan masalah secara bertahap. Sampel penelitian belum
memulai untuk memecahkan masalah yang dihadapi.
Penulis, melalui Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang pernah
penulis dan teman-teman mahasiswa kelola sejak tahun 2010 sampai tahun 2012,
penulis sering berinteraksi langsung dengan ODHA yang tergabung dalam
komunitas pada kegiatan-kegiatan bersama. Seperti kegiatan Malam Renungan
AIDS Nusantara (MRAN), rapat bersama LSM-LSM dan pemerintah daerah
Propinsi dan Kota Yogyakarta maupun pada kegiatan-kegiatan sosialisasi yang di
selenggarakan oleh pemerintah. Pada beberapa kesempatan tersebut, penulis tidak
bisa membedakan antara ODHA dengan yang bukan ODHA. Sebab, secara fisik
dan pola interaksi, para ODHA sama dengan kebanyakan orang yang tidak
terinfeksi HIV. Hal ini membuat penulis ingin mengetahui cara mereka
menghadapi masalah akibat terinfeksi HIV sehingga seolah-olah seperti tidak ada
masalah, terutama dari aspek psikologisnya.
Permasalahan diatas, membuat penulis tertarik untuk melakukan
penelitian, untuk menjawab ketertarikan penulis dalam mengungkap misteri
dibalik kehidupan ODHA dalam hal ini adalah dinamika psikologis pada ODHA
dan kecenderungan penggunaan coping pada ODHA.
A. Tujuan penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap dinamika psikologis pada
ODHA dan kecenderungan penggunaan coping pada ODHA.
B. Tinjauan Pustaka
1. Orang Dengan HIV dan AIDS (ODHA)
a. Pengertian
Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Daerah Istimewah Yogyakarja nomor
20 tahun 2010 tentang penanggulangan human immunodefficiency virus (HIV) dan
acquired immuno defficiency sindrome (AIDS) menyatakan bahwa orang dengan
HIV dan AIDS (ODHA) adalah orang yang sudah terinfeksi HIV baik pada tahap
sebelum ada gejala maupun yang sudah ada gejala. Sedangkan orang yang hidup
dengan pengidap HIV dan AIDS yang selanjutnya disingkat dengan OHIDHA
adalah orang yang terdekat, teman kerja, atau keluarga dari orang yang sudah
tertular HIV.
Perda Provinsi D.I.Y no 20 tahun 2010 tentang penanggulangan HIV dan
AIDS menyebutkan bahwa Human Immunodefficiency Virus (HIV) adalah virus
penyebab AIDS yang digolongkan sebagai jenis yang disebut retrovirus yang
menyerang sel darah putih dan melumpuhkan sistem kekebalan tubuh dan
ditemukan dalam cairan tubuh pengidap HIV dan AIDS yang berpotensi
menularkan melalui darah, air, mani, air susu ibu dan cairan vagina. Sedangkan
Acquires Immuno Defficiency Syndrome (AIDS) adalah kumpulan gejala penyakit
yang disebabkan oleh HIV yang merusak sistem kekebalan tubuh manusia
sehingga daya tahan tubuh melemah dan mudah terjangkit penyakit infeksi.
AIDS muncul setelah virus HIV menyerang sistem kekebalan tubuh kita
selama lima hingga sepuluh tahun atau lebih. Sistem kekebalan tubuh kita menjadi
lemah, dan satu atau lebih penyakit dapat timbul. Karena lemahnya sistem
kekebalan tubuh tadi, beberapa penyakit bisa menjadi lebih berat daripada
biasanya. Individu yang AIDS rentan terjangkit berbagai penyakit yang
mengancam (Sarafino, 1998). Berikut ini tabel perjalanan virus HIV :
Tabel 1. Perjalanan virus HIV
Perjalanan Virus HIV
3 bulan
10 15 tahun
1 2 tahun
HIV Positif
AIDS
Terinfeksi HIV
- Gejala ringan
- Infeksi oportunistik
Tanpa gejala
- Belum perlu ke RS
- Perlu ke RS
b. Penularan HIV
HIV ditularkan khususnya dengan pertukaran cairan tubuh, yaitu cairan
seksual dan darah (Taylor, 1995). Virus HIV hidup di semua cairan tubuh tetapi
hanya bisa menular melalui cairan tubuh tertentu, yaitu : darah, air mani (cairan,
bukan sperma), cairan vagina, air susu ibu (ASI).
Cara penularan virus HIV melalui :
1) Hubungan seks yang tidak aman (homoseksual dan heteroseksual), penerimaan
organ, jaringan atau sperma. Kemungkinan penularan melalui hubungan
kelamin menjadi lebih besar bila terjadi penyakit kelamin, khususnya yang
menyebabkan luka atau ulterasi pada alat kelamin.
2) Transfusi darah. Penerimaan darah ataupun produk darah, dimana resiko
serokonversi (kemungkinan status HIV penderita dari negatif menjadi positif)
90% setelah pemberian darah yang positif HIV.
3) Perinatal. Ibu yang HIV positif kepada bayinya (selama atau sesudah
kehamilan), dimana resiko berkisar 15% hingga 50%.
4) Penggunaan jarum suntik yang tidak steril secara bergantian.
Golongan yang berrisiko tinggi terinfeksi HIV adalah :
1) Orang yang berganti-ganti pasangan seksual (homoseksual atau heteroseksual).
2) Penyalahgunaan obat secara intervena.
3) Penerima darah atau produk darah (bila darah tidak diperiksa terlebih dahulu).
Yang paling sering tertular adalah penderita hemophilia.
4) Bayi dari ibu yang telah terinfeksi HIV. Virus HIV mungkin menular pada fetus
melalui plasenta, air susu, perlukaan yang terinfeksi darah ibu selama kelahiran
dan ditularkan pada bayi.
2. Penyesuaian Psikososial Pada ODHA
Hawari (2004), mengatakan bahwa penderita AIDS akan mengalami krisis
kejiwaan pada dirinya, pada keluarganya, pada orang yang dicintainya dan pada
Perasaan depresi muncul ketika upaya negosiasi tidak menolong dan orang
tersebut merasa tidak ada harapan serta tidak berdaya. Mereka berada dalam
keadaan tidak menentu dalam menghadapi reaksi orang lain terhadap dirinya.
e. Acceptance
Akhir dari proses psikologis ini adalah menerima nasib. Keadaan ini
merupakan suatu keadaan dimana seseorang menyadari bahwa ia memiliki suatu
penyakit, bukan akibat dari penyakitnya itu. Orang dengan kesempatan hidup
yang tidak banyak lagi akan mencapai penerimaan ini setelah tidak lagi
mengalami depresi, tetapi lebih merasa tenang dan siap menghadapi kematian.
3. Coping
a. Pengertian Coping
Matheny, dkk. (Rice, 1992), mendefinisikan coping sebagai segala usaha,
sehat maupun tidak sehat, positif maupun negatif, usaha kesadaran atau
ketidaksadaran, untuk mencegah, menghilangkan, atau melemahkan stresor, atau
untuk memberikan ketahanan terhadap dampak stres.
Lazarus dan Folkman (1984), mengemukakan bahwa coping adalah usahausaha kognitif dan perilaku (behavioral) yang berkesinambungan untuk
mengelola tekanan dari dalam (internal) dan atau dari luar (eksternal) individu
yang dirasakan merugikan atau melebihi kemampuan individu itu. Menurut
Lazarus dan Folkman (1984), coping yang efektif untuk dilakukan adalah coping
yang membantu seseorang untuk mentoleransi dan menerima situasi menekan dan
tidak merisaukan tekanan yang tidak dapat dikuasainya.
Billing dan Moss (Rice, 1992), menguraikan perilaku coping bisa
dikategorikan pertama-tama dalam istilah metode coping (coping method)
menghadapi atau menghindari (active or avoidance), lebih terperinci dalam fokus
responnya coping bisa dikategorikan pada orientasi masalah (problem oriented),
atau orientasi emosi (emotion oriented).
Dari beberapa definisi coping yang dikemukakan oleh para ahli di atas,
maka dapat disimpulkan bahwa coping adalah usaha kognitif dan perilaku dalam
mengelola tekanan-tekanan yang berfungsi membantu seseorang untuk bisa
menerima dan mentoleransi situasi yang menekan
b. Tujuan Coping
Menurut Cohen dan Lazarus (Sarafino, 1998), tujuan coping, yaitu :
1) Mengurangi hal-hal yang diperkirakan akan menimbulkan situasi stres
terutama yang berasal dari lingkungan. Usaha ini meliputi cara mencari
alternatif pemecahan masalah.
2) Tercapainya penyesuaian yang baik terhadap kejadian-kejadian negativ yang
dialami seseorang dalam kehidupannya.
3) Bertahannya anggapan positif terhadap diri sendiri.
4) Memiliki kemampuan untuk dapat mempertahankan keseimbangan emosional.
5) Dapat menjalin hubungan yang memuaskan dengan orang lain
c. Strategi Coping
akan berpengaruh terhadap kondisi kesehatan orang tuanya dan juga latar
belakang pendidikan orang tua yang rendah.
Menurut Hawari (2004), dampak psikologis tidak hanya dialami oleh
penderita HIV, tetapi bagi keluarga/orang tua yang salah satu anggota keluarganya
menderita AIDS, akan menimbulkan rasa duka cita (grief) dan kepedihan yang
mendalam, terlebih-lebih lagi manakala saat kematian telah tiba.
Reaksi selanjutnya adalah acceptance bagi subyek pertama dan frustation
bagi subyek kedua. Subyek pertama menerima dirinya terinfeksi HIV atas izin
Tuhan. Subyek yakin bahwa, Tuhan mengizinkan dirinya terinfeksi juga sekaligus
memberikan solusinya. Subyek juga yakin bahwa, sesuatu yang tidak mungkin
bagi manusia, bagi Tuhan pasti mungkin. Subyek kemudian menjadikan ini
sebagai pegangan hidupnya. Selain itu, subyek bergabung dengan teman senasib
dan memperbaiki hidup lebih baik serta rutin beribadah di gereja.
Selain itu, ketika pertama kali subyek mengetahui hasil tes yang
menyatakan bahwa subyek positif HIV, saat itu subyek bersama-sama dengan
temannya yang juga di diagnosa positif HIV dan tinggal di panti rehabilitasi. Hal
ini kemudian membuat subyek tidak merasa sendiri dan bisa menerima statusnya
sebagai ODHA.
Subyek kedua mengalami frustation, yaitu suatu keadaan ketegangan yang
tak menyenangkan, dipenuhi kecemasan, dan aktivitas simpatetis yang semakin
meninggi disebabkan oleh perintangan dan penghambatan (Chaplin, 2006).
Subyek kedua mengalami keadaan frustrasi, disebabkan subyek
memunculkan ingatan mengenai masalah-masalah yang sedang dialaminya,
seperti di usia 20 tahun menjadi ODHA sekaligus single parent, ingat temanteman seusianya yang masih kuliah dan bersenang-senang, menangis sendiri,
mempertanyakan nasib hidupnya kepada dirinya sendiri dan Tuhan, dan
pertanyaan tentang suaminya sebagai jodoh yang diberikan Tuhan kepadanya.
Selain itu, subyek merasa berat ditinggal mati oleh suaminya. Taylor
(2009), mengemukakan bahwa kesendirian (aloneness) adalah kondisi obyektif di
mana seseorang terpisah atau tidak bersama orang lain. Keadaan ini disebabkan
oleh perubahan hidup yang membuat kita jauh dari sahabat dan kehilangan
hubungan dekat. Weiss (Taylor, 2009) menyebutnya sebagai emotional loneliness
(kesepian emosional) yang berasal dari hilangnya sosok yang intim, seperti orang
tua atau pasangan kekasih hati. Keadaan sendiri muncul karena subyek merasa
harus menjalani hidup sebagai orang tua tunggal, merasa mengasuh anak
sendirian, merasa keluarganya pincang dan tidak memiliki teman curhat
Proses psikologis yang dialami subyek kedua ini akan terus berkembang
menjadi rasa bersalah bahwa dirinya terlah terinfeksi, marah terhadap diri sendiri
atau orang yang menularinya, demikian yang dikatakan Kubler-Rosss (Sarafino,
2006).
Reaksi selanjutnya yang dialami subyek kedua adalah bargaining. Subyek
kedua mencari dan menjalin hubungan sosial dengan sesama ODHA yang
tergabung dalam komunitas KDS guna saling men-support. Subyek juga sering
mengikuti kegiatan-kegiatan berbagai komunitas untuk mengalihkan perhatiannya
manakala ingatan-ingatan mengenai masalahnya muncul dan dirasa mengganggu.
Selain itu, subyek juga berpacaran dengan seorang lelaki yang perhatian terhadap
dirinya, yang menurut subyek kehadiran pacarnya tersebut membuat dirinya tidak
merasa sendiri. Menurut subyek, kehadiran pacar yang penuh perhatian juga dapat
mengurangi tekanan psikologis yang dialami subyek.
Reaksi selanjutnya dari subyek kedua adalah acceptance setelah melewati
dinamika perubahan psikososial yang panjang. Subyek bisa menerima, sebab
sudah terbiasa dengan situasi yang dialaminya. Bentuk penerimaan subyek berupa
pasrah pada nasib yang dialaminya.
Dari uraian diatas, peneliti menemukan bahwa virus HIV menimbulkan
reaksi psikologis pada pengidapnya. Kedua subyek dalam penelitian ini memiliki
dinamika psikologis yang berbeda dalam menjalani kehidupannya sebagai
ODHA.
3. Kecenderungan Penggunaan Coping Pada ODHA
Setelah mengalami kejadian yang menekan, biasanya kita berusaha untuk
mengatasinya. Masing-masing orang memiliki caranya sendiri untuk mengatasi
permasalahannya. Ketika seseorang dihadapkan pada situasi baru, mau tidak mau
dia harus berusaha menyesuaikan dirinya dengan situasi tersebut, begitu juga para
ODHA.
Menurut Lazarus dan Folkman (1984), individu cenderung menggunakan
PFC ketika individu yakin bahwa sumber daya atau tuntutan terhadap situasi yang
menekan bisa dirubah. Hal ini dapat dijumpai pada kedua subyek. Subyek
pertama menggunakan seeking social support ketika merasa takut seandainya
pemerintah menghentikan subsidi obat bagi para penderita HIV, mengingat harga
obat yang mahal. Subyek menggunakan usaha ini dengan cara menceritakannya
kepada teman dan sekaligus bergabung dalam LSM guna memantau kebijakan
pemerintah terhadap para penderita.
Solono dkk (Manne, 2003), mengemukakan individu akan berjuang
dengan semangat untuk memperkecil perkembangan penyebaran HIV setahun
kemudian, setelah melakukan kontrol untuk mengetahui jumlah sel CD-4. Subyek
kedua melakukan tes CD-4 untuk menghilangkan keraguan yang menyatakan
bahwa dirinya positif HIV. Setelah mengetahui informasi yang jelas, barulah
subyek bisa menerimanya. Lalu, subyek berusaha keras untuk mendapatkan
bantuan orang lain berupa informasi mengenai HIV, pengobatan dan terapi herbal
dengan harapan bisa sembuh dari penyakit HIV. Usaha yang dilakukan oleh
subyek kedua ini disebut oleh Lazarus dan Folkman (1984), sebagai seeking
social support.
Menurut Lazarus dan Folkman (1984), individu cenderung menggunakan
EFC ketika yakin kecil kemungkinan untuk bisa merubah keadaan yang menekan.
Kejadian menekan yang menimbulkan perasaan ketidakberdayaan dikarenakan
situasinya tidak terduga dan tidak terkontrol seperti AIDS (Folkman dan
Moskowitz, 2000).
Seeking social emotional support, yaitu usaha untuk memperoleh
dukungan secara emosional maupun sosial dari orang lain (Lazarus & Folkman,
1984). Hal ini dapat dilihat dari tindakan kedua subyek dalam mengatasi tekanan
yang dialami. Subyek pertama berusaha mencari dukungan emosional dan sosial
dari orang lain, dengan cara menceritakan masalah-masalah yang sedang
dialaminya kepada orang tua dan teman. Hal ini dilakukan subyek, sebab subyek
merasa tidak mampu menghadapi masalahnya sendirian dan juga agar subyek
tidak merasa sendirian. Subyek juga bergabung dalam LSM untuk saling mensupport sesama ODHA, karena menurut subyek, dukungan dari orang lain sangat
dibutuhkan. Hal yang sama juga dilakukan subyek kedua yaitu, mencari dukungan
dengan cara menceritakan masalahnya kepada orang lain dalam hal ini adalah
beberapa anggota keluarga dan teman, bergabung dalam LSM sesama ODHA, dan
mengikuti berbagai kegiatan-kegiatan komunitas seperti klub motor, sepeda, dan
komunitas peduli lingkungan.
Subyek kedua menggunakan coping ini, sebab menurut subyek dukungan
orang-orang disekitarnya sangat membantu sebagai penguat untuk menghilangkan
kondisi atau situasi yang menekan. Perhatian dan kepedulian dari orang-orang
penting, seperti orangtua, pasangan hidup, teman, rekan kerja, dan para anggota
gereja atau kelab dapat berdampak besar pada kesehatan (Sundberg, Winebarger,
Taplin, 2007). Dukungan sosial yang diterima subyek berdampak positif terhadap
aspek kesehatan, psikologis, sosial dan pekerjaan, sehingga hal tersebut dapat
membantu subyek dalam meningkatkan kesehatan guna memerangi virus HIV
(Nurbani, 2008). Billings & Moos (Lubis, 2009) mengemukakan hasil penelitian
menunjukkan bahwa dukungan sosial dapat memerangi tekanan psikologis selama
masa stres.
Self control, yaitu usaha untuk mengatur perasaan ketika menghadapi
situasi yang menekan. Hal ini bisa ditemukan pada subyek kedua. Tindakan yang
dilakukan subyek kedua untuk mengatur perasaannya dengan cara berdoa,
menuliskan perasaannya ke dalam diary, dan ikut kegiatan-kegiatan komunitas
untuk mengalihkan dan menghilangkan perasaan sedih. Subyek juga menjalin
hubungan dengan berpacaran untuk menghilangkan perasaan sedih dan merasa
sendiri. Sedangkan subyek pertama tidak menggunakan cara ini untuk mengatur
emosinya. Hal ini dikarenakan subyek cenderung menggunakan proses berpikir
untuk menghadapi masalah, sehingga dengan cara ini subyek bisa mengatur
perasaannya.
Positive reappraisal, yaitu usaha mencari makna positif dari permasalahan
dengan berfokus pada pengembangan diri, biasanya juga melibatkan hal-hal yang
bersifat religious. Pemaknaan berdampak panjang pada penilaian terhadap
tekanan (Lazarus dalam Folkman dan Moskowitz, 2000). Underwood dan Teresi
(Fowler dan Hill, 2004), mengemukakan bahwa spiritualitas merupakan tipe yang
lain dari coping, yang menunjukkan persepsi dan interaksi dengan kerohanian dan
perasaan yang kuat dari dalam diri dalam kehidupan sehari-hari.
Hal ini dapat dilihat dari pikiran yang muncul dari kedua subyek dalam
memaknai kejadian yang dialami. Subyek pertama, menguatkan aspek spiritualitas
dan menjadikannya sebagai pegangan hidup. Menurut subyek, pemikiran manusia
berbeda dengan Tuhan. Hal yang terpenting bagi subyek adalah memiliki
keinginan untuk berubah dan menjalani hidup dengan baik akan membawa pada
perubahan yang lebih baik. Sedangkan subyek kedua juga menggunakan aspek
religious dalam memaknai permasalahannya. Derezotes (Fowler dan Hill, 2004),
mengungkapkan dalam studinya bahwa religious ini pada umumnya selalu
KESIMPULAN
Penelitian ini menemukan bahwa ODHA memiliki dinamika psikologis
yang berbeda-beda sebagai reaksi akibat terinfeksi HIV. Reaksi yang dialami oleh
kedua subyek dalam penelitian ini terjadi secara berurutan. Subyek pertama
mengalami reaksi denial, depression, anger, bargaining, anxiety dan acceptance.
Subyek kedua mengalami reaksi acceptance, denial, acceptance, bargaining,
depression, frustation, bargaining, dan acceptance.
Penelitian ini juga menemukan bahwa masing-masing subyek penelitian
memiliki kecenderungan penggunaan coping. Secara umum, kedua subyek
cenderung menggunakan Emotional Focused Coping. Subyek pertama
menggunakan seeking social support, seeking social emotional support, positive
reappraisal, accepting responsibility, dan escape/avoidance. Subyek kedua
menggunakan seeking social support, seeking social emotional support, self
control, positive reappraisal, dan accepting responsibility. Secara khusus, kedua
subyek memiliki perbedaan kecenderungan penggunaan coping. Subyek pertama
cenderung menggunakan positive reappraisal, sedangkan subyek kedua
cenderung menggunakan seeking social emotional support.
Keterbatasan Penelitian
Ada beberapa keterbatasan dalam penelitian ini, antara lain :
1. Penulis tidak melakukan observasi di lingkungan tempat tinggal subyek.
2. Penulis hanya menggunakan satu significant person dari kedua subyek
penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
Carey, M.P., & Vanable, P.A. 2003. AIDS/HIV in Irving B. Weiner (editor).
Handbook of Health Psychology (9 : 219-239). New Jersey : John Wiley
& Sons, Inc.
Chaplin, J.P. 2006. Kamus Lengkap Psikologi. Penerjemah : Kartono, K. Jakarta :
PT. RajaGrafindo Persada.
Creswell, John W. 2009. Research Design, Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif,
dan Mixed. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Leiphart,
J.
2007.
Pengobatan
tubuh-pikiran
dan
HIV/AIDS.
http://www.pengobatan-tubuh-pikiran-dan-HIV-AIDS-ODHAIndonesia.htm. 25 Oktober 2012.
Lubis, N.L. 2009. Depresi : Tinjauan Psikologis. Jakarta : Kencana.
Manne, S. 2003. Coping and Social Support in Irving B. Weiner (editor).
Handbook of Health Psychology (9 : 51-67). New Jersey : John Wiley &
Sons, Inc.
Minza, W. M. dkk. 2006. Pedoman Penulisan Proposal dan Skripsi S1
Pendekatan kualitatif. Yogyajarta : Universitas Ahmad Dahlan.
Nihayati, A. 2012. Dukungan Sosial Pada Penyandang HIV/AIDS Dewasa.
Skripsi. (tidak diterbitkan). Surakarta : Fakultas Psikologi Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
Nugroho, P. 2009. Coping Stres Pada Orang Dengan HIV dan AIDS. Skripsi.
(tidak diterbitkan). Malang : Fakultas Psikologi Universitas
Muhammadiyah Malang.
Nurbani, F. 2008. Dukungan Sosial Pada ODHA. Skripsi. (tidak diterbitkan).
Jakarta : Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma.
Organisasi.Org. 2007. Informasi Profil Provinsi DI Yogyakarta. http://informasiprofil-provinsi-di-yogyakarta-jogjakarta-info-daerah-yang-ada-diindonesia-organisasi.Org.htm. 25 Oktober. 2012.
Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewah Yogyakarta nomor 20 tahun 2010
tentang penanggulanagan human immunodefficiency virus (HIV) dan
acquired immuno defficiency sindrome (AIDS). 2010. Yogyakarta.
Phillips, K.D. 2007. Social Support, Coping, and Medication Adherence Among
HIV-Positive Women with Depression Living in Rural Areas of the
Southeastern United States. AIDS PATIENS CARE and STDs. 21 : 667680.
Rice, P.L. 1992. Stress and Health. Second Edition. California: Pasific Grove,
Brook/Cole Publishing Company.
Poerwandari, E. K. 2009. Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku
Manusia. Jakarta : Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan
Pendidikan Psikologi, Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.