RENCANA INDUK
REHABILITASI DAN REKONSTRUKSI
WILAYAH ACEH DAN NIAS, SUMATERA UTARA
BUKU UTAMA
APRIL 2005
Kata Pengantar
Gempa bumi dan tsunami yang melanda sebagian besar wilayah pesisir
Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias di Sumatera Utara pada
tanggal 26 Desember 2004 dan terjadinya gempa bumi di Kepulauan Nias pada
tanggal 28 Maret 2005 yang lalu, telah menimbulkan korban jiwa dan
kerusakan yang sangat dahsyat. Indonesia belum pernah menghadapi bencana
yang sedemikian besar. Bangsa kita berduka dan menangis. Tetapi pada saat
yang sama, bangsa kita juga menunjukkan rasa solidaritas yang sangat tinggi
untuk menolong dan meringankan beban masyarakat di Aceh dan Nias yang
terkena bencana.
Dalam tiga bulan pertama setelah bencana 26 Desember 2004, seluruh tenaga
telah kita kerahkan untuk mengisi tahap tanggap darurat yang bertujuan untuk
menyelamatkan mereka yang masih selamat agar mampu mempertahankan
hidupnya sekalipun dengan kebutuhan hidup yang paling mendasar.
Setelah melampaui tahap tanggap darurat dan kita harus melaksanakan
rehabilitasi, yang kemudian harus dilanjutkan dengan rekonstruksi.
Rehabilitasi bertujuan untuk memulihkan fungsi pelayanan publik yang
membutuhkan waktu sekitar satu atau dua tahun, dan diharapkan tuntas pada
akhir Desember 2006. Rekonstruksi bertujuan untuk membangun kembali
sistem kemasyarakatan, sistem ekonomi, jaringan infrastruktur, dan fungsi
pemerintahan, yang diperkirakan butuh waktu dua sampai lima tahun, dan
diharapkan selesai pada akhir tahun 2009.
Untuk melaksanakan rehabilitasi dan rekonstruksi tersebut, dibutuhkan
perencanaan yang holistik dan komprehensif yang tetap bercirikan
keistimewaan Aceh maupun Nias, dalam bentuk Rencana Induk Rehabilitasi
dan Rekonstruksi Wilayah Aceh dan Nias, Sumatera Utara.
Dokumen ini dapat diselesaikan dalam waktu yang sangat singkat, di tengah
tahap tanggap darurat, karena disusun secara kolaboratif dan dikerjakan
bersama-sama oleh para pihak terkait, baik di pusat maupun daerah, oleh
instansi pemerintah maupun lembaga non pemerintah. Sekali lagi, kita telah
menunjukkan rasa solidaritas dan kebersamaan dalam melakukan perencanaan,
sekaligus upaya mencegah agar di kemudian hari terhindar dari kerusakan
akibat bencana serupa.
Rencana Induk ini terdiri dari Buku Utama dan Buku Rencana Rinci dari 11
bidang terkait.
Selanjutnya, dokumen ini akan digunakan sebagai landasan bagi Pemerintah
Daerah dan Badan Pelaksana Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah Aceh dan
Nias, Sumatera Utara dalam menyusun rencana aksi dan pelaksanaannya.
Jakarta, April 2005
Daftar Isi
Kata Pengantar
Daftar Isi
Bab 1
PENDAHULUAN
1.1
1.2
1.3
1.4
1.5
Bab 2
Latar Belakang
Tujuan
Landasan Hukum
Kerangka Waktu
Sistematika Penulisan Buku Rencana Induk
1-1
1-2
1-3
1-3
1-3
2-1
2-3
2-4
2-6
2-8
2-9
2-9
2-11
2-13
Bab 4
ii
4-4
4-4
4-4
4-6
4-7
4-8
4-9
4-10
4-11
4-12
4-13
4-15
Bab 5
PENATAAN RUANG
5.1 Tujuan
5.2 Kebijakan dan Strategi
5.3 Kebijakan Struktur dan Pola Pemanfaatan Ruang
Provinsi NAD
5.4 Kebijakan Struktur dan Pola Pemanfaatan Ruang
Kabupaten/Kota
5.4.1 Sistem Kota
5.4.2 Struktur Ruang Kota
5.4.3 Kawasan Non Budidaya
5.4.4 Kawasan Budidaya
5.5 Arahan Pemanfaatan Ruang Kabupaten/Kota
5.5.1 Kota Banda Aceh
5.5.2 Kabupaten Aceh Jaya
5.5.3 Kabupaten Aceh Barat
5.5.4 Kabupaten Nagan Raya
5.5.5 Kabupaten Simeulue
5.5.6 Kota Lhokseumawe
5.5.7 Kabupaten Bireuen
5.5.8 Kabupaten Pidie dan Kota Sigli
5.5.9 Kabupaten Nias
Bab 6
5-11
5-11
5-12
5-12
5-12
5-13
5-15
5-17
5-19
5-21
5-24
5-27
5-28
5-32
6-1
6-3
6-5
6-6
Partisipasi Masyarakat
7.1.1 Prinsip dan Definisi
7.1.2 Kebijakan
7.1.3 Mekanisme Pelaksanaan
7.1.4 Model Kelembagaan dan Partisipasi
Masyarakat Aceh
7.2 Partisipasi Swasta
7.2.1 Prinsip dan Definisi
7.2.2 Kebijakan
7.2.3 Mekanisme Pelaksanaan
Bab 8
5-9
Bab 7
5-1
5-1
7-1
7-2
7-3
7-4
7-7
7-11
7-11
7-12
7-12
PENDANAAN
8.1 Kebutuhan pendanaan
8.2 Sumber-sumber pendanaan
8.2.1 APBN
8.2.2 Non APBN
8.3 Mekanisme pengelolaan pendanaan
8.4 Pengadaan Barang dan Jasa
iii
8-2
8-5
8-5
8-6
8-6
8-9
Bab 9
9-1
9-1
9-2
9-3
9-3
9-4
9-4
9-4
9-5
9-5
9-5
Bab 10 KELEMBAGAAN
10.1 Struktur Kelembagaan/Organisasi
10.1.1 Dewan Pengarah
10.1.2 Dewan Pengawas
10.1.3 Badan Pelaksana
10.2 Tata Kelola Yang Baik (Good Governance)
10.3 Hubungan Antar Lembaga
10.4 Pendanaan
10.5 Pertanggungjawaban dan Pelaporan
Bab 11 PENUTUP
iv
10-1
10-1
10-2
10-2
10-3
10-3
10-4
10-4
Bab 1
Pendahuluan
1.1
Latar Belakang
Pada tanggal 26 Desember 2004, suatu gempa bumi yang berskala sangat kuat (8,9 skala
Richter) telah terjadi di Samudera Hindia di lepas pantai barat laut Pulau Sumatera.
Gempa
yang
kemudian
menyebabkan
gelombang
tsunami
ini
telah
memporakporandakan sebagian besar wilayah Aceh dan Nias di wilayah Indonesia,
sebagian wilayah Thailand, Sri Lanka, Maladewa (Maldives), Bangladesh, Burma,
bahkan sampai ke pantai Somalia di Afrika Timur.
Di Aceh dan Nias, bencana gempa dan gelombang tsunami ini telah merusakkan
sebagian besar wilayah pesisir Aceh, menelan banyak korban jiwa, menghancurkan
sebagian besar infrastruktur, permukiman, sarana sosial seperti bangunan-bangunan
pendidikan, kesehatan, keamanan, sosial, dan ekonomi publik, dan bangunan-bangunan
pemerintah. Bencana ini juga telah mempengaruhi kondisi sosial dan ekonomi
masyarakat, termasuk kondisi psikologis, dan tingkat kesejahteraannya.
Berdasarkan informasi terakhir yang diperoleh dari Badan Koordinasi Nasional
Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi (Bakornas PBP) pada tanggal 21
Maret 2005 jumlah korban dari 20 kabupaten di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
(NAD)1 diperkirakan mencapai 126.602 meninggal dunia dan telah dimakamkan, serta
hilang sebanyak 93.638 orang , sementara jumlah korban di Provinsi Sumatera Utara
diperkirakan 130 orang meninggal dan 24 orang hilang2. Dari sumber informasi yang
sama,jumlah pengungsi yang tersebar sebanyak 514.150 jiwa di 21 kabupaten/kota seProvinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Berdasarkan hasil perhitungan, nilai kerusakan dan kerugian di kedua wilayah tersebut
secara total diperkirakan mencapai Rp 41,4 triliun, di mana sebagian besar (78 persen)
merupakan aset hak milik masyarakat (non-publik), sementara sisanya merupakan aset
pemerintah.
Berdasarkan kenyataan tersebut, Pemerintah Republik Indonesia bersama-sama dengan
masyarakat internasional yang bersimpati atas bencana dan dampak yang
ditimbulkannya telah secepatnya melakukan upaya-upaya tanggap darurat (emergency
relieve efforts) yaitu terutama bertujuan untuk menolong korban-korban yang masih
hidup, segera menguburkan jenazah-jenazah untuk mencegah dampak lanjutan, dan
memberi pertolongan cepat untuk menyelamatkan kehidupan sosial-ekonomi
masyarakat yang terkena bencana.
Selanjutnya upaya tanggap darurat segera akan ditindaklanjuti dengan upaya-upaya
rehabilitasi seluruh sendi-sendi kehidupan masyarakat Aceh dan Nias, dan kemudian
1
2
Data Departemen Dalam Negeri per tanggal 9 Maret 2005 pk 06.00 WIB.
Data Bokornas PBP, 14 Maret 2005
1.2
Tujuan
Buku Utama dari Rencana Induk Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Nias ini
dijadikan sebagai pedoman untuk:
1. Membangun kesepahaman dan komitmen antara pemerintah pusat dengan
pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, dunia usaha, masyarakat,
perguruan tinggi/akademisi, LSM, lembaga donor serta masyarakat internasional
dalam membangun kembali Aceh dan Nias ke depan;
2. Menyusun rencana tindak Rehabilitasi dan Rekontruksi Wilayah Aceh dan Nias
pascagempa dan tsunami yang langsung dapat dilaksanakan oleh berbagai pihak
yang terlibat dalam bentuk action plan;
3. Melakukan koordinasi, sinkronisasi dan integrasi rencana dari berbagai sektor, dunia
usaha dan masyarakat (stakeholder) dalam menetapkan Rencana Aksi Rehabilitasi
dan Rekonstruksi Wilayah Aceh dan Nias berdasarkan kerangka waktu, lokasi,
sumber pendanaan dan penanggung jawab pelaksanaannya;
4. Melakukan sosialisasi, diseminasi dan penyebaran data serta informasi kepada
masyarakat lokal, nasional dan internasional tentang bencana alam, dampak
bencana, penilaian kerusakan dan kerugian, penilaian kebutuhan, serta sistem
peringatan dini (early warning system) terhadap ancaman bencana;
5. Menggalang solidaritas, partisipasi, dan keterlibatan berbagai pihak masyarakat
(civil society) dalam rencana dan upaya rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah Aceh
dan Nias melalui dialog dan konsultasi publik;
6. Mengembangkan sistem dan mekanisme mobilisasi pendanaan dari sumber APBN,
APBD, masyarakat dan dunia internasional secara efisien, efektif, transparan,
partisipatif dan dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan prinsip good
governance.
1-2
1.3
Landasan Hukum
Secara legal formal, landasan hukum yang melatarbelakangi penyusunan rencana induk
rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah Aceh dan Nias-Sumatera Utara ini adalah Instruksi
Presiden Nomor 1 Tahun 2005 tentang Kegiatan Tanggap Darurat dan Perencanaan
serta Persiapan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Dampak Bencana Alam Gempa Bumi dan
Gelombang Tsunami di Wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Provinsi
Sumatera Utara, yang diterbitkan pada tanggal 2 Maret 2005.
Rencana induk ini disusun oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan
Nasional/Bappenas melalui kerjasama dengan berbagai pihak terkait, seperti
kementerian/lembaga di tingkat pusat, serta dengan Pemerintah Daerah Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam dan kabupaten/kota se-Aceh dan Kabupaten Nias, Provinsi
Sumatera Utara, serta melibatkan pula berbagai perguruan tinggi yang dikoordinasikan
oleh Universitas Syiah Kuala, komunitas donor internasional, lembaga swadaya
masyarakat (LSM), dan berbagai pihak lainnya yang terkait. Data dan informasi yang
dikumpulkan mencakup berbagai aspek terkait, seperti fisik, ekonomi, sosial, budaya,
agama, demografi, kelembagaan dan kewilayahan.
Penyusunan rencana induk ini juga dilakukan melalui analisis yang holistik,
komprehensif dan terpadu. Khususnya untuk daerah Aceh, penyusunannya
memperhatikan 4 (empat) nilai yang melandasi pembangunan kembali Aceh, yang
terdiri dari nilai kemanusiaan (universalisme), nilai ke-Indonesia-an, nilai ke-Aceh-an,
serta nilai ke-Islam-an. Rencana induk ini juga disusun dengan memperhatikan
Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional 2004-2009, serta RPJM
Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan RPJM Daerah Kabupaten/Kota yang
terkena bencana di wilayah Aceh dan Kabupaten Nias, Provinsi Sumatera Utara.
Khususnya untuk Aceh, adanya beberapa peraturan perundangan yang terkait dengan
aspek pemerintahan dan pembangunan di Nanggroe Aceh Darussalam, khususnya
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Kekhususan Aceh dan Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi NAD, serta dengan adanya
Keputusan Presiden yang melandasi pelaksanaan Darurat Sipil dan Tertib Sipil di Aceh,
juga dijadikan pertimbangan khusus di dalam penyusunan rencana induk rehabilitasi
dan rekonstruksi wilayah Aceh.
1.4
Kerangka Waktu
Rencana induk rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah Aceh dan Nias Sumatera Utara ini
mencakup kurun waktu selama lima tahun yaitu 2004-2009, sejalan dengan kurun
waktu pelaksanaan RPJM. Setelah berakhirnya RPJM 2004-2009, dokumen rencana
induk rehabilitasi dan rekonstruksi ini akan dijadikan acuan bagi penyusunan rencana
tindak lanjut pemulihan dan pembangunan kembali wilayah Aceh dan Nias dalam kurun
waktu yang lebih panjang, termasuk secagai acuan di dalam penyusunan Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
dan Kabupaten/Kota di wilayah Aceh dan Kabupaten Nias di Provinsi Sumatera Utara.
1.5
Rencana induk rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah Aceh dan Nias-Sumatera Utara
secara keseluruhan terdiri dari dua belas buku, yang mencakup satu Buku Utama dan
sebelas Buku Rinci yang meliputi:
1-3
1. Buku Utama
1-4
Bab 2
Dampak Bencana Dan
Upaya Penanggulangan
2.1
Skala bencana yang terjadi dapat dilihat dari besarnya jumlah korban manusia dan
kerusakan yang ditimbulkannya. Sebanyak 16 (enam belas) kabupaten/kota mengalami
kerusakan. Dari seluruh kabupaten/kota yang terkena bencana tsunami, kabupaten/kota
yang mengalami kerusakan terparah adalah Kota Banda Aceh, Kabupaten Aceh Jaya dan
Kabupaten Aceh Besar. Desa yang terkena tsunami sebanyak 654 desa (11,4 persen) dan
diperkirakan persentase keluarga miskin terkena tsunami sebesar 15,16 persen (63.977
KK)1
Sampai saat ini, jumlah korban yang terdata terus meningkat, demikian pula kerusakan
yang berhasil diinventarisasi. Jumlah korban di 15 kabupaten di Provinsi NAD2
diperkirakan mencapai 126.602 meninggal dunia dan telah dimakamkan, serta hilang
93.638 orang (dari jumlah ini diperkirakan sebagian meninggal/berada di pengungsian/di
luar Aceh). Jumlah pengungsi sampai dengan tanggal 21 Maret 2005 adalah sebanyak
514.150 jiwa di 21 kabupaten/kota3. Sementara jumlah korban di Provinsi Sumatera Utara
diperkirakan 130 orang meninggal dan 24 orang hilang4.
Secara keseluruhan, tragedi bencana gempa dan tsunami di Aceh dan Sumatera Utara
tersebut diperkirakan memiliki dampak kerugian sekitar 2,7% dari PDB Nasional atau
lebih dari 97% dari PDRB Provinsi Aceh.
Tabel 2.1. Rangkuman Hasil Penilaian Kerusakan dan Kerugian
Sektor
Sektor sosial, termasuk: perumahan,
pendidikan, kesehatan, agama dan budaya
Kerusakan
13,657
Kerugian
532
Total
16,186
5,915
2,239
8,154
3,273
7,721
8,154
2,346
3,718
6,064
27.191
14,210
41,401
Sumber : Damage and Loss Assessment, Bappenas dan World Bank, 18 Januari 2004
2-1
LHOKSEUMAWE
PIDIE
BIREUEN
ACEH
UTARA
ACEH
JAYA
ACEH
TIMUR
ACEH
TENGAH
ACEH
BARAT
LANGSA
ACEH
TAMIANG
NAGAN
RAYA
GAYO
LUWES
ACEH
BARAT
DAYA
ACEH
SELATAN
ACEH
TENGGARA
Jumlah pengungsi
per kabupaten
0 - 5000
SIMEULEU
5001 - 15000
ACEH
SINGKIL
15001 - 30000
30001 - 60000
60001 - 150000
2-2
Kab/Kota
Banda Aceh
Aceh Besar
Sabang
Pidie
Bireuen
Aceh Utara
Lhokseumawe
Aceh Timur
Langsa
Aceh Tamiang
Aceh Jaya
Aceh Barat
Nagan Raya
Aceh Barat Daya
Aceh Selatan
Aceh Singkil
Simeulue
Bener Meriah
Aceh Tengah
Gayo Lues
Aceh Tenggara
TOTAL
Jumlah Pengungsi
Rumah
Barak/
Penduduk/Tenda
Huntara
Darurat
48,360
1,561
91,157
6,328
3,712
74,404
11,456
46,768
3,035
26,662
450
952
1,542
13,182
527
6,156
3,224
38,217
2,205
70,804
1,885
16,560
480
3,480
16,148
105
18,009
648
5,288
234
611
484,576
29,574
Total
49,921
97,485
3,712
85,860
49,803
27,112
2,494
13,709
6,156
3,224
40,422
72,689
17,040
3,480
16,148
105
18,009
648
5,288
234
611
514,150
Sumber: Laporan Satlak I Lhokseumawe tgl 18 Maret 2005, revisi jumlah pengungsi di hunian sementara
2.1.1
Selain korban jiwa, bencana gempa dan tsunami tersebut juga menyebabkan kerusakan di
berbagai sektor dan bidang kehidupan. Dalam aspek sosial dan kemasyarakatan
kerusakan terjadi antara lain pada bidang pendidikan, kesehatan dan keagamaan. Untuk
aspek pendidikan diperkirakan 1.168 sekolah terkena dampak yang meliputi rusak
ringan, rusak berat ataupun hancur, atau setara dengan 16,1% dari jumlah sekolah yang
ada sebelum bencana. Untuk setiap jenjang pendidikan, kerusakan yang teridentifikasi
adalah 100 TK/RA, 735 SD/MI, 201 SMP/MTs, 109 SMU/SMK/MA, 18 PT/PTA dan 5 SLB.
Keseluruhan kerusakan dan kerugian di bidang pendidikan diperkirakan bernilai Rp.1,0
Triliun.
Untuk aspek kesehatan 6 rumah sakit mengalami kerusakan yaitu: RS Dr. Zainoel
Abidin, RS Jiwa Banda Aceh, RSUD Meuraksa, RSUD Calang dan RS Malahayati dan RS
Permata Hati. Selain itu kerusakan juga antara lain terjadi pada poliklinik 6 unit,
puskesmas 41 unit, polindes 390 unit, puskesmas pembantu 59 unit, politeknik kesehatan
6 unit, kantor dinas kesehatan 3 unit, laboratorium kesehatan, kantor kesehatan pelabuhan
3 unit, gudang farmasi 3 unit, balai besar pengawasan obat dan makanan, dan puskesmas
keliling/ambulan. Keseluruhan kerusakan diperkirakan bernilai Rp.765,9 miliar,
sementara kerugian bernilai Rp.87 miliar5.
Dalam aspek keagamaan kerusakan terjadi pada berbagai tempat ibadah dan fasilitas
kantor Departemen Agama yang mencakup Kanwil Departemen Agama Provinsi Nangroe
5
2-3
Aceh Darussalam, Asrama Haji embarkasi Banda Aceh, Kantor Departemen Agama
Kabupaten/kota dan Kantor urusan Agama (KUA). Tempat ibadah di Aceh yang
mengalami kerusakan terdiri dari 1.069 mesjid dan mushola, 8 gereja, 2 pura/ vihara6.
Sedangkan di Kabupaten Nias tempat ibadah yang mengalami kerusakan adalah 8 gereja, 2
mesjid, 2 rumah dinas pendeta, dan 2 rumah guru pendidikan agama kristen.
Untuk aspek pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak diperkirakan
jumlah perempuan di tempat-tempat pengungsian berkisar 37,1%; yang hamil 0,3% dan
ibu yang menyusui 1%; banyak perempuan harus menjadi kepala keluarga atau menjadi
pencari nafkah utama; proporsi anak diantara populasi pengungsi sekitar 15-25%;
perempuan dan anak di tempat pengungsian memerlukan kebutuhan yang spesifik;
seluruh korban mengalami trauma fisik dan psikis karena banyak orang tua yang
kehilangan anak dan anak yang kehilangan keluarganya; pengungsi telah tersebar ke
beberapa daerah di luar Provinsi NAD, sehingga perempuan dan anak menjadi rentan
terhadap traficking.
2.1.2 Aspek Ekonomi
Dalam aspek perekonomian, bencana menyebabkan kerusakan pada bidang perindustrian
dan perdagangan, koperasi, usaha kecil dan menengah, pertanian dan kehutanan,
perikanan dan kelautan serta ketenagakerjaan.
Perkiraan di bidang ekonomi menunjukkan jumlah Bank Umum terkena tsunami 17,61
persen (25 unit) dan BPR sebanyak 8,89 persen (4 unit). Dari keseluruhan kredit yang
diberikan sektor perbankan sebesar Rp 3.9 triliun, sekitar Rp 2 triliun diperkirakan
menjadi kredit bermasalah (IDB, Januari 2005)7.
Dalam bidang perindustrian, Industri Kecil dan Menengah (IKM) tingkat kerusakan
diperkirakan mencapai rata-rata 65%, industri besar 60%. Terdapat juga kerusakan
infrastruktur Departemen Perindustrian. PT. Semen Andalas Indonesia mengalami rusak
parah. BUMN lain yang juga mengalami kerusakan adalah PT. Pupuk Iskandar Muda dan
PT. ASEAN Aceh Fertilizer. Kerusakan aset industri manufaktur pada skala menengah
diperkirakan mencapai Rp.84 miliar. Selain itu, terdapat 92.000 industri kecil/rumah
tangga di Aceh dan sekitar 12.500 industri kecil/rumah tangga di Nias yang mengalami
kerusakan. Bila diasumsikan rata-rata nilai aset industri kecil/rumah tangga tersebut
sebesar Rp.30 juta maka total nilai kerusakan diperkirakan industri kecil dan mencapai
Rp.3,1 triliun8. Lebih spesifik lagi UMKM yang terkena tsunami sebanyak 20,88 persen
(5.176 unit), hotel 30,41 persen (59 unit), restoran 17,20 persen (1.119 unit), pasar 1,29
persen (195 unit), dan warung sebanyak 16,71 persen (7.529 unit)9.
Fasilitas perdagangan di Aceh yang diperkirakan mengalami kerusakan meliputi 65
kelompok pertokoan, 54 pasar permanen, 69 pasar non-permanen, 69 supermarket, 1
pasar hewan, 19 pasar ikan, 25 bank umum dan 4 bank perkreditan rakyat. Kerusakan juga
menimpa 59 hotel dan tempat penginapan serta usaha kecil yang bergerak di bidang
perkayuan, kulit, besi, keramik, pakaian dan pengolahan makanan10.
Dalam bidang pertanian dan kehutanan, terdapat kerusakan sawah 23.330 ha, dan
lahan tegalan 22.785 ha. Di areal tersebut terdapat tanaman pangan dan hortikultura yang
diusahakan oleh petani setempat. Jaringan irigasi tersier dan kwarter yang mengalami
kerusakan di 31 kecamatan (8 kabupaten) dengan areal irigasi 8.275 ha. Kerusakan
Data Departemen Agama
Dikutip dari buku UNSYIAH for Aceh Reconstruction, 7 Maret 2005
Data Departemen Perindustrian dan Bank Dunia
9 Berdasarkan data dari UNSYIAH for Aceh Reconstruction, 7 Maret 2005
10 Data Mapframe ADB
6
7
2-4
tanaman perkebunan rakyat seluas 43.500 ha yang terdiri dari kelapa 23.533 ha, karet
5.395 ha, kopi 6.242 ha, mete 6.931 ha, kelapa sawit 1.600 ha, pinang 2.761 ha, kakao 2.768
ha, nilam 710 ha, cengkeh 4.600 ha, pala 1.808 ha, dan jahe 218 ha. Di samping itu juga
berbagai peralatan seperti hand traktor, pompa air, traktor besar, alat pengolah nilam,
karet, minyak kelapa, pengolah dendeng dan lainnya ikut rusak. Lahan pertanian
kehilangan kesuburannya akibat lumpur, penggaraman, pasir, erosi, dan sebagainya, di
mana diperkirakan 5000-7000 ha lahan hilang secara permanen.11. Rekapitulasi bidang
pertanian dan kehutanan berdasarkan data Departemen Pertanian adalah sebagai berikut:
Tabel 2.3
NO
1
2
3
4
5
6
7
8
14
15
16
17
18
19
20
Kabupaten dan
Kota
Sabang
Banda Aceh
Aceh Besar
Pidie
Bireuen
Aceh Utara
Kota
Lhokseumawe
Aceh Timur
Aceh Barat
Nagan Raya
Aceh Jaya
Simeulue
Aceh Selatan
Aceh Barat Daya
Aceh Singkil
Jumlah
Sawah
(ha)
Kebun
(pohon)
Ladang
(ha)
4,147
75
5,611
1,859
2,118
1,224
2,119
1,432
7,048
11,304
9,575
Ternak
Hilang
(ekor)
50
9,465
3,072
567
612
32,061
332,505
500,000
238,301
153,961
74,460
27,292
14,950
1,114
251,962
1,560
3,068
79
137,765
156,280
3,080
14,895
12,240
14,937
9,636
3,729
23,330
102,461
24,345
757
1,645
3,410
4,758
1,904,587
Dalam bidang perikanan dan kelautan, Khusus di sektor perikanan, terdapat 19 unit
(0,37 persen) TPI (tempat pelelangan ikan) yang rusak13, dan dari 72 buah Pangkalan
Pendaratan Ikan (PPI) yang tersebar di 8 kabupaten, 32 buah terkena dampak tsunami,
yaitu 5 di kabupaten Aceh Besar, 6 di kabupaten Pidie, 10 di kabupaten Aceh Utara, dan 8
di kabupaten Aceh Barat. Sedangkan di Nias Sumatera Utara, terdapat 1 Pangkalan
Pendaratan Ikan (PPI) di Pasar Sirombu yang terkena dampak tsunami.
Dari 16.070 unit armada perikanan tangkap di Aceh, jumlah armada penangkapan ikan
yang berlokasi di daerah yang terkena dampak tsunami mencapai 9.563 unit, yang terdiri
dari 3.969 unit (41,5%) berupa perahu tanpa motor, 2.369 unit (24,8%) perahu motor
tempel, dan 3.225 unit (33,7%) berupa kapal motor dengan ukuran antara < 5 GT s/d 50
GT.
Sementara itu budi daya tambak di Provinsi NAD tersebar di 11 kabupaten/kota pantai
yang umumnya terkena dampak langsung dari bencana gempa bumi dan tsunami, dengan
luas total sebelum terkena bencana sebesar 36.614 Ha14.
12
2-5
Dalam aspek ketenagakerjaan, dari jumlah angkatan kerja di Aceh sebanyak 2.254.155
orang, diperkirakan 25% kehilangan pekerjaan akibat bencana alam, 30% di sektor
pertanian kehilangan pekerjaan akibat kerusakan lahan dan sekitar 170 ribu orang
kehilangan pekerjaan di sektor UKM. Selain itu, diperkirakan 60.000 pekerjaan hilang
karena kematian tenaga kerja, dan diasumsikan 130.000 nelayan kehilangan pekerjaan,
setidaknya untuk sementara. Total pengangguran diperkirakan akan mencapai 30% di
daerah yang terkena bencana15.
2.1.3 Aspek Infrastruktur
Dampak bencana terhadap aspek infrastruktur mencakup kerusakan pada bidang
perumahan, perhubungan, energi dan ketenagalistrikan, pos dan telekomunikasi, air
minum dan sanitasi, sumber daya air, serta prasarana dan sarana lainnya.
Dalam bidang perumahan total rumah, baik modern, semi modern dan tradisional,
yang mengalami kerusakan diperkirakan berjumlah lebih dari 280 ribu rumah16, baik rusak
total maupun rusak sebagian. Kerusakan cukup berat terjadi di sepanjang Pantai Barat dan
Utara meliputi wilayah Banda Aceh, Aceh Besar, Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya, Pidie,
Bireuen, Aceh Timur, dan Aceh Utara. Keseluruhan kerugian bernilai Rp.13 triliun yang
mencakup nilai kerusakan perumahan tersebut, kerusakan infrastruktur dasar dan
kerusakan peralatan rumah tangga17. Akibat gempa bumi tanggal 28 Maret 2005 kerusakan
juga terjadi di Kabupaten Nias, Nias Selatan di Sumatera Utara dan Kabupaten Aceh
Singkil di NAD.
Bidang perhubungan terdiri dari perhubungan darat, laut, dan udara. Untuk
perhubungan darat, kondisi jalan nasional dan provinsi sebelum bencana gempa dan
tsunami dapat diklasifikasikan 32,7 persen dalam keadaan baik, 35,8 persen mengalami
kerusakan ringan, dan 31,5 persen mengalami rusak berat. Setelah bencana gempa dan
tsunami, kondisi tersebut memburuk menjadi hanya sekitar 28,4 persen dalam keadaan
baik, sedangkan sisanya sebesar 71,6 persen dalam keadaan rusak (35,7 persen rusak
ringan dan 35,9 persen rusak berat). Untuk jembatan, kerusakan diperkirakan mencapai 25
persen dari total jembatan nasional (21.340 m) dan jembatan provinsi (14.015 m)18. Lintas
Barat (Banda Aceh-Lamno-Calang-Meulaboh-Tapak Tuan-Bakongan) kerusakan jalan baik
ringan maupun berat sekitar 280,36 km, berikut jembatan yang rusak sekitar 3.781 m;
Lintas Timur (Banda Aceh-Sigli-Bireuen-Lhokseumawe-Langsa) kerusakan jalan sekitar
243,86 km dan jembatan 1.703 m; pada lintas Lintas Tengah dan Penghubung Lintas
Barat-Timur terjadi kerusakan jalan sekitar 337,54 km dan jembatan sepanjang 150 m;
serta kerusakan pada ruas jalan lain sekitar 763,35 km dan jembatan 340 m. Sementara di
provinsi Sumatera Utara khususnya Nias Jalur Lolowau-Sirombu dan TuhemberuaLahewa mengalami kerusakan badan jalan sepanjang sekitar 5 km, dan kerusakan lantai
maupun oprit pada beberapa jembatan.
Di samping itu, pada tiga kota besar yaitu Banda Aceh, Meulaboh, Lhokseumawe sebagian
besar terminal bus mengalami kerusakan berat, sedangkan terminal bus di Sigli, Langsa,
Bireuen, Gunung Sitoli, dan Perum Damri Banda Aceh mengalami kerusakan dalam
tingkat yang bervariasi antara rusak ringan dan sedang. Kerusakan juga terjadi pada
jembatan timbang, Unit Pemeriksaan Kendaraan Bermotor (PKB), serta rambu dan marka
jalan.
16
2-6
Pelabuhan laut dan ASDP (Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan) memiliki kondisi
kerusakan yang bervariasi, di samping beberapa pelabuhan dalam kondisi laik operasi.
Kerusakan terutama terjadi pada di pelabuhan sepanjang Pantai Barat dan Pantai Utara.
Pelabuhan yang mengalami kerusakan berat antara lain Malahayati, Ulee Lheue, Calang,
dan Melulaboh, sedangkan kerusakan ringan terjadi di Pelabuhan Sabang, Lhokseumawe,
Susoh, Tapak Tuan, Singkil, Sinabang, Balohan, Labuhan Haji, Lamteng, Pulau Banyak,
dan Singkil.
Beberapa prasarana pelabuhan udara mengalami kerusakan ringan dan kerusakan berat,
sedangkan beberapa dalam kondisi laik operasi. Bandara Cut Nyak Dien-Meulaboh dalam
kondisi runway patah dan retak; Bandara Maimun Saleh-Kota Sabang memiliki kondisi
landasan yang baik namun sistem komunikasi rusak; Bandara Sultan Iskandar MudaBanda Aceh dalam kondisi landasan yang baik namun tower rusak; Bandara Cut Ali-Tapak
Tuan dalam kondisi laik operasi; Bandara Lasikin-Sinabang mengalami penurunan
landasan pacu; Bandara Malikul Saleh-Lhok Seumawe dalam kondisi laik operasi; serta
Bandara Rembele-Takengon dalam kondisi laik operasi.
Bidang energi dan ketenagalistrikan dalam kondisi kerusakan serta penurunan
tingkat operasi yang bervariasi. Secara umum semua daerah kerja unit cabang kelistrikan
mengalami kerusakan sistem yang meliputi Pembangkitan (PLTD), sistem Distribusi, dan
Sarana penunjang lainnya. Daerah terberat yang mengalami kerusakan adalah daerah kerja
PLN Cabang Banda Aceh yang meliputi Kodya Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar,
serta daerah kerja Cabang Meulaboh yang meliputi Kabupaten Aceh Jaya, Aceh Barat dan
Nagan Raya. Kerusakan pada jaringan distribusi meliputi: (i) Jaringan Tegangan m-sistem
yang terisolasi terutama di wilayah NAD bagian tengah dan wilayah NAD bagian barat. Ja
Menengah (JTM) sepanjang 1.046 kms (11,76 persen); (ii) Jaringan Tegangan Rendah
(JTR) sepanjang 2.394 kms (21,61 persen); (iii) Gardu Distribusi sebanyak 736 buah (16,24
persen); (iv) Sambungan Rumah (SR) sebanyak 119.253 pelanggan (18 persen); dan (v)
Gardu Hubung (GH) sebanyak 6 buah (7,44 persen). Kerusakan pembangkit meliputi 16
unit mesin pembangkit diesel (PLTD) atau 7,44 persen; sedangkan kerusakan lainnya
meliputi meter elektronik sebanyak 246 buah (41,48 persen) dan gedung kantor sebanyak
6 buah.
Dalam bidang energi, kerugian akibat bencana tsunami terjadi terutama pada Kreung
Raya dan Meulaboh. Selain itu, terdapat beberapa Depot yaitu di Lhokseuwawe, Gunung
Sitoli dan Sabang mengalami kerusakan yang relatif kecil. Kantor Pertamina di Banda Aceh
mengalami kerusakan yang cukup parah. Kerusakan jaringan pengisian bahan bakar
terjadi di beberapa tempat terutama di Banda Aceh yaitu sebanyak 3 unit SPBU; 3 SPBN di
Lamputo, Sigli dan Meulaboh; 3 unit SPDN di beberapa KUD, kehilangan 17 mobil tangki
kerosin, serta lebih kurang 12.500 tabung Elpiji @12 kg dan ratusan dos minyak pelumas.
Dalam bidang pos dan telematika, terdapat 19 kantor pos yang mengalami kerusakan
berat bahkan sebagian diantaranya rata dengan tanah. Fasilitas telekomunikasi seluler
milik PT. Indosat, PT. Telkomsel, PT. Telkom, dan PT. PSN banyak yang mengalami
kerusakan, terutama pada dudukan BTS di wilayah pantai barat serta jaringan fix-phone
pada area bencana. Kerusakan fasilitas telepon pedesaan dengan teknologi PFS di Provinsi
Nangroe Aceh Darussalam sebanyak 66 SST, di Nias-Sumut sebanyak 6 SST. Sedangkan
kerusakan fasilitas telekomunikasi yang menggunakan teknologi radio sebanyak 62 SST di
Provinsi NAD dan 9 SST di Nias-Sumut.
Dalam bidang air minum dan sanitasi, kerusakan mencakup jaringan penyediaan air
minum, penanganan air limbah, persampahan, serta drainase, dengan tingkat kerusakan
bervariasi dari 10% sampai dengan 90%. Kerusakan tersebut antara lain terjadi pada
bangunan intake, instalasi (unit Instalasi Pengolahan Air /IPA), jaringan pipa distribusi air
minum, fasilitas Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT), serta fasilitas Tempat
2-7
Pembuangan Akhir (TPA). Di samping itu, jaringan drainase makro dan mikro hampir
seluruhnya tidak berfungsi akibat tertutup oleh pasir, lumpur, dan puing-puing bangunan.
Dalam bidang sumber daya air, kerusakan lahan beririgasi mencapai sekitar 33.142 ha
yang terdiri dari daerah irigasi di wilayah pantai 13.698 ha dan wilayah non-pantai 19.444
ha; kerusakan prasarana sungai sepanjang 46,20 km, baik sungai besar, menengah
maupun kecil; serta bangunan pengamanan pantai sepanjang 35,06 km. Kerusakan
prasarana dan sarana sumber daya air terutama terkonsentrasi pada daerah pantai Barat
dan pantai Timur Laut Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Kerusakan berat terjadi pada
bangunan-bangunan pengendali banjir termasuk sistem pemecah gelombang. Dari
penginderaan satelit, bangunan pengendali banjir yang baru dikerjakan di muara Krueng
Aceh telah mengalami rusak berat sepanjang lebih dari 2 kilometer ke arah darat.
2.1.4 Aspek Pemerintahan
Dalam aspek pemerintahan, kerusakan/kerugian mencakup : (a) aparatur daerah dan
pusat, kepala daerah dan anggota DPRD ; (b) sarana prasarana pemerintahan mulai
tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan, Mukim dan Kelurahan/Desa; dan (c) batas
administrasi.
(a) Aparatur daerah dan pusat, kepala daerah dan anggota DPRD, berdasarkan data dari
lapangan, jumlah aparat pemerintah daerah di seluruh di Provinsi NAD (Provinsi,
Kabupaten/Kota) berjumlah 76.655 orang aparat. Dari jumlah tersebut aparat yang
meninggal dunia sebanyak 2.992 orang, sementara yang dilaporkan hilang sebanyak
2.274 orang. Sedangkan kepala daerah yang meninggal adalah Walikota Banda Aceh,
dan pejabat yang masih hilang adalah Bupati Aceh Barat Daya. Sementara Anggota
DPRD Provinsi yang meninggal 3 orang dan Anggota DPRD Kabupaten Aceh Barat 1
orang. Aparatur pusat yang terdata antara lain: BPN meninggal 40 orang, Kejaksaan
Agung 105 orang, TNI meninggal 63 orang dan hilang sebanyak 302 orang, dan Polri
meninggal 170 orang dan hilang 952 orang.
(b) Bangunan sarana dan prasarana gedung perkantoran di wilayah Nanggroe Aceh
Darussalam pasca bencana yang mengalami tingkat kerusakan relatif tinggi terdapat di
4 kabupaten dan tingkat provinsi: (1) Pemerintah Provinsi NAD, (2) Kota Banda Aceh,
(3) Kabupaten Aceh Barat, (4) Kabupaten Aceh Besar dan (5) Kabupaten Aceh Jaya.
Pada tingkat kecamatan, yang tidak berfungsi 24 Kecamatan dari 241 kecamatan.
Kabupaten/Kota yang jumlah kecamatannya lebih dari 50 % masih belum berfungsi
adalah Kabupaten Aceh Jaya. Pada tingkat desa/kelurahan, yang tidak berfungsi
sebanyak 640 kelurahan/desa dari 5.947 desa/kelurahan yang ada. Berdasarkan data
terakhir, akibat gempa pada tanggal 28 Maret 2005, kerusakan bangunan juga terjadi
pada Kantor Bupati Kabupaten Simeuleu. Sedangkan kerusakan bangunan pada
Kabupaten Nias yaitu rusaknya 1 kantor bupati dan 4 kecamatan.
(c) Administrasi Wilayah. Bencana yang terjadi telah menyebabkan adanya perubahan
batas administrasi wilayah. Perubahan luas wilayah yang cukup besar terjadi di Banda
Aceh, yaitu mencakup sampai 67 % dari luas awal. Sedangkan untuk wilayah desa,
rata-rata mengalami perubahan akibat desa yang tenggelam sekitar 10% sampai 20%,
dengan perubahan terbesar terdapat pada Desa Ule Lhee (dari 67 Ha menjadi 54 Ha)
dan Desa Alue Naga (dari 242 Ha menjadi 194 Ha).
Perkiraan kerugian di aspek pemerintahan adalah sebesar Rp. 338,835 Milyar akibat
kerusakan gedung pemerintahan tingkat provinsi, kabupaten/kota, kecamatan,
kelurahan/desa, rusaknya peralatan dan dokumen serta hilang dan meninggalnya aparatur
pemerintah daerah.
2-8
2.2
20
2-9
2 - 10
2 - 11
Perhatian masyarakat internasional juga begitu besar, hal ini ditunjukkan dengan besarnya
kesediaan (commitment) para donor multilateral dan bilateral, disamping itu juga dari
masyarakat di berbagai negara untuk membantu. Khususnya untuk upaya tanggap darurat
saja, tercatat sekitar lebih 700 juta dollar Amerika telah disampaikan oleh berbagai donor
kepada pemerintah Indonesia dalam berbagai kesempatan.
Pada 6 Januari 2005, atas inisiatif PM Singapura Lee Hsien Long, diadakan pertemuan
internasional di Jakarta yaitu Asean Leaders Meeting On Aftermath of Tsunami Disaster,
yang dibuka oleh Presiden RI, dihadiri oleh Sekjen PBB Kofi Annan, Menlu AS, PM
Australia John Howard, PM Malaysia H. M. Abdullah Badawi, Presiden Laos, Thailand, Sri
Lanka, India, negara-negara lainnya yang terkena bencana serta perwakilan baik dari
lembaga donor multilateral (WB, ADB, UN, dll) maupun dari lembaga donor bilateral (AS,
Jepang, Belanda, dll)
Dalam rangka untuk menjalankan upaya tanggap-darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi
Aceh dan Sumut secara sistematis dan menyeluruh, pemerintah melakukan koordinasi
penanganan sebagai berikut:
(a) Koordinasi pelaksanaan upaya pertolongan dan penyelamatan serta perbaikan pada
tahap tanggap darurat (emergency response), dilaksanakan oleh Bakornas PBP dengan
membentuk Posko Nasional Bencana Aceh, Posko Daerah di Banda Aceh, dan
Satkorlak-satkorlak.
(b) Koordinasi perencanaan rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana alam Aceh dan
Sumut, dilaksanakan oleh Kantor Menteri Negara Perencanaan Pembangunan
Nasional/Bappenas dengan memobilisasi berbagai potensi dan tim di berbagai
departemen/LPND, universitas dan juga masyarakat.
(c) Koordinasi pelaksanaan pada tahap rehabilitasi dan rekonstruksi dijalankan oleh
Menteri Koordinator Perekonomian beserta instansi-instansi terkait.
2 - 12
PEMULIHAN / RECOVERY
DARURAT
Jangka mendesak : 0 bulan ke 3
TANGGAP DARURAT
- RELIEF
Sasaran :
Penyelamatan dan
pertolongan
kemanusiaan
Penyelamatan
Tanggap Darurat
Pemakaman jenazah
Penyediaan makanan
dan obat-obatan
Perbaikan prasarana
dan sarana dasar
REHABILITASI
Sasaran:
Memperbaiki pelayanan
publik pada tahap yg
memadai
Prasarana dan
sarana Umum
REKONSTRUKSI
Sasaran :
Membangun kembali
masyarakat dan
kawasan
Sarana Ekonomi
Perbankan dan
Keuangan
Rawatan Traumatis
Penegakkan Hukum
Perumahan
sementara
Ekonomi (sektor
produksi,
perdagangan,
perbankan)
Sistem Transportasi
Sistem
Telekomunikasi
Tatanan sosial dan
budaya
Kapasitas institusi
Permukiman
2 - 13
2 - 14
Bab 3
Prinsip-Prinsip Dasar
dan Kebijakan Umum
Pokok-pokok uraian pada bab ini adalah tentang visi dan misi, prinsip-prinsip dasar serta
strategi umum yang akan ditempuh dalam pelaksanaan rencana induk rehabilitasi dan
rekonstruksi Nanggroe Aceh Darussalam dan Nias, Sumatera Utara. Uraian tersebut
dirumuskan berdasarkan kebijakan dan strategi yang tercantum di dalam buku-buku
rencana rinci, dengan tujuan untuk menggaris-bawahi pokok-pokok kebijakan yang perlu
dipertimbangkan dalam pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi.
3.1.
Visi dan misi rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh yang telah disepakati adalah :
Visi pembangunan kembali Aceh Masa Depan adalah terwujudnya masyarakat Aceh yang
maju, adil, aman, damai, sejahtera berlandaskan nilai-nilai ajaran Islam serta memiliki
harkat dan martabat Aceh dalam wawasan NKRI dan universal.
Untuk mencapai visi tersebut misi yang akan dilakukan adalah:
1. Melaksanakan syariat Islam secara kaffah dalam seluruh aspek kehidupan.
2. Meningkatkan mutu sumberdaya manusia yang unggul dalam penguasaan ilmu
pengetahuan dan teknologi (Iptek) serta iman dan taqwa (imtaq).
3. Mengembangkan dan mengelola sumberdaya alam secara arif dan sesuai dengan daya
dukungnya.
4. Membangun tatanan ekonomi daerah yang unggul dan kompetitif serta adil
berlandaskan ekonomi kerakyatan.
5. Membangun sistem infrastruktur yang handal dan efisien.
6. Mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai budaya dan adat istiadat Aceh yang
menunjang pembangunan yang berkelanjutan.
7. Meningkatkan kemampuan birokrasi pemerintahan daerah yang profesional, berwibawa
dan amanah.
8. Memperkuat pemahaman masyarakat tentang berwawasan berbangsa dan bernegara
dalam wadah NKRI serta masyarakat dunia
9. Memperkuat pelaksanaan kewenangan pemerintah daerah sesuai Undang Undang no. 18
tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Visi dan misi rehabilitasi dan rekonstruksi Nias yang telah disepakati adalah:
Visi pembangunan kembali Nias Masa Depan adalah terwujudnya masyarakat Nias yang
maju, adil, aman, damai, sejahtera berlandaskan nilai-nilai budaya dalam kerangka NKRI.
Untuk mewujudkan visi dan misi tersebut, maka rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah Aceh
dan Nias, Sumatera Utara dilaksanakan atas dasar prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Berorientasi pada masyarakat dan partisipatif
2. Pembangunan berkelanjutan, yang mengutamakan keseimbangan aspek kelayakan
ekonomi (economically viable), diterima secara sosial (socially acceptable), dan ramah
lingkungan (environmentally sound).
3. Holistik, pembangunan kembali Aceh dan Nias harus mempertimbangkan seluruh
aspek kehidupan dan berdasarkan pada strategi yang komprehensif .
4. Terpadu, koordinasi dan strategi yang efektif untuk menjamin konsistensi dan
keefektifan antara program sektoral dan regional di tingkat nasional maupun daerah.
5. Efisien, transparan, dan akuntabel
6. Adanya monitoring dan evaluasi yang efektif.
7. Sesuai dengan Undang Undang Nomor 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam dan Undang-Undang Nomor 44 tahun 1999 tentang
kekhususan Aceh.
8. Prioritas akan diberikan untuk melindungi dan membantu anggota masyarakat korban
bencana yang paling rentan, khususnya anak-anak dan janda, penyandang cacat, mereka
yang telah kehilangan rumah dan harta-benda, masyarakat miskin, dan mereka yang
telah kehilangan pencari nafkah utama dalam keluarga.
9. Rencana Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh dan Nias, Sumatera Utara diprioritaskan
pada daerah-daerah yang terkena bencana.
3.3
Kebijakan Umum
1.
2.
3-2
Pembangunan
Kembali
Infrastruktur
dan
Perumahan
dengan
mendahulukan pemulihan fungsi prasarana dasar seperti jalan, pelabuhan udara dan
laut, prasarana dan sarana telekomunikasi, pemulihan pengadaan listrik, air bersih
dan perumahan.
4.
Penjabaran kebijakan umum tersebut ke dalam kegiatan dalam tahap tanggap darurat,
rehabilitasi, dan rekonstruksi dilakukan dengan mempertimbangkan arahan penataan ruang
di wilayah Aceh dan Nias, Sumatera Utara yang berazaskan pembangunan berkelanjutan.
Gambar 3.1
Pemerintahan
ZONING
PELAKSANAAN
KRITERIA
DESAIN
STANDAR
PROSEDUR
Waktu
LINGKUNGAN
HIDUP
Pelaksana
PERTANAHAN
Kegiatan
Infrastruktur
INTEGRASI SPASIAL
Emergensi, Rehabilitasi,
Rekonstruksi
TATA RUANG
RENCANA KERJA
PEMBANGUNAN
BERKELANJUTAN
Masyarakat
Ekonomi
Pendanaan
Kebijakan Regional
Lokasi
Kebijakan Bidang
Integrasi kebijakan sektoral dan regional dijabarkan dalam rencana kerja berdasarkan
lokasi, kegiatan yang dilakukan, pelaksana kegiatan, waktu pelaksanaan, dan sumber dana.
Setiap tahap mulai dari tahap penetapan kebijakan, strategi, pengembangan wilayah,
penetapan rencana kerja, pelaksanaan, dan monitoring dan evaluasi melibatkan aspirasi,
harapan dan partisipasi masyarakat.
3-3
Bab 4
Kebijakan dan
Strategi Bidang
Dalam kebijakan dan strategi yang akan dituangkan dalam rencana rehabilitasi dan
rekonstruksi di Aceh dan Nias, hal pertama yang harus dilakukan adalah pengamatan
terhadap permasalahan yang ada, baik dari segi kualitas maupun kuantitas sehingga nanti
akan memberikan gambaran yang utuh terhadap masalah yang ada.
Permasalahan yang ditimbulkan oleh bencana gempa dan tsunami di Aceh dan Nias,
Sumatera Utara pertama-tama dapat dikategorikan kedalam tiga kelompok: masalah yang
timbul pada manusia sebagai individu; manusia sebagai makhluk sosial yang berinteraksi
dengan lingkungan sekitarnya; dan masalah yang timbul sebagai pendukung kehidupan
manusia.
Dengan mengkategorikan permasalahan tersebut ke dalam tiga masalah besar tersebut,
maka proses pemulihan dari permasalahan-permasalahan tersebut bisa dikategorikan baik
dari segi prioritasnya mana yang perlu ditangani, maupun dari segi bidang-bidang yang
tepat untuk menanganinya.
Secara umum permasalahan utama paska gempa dan tsunami di Aceh dan Nias, Sumatera
Utara adalah jumlah korban yang sangat banyak dan kerusakan fisik yang masif. Jumlah
korban baik yang telah meninggal dan hilang maupun yang masih hidup memberikan
permasalahan ikutan yang sangat kompleks dimana perlu penanganan yang terpadu.
Demikian juga kerusakan skala masif dari sarana dan prasarana memperburuk keadaan
ratusan ribu korban tersebut
Bila terjadi suatu bencana, penyembuhan pertama yang dilakukan adalah terhadap Manusia
Sebagai Individu yang merupakan pusat permasalahan prioritas yang perlu ditangani segera.
Ada empat upaya penyembuhan yang secara serentak harus dilakukan terhadap setiap
individu manusia yang terkena bencana, yaitu:
(1) Pemulihan spiritual (spiritual healing), yaitu penyembuhan terhadap spiritual, sikap
ridha terhadap bencana yang dihadapi. Intinya hanya dengan mengingat Allah hati akan
menjadi tenang.
(2) Pemulihan emosional (emotional healing), yaitu penyembuhan terhadap emosi
seseorang seperti dari kejadian traumatik yang dihadapi, termasuk kehilangan orangorang yang dicintai, dan kehilangan akan harta yang dimiliki. Dalam penyembuhan
emosional, pemberian semangat hidup dan bangkit kembali menjadi sangat penting.
(3) Penyembuhan fisik (physical healing), yaitu penyembuhan terhadap fisik manusia.
(4) Penyembuhan terhadap kemampuan otak manusia (intelligential healing)
Dapat disimpulkan bahwa terhadap korban yang masih hidup berbagai masalah akan timbul
seperti masalah kerentanan terhadap kepercayaan terutama untuk anak-anak;
ketidakstabilan emosional masyarakat rentan (anak-anak, perempuan, orang tua dan cacat);
keadaan fisik korban yang perlu penanganan segera, dan juga keadaan pendidikan yang
terlalu lama fakum, serta pemenuhan kebutuhan dasar pangan, sandang dan perumahan
perlu penanganan prioritas.
Secara kolektif, Manusia Sebagai Makhluk Sosial, permasalahannya lebih kompleks karena
banyak keterkaitan bidang-bidang yang perlu penangangan terpadu untuk mengatasinya.
Beberapa pertanyaan yang perlu jalan keluar dari permasalahan yang berkaitan dengan
permasalahan kolektif manusia ini adalah:
(1) hubungan antar manusia, bagaimana memulihkan hubungan adat, sosial dan budaya
antar anggota masyarakat Aceh dan Nias;
(2) bagaimana memulihkan pelayanan masyarakat di Aceh dan Nias seperti pelayanan
kesehatan, pendidikan, keagamaan, pemerintahan dll dimana kebanyakan tenaga
pelayanan tersebut menjadi korban baik meninggal/hilang maupun hidup tetapi masih
mengalami trauma;
(3) bagaimana mengembalikan kehidupan ekonomi di Aceh dan Nias, apakah dengan
memberikan bantuan keuangan baik pada bantuan pada penggantian tanah, perumahan,
maupun bantuan pemulihan sarana produktif masyarakat;
(4) bagaimana memberikan kepastian hukum pada masyarakat misalnya terhadap hak
kepemilikan tanah;
(5) bagaimana memberikan rasa aman kepada masyarakat.
Permasalahan individu dan kolektif manusia tersebut tidak akan terentaskan secara
menyeluruh kalau permasalahan faktor-faktor pendukung juga tidak dipecahkan.
Permasalahan-permasalahan faktor pendukung tersebut menyangkut permasalahan
infrastruktur fisik dan permasalahan infrastruktur kelembagaan.
Dengan pendekatan ini kita berusaha melihat kesatuan dan keterkaitan permasalahan yang
dihadapi sehingga nanti bisa menentukan kebijakan dan strategi apa yang harus diputuskan.
Jadi ada dasar yang harus dipedomani dalam pengambilan keputusan kebijakan dan
strategi. Dengan pendekatan ini terlihat bahwa semua upaya rehabilitasi dan rekonstruksi
terfokus kepada manusianya apakah pemulihan langsung terhadap manusia itu sendiri,
pemulihan terhadap lingkungan sekitarnya baik interaksi dengan manusia lain maupun
interaksi lingkungan dengan faktor-faktor pendukung yang ada.
4-2
Prasarana Pendukung
Manusia sebagai Makhluk Sosial
HUKUM
SOSIAL
KETAHANAN
EKONOMI
KEAMANAN
KELEMBAGAAN
MASYARAKAT (ADAT)
INFRASTRUKTUR
KELEMBAGAAN
INFRASTRUKTUR
FISIK
Berdasarkan pada pendekatan di atas, kebijakan umum yang diambil akan terkait dengan:
(1) Membangun kembali masyarakat Aceh dan Nias, Sumatera Utara baik kehidupan
individu maupun sosialnya;
(2) Membangun kembali perekonomiannya sehingga dapat berusaha sebagaimana
sebelumnya;
(3) Membangun kembali infrastruktur kelembagaan dan infrastruktur fisik
(4) Memulihkan kembali pemerintahan sebagai sarana pelayanan masyakarat.
4-3
4.1
Dalam membangun kembali masyarakat Aceh dan Nias, Sumatera Utara, hal-hal yang
menjadi bagiannya adalah pemulihan spiritual/keagamaan masyarakat dan kehidupan sosial
budaya (adat), pemulihan kesehatan masyarakat, pemulihan pendidikan, ketahanan
masyarakat, hukum, dan ekonomi.
4.1.1
Agama
4-4
4-5
4-6
4.1.4 Pendidikan
Beberapa permasalahan pokok pendidikan akibat bencana adalah:
(1) Banyaknya peserta didik, pendidik, dan tenaga pendidikan yang meninggal
dan hilang menyebabkan kegiatan belajar mengajar terhenti sementara dan sampai
sekarang belum sepenuhnya dapat dilaksanakan secara normal.
(2) Banyaknya kerusakan sarana dan prasarana pendidikan pada semua jalur,
jenis dan jenjang pendidikan menyebabkan terbatasnya fasilitas pendidik yang dapat
digunakan bagi peserta didik yang selamat.
(3) Banyaknya anak-anak yang kehilangan orang tua dan keluarga serta tempat
tinggalnya menuntut perhatian semua pihak untuk dapat menjamin kelangsungan
pendidikan mereka dengan tetap memperhatikan kasih sayang yang dibutuhkan serta
upaya untu menyediakan tempat tinggal bagi mereka.
(4) Rusaknya materi bahan ajar dan peralatan pendidikan seperti buku pelajaran,
buku perpustakaan, dan alat peraga pendidikan menyebabkan menurunnya kualitas
proses belajar mengajar.
(5) Banyaknya pendidik dan tenaga kependidikan yang kehilangan tempat
tinggal mengakibatkan mereka tidak mampu melaksanakan tugas dengan baik.
(6) Cukup banyak tenaga kependidikan di institusi pengelola pendidikan seperti
Dinas Pendidikan dan Kantor Wilayah Departemen Agama baik di tingkat provinsi
maupun kabupaten/kota yang meninggal atau hilang menyebabkan fungsi-fungsi
pengelolaan pendidikan termasuk perencanaan kurang berjalan dengan baik
(7) Banyaknya masyarakat yang kehilangan mata pencaharian akibat bencana
yang terjadi menuntut perlunya penyediaan pelayanan pendidikan
keterampilan baik melalui jalur formal dan non-formal agar mereka lebih siap untuk
bekerja kembali.
4-7
4-8
4-9
f.
4 - 10
(4) Peradilan
a. Belum selesainya proses perkara perdata dan pidana sebelum tsunami (yang sedang
diproses ketika bencana datang)
b. kompleksitas prosedur hukum acara perdata dan pidana
c. Belum berkembangnya lembaga adat sebagai alternatif penyelesaian sengketa
d. Masih terbatasnya sarana dan prasarana pengadilan/ Mahkamah Syariyah
e. Masih terbatasnya bantuan hukum bagi masyarakat
f. Belum adanya ketentuan mengenai narapidana yang hilang/meninggal akibat
tsunami
Kebijakan dan strategi hukum
(1) Kebijakan yang akan dilakukan untuk menyelesaikan berbagai masalah di keperdataan,
pidana, status identitas, perikatan, dan pemerintahan adalah dengan mewujudkan
jaminan kepastian, perlindungan, penegakan hukum dan HAM, melalui
strategi:
a. Pemulihan dan pemberian hak-hak keperdataan serta penerbitan kembali alat bukti
haknya.
b. Pemulihan hak-hak yang berkaitan dengan hukum publik.
c. Pemberian kembali dokumen identitas.
d. Pemberian status hukum Baitul Maal sebagai subyek hukum, Provinsi NAD.
e. Pemberdayaan lembaga adat sebagai instrumen penyelesaian sengketa di luar
pengadilan.
(2) Kebijakan yang akan dilakukan untuk mengembalikan fungsi dan tugas
pelayanan hukum melalui strategi:
a. Mobilisasi tenaga hakim dan tenaga peradilan lainnya serta jaksa dari daerah lain.
b. Merehabilitasi dan membangun kembali sarana dan prasarana pengadilan dan
kejaksaan serta sarana pendukung lainnya.
(3) Kebijakan yang akan dilakukan adalah dengan menyusun payung hukum untuk
mendukung pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi dengan memperhatikan
pengarusutamaan kesetaraan jender melalui strategi: menyusun substansi Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) untuk pelaksanaan rehabilitasi dan
rekonstruksi di bidang: Pertanahan dan tata ruang; Ekonomi dan Ketenagakerjaan; dan
Hukum.
4.1.8 Kelembagaan Agama Dan Adat Dalam Kegiatan Sosial Masyarakat
Permasalahan pokok kelembagaan agama dan adat terutama di masyarakat Aceh antara
lain:
(1) Tidak berfungsinya kelembagaan adat dan masyarakat yang telah ada sejak
dahulu dan diperkuat keberadaannya oleh UU No. 18/2001. Saat ini dengan tercerai
berainya dan berkurangnya ketua-ketua dan anggota lembaga agama, adat, dan sosial
lainnya tingkat mukim dan gampong (akibat bencana) menyebabkan tidak optimalnya
lembaga adat yang ada.
(2) Berkurangnya serta rusak dan musnahnya sarana lembaga agama, adat, dan
sosial tingkat mukim dan gampong (meunasah dan bale), menyebabkan
kegiatan sosial dan budaya tidak berjalan sebagaimana mestinya.
4 - 11
menjadi
kendala
bagi
4.2
Bencana alam yang terjadi di Aceh dan Nias, Sumatera Utara menyebabkan lumpuhnya
kegiatan ekonomi yang disebabkan:
(1) Rusaknya hampir semua sarana kegiatan ekonomi masyarakat, antara lain
a. Rusaknya sarana pelayanan masyarakat yang berkaitan dengan kegiatan perikanan
dan pertanian seperti pelabuhan ikan, pusat-pusat penjualan perikanan dan
pertanian, serta saluran irigasi.
b. Rusaknya sarana produksi masyarakat meliputi antara lain sekitar 10.000 perahu
nelayan yang terdiri dari 42% perahu tanpa motor dan 58% perahu dengan motor.
(2) Tidak berfungsinya sistem keuangan termasuk perbankan yang disebabkan oleh
rusaknya berbagai sarana perbankan serta hilangnya kegiatan ekonomi yang didukung
oleh perbankan
4 - 12
kegiatan
usaha
yang
menyebabkan
meningkatkan tingkat
4.3
Permasalahan Pokok
Bencana gempa dan tsunami telah menyebabkan kerusakan infrastruktur dan perumahan
dalam skala masif. Hal tersebut telah menimbulkan dampak sebagai berikut:
1. Hancurnya perumahan serta prasarana dan sarana pemukiman yang
mengakibatkan ratusan ribu penduduk kehilangan tempat tinggal, menurunnya kualitas
kesehatan masyarakat, serta rusaknya sistim lingkungan yang berpotensi menimbulkan
bencana lingkungan (enviroment disaster).
4 - 13
4 - 14
4.4
Permasalahan Pokok
Permasalahan di dalam penyelenggaraan pemerintahan adalah:
(1) Terjadinya permasalahan individual dan traumatik para PNS akibat
kehilangan anggota keluarga ataupun harta benda.
(2) Kurangnya pegawai khususnya pada beberapa Provinsi/Kabupaten/ Kota.
(Meninggalnya guru dan tenaga kesehatan menyebabkan proses belajar mengajar dan
pelayanan kesehatan dasar tidak dapat berjalan dengan baik di beberapa wilayah)
(3) Meninggalnya Kepala Daerah dan Anggota Legislatif menyebabkan hilangnya
kepemimpinan daerah serta beberapa kepala daerah yang habis masa baktinya.
(4) Banyaknya sarana dan prasarana pemerintahan yang tidak berfungsi dan
rusak terutama untuk tingkat kecamatan dan kelurahan/desa/mukim menyebabkan
turunnya pelayanan pemerintahan dan pelayanan umum kepada masyarakat.
(5) Hilangnya wilayah dan beberapa desa akibat bencana tsunami menyebabkan
berubahnya luas dan batas wilayah administrasi.
(6) Tidak kondusifnya penyelenggaraan pemerintahan akibat adanya gangguan
keamanan.
4 - 15
tingkat kecamatan/mukim
j.
4 - 16
Menciptakan dan
pemerintahan.
meningkatkan
koordinasi
serta
kerjasama
antar
tingkat
daerah
yang
permanen
berdasarkan
b. Menyediakan sarana kerja pemerintah daerah dan peralatan mitigasi bencana untuk
mendukung pelayanan publik.
c. Memfasilitasi dan mendukung ketersediaan sarana dan prasarana trauma centre,
sistem kehumasan Pemda, dan forum komunikasi.
4 - 17
Bab 5
Penataan Ruang
5.1 Tujuan
Tujuan penataan ruang wilayah Aceh dan Nias pasca bencana gempa bumi dan tsunami
adalah: membangun kembali wilayah, kota, kawasan dan lingkungan permukiman yang
rusak akibat bencana gempa dan tsunami sehingga masyarakat dapat segera melakukan
aktivitasnya dalam kondisi yang lebih baik dan aman dari bencana.
Implementasi pembangunan Aceh dan Nias pasca bencana akan tetap menerapkan
prinsip pembangunan berkelanjutan yang mengutamakan keseimbangan antara aspek
dan pertimbangan ekonomi, sosial dan lingkungan dengan pembangunan antar dan
intra generasi. Pelaksanaan berbagai aspek pembangunan bidang sumber daya alam dan
lingkungan hidup yang berkelanjutan ini juga mempertimbangkan aspek pendukung
lainnya seperti penggunaan teknologi terkini, tepat guna, dan ramah lingkungan serta
mempertimbangkan aspek-aspek kemungkinan bencana yang akan datang.
5.2
1.
yang
aman
dari
bencana
dan
Konsep dasar penataan ruang membangun kembali Aceh dan Nias adalah untuk
mewujudkan kehidupan yang lebih baik dan lebih aman dari bencana. Untuk itu di
setiap wilayah rawan bencana tsunami perlu memiliki: fasilitas perlindungan yang dapat
berupa bentuk alami maupun bangunan, jalur penyelamatan menuju ke tempat lebih
aman, dan tempat aman untuk penyelamatan, dapat berupa bangunan, bukit, dll.
Strategi:
a. Memberikan perlindungan seefektif mungkin bagi masyarakat dari kejadian
bencana di kemudian hari.
b. Mewujudkan lingkungan hidup yang lebih berkualitas bagi masyarakat.
c. Membangun kembali prasarana dan sarana sosial ekonomi sehingga masyarakat
terkena bencana dapat segera melakukan kegiatan secara normal.
Kegiatan Pokok:
a. Pembangunan berbagai fasilitas untuk perlindungan dan penyelamatan pada
skala lingkungan hingga kota.
b. Pembangunan sistem deteksi dini.
c. Pembangunan berbagai sarana dan prasarana sosial ekonomi.
5-1
2.
Warga berhak menentukan kemana akan bertempat tinggal: kembali ke tempat asal atau
pindah ke lokasi lain. Pemerintah Daerah perlu memberi informasi, peraturan, dan
sarana prasarana termasuk sarana perlindungan dan penyelamatan bagi warga yg ingin
tinggal di zona berpotensi tidak aman.
Strategi:
a. Memfasilitasi masyarakat untuk segera memulai kehidupan baru di kawasan
yang lebih aman.
b. Memberikan perlindungan dan sarana penyelamatan bagi masyarakat.
c. Menyiapkan lokasi permukiman baru untuk menampung warga yang ingin
pindah.
Kegiatan Pokok:
a. Pemberian informasi kepada masyarakat mengenai potensi kerusakan dan
tingkat ketidaklayakan huni.
b. Pembangunan fasilitas perlindungan dan penyelamatan pada skala lingkungan
hingga kota.
3.
Dalam melaksanakan pembangunan bidang sumber daya alam dan lingkungan hidup,
peran serta masyarakat lokal merupakan unsur utama dalam proses penanganan
bencana dan maupun tahapan pembangunan.
Strategi:
a. Membangun sistem peringatan dini secara terintegrasi
b. Meningkatkan kepedulian masyarakat dalam mengantisipasi bencana
Kegiatan Pokok:
a. Penyusunan standar, operasi dan prosedur (SOP) untuk respon darurat bencana.
b. Peningkatan kapasitas sumber daya manusia dan institusi pemerintah.
c. Pemanfaatan nilai kearifan lokal sebagai bagian yang melengkapi sistem
peringatan dini.
d. Pemberdayaan peran masyarakat dalam mekanisme penanganan bencana.
4.
5-2
Kegiatan Pokok:
a. Penataan lansekap kota dan pembangunan kota taman waspada bencana
(penghijauan kawasan pesisir, pantai, ruang terbuka hijau kota, taman memorial
tsunami, RTH kawasan mesjid, kawasan permukiman, pusat budaya Aceh).
b. Pengadaan berbagai fasilitas kegiatan budaya dan agama di berbagai pusat
kegiatan dan lingkungan permukiman.
5.
Penataan ruang kembali wilayah Aceh dan Nias berprinsip mitigasi kawasan bencana,
dan mengantisipasi dampak bencana, serta menjadikan tata ruang kawasan yang lebih
baik dari keadaan sebelum bencana. Zonasi dalam rencana tata ruang wilayah berupa
zona-zona berdasarkan tingkat potensi kerusakan, seperti dengan zona dengan potensi
tingkat kerusakan tinggi, zona dengan potensi tingkat kerusakan sedang, zona degan
potensi tingkat kerusakan rendah, dan zona aman. Pada masing-masing zona perlu
dibangun fasilitas perlindungan dan penyelamatan.
Strategi:
Memberi pemahaman kepada masyarakat mengenai kebencanaan dan upaya-upaya
menghindarinya.
Kegiatan Pokok:
a. Pembangunan prasarana dan sarana sistem peringatan dini.
b. Pemberdayaan peran masyarakat dalam mekanisme penanganan bencana.
c. Pengembangan pendidikan tentang kebencanaan.
d. Pelatihan secara terus menerus upaya penyelamatan dari bencana.
5-3
7.
Hak perdata warga diakui dan dihormati dalam pembangunan kembali wilayah yang
rusak akibat bencana. Penyusunan rencana tata ruang dalam tingkatan yang lebih
rinci/operasional harus memperhatikan hak keperdataan masyarakat atas tanah. Oleh
karena itu penetapan dan pelaksanaan tata ruang perlu didahului oleh pendataan fisik
dan yuridis tanah. Masyarakat harus diberi jaminan bahwa hak-hak keperdataan atas
5-4
tanah mereka akan terjamin/tidak terhapus sebagai akibat penetapan dan implementasi
tata ruang.
Strategi:
Mengidentifikasi hak-hak warga dan merekonstruksi batas-batas fisik
Kegiatan Pokok:
a. Rekonstruksi batas bidang tanah.
b. Inventarisasi hak-hak warga dan legalisasinya.
10.
Dalam menata kembali penggunaan tanah pasca bencana, Pemerintah akan melakukan
program rekonstruksi batas fisik dan program konsolidasi tanah. Untuk mempercepat
pelaksanaan program-program tersebut dan untuk memungkinkan pelibatan
masyarakat dalam pelaksanaannya, pemerintah akan membuat peraturan baru atau
melakukan perubahan terhadap peraturan yang ada guna menyesuaikan peraturan
pertanahan yang berlaku nasional dengan kondisi di Aceh dan Nias terkait dengan
bencana gempa bumi dan tsunami.
Strategi:
Menyusun peraturan untuk mempercepat proses administrasi pertanahan khusus di
wilayah pasca bencana.
Kegiatan Pokok:
a. Identifikasi permasalahan pertanahan dan peraturan yang ada.
b. Perumusan peraturan baru.
11.
Penetapan rencana tata ruang tidak menghilangkan hubungan hukum orang dengan
tanah. Oleh karena itu apabila terjadi kehilangan/hapusnya hak keperdataan seseorang
terhadap tanah sebagai akibat penetapan rencana tata ruang, maka wajib dilakukan
ganti rugi kepada yang bersangkutan atau dengan cara lain atas kesepakatan bersama.
Pemerintah akan memberikan kompensasi bagi warga yang hak miliknya dipergunakan
untuk kepentingan umum seperti fasilitas perlindungan dan penyelamatan. Besarnya
kompensasi ditentukan sesuai ketentuan yang ada dan sesuai dengan kemampuan
pembiayaan Pemerintah. Pelaksanaan kebijakan ini akan dilakukan secara terbuka.
Pemerintah juga akan memberikan bantuan bagi warga yang tanahnya tidak dapat
digunakan karena tenggelam atau tidak layak huni karena tingkat keracunan yang tinggi.
Strategi:
Menetapkan kebijakan ganti rugi yang adil dan terjangkau
Kegiatan Pokok:
a. Identifikasi subyek hukum calon penerima ganti rugi.
b. Penyusunan mekanisme ganti rugi.
c. Pemberian ganti rugi secara transparan.
5-5
12.
dukung
lingkungan
dan
antisipasi
Bencana tsunami dan gempa bumi telah mengakibatkan kerusakan lingkungan yang
sangat besar dan berdampak langsung terhadap kehidupan masyarakat saat ini dan di
masa yang akan datang.
Strategi:
a. Mengamankan dan menginformasikan wilayah yang terkena pencemaran dan
bahaya kegempaan.
b. Melakukan pembersihan wilayah bencana.
c. Merehabilitasi tanah.
d. Merehabilitasi terumbu karang.
e. Membangun daerah penyangga (green belt) sesuai dengan karakter pantai.
f. Mengamankan fungsi kawasan lindung eksisting.
g. Melakukan kajian pengamanan dan pencegahan bahaya lingkungan pada tahap
rekonstruksi.
Kegiatan Pokok:
a. Survei berkala parameter pencemar, penetapan status keamanan lingkungan dari
suatu wilayah, dan sosialisasi kualitas lingkungan dan ancaman bahaya gempa.
b. Pembuangan limbah padat tsunami, penataan kembali sistem persampahan kota,
penataan ulang sistem drainase perkotaan, Membangun sistem pengolahan
limbah cair.
c. Penelitian kualitas tanah dan uji coba tanaman yang sesuai dengan kondisi
tanah.
5-6
Prasarana dan sarana kepemerintahan yang sebagian besar hancur karena tsunami
membutuhkan rehabilitasi dan pembangunan kembali agar roda pemerintahan dapat
berjalan normal.
Strategi:
a. Melengkapi dan mengisi kembali formasi pegawai (tenaga ahli dan tenaga
pendukung).
b. Memulihkan sarana dan prasarana kepemerintahan bidang sumber daya alam
dan lingkungan daerah.
Kegiatan Pokok:
a. Pelaksanaan kajian kelembagaan yang responsif terhadap bencana dan
Melakukan rekruitmen pegawai baru.
b. Pelaksanaan pembangunan dan rehabilitasi kantor dan laboratorium dan
Melengkapi sarana pendukung kegiatan operasional instansi.
15.
Struktur dan pola tata ruang wilayah Provinsi NAD yang rusak dikembalikan menjadi
seperti semula dengan memperkuat bagian-bagian tertentu sehingga lebih tahan
menghadapi bencana gempa bumi dan tsunami. Sebagai bagian dari upaya
penyelamatan dan pengembangan wilayah, pembukaan jalan baru lintas utara-selatan
dan barat-timur diupayakan tanpa mengorbankan kelestarian hutan lindung dan suaka
margasatwa yang ada.
Strategi:
Kota-kota pesisir dikembangkan dengan memperhatikan aspek-aspek lokal terutama
keterkaitannya dengan rawan gempa bumi dan tsunami serta dengan kawasan
konservasi dan penyangga yang berfungsi lindung.
Kegiatan Pokok:
a. Rehabilitasi untuk menjaga keterkaitan antar kota-kota di pantai barat, pantai
timur, dan keterkaitan kedua wilayah, serta mendorong perkembangan dan
pemerataan wilayah.
b. Fasilitas penyeberangan ke pulau-pulau kecil difungsikan kembali untuk
pengembangan ekonomi wilayah.
c. Fungsionalisasi dan peningkatan bandar udara dan pelabuhan laut.
d. Rehabilitasi sistem jaringan listrik terinterkoneksi.
5-7
e.
f.
g.
h.
16.
Membangun kembali kota-kota yang rusak karena gempa bumi dan tsunami dilakukan
dengan memberdayakan secara cepat penduduk yang terkena bencana, merajut kembali
tatanan fisik, tatanan sosial dan sistim ekonomi yang lama, memperbaiki sarana dan
prasarana yang rusak, melindungi nyawa dan harta penduduk dari bencana yang akan
terjadi, membuat taraf hidup masyarakat lebih baik dan mampu memberi arahan
pembangunan yang terpadu, efektif dan efisien.
Strategi:
Melakukan pendataan dan pemetaan warga dan tanah yang dimiliki sebelum terjadi
bencana, pengumpulan harapan masyarakat, penataan ulang lingkungan permukiman
oleh masyarakat sendiri, peningkatan kemampuan dan kepercayaan diri masyarakat.
Kegiatan Pokok:
a. Pelaksanaan survey bersama masyarakat, LSM dan pemerintah di kawasan yang
terkena bencana.
b. Pemetaan bersama masyakat pada kawasan pra dan pasca tsunami
c. Pengumpulan dan identifikasi harapan masyarakat, stakeholder, tokoh
masyarakat.
d. Perencanaan tata ruang lingkungan permukiman oleh masyarakat, termasuk
fasilitas umum dan sosial dan disain bentuk bangunan tahan gempa dan
tsunami.
e. Peningkatan kemampuan masyarakat di kawasan terkena bencana dengan
pelatihan mengenai identifikasi bencana, pelatihan evakuasi, pelatihan bertahan
hidup sewaktu terjadi bencana.
f. Pengawasan bersama oleh masyarakat pada tahap pelaksanaan.
Strategi:
Merajut kembali dan memperbaiki tatanan fisik, tatanan sosial dan sistim ekonomi yang
rusak.
Kegiatan Pokok:
a. Revitalisasi sarana dan prasarana serta ruang kegiatan sosial-ekonomi penduduk
dengan sesedikit mungkin melakukan perubahan pola penggunaan lahan.
b. Rekonstruksi dan atau rehabilitasi kawasan yang rusak.
c. Perbaikan/pendayagunaan kembali sarana dan prasarana yang masih ada.
d. Perbaikan dan pembangunan kembali infrastruktur yang rusak.
Strategi:
Menyelamatkan nyawa dan melindungi harta penduduk kawasan eks bencana.
5-8
Kegiatan pokok:
a. Pembangunan sistem peringatan dini/early warning system.
b. Pembangunan fasilitas perlindungan seperti sistem sabuk hijau.
c. Pembangunan fasilitas penyelamatan berupa bukit pada kawasan permukiman
kepadatan sedang rendah dan bangunan (mesjid, meunasah) pada kawasan
permukiman kepadatan tinggi.
d. Pembangunan jalur-jalur penyelamatan.
e. Rekonstruksi bangunan baru yang memenuhi design teknis tahan gempa, tahan
gelombang, mengurangi bongkahan (debris).
Strategi:
Membuat taraf hidup masyarakat lebih baik.
Kegiatan Pokok:
a. Penggunaan tenaga lokal dalam proses pembangunan kembali kawasan dan
rumah-rumah yang terkena bencana.
b. Pelatihan ketrampilan-ketrampilan bagi masyarakat.
c. Penciptaan peluang kerja baru.
d. Sosialisasi dan pembudayaan sistem asuransi jiwa dan harta.
Strategi:
Memberi arahan pembangunan yang terpadu, efektif dan efisien.
Kegiatan Pokok:
a. Pembuatan konsep tata ruang pasca tsunami yang terpadu skala lingkungan,
skala bagian kota dan skala kota/kabupaten serta skala provinsi.
b. Pembuatan guidelines untuk merehabilitasi infrastruktur, fasilitas umum,
fasilitas sosial dan
permukiman dengan memanfaatkan material yang
ada/tersisa.
5-9
daerah terisolir Aceh Barat/Meulaboh dan Aceh Jaya antara lain: Lhok KruetCalang-Teunom-Woyla-Meulaboh dengan memanfaatkan jalan perkebunan Sawit
dan peningkatan jalan desa; membuka kembali ruas jalan Jantho-Lamno;
Beureunun-Geumpang-Tutut-Meulaboh, jalan Ladia Galaska Simpang Peut-JeuramBeutong Ateuh-Takengon, ruas jalan lintas Barat Meulaboh-Tapaktuan-Bakongan;
Jantho-Lamno; Calang-Tangse-Beureunun; Teunom-Sarah Raya-Geumpang;
Teunom-Sarah Raya-Woyla; dan Calang-Geumpang.
4. Penyeberangan ke pulau-pulau kecil (a.l.: pulau Weh, Sabang, dan Simeuleu)
difungsikan kembali untuk mobilisasi penduduk dan perkembangan ekonomi
wilayah.
3. Fungsionalisasi dan peningkatan Bandar Udara: Bandar Udara Sultan Iskandar
Muda, Cut Nyak Dien, Lasikin, Maimun Saleh, Malikussaleh, dan Teuku Cut Ali.
Pelabuhan udara di pantai barat-selatan dapat didarati hercules untuk evakuasi dan
supply logistik.
4. Fungsionalisasi dan peningkatan pelabuhan laut: Sabang, Malahayati, Calang,
Meulaboh, Kuala Langsa, Singkil, dan Lhokseumawe. Lokasi pelabuhan
penyeberangan pengganti Uleu-lhee ditentukan setelah melakukan studi kelayakan
teknis terlebih dahulu.
7. Rehabilitasi sistem jaringan listrik terinterkoneksi untuk Banda Aceh-Sigli-BireunLhokseumawe dan Meulaboh-Calang-Takengon.
8. Perbaikan kawasan budidaya industri di Lhoknga, Lhokseumawe, dan Malahayati;
perdagangan, pertanian pangan dan perkebunan, dan pesisir kelautan.
9. Rehabilitasi jaringan sumberdaya air (al: saluran irigasi, alur sungai, dan pantai)
mendukung ketersediaan air baku dan air minum
10. Rehabilitasi dan rekonstruksi untuk fungsionalisasi kawasan berfungsi Lindung
konservasi (bagian Tengah) antara lain kawasan ekosistem leuser, hutan lindung,
dan lindung binaan (buffer zone dan hutan kota) di sepanjang pantai mellaui
penyiapan area penyangga (buffer zona) pantai baik berupa vegetasi atau bangunan.
11. Kawasan permukiman diupayakan tidak berada di kawasan lindung, seperti wilayah
kehidupan gajah yang semakin langka populasinya, antara lain di Desa Pucok, Alue
Raya, Blang Dalam & Lhok Kuala, Lamje, Kr. Batee Mirah, Kr. Alue Ceuroloup, Kr.
Buerieng, Can. Kaking Ungoh Batee, perbatasan Tutut, Kawasan Uteun Cut, Panga,
Panga-Teunom, dan Lageun.
5 - 10
95 BT
96
}
#
98 BT
97
P. Weh
#
KOTA SABANG
/ Sabang
Sigli
#
#
KAB. PIDIE
#
#
KAB.
#
ACEH
JAYA
}6#
Bireuen
#
#
KAB.
ACEH TENGAH
/
}
M
U
Jalan Arteri
Jalan Kolektor
Gunung
Jalan lain
Sungai
Rel KA
#
#
#
#
Blangkejeran
Jalan Nasional
KAB. #
ACEH GAYO LUES
Jalan Tol
Kota Kecamatan
}
}
#
Karang
Baru
Ibukota Propinsi
Ibukota Kabupaten
Batas Kabupaten
KAB. ACEH
TAMIANG
KAB.
Jalan Provinsi
Ke Medan
Blang Pidie
KAB. ACEH
#
BARAT# DAYA
#
KAB. ACEH
SELATAN
KAB. ACEH
TENGGARA
Ke Kabanjahe
#
#
P. Siumat
#
#
#
/#
P. Tapah
#
#
ak
ny P. Ujungbatu
Ba
p.
Ke
#
P. Lasia
P. Babi P. Bangkuru
P. Tuangku
2 LU
96
Kebijakan
Struktur
Kabupaten/Kota.
/
#
#
#
#
Peta Dasar
Singkil
97
dan
KAB. ACEH
SINGKIL
Sinabang
#
Ke Sidikalang
6##
#
KAB. SIMEULIE#
PELABUHAN LAUT
Tema
Nama File
2 LU
# #
#
#
BANDAR UDARA
Tapaktuan
P. Simeulue
Hutan Lindung
Kutacane
PROVINSI
SUMATERA UTARA
KAWASAN HUTAN
50 Km
Batas Propinsi
Langsa
#
Meulaboh
NAGANRAYA
KOTA LANGSA
Suka Makmue
KAB.
BENER MERIAH
#
#
Takengon
#
/
}
#
#
Simpangtigaredelong
KAB.
ACEH BARAT
}
/
KAB.
ACEH TIMUR
25
Legenda :
#
#
Calang
5.4
95 BT
Lhokseumawe
KOTA
LHOKSEUMAWE
#
KAB. BIREUN
#
5 LU
Janthoi
#
#
5 LU
PETA 11
RENCANA TATA RUANG
PROVINSI NAD
KOTA
BANDA ACEH
KAB.
ACEH BESAR
BANDA ACEH
6#}
6
P. Breueh
98 BT
Pola
Pemanfaatan
Ruang
5 - 11
5 - 12
Arahan zonasi fisik Banda Aceh sebagian besar terdiri dari atas Kawasan Lindung
(Conservation, Zona V), Kawasan Pengembangan Terbatas (Restricted Development
Area, meliputi zona I, II, dan III), Kawasan Pengembangan (Promoted Development
Area, zona IV).
2.
Pola pemanfaatan ruang kawasan perkotaan Banda Aceh dan sekitarnya yang
disesuaikan dengan karakteristik wilayah yang rawan bencana, meliputi: i) zona pantai,
ii) zona perikanan/tambak, iii) zona taman kota, iv) zona permukiman, permukiman
terbatas dan permukiman perkotaan, v) landmark dan pusat pemerintahan kota Banda
Aceh, iv) zona permukiman baru bagi penduduk yang ingin pindah, vii) pusat bisnis dan
pemerintahan provinsi dan fasilitas perkotaan berskala kota dan regional, vii) zona
pendidikan tinggi, dan ix) zona pertanian.
5 - 13
5 - 14
5 - 15
5 - 16
Zona N1 :
Zona ditepi muka air pasang berjarak minimal 100 meter dari pasang laut tertinggi
dimanfaatkan untuk membangun fasilitas perlindungan (Buffer Zone) dengan hutan
tanaman manggrove, waru laut dan tanaman penyangga lainnya sesuai karakteristik
pantai.
2)
Zona N2 :
Zona yang dicapai oleh gelombang tsunami dengan ketinggian > 1 meter DPL, dengan
pemanfaatan ruang sebagai lahan budidaya perkebunan atau taman kota dengan
tanaman penyangga yang dapat difungsikan sebagai Buffer Zone dengan bangunan
terbatas dan kepadatan wilayah terbangun rendah (TPI, permukiman nelayan, dll) yang
dilengkapi dengan disaster mitigation plan.
3)
Zona B1 :
Zona transisi (zona antara) yang dicapai gelombang Tsunami < 1 meter DPL dengan
zona aman, dengan pemanfaatan ruang untuk kegiatan jasa dan perdagangan serta
permukiman kepadatan rendah sampai sedang.
4)
Zona B2 :
Zona yang aman dari terpaan gelombang tsunami dengan pemanfaatan ruang sebagai
pusat kegiatan bisnis (CBD), pelayanan sosial dan permukiman perkotaan dengan
kepadatan tinggi, disesuaikan dengan kondisi daya dukung lahan setempat dan
pemanfaatan ruang yang ada.
5 - 17
5 - 18
Lapangan Udara Cut Nya Dien tetap seperti yang ada dengan membangun tanggul
pengaman sepanjang lapangan udara, sehingga keamanan lapangan udara tetap
terjaga dari bencana.
5 - 19
ZONASI
Kabupaten Nagan Raya
Keterangan:
Batas Kabupaten
Jalan
PK
HL
Hutan Lindung
HP
TT
Tanaman Tahunan
PB
Perkebunan Besar
LB
Lahan Basah
LK
Lahan Kering
TR
Transmigrasi
PK
Permukiman Kota
Sumber Peta:
RTRW Prov. NAD 1:500.000
5 - 20
6. Menata kembali wilayah sepanjang pantai dengan mengatur peruntukkan fungsi bagi
ekosistem mangrove, sempadan pantai, perkebunan, pertanian, perikanan/tambak,
pemukiman desa terbatas, wisata bahari dan pantai, serta jalan lingkar pulau.
Z. 1 - 1
Z. 1 - 2
Zona Perkebunan
Z. 1 - 3
Z. I - 4
Zona Pertanian
Z. I - 5
Z. I - 6
Z. I - 7
Z. I - 8
Zona Pertanian
P. 2 - 1
Zona Perkebunan
P. 2 - 2
P. 2 - 3
5 - 21
P. 2 - 4
P. 2 - 5
III. Zona III (>6 meter dpl), wilayah pemanfaatan aman dari tsunami
1
M. 3 - 1
M. 3 - 2
Zona Perdagangan
M. 3 - 3
M. 3 - 4
M. 3 - 5
H. 4 - 1
H. 4 - 2
H. 4 - 3
H. 4 - 4
H. 4 - 5
5 - 22
5 - 23
2)
Bila tingkat kerusakan yang ditimbulkan tidak parah, atau umumnya menjadi
wilayah limpasan gelombang dengan ciri tidak menghilangkan atau
menghancurkan permukiman maupun kerusakan prasarana dan sarana
permukiman yang mendukung kehidupan sosial ekonominya, maka arahan
pemanfaatan ruang pada kawasan ini dapat disesuaikan dengan arahan
pemanfaatan ruang yang telah ditetapkan dalam RTRW yang telah disusun, namun
dengan menambah fungsi sebagai daerah perlindungan (shelter) masyarakat
terhadap bencana gempa dan tsunami bila berulang di masa yang akan datang.
Pada kawasan dengan permukiman dan prasarana/sarana yang rusak berat, maka
peninjauan ulang pemanfaatan ruangnya dilakukan pada hal-hal sebagai berikut:
1)
2)
Pada muara sungai dan titik-titik dimana terdapat TPI (atau PPI) dan tempat
tangkapan perahu nelayan, penetapan buffer zone perlu mempertimbangkan
keamanan dan menjamin kelangsungan aktivitas nelayan.
3)
4)
5)
Pembangunan prasarana dan sarana dalam buffer zone terbatas hanya untuk
mendukung fungsi perlindungan, seperti pembangunan tanggul pantai, bangunan
pemecah gelombang/ombak, dan jalan inspeksi, serta escape route.
6)
Aktivitas budidaya yang dapat dikembangkan berupa tambak ikan, tambak garam,
dan pertanian (persawahan maupun lahan kering).
Sedangkan pada kawasan yang tidak mengalami kerusakan berat, namun menjadi
wilayah limpasan gelombang tsunami, maka pemanfaatan ruangnya disesuaikan dengan
ketetapan dalam RTRW, namun dengan penambahan fungsi-fungsi sebagai berikut:
1)
2)
5 - 24
3)
Pusat kegiatan ekonomi kawasan perdesaan skala kecamatan secara terbatas untuk
menunjang langsung kegiatan nelayan, pertambakan, pembuatan garam dan
pertanian.
6.
2.
7.
3.
Zona pertambakan
8.
4.
Zona pertanian
9.
5.
10.
Zona industri
5 - 25
Kegiatan Sektor :
1. Perbaikan tambak
2. Pembangunan sempadan pantai
3. Pembangunan permukiman bagi
nelayan
4. Pengembangan kaw.pesisir pantai
5. Rehabiliasi bantuan pengrajin
C t
Kegiatan Sektor :
1. Penetapan kaw.
penyangga
2. Perbaikan jaringan
jalan
3. Rehabilitasi bangunan
4. Perbaikan fasilitas
Kegiatan Sektor :
1. Rehabilitasi bangunan-bangunan
2. Perbaikan jaringan jalan utama
3. Penyiapan kawasan penyangga
4. Perbaikan fasilitas perkotaan
5. Rehabilitasi terminal kota di Cunda
6. Rehabilitasi pelabuhan di
Lhokseumawe
7. Pembangunan kembali TPI di
Kegiatan Sektor :
1. Perbaikan jalan
lingkar utara
2. Perbaikan fasilitas
perkotaan
3. Penyediaan kembali
sarana-sarana
pendukung kegiatan
Kegiatan Sektor :
1. Perbaikan jaringan jalan
2. Rehabilitasi tambak
3. Pembangunan sempadan pantai
4. Pembangunan permukiman bagi
nelayan
5. Pengenbangan kawasan pesisir
pantai
6. Pembangunan Tanggul Laut
7. Rehabilitasi sekolah dasar dan
menengah
8 Pembangunan pabrik es bagi keg
Ni
Kegiatan Sektor :
1. Pembangunan tanggul Sungai
2. Perbaikan tambak
3. Pembangunan sempadan pantai
4. Pembangunan permukiman bagi
nelayan
Lh k
Kegiatan Sektor :
1. Rehabilitasi pembangunan jalan
2. Pembangunan tanggul
3. Pengelolaan jaringan irigasi
4. Rehabilitasi sekolah
dasar&menengah
5.Pembangunan sempadan pantai
6.Pengembangan kaw. pesisir pantai
7.Pembangunan pabrik es
B kit
B
G
Kegiatan Sektor :
1. Penyiapan Kaw. Penyangga
2. Perbaikan jaringan jalan uatama
3. Rehabilitasi terminal
terpadu&kereta api
3.Perbaikan fasilias perkotaan
Lh k
LEGEN
Kegiatan Sektor :
1. Perbaikan jaringan jalan
2. Pengendalian & penanganan DAS dan
abrasi pantai
3. Normalisasi saluran pembuang
4. Pembangunan pabrik es bagi keg. perikanan
5. Pembangunan sempadan pantai
6. Pembangunan permukiman bagi nelayan
7. Pengembangan kawasan pesisir pantai
8. Pembangunan tanggul laut
9. Rehabilitasi sekolah dasar dan menengah
Jaringan Jalan
Shelter
Permukiman Baru
Kampung
Bangunan-bangunan
Sawah
Rawa
Empang/Tambak
Hutan Belantara, Belukar
Tegalan
5 - 26
Zona Pantai
Zona ini tersebar di sepanjang pantai dari Timur ke Barat Kabupaten Bireuen, dengan
kegiatan utama adalah zona penyangga (buffer zone), zona budidaya perikanan tangkap
dan perikanan budidaya dengan kegiatan pendukung berupa pelabuhan perikanan, serta
pengembangan pelabuhan rakyat Kuala Radja, Pelabuhan Kawasan Industri Batee
Geulumpu dan Pelabuhan Perikanan Peudada sebagai alternatif percepatan aksesibilitas
perekonomian Kabupaten Bireuen.
2.
Zona permukiman terbatas direncanakan di sepanjang jalur jalan ke arah Zona Pantai,
yang semula padat olehpermukiman, serta di berbagai tempat yang mengalami
kerusakan, baik oleh gempa maupun tsunami. Zona ini dikembangkan untuk
permukiman terbatas dan budidaya pertanian, serta memperhatikan konstruksi
bangunan (pemerintah dan masyarakat) yang tahan terhadap gempa dan tsunami.
3.
Zona ini berada di bagian selatan jalur jalan nasional dengan kegiatan utama adalah
pertanian lahan basah (sawah irigasi) dan pertanian lahan kering. Pada beberapa
wilayah di zona ini akan dikembangkan pusat-pusat permukiman baru (Gampong Putoh,
Blang Rangkuluh, Leubu Mesjid), sebagai alternatif bagi perluasan pengembangan
permukiman di Zona Permukiman Terbatas, sekaligus dengan mengembangkan jalur
jalan alternatif untuk mengurangi beban jalur jalan nasional.
A3
B3
A1
A2
BIREU
B1
B2
C3
C1
C2
E1
Ju
E2
E3
Keterangan
A Zona Pantai
B Zona Perikanan
C Zona Permukiman Terbatas
D Kota Bireuen
E Zona Pengembangan Kegiatan
5 - 27
5 - 28
5 - 29
5 - 30
5 - 31
Pola Pemanfaatan
Hutan bakau
Perikanan dan permukiman desa terbatas
Hutan/hutan produksi/ruang terbuka hijau
Hutan lindung
Rawa
Pariwisata
Pertenian lahan basah dan permukiman desa
terbatas
Pertanian lahan kering dan permukiman desa
terbatas
Pertanian tanaman tahunan dan permukiman
terbatas
Perkebunan besar dan permukiman terbatas
Perkebunan rakyat/tanaman rakyat dan
permukiman desa terbatas
Pusat kota/CBD dan sub pusat kota
Pusat permukiman baru
Pusat permukiman terbatas
Fasilitas umum, sosial, dan ekonomi
Kode
Z-1-1
Z-1-2
Z-1-3
Z-1-4
Z-1-5
Z-1-6
Z-2-1
Z-2-2
Z-2-3
Z-2-4
Z-2-5
Z-3-1
Z-3-2
Z-3-3
Z-3-4
5 - 32
5 - 33
Bab 6
Isu Lintas Bidang
Berikut ini akan dijabarkan secara khusus beberapa permasalahan lintas bidang (crosscutting issues) yang terkait dengan bantuan pemulihan aset produktif non-publik; hak
kepemilikan tanah; anak dan perempuan korban bencana; serta masalah keamanan
dalam pengelolaan rehabilitasi dan rekonstruksi.
6.1
Bantuan penggantian tanah hanya akan diberikan kepada mereka yang tanahnya tidak
dapat digunakan sebagai tempat tinggal akibat bencana. Tanah tidak dapat digunakan
sebagai tempat tinggal yang disebabkan oleh musnahnya tanah karena tenggelam atau
oleh karena secara teknis tidak layak untuk ditempati. Seperti diketahui tidak ada
keharusan untuk relokasi tempat tinggal. Dengan demikian keputusan untuk tinggal di
lokasi yang lama atau pindah ke lokasi yang baru diputuskan sepenuhnya oleh
masyarakat. Bagi lokasi yang tidak dapat digunakan lagi karena musnah, hilang, atau
tenggelam karena tergerus oleh air pemerintah merencanakan untuk memberikan
bantuan tanah seluas 200 m2 dengan rumah inti di atasnya seluas 36 m2 per keluarga di
lokasi yang ditetapkan oleh pemerintah. Hubungan perdata dengan tanah yang musnah
tersebut tidak mengalami perubahan. Sedangkan bagi mereka yang memilih pindah ke
tempat baru karena tanahnya secara teknis tidak dapat digunakan pemerintah
membantu dengan memberikan bantuan tanah seluas 200 m2 dengan rumah inti di
atasnya seluas 36 m2 per keluarga di lokasi yang ditetapkan oleh pemerintah. Tanah
yang dahulu dimiliki menjadi milik pemerintah tanpa diberikan penggantian.
Bila terjadi perubahan peruntukan tanah karena alasan akan digunakan untuk
kepentingan masyarakat, seperti pembuatan jalur penyelamatan, penggantian kepada
masyarakat menggunakan mekanisme ganti rugi biasa sesuai dengan peraturan
perundangan yang berlaku.
2.
Bantuan perumahan
Untuk membantu meringankan beban korban bencana alam gempa bumi dan tsunami
di Provinsi NAD dan Sumatera Utara pemerintah menyediakan rumah inti (core house)
seluas 36 m2 perkeluarga. Pemerintah merencanakan untuk memberikan sumbangan
setara tipe rumah 36 yaitu Rp. 28 juta untuk rumah yang rusak seluruhnya dan Rp. 10
juta bagi rumah yang mengalami rusak ringan dan menengah. Bantuan rumah inti
tersebut dapat dibangun di lokasi rumah sebelum bencana alam gempa bumi dan
tsunami terjadi atau pada lokasi-lokasi resettlement yang disediakan oleh pemerintah
bagi masyarakat yang menghendaki resettlement.
Untuk memberikan kemudahan dalam memilih desain, memperbaiki, dan membangun
rumah maka pemerintah akan memberikan informasi mengenai beberapa alternatif
desain rumah tahan gempa (informed choice), bantuan teknis (supervisi) dalam
pembangunan rumah, dan pelatihan keterampilan pertukangan (batu dan kayu) kepada
masyarakat.
3.
Bantuan pemulihan asset produktif masyarakat untuk memulai kembali kegiatan usaha
ekonomi dilakukan melalui tiga jalur. Pertama, adalah hibah modal berupa peralatan
usaha sederhana kepada pengusaha mikro yang penggunaannya bersifat perorangan
dengan nilai hibah besarnya maksimum sebesar Rp. 2 juta. Bantuan ini diberikan
langsung kepada masyarakat untuk membantu mereka dalam menjalankan kegiatan
ekonominya. Pemberian bantuan langsung ini akan dilaksanakan melalui pendekatan
berbasis masyarakat (community based approach).
Kedua, adalah bantuan kepada kelompok masyarakat yang besarnya antara Rp. 5 juta
sampai Rp. 15 juta. Bantuan hibah ini diberikan kepada kelompok dengan jumlah
anggota 4-6 orang untuk pengadaan sarana produksi/peralatan yang mempunyai nilai
modal lebih besar dari jenis bantuan yang pertama. Pada dasarnya kepemilikan sarana
produksi dapat merupakan milik pribadi, namun sebagai upaya awal untuk
menggerakkan kegiatan usaha, pengadaan barang sebagai sarana produksi melalui skim
ini diberikan sebagai kepemilikan atau penggunaan bersama diantara anggota kelompok
(common facilities). Bantuan ini dapat digunakan sebagai dana hibah padanan
(matching grant fund) bila kelompok membutuhkan sarana produksi yang bernilai lebih
besar dari Rp. 15 juta. Kekurangan dari kebutuhan dana yang diperlukan dapat
diperoleh melalui mekanisme perbankan. Untuk itu akan diberikan kemudahan dalam
bentuk perpanjangan waktu tenggang (grace period) yang lebih lama serta kemudahan
dalam persyaratan kredit. Untuk menghindari moral hazards tidak disarankan untuk
memberikan subsidi bunga. Mekanisme pemberian hibah dalam skim ini juga melalui
pendekatan berbasis masyarakat yang pelaksanaannya melalui BKM.
Ketiga, adalah memberikan kemudahan pemberian kredit perbankan bagi perusahaan
kecil, menengah dan besar. Kemudahan yang diberikan adalah dalam bentuk
perpanjangan waktu tenggang (grace period) serta kemudahan dalam persyaratan
kredit dan tidak diberikan subsidi bunga.
Pendekatan berbasis masyarakat membutuhkan dibentuknya badan keswadayaan
masyarakat (BKM) yang berfungsi sebagai forum pengambilan keputusan dan
penggerakan masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan, pembiayaan dan
pengendalian dalam pengelolaan bantuan tersebut. Pembentukan BKM ini sebaiknya
menggunakan dasar administrasi kewilayahan sebelum terjadi bencana. Langkah awal
yang dilakukan adalah mengidentifikasikan dan mengelompokkan kembali para korban
bencana berdasarkan desa tempat tinggal sebelum bencana. Pembentukan BKM ini
membutuhkan fasilitator yang harus diberikan pelatihan sebelumnya. Dengan adanya
6-2
BKM ini maka keputusan mengenai siapa yang akan mendapat bantuan, dalam bentuk
apa, serta dimana mereka tinggal, dapat dilakukan pada tingkat masyarakat.
Bantuan menggunakan pendekatan berbasis masyarakat ini diberikan kepada
perorangan dan usaha mikro yang dikelompokan ke dalam 3 kegiatan yaitu kegiatan
ekonomi, investasi prasarana umum, serta sosial.
6.2
6-3
6-4
Anak dan perempuan korban gempa bumi dan tsunami di Provinsi NAD dan Nias
Sumatera Utara cukup besar. Keterangan beberapa LSM asal Aceh menjelaskan bahwa
salah satu sebab lebih banyak laki-laki yang bertahan hidup dibandingkan perempuan
ketika menghadapi gempa bumi dan tsunami adalah kemungkinan bahwa anak gadis
dan perempuan Aceh tidak didorong untuk aktif berolahraga terutama berenang,
sehingga ketahanan fisik mereka tidak optimal. Dengan tradisi perempuan mengurus
banyak hal, perempuan membagi perhatian mereka kepada anak, orang tua, dan sanak
keluarga, sehingga konsentrasi penyelamatan diri tidak maksimal.
Dalam penanganan akibat bencana, anak dan perempuan mempunyai kebutuhan yang
spesifik, sehingga kebutuhan mereka dalam tahapan penanggulangan bencana perlu
mendapat perhatian khusus dan perlu diatasi secara lintas sektor dan terpadu.
Masalah yang dihadapi anak dan perempuan, selain masalah trauma fisik dan psikologis
adalah meningkatnya resiko terjadinya tindakan pelecehan seksual dan perdagangan
manusia. Untuk trauma psikologis pada anak dan perempuan telah dan akan
dilanjutkan pelayanan trauma konseling melalui women trauma center dan children
center. Untuk mencegah terjadinya tindak kekerasan dan perdagangan anak, akan
6-5
Masalah Keamanan
6-6
6-7
Bab 7
Partisipasi Masyarakat
Dan Swasta
7.1
Partisipasi Masyarakat
Bencana alam yang melanda Aceh dan Nias telah menimbulkan kerugian yang amat
besar, baik jiwa maupun harta benda. Pada umumnya korban bencana yang masih
hidup berada di daerah pengungsian, yaitu di sekitar tempat tinggal asal maupun daerah
lain. Implikasi kondisi ini adalah terpecahnya struktur, tatanan dan ikatan sosial yang
selama ini telah terbentuk. Keadaan ini menimbulkan tantangan tersendiri bagi
berbagai pihak dalam menyusun perencanaan rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh dan
Nias berbasis partisipatif. Masyarakat korban bencana yang masih hidup tidak hanya
merupakan sumber data dan informasi dalam perencanaan rehabilitasi dan
rekonstruksi, namun harus ditempatkan pula sebagai pelaku utama rangkaian kegiatan
pembangunan.
Penempatan masyarakat sebagai pelaku utama pembangunan pada umumnya masih
terbatas pada tingkat pembicaraan atau sebatas konsep di atas kertas, walaupun
pemerintah telah mengeluarkan berbagai perundangan dan peraturan pelaksanaannya.
Realisasi pendekatan partisipatif dalam seluruh proses pembangunan masih memiliki
keterbatasan kelembagaan, yaitu sarana dan prasarana pengambilan keputusan yang
melibatkan seluruh pelaku pembangunan dan kemampuan para pelaku pembangunan
itu sendiri. Realisasi pendekatan partisipatif dalam seluruh proses pembangunan
harus segera dimulai dengan memperkuat kelembagaan pemerintah dan masyarakat
yang ada, sesuai dengan tingkat kesiapan masing-masing. Penguatan kelembagaan
pemerintah dalam konteks partisipasi sektor publik, swasta dan masyarakat luas dalam
pembangunan diartikan sebagai peningkatan pemahaman, kepekaan dan kemampuan
aparat dan lembaga pemerintah dalam bekerja bersama masyarakat. Penguatan swasta
dan masyarakat dalam konteks yang sama diartikan sebagai peningkatan pengetahuan,
keahlian, akses informasi dan posisi tawar kelompok ini dalam bekerja bersama
pemerintah. Apabila kondisi seperti ini telah terwujud, proses partisipatif yang
mengutamakan kesetaraan antar pelaku pembangunan dapat mulai berlangsung (lihat
Diagram 1).
PENDIDIKAN WARGA
DAN PEMBANGUNAN
1
KESADARAN
Pendidikan rakyat dengan
metodologi komunikasi
untuk meningkatkan
kesadaran warga atas hakhak dan kewajibannya.
Metode: penggunaan radio
komunitas dan teater rakyat
7.1.1
PEMBUATAN ANGGARAN
YANG PARTISIPATIF
4
Pengalaman partisipasi
rakyat yang berhasil dalam
pengambilan keputusan di
tingkat lokal adalah
pengalaman pembuatan
anggaran belanja yang
partisipatif.
MENINGKATKAN
AKUNTABILITAS PEMERINTAH
5
DAERAH
Menggalang gerakan hak atas
informasi yang menuntut
keterbukaan minimal pemda
Partisipasi adalah suatu kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang ikut serta
dalam suatu kegiatan secara bersama, mengembangkan langkah-langkah kegiatan dan
membentuk atau menguatkan kelembagaan lokal. Partisipasi adalah hak, dan bukan
sebuah alat untuk mencapai tujuan suatu kegiatan pembangunan. Inti pokok dari
partisipasi adalah keterlibatan seluruh unsur masyarakat dalam proses pengambilan
keputusan yang dimulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga monitoring dan
evaluasi. Dalam kerangka rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh dan Nias, pengertian
partisipasi harus dapat direalisasikan dalam suatu model dan kerangka kerja sama
dimana pemerintah (pusat dan daerah) bergandeng-tangan dengan masyarakat dalam
membangun kembali Aceh dan Nias.
Prinsip kerjasama sinergis antara pemerintah dan masyarakat (para pelaku
pembangunan) adalah untuk mewujudkan hasil pembangunan yang lebih besar jika
dilakukan secara bersama, dibandingkan jika setiap pelaku pembangunan
melakukannya sendiri-sendiri.
Pemerintah adalah pemerintah pusat dan pemerintah daerah dengan perangkat
turunannya di tingkat kabupaten/kota, kecamatan, desa dan kelurahan.
Masyarakat adalah sekelompok orang yang berdomisili di suatu daerah dalam suatu
wilayah administratif tertentu. Dalam konteks pembangunan, khususnya rehabilitasi
dan rekonstruksi Aceh dan Nias, masyarakat diartikan sebagai sekelompok orang (dan
7-2
atau lembaga kemasyarakatan) yang berada di luar bidang pemerintahan, yang pada
umumnya dapat dibedakan antara lain sebagai berikut:
1. Lembaga yang berkaitan dengan swasta, seperti yang dapat diwakili oleh
Kadinda, REI, Himpunan Pengusaha Perhotelan dan Restoran, INKINDO, dan
sebagainya. Kelompok ini umumnya dikenal sebagai swasta.
2. Lembaga lain yang terdiri dari berbagai unsur di masyarakat seperti perguruan
tinggi, asosiasi profesi (Persatuan Guru, IDI, IAI, IAP dan ISEI), Persatuan
Nelayan, Panglima Laot/Kelompok Tani, Kelompok Usaha Perdagangan,
Kelompok Perajin, Kelompok Budayawan, Kelompok Seniman, Persatuan Buruh,
berbagai jenis lembaga swadaya masyarakat, lembaga kemasyarakatan dan adat
(keuchik, kepala lingkungan, Masyarakat Adat Aceh, Majelis Adat Aceh, Majelis
Permusyawaratan Ulama) dan media massa.
Berdasarkan pengelompokan ini, pemahaman yang umum terdapat di masyarakat
mengenai pengelompokan aktor pembangunan adalah pemerintah, masyarakat dan
swasta. Dalam kerangka inilah kebijakan rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh dan Nias
disusun.
7.1.2 Kebijakan
Kegiatan partisipatif seluruh aktor pembangunanpemerintah, swasta dan
masyarakattidak perlu dibedakan dalam rangkaian proses pembangunan, mengingat
keragaman latar belakang dan kemampuan setiap komponen masyarakat di setiap
daerah.
Berdasarkan pertimbangan ini, beberapa langkah kebijakan partisipasi
masyarakat dan swasta dalam rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh dan Nias adalah:
1. Pemerintah berfungsi tidak hanya sebagai salah satu aktor pembangunan namun
harus melaksanakan fungsi fasilitasi dalam kegiatan pembangunan. Fasilitasi adalah
suatu kegiatan yang dilakukan oleh fasilitator (pemerintah atau anggota masyarakat)
bersama masyarakat (seluruh pihak) dalam mengenali permasalahan,
mengidentifikasi potensi dan kendala pembangunan maupun masing-masing pelaku
pembangunan dan merumuskan berbagai alternatif penyelesaian masalah, memilih
berbagai alternatif tersebut dan menyusun prioritas penyelesaian masalah dan
strategi pelaksanaannya.
2. Dalam hal pemerintah daerah (di semua tingkat administratif) belum mampu
melaksanakan fungsi fasilitasi ini, pihak luar seperti perguruan tinggi, lembaga
swadaya masyarakat, atau pihak lainnya dapat mendampingi pemerintah daerah
dalam memahami prinsip dan strategi pelaksanaan kegiatan pembangunan yang
patisipatif.
3. Pada tingkat masyarakat, terutama di wilayah dimana pemerintah belum dapat
melakukan fungsi fasilitasi seperti di atas, lembaga swadaya masyarakat/lembaga
pendidikan tinggi atau anggota masyarakat yang peduli pembangunan (sukarelawan)
dapat mendampingi masyarakat umum dan melaksanakan fungsi fasilitasi.
4. Penguatan masyarakat di setiap desa dan kelurahan perlu dilakukan melalui suatu
organisasi dengan prinsip membangun kembali struktur kelembagaan adat/lokal
(lihat Sub Bab 8.4). Dalam kondisi dimana struktur kelembagaan masyarakat di
7-3
7-4
dilakukan, misalnya dimulai dari pengurusan kembali identitas diri dan kegiatan lain
yang menjamin hak keperdataan warga, termasuk didalamnya pendataan tanah dan
harta benda lain, maupun kegiatan pembangunan pada umumnya seperti tata ruang
desa, pembangunan perumahan, prasarana dan sarana fisik lingkungan, ekonomi
lokal dan sebagainya.
3. Pembentukan DP di tingkat desa menjadi titik awal dan utama. Anggota DP dipilih
oleh komunitasnya, dan tidak berdasarkan penunjukan, dan bertugas untuk suatu
periode waktu yang ditentukan bersama.
4. Pembentukan DP di tingkat kecamatan/tingkat adiministratif yang lebih tinggi harus
dilakukan berdasarkan kesiapan berbagai unsur di tingkat desa untuk membentuk
dan mengoperasikan lembaga ini.
5. DP di tiap tingkatan adalah otonomi dan bukan merupakan subordinasi DP di
tingkat administrasi yang lebih tinggi.
6. DP dapat berfungsi berdasarkan kegiatan pembangunan sektoral (khusus perikanan,
pertanian, perumahan, dan sebagainya). Pembentukan DP adalah sebagai berikut:
a. Di tingkat desa/kelurahan, DP dibentuk bersama masyarakat, dan terdiri dari
wakil pemerintah tingkat terkecil dan perwakilan masyarakat (lembaga
kemasyarakatan yang representatif seperti dewan ulama mukim/perangkat
mukim) dan swasta. DP didampingi oleh fasilitator dan anggota masyarakat
yang peduli pembangunan (sukarelawan). Sejauh DP belum berfungsi secara
sempurna, fasilitator bertugas sebagai motor penggerak. DP yang telah
terbentuk dapat bekerja bersama lembaga kemasyarakatan yang sudah ada untuk
memulai dan atau memperluas kegiatan pembangunan yang akan direncanakan
di desa/kelurahan itu. Rencana pembangunan yang telah ditetapkan DP akan
dilaksanakan oleh warga desa/kelurahan berdasarkan mekanisme pelaksanaan
yang disepakati bersama. Setelah DP di tingkat desa terbentuk secara matang
dan beroperasi baik, pembentukan DP ditingkat kecamatan dapat dimulai.
b. Di tingkat kecamatan, DP terdiri dari wakil DP tingkat desa/kelurahan, wakil
pemerintah kecamatan, swasta, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat
dan sukarelawan.
Tingkat cakupan pembahasan substansi pembangunan
umumnya menyangkut kegiatan pembangunan lintas desa/kelurahan.
c. Di tingkat kota/kabupaten, DP terdiri dari wakil DP tingkat kecamatan, swasta,
wakil pemerintah kota/kabupaten, perguruan tinggi, lembaga swadaya
masyarakat dan anggota masyarakat yang peduli terhadap materi pembangunan
terkait. Tingkat cakupan pembahasan substansi pembangunan umumnya
menyangkut kegiatan pembangunan lintas kecamatan.
d. Di tingkat propinsi, DP terdiri dari DP tingkat kota dan kabupaten dan
perguruan tinggi/lembaga swadaya masyarakat, swasta, wakil pemerintah,
anggota masyarakat yang peduli terhadap materi pembangunan terkait dan wakil
Badan Pelaksana Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh dan Nias, Sumut (BAPEL).
7-5
suatu tingkat administratif, sebagai konsekuensi dari keterbatasan dana, DPRD dan
pemerintah tingkat yang lebih tinggi harus menciptakan proses komunikasi yang
terbuka dan efektif.
7-6
Mukim adalah sebutan untuk satu wilayah kesatuan masyarakat hukum adat, yang
mempunyai batas-batas tertentu, memiliki perangkat dan simbol-simbol adat, hak-hak
pemilikan dan penguasaan atas suatu sumber daya dan prasarana serta mempunyai
tatanan sosial yang spesifik lokal. Mukim terdiri atas gabungan beberapa Gampong
yang mempunyai batas wilayah tertentu dan memiliki harta kekayaan sendiri. Mukim
berkedudukan langsung di bawah kecamatan/Sagoe Cut.
Ada lima unsur pokok dalam jenjang struktur kepemerintahan pada masa Kerajaan Aceh
yaitu : Sultan, Panglima Sagoe, Uleebalang, Imeum Mukim dan Keuchiek Salah satu
alasan dibentuknya mukim adalah karena kebutuhan skala ekonomis dan beberapa
persyaratan administrasi untuk melakukan suatu kegiatan. Pada masa itu, wilayah
teritorial mukim adalah seluas radius orientasi jangkauan mesjid untuk shalat jumat.
Jumlah penduduk mukim berkisar antara 200 300 jiwa.
Mukim dipimpin oleh seorang Imeum Mukim, yang statusnya mengalami
metamorfosa sebagai berikut:
1. Sebutan imam diperoleh dari perannya sebagai imam shalat Jumat.
2. Dalam perkembangannya peran Imeum Mukim berkembang dalam sistem
pemerintahn formal dengan kedudukan diantara Uleebalang dan Keuchiek (Kades).
3. Kemudian Imeuem Meukim lebih berspesialisasi dalam pemerintahan, dengan
sebutan lainnya dalah Imeum Adat. Sedangkan imam shalat Jumat disebut
dengan Imeum Mesjid atau Teungku Imeum.
Unsur-unsur lembaga, seperti mukim, yang terdapat dalam masyarakat Aceh
adalah:
1. Tuha Peut atau Tuha Lapan: orang yang paling paham dan berpengalaman di
bidang adat, agama, dan kehidupan kampung dan dapat menjadi petugas di
bidang tertentu.
2. Keujreun: pejabat pengatur tanaman pangan dan irigasi (Keujreun Blang)
dan pengatur pertambangan (Keujreun Meuih).
3. Panglima Kawon: kepala/kepemimpinan suatu keluarga besar.
7-7
DEWAN PENASIHAT
MUKIM
Unsur
Pelayanan
Sekretariat
mukim
Tata usaha
Perangkat Mukim
Imum Mukim
(Ketua Mukim)
Tuha Peut/
Tuha Lapan Mukim
Pelaksana
Teknis
Panglima
Laot
Pawang
Uteun/Glee
Syahbanda
Unsur
Wilayah
(Geuchik)
Penjelasan:
Kelembagaan pemerintah, adat dan agama pada tingkat mukim terdiri atas lembagalembaga sebagai berikut:
Dewan Penasehat Mukim merupakan lembaga tertinggi di wilayah mukim. DPM
memiliki kedudukan, tugas, dan fungsi sebagai penasihat mukim.
Dewan Ulama Mukim terdiri dari Imeum Chik, Tengku Dayah, tengku Dayah
Chik, Tuha Peut/Tuha Lapan Mukim. Dewan ulama mukim merupakan badan
konsultatif Imeum Mukim bidang pemerintahan, pelaksanaan syariat dan
adat istiadat.
7-8
2.
7-9
DEWAN PENASIHAT
GAMPONG
Unsur
Pelayanan
Sekretariat
gampong
Perangkat Gampong
Keuchik/
Imeum Meunasah
Tuha Peut/
Tuha Lapan Gampong
Pelaksana Teknis
Keujreun blang,
peutua seuneubok,
panglima glee,
panglima uteun
Unsur
Wilayah
(Geuchik)
7 - 10
7.2
Partisipasi Swasta
7 - 11
7 - 12
datang dari swasta. Inisiatif tersebut kemudian dikoordinasikan dengan Bapel dan
Pemda untuk melihat keterkaitan antara inisiatif swasta tersebut dengan master plan
(rencana induk) dan keinginan masyarakat. Setelah melakukan koordinasi, Bapel
melakukan konfirmasi dan menerbitkan persetujuan teknis atas inisiatif tersebut.
Persetujuan teknis diteruskan untuk dituangkan dalam Nota Kesepakatan yang
ditandatangani oleh Swasta dan Bapel. Kesepakatan tersebut dapat dipakai sebagai
acuan oleh pihak swasta untuk melakukan kontrak dengan pihak ketiga, dan Bapel dapat
melaporkan jumlah dana ke Departemen Keuangan untuk dicatat dalam register. Pada
tahap implementasi, Bapel, Pemda dan swasta bersama-sama terlibat melaksanakan
kegiatan. Setelah implementasi selesai, Departemen Keuangan mencatat sebagai
penerimaan negara. Untuk monitoring, dilakukan oleh semua pihak yang terkait,
termasuk Departemen Keuangan.
7 - 13
Diagram 4:
Prosedur Bantuan Swasta
Dalam Membangun Kembali NAD
Donor
Bapel
Inisiatif
Inisiatif
Pemda
Depkeu
Inisiatif
Usulan
Konfirmasi
Persetujuan
Teknis
Memorandum of
Understanding
Kontrak dng
Pihak ke III
Pembayaran
Laporan
Jumlah Dana
Implementasi
Implementasi
Register
Implementasi
Pencatatan
Sbg Penerimaan
Negara
Monitoring
7 - 14
Bab 8
Pendanaan
Hasil kajian awal yang dilakukan oleh Bappenas bersama Bank Dunia, perkiraan
kerusakan dan kerugian (loss and damage assessment) yang ditimbulkan oleh gempa
bumi dan tsunami mencapai sekitar Rp. 41,40 triliun yang terdiri dari kerusakan di
berbagai sektor mencapai Rp. 27,19 triliun dan kerugian sebesar Rp 14,21 triliun. Jumlah
kerusakan dan kerugian tersebut hampir sebanding dengan lima kali APBD provinsi
NAD dan seluruh kabupaten/kota.
Pada tahap tanggap darurat yang merupakan kegiatan awal dan usaha penyelamatan
(rescue), dan merupakan kegiatan yang sangat sulit dilaksanakan akibat kelangkaan
berbagai sumber daya, secara kasar diperkirakan memerlukan dana tidak kurang dari
Rp. 5,1 triliun. Pada tahap ini sumber bantuan datang dari berbagai pihak mulai dari
masyarakat dan dermawan setempat, sampai kelompok-kelompok masyarakat, yayasan,
LSM, badan usaha, hampir dari seluruh Indonesia, baik dalam bentuk bantuan dana
maupun bantuan tenaga secara fisik. Bantuan juga berupa upaya-upaya kreatif
berbentuk koordinasi bantuan. Bantuan secara nyata juga dilakukan oleh aparat TNI
dan Kepolisian yang telah mengerahkan segala daya dan kemampuan untuk usaha
penyelamatan, pembersihan, dan mengatasi keadaan darurat. .
Sumbangan secara nyata juga dilakukan oleh berbagai lembaga/institusi internasional,
mulai dari kapal induk dan beberapa helikopter milik pemerintah Amerika beserta
ratusan tentaranya. Aparat militer juga hadir dari Australia, Inggris, Perancis, dan
berbagai negara eropa lainnya. Banyaknya bantuan dari negara sahabat, dan negara
sesama anggota ASEAN hampir seluruhnya memberikan bantuan pada tahap ini.
Kelompok masyarakat baik yang berbentuk Non Government Organization (NGO)
internasional atau kelompok khusus kemanusiaan yang juga terlibat dan membantu
dalam tahap tanggap darurat ini bahkan mencapai lebih dari 300 organisasi/lembaga.
Ratusan ribu jiwa yang meninggal dan hilang tidak akan pernah tergantikan, namun
upaya untuk mewujudkan masyarakat dan lingkungan yang lebih baik, harus menjadi
agenda rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah Aceh dan Nias, Sumatera Utara.
Pembangunan kembali provinsi NAD dan Nias, termasuk rekonsiliasi dari luka lama,
sehingga terwujud masyarakat yang lebih sejahtera, aman dan bebas dari rasa takut.
Pada tahap rehabilitasi dan rekonstruksi kebutuhan pendanaan akan jauh lebih besar
dibanding dengan pendanaan pada tahap tanggap darurat. Dalam pelaksanaan
rehabilitasi dan rekonstruksi kebutuhan dana yang paling besar adalah untuk keperluan
pembangunan sarana dan prasarana (infrastruktur), pembangunan sektor sosial,
pembangunan sektor produktif (ekonomi), dan sektor-sektor lainnya.
Sebagaimana dimaklumi, mengingat besarnya korban jiwa akibat bencana gempa dan
tsunami, pembangunan kembali sarana dan prasarana yang baru tentu akan
mempertimbangkan kondisi yang ada saat ini, baik dari segi jumlah penduduk yang ada,
8-1
Kebutuhan Pendanaaan
yang terkumpul,
8-2
dilakukan penyesuaian terhadap besarnya kebutuhan dana, dan untuk itu diperkirakan
tambahan kebutuhan dana sebesar Rp. 3.171,6 milyar. Di samping perlu juga di tambahkan
kebutuhan pendanaan untuk keperluan Lintas Sektor yaitu komponen Pemulihan Ketertiban
dan Kemanan sebesar Rp. 2.194,9 milyar serta kebutuhan dana komponen Bantuan
Pemulihan Sarana Produktif Masyarakat Aceh dan Nias sebesar Rp. 1.638,0 milyar yang
tidak tertampung dalam buku induk maupun buku rinci sebelumnya.
Dengan demikian jumlah kebutuhan dana rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah Aceh dan
Nias, Sumatera Utara setelah dilakukan penyesuaian akibat gempa tanggal 28 Maret 2005
seluruhnya berjumlah Rp. 48.767,8 milyar yang rincian per sektor dan komponennya dapat
dilihat pada Tabel 8.1.
Berdasarkan usulan Kementerian/Lembaga, kebutuhan dana rehabilitasi dan rekonstruksi
adalah sebesar Rp 58,3 triliun, dengan rincian untuk tahun 2005 sebesar Rp 5,1 triliun,tahun
2006 Rp 14,7 triliun, dan untuk tiga tahun berikutnya
sebesar Rp 30,7 triliun (lihat Tabel 8.2).
8-3
Tabel 8.1
Perkiraan Kebutuhan Dana Rehabilitasi dan Rekontruksi
(dalam miliar rupiah)
Sektor
Perkiraan
Kebutuhan
Pendanaan
300.0
84.0
216.0
2,508.0
1,110.0
622.0
776.0
2,808.0
1,194.0
838.0
776.0
14,564.0
8,295.7
2,095.1
4,173.1
Infrastructure
Perumahan
Perhubungan
Telekomunikasi
Energi
Air Minum dan Sanitasi
Prasarana Sumber Daya Air
Prasarana lainnya
16,129.0
13,098.0
1,542.0
80.0
10.0
170.0
1,229.0
5,216.0
94.0
3,442.0
123.0
622.0
106.0
829.0
21,345.0
13,192.0
4,984.0
203.0
632.0
276.0
2,058.0
-
26,593.6
5,384.9
10,848.8
386.6
4,386.9
3,270.0
1,913.8
402.6
Sektor Produksi
Pertanian dan Pangan
Perikanan
Industri dan Perdagangan
Tenaga kerja
UKM dan Koperasi
Pariwisata
10,207.0
1,490.0
4,729.0
3,988.0
418.0
230.0
23.0
165.0
10,625.0
1,720.0
4,752.0
4,153.0
1,499.2
492.1
870.9
41.1
17.0
73.3
4.8
130.0
6,309.0
5,105.0
829.0
375.0
6,439.0
5,105.0
829.0
375.0
6,111.0
1,315.0
680.0
283.0
2,195.0
1,638.0
Sektor Sosial
Pendidikan
Kesehatan
Agama dan kebudayaan
Lintas Sektor
Lingkungan Hidup.
Administrasi/Pemerintahan
Hukum
Ketertiban Keamanan
Bantuan Sarana Produksi
Perbankan
TOTAL
130.0
26,766.0
8-4
130.0
14,451.0
41,217.0
48,767.8
Tabel 8.2
Rekapituasi Usulan Dana Rehabilitasi dan Rekonstruksi
Yang Diajukan oleh Kementerian/Lembaga
Usulan
Tanggap Darurat
Rehabilitasi/Rekonstruksi
Total
2005
5,1
7,8
12,9
2006
14,7
14,7
Perkiraan kerusakan dan kerugian dihitung secara menyeluruh, meliputi sarana dan
prasarana umum, serta harta benda perseorangan (private property). Jumlah kebutuhan
pendanaan, belum termasuk kebutuhan yang diusulkan oleh pemerintah daerah dan
masyarakat yang juga harus diperhitungkan.
Terhadap kebutuhan pendanaan untuk pembangunan kembali yang diusulkan
departemen/lembaga pada tahap rehabilitasi dan rekonstruksi, selama lima tahun perlu
dilakukan penilaian kembali, antara lain dengan mempertimbangkan:
(1)
(2)
(3)
(4)
8.2
8-5
Rp. 3.9 triliun. Di samping itu juga terdapat dana Departemen/Lembaga yang berada di
provinsi NAD dan Nias baik berupa dana dekonsentrasi, tugas pembantuan maupun
dana instansi pusat yang kewenangannya tidak didesentralisasikan seperti bidang
agama, bidang peradilan serta bidang keuangan. Untuk kebutuhan tahun anggaran 2006
dan tahun-tahun berikutnya dana kebutuhan rehabilitasi dan rekonstruksi akan
langsung dimasukkan rancangan APBN.
Hibah luar negeri, terdiri dari hibah yang berasal dari negara-negara dan lembaga
donor yang tergabung dalam Consultative Group on Indonesia (CGI) telah
menyampaikan kesediaan dan memberikan janji (pledge) bantuan sekitar Rp 15.7 triliun
yang terdiri dari :
1.
Donor Bilateral
Rp. 8,0 triliun;
2.
Donor Multilateral Rp. 7,7 triliun
Berdasarkan penyalurannya, jumlah dana itu akan disalurkan dalam APBN on-budget
sebesar Rp. 9,1 trilun, dan sisanya sebesar Rp. 6,6 triliun akan disalurkan secara offbudget. Saat ini sudah dapat direalisasikan hibah dari Bank Pembangunan Asia (ADB)
sebesar US$ 300 juta.
Jumlah hibah tersebut akan bertambah setelah negara donor maupun lembaga
internasional melakukan need assessment. Pemberi hibah juga akan memberikan hibah
setelah Rencana Induk Rehabilitasi dan Rekonstruksi provinsi NAD dan Nias selesai.
Hibah dari swasta/masyarakat bersumber dari perusahaan, Non Government
Organization (NGO), perorangan dan sumber lain. Perkiraan dana hibah yang
bersumber dari Swasta/masyarakat diperkirakan sebesar Rp.13.50 triliun Penggalangan
dana untuk membantu korban tsunami dilakukan di berbagai negara. Dana yang
terkumpul dari swasta dapat lebih besar lagi dengan adanya upaya penggalangan dana
dari swasta/masyarakat yang akan dilakukan melalui Private Sector Summit on Post
Tsunami Reconstruction Program pada bulan Mei 2005. Oleh karena itu, pemerintah
menyediakan keikutsertaan swasta dan masyarakat dalam program rehabilitasi dan
rekonstruksi agar tercipta dan terjamin akuntabilitas, efektivitas, transparansi dalam
penyaluran dan penggunaannya.
Realokasi dana pinjaman luar negeri,
Realokasi pinjaman luar negeri dari Islamic Development Bank, Bank Dunia dan Bank
Pembangunan Asia (ADB) untuk proyek-proyek yang sedang berjalan merupakan salah
satu sumber pendanaan untuk pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi. Realokasi
dilakukan tanpa merugikan pembangunan daerah/provinsi lain. Dana yang direalokasi
adalah dana yang belum dialokasikan untuk kegiatan tertentu (unallocated), serta dana
dari sisa pinjaman yang tidak terpakai. Dana pinjaman yang tersedia untuk direalokasi
per tanggal 15 Maret 2005 sebesar .Rp. 2,49 triliun.
Pinjaman Luar Negeri baru
Dengan pendanaan yang begitu besar, serta ketersediaan dana dari hibah dan dana
dalam negeri yang terbatas, maka pinjaman luar negeri terutama yang sangat lunak
menjadi salah satu sumber dana untuk rehabilitasi dan rekonstruksi. Beberapa pinjaman
sangat lunak yang sudah disepakati, diantaranya dari Pemerintah Australia sebesar A$
500 juta, dengan masa pengembalian selama 40 tahun, tenggang waktu pembayaran
(grace period) selama 10 tahun, dan bunga 0%.
Moratorium merupakan salah satu sumber pembiayaan pelaksanaan rehabilitasi dan
rekonstruksi pada tahun anggaran 2005. Paris Club pada sidang tanggal 9 Maret 2005
8-6
telah memutuskan untuk memberikan moratorium utang kepada negara yang terkena
bencana tsunami sampai dengan 31 Desember 2005.
Indonesia mendapatkan
moratorium sebesar Rp. 3,9 triliun. Pembayaran hutang yang jatuh tempo tahun ini
ditangguhkan selama 5 tahun dengan masa tenggang satu tahun. Dengan adanya
moratorium tersebut, Pemerintah Indonesia pada tahun anggaran 2005 dapat memiliki
ruang gerak yang lebih lapang untuk penyediaan dana rehabilitasi dan rekonstruksi.
Meskipun demikian moratorium tersebut adalah penundaan beban, oleh karena itu
pemerintah harus mempertimbangkan beban anggaran pada saat penundaan tersebut
jatuh tempo.
Pemerintah Indonesia telah menyatakan persetujuannya untuk menerima tawaran
moratorium tersebut. Dengan diterimanya moratorium tersebut, maka pemerintah
Indonesia akan kehilangan sebagian hibah dari beberapa negara donor sebagai trade off
atas fasilitas moratorium, diantaranya pemerintah Indonesia akan kehilangan hibah dari
Amerika Serikat sebesar Rp. 270 miliar.
8.2.2 Non APBN
Dari berbagai sumber pendanaan terdapat sumber pendanaan yang berasal dari
masyarakat, lembaga donor dan dunia usaha yang bermaksud membantu pendanaan
rehabilitasi dan rekontruksi wilayah Aceh dan Nias dengan cara langsung melaksanakan
suatu kegiatan tertentu tanpa melalui APBN (off budget).
Meskipun pendanaan rehabilitasi dan rekontruksi menerapkan prinsip on budget,
namun sumbangan secara langsung dari masyarakat, lembaga donor dan dunia usaha
perlu difasilitasi. Untuk itu tatacara yang selama ini telah dilakukan dalam Program
Partnership yang dikelola oleh UNDP dapat digunakan sebagai model.
8.3
Pada dasarnya mekanisme dan prosedur pendanaan dalam rangka rehabilitasi dan
rekonstruksi Aceh dan Nias mengikuti prosedur baku pendanaan sebagaimana yang
tertuang dalam Undang-undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan
Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan serta aturan
pelaksanaan yang terkait dengan undang undang dimaksud.
Mekanisme pendanaan yang akan menggunakan APBN, baik rupiah murni maupun
pinjaman dilakukan dengan mekanisme yang baku sesuai aturan yang telah ditetapkan
Departemen Keuangan. Namun demikian untuk memperlancar rehabilitasi dan
rekonstruksi dapat dilaksanakan langkah-langkah percepatan antara lain: percepatan
penyelesaian administrasi dokumen anggaran, percepatan pembayaran melalui Kantor
Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) Khusus untuk melayani pelaksanaan
Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh dan Nias. KPPN tersebut juga akan melakukan
fungsi pembayaran valuta asing.
.
Badan Pelaksana (Bapel) yang dibentuk merupakan satuan kerja (satker), dan menjadi
pengguna anggaran dengan yang mempunyai dokumen anggaran (DIPA) tersendiri.
Mengingat DIPA dalam rangka Rehabilitasi dan rekonstruksi ada pada Bapel, maka
pelaksanaan pengadaan barang dan jasa serta penendatanganan kontrak dilakukan oleh
8-7
Bapel. Bapel berwenang untuk melaksanakan proyek proyek pada berbagai sektor yang
utama dan strategis (flagship) serta seluruh proyek yang lintas sektor.
Pemerintah Pusat
APBN
DAK
DAU
Bagi
Hasil
DIPA Bapel
DIPA Rekon
DAK/Dana Darurat
BADAN PELAKSANA
DIPA
Grant
Pemerintah Daerah
APBD
Rehabilitasi &
Rekonstruksi Sektoral
Pengeluaran Rutin
Proyek
Strategis
Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus dan Bagi Hasil yang ada di APBD akan
langsung dilaksanakan oleh pemerintah Provinsi NAD dan masing-masing Pemerintah
Kabupaten/Kota. Perencanaan dan pemanfaatan dana tersebut tetap dilaksanakan
sendiri oleh masing-masing pemerintah daerah, namun untuk kegiatan tertentu yang
sejenis dengan pekerjaan yang dilaksanakan Bapel, perlu dilakukan langkah-langkah
koordinasi dengan Bapel.
Untuk penyaluran dana hibah, dalam rangka rehabilitasi dan rekonstruksi provinsi NAD
dan Nias, Pemerintah Indonesia telah membuat kesepakatan dengan donor/lender
untuk memperpendek prosedur dan mempercepat proses, sehingga dana hibah dapat
segera dilaksanakan dengan lebih cepat.
Setelah melakukan perkiraan kebutuhan berdasarkan Rencana Induk di bawah
koordinasi Bappenas, para donor akan membuat dokumen kesepakatan, seperti: Grant
Agreement atau Memorandum of Understanding, Exchange of Notes atau sejenisnya.
Berdasarkan dokumen kesepakatan tersebut, proyek dapat segera melaksanakan
kegiatannya. Dokumen kesepakatan tersebut seyogyanya dicatatkan (registered) kepada
Departemen Keuangan, dan ditembuskan kepada Bappenas dan Sekretariat Kabinet.
Setiap Instansi akan mengeluarkan persetujuan sesuai dengan kewenangannya dan
sejalan dengan pelaksanaan di lapangan. Khusus untuk barang impor
harus
8-8
Donor
Executing
Agency/BAPEL
Bappenas
CCITC/Setkab
Departemen
Keuangan
Need Assesment
Dokumen Pelaksanaan
cc
Persetujuan
Pembebasan Pajak
dan Izin tinggal
Register
Pelaksanaan
Laporan
Pelaksanaan
Pencatatan
.
Alur persiapan, persetujuan dan pelaksanaan proyek/program sebagai berikut :
(1) Proposal proyek/program disiapkan oleh Pemerintah Indonesia;
(2) Steering Committee mengevaluasi usulan proyek/program dan memberikan
persetujuan;
(3) trustee melakukan penilaian (appraisal);
Perjanjian hibah antara Trustee dan Pemerintah indonesia.
Penampungan hibah dari Swasta (private)/masyarakat, sesuai dengan surat Menteri
Keuangan No. S-24/MK.06/2005 tanggal 18 Januari 2005. Menteri Keuangan telah
membuka 4 (empat) rekening di bank Indonesia untuk menampung hibah dari luar
negeri dan masyarakat dalam negeri dalam mata uang Rupiah (No. Rek 510.000.272),
Dollar Amerika Serikat (No. Rek 602.074.411), Japanese Yen (No. Rek. 602.075.111) dan
Euro (No. Rek. 602.076.991). Apabila swasta dalam dan luar negeri yang bermaksud
memberikan bantuan hibah dapat disetorkan langsung ke rekening tersebut diatas.
Namun demikian, apabila tidak bersedia untuk menyetorkan dananya, maka
swasta/masyarakat dapat melaksanakan sendiri, dengan ketetentuan bahwa
kegiatan/proyek yang akan dilaksanakan harus sudah dikonsultasikan dan disetujui oleh
8-9
Bapel untuk memastinkan kegiatan tersebut sesuai dengan Rencana Induk Rehabilitasi
dan Rekonstruksi provinsi NAD dan Kabupaten Nias.
8.4
8 - 10
Penanganan Pasca Bencana Alam Gempa Bumi dan Tsunami di propinsi NAD dan
Kabupaten Nias. Namun perlu dicatat bahwa pengaturan baru diluar Keppres 80 Tahun
2003 tersebut hanya berlaku di daerah propinsi NAD yang terkena bencana dan Nias,
dan hanya berlaku selama 5 (lima) tahun.
8 - 11
Bab 9
Penerapan Prinsip-Prinsip Tata
Kelola Yang Baik dan Pengawasan
Pelaksanaan
Untuk menjamin keberhasilan pencapaian tujuan/sasaran rehabilitasi dan rekonstruksi
wilayah Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Nias, Sumatera Utara serta untuk
menghindarkan terjadinya korupsi dan penyimpangan lainnya, harus diterapkan
prinsip-prinsip tata-kelola yang baik (good governance) dalam pelaksanaan rehabilitasi
dan rekonstruksi. Langkah-langkah strategis yang perlu dilakukan mencakup tindakan
preventif dan represif terhadap korupsi dan penyalahgunaan wewenang lainnya.
Langkah preventif berupa penerapan prinsip-prinsip tata-kelola yang baik dengan 4
(empat) prinsip utama, yaitu transparansi, partisipasi, akuntabilitas dan penegakan
hukum dan sejalan dengan prinsip tata kelola lainnya yaitu amanah, jaminan keadilan,
berorientasi kesepakatan, responsif, berhasil guna dan berdaya guna. Sedangkan
langkah represif berupa pengawasan terhadap pelaksanaan rencana induk (R3WANS).
Pedoman ini hanya mengatur pengawasan oleh Aparat Pengawasan Internal
Pemerintah (APIP) termasuk Satuan Pengawas Internal pada Badan Pelaksana
Rehabilitasi dan Rekonstruksi serta mendorong pengawasan oleh masyarakat umum
dan stakeholders. Adapun pengawasan/pemeriksaan oleh Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), DPR dan DPRD Provinsi/
Kabupaten/Kota terhadap pelaksanaan rencana induk ini dilakukan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
9.1.
Seluruh pelaksanaan kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah Aceh dan NiasSumatera Utara oleh Badan Pelaksana atau instansi/lembaga lain dibawah koordinasi
Badan Pelaksana harus menerapkan prinsip-prinsip tata kelola yang baik, untuk itu,
perlu disusun sistem manajemen yang dapat mendorong terwujudnya transparansi dan
partisipasi publik, akuntabilitas, taat asas, serta prinsip-prinsip pelaksanaan program
rehabilitasi dan rekonstruksi lainnya. Lebih detail, unsur utama tata kelola pelaksanaan
rehabilitasi dan rekonstruksi adalah:
9-2
mekanismenya yang jelas. Beberapa media yang dipandang efektif dan efisien, antara
lain melalui Website (internet) rehabilitasi dan rekonstruksi yang dirancang secara
terpadu untuk seluruh program, kotak pos pengaduan, telepon bebas pulsa, serta
diskusi/pertemuan terbuka dengan publik dipimpin oleh Dewan Pengawas dan Badan
Pelaksana rehabilitasi dan rekonstruksi. Perlu dibentuk Tim atau Unit yang mengolah
dan mempelajari masukan, kritik dan saran yang diterima dari publik. Tim akan
mengevaluasi kelayakan informasi untuk ditindak lanjuti. Tanggapan, jawaban atau
tindak lanjut dilakukan paling lambat 5 (lima) hari kerja dan dimuat di website. Untuk
pelaksanaan mekanisme ini diperlukan sarana dan sumber daya manusia di bidang
teknologi informasi yang memadai. Sedangkan untuk pengawasan yang dilaksanakan
dalam bentuk forum pertemuan, pihak Badan Pelaksana memberikan tanggapan dan
jawaban yang objektif dan bila diminta/diperlukan dapat disampaikan dalam bentuk
jawaban/tanggapan tertulis.
9-3
2.
3.
4.
5.
Realisasi/pertanggunggjawaban keuangan/pembiayaannya.
Pengelolaan barang inventaris/persediaan/bantuan.
Kendala/permasalahan yang dihadapi dan penanganan/penyelesaiannya.
Pengaduan masyarakat dan stakeholders lainnya serta tindak lanjutnya.
9.2
9-4
9.3
Sanksi
Review Berkala
9-5
Bab 10
Kelembagaan
Dalam membangun kembali secara cepat wilayah Aceh dan Kepulauan Nias, Sumatera
Utara yang terkena bencana gempa bumi dan tsunami, diperlukan penanganan dengan
cara khusus yang cepat, sistematis, terarah, terpadu dan menyeluruh dengan
melibatkan partisipasi luas para pemangku kepentingan (stakeholders), dan
memperhatikan aspirasi dan prioritas kebutuhan masyarakat setempat.
Untuk melaksanakan proses rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah Aceh dan Kepulauan
Nias-Sumatera Utara secara efektif dan efisien, diperlukan suatu badan rehabilitasi dan
rekonstruksi yang mempunyai tugas, kewenangan dan tanggung jawab yang
menyeluruh, terpusat dan terkoordinasi, guna melaksanakan perencanaan,
pelaksanaan, pengendalian dan evaluasi pelaksanaan berdasarkan asas tata
kepemerintahan yang baik, berhasil guna, transparan dan akuntabel. Badan tersebut
dalam menjalankan kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi berpedoman pada Rencana
Induk yang telah ditetapkan dan menjabarkannya secara lebih operasional dan detail
sesuai dengan kondisi yang ada di lapangan dan prioritas kebutuhan masyarakat
setempat.
10.1
Struktur Kelembagaan/Organisasi
Pembentukan badan rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah Aceh dan Kepulauan NiasSumatera Utara berada di bawah dan bertanggungjawab langsung kepada Presiden.
Secara fungsional, terdapat tiga kelengkapan organisasi yang ada dalam struktur badan
rehabilitasi dan rekonstruksi, yakni: (a) Dewan Pengarah, (b) Dewan Pengawas, dan (c)
Badan Pelaksana.
a. Dewan Pengarah
Dewan pengarah adalah kelengkapan organisasi dalam struktur badan rehabilitasi dan
rekonstruksi yang memiliki fungsi pengarah, mengemban tugas memberikan arahan
dalam perumusan, perencanaan, dan pelaksanaan proses rehabilitasi dan rekonstruksi.
Anggota Dewan Pengarah merupakan representasi berbagai pemangku kepentingan
(stakeholders) seperti dari unsur masyarakat, unsur akademisi/perguruan tinggi, unsur
pemerintah baik pemerintah pusat dan pemerintah daerah, serta unsur lain yang dapat
mendukung fungsi pengarah. Anggota Dewan Pengarah bertanggung jawab untuk
meyakinkan bahwa aspirasi berbagai pihak yang diwakilinya telah menjadi acuan dalam
proses rehabilitasi dan rekonstruksi. Dewan Pengarah memberikan laporan atas
pelaksanaan tugas-tugasnya kepada Presiden Republik Indonesia.
b. Dewan Pengawas
Dewan pengawas adalah kelengkapan organisasi dalam struktur badan rehabilitasi dan
rekonstruksi yang memiliki fungsi pengawas, mengemban tugas antara lain (i)
melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan proses rehabilitasi dan rekonstruksi; (ii)
menerima dan menindaklanjuti pengaduan yang disampaikan oleh masyarakat; (iii)
melakukan audit pelaksanaan tugas Badan Pelaksana. Dalam melakukan audit dan
membantu pelaksanaan tugas-tugasnya, Dewan Pengawas dapat menggunakan jasa
profesional auditor independen atau tenaga ahli lainnya. Pelaksanaan tugas-tugas
tersebut, dilaporkan secara berkala kepada Presiden.
Para anggota Dewan Pengawas berasal dari individu-individu yang memiliki
pemahaman memadai di bidang pengawasan, yang terdiri dari unsur-unsur tokoh
nasional dan tokoh masyarakat Aceh yang independen. Selain itu, dimungkinkan dari
perwakilan negara/lembaga donor masuk dalam keanggotaan Dewan Pengawas. Untuk
menjamin dan memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam pelaksanaan
rehabilitasi dan rekonstruksi, maka hasil-hasil pengawasan yang telah dilakukan
terbuka bagi publik untuk mengakses.
c. Badan Pelaksana
Badan pelaksana adalah kelengkapan organisasi dalam struktur badan rehabilitasi dan
rekonstruksi yang memiliki fungsi pelaksana, mengemban tugas antara lain (i)
merumuskan strategi dan kebijakan operasional; (ii) menyiapkan rencana tindak dan
melaksanakan kegiatan; (iii) melaksanakan kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi
untuk proyek tertentu sesuai kesepakatan instansi/institusi lainnya; dan (iv)
memastikan penggunaan dana rehabilitasi dan rekonstruksi dilakukan dengan
menjunjung tinggi integritas dan bebas dari tindak pidana korupsi.
Untuk mengefektifkan pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi, dan pencapaian
target/sasaran yang telah ditetapkan khususnya yang digariskan dalam rencana induk
dan rencana rinci pada masing-masing bidang rehabilitasi dan rekonstruksi, maka
struktur organisasi Badan Pelaksana dapat dikembangkan sesuai dengan kebutuhan
dan optimalisasi kinerja pelaksanaan.
Badan Pelaksana disamping mengemban tugas-tugas sebagaimana tersebut di atas,
mempunyai kewenangan antara lain; (i) mengelola pelaksanaan rehabilitasi dan
rekonstruksi wilayah dan kehidupan masyarakat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
dan Kepulauan Nias, Sumatera Utara; (ii) mengelola sumberdaya yang ada, baik
sumberdaya manusia maupun keuangan untuk melaksanakan rehabilitasi dan
rekonstruksi; (iii) menjalin kerjasama dengan pihak-pihak yang berhubungan dengan
pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi; dan (iv) meminta bantuan berupa informasi
dan dukungan teknis dalam pelaksanaan tugasnya kepada Pemerintah Pusat,
Pemerintah Daerah, dan pihak-pihak yang terkait lainnya, dan (v) mengorganisasikan
dan mengkoordinasikan pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi yang dilakukan oleh
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan pihak yang terkait lainnya.
Pelaksanaan tugas dan wewenang Badan Pelaksana tersebut mengacu pada rencana
induk dan rencana rinci rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah Aceh dan Nias-Sumatera
Utara yang disusun oleh Pemerintah bersama dengan Pemerintah Daerah. Selain itu,
10 - 2
Pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah Aceh dan Nias-Sumatra Utara, harus
dilandasi prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik (good governance) yang
meliputi transparansi, akuntabilitas, partisipatif, independensi dan mendahulukan
kepentingan umum. Penerapan prinsip-prinsip tersebut, untuk menjaga kredibilitas di
mata rakyat Indonesia dan dunia internasional, dan khususnya untuk memastikan
bahwa pembiayaan dan pelaksanaan kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi tepat
sasaran sesuai dengan tujuan yang ditetapkan, dan dapat dipertanggungjawabkan
kepada publik. Pelaksanaan prinsip-prinsip Good Governance juga berlaku untuk
seluruh pihak-pihak terkait, dalam pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi.
10.3. Hubungan Antar Lembaga
Pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh dan Nias-Sumut dikhawatirkan
menimbulkan kompleksitas hubungan antar lembaga, mengingat cakupan kegiatannya
dimobilisasi secara masif dan cepat. Untuk itu diperlukan pengaturan hubungan antar
lembaga agar proses pelaksanaannya tetap dapat terkoordinasi secara baik sesuai
dengan lingkup tugas dan wewenang yang ada pada masing-masing lembaga/instansi
terkait. Beberapa hal yang diatur antara lain sebagai berikut:
(1)
10 - 3
10.4. Pendanaan
Pendanaan yang dibutuhkan untuk pembiayaan pelaksanaan rehabilitasi dan
rekonstruksi berasal dari berbagai sumber, baik dari dalam negeri maupun luar negeri.
Dari dalam negeri seperti dana khusus untuk rehabilitasi dan dana perimbangan,
sedangkan dari luar negeri seperti dari pinjaman luar negeri, hibah dan moratorium.
Mengingat sifat urgensi dari kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi, proses penyaluran
dana-dana di atas dapat menggunakan prosedur khusus yang diatur lebih lanjut dengan
Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan dan Pimpinan Badan Pelaksana.
10.5. Pertanggungjawaban dan Pelaporan
Badan rehabilitasi dan rekonstruksi menyampaikan laporan pertanggungjawaban
kepada Presiden dan dilaksanakan dengan cara menerbitkan berbagai laporan dalam
bentuk laporan semesteran, tahunan dan laporan akhir, serta menyediakan informasi
laporan pertanggungjawaban kepada publik. Laporan tersebut sekurang-kurangnya
memuat laporan pengelolaan kegiatan dan laporan pengelolaan keuangan dan
anggaran.
Laporan keuangan badan rehabilitasi dan rekonstruksi diaudit oleh auditor
independen. Laporan Keuangan dan Laporan Kegiatan, beserta laporan auditnya dapat
diakses oleh masyarakat luas.
10 - 4
STRUKTUR ORGANISASI
BADAN REHABILlTASI DAN REKONSTRUKSI WILAYAH DAN
KEHIDUPAN MASYARAKAT PROVINSI NANGGROE ACEH
DARUSSALAM DAN KEPULAUAN NIAS, PROVINSI
SUMATERAUTARA
PRESIDEN
DPR/DPD/DPRD
(NAD/SUMUT)
RENCANA INDUK
Dewan Pengawas
Badan Pelaksana
Rehabilitasi dan
rekonstruksi Wilayah
dan Kehidupan
Masyarakat provinsi
Nanggroe Aceh
Darussalam dan
A
Kepulauan
Nias,
Sumatera Utara
IMPLEMENTASI
10 - 5
Dewan Pengarah
Bab 11
Penutup
Buku Utama Rencana Induk ini disusun bersama-sama dan dilengkapi dengan
Buku Rencana berdasarkan bidang-bidang rehabilitasi dan rekonstruksi. Bukubuku rencana bidang tersebut dilampirkan bersama-sama serta merupakan
bagian utuh yang tidak terpisahkan dari Buku Utama ini.
Pelaksanaan Rencana Induk Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah Aceh dan
Nias ini dapat menghadapi potensi tantangan serta perlunya pengelolaan masa
peralihan dari waktu ditetapkannya rencana ini sampai efektifnya tugas dan
fungsi Badan Pelaksana.
Setelah rencana induk ini ditetapkan secara resmi oleh Presiden Republik
Indonesia sebagai pedoman kebijakan pemerintah dalam penyelenggaraan
Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah Aceh dan Nias, selanjutnya buku ini
akan menjadi pegangan dan acuan bagi Badan Pelaksana (BAPEL) Rehabilitasi
dan Rekonstruksi Wilayah Aceh dan Nias, Sumatera Utara, khususnya Badan
Pelaksana Harian yang selanjutnya akan menjabarkan kebijakan, strategi, dan
rencana-rencana yang ada ke dalam rencana aksi dan kegiatan-kegiatan rinci,
sesuai dengan periode waktu yang ditetapkan.