Anda di halaman 1dari 16

Pahlawan (Sanskerta: phala-wan yang berarti orang yang dari dirinya menghasilkan buah

(phala) yang berkualitas bagi bangsa, negara, dan agama) adalah orang yang menonjol karena
keberaniannya dan pengorbanannya dalam membela kebenaran, atau pejuang yang gagah berani
kepahlawanan n perihal sifat pahlawan (spt keberanian, keperkasaan, kerelaan berkorban,
dan kekesatriaan)
CONTOH PAHLAWAN NASIONAL

Cut Nyak Dien (1848-1908) Perempuan Aceh


Berhati Baja
TJOET NJAK DIEN Lahir pada 1848 dari keluarga kalangan bangsawan yang sangat taat
beragama. Ayahnya bernama Teuku Nanta Seutia, uleebalang VI Mukim, bagian dari wilayah
Sagi XXV. Leluhur dari pihak ayahnya, yaitu Panglima Nanta, adalah keturunan Sultan Aceh
yang pada permulaan abad ke-17 merupakan wakil Ratu Tajjul Alam di Sumatra Barat. Ibunda
Cut Nyak Dhien adalah putri uleebalang bangsawan Lampagar.
Sebagaimana lazimnya putri-putri bangsawan Aceh, sejak kecil Tjoet Njak Dien memperoleh
pendidikan, khususnya pendidikan agama. Pendidikan ini selain diberikan orang tuanya, juga
para guru agama. Pengetahuan mengenai rumah tangga, baik memasak maupun cara menghadapi
atau melayani suami dan hal-hal yang menyangkut kehidupan sehari-hari, didapatkan dari ibunda
dan kerabatnya. Karena pengaruh didikan agama yang amat kuat, didukung suasana
lingkungannya, Tjoet Njak Dhien memiliki sifat tabah, teguh pendirian dan tawakal.
Tjoet Njak Dien dibesarkan dalam lingkungan suasana perjuangan yang amat dahsyat, suasana
perang Aceh. Sebuah peperangan yang panjang dan melelahkan. Parlawanan yang keras itu
semata-mata dilandasi keyakinan agama serta perasaan benci yang mendalam dan meluap-luap
kepada kaum kafir.
Tjoet Njak Dien dinikahkan oleh orang tuanya pada usia belia, yaitu tahun 1862 dengan Teuku
Ibrahim Lamnga putra dari uleebalang Lam Nga XIII. Perayaan pernikahan dimeriahkan oleh
kehadiran penyair terkenal Abdul Karim yang membawakan syair-syair bernafaskan agama dan
mengagungkan perbuatan-perbuatan heroik sehingga dapat menggugah semangat bagi yang
mendengarkannya, khususnya dalam rangka melawan kafir (Snouck Hourgronje, 1985: 107).
Setelah dianggap mampu mengurus rumah tangga sendiri, pasangan tersebut pindah dari rumah
orang tuanya. Selanjutnya kehidupan rumah tangganya berjalan baik dan harmonis. Mereka
dikaruniai seorang anak laki-laki.

Jiwa pejuang memang sudah diwarisi Cut Nyak Dien dari ayahnya yang seorang pejuang
kemerdekaan yang tidak kenal kompromi dengan penjajahan. Dia yang dibesarkan dalam
suasana memburuknya hubungan antara kerajaan Aceh dan Belanda semakin mempertebal jiwa
patriotnya.
Ketika perang Aceh meletus tahun 1873, suami Tjoet Njak Dien turut aktif di garis depan
sehingga merupakan tokoh peperangan di daerah VI Mukim. Karena itu Teuku Ibrahim jarang
berkumpul dengan istri dan anaknya. Tjoet Njak Dien mengikhlaskan keterlibatan suaminya
dalam peperangan, bahkan menjadi pendorong dan pembakar semangat juang suaminya. Untuk
mengobati kerinduan pada suaminya yang berada jauh di medan perang, sambil membuai sang
buah hatinya ia menyanyikan syair-syair yang menumbuhkan semangat perjuangan. Ketika
sesekali suaminya pulang ke rumah, maka yang dibicarakan dan dilakukan Tjoet Njak Dien tak
lain adalah hal-hal yang berkaitan dengan perlawanan terhadap kaum kafir Belanda.
Begitu menyakitkan perasaaan Cut Nyak Dien akan kematian suaminya yang semuanya
bersumber dari kerakusan dan kekejaman kolonial Belanda. Hati ibu muda yang masih berusia
28 tahun itu bersumpah akan menuntut balas kematian suaminya sekaligus bersumpah hanya
akan menikah dengan pria yang bersedia membantu usahanya menuntut balas tersebut. Hari-hari
sepeninggal suaminya, dengan dibantu para pasukannya, dia terus melakukan perlawanan
terhadap pasukan Belanda.
Dua tahun setelah kematian suami pertamanya atau tepatnya pada tahun 1880, Cut Nyak Dien
menikah lagi dengan Teuku Umar, kemenakan ayahnya. Sumpahnya yang hanya akan menikah
dengan pria yang bersedia membantu menuntut balas kematian suami pertamanya benar-benar
ditepati. Teuku Umar adalah seorang pejuang kemerdekaan yang terkenal banyak mendatangkan
kerugian bagi pihak Belanda.
Perlawanan terhadap Belanda kian hebat. Beberapa wilayah yang sudah dikuasai Belanda
berhasil direbutnya. Dengan menikahi Tjoet Njak Dien mengakibatkan Teuku Umar kian
mendapatkan dukungan. Meskipun telah mempunyai istri sebelumnya, Tjoet Njak Dien lah yang
paling berpengaruh terhadap Teuku Umar. Perempuan inilah yang senantiasa membangkitkan
semangat juangnya, mempengaruhi, mengekang tindakannya, sekaligus menghilangkan
kebiasaan buruknya.
Sekilas mengenai Teuku Umar. Teuku Umar terkenal sebagai seorang pejuang yang banyak
taktik. Pada tahun 1893, pernah berpura-pura melakukan kerja sama dengan Belanda hanya
untuk memperoleh senjata dan perlengkapan perang. Setelah tiga tahun berpura-pura bekerja
sama, Teuku Umar malah berbalik memerangi Belanda. Tapi dalam satu pertempuran di
Meulaboh pada tanggal 11 Pebruari 1899, Teuku Umar gugur.

Sejak meninggalnya Teuku Umar, selama 6 tahun Tjoet Njak Dien mengordinasikan serangan
besar-besaran terhadap beberapa kedudukan Belanda. Segala barang berharga yang masih
dimilikinya dikorbankan untuk mengisi kas peperangan. Cut Nyak Dien kembali sendiri lagi.
Tapi walaupun tanpa dukungan dari seorang suami, perjuangannya tidak pernah surut, dia terus
melanjutkan perjuangan di daerah pedalaman Meulaboh. Dia seorang pejuang yang pantang
menyerah atau tunduk pada penjajah. Tidak mengenal kata kompromi bahkan walau dengan
istilah berdamai sekalipun.
Perlawanannya yang dilakukan secara bergerilya itu dirasakan Belanda sangat mengganggu
bahkan membahayakan pendudukan mereka di tanah Aceh, sehingga pasukan Belanda selalu
berusaha menangkapnya tapi sekalipun tidak pernah berhasil.
Keterlibatan Tjoet Njak Dien dalam perang Aceh nampak sekali ketika terjadi pembakaran
terhadap Mesjid Besar Aceh. Dengan amarah dan semangat yang menyala-nyala berserulah ia,
Hai sekalian mukmin yang bernama orang Aceh! Lihatlah! Saksikan sendiri dengan
matamu mesjid kita dibakarnya! Mereka menentang Allah Subhanahuwataala, tempatmu
beribadah dibinasakannya! Nama Allah dicemarkannya! Camkanlah itu! Janganlah kita
melupakan budi si kafir yang serupa itu! Masih adakah orang Aceh yang suka
mengampuni dosa si kafir yang serupa itu? Masih adakah orang Aceh yang suka menjadi
budak Belanda? (Szekely Lulofs, 1951:59).
Lama-lama pasukan Tjoet Njak Dien melemah. Kehidupan putri bangsawan ini kian sengsara
akibat selalu hidup di dalam hutan dengan makanan seadanya. Usianya kian lanjut, kesehatannya
kian menurun, seiring dengan bertambahnya usia, Cut Nyak Dien pun semakin tua.
Penglihatannya mulai rabun dan berbagai penyakit orang tua seperti encok pun mulai
menyerang. Di samping itu jumlah pasukannya pun semakin berkurang, ditambah lagi situasi
yang semakin sulit memperoleh makanan. Tapi, ketika Pang Laot Ali, tangan kanan sekaligus
panglimanya, menawarkan untuk menyerah sebagai jalan pembebasan dari kehidupan yang serba
terpencil dan penuh penderitaan ini, Tjoet Njak Dien menjadi sangat marah. Pang Laot Ali tetap
tak sampai hati melihat penderitaan pimpinannya. Akhirnya ia menghianatinya. Kepada Belanda
ia melaporkan persembunyiannya dengan beberapa syarat, di antaranya jangan melakukan
kekerasan dan harus menghormatinya.
Begitu teguhnya pendirian Cut Nyak Dien sehingga ketika sudah terkepung dan hendak
ditangkap pun dia masih sempat mencabut rencong dan berusaha melawan pasukan Belanda.
Pasukan Belanda yang begitu banyak akhirnya berhasil menangkap tangannya.
Ketika tertangkap wanita yang sudah tak berdaya dan rabun ini, mengangkat kedua belah
tangannya dengan sikap menentang. Dari mulutnya terucap kalimat, Ya Allah ya Tuhan inikah
nasib perjuanganku? Di dalam bulan puasa aku diserahkan kepada kafir.

Tjoet Njak Dien marah luar biasa kepada Pang Laot Ali. Sedangkan kepada Letnan Van Vureen
yang memimpin operasi penangkapan itu sikap menentang mujahidah ini masih nampak dengan
mencabut rencong hendak menikamnya.
Tapi walaupun di dalam tawanan, dia masih terus melakukan kontak atau hubungan dengan para
pejuang yang belum tunduk. Tindakannya itu kembali membuat pihak Belanda berang sehingga
dia pun akhirnya dibuang ke Sumedang, Jawa Barat. yang berati mengingkari salah satu butir
perjanjiannya dengan Pang Laot Ali.
DI SUMEDANG tak banyak orang tahu perempuan ini. Tua renta dan bermata rabun.
Pakaiannya lusuh, dan hanya itu saja yang melekat di tubuhnya. Sebuah tasbih tak lepas dari
tangannya, juga sebuah periuk nasi dari tanah liat. Dia datang ke Sumedang bersama dua
pengikutnya sebagai tahanan politik Belanda, yang ingin mengasingkannya dari medan
perjuangannya di Aceh pada 11 Desember 1906.
Perempuan tua itu lalu dititipkan kepada Bupati Sumedang Pangeran Aria Suriaatmaja, yang
digelari Pangeran Makkah. Melihat perempuan yang amat taat beragama itu, Bupati tak
menempatkannya di penjara, tetapi di rumah H. Ilyas, seorang tokoh agama, di belakang Kaum
(masjid besar Sumedang). Di rumah itulah perempuan itu tinggal dan dirawat.
Di antara mereka yang datang banyak membawakan makanan atau pakaian, selain karena
mereka menaruh hormat dan simpati yang besar, juga karena Ibu Perbu tak bersedia menerima
apapun yang diberikan oleh Belanda.
Keadaan ini terus berlangsung hingga 6 November 1908, saat Ibu Perbu meninggal dunia.
Dimakamkan secara hormat di Gunung Puyuh, sebuah komplek pemakaman para bangsawan
pangeran Sumedang, tak jauh dari pusat kota Sumedang. Sampai wafatnya, masyarakat
Sumedang belum tahu siapa sesungguhnya perempuan yang banyak memberikan manfaat bagi
masyarakat itu, bahkan hingga kemerdekaan Indonesia.
Ketika masyarakat Sumedang beralih generasi dan melupakan Ibu Perbu, pada tahun 60-an
berdasarkan keterangan dari pemerintah Belanda baru diketahui bahwa Tjoet Njak Dhien,
seorang pahlawan wanita Aceh yang terkenal telah diasingkan ke Pulau Jawa, Sumedang, Jawa
Barat. Pengasingan itu berdasarkan Surat Keputusan No. 23 (Kolonial Verslag 1907:12).
Akhirnya dengan mudah dapat dipastikan bahwa Ibu Perbu tak lain adalah Tjoet Njak Dhien
yang diasingkan Belanda bersama seorang panglima berusia 50 tahun dan seorang
kemenakannya bernama Teungku Nana berusia 15 tahun.
Perjuangan Tjoet Njak Dien menimbulkan rasa takjub para pakar sejarah asing, sehingga banyak
buku yang melukiskan kehebatan pejuang wanita ini. Zentgraaff mengatakan, para wanita lah
yang merupakan de leidster van het verzet (pemimpin perlawanan) terhadap Belanda dalam

perang besar itu. Aceh mengenal Grandes Dames (wanita-wanita besar) yang memegang peranan
penting dalam berbagai sektor.

Jenderal Soedirman : Kisah Panglima Besar


Pejuang Bersahaja
Soedirman lahir pada Senin Pon, 18 Maulud 1846 dalam almanak Jawa atau 24 Januari 1916 di
Dukuh Rembang, Desa Bantar Barang, Kecamatan Rembang, Kabupaten Purbalingga, Jawa
Tengah, sekitar 30 kilometer dari pusat Kota Purbalingga. Ia lahir dari rahim Siyem, wanita asal
Purwokerto, istri Karsid Kartoworidji, seorang pekerja pabrik gula. Soedirman diurus dan tinggal
di rumah asisten wedana di Rembang, Raden Tjokrosoenarjo dan istri Toeridowati. Bayi laki-laki
itu diberi nama Soedirman.
Nama itu diberikan ayah angkatnya, Raden Tjokrosoenarjo, asisten wedana di Rembang,
Purbalingga. Sejak lahir, ia memang langsung diurus dan tinggal di rumah pasangan
Tjokrosoenarjo dan Toeridowati. Data Pusat Sejarah Tentara Nasional Indonesia menyebutkan,
istri Tjokrosoenarjo adalah kakak kandung ibunda Soedirman. Sejak Soedirman masih di dalam
kandungan, Tjokrosoenarjo sudah meminta izin Siyem agar kelak bisa merawat kemenakannya
itu.
Setelah Soedirman berusia delapan bulan, Tjokrosoenarjo pensiun dari jabatannya. Berbekal duit
pensiun 62,35 gulden, ia memboyong keluarganya, termasuk Soedirman dan orang tuanya,
pindah ke sebuah rumah sederhana di Kampung Kemanggisan, Kelurahan Tambakreja, sebelah
selatan pusat Kota Cilacap, Jawa Tengah. Jadi, Bapak cuma numpang lahir di Purbalingga, lalu
kehidupannya berlanjut di Cilacap, kata Mohamad Teguh Bambang Tjahjadi, anak bungsu
Soedirman, saat ditemui Tempo awal Oktober lalu.
Teguh bercerita, selama ini banyak buku dan literatur digital di dunia maya menulis ngawur soal
asal-usul keluarganya. Dari sekian banyak buku tentang ayahnya, Teguh hanya percaya pada
buku berjudul Doorstoot naar Djokja: Pertikaian Pemimpin Sipil-Militer karya wartawan senior
Julius Pour terbitan 2005.
Walau bukan buku biografi Bapak, ceritanya cocok semua dengan cerita Ibu, ujar bungsu dari
sembilan putra-putri pasangan Soedirman dan Siti Alfiah itu.
Soal asal-usul keluarga sang Panglima Besar, Teguh mengatakan, berdasarkan pernyataan
keluarga, Soedirman merupakan anak kandung Tjokrosoenarjo, Asisten Wedana Rembang,
bukan anak angkat seperti yang selama ini tertulis di berbagai buku sejarah. Belum ada satu pun
buku yang menulis soal ini (versi keluarga), katanya.
Tjokrosoenarjo wafat saat Soedirman masih menempuh sekolah guru di Cilacap pada sekitar
1936. Ia mewariskan seluruh hartanya kepada anak tunggalnya itu.

Siti Alfiah, istri Soedirman, beberapa kali berusaha meluruskan soal data sejarah ini, tapi selalu
kandas. Janda Soedirman itu pernah berupaya meluruskannya pada 1960-1970-an. Namun, pihak
Pusat Sejarah ABRI kala itu malah mengesahkan secara resmi sejarah orang tua Soedirman yang
masih kontroversial tersebut lewat pengadilan. Tapi aneh karena tak ada satu pun anggota
keluarga yang diundang, ujar Teguh.
Bagi Teguh, ibundanya adalah satu-satunya orang yang tahu persis soal riwayat sang Jenderal
Besar. Sebab, semua dokumen yang berkaitan dengan Soedirman telah dilenyapkan demi
kepentingan keamanan sebelum ia berangkat bergerilya.
Menurut Teguh, sejarawan Anhar Gonggong pernah memberinya saran agar ia menuliskan
semua riwayat Soedirman dari sudut pandang dan pengakuan keluarga. Namun, hingga kini dia
belum pernah mencoba melaksanakan saran Anhar itu.
Yang jelas, Bapak itu pahlawan nasional. Jasanya banyak, perlu jadi teladan bangsa ini. Itu saja
cukup, ucap Teguh.
Bintang Lapangan Sepak Bola
Soedirman memasuki masa sekolah pada 1923. Kala itu, berkat status Raden Tjokrosoenarjo
yang bekas pejabat, Soedirman kecil bisa memperoleh pendidikan formal di HollandschInlandsche School (HIS, setingkat sekolah dasar) pada usia tujuh tahun. Di sekolah milik
pemerintah ini, ia dikenal sebagai murid yang sangat rajin, berdisiplin, dan pandai.
Di sekolah inilah bintang Soedirman mulai bersinar terang. Salah satunya lewat olahraga
kegemarannya: sepak bola. Menurut Teguh, saking piawainya memainkan si kulit bundar,
Soedirman, yang biasa berposisi sebagai penyerang dijuluki si bintang lapangan.Pria 62 tahun itu
mengatakan ayahnya juga menguasai betul aturan dan tata cara permainan bola sepak. Lantaran
dikenal sebagai sosok yang jujur, Soedirman kemudian kerap didaulat menjadi wasit. Kebiasaan
sepak bola ini terbawa terus sampai Bapak remaja menuju dewasa, kata Teguh.
Di Sekolah, Jenderal Soedirman Dijuluki Kaji
Seperti ditulis Majalah Tempo Senin 12 November 2012, Soedirman dikenal sebagai sosok yang
tak segan membantu teman-temannya dalam hal apa pun, termasuk pelajaran. Ia sangat antusias
mengikuti pelajaran bahasa Inggris, ilmu tata negara, sejarah dunia, sejarah kebangsaan, dan
agama Islam. Saking tekunnya pada pelajaran agama, Soedirman diberi julukan Kaji atau Haji,
ujar sejarawan Rushdy Hoesein.
Cara bergaul ayahnya pun luwes, kata anak bungsunya, Mohammad Teguh. Dia bisa memastikan
hal itu berdasarkan cerita ibunya. Soedirman bisa berkawan dan menempatkan diri di antara
senior ataupun juniornya. Bapak biasa berada di tengah banyak orang. Soalnya Bapak sangat
piawai berpidato, ujarnya. Terutama saat ayahnya getol mengurus organisasi intrasekolah PutraPutri Wiworotomo.

Soedirman lulus HIS pada 1930. Ia baru masuk ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO,
setara dengan sekolah menengah pertama) Parama Wiworotomo, Cilacap, dua tahun setelahnya
dan lulus pada 1935.
Bersekolah di MULO merupakan tahapan penting bagi Soedirman. Di sekolah itulah ia
mendapatkan pendidikan nasionalisme dari para guru yang kebanyakan aktif di organisasi Boedi
Oetomo, seperti Raden Soemojo dan Soewardjo Tirtosoepono, lulusan Akademi Militer Breda di
Belanda.
Kisah Asmara di Wiworo Tomo
Soedirman memang begitu sayang kepada istrinya. Menurut Mohamad Teguh Bambang Tjahjadi,
63 tahun, putra bungsu Soedirman, ibunya pernah bercerita bagaimana bapaknya tergolong teliti
untuk urusan kosmetik dan busana. Bapak selalu memilihkan bedak dan busana untuk Ibu. Ibu
tinggal mengenakan, ujar Teguh. Bapaknya ternyata juga suka menjaga penampilan agar rapi
dan berwibawa, terutama saat berpidato.
Ibunya sekali waktu bercerita, pernah saat Soedirman berpidato, ia merasa cemburu. Soedirman
saat itu berpidato di hadapan putri-putri Keraton Solo. Mereka terlihat kagum pada
penampilannya yang besus atau selalu rapi. Selesai pidato, Alfiah berseloroh, Kamu senang, ya?
Kalau begitu mau lagi? Soedirman langsung menjawab, Ya tidak, kan aku sudah punya kamu.
Kisah asmara Soedirman dan Alfiah dimulai di Perkumpulan Wiworo Tomo, Cilacap. Soedirman
tersohor sebagai pemain sepak bola dan pemain tonil atau teater. Dia dijuluki Kajine karena alim.
Tatkala menjadi ketua, Soedirman memilih Alfiah sebagai bendahara Perkumpulan. Salah
seorang teman Soedirman, menurut Teguh, bercerita, banyak pemuda naksir kepada ibunya tapi
tak berani mendekati karena segan kepada sang ayah.
Gosip Soedirman menaksir Alfiah, kata Teguh, bermula dari kebiasaan Soedirman berkunjung ke
rumah Sastroatmodjo, orang tua Alfiah. Silaturahmi itu berkedok koordinasi internal
Muhammadiyah. Kala itu Soedirman termasuk pengurus Hizbul Wathan dan Pemuda
Muhammadiyah. Adapun orang tua Alfiah pengurus Muhammadiyah.
Saat menjadi guru HIS Muhammadiyah, Soedirman dikenal dermawan. Gajinya kerap dipakai
membantu tetangga. Tatkala menjadi anggota Badan Penyediaan Pangan, lembaga penarik upeti
di bawah Jepang, Soedirman bahkan tidak memaksa warga menyetor upeti jika kekurangan.
Nenek tahu betul Soedirman muda naksir Alfiah. Nenek merestui karena kagum pada
kealimannya. Nenek membujuk Kakek mau menerima Soedirman menjadi menantu. Saat itu,
usia Bapak 20 tahun, Ibu 16 tahun.
Menurut Teguh, paman ibunya yang bernama Haji Mukmin, saudagar pemilik hotel,
sesungguhnya tidak setuju terhadap perkawinan Alfiah dan Soedirman. Mukmin berkeras Alfiah
harus mendapatkan suami dari kalangan orang kaya. Adapun Soedirman anak ajudan wedana,
yang bergaji kecil. Akhirnya, menurut Ibu, semua ongkos pernikahan diam-diam disiapkan
Nenek. Strategi itu agar Bapak tidak disepelekan keluarga besar Kakek.

Dari ibunya, Teguh mendengar, pada saat makan bersama keluarga besar, Haji Mukmin
menyingkirkan hidangan paling enak dari hadapan bapaknya. Sang ibu tersinggung, tapi
bapaknya memilih mengalah. Sikap Haji Mukmin berubah setelah Soedirman diangkat menjadi
Panglima Besar. Ketika diarak ke Cilacap, dia melihat pamannya itu berdiri di pinggir jalan.
Soedirman menghentikan mobil, lalu mengajaknya masuk ke mobil.
Soedirman Mengajar dari Kisah Pewayangan
Soedirman, Panglima Besar TNI itu adalah seorang pengajar. Sebagai pendidik, ia tak hanya
sekedar memandu murid dari depan kelas. Dia juga menggunakan aneka metode yang membuat
murid tertarik belajar.
Soedirman tak tamat HIK. Dia kembali ke Cilacap setahun kemudian. Soedirman lantas bertemu
R. Mohammad Kholil, tokoh Muhammadiyah Cilacap. Berkat guru pribadinya itu, dia diangkat
menjadi guru sekolah dasar di Hollandsch-Inlandsche School (HIS) Muhammadiyah Cilacap.
Bangunan HIS Muhammadiyah, tempat Soedirman dulu mengajar, kini tak berbekas. Sejak
1993, bangunan tua di tepi Jalan Jenderal Soedirman, Cilacap, itu dirobohkan. Sebagai gantinya,
tepat di lokasi tersebut berdiri Taman Kanak-kanak Aisyiah 1.
Sekolah usia dini yang terdiri dari dua kelas dan satu ruang guru tersebut bersembunyi di balik
Gedung Dakwah Soedirman, bangunan dua lantai markas Pengurus Daerah Muhammadiyah
Cilacap. Ini untuk mengenang sekaligus tak mengubah fungsi lokasi tersebut sebagai tempat
pendidikan, kata Arif Romadlon, Ketua Pengurus Daerah Muhammadiyah Cilacap, Ahad lalu.
Sardiman, dosen sejarah Universitas Negeri Yogyakarta, dalam bukunya Guru Bangsa: Sebuah
Biografi Jenderal Soedirman (2008), menuturkan bahwa Soedirman berhasil menarik perhatian
murid-muridnya saat mengajar.
Marsidik, salah satu murid HIS Muhammadiyah yang diwawancarai Sardiman pada 1997,
menuturkan cara mengajar Soedirman tak monoton, terkadang sambil bercanda dan acap
diselingi pesan agama dan nasionalisme. Soedirman juga sering mengambil kisah-kisah
pewayangan, kata Sardiman kepada Tempo pada Ahad lalu.
Soedirman Berhenti Mengajar Demi Berjuang
Nama Soedirman di mata para pejuang kemerdekaan tak sekadar panglima. Dia juga simbol
untuk terus melawan penjajah. Soedirman, yang seorang pendidik, memutuskan untuk berhenti
mengajar dan memilih turun ke medan perang. Dalam edisi khusus tentang Soedirman di majalah
TEMPO, Senin, 12 November 2012, tergambarkan keputusan Soedirman membangkitkan
semangat para muridnya.
Dua lelaki tegap memasuki sebuah kelas di Sekolah Rakyat Kepatihan, Cilacap, Jawa Tengah.
Pelajaran aljabar di dalam kelas langsung berhenti. Kalender saat itu menunjuk akhir 1943.
Bersama wali kelas Sukarno, keduanya berdiri di depan 30-an murid kelas lima.

Seorang di antaranya maju mendekati meja paling depan. Sosok itu kemudian mengedarkan
pandangannya ke segala penjuru kelas, mengucap salam, lalu memperkenalkan diri. Saya
Soedirman dan ini Pak Isdiman.
Seorang murid yang duduk di bagian belakang kelas, Soedirman Taufik, setengah kaget.
Namanya sama dengan pria di depan kelas itu. Seperti teman-temannya, bocah sepuluh tahun itu
hanya tertegun.
Saya mau pamit akan berjuang bersama Dai Nipon, ujar pria di depan kelas. Pria berpeci
hitam, berkemeja putih kusam, dan celana krem panjang sedikit di bawah lutut itu melanjutkan
kalimatnya. Saya minta pangestu, semoga berhasil. Anak-anak yang sudah besar nanti juga
harus berjuang. Membela negara.
Serentak murid-murid menjawab, Nggih, Pak! Kunjungan berakhir. Soedirman menyalami
para murid sebelum meninggalkan ruangan sambil melambaikan tangan. Isdiman, yang tak
berujar sepatah kata pun, mengikuti di belakangnya.
Berselang 69 tahun, TaufikJuni lalu genap 79 tahunmasih ingat betapa gaduh kelasnya ketika
dia bersama kawan-kawan memekikkan salam perpisahan sekaligus doa. Selamat berjuang,
Pak! Semoga berhasil! katanya kepada Tempo, Ahad lalu. Beberapa tahun setelah kejadian itu,
nama kedua pria yang berpamitan tadi muncul sebagai tokoh perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Soedirman kelak menjadi jenderal, Panglima Besar TNI, diangkat pada Juni 1947. Adapun
Letnan Kolonel Isdiman gugur sebagai Komandan Resimen 16/II Purwokerto, dua tahun
sebelumnya, dalam pertempuran melawan tentara sekutu di Ambarawa, Jawa Tengah.
Dari cerita kawan seangkatannya, Taufik, yang kini menjadi Dewan Penasihat Organisasi
Angkatan 45 Cilacap, mengetahui bahwa Soedirman dan Isdiman juga berpamitan ke beberapa
sekolah lainnya sebelum bergabung dengan tentara sukarela bentukan Jepang, Pembela Tanah
Air (Peta). Pak Dirman memang guru, katanya.
Cacat Kaki, Soedirman Sempat Pesimis Jadi Tentara
Kebesaran nama Panglima Jenderal TNI Soedirman bisa dilihat dari kisahnya yang terungkap di
buku-buku sejarah. Namun sebenarnya di balik perjuangannya dengan bertandu, Seodirman
sempat ketakutan menjadi tentara karena kondisi kakinya.
Ditinggal Soedirman dalam usia satu tahun, Muhammad Teguh Bambang Cahyadi mendengar
cerita tentang ayahnya itu dari sang ibu, Siti Alfiah. Termasuk kisah tentang Soedirman ketika
mengawali karier militernya. Menurut Teguh, ayahnya sempat ragu masuk dunia militer. Saya
cacat, tak layak masuk tentara, kata Soedirman, seperti yang didengar Teguh dari ibunya.
Bukan tanpa alasan jika Soedirman tak percaya diri menjadi tentara. Kakinya pernah terkilir pada
saat main sepak bola. Hal itu membuat sambungan tulang lutut kirinya bergeser. Siti Alfiah juga
menyatakan sangat mengkhawatirkan kondisi suaminya.

Dalam buku Perjalanan Bersahaja Jenderal Sudirman, Soekanto menuliskan dialog pasangan
suami-istri ini pada saat Soedirman ingin menjadi tentara. Menjelang tengah malam satu hari
pada 1944, Soedirman menyampaikan rencana bergabung dengan pasukan Pembela Tanah Air
(Peta). Jadi, Mas mau jadi tentara? kata Siti Alfiah. Soedirman mengangguk, seolah meminta
pengertian dari sang istri.
Tak langsung mengiyakan, Siti mencecar Soedirman. Dia menanyakan soal mata kiri Soedirman
yang kurang terang. Lalu, kaki Mas yang terkilir sewaktu main bola itu.
Tidak apa-apa, Bu, semua pengalaman ada gunanya, katanya. Saya harap Ibu berhati
mantap. Soedirman lalu pergi mengambil wudhu dan berjalan ke kamar untuk salat tahajud.
Pilihan menjadi prajurit diambil setelah sekolah Muhammadiyah, tempat Soedirman mengajar,
ditutup tentara Jepang. Sekolah itu dianggap bentukan kolonial Belanda. Achmad Dimyati, rekan
sesama guru, menyampaikan ketertarikan penguasa militer Kabupaten Cilacap merekrut
Soedirman. Mungkin Dik Dirman akan diangkat menjadi sangikai Karesidenan Banyumas,
semacam perwakilan rakyat, kata Dimyati.
Dimyati berusaha meyakinkan bahwa Soedirman bisa menjadi penghubung antara tentara Jepang
dan penduduk Karesidenan Banyumas. Dia berpendapat Jepang lebih baik daripada Belanda.
Nyatanya, Soedirman tak langsung tertarik. Dia menilai Belanda dan Jepang sama-sama orang
asing yang menjajah. Jepang dinilainya memerlukan tenaga pribumi hanya karena beberapa
jabatan penting kosong ditinggal orang-orang Belanda.
Toh, Soedirman diterima di kesatuan militer. Ia mendapat jabatan sangikai, yang bertugas
mendampingi tentara Jepang mengambil hati penduduk agar mau menyerahkan padi. Namun,
dengan bahasa Jawa, Soedirman meminta rakyat agar mendahulukan kebutuhan mereka sebelum
menyetorkan padi ke tentara Jepang.
Usia 26, Soedirman Tumpas Pemberontakan Pertama
Soedirman mendapatkan pendidikan militer pertamanya dari Jepang. Ia direkrut pemerintah
negeri matahari terbit itu pada usia 25 tahun. Setahun menempa pendidikan kemiliteran,
Soedirman pun mendapatkan tugas besar pertamanya.
Pada 3 Oktober 1943, pemerintah Jepang mengeluarkan Osamu Seirei Nomor 44 Tahun 2603
(1944) tentang Pembentukan Pasukan Sukarela untuk Membela Tanah Jawa. Penguasa
Karesidenan Banyumas mengusulkan Soedirman ikut bergabung. Nugroho Notosusanto dalam
buku Tentara PETA pada Jaman Pendudukan Jepang di Indonesia, mengatakan hampir semua
daidancho dan chudancho dibujuk secara pribadi oleh Beppan.
Daidancho kebanyakan direkrut dari tokoh masyarakat, seperti guru, tokoh agama Islam, dan
pegawai pemerintah. Karena itu, umurnya tak muda lagi, kata Nina Lubis, penulis buku PETA
Cikal Bakal TNI. Daidancho adalah jabatan setingkat komandan batalion.

Soedirman kemudian masuk Peta angkatan kedua sebagai calon daidancho. Muhammad Teguh
mengenang cerita ibunya bahwa tentara Jepang sebenarnya tidak suka dengan masuknya
Soedirman. Sebab, ketika menjadi anggota Badan Pengurus Makanan Rakyat, ia sering
menentang instruksi tentara Jepang. Namun, saat itu Jepang berkepentingan membentuk
pasukan bersenjata untuk menghadapi serangan tentara Sekutu, katanya.
Sebelum membentuk Peta, Jepang telah mengeluarkan peraturan tentang pembentukan pasukan
pribumi Heiho pada 22 April 1943. Pasukan Heiho terutama bertugas di satuan artileri
pertahanan udara, tank, artileri medan, mortir parit, dan sebagai pengemudi angkutan perang.
Namun, Heiho ternyata tak memuaskan Jepang, yang ingin pasukan sepenuhnya terdiri dari
orang pribumi, terpisah dari tentara Jepang.
Pemuda Heiho hanya menjadi pembantu prajurit Jepang. Tak satu pun di antara mereka menjadi
perwira. Tangerang Seinen Dojo (pusat latihan pemuda Tangerang), yang mulai berlatih sejak
Januari 1943, malah dianggap lebih berhasil.
Pemisahan tentara pribumi dengan tentara Jepang kemudian dilaksanakan di Kalimantan,
Sumatera, dan Jawa dengan nama Giyu-gun. Pengerahan rakyat pribumi untuk masuk tentara
sukarela akhirnya terlaksana dengan pembentukan Peta.
Untuk menjadi calon perwira tentara Peta, Jepang mensyaratkan bakat kepemimpinan, jiwa dan
fisik sehat, serta stabilitas mental. Seleksi dilakukan di ibu kota kabupaten (ken) atau kota madya
(shi), yang kemudian dilanjutkan di ibu kota karesidenan (shu) untuk pemeriksaan kesehatan.
Seleksi dilakukan pada awal bulan Oktober 1943 dan hasilnya diumumkan dua minggu
kemudian.
Angkatan kedua pendidikan Peta dimulai pada April 1944. Pendidikan untuk daidancho, kata
Nina dalam bukunya, hanya dua bulan. Sedangkan untuk chudancho dan shudancho latihannya
3-4 bulan. Mereka berlatih di kompleks militer eks Belanda, 700 meter dari istana presiden di
Bogor. Pusat latihan itu diberi nama Jawa Bo-ei Giyugyun Kanbu Renseitai, dibuka resmi pada
15 Oktober 1943.
Angkatan kedua pendidikan perwira Peta dilantik pada 10 Agustus 1944. Mereka diberi samurai
dan disebar ke 55 daidan di daerah pantai selatan Jawa. Sebagai daidancho, Soedirman
ditempatkan di Kroya, Jawa Tengah, didampingi shoko shidokan, perwira Jepang yang bertugas
sebagai pengawas dan penasihat teknis kemiliteran, Letnan Fujita.
Setelah diangkat menjadi daidancho pada usia 26 tahun, Soedirman pulang ke rumah dan
menceritakan kepada Alfiah ihwal penempatannya di Kroya. Saya menjadi daidancho di sini
(Cilacap), kata Soedirman. Ujian pertama Soedirman dilalui pada 21 April 1945, saat pasukan
Peta di bawah komando bundancho Kusaeri memberontak di Desa Gumilir, Cilacap.
Peristiwa itu berlangsung lima hari setelah vonis tentara Jepang terhadap pemberontakan Peta
Blitar. Soedirman diperintahkan memadamkan pemberontakan Gumilir.

Dalam buku Perjalanan Bersahaja Jenderal Sudirman, daidancho itu sebenarnya tahu gerakan
Kusaeri. Sebab, beberapa hari sebelum bergerak, Kusaeri menemuinya di Cilacap. Soedirman
meminta koleganya itu menunda gerakan. Kata dia, Kita harus bergerak pada waktu yang
tepat.
Soedirman dan Keris Penolak Mortir
Desing pesawat membangunkan Desa Bajulan yang senyap, suatu hari di awal Januari 1949.
Penduduk kampung di Nganjuk, Jawa Tengah, yang tengah berada di sawah, halaman, dan
jalanan, itu panik masuk ke rumah atau bersembunyi ke sebalik pohonan.Warga Nganjuk tahu itu
pesawat Belanda yang sedang mencari para gerilyawan dan bisa tiba-tiba memuntahkan bom
atau peluru. Tak kecuali Jirah. Perempuan 16 tahun itu gemetar di dapur seraya membayangkan
gubuknya dihujani peluru.Di rumahnya ada sembilan laki-laki asing tamu ayah angkatnya, Pak
Kedah, yang ia layani makan dan minum. Meski tak paham siapa orang-orang ini, Jirah menduga
mereka yang sedang dicari tentara Belanda. Sewaktu pesawat mendekat, dia melihat seorang
yang memakai beskap duduk di depan pintu dikelilingi delapan lainnya. Saya mengintip dan
menguping apa yang akan terjadi dari dapur, kata Jirah, September lalu.
Lelaki pemakai beskap yang oleh semua orang dipanggil Kiaine atau Pak Kiai itu
mengeluarkan keris dari pinggangnya. Keris itu ia taruh di depannya. Tangannya merapat dan
mulutnya komat-kamit merapal doa. Ajaib. Keris itu berdiri dengan ujung lancipnya menghadap
ke langit-langit. Kian dekat suara pesawat, kian nyaring doa mereka.
Keris itu perlahan miring, lalu jatuh ketika bunyi pesawat menjauh. Kiaine menyarungkan keris
itu lagi dan para pendoa meminta undur diri dari ruang tamu. Kepada Jirah, seorang pengawal
Kiaine bercerita bahwa keris dan doa itu telah menyamarkan rumah dan kampung tersebut dari
penglihatan tentara Belanda.
Dari curi-dengar obrolan para tamu dengan ayahnya itu, Jirah samar-samar tahu, orang yang
memakai beskap bertubuh tinggi, kurus, dan pendiam dengan napas tercekat yang dipanggil
Kiaine tersebut adalah Jenderal Soedirman. Saya mendapat kepastian itu Pak Dirman justru
setelah beliau meninggalkan desa ini, ujarnya.
Waktu itu Panglima Tentara Indonesia ini sedang bergerilya melawan Belanda, yang secara resmi
menginvasi kembali Indonesia untuk kedua kalinya tiga tahun setelah Proklamasi. Jirah ingat,
rombongan ituyang berjumlah 77 orangdatang ke Bajulan pada Jumat Kliwon Januari 1949.
Di rumahnya, Soedirman ditemani delapan orang, antara lain Dr Moestopo, Tjokropranolo, dan
Soepardjo Roestam. Yang lain menginap di rumah tetangga.
Selama lima hari di Bajulan, tak sekali pun Belanda menjatuhkan bom atau menembaki
penduduk. Itu berkat keris dan doa-doa, kata Jirah. Soedirman seolah-olah tahu tiap kali
Belanda akan datang mencarinya. Karena itu, operasi Belanda mencari buron nomor wahid
tersebut selalu gagal.
Cerita Kesaktian Soedirman

Soedirman terkenal punya firasat dan perhitungan jitu semasa bergerilya. Anak bungsunya,
Mohamad Teguh Sudirman, mendengar banyak cerita kesaktian ayahnya. Teguh lahir pada
1949 ketika ibunya bersembunyi di Keraton Yogyakarta saat ayahnya bergerilya. Dia tak sempat
bertemu dengan ayahnya, yang meninggal dua bulan setelah ia lahir, dan hanya mendengar kisah
Soedirman dari sang ibu, Siti Alfiah.
Inilah kesaktian sang Jenderal yang merupakan perokok berat ini.
Ceritanya ketika Soedirman sampai di Gunung kidul. Ia tak mengizinkan pasukannya beristirahat
lama-lama. Benar saja, beberapa saat kemudian, pasukan Belanda tiba di lokasi peristirahatan
pasukannya. Jika Soedirman, yang dalam sakit bengek dan tubuh rapuh, tak segera meminta
mereka jalan lagi, pertempuran tak akan bisa dihindari. Dan bisa jadi pasukan Bapak kalah,
kata Teguh.
Soedirman, yang selalu menyamar sepanjang gerilya, juga kerap diminta mengobati orang sakit.
Di sebuah desa di Pacitan, Teguh bercerita, Soedirman dan pasukannya kelaparan karena tak
menemukan makanan berhari-hari. Mau meminta kepada warga desa, takut ada mata-mata
Belanda. Saat rombongan ini beristirahat, seorang penduduk menghampiri mereka dan meminta
air mantra untuk kesembuhan istri lurah di situ.
Sang Panglima mengambil air dari sumur, lalu meniupkan doa. Ajaib, istri lurah yang terbaring
payah itu bisa bangun setelah minum. Pak Lurah pun menyilakan Soedirman dan anak buahnya
beristirahat. Ia menjamunya dengan pelbagai makanan. Baru setelah itu Bapak mengenalkan
diri, kata Teguh.
Sang Jenderal Klenik
Kepercayaan dan kegemaran Soedirman pada supranatural tak hanya terjadi saat gerilya, tapi
juga dalam diplomasi formal dengan Belanda. Muhammad Roem punya kisah menarik tentang
klenik Soedirman. Syahdan, suatu pagi beberapa hari menjelang perundingan Renville di
Yogyakarta pada 17 Januari 1948, Roem dipanggil Presiden Sukarno.
Presiden meminta Ketua Delegasi Indonesia dalam perundingan itu menemui Soedirman di
rumahnya. Sebagai ketua delegasi, jiwa Saudara harus diperkuat, kata Presiden. Temuilah
segera Panglima Soedirman. Meski awalnya menolak, Roem, yang tak mengerti urusan klenik,
menuruti saran itu.
Di rumahnya, Soedirman sudah menunggu. Sang Panglima ditemani seorang anak muda yang ia
kenalkan kepada Roem sebagai orang pintar. Rupanya, anak muda yang dikenal Roem tak
punya pekerjaan tetap itu yang akan memperkuat jiwa Menteri Dalam Negeri ini. Dukun itu
kemudian memberinya secarik kertas. Jimat ini tak boleh terpisah dari Saudara, kata
Soedirman. Kalau hilang, kekuatannya bisa berbalik. Jagalah sebaik-baiknya.
Jimat itu menemani Roem menghadapi delegasi Belanda yang keras kepala tak mau hengkang
dari Indonesia. Seorang diplomat Amerika Serikat yang jadi penengah rundingan itu memuji
Roem dan delegasi Indonesia. Saya sudah kesal karena Belanda begitu legalistik, tapi kalian

bisa melawannya dengan legalistik juga. You are wonderful, katanya, seperti ditulis Roem
dalam Jimat Diplomat. Roem, lulusan Rechts School (Sekolah Hukum) di Jakarta, hanya mesem
sambil meraba jimat itu di saku celananya.
Akan tetapi, cerita paling absurd yang pernah didengar anak bungsunya, Mohamad Teguh
Sudirman, adalah kisah seorang santri dari Pesantren Krapyak, Yogyakarta. Kepadanya, santri itu
menceritakan kisah gurunya yang ikut bergerilya bersama Soedirman. Dalam sebuah
pertempuran sengit, menurut santri itu, Soedirman menjatuhkan pesawat Belanda dengan
meniupkan bubuk merica. Teguh berkomentar, Gila, ini tak masuk nalar.
Soedirman Penganut Kejawen Sumarah
Soedirman terkenal punya firasat dan perhitungan jitu semasa bergerilya. Jenderal dari
Banyumas dan percaya klenik ini dikabarkan memiliki bermacam kesaktian.
Soedirman disebut sebagai penganut aliran kejawen Sumarah. Ia gemar mengoleksi keris. Ia juga
percaya benda pusaka itu punya tuah yang bisa melindunginya.
Anak bungsu Soedirman, Mohamad Teguh Sudirman, bercerita sewaktu ayahnya terpojok di
lereng Gunung Wilis, Tulungagung, keris ayahnya bisa menyelamatkan pasukannya. Padahal
ketika itu tentara gerilyawan tak punya celah meloloskan diri dari kepungan pasukan Belanda.
Soedirman tiba-tiba mencabut cundrik, keris kecil pemberian seorang kiai di Pacitan, dan
mengarahkannya ke langit. Tak berapa lama, awan hitam bergulung-gulung, petir dan angin
menghantam-hantam. Hujan lebat pun turun dan membuyarkan kesolidan pengepungan Belanda.
Lagi-lagi pasukan Soedirman selamat.
Cundrik itu ia tinggalkan di rumah penduduk. Beberapa tahun setelah Soedirman meninggal
pada 1950, Panglima Kodam V Brawijaya Kolonel Sarbini datang ke rumahnya di Kota Baru,
Yogyakarta, ditemani seorang petani.
Menurut Teguh, Sarbini bercerita kepada ibunya, Siti Alfiah, petani itu hendak mengembalikan
cundrik Soedirman yang dititipkan kepadanya sewaktu gerilya. Cundrik itu kami titipkan di
Museum Soedirman di Bintaran Timur, Yogya, ujar Teguh. Tapi sekarang hilang.
Soedirman Ternyata Hanya Bernapas dengan Satu Paru
Sejak remaja, Soedirman doyan merokok. Bahkan, ia masuk dalam golongan perokok berat.
Rokok Soedirman kretek tak bermerek. Disebutnya tingwe alias nglinthing dewe, yang artinya
meramu sendiri. Kebiasaan mengisap tembakau membuat Soedirman mengalami gangguan
pernapasan. Kondisi kesehatannya pun semakin menurun sejak pemberontakan Partai Komunis
Indonesia di Madiun, Jawa Timur.
Diceritakan bila Letnan Jenderal Soedirman berjalan tertatih-tatih memasuki rumah dinasnya di
Jalan Bintaran Wetan, Yogyakarta. Di depan pintu, sang istri, Siti Alfiah, menyambutnya.

Bapak pulang setelah dua pekan memimpin operasi penumpasan pemberontakan PKI, kata
Muhammad Teguh Bambang Tjahjadi, putra bungsu Soedirman, yang mendapat cerita itu dari
ibunya.
Pada akhir September 1948, Soedirman mengeluh ke Alfiah bila dia tak bisa tidur selama di
Madiun. Soedirman begitu terpukul menyaksikan pertumpahan darah di antara rakyat Indonesia
itu. Peristiwa Madiun membuat batin Panglima Besar Angkatan Perang Republik Indonesia ini
nelangsa. Selain kelelahan berat, Bapak tertekan batinnya karena peristiwa itu, ujar Teguh.
Malam itu, kondisi kesehatan Soedirman turun. Namun, ia tetap mandi dengan air dingin. Saran
sang istri agar mandi air hangat tak ia indahkan. Inilah awal petaka bagi Bapak, kata Teguh.
Esoknya, Bapak terkapar di tempat tidur.
Kendati sakit, kegemarannya merokok tetap tak bisa ia hilangkan. Sesekali, sembari terbaring,
Soedirman mengisap rokok kretek. Melihat itu, istrinya hanya diam, tak berani melarang.
Karena bandel, Soedirman tidak juga pulih. Bahkan, tim dokter tentara mendiagnosis ia
menderita tuberkulosis, infeksi paru-paru. Tak percaya akan hasilnya, keluarga meminta
pemeriksaan ulang oleh dua dokter tentara senior, Asikin Wijayakusuma serta Sim Ki Ay. Dan
jawabannya sama dengan observasi pertama. Soedirman pun dibawa ke Rumah Sakit Panti
Rapih, Yogyakarta.
Menurut Soegiri, bekas ajudan Soedirman, obat yang dibutuhkan atasannya hanya ada di Jakarta.
Untuk sampai Yogyakarta, obat itu harus diboyong melalui jalur penyelundupan. Di lain pihak,
Soedirman butuh penanganan cepat.
Akhirnya tim dokter memutuskan operasi penyelamatan dengan membuat satu paru-parunya tak
berfungsi, kata Soegiri.
Pasca-operasi, menurut Soegiri, tim dokter berbohong kepada Soedirman. Mereka mengatakan
operasi itu cuma mengangkat satu organ kecil di paru-paru yang menghambat saluran
pernapasan. Sedangkan kata Teguh, dokter memberitahukan ibunya perihal operasi itu. Sejak
itu, Bapak bernapas dengan separuh paru-paru, katanya.
Soedirman Jual Perhiasan Istri Demi Ransum Tentara
Usai menjalani operasi paru-paru pada November 1948, Soedirman hidup dengan sebelah paru.
Ia pun harus mengonsumsi banyak obat. Seperti codeine untuk mengobati gangguan pernapasan
dan kinine bagi penyakit malarianya.
Kata pesuruh Soedirman, Jamaluddin, bentuk obat-obatan itu kecil, serupa kedelai. Warnanya
ada yang biru untuk pencegahan malaria dan merah bila sakitnya parah. Semua itu Pak Dirman
minum dengan air teh tiyung atau teh merek Sruni, ujar Jamaluddin.
Meski sakit, sang Jenderal tidak sulit makan. Bahkan, ia tak pernah memilih-milih menu. Semua
makanan yang disediakan dapur umum dia santap. Pilihan makanannya pun tidak beda dengan

dengan jatah seluruh prajurit. Apalagi waktu itu masa gerilya, semua serba seadanya. Kadang
nasi berteman rebusan daun lembayung, kadang-kadang tempe. Dikasih apa saja Pak Dirman
mau, ujar Jamal.
Ransum untuk Soedirman diantar dalam rantang. Satu rantang untuk sekali makan, diantar
sampai pintu kamar, setiap pagi, siang, dan sore. Tapi sering kali, dari tiga rantang yang dikirim,
hanya satu yang habis. Pak Dirman kerap berpuasa. Karena itu, hanya habis satu rantang.
Sisanya dimakan ramai-ramai oleh teman-teman, kata Jamal.
Sumber makanan tidak hanya dari dapur umum. Penduduk sekitar tempat persembunyian juga
sering mengirimkan ransum. Menunya kadang tiwul dan ketela. Jarang sekali mereka
mendapatkan nasi. Ya, seadanya makanan kampung, ujar Jamal.
Kala itu, tak jarang juga mereka kekurangan makanan. Untuk menutupinya, Soedirman
mengirim sang adik ipar, Hanung Faeni, kembali ke Yogyakarta. Ditemani sopir pribadi
Soedirman, Hainun Suhada, Hanung berjalan kaki untuk menyampaikan pesan sang Jenderal ke
istrinya, Siti Alfiah.
Dalam amanat itu, Soedirman meminta perhiasan Alfiah untuk membiayai perang. Kata anak
bungsu Soedirman, Teguh Bambang Tjahjadi, ayahnya sudah berpesan bila ia akan meminta
perhiasan itu jika dibutuhkan. Perhiasan dibarter ayam dan beras, kata Teguh.
Sumber Tempo

Anda mungkin juga menyukai