Anda di halaman 1dari 119

REPUBLIK INDONESIA

RENCANA INDUK
REHABILITASI DAN REKONSTRUKSI
WILAYAH ACEH DAN NIAS, SUMATERA UTARA

BUKU UTAMA

APRIL 2005

Kata Pengantar
Gempa bumi dan tsunami yang melanda sebagian besar wilayah pesisir
Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias di Sumatera Utara pada
tanggal 26 Desember 2004 dan terjadinya gempa bumi di Kepulauan Nias pada
tanggal 28 Maret 2005 yang lalu, telah menimbulkan korban jiwa dan
kerusakan yang sangat dahsyat. Indonesia belum pernah menghadapi bencana
yang sedemikian besar. Bangsa kita berduka dan menangis. Tetapi pada saat
yang sama, bangsa kita juga menunjukkan rasa solidaritas yang sangat tinggi
untuk menolong dan meringankan beban masyarakat di Aceh dan Nias yang
terkena bencana.
Dalam tiga bulan pertama setelah bencana 26 Desember 2004, seluruh tenaga
telah kita kerahkan untuk mengisi tahap tanggap darurat yang bertujuan untuk
menyelamatkan mereka yang masih selamat agar mampu mempertahankan
hidupnya sekalipun dengan kebutuhan hidup yang paling mendasar.
Setelah melampaui tahap tanggap darurat dan kita harus melaksanakan
rehabilitasi, yang kemudian harus dilanjutkan dengan rekonstruksi.
Rehabilitasi bertujuan untuk memulihkan fungsi pelayanan publik yang
membutuhkan waktu sekitar satu atau dua tahun, dan diharapkan tuntas pada
akhir Desember 2006. Rekonstruksi bertujuan untuk membangun kembali
sistem kemasyarakatan, sistem ekonomi, jaringan infrastruktur, dan fungsi
pemerintahan, yang diperkirakan butuh waktu dua sampai lima tahun, dan
diharapkan selesai pada akhir tahun 2009.
Untuk melaksanakan rehabilitasi dan rekonstruksi tersebut, dibutuhkan
perencanaan yang holistik dan komprehensif yang tetap bercirikan
keistimewaan Aceh maupun Nias, dalam bentuk Rencana Induk Rehabilitasi
dan Rekonstruksi Wilayah Aceh dan Nias, Sumatera Utara.
Dokumen ini dapat diselesaikan dalam waktu yang sangat singkat, di tengah
tahap tanggap darurat, karena disusun secara kolaboratif dan dikerjakan
bersama-sama oleh para pihak terkait, baik di pusat maupun daerah, oleh
instansi pemerintah maupun lembaga non pemerintah. Sekali lagi, kita telah
menunjukkan rasa solidaritas dan kebersamaan dalam melakukan perencanaan,
sekaligus upaya mencegah agar di kemudian hari terhindar dari kerusakan
akibat bencana serupa.
Rencana Induk ini terdiri dari Buku Utama dan Buku Rencana Rinci dari 11
bidang terkait.
Selanjutnya, dokumen ini akan digunakan sebagai landasan bagi Pemerintah
Daerah dan Badan Pelaksana Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah Aceh dan
Nias, Sumatera Utara dalam menyusun rencana aksi dan pelaksanaannya.
Jakarta, April 2005

Daftar Isi
Kata Pengantar
Daftar Isi
Bab 1

PENDAHULUAN
1.1
1.2
1.3
1.4
1.5

Bab 2

Latar Belakang
Tujuan
Landasan Hukum
Kerangka Waktu
Sistematika Penulisan Buku Rencana Induk

DAMPAK BENCANA DAN UPAYA PENANGGULANGAN


2.1

Gambaran Bencana dan Perkiraan Dampak Bencana


2.1.1 Aspek Sosial dan Kemasyarakat
2.1.2 Aspek Ekonomi
2.1.3 Aspek Infrastruktur
2.1.4 Aspek Pemerintahan
2.1.5 Aspek Lingkungan Hidup
2.2 Upaya Penanggulangan Dampak Bencana
2.2.1 Tanggap Darurat
2.2.2 Rehabilitasi dan Rekonstruksi
Bab 3

1-1
1-2
1-3
1-3
1-3

2-1
2-3
2-4
2-6
2-8
2-9
2-9
2-11
2-13

PRINSIP-PRINSIP DASAR DAN KEBIJAKAN UMUM


3.1 Visi dan Misi
3-1
3.2 Prinsip-Prinsip Dasar Rehabilitasi dan Rekonstruksi 3-2
3.3 Kebijakan Umum
3-2

Bab 4

KEBIJAKAN DAN STRATEGI BIDANG


4.1 Pembangunan Kembali Masyarakat
4.1.1 Agama
4.1.2 Sosial Budaya
4.1.3 Kesehatan
4.1.4 Pendidikan
4.1.5 Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
4.1.6 Ketahanan Masyarakat
4.1.7 Hukum
4.1.8 Kelembagaan Agama dan Adat Dalam Kegiatan
Sosial Masyarakat
4.2 Pembangunan Kembali Ekonomi
4.3 Pembangunan Kembali Infrastruktur
4.4 Pemulihan Pemerintahan Propinsi, Kabupaten/Kota

ii

4-4
4-4
4-4
4-6
4-7
4-8
4-9
4-10
4-11
4-12
4-13
4-15

Bab 5

PENATAAN RUANG
5.1 Tujuan
5.2 Kebijakan dan Strategi
5.3 Kebijakan Struktur dan Pola Pemanfaatan Ruang
Provinsi NAD
5.4 Kebijakan Struktur dan Pola Pemanfaatan Ruang
Kabupaten/Kota
5.4.1 Sistem Kota
5.4.2 Struktur Ruang Kota
5.4.3 Kawasan Non Budidaya
5.4.4 Kawasan Budidaya
5.5 Arahan Pemanfaatan Ruang Kabupaten/Kota
5.5.1 Kota Banda Aceh
5.5.2 Kabupaten Aceh Jaya
5.5.3 Kabupaten Aceh Barat
5.5.4 Kabupaten Nagan Raya
5.5.5 Kabupaten Simeulue
5.5.6 Kota Lhokseumawe
5.5.7 Kabupaten Bireuen
5.5.8 Kabupaten Pidie dan Kota Sigli
5.5.9 Kabupaten Nias

Bab 6

Bantuan Pemulihan Aset Produktif Non Publik


Hak kepemilikan tanah
Anak dan Perempuan
Masalah Keamanan

5-11
5-11
5-12
5-12
5-12
5-13
5-15
5-17
5-19
5-21
5-24
5-27
5-28
5-32

6-1
6-3
6-5
6-6

PARTISIPASI MASYARAKAT DAN DUNIA USAHA


7.1

Partisipasi Masyarakat
7.1.1 Prinsip dan Definisi
7.1.2 Kebijakan
7.1.3 Mekanisme Pelaksanaan
7.1.4 Model Kelembagaan dan Partisipasi
Masyarakat Aceh
7.2 Partisipasi Swasta
7.2.1 Prinsip dan Definisi
7.2.2 Kebijakan
7.2.3 Mekanisme Pelaksanaan

Bab 8

5-9

ISU LINTAS BIDANG


6.1
6.2
6.3
6.4

Bab 7

5-1
5-1

7-1
7-2
7-3
7-4
7-7
7-11
7-11
7-12
7-12

PENDANAAN
8.1 Kebutuhan pendanaan
8.2 Sumber-sumber pendanaan
8.2.1 APBN
8.2.2 Non APBN
8.3 Mekanisme pengelolaan pendanaan
8.4 Pengadaan Barang dan Jasa

iii

8-2
8-5
8-5
8-6
8-6
8-9

Bab 9

PENERAPAN PRINSIP-PRINSIP TATA KELOLA YANG


BAIK DAN PENGAWASAN PELAKSANAAN
9.1 Penerapan prinsip tata kelola yang baik
9.1.1 Penerapan Prinsip Akuntabilitas
9.1.2 Penerapan Prinsip Transparansi dan
Partisipasi
9.1.3 Penerapan Prinsi Penegakan Hukum
9.1.4 Pelaporan Pelaksanaan Rehabilitasi dan
Rekonstruksi
9.2 Pengawasan Terhadap Pelaksanaan
9.2.1 Lembaga Pengawasan
9.2.2 Koordinasi Pengawasan
9.2.3 Partisipasi dan Kemitraan Dalam Pengawasan
9.3 Sanksi
9.4 Review Berkala

9-1
9-1
9-2
9-3
9-3
9-4
9-4
9-4
9-5
9-5
9-5

Bab 10 KELEMBAGAAN
10.1 Struktur Kelembagaan/Organisasi
10.1.1 Dewan Pengarah
10.1.2 Dewan Pengawas
10.1.3 Badan Pelaksana
10.2 Tata Kelola Yang Baik (Good Governance)
10.3 Hubungan Antar Lembaga
10.4 Pendanaan
10.5 Pertanggungjawaban dan Pelaporan
Bab 11 PENUTUP

iv

10-1
10-1
10-2
10-2
10-3
10-3
10-4
10-4

Bab 1
Pendahuluan
1.1

Latar Belakang

Pada tanggal 26 Desember 2004, suatu gempa bumi yang berskala sangat kuat (8,9 skala
Richter) telah terjadi di Samudera Hindia di lepas pantai barat laut Pulau Sumatera.
Gempa
yang
kemudian
menyebabkan
gelombang
tsunami
ini
telah
memporakporandakan sebagian besar wilayah Aceh dan Nias di wilayah Indonesia,
sebagian wilayah Thailand, Sri Lanka, Maladewa (Maldives), Bangladesh, Burma,
bahkan sampai ke pantai Somalia di Afrika Timur.
Di Aceh dan Nias, bencana gempa dan gelombang tsunami ini telah merusakkan
sebagian besar wilayah pesisir Aceh, menelan banyak korban jiwa, menghancurkan
sebagian besar infrastruktur, permukiman, sarana sosial seperti bangunan-bangunan
pendidikan, kesehatan, keamanan, sosial, dan ekonomi publik, dan bangunan-bangunan
pemerintah. Bencana ini juga telah mempengaruhi kondisi sosial dan ekonomi
masyarakat, termasuk kondisi psikologis, dan tingkat kesejahteraannya.
Berdasarkan informasi terakhir yang diperoleh dari Badan Koordinasi Nasional
Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi (Bakornas PBP) pada tanggal 21
Maret 2005 jumlah korban dari 20 kabupaten di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
(NAD)1 diperkirakan mencapai 126.602 meninggal dunia dan telah dimakamkan, serta
hilang sebanyak 93.638 orang , sementara jumlah korban di Provinsi Sumatera Utara
diperkirakan 130 orang meninggal dan 24 orang hilang2. Dari sumber informasi yang
sama,jumlah pengungsi yang tersebar sebanyak 514.150 jiwa di 21 kabupaten/kota seProvinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Berdasarkan hasil perhitungan, nilai kerusakan dan kerugian di kedua wilayah tersebut
secara total diperkirakan mencapai Rp 41,4 triliun, di mana sebagian besar (78 persen)
merupakan aset hak milik masyarakat (non-publik), sementara sisanya merupakan aset
pemerintah.
Berdasarkan kenyataan tersebut, Pemerintah Republik Indonesia bersama-sama dengan
masyarakat internasional yang bersimpati atas bencana dan dampak yang
ditimbulkannya telah secepatnya melakukan upaya-upaya tanggap darurat (emergency
relieve efforts) yaitu terutama bertujuan untuk menolong korban-korban yang masih
hidup, segera menguburkan jenazah-jenazah untuk mencegah dampak lanjutan, dan
memberi pertolongan cepat untuk menyelamatkan kehidupan sosial-ekonomi
masyarakat yang terkena bencana.
Selanjutnya upaya tanggap darurat segera akan ditindaklanjuti dengan upaya-upaya
rehabilitasi seluruh sendi-sendi kehidupan masyarakat Aceh dan Nias, dan kemudian
1
2

Data Departemen Dalam Negeri per tanggal 9 Maret 2005 pk 06.00 WIB.
Data Bokornas PBP, 14 Maret 2005

seterusnya melaksanakan rekonstruksi dan pembangunan kembali wilayah ini agar


kembali seperti sediakala, bahkan lebih maju dari sebelumnya.
Seluruh upaya rehabilitasi dan rekonstruksi terhadap Aceh dan Nias di dalam jangka
menengah mendatang harus didasarkan kepada suatu Rencana Induk Rehabilitasi dan
Rekonstruksi yang didasarkan kepada berbagai filosofi, norma-norma, peraturan
perundang-undangan dan aspirasi masyarakat yang terkena bencana, serta ada dalam
kerangka komprehensif dan holistik. Namun demikian kebijakan dan strategi
pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh, tetap harus dilakukan dalam kerangka
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) melalui pelaksanaan Otonomi Khusus
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor
18 Tahun 2001. Otonomi Khusus dimaksud memberikan keleluasaan kepada daerah
baik dalam aspek pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan sesuai dengan nilai
dan budaya lokal yang berlandaskan pada penerapan syariah Islam. Sementara itu untuk
rehabilitasi dan rekonstruksi di Kabupaten Nias dilaksanakan dengan mendayagunakan
kapasitas Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Utara dan Kabupaten Nias yang relatif
tidak terganggu oleh adanya bencana tsunami, dengan membangun kembali prasarana
dan sarana yang rusak.

1.2

Tujuan

Buku Utama dari Rencana Induk Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Nias ini
dijadikan sebagai pedoman untuk:
1. Membangun kesepahaman dan komitmen antara pemerintah pusat dengan
pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, dunia usaha, masyarakat,
perguruan tinggi/akademisi, LSM, lembaga donor serta masyarakat internasional
dalam membangun kembali Aceh dan Nias ke depan;
2. Menyusun rencana tindak Rehabilitasi dan Rekontruksi Wilayah Aceh dan Nias
pascagempa dan tsunami yang langsung dapat dilaksanakan oleh berbagai pihak
yang terlibat dalam bentuk action plan;
3. Melakukan koordinasi, sinkronisasi dan integrasi rencana dari berbagai sektor, dunia
usaha dan masyarakat (stakeholder) dalam menetapkan Rencana Aksi Rehabilitasi
dan Rekonstruksi Wilayah Aceh dan Nias berdasarkan kerangka waktu, lokasi,
sumber pendanaan dan penanggung jawab pelaksanaannya;
4. Melakukan sosialisasi, diseminasi dan penyebaran data serta informasi kepada
masyarakat lokal, nasional dan internasional tentang bencana alam, dampak
bencana, penilaian kerusakan dan kerugian, penilaian kebutuhan, serta sistem
peringatan dini (early warning system) terhadap ancaman bencana;
5. Menggalang solidaritas, partisipasi, dan keterlibatan berbagai pihak masyarakat
(civil society) dalam rencana dan upaya rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah Aceh
dan Nias melalui dialog dan konsultasi publik;
6. Mengembangkan sistem dan mekanisme mobilisasi pendanaan dari sumber APBN,
APBD, masyarakat dan dunia internasional secara efisien, efektif, transparan,
partisipatif dan dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan prinsip good
governance.

1-2

1.3

Landasan Hukum

Secara legal formal, landasan hukum yang melatarbelakangi penyusunan rencana induk
rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah Aceh dan Nias-Sumatera Utara ini adalah Instruksi
Presiden Nomor 1 Tahun 2005 tentang Kegiatan Tanggap Darurat dan Perencanaan
serta Persiapan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Dampak Bencana Alam Gempa Bumi dan
Gelombang Tsunami di Wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Provinsi
Sumatera Utara, yang diterbitkan pada tanggal 2 Maret 2005.
Rencana induk ini disusun oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan
Nasional/Bappenas melalui kerjasama dengan berbagai pihak terkait, seperti
kementerian/lembaga di tingkat pusat, serta dengan Pemerintah Daerah Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam dan kabupaten/kota se-Aceh dan Kabupaten Nias, Provinsi
Sumatera Utara, serta melibatkan pula berbagai perguruan tinggi yang dikoordinasikan
oleh Universitas Syiah Kuala, komunitas donor internasional, lembaga swadaya
masyarakat (LSM), dan berbagai pihak lainnya yang terkait. Data dan informasi yang
dikumpulkan mencakup berbagai aspek terkait, seperti fisik, ekonomi, sosial, budaya,
agama, demografi, kelembagaan dan kewilayahan.
Penyusunan rencana induk ini juga dilakukan melalui analisis yang holistik,
komprehensif dan terpadu. Khususnya untuk daerah Aceh, penyusunannya
memperhatikan 4 (empat) nilai yang melandasi pembangunan kembali Aceh, yang
terdiri dari nilai kemanusiaan (universalisme), nilai ke-Indonesia-an, nilai ke-Aceh-an,
serta nilai ke-Islam-an. Rencana induk ini juga disusun dengan memperhatikan
Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional 2004-2009, serta RPJM
Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan RPJM Daerah Kabupaten/Kota yang
terkena bencana di wilayah Aceh dan Kabupaten Nias, Provinsi Sumatera Utara.
Khususnya untuk Aceh, adanya beberapa peraturan perundangan yang terkait dengan
aspek pemerintahan dan pembangunan di Nanggroe Aceh Darussalam, khususnya
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Kekhususan Aceh dan Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi NAD, serta dengan adanya
Keputusan Presiden yang melandasi pelaksanaan Darurat Sipil dan Tertib Sipil di Aceh,
juga dijadikan pertimbangan khusus di dalam penyusunan rencana induk rehabilitasi
dan rekonstruksi wilayah Aceh.

1.4

Kerangka Waktu

Rencana induk rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah Aceh dan Nias Sumatera Utara ini
mencakup kurun waktu selama lima tahun yaitu 2004-2009, sejalan dengan kurun
waktu pelaksanaan RPJM. Setelah berakhirnya RPJM 2004-2009, dokumen rencana
induk rehabilitasi dan rekonstruksi ini akan dijadikan acuan bagi penyusunan rencana
tindak lanjut pemulihan dan pembangunan kembali wilayah Aceh dan Nias dalam kurun
waktu yang lebih panjang, termasuk secagai acuan di dalam penyusunan Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
dan Kabupaten/Kota di wilayah Aceh dan Kabupaten Nias di Provinsi Sumatera Utara.

1.5

Sistematika Penulisan Buku Rencana Induk

Rencana induk rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah Aceh dan Nias-Sumatera Utara
secara keseluruhan terdiri dari dua belas buku, yang mencakup satu Buku Utama dan
sebelas Buku Rinci yang meliputi:

1-3

1. Buku Utama

RENCANA INDUK REHABILITASI DAN


REKONSTRUKSI WILAYAH ACEH DAN NIAS,
SUMATERA UTARA

2. Buku Rencana Bidang


Buku I
: RENCANA BIDANG TATA RUANG DAN PERTANAHAN
Buku II
: RENCANA BIDANG SUMBERDAYA ALAM DAN
LINGKUNGAN HIDUP
Buku III : RENCANA BIDANG INFRASTRUKTUR DAN PERUMAHAN
Buku IV : RENCANA BIDANG EKONOMI DAN KETENAGAKERJAAN
Buku V
: RENCANA BIDANG KELEMBAGAAN DAERAH
Buku VI : RENCANA BIDANG PENDIDIKAN DAN KESEHATAN
Buku VII : RENCANA BIDANG AGAMA, SOSIAL DAN BUDAYA
Buku VIII : RENCANA BIDANG HUKUM
Buku IX : RENCANA BIDANG KETERTIBAN, KEAMANAN, DAN
KETAHANAN MASYARAKAT
Buku X
: PENERAPAN PRINSIP-PRINSIP TATA KELOLA YANG BAIK
DAN PENGAWASAN
Buku XI : PENDANAAN
Buku utama dari rencana induk rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah Aceh dan NiasSumatera Utara tersebut berisikan gambaran mengenai dampak bencana dan upaya
penanggulangan yang telah dilakukan; serta beberapa prinsip dasar, kebijakan dan
strategi umum pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi. Selanjutnya juga dijabarkan
secara khusus kebijakan dan strategi penataan ruang, serta beberapa permasalahan
lintas bidang (cross-cutting issues) yang terkait dengan bantuan pemulihan aset
produktif non-publik hak kepemilikan tanah, penanganan perempuan dan anak korban
bencana; serta masalah keamanan dalam pengelolaan rehabilitasi dan rekonstruksi.
Rencana induk ini disusun melalui berbagai forum konsultasi publik yang melibatkan
berbagai pemangku kepentingan (stakeholders). Pengelolaan rehabilitasi dan
rekonstruksi selanjutnya diperlukan pelibatan masyarakat dan dunia usaha untuk
mewujudkan pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi yang aspiratif dan partisipatif.
Selanjutnya secara khusus, buku utama rencana induk ini juga mengemukakan
kelembagaan pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi.
Buku utama rencana induk juga mencakup aspek pendanaan dan akuntabilitas dan
pengawasan pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi, yang merupakan pedoman
umum dalam pembiayaan dan pengawasan pelaksanaan kegiatan rehabilitasi dan
rekonstruksi secara keseluruhan.
Buku rencana rinci masing-masing bidang memuat inventarisasi kerusakan dan
kerugian; upaya yang telah dan sedang dilakukan pada tahap tanggap darurat; sasaran,
arah kebijakan dan strategi rehabilitasi dan rekonstruksi; dan rencana rinci kegiatan
rehabilitasi dan rekonstruksi masing-masing bidang yang dijabarkan ke dalam wilayah
kabupaten/kota, antarwilayah kabupaten/kota, serta kegiatan rinci lainnya yang berlaku
umum dan tidak terkait dengan pemanfaatan kawasan (aspasial).
Untuk masing-masing peruntukan di atas, rencana rinci dari setiap bidang berisikan:
nama program yang mengacu pada fungsi, subfungsi, dan program APBN; nama
kegiatan; sasaran (kuantitatif); kelompok sasaran; cakupan kegiatan; indikator
keberhasilan; jadwal waktu pelaksanaan; keterkaitan dengan program/kegiatan lainnya;
instansi pelaksana dan penanggung jawab; perkiraan biaya dan sumber pembiayaannya.

1-4

Bab 2
Dampak Bencana Dan
Upaya Penanggulangan
2.1

Gambaran Bencana dan Perkiraan Dampak Bencana

Skala bencana yang terjadi dapat dilihat dari besarnya jumlah korban manusia dan
kerusakan yang ditimbulkannya. Sebanyak 16 (enam belas) kabupaten/kota mengalami
kerusakan. Dari seluruh kabupaten/kota yang terkena bencana tsunami, kabupaten/kota
yang mengalami kerusakan terparah adalah Kota Banda Aceh, Kabupaten Aceh Jaya dan
Kabupaten Aceh Besar. Desa yang terkena tsunami sebanyak 654 desa (11,4 persen) dan
diperkirakan persentase keluarga miskin terkena tsunami sebesar 15,16 persen (63.977
KK)1
Sampai saat ini, jumlah korban yang terdata terus meningkat, demikian pula kerusakan
yang berhasil diinventarisasi. Jumlah korban di 15 kabupaten di Provinsi NAD2
diperkirakan mencapai 126.602 meninggal dunia dan telah dimakamkan, serta hilang
93.638 orang (dari jumlah ini diperkirakan sebagian meninggal/berada di pengungsian/di
luar Aceh). Jumlah pengungsi sampai dengan tanggal 21 Maret 2005 adalah sebanyak
514.150 jiwa di 21 kabupaten/kota3. Sementara jumlah korban di Provinsi Sumatera Utara
diperkirakan 130 orang meninggal dan 24 orang hilang4.
Secara keseluruhan, tragedi bencana gempa dan tsunami di Aceh dan Sumatera Utara
tersebut diperkirakan memiliki dampak kerugian sekitar 2,7% dari PDB Nasional atau
lebih dari 97% dari PDRB Provinsi Aceh.
Tabel 2.1. Rangkuman Hasil Penilaian Kerusakan dan Kerugian
Sektor
Sektor sosial, termasuk: perumahan,
pendidikan, kesehatan, agama dan budaya

Kerusakan
13,657

Kerugian
532

Total
16,186

Sektor infrastruktur, termasuk : transport,


komunikasi, energy, air dan sanitasi,
bendungan

5,915

2,239

8,154

Sektor Produksi, termasuk : agribisnis,


perikanan, industri dan perdagangan

3,273

7,721

8,154

Lintas Sektor , termasuk : lingkungan,


Pemerintahan, bank dan Keuangan

2,346

3,718

6,064

27.191

14,210

41,401

Total (Rp. Triliun )

Sumber : Damage and Loss Assessment, Bappenas dan World Bank, 18 Januari 2004

Data UNSYIAH for Aceh Reconstruction, 7 Maret 2005


Data Bakornas PBP, 21 Maret 2005 jam 17.00 WIB
3 Himpunan Laporan Satlak I, II, dan III
4 Data Bakornas PBP, 21 Maret 2005 jam 17.00 WIB
1

2-1

Gambar 2.1: Jumlah Pengungsi per 21 Maret 2005


SABANG
BANDA
ACEH
ACEH
BESAR

LHOKSEUMAWE
PIDIE

BIREUEN

ACEH
UTARA

ACEH
JAYA
ACEH
TIMUR

ACEH
TENGAH

ACEH
BARAT

LANGSA

ACEH
TAMIANG

NAGAN
RAYA
GAYO
LUWES

ACEH
BARAT
DAYA

ACEH
SELATAN

ACEH
TENGGARA

Jumlah pengungsi
per kabupaten

0 - 5000
SIMEULEU

5001 - 15000
ACEH
SINGKIL

15001 - 30000
30001 - 60000
60001 - 150000

Sumber data: Bakornas PBP, 21 Maret 2005, pk 17.00 WIB

2-2

Tabel 2.2. Jumlah Pengungsi per Kabupaten/Kota


No
.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21

Kab/Kota
Banda Aceh
Aceh Besar
Sabang
Pidie
Bireuen
Aceh Utara
Lhokseumawe
Aceh Timur
Langsa
Aceh Tamiang
Aceh Jaya
Aceh Barat
Nagan Raya
Aceh Barat Daya
Aceh Selatan
Aceh Singkil
Simeulue
Bener Meriah
Aceh Tengah
Gayo Lues
Aceh Tenggara
TOTAL

Jumlah Pengungsi
Rumah
Barak/
Penduduk/Tenda
Huntara
Darurat
48,360
1,561
91,157
6,328
3,712
74,404
11,456
46,768
3,035
26,662
450
952
1,542
13,182
527
6,156
3,224
38,217
2,205
70,804
1,885
16,560
480
3,480
16,148
105
18,009
648
5,288
234
611
484,576
29,574

Total
49,921
97,485
3,712
85,860
49,803
27,112
2,494
13,709
6,156
3,224
40,422
72,689
17,040
3,480
16,148
105
18,009
648
5,288
234
611
514,150

Sumber: Laporan Satlak I Lhokseumawe tgl 18 Maret 2005, revisi jumlah pengungsi di hunian sementara

2.1.1

Aspek Sosial dan Kemasyarakatan

Selain korban jiwa, bencana gempa dan tsunami tersebut juga menyebabkan kerusakan di
berbagai sektor dan bidang kehidupan. Dalam aspek sosial dan kemasyarakatan
kerusakan terjadi antara lain pada bidang pendidikan, kesehatan dan keagamaan. Untuk
aspek pendidikan diperkirakan 1.168 sekolah terkena dampak yang meliputi rusak
ringan, rusak berat ataupun hancur, atau setara dengan 16,1% dari jumlah sekolah yang
ada sebelum bencana. Untuk setiap jenjang pendidikan, kerusakan yang teridentifikasi
adalah 100 TK/RA, 735 SD/MI, 201 SMP/MTs, 109 SMU/SMK/MA, 18 PT/PTA dan 5 SLB.
Keseluruhan kerusakan dan kerugian di bidang pendidikan diperkirakan bernilai Rp.1,0
Triliun.
Untuk aspek kesehatan 6 rumah sakit mengalami kerusakan yaitu: RS Dr. Zainoel
Abidin, RS Jiwa Banda Aceh, RSUD Meuraksa, RSUD Calang dan RS Malahayati dan RS
Permata Hati. Selain itu kerusakan juga antara lain terjadi pada poliklinik 6 unit,
puskesmas 41 unit, polindes 390 unit, puskesmas pembantu 59 unit, politeknik kesehatan
6 unit, kantor dinas kesehatan 3 unit, laboratorium kesehatan, kantor kesehatan pelabuhan
3 unit, gudang farmasi 3 unit, balai besar pengawasan obat dan makanan, dan puskesmas
keliling/ambulan. Keseluruhan kerusakan diperkirakan bernilai Rp.765,9 miliar,
sementara kerugian bernilai Rp.87 miliar5.
Dalam aspek keagamaan kerusakan terjadi pada berbagai tempat ibadah dan fasilitas
kantor Departemen Agama yang mencakup Kanwil Departemen Agama Provinsi Nangroe
5

Data Bank Dunia

2-3

Aceh Darussalam, Asrama Haji embarkasi Banda Aceh, Kantor Departemen Agama
Kabupaten/kota dan Kantor urusan Agama (KUA). Tempat ibadah di Aceh yang
mengalami kerusakan terdiri dari 1.069 mesjid dan mushola, 8 gereja, 2 pura/ vihara6.
Sedangkan di Kabupaten Nias tempat ibadah yang mengalami kerusakan adalah 8 gereja, 2
mesjid, 2 rumah dinas pendeta, dan 2 rumah guru pendidikan agama kristen.
Untuk aspek pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak diperkirakan
jumlah perempuan di tempat-tempat pengungsian berkisar 37,1%; yang hamil 0,3% dan
ibu yang menyusui 1%; banyak perempuan harus menjadi kepala keluarga atau menjadi
pencari nafkah utama; proporsi anak diantara populasi pengungsi sekitar 15-25%;
perempuan dan anak di tempat pengungsian memerlukan kebutuhan yang spesifik;
seluruh korban mengalami trauma fisik dan psikis karena banyak orang tua yang
kehilangan anak dan anak yang kehilangan keluarganya; pengungsi telah tersebar ke
beberapa daerah di luar Provinsi NAD, sehingga perempuan dan anak menjadi rentan
terhadap traficking.
2.1.2 Aspek Ekonomi
Dalam aspek perekonomian, bencana menyebabkan kerusakan pada bidang perindustrian
dan perdagangan, koperasi, usaha kecil dan menengah, pertanian dan kehutanan,
perikanan dan kelautan serta ketenagakerjaan.
Perkiraan di bidang ekonomi menunjukkan jumlah Bank Umum terkena tsunami 17,61
persen (25 unit) dan BPR sebanyak 8,89 persen (4 unit). Dari keseluruhan kredit yang
diberikan sektor perbankan sebesar Rp 3.9 triliun, sekitar Rp 2 triliun diperkirakan
menjadi kredit bermasalah (IDB, Januari 2005)7.
Dalam bidang perindustrian, Industri Kecil dan Menengah (IKM) tingkat kerusakan
diperkirakan mencapai rata-rata 65%, industri besar 60%. Terdapat juga kerusakan
infrastruktur Departemen Perindustrian. PT. Semen Andalas Indonesia mengalami rusak
parah. BUMN lain yang juga mengalami kerusakan adalah PT. Pupuk Iskandar Muda dan
PT. ASEAN Aceh Fertilizer. Kerusakan aset industri manufaktur pada skala menengah
diperkirakan mencapai Rp.84 miliar. Selain itu, terdapat 92.000 industri kecil/rumah
tangga di Aceh dan sekitar 12.500 industri kecil/rumah tangga di Nias yang mengalami
kerusakan. Bila diasumsikan rata-rata nilai aset industri kecil/rumah tangga tersebut
sebesar Rp.30 juta maka total nilai kerusakan diperkirakan industri kecil dan mencapai
Rp.3,1 triliun8. Lebih spesifik lagi UMKM yang terkena tsunami sebanyak 20,88 persen
(5.176 unit), hotel 30,41 persen (59 unit), restoran 17,20 persen (1.119 unit), pasar 1,29
persen (195 unit), dan warung sebanyak 16,71 persen (7.529 unit)9.
Fasilitas perdagangan di Aceh yang diperkirakan mengalami kerusakan meliputi 65
kelompok pertokoan, 54 pasar permanen, 69 pasar non-permanen, 69 supermarket, 1
pasar hewan, 19 pasar ikan, 25 bank umum dan 4 bank perkreditan rakyat. Kerusakan juga
menimpa 59 hotel dan tempat penginapan serta usaha kecil yang bergerak di bidang
perkayuan, kulit, besi, keramik, pakaian dan pengolahan makanan10.
Dalam bidang pertanian dan kehutanan, terdapat kerusakan sawah 23.330 ha, dan
lahan tegalan 22.785 ha. Di areal tersebut terdapat tanaman pangan dan hortikultura yang
diusahakan oleh petani setempat. Jaringan irigasi tersier dan kwarter yang mengalami
kerusakan di 31 kecamatan (8 kabupaten) dengan areal irigasi 8.275 ha. Kerusakan
Data Departemen Agama
Dikutip dari buku UNSYIAH for Aceh Reconstruction, 7 Maret 2005
Data Departemen Perindustrian dan Bank Dunia
9 Berdasarkan data dari UNSYIAH for Aceh Reconstruction, 7 Maret 2005
10 Data Mapframe ADB
6
7

2-4

tanaman perkebunan rakyat seluas 43.500 ha yang terdiri dari kelapa 23.533 ha, karet
5.395 ha, kopi 6.242 ha, mete 6.931 ha, kelapa sawit 1.600 ha, pinang 2.761 ha, kakao 2.768
ha, nilam 710 ha, cengkeh 4.600 ha, pala 1.808 ha, dan jahe 218 ha. Di samping itu juga
berbagai peralatan seperti hand traktor, pompa air, traktor besar, alat pengolah nilam,
karet, minyak kelapa, pengolah dendeng dan lainnya ikut rusak. Lahan pertanian
kehilangan kesuburannya akibat lumpur, penggaraman, pasir, erosi, dan sebagainya, di
mana diperkirakan 5000-7000 ha lahan hilang secara permanen.11. Rekapitulasi bidang
pertanian dan kehutanan berdasarkan data Departemen Pertanian adalah sebagai berikut:
Tabel 2.3

Rekapitulasi Kerusakan dalam Bidang Pertanian12


Kerusakan Lahan Pertanian

NO
1
2
3
4
5
6
7
8
14
15
16
17
18
19
20

Kabupaten dan
Kota
Sabang
Banda Aceh
Aceh Besar
Pidie
Bireuen
Aceh Utara
Kota
Lhokseumawe
Aceh Timur
Aceh Barat
Nagan Raya
Aceh Jaya
Simeulue
Aceh Selatan
Aceh Barat Daya
Aceh Singkil
Jumlah

Sawah
(ha)

Kebun
(pohon)

Ladang
(ha)

4,147
75
5,611
1,859
2,118
1,224
2,119
1,432

7,048
11,304
9,575

Ternak
Hilang
(ekor)

50
9,465
3,072
567
612

32,061
332,505
500,000
238,301
153,961
74,460
27,292

14,950

1,114

251,962

1,560
3,068
79

137,765
156,280

3,080

14,895
12,240
14,937
9,636
3,729

23,330

102,461

24,345

757
1,645
3,410

4,758
1,904,587

Dalam bidang perikanan dan kelautan, Khusus di sektor perikanan, terdapat 19 unit
(0,37 persen) TPI (tempat pelelangan ikan) yang rusak13, dan dari 72 buah Pangkalan
Pendaratan Ikan (PPI) yang tersebar di 8 kabupaten, 32 buah terkena dampak tsunami,
yaitu 5 di kabupaten Aceh Besar, 6 di kabupaten Pidie, 10 di kabupaten Aceh Utara, dan 8
di kabupaten Aceh Barat. Sedangkan di Nias Sumatera Utara, terdapat 1 Pangkalan
Pendaratan Ikan (PPI) di Pasar Sirombu yang terkena dampak tsunami.
Dari 16.070 unit armada perikanan tangkap di Aceh, jumlah armada penangkapan ikan
yang berlokasi di daerah yang terkena dampak tsunami mencapai 9.563 unit, yang terdiri
dari 3.969 unit (41,5%) berupa perahu tanpa motor, 2.369 unit (24,8%) perahu motor
tempel, dan 3.225 unit (33,7%) berupa kapal motor dengan ukuran antara < 5 GT s/d 50
GT.
Sementara itu budi daya tambak di Provinsi NAD tersebar di 11 kabupaten/kota pantai
yang umumnya terkena dampak langsung dari bencana gempa bumi dan tsunami, dengan
luas total sebelum terkena bencana sebesar 36.614 Ha14.

Data Departemen Pertanian dan Bank Dunia


Tim Penanggulangan Bencana Nasional Departemen Pertanian,2005
13 Data dari UNSYIAH for Aceh Reconstruction, 7 Maret 2005
14 Data Bank Dunia
11

12

2-5

Dalam aspek ketenagakerjaan, dari jumlah angkatan kerja di Aceh sebanyak 2.254.155
orang, diperkirakan 25% kehilangan pekerjaan akibat bencana alam, 30% di sektor
pertanian kehilangan pekerjaan akibat kerusakan lahan dan sekitar 170 ribu orang
kehilangan pekerjaan di sektor UKM. Selain itu, diperkirakan 60.000 pekerjaan hilang
karena kematian tenaga kerja, dan diasumsikan 130.000 nelayan kehilangan pekerjaan,
setidaknya untuk sementara. Total pengangguran diperkirakan akan mencapai 30% di
daerah yang terkena bencana15.
2.1.3 Aspek Infrastruktur
Dampak bencana terhadap aspek infrastruktur mencakup kerusakan pada bidang
perumahan, perhubungan, energi dan ketenagalistrikan, pos dan telekomunikasi, air
minum dan sanitasi, sumber daya air, serta prasarana dan sarana lainnya.
Dalam bidang perumahan total rumah, baik modern, semi modern dan tradisional,
yang mengalami kerusakan diperkirakan berjumlah lebih dari 280 ribu rumah16, baik rusak
total maupun rusak sebagian. Kerusakan cukup berat terjadi di sepanjang Pantai Barat dan
Utara meliputi wilayah Banda Aceh, Aceh Besar, Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya, Pidie,
Bireuen, Aceh Timur, dan Aceh Utara. Keseluruhan kerugian bernilai Rp.13 triliun yang
mencakup nilai kerusakan perumahan tersebut, kerusakan infrastruktur dasar dan
kerusakan peralatan rumah tangga17. Akibat gempa bumi tanggal 28 Maret 2005 kerusakan
juga terjadi di Kabupaten Nias, Nias Selatan di Sumatera Utara dan Kabupaten Aceh
Singkil di NAD.
Bidang perhubungan terdiri dari perhubungan darat, laut, dan udara. Untuk
perhubungan darat, kondisi jalan nasional dan provinsi sebelum bencana gempa dan
tsunami dapat diklasifikasikan 32,7 persen dalam keadaan baik, 35,8 persen mengalami
kerusakan ringan, dan 31,5 persen mengalami rusak berat. Setelah bencana gempa dan
tsunami, kondisi tersebut memburuk menjadi hanya sekitar 28,4 persen dalam keadaan
baik, sedangkan sisanya sebesar 71,6 persen dalam keadaan rusak (35,7 persen rusak
ringan dan 35,9 persen rusak berat). Untuk jembatan, kerusakan diperkirakan mencapai 25
persen dari total jembatan nasional (21.340 m) dan jembatan provinsi (14.015 m)18. Lintas
Barat (Banda Aceh-Lamno-Calang-Meulaboh-Tapak Tuan-Bakongan) kerusakan jalan baik
ringan maupun berat sekitar 280,36 km, berikut jembatan yang rusak sekitar 3.781 m;
Lintas Timur (Banda Aceh-Sigli-Bireuen-Lhokseumawe-Langsa) kerusakan jalan sekitar
243,86 km dan jembatan 1.703 m; pada lintas Lintas Tengah dan Penghubung Lintas
Barat-Timur terjadi kerusakan jalan sekitar 337,54 km dan jembatan sepanjang 150 m;
serta kerusakan pada ruas jalan lain sekitar 763,35 km dan jembatan 340 m. Sementara di
provinsi Sumatera Utara khususnya Nias Jalur Lolowau-Sirombu dan TuhemberuaLahewa mengalami kerusakan badan jalan sepanjang sekitar 5 km, dan kerusakan lantai
maupun oprit pada beberapa jembatan.
Di samping itu, pada tiga kota besar yaitu Banda Aceh, Meulaboh, Lhokseumawe sebagian
besar terminal bus mengalami kerusakan berat, sedangkan terminal bus di Sigli, Langsa,
Bireuen, Gunung Sitoli, dan Perum Damri Banda Aceh mengalami kerusakan dalam
tingkat yang bervariasi antara rusak ringan dan sedang. Kerusakan juga terjadi pada
jembatan timbang, Unit Pemeriksaan Kendaraan Bermotor (PKB), serta rambu dan marka
jalan.

Data Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Bank Dunia


Data Pokja Bidang Prasarana dan Sarana R3WANS
17 Data Bank Dunia
18 Data Dinas Prasarana Wilayah Provinsi NAD
15

16

2-6

Pelabuhan laut dan ASDP (Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan) memiliki kondisi
kerusakan yang bervariasi, di samping beberapa pelabuhan dalam kondisi laik operasi.
Kerusakan terutama terjadi pada di pelabuhan sepanjang Pantai Barat dan Pantai Utara.
Pelabuhan yang mengalami kerusakan berat antara lain Malahayati, Ulee Lheue, Calang,
dan Melulaboh, sedangkan kerusakan ringan terjadi di Pelabuhan Sabang, Lhokseumawe,
Susoh, Tapak Tuan, Singkil, Sinabang, Balohan, Labuhan Haji, Lamteng, Pulau Banyak,
dan Singkil.
Beberapa prasarana pelabuhan udara mengalami kerusakan ringan dan kerusakan berat,
sedangkan beberapa dalam kondisi laik operasi. Bandara Cut Nyak Dien-Meulaboh dalam
kondisi runway patah dan retak; Bandara Maimun Saleh-Kota Sabang memiliki kondisi
landasan yang baik namun sistem komunikasi rusak; Bandara Sultan Iskandar MudaBanda Aceh dalam kondisi landasan yang baik namun tower rusak; Bandara Cut Ali-Tapak
Tuan dalam kondisi laik operasi; Bandara Lasikin-Sinabang mengalami penurunan
landasan pacu; Bandara Malikul Saleh-Lhok Seumawe dalam kondisi laik operasi; serta
Bandara Rembele-Takengon dalam kondisi laik operasi.
Bidang energi dan ketenagalistrikan dalam kondisi kerusakan serta penurunan
tingkat operasi yang bervariasi. Secara umum semua daerah kerja unit cabang kelistrikan
mengalami kerusakan sistem yang meliputi Pembangkitan (PLTD), sistem Distribusi, dan
Sarana penunjang lainnya. Daerah terberat yang mengalami kerusakan adalah daerah kerja
PLN Cabang Banda Aceh yang meliputi Kodya Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar,
serta daerah kerja Cabang Meulaboh yang meliputi Kabupaten Aceh Jaya, Aceh Barat dan
Nagan Raya. Kerusakan pada jaringan distribusi meliputi: (i) Jaringan Tegangan m-sistem
yang terisolasi terutama di wilayah NAD bagian tengah dan wilayah NAD bagian barat. Ja
Menengah (JTM) sepanjang 1.046 kms (11,76 persen); (ii) Jaringan Tegangan Rendah
(JTR) sepanjang 2.394 kms (21,61 persen); (iii) Gardu Distribusi sebanyak 736 buah (16,24
persen); (iv) Sambungan Rumah (SR) sebanyak 119.253 pelanggan (18 persen); dan (v)
Gardu Hubung (GH) sebanyak 6 buah (7,44 persen). Kerusakan pembangkit meliputi 16
unit mesin pembangkit diesel (PLTD) atau 7,44 persen; sedangkan kerusakan lainnya
meliputi meter elektronik sebanyak 246 buah (41,48 persen) dan gedung kantor sebanyak
6 buah.
Dalam bidang energi, kerugian akibat bencana tsunami terjadi terutama pada Kreung
Raya dan Meulaboh. Selain itu, terdapat beberapa Depot yaitu di Lhokseuwawe, Gunung
Sitoli dan Sabang mengalami kerusakan yang relatif kecil. Kantor Pertamina di Banda Aceh
mengalami kerusakan yang cukup parah. Kerusakan jaringan pengisian bahan bakar
terjadi di beberapa tempat terutama di Banda Aceh yaitu sebanyak 3 unit SPBU; 3 SPBN di
Lamputo, Sigli dan Meulaboh; 3 unit SPDN di beberapa KUD, kehilangan 17 mobil tangki
kerosin, serta lebih kurang 12.500 tabung Elpiji @12 kg dan ratusan dos minyak pelumas.
Dalam bidang pos dan telematika, terdapat 19 kantor pos yang mengalami kerusakan
berat bahkan sebagian diantaranya rata dengan tanah. Fasilitas telekomunikasi seluler
milik PT. Indosat, PT. Telkomsel, PT. Telkom, dan PT. PSN banyak yang mengalami
kerusakan, terutama pada dudukan BTS di wilayah pantai barat serta jaringan fix-phone
pada area bencana. Kerusakan fasilitas telepon pedesaan dengan teknologi PFS di Provinsi
Nangroe Aceh Darussalam sebanyak 66 SST, di Nias-Sumut sebanyak 6 SST. Sedangkan
kerusakan fasilitas telekomunikasi yang menggunakan teknologi radio sebanyak 62 SST di
Provinsi NAD dan 9 SST di Nias-Sumut.
Dalam bidang air minum dan sanitasi, kerusakan mencakup jaringan penyediaan air
minum, penanganan air limbah, persampahan, serta drainase, dengan tingkat kerusakan
bervariasi dari 10% sampai dengan 90%. Kerusakan tersebut antara lain terjadi pada
bangunan intake, instalasi (unit Instalasi Pengolahan Air /IPA), jaringan pipa distribusi air
minum, fasilitas Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT), serta fasilitas Tempat

2-7

Pembuangan Akhir (TPA). Di samping itu, jaringan drainase makro dan mikro hampir
seluruhnya tidak berfungsi akibat tertutup oleh pasir, lumpur, dan puing-puing bangunan.
Dalam bidang sumber daya air, kerusakan lahan beririgasi mencapai sekitar 33.142 ha
yang terdiri dari daerah irigasi di wilayah pantai 13.698 ha dan wilayah non-pantai 19.444
ha; kerusakan prasarana sungai sepanjang 46,20 km, baik sungai besar, menengah
maupun kecil; serta bangunan pengamanan pantai sepanjang 35,06 km. Kerusakan
prasarana dan sarana sumber daya air terutama terkonsentrasi pada daerah pantai Barat
dan pantai Timur Laut Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Kerusakan berat terjadi pada
bangunan-bangunan pengendali banjir termasuk sistem pemecah gelombang. Dari
penginderaan satelit, bangunan pengendali banjir yang baru dikerjakan di muara Krueng
Aceh telah mengalami rusak berat sepanjang lebih dari 2 kilometer ke arah darat.
2.1.4 Aspek Pemerintahan
Dalam aspek pemerintahan, kerusakan/kerugian mencakup : (a) aparatur daerah dan
pusat, kepala daerah dan anggota DPRD ; (b) sarana prasarana pemerintahan mulai
tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan, Mukim dan Kelurahan/Desa; dan (c) batas
administrasi.
(a) Aparatur daerah dan pusat, kepala daerah dan anggota DPRD, berdasarkan data dari
lapangan, jumlah aparat pemerintah daerah di seluruh di Provinsi NAD (Provinsi,
Kabupaten/Kota) berjumlah 76.655 orang aparat. Dari jumlah tersebut aparat yang
meninggal dunia sebanyak 2.992 orang, sementara yang dilaporkan hilang sebanyak
2.274 orang. Sedangkan kepala daerah yang meninggal adalah Walikota Banda Aceh,
dan pejabat yang masih hilang adalah Bupati Aceh Barat Daya. Sementara Anggota
DPRD Provinsi yang meninggal 3 orang dan Anggota DPRD Kabupaten Aceh Barat 1
orang. Aparatur pusat yang terdata antara lain: BPN meninggal 40 orang, Kejaksaan
Agung 105 orang, TNI meninggal 63 orang dan hilang sebanyak 302 orang, dan Polri
meninggal 170 orang dan hilang 952 orang.
(b) Bangunan sarana dan prasarana gedung perkantoran di wilayah Nanggroe Aceh
Darussalam pasca bencana yang mengalami tingkat kerusakan relatif tinggi terdapat di
4 kabupaten dan tingkat provinsi: (1) Pemerintah Provinsi NAD, (2) Kota Banda Aceh,
(3) Kabupaten Aceh Barat, (4) Kabupaten Aceh Besar dan (5) Kabupaten Aceh Jaya.
Pada tingkat kecamatan, yang tidak berfungsi 24 Kecamatan dari 241 kecamatan.
Kabupaten/Kota yang jumlah kecamatannya lebih dari 50 % masih belum berfungsi
adalah Kabupaten Aceh Jaya. Pada tingkat desa/kelurahan, yang tidak berfungsi
sebanyak 640 kelurahan/desa dari 5.947 desa/kelurahan yang ada. Berdasarkan data
terakhir, akibat gempa pada tanggal 28 Maret 2005, kerusakan bangunan juga terjadi
pada Kantor Bupati Kabupaten Simeuleu. Sedangkan kerusakan bangunan pada
Kabupaten Nias yaitu rusaknya 1 kantor bupati dan 4 kecamatan.
(c) Administrasi Wilayah. Bencana yang terjadi telah menyebabkan adanya perubahan
batas administrasi wilayah. Perubahan luas wilayah yang cukup besar terjadi di Banda
Aceh, yaitu mencakup sampai 67 % dari luas awal. Sedangkan untuk wilayah desa,
rata-rata mengalami perubahan akibat desa yang tenggelam sekitar 10% sampai 20%,
dengan perubahan terbesar terdapat pada Desa Ule Lhee (dari 67 Ha menjadi 54 Ha)
dan Desa Alue Naga (dari 242 Ha menjadi 194 Ha).
Perkiraan kerugian di aspek pemerintahan adalah sebesar Rp. 338,835 Milyar akibat
kerusakan gedung pemerintahan tingkat provinsi, kabupaten/kota, kecamatan,
kelurahan/desa, rusaknya peralatan dan dokumen serta hilang dan meninggalnya aparatur
pemerintah daerah.

2-8

2.1.5 Aspek Lingkungan Hidup


Dalam aspek lingkungan hidup, kerusakan di antara lain mencakup kerusakan
mangrove, terumbu karang, budidaya rumput laut, lahan persawahan, kehilangan ternak,
pencemaran air, pencemaran udara, dan limbah padat. Kerusakan diperkirakan terjadi
pada 90% dari 525 ha mangrove, 30% dari 97.250 ha terumbu karang dan 20% dari 600 ha
budi daya rumput laut. Dari hasil pemantauan kualitas air menunjukkan air berwarna
coklat sampai kehitaman, keruh dan berbau. Parameter lain yang melebihi baku mutu
adalah konsentrasi Amoniak, Total Coliform dan sebaran E. coli. Tingkat pencemaran
udara di daerah bencana cukup tinggi khususnya untuk partikulat/debu yang berasal dari
lumpur yang mengering. Pencemaran limbah padat terjadi sebagai akibat dari limbah
puing-puing bangunan, limbah benda-benda dan bahan milik masyarakat, material laut,
mayat manusia yang membusuk, bangkai hewan, dan lumpur tsunami. Di beberapa tempat
kandungan logam berat Cd, Cu, dan Pb di dalam lumpur tsunami telah melampaui ambang
batas yang ditetapkan19.
Dari 5.736 desa di 17 kabupaten/kota diperkirakan 654 terkena bencana, dan berkaitan
dengan tata guna tanah, keseluruhan tanah yang terkena dampak bencana diperkirakan
mencapai 667.066 ha dari sekitar 4 juta ha tanah di 17 kabupaten/kota tersebut. Lahan
sawah milik masyarakat yang mengalami kerusakan mencapai 20.101 ha20. Sedangkan
tanah non-pertanian yang juga terkena dampak bencana meliputi 113.929 ha perkebunan,
91.517 ha tanah negara, 44.312 ha perumahan, dan 1.714 ha tanah bangunan industri.
Terdapat daerah yang tenggelam di 4 kecamatan yaitu Kecamatan Meuraya, Syiah Kuala,
Kuta Raja dan Jaya Baru. Sementara jumlah aspek tanah yang terdaftar di daerah yang
terkena bencana adalah 405.755 aspek dari perkiraan 1.498.200 jumlah aspek tanah yang
ada di Provinsi NAD21.
Pantai Barat yang mengalami kerusakan dapat dibagi menjadi tiga wilayah dengan
karakteristik sebagai berikut22:
1. Pantai dengan daratan tipis dan tebing perbukitan. Jarak perbukitan dari pantai
berkisar 0-1,5 Km, sehingga perkampungan yang ada umumnya hilang, dan banyak
penduduk (korban sekitar 90%) tidak dapat menyelamatkan diri karena umumnya
tebing bukit/gunung hamper 90 derajat, dan berbatu cadas (tidak bisa dipanjat).
Hanya sedikit kawasan yang mempunyai akses ke daratan tinggi melandai. Kawasan
tersebut meliputi: Lhonga, Leupung, Jeumpa, Lhong,
2. Pantai dengan daratan dan terdapat beberapa bukit kecil di tengahnya. Kawasan
meliputi: Lamno, Lhok Krut, Calang, Panga.
3. Pantai dengan daratan berawa-rawa. Kawasan tersebut meliputi: Suak Timah,
Meulaboh, Pesisir pantai Kab. Abdya.

2.2

Upaya Penanggulangan Dampak Bencana

Upaya penanggulangan dampak bencana dilakukan melalui pelaksanaan tanggap


darurat dan pemulihan kondisi masyarakat dan wilayah Aceh dan Nias. Upaya
penanggulangan dampak bencana tersebut dilakukan secara sistematis, menyeluruh,
efisien dalam penggunaan sumberdaya dan efektif dalam memberikan bantuan kepada
kelompok korban. Upaya penanggulangan dan pemulihan tersebut dilakukan dengan
pendekatan secara utuh dan terpadu melalui tiga tahapan, yaitu tanggap darurat,
rehabilitasi dan rekontruksi yang harus berjalan secara bersamaan dalam pelaksanaan
penanggulangan dampak bencana, yaitu:

Data Kementerian Lingkungan Hidup


Data Departemen Pertanian
21 Data BPN
22 Data dari UNSYIAH for Aceh Reconstruction, 7 Maret 2005
19

20

2-9

1. Tahap Tanggap Darurat (Januari 2005 Maret 2005)


Bertujuan menyelamatkan masyarakat yang masih hidup, mampu bertahan dan
segera terpenuhinya kebutuhan dasar yang paling minimal. Sasaran utama dari
tahap tanggap darurat ini adalah penyelamatan dan pertolongan kemanusiaan.
Dalam tahap tanggap darurat ini, diupayakan pula penyelesaian tempat
penampungan sementara yang layak, serta pengaturan dan pembagian logistik yang
cepat dan tepat sasaran kepada seluruh korban bencana yang masih hidup. Saat
bencana baru saja terjadi, Tahap Tanggap Darurat ditetapkan selama 6 bulan
setelah bencana, namun demikian, setelah ditetapkannya Inpres Nomor 1 Tahun
2005, Tahap Tanggap Darurat ini kemudian diperpendek menjadi 3 bulan dan akan
berakhir pada Tanggal 26 Maret 2005.
2. Tahap Rehabilitasi (April 2005 Desember 2006)
Bertujuan mengembalikan dan memulihkan fungsi bangunan dan infrastruktur
yang mendesak dilakukan untuk menindaklanjuti tahap tanggap darurat, seperti
rehabilitasi mesjid, rumah sakit, infrastruktur sosial dasar, serta prasarana dan
sarana perekonomian yang sangat diperlukan.
Sasaran utama dari tahap
rehabilitasi ini adalah untuk memperbaiki pelayanan publik hingga pada tingkat
yang memadai. Dalam tahap rehabilitasi ini, juga diupayakan penyelesaian
berbagai permasalahan yang terkait dengan aspek hukum melalui penyelesaian hak
atas tanah, dan yang terkait dengan aspek psikologis melalui penanganan trauma
korban bencana.
3. Tahap Rekonstruksi (Juli 2006 Desember 2009)
Bertujuan membangun kembali kawasan kota, desa dan aglomerasi kawasan dengan
melibatkan semua masyarakat korban bencana, para pakar, perwakilan lembaga
swadaya masyarakat, dan dunia usaha. Pembangunan prasarana dan sarana
(infrastruktur) haruslah dimulai dari sejak selesainya penyesuaian rencana tata
ruang baik di tingkat provinsi dan terutama di tingkat kabupaten dan kota yang
mengalami kerusakan, terutama di daerah pesisir. Sasaran utama dari tahap
rekonstruksi ini adalah terbangunnya kembali kawasan dan masyarakat di wilayah
yang terkena bencana baik langsung maupun tidak langsung.
Sejak terjadi bencana alam gempa bumi dan tsunami pada tanggal 26 Desember 2004,
Pemerintah telah mengambil langkah-langkah penanggulangan sebagai berikut:
1. Menyatakan bencana Aceh dan Sumatera Utara ini sebagai bencana
nasional.
Presiden RI mengeluarkan Keputusan Presiden tanggal 27 Desember 2004 yang
menyatakan bencana alam gempa bumi dan gelombang tsunami di wilayah Aceh dan
Nias Sumatera Utara sebagai bencana nasional, dan selanjutnya juga mengeluarkan
arahan berupa 12 direktif kepada seluruh jajaran Kabinet Indonesia Bersatu dan
Gubernur Provinsi NAD dan Bupati Nias untuk melakukan tindakan yang segera dan
komprehensif di dalam penanganan tanggap darurat bencana alam tersebut.
Sebagai tindak lanjut dari arahan direktif tersebut, telah diterbitkan pula Instruksi
Presiden Nomor 1 Tahun 2005 tentang Kegiatan Tanggap Darurat dan Perencanaan
serta Persiapan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Bencana Alam Gempa Bumi dan
Gelombang Tsunami di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Nias, Sumatera Utara.
2. Memobilisasi sumber daya nasional dan daerah untuk upaya-upaya
penanganan darurat
Dalam rangka mengkoordinasikan pengendalian dan penanggulangan bencana dan
segala upaya tanggap darurat, pada tahap awal Wakil Gubernur Nanggroe Aceh
Darussalam secara langsung mengkoordinasikan dan mengendalikan penanggulangan
bencana sampai dibentuk Satuan Koordinasi Pelaksana Khusus Aceh dengan

2 - 10

dikeluarkannya Surat Keputusan Nomor 1 Tahun 2004 tanggal 30 Desember oleh


Ketua Bakornas PBP yang diketuai langsung oleh Wakil Presiden dan Menko Kesra
selaku Ketua Pelaksana Harian dan Wakil Gubernur NAD sebagai Pelaksana di tingkat
Provinsi, yang ber-Posko di Pendopo Gubernur NAD. Tim ini juga beranggotakan para
pejabat kementerian/lembaga terkait.
Mengingat dampak bencana yang sangat luas, selanjutnya Pemerintah Pusat guna
memperkuat Satkorlak PBP di Provinsi NAD, mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 3
Tahun 2005 tanggal 18 Januari 2005 yang menempatkan Menko Kesra sebagai ketua
Satkorlak Khusus, Wakasad sebagai Wakil Ketua I dan Wakil Gubernur NAD sebagai
Wakil Ketua II yang khusus mengkoordinasikan pemulihan fungsi pemerintahan.
Secara operasional, kegiatan tanggap darurat diarahkan pada kegiatan:
a) evakuasi dan pemakaman jenazah korban
b) penanganan pengungsi
c) pemberian bantuan darurat
d) pelayanan kesehatan, sanitasi dan air bersih
e) pembersihan kota
f) penyiapan hunian sementara
Dukungan internasional sangat membantu percepatan upaya-upaya tanggap darurat,
yang antara lain melalui tim penyelamatan (rescue team), tim medis, dan dukungan
sarana transportasi berupa kapal laut dan helikopter.
3. Mengembalikan fungsi pemerintah daerah
Koordinasi pelaksanaan kegiatan tanggap darurat dilakukan melalui mekanisme
komando (Posko) yang terdiri dari:
a) Posko Nasional Bakornas PBP di Kantor Wakil Presiden;
b) Posko Utama Satkorlak Khusus di banda Aceh, Posko Pendukung Logistik di
Medan, Batam dan Sabang;
c) Posko Satlak Khusus (Satlaksus) di tiga wilayah, yaitu: Satlaksus I di Lhokseumawe,
Satlaksus II di Banda Aceh, dan Satlaksus III di Meulaboh.
Mengingat banyaknya aparatur Pemerintah Daerah yang terkena dan menjadi korban
bencana, maka untuk menjaga kelangsungan pelayanan Pemerintahan Daerah,
Departemen Dalam negeri telah menurunkan Tim pendamping ke 20 kabupaten/kota
dan provinsi sejumlah 356 orang, yang terdiri dari pejabat eselon I hingga IV, serta
dosen dan praja STPDN. Tim pendamping ini secara langsung berada di bawah
koordinasi Wakil Gubernur NAD sebagai penanggung jawab pemulihan fungsi
pemerintahan daerah.

2.2.1 Tanggap Darurat


Pada tahap tanggap darurat, Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan bencana dan
Penanganan Pengungsi (Bakornas PBP) yang diketuai oleh Wakil Presiden telah
mengkoordinasikan upaya-upaya kedaruratan ini yang mencakup :
(a) Secepatnya menolong korban yang masih hidup;
(b) Secepatnya mengubur jenazah-jenazah korban;
(c) Secepatnya memperbaiki sarana dan prasarana dasar agar mampu memberikan
pelayanan yang memadai untuk para korban.

2 - 11

Perhatian masyarakat internasional juga begitu besar, hal ini ditunjukkan dengan besarnya
kesediaan (commitment) para donor multilateral dan bilateral, disamping itu juga dari
masyarakat di berbagai negara untuk membantu. Khususnya untuk upaya tanggap darurat
saja, tercatat sekitar lebih 700 juta dollar Amerika telah disampaikan oleh berbagai donor
kepada pemerintah Indonesia dalam berbagai kesempatan.
Pada 6 Januari 2005, atas inisiatif PM Singapura Lee Hsien Long, diadakan pertemuan
internasional di Jakarta yaitu Asean Leaders Meeting On Aftermath of Tsunami Disaster,
yang dibuka oleh Presiden RI, dihadiri oleh Sekjen PBB Kofi Annan, Menlu AS, PM
Australia John Howard, PM Malaysia H. M. Abdullah Badawi, Presiden Laos, Thailand, Sri
Lanka, India, negara-negara lainnya yang terkena bencana serta perwakilan baik dari
lembaga donor multilateral (WB, ADB, UN, dll) maupun dari lembaga donor bilateral (AS,
Jepang, Belanda, dll)
Dalam rangka untuk menjalankan upaya tanggap-darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi
Aceh dan Sumut secara sistematis dan menyeluruh, pemerintah melakukan koordinasi
penanganan sebagai berikut:
(a) Koordinasi pelaksanaan upaya pertolongan dan penyelamatan serta perbaikan pada
tahap tanggap darurat (emergency response), dilaksanakan oleh Bakornas PBP dengan
membentuk Posko Nasional Bencana Aceh, Posko Daerah di Banda Aceh, dan
Satkorlak-satkorlak.
(b) Koordinasi perencanaan rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana alam Aceh dan
Sumut, dilaksanakan oleh Kantor Menteri Negara Perencanaan Pembangunan
Nasional/Bappenas dengan memobilisasi berbagai potensi dan tim di berbagai
departemen/LPND, universitas dan juga masyarakat.
(c) Koordinasi pelaksanaan pada tahap rehabilitasi dan rekonstruksi dijalankan oleh
Menteri Koordinator Perekonomian beserta instansi-instansi terkait.

2 - 12

Gambar 2.3. Tahapan Penanggulangan Dampak Bencana Alam Gempa Bumi


dan Gelombang Tsunami dan Rencana Rehabilitasi dan
Rekonstruksi di Provinsi NAD dan Sumatera Utara

PEMULIHAN / RECOVERY

DARURAT
Jangka mendesak : 0 bulan ke 3

Jangka pendek : bulan ke 4 tahun ke-2

TANGGAP DARURAT
- RELIEF
Sasaran :
Penyelamatan dan
pertolongan
kemanusiaan

Penyelamatan
Tanggap Darurat
Pemakaman jenazah
Penyediaan makanan
dan obat-obatan
Perbaikan prasarana
dan sarana dasar

REHABILITASI
Sasaran:
Memperbaiki pelayanan
publik pada tahap yg
memadai

Prasarana dan
sarana Umum

Jangka menengah : s.d. tahun ke-5

REKONSTRUKSI
Sasaran :
Membangun kembali
masyarakat dan
kawasan

Sarana Ekonomi
Perbankan dan
Keuangan
Rawatan Traumatis

Pemulihan Hak Atas


Tanah

Penegakkan Hukum
Perumahan
sementara

Ekonomi (sektor
produksi,
perdagangan,
perbankan)
Sistem Transportasi
Sistem
Telekomunikasi
Tatanan sosial dan
budaya
Kapasitas institusi
Permukiman

2.2.2 Rehabilitasi dan Rekonstruksi


Tahap rehabilitasi dan rekonstruksi merupakan tahap lanjutan dari tahapan tanggap
darurat yang bertujuan untuk memperbaiki kembali pelayanan publik pada tahap yang
memadai dan membangun kembali masyarakat Aceh dan Nias serta wilayahnya dalam
tatanan kehidupan sosial, ekonomi, budaya dan politik yang sesuai dengan aspirasi dan
tuntutan masyarakat.
Upaya rehabilitasi dan rekonstruksi ini didahului dengan penyusunan rencana induk
rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah Aceh dan Nias-Sumatera Utara. Untuk tujuan
tersebut Pemerintah telah menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2005 tentang
Kegiatan Tanggap Darurat, Perencanaan dan Persiapan Rehabilitasi dan Rekonstruksi
Pasca Bencana Alam Gempa Bumi dan Gelombang Tsunami di Wilayah Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam dan Provinsi Sumatera Utara.
Melalui Inpres tersebut, diinstruksikan kepada Menteri Negara Perencanaan
Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional untuk
menyusun rencana induk rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah Aceh dan Nias-Sumatera
Utara, yang dijabarkan dalam arahan kebijakan, strategi, kegiatan pokok dan kerangka
waktu pelaksanaannya.
Untuk melaksanakan amanat dalam Inpres tersebut, Menteri Negara Perencanaan
Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas telah melakukan berbagai koordinasi secara
lintas sektoral di tingkat Pusat dan konsultasi secara intensif dengan Pemerintah Daerah
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara serta berbagai pemangku
kepentingan (stakeholders) yang terkait, seperti kalangan perguruan tinggi, lembaga
swadaya masyarakat, serta komunitas lembaga/negara donor, dan menerbitkan Surat

2 - 13

Keputusan No. 007/MPPN/02/2005 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Rencana


Rehabilitasi dan Rekonstruksi Masyarakat Aceh dan Sumatera Utara (R3MAS).
Dalam upaya untuk menyusun rancangan rencana induk R3MAS yang terpadu, sinergis,
dan aspiratif, telah diambil kesepakatan antara Bappenas, Pemda Provinsi NAD dan
Universitas Syiah Kuala yang dituangkan dalam bentuk Nota Kesepakatan, yang ditujukan
untuk mendapatkan masukan dari masyarakat lokal untuk penyempurnaan rancangan
rencana induk yang telah disusun konsep awalnya oleh Bappenas.
Selain itu, dalam rangka menjaring aspirasi yang dinamis dan berkembang di masyarakat,
telah dilakukan pula berbagai forum seminar, lokakarya, dan konsultasi, yang
dimaksudkan untuk mensosialisasikan rancangan awal blueprint yang telah disusun, serta
sekaligus menjaring aspirasi dan harapan serta kebutuhan riil dari seluruh komponen
masyarakat, khususnya dari kelompok masyarakat yang terkena dampak bencana.
Penyelenggaraan konsultasi publik tersebut dilakukan baik di tingkat Pusat maupun di
tingkat daerah.
Guna melakukan sosialisasi terhadap seluruh proses dan kemajuan kegiatan yang
dilakukan oleh Tim R3MAS baik di Bappenas maupun di daerah, telah dibangun website
www.acehreconstruction.bappenas.go.id dan versi internasionalnya di www.e-aceh.org
yang telah mendapatkan apresiasi dari banyak pihak terkait, dengan informasi yang terus
ter-update sesuai dengan kemajuan proses penyusunan rencana induk yang telah disusun
oleh Tim R3MAS.
Dalam rangka memantapkan rancangan rencana induk yang disusun, khususnya yang
terkait dengan aspek pendanaan, telah pula dilakukan berbagai rapat koordinasi bersama
komunitas donor, yang dimaksudkan untuk memperoleh masukan yang sifatnya substantif
dan sekaligus guna menjaring komitmen lanjutan dari masing-masing pihak donor di
dalam membantu Pemerintah di dalam perencanaan dan pelaksanaan lebih lanjut kegiatan
R3MAS. Upaya untuk menjaring komitmen dari komunitas donor telah dilakukan melalui
tracking information terhadap pledge dan komitment yang mereka telah sampaikan pada
saat sidang Consultative Group on Indonesia (CGI) pada bulan Januari 2005 yang lalu,
sehingga bisa dipantau konsistensi dari komitmen yang telah disampaikan, guna menjadi
salah satu sumber pendanaan bagi pelaksanaan kegiatan R3MAS selanjutnya. Sampai
dengan saat ini telah ditandatangani Memorandum of Understanding (MoU) antara
Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Australia, ADB dan Bank Dunia.
Dalam aspek kelembagaan untuk pelaksanaan R3MAS, Tim R3MAS Bappenas bersama
Departemen Dalam Negeri di bawah koordinasi Bapak Wakil Presiden juga telah
menyiapkan berbagai rancangan untuk pembentukan Badan Pelaksana (Bapel)
Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah Aceh dan Nias-Sumatera Utara (R2WANS)
Rencana induk yang disusun oleh Pemerintah ini akan dituangkan ke dalam produk
hukum, akan dijadikan pedoman umum dan acuan operasional bagi Badan Pelaksana
R2WANS serta bagi Pemerintah Daerah NAD dan Pemerintah Kabupaten Nias di dalam
pengelolaan dan pelaksanaan kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah Aceh dan Nias
dalam kurun waktu tiga hingga lima tahun ke depan, sesuai dengan yang kebutuhan.

2 - 14

Bab 3
Prinsip-Prinsip Dasar
dan Kebijakan Umum
Pokok-pokok uraian pada bab ini adalah tentang visi dan misi, prinsip-prinsip dasar serta
strategi umum yang akan ditempuh dalam pelaksanaan rencana induk rehabilitasi dan
rekonstruksi Nanggroe Aceh Darussalam dan Nias, Sumatera Utara. Uraian tersebut
dirumuskan berdasarkan kebijakan dan strategi yang tercantum di dalam buku-buku
rencana rinci, dengan tujuan untuk menggaris-bawahi pokok-pokok kebijakan yang perlu
dipertimbangkan dalam pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi.
3.1.

Visi dan Misi

Visi dan misi rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh yang telah disepakati adalah :
Visi pembangunan kembali Aceh Masa Depan adalah terwujudnya masyarakat Aceh yang
maju, adil, aman, damai, sejahtera berlandaskan nilai-nilai ajaran Islam serta memiliki
harkat dan martabat Aceh dalam wawasan NKRI dan universal.
Untuk mencapai visi tersebut misi yang akan dilakukan adalah:
1. Melaksanakan syariat Islam secara kaffah dalam seluruh aspek kehidupan.
2. Meningkatkan mutu sumberdaya manusia yang unggul dalam penguasaan ilmu
pengetahuan dan teknologi (Iptek) serta iman dan taqwa (imtaq).
3. Mengembangkan dan mengelola sumberdaya alam secara arif dan sesuai dengan daya
dukungnya.
4. Membangun tatanan ekonomi daerah yang unggul dan kompetitif serta adil
berlandaskan ekonomi kerakyatan.
5. Membangun sistem infrastruktur yang handal dan efisien.
6. Mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai budaya dan adat istiadat Aceh yang
menunjang pembangunan yang berkelanjutan.
7. Meningkatkan kemampuan birokrasi pemerintahan daerah yang profesional, berwibawa
dan amanah.
8. Memperkuat pemahaman masyarakat tentang berwawasan berbangsa dan bernegara
dalam wadah NKRI serta masyarakat dunia
9. Memperkuat pelaksanaan kewenangan pemerintah daerah sesuai Undang Undang no. 18
tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Visi dan misi rehabilitasi dan rekonstruksi Nias yang telah disepakati adalah:
Visi pembangunan kembali Nias Masa Depan adalah terwujudnya masyarakat Nias yang
maju, adil, aman, damai, sejahtera berlandaskan nilai-nilai budaya dalam kerangka NKRI.

Untuk mencapai visi tersebut misi yang akan dilakukan adalah:


1. Meningkatkan mutu sumberdaya manusia yang unggul dalam penguasaan ilmu
pengetahuan dan teknologi (Iptek).
2. Mengembangkan dan mengelola sumberdaya alam secara arif dan sesuai dengan daya
dukungnya.
3. Membangun tatanan ekonomi daerah yang unggul dan kompetitif serta adil
berlandaskan ekonomi kerakyatan.
4. Membangun sistem infrastruktur yang handal dan efisien.
5. Mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai budaya dan adat istiadat Nias yang
menunjang pembangunan yang berkelanjutan.
6. Meningkatkan kemampuan birokrasi pemerintahan daerah yang profesional, berwibawa
dan amanah.
3.2.

Prinsip-Prinsip Dasar Rehabilitasi dan Rekonstruksi

Untuk mewujudkan visi dan misi tersebut, maka rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah Aceh
dan Nias, Sumatera Utara dilaksanakan atas dasar prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Berorientasi pada masyarakat dan partisipatif
2. Pembangunan berkelanjutan, yang mengutamakan keseimbangan aspek kelayakan
ekonomi (economically viable), diterima secara sosial (socially acceptable), dan ramah
lingkungan (environmentally sound).
3. Holistik, pembangunan kembali Aceh dan Nias harus mempertimbangkan seluruh
aspek kehidupan dan berdasarkan pada strategi yang komprehensif .
4. Terpadu, koordinasi dan strategi yang efektif untuk menjamin konsistensi dan
keefektifan antara program sektoral dan regional di tingkat nasional maupun daerah.
5. Efisien, transparan, dan akuntabel
6. Adanya monitoring dan evaluasi yang efektif.
7. Sesuai dengan Undang Undang Nomor 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam dan Undang-Undang Nomor 44 tahun 1999 tentang
kekhususan Aceh.
8. Prioritas akan diberikan untuk melindungi dan membantu anggota masyarakat korban
bencana yang paling rentan, khususnya anak-anak dan janda, penyandang cacat, mereka
yang telah kehilangan rumah dan harta-benda, masyarakat miskin, dan mereka yang
telah kehilangan pencari nafkah utama dalam keluarga.
9. Rencana Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh dan Nias, Sumatera Utara diprioritaskan
pada daerah-daerah yang terkena bencana.
3.3

Kebijakan Umum

1.

Pembangunan kembali masyarakat dengan cara memulihkan aspek-aspek


kehidupan keagamaan, sosial budaya dan ketahanan masyarakat yang meliputi
bidang pendidikan, kesehatan, ilmu pengetahuan, hukum dan kelembagaan agama
serta adat.

2.

Pembangunan kembali ekonomi dengan cara penciptaan lapangan kerja,


pemberian bantuan keuangan dan kredit untuk pengembangan usaha kecil dan
menengah, membangun kembali sektor-sektor produktif (perikanan, pertanian,

3-2

industri, perdagangan, dan jasa) disertai pembangunan kembali sarana ekonomi


(pasar, tempat pelelangan ikan, gudang).
3.

Pembangunan
Kembali
Infrastruktur
dan
Perumahan
dengan
mendahulukan pemulihan fungsi prasarana dasar seperti jalan, pelabuhan udara dan
laut, prasarana dan sarana telekomunikasi, pemulihan pengadaan listrik, air bersih
dan perumahan.

4.

Pembangunan Kembali Pemerintahan dengan cara memfungsikan kembali


sistem dan pelayanan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten/kota, merancang
kembali (redesign) kota-kota dan pusat kegiatan baru.

Penjabaran kebijakan umum tersebut ke dalam kegiatan dalam tahap tanggap darurat,
rehabilitasi, dan rekonstruksi dilakukan dengan mempertimbangkan arahan penataan ruang
di wilayah Aceh dan Nias, Sumatera Utara yang berazaskan pembangunan berkelanjutan.
Gambar 3.1

KERANGKA PERENCANAAN REHABILITASI DAN REKONSTRUKSI


WILAYAH NAD DAN NIAS, SUMATERA UTARA
VISI: MEMBANGUN ACEH DAN NIAS MASA DEPAN

Pemerintahan

ZONING

MONITORING, EVALUASI DAN


AKUNTABILITAS

PELAKSANAAN

KRITERIA
DESAIN
STANDAR
PROSEDUR

Waktu

LINGKUNGAN
HIDUP

Pelaksana

PERTANAHAN

Kegiatan

Infrastruktur

INTEGRASI SPASIAL

Emergensi, Rehabilitasi,
Rekonstruksi

TATA RUANG

RENCANA KERJA

PEMBANGUNAN
BERKELANJUTAN

Masyarakat

Ekonomi

Pendanaan

Kebijakan Regional

Lokasi

Kebijakan Bidang

ASPIRASI, HARAPAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT

Integrasi kebijakan sektoral dan regional dijabarkan dalam rencana kerja berdasarkan
lokasi, kegiatan yang dilakukan, pelaksana kegiatan, waktu pelaksanaan, dan sumber dana.
Setiap tahap mulai dari tahap penetapan kebijakan, strategi, pengembangan wilayah,
penetapan rencana kerja, pelaksanaan, dan monitoring dan evaluasi melibatkan aspirasi,
harapan dan partisipasi masyarakat.

3-3

Bab 4
Kebijakan dan
Strategi Bidang
Dalam kebijakan dan strategi yang akan dituangkan dalam rencana rehabilitasi dan
rekonstruksi di Aceh dan Nias, hal pertama yang harus dilakukan adalah pengamatan
terhadap permasalahan yang ada, baik dari segi kualitas maupun kuantitas sehingga nanti
akan memberikan gambaran yang utuh terhadap masalah yang ada.
Permasalahan yang ditimbulkan oleh bencana gempa dan tsunami di Aceh dan Nias,
Sumatera Utara pertama-tama dapat dikategorikan kedalam tiga kelompok: masalah yang
timbul pada manusia sebagai individu; manusia sebagai makhluk sosial yang berinteraksi
dengan lingkungan sekitarnya; dan masalah yang timbul sebagai pendukung kehidupan
manusia.
Dengan mengkategorikan permasalahan tersebut ke dalam tiga masalah besar tersebut,
maka proses pemulihan dari permasalahan-permasalahan tersebut bisa dikategorikan baik
dari segi prioritasnya mana yang perlu ditangani, maupun dari segi bidang-bidang yang
tepat untuk menanganinya.
Secara umum permasalahan utama paska gempa dan tsunami di Aceh dan Nias, Sumatera
Utara adalah jumlah korban yang sangat banyak dan kerusakan fisik yang masif. Jumlah
korban baik yang telah meninggal dan hilang maupun yang masih hidup memberikan
permasalahan ikutan yang sangat kompleks dimana perlu penanganan yang terpadu.
Demikian juga kerusakan skala masif dari sarana dan prasarana memperburuk keadaan
ratusan ribu korban tersebut
Bila terjadi suatu bencana, penyembuhan pertama yang dilakukan adalah terhadap Manusia
Sebagai Individu yang merupakan pusat permasalahan prioritas yang perlu ditangani segera.
Ada empat upaya penyembuhan yang secara serentak harus dilakukan terhadap setiap
individu manusia yang terkena bencana, yaitu:
(1) Pemulihan spiritual (spiritual healing), yaitu penyembuhan terhadap spiritual, sikap
ridha terhadap bencana yang dihadapi. Intinya hanya dengan mengingat Allah hati akan
menjadi tenang.
(2) Pemulihan emosional (emotional healing), yaitu penyembuhan terhadap emosi
seseorang seperti dari kejadian traumatik yang dihadapi, termasuk kehilangan orangorang yang dicintai, dan kehilangan akan harta yang dimiliki. Dalam penyembuhan
emosional, pemberian semangat hidup dan bangkit kembali menjadi sangat penting.
(3) Penyembuhan fisik (physical healing), yaitu penyembuhan terhadap fisik manusia.
(4) Penyembuhan terhadap kemampuan otak manusia (intelligential healing)
Dapat disimpulkan bahwa terhadap korban yang masih hidup berbagai masalah akan timbul
seperti masalah kerentanan terhadap kepercayaan terutama untuk anak-anak;
ketidakstabilan emosional masyarakat rentan (anak-anak, perempuan, orang tua dan cacat);

keadaan fisik korban yang perlu penanganan segera, dan juga keadaan pendidikan yang
terlalu lama fakum, serta pemenuhan kebutuhan dasar pangan, sandang dan perumahan
perlu penanganan prioritas.
Secara kolektif, Manusia Sebagai Makhluk Sosial, permasalahannya lebih kompleks karena
banyak keterkaitan bidang-bidang yang perlu penangangan terpadu untuk mengatasinya.
Beberapa pertanyaan yang perlu jalan keluar dari permasalahan yang berkaitan dengan
permasalahan kolektif manusia ini adalah:
(1) hubungan antar manusia, bagaimana memulihkan hubungan adat, sosial dan budaya
antar anggota masyarakat Aceh dan Nias;
(2) bagaimana memulihkan pelayanan masyarakat di Aceh dan Nias seperti pelayanan
kesehatan, pendidikan, keagamaan, pemerintahan dll dimana kebanyakan tenaga
pelayanan tersebut menjadi korban baik meninggal/hilang maupun hidup tetapi masih
mengalami trauma;
(3) bagaimana mengembalikan kehidupan ekonomi di Aceh dan Nias, apakah dengan
memberikan bantuan keuangan baik pada bantuan pada penggantian tanah, perumahan,
maupun bantuan pemulihan sarana produktif masyarakat;
(4) bagaimana memberikan kepastian hukum pada masyarakat misalnya terhadap hak
kepemilikan tanah;
(5) bagaimana memberikan rasa aman kepada masyarakat.
Permasalahan individu dan kolektif manusia tersebut tidak akan terentaskan secara
menyeluruh kalau permasalahan faktor-faktor pendukung juga tidak dipecahkan.
Permasalahan-permasalahan faktor pendukung tersebut menyangkut permasalahan
infrastruktur fisik dan permasalahan infrastruktur kelembagaan.
Dengan pendekatan ini kita berusaha melihat kesatuan dan keterkaitan permasalahan yang
dihadapi sehingga nanti bisa menentukan kebijakan dan strategi apa yang harus diputuskan.
Jadi ada dasar yang harus dipedomani dalam pengambilan keputusan kebijakan dan
strategi. Dengan pendekatan ini terlihat bahwa semua upaya rehabilitasi dan rekonstruksi
terfokus kepada manusianya apakah pemulihan langsung terhadap manusia itu sendiri,
pemulihan terhadap lingkungan sekitarnya baik interaksi dengan manusia lain maupun
interaksi lingkungan dengan faktor-faktor pendukung yang ada.

4-2

KESATUAN PANDANG DALAM PEMBANGUNAN MASYARAKAT

Prasarana Pendukung
Manusia sebagai Makhluk Sosial
HUKUM
SOSIAL

KETAHANAN

Manusia sebagai Individu


1. Pemulihan Spiritual
2. Pemulihan Emosional
3. Penyembuhan Fisik
4. Pengembangan Intelektual

EKONOMI

KEAMANAN

KELEMBAGAAN
MASYARAKAT (ADAT)
INFRASTRUKTUR
KELEMBAGAAN

INFRASTRUKTUR
FISIK

Berdasarkan pada pendekatan di atas, kebijakan umum yang diambil akan terkait dengan:
(1) Membangun kembali masyarakat Aceh dan Nias, Sumatera Utara baik kehidupan
individu maupun sosialnya;
(2) Membangun kembali perekonomiannya sehingga dapat berusaha sebagaimana
sebelumnya;
(3) Membangun kembali infrastruktur kelembagaan dan infrastruktur fisik
(4) Memulihkan kembali pemerintahan sebagai sarana pelayanan masyakarat.

4-3

4.1

Membangun Kembali Masyarakat.

Dalam membangun kembali masyarakat Aceh dan Nias, Sumatera Utara, hal-hal yang
menjadi bagiannya adalah pemulihan spiritual/keagamaan masyarakat dan kehidupan sosial
budaya (adat), pemulihan kesehatan masyarakat, pemulihan pendidikan, ketahanan
masyarakat, hukum, dan ekonomi.
4.1.1

Agama

Permasalahan pokok keagamaan antara lain:


(1) Terganggunya ketentraman rohani akibat kehilangan keluarga, ikatan sosial dan
harta benda;
(2) Hilangnya ribuan tokoh agama dan tenaga pelayanan keagamaan.
(3) Hilangnya simbol-simbol keagamaan yang merekatkan individu di dalam satu
unit sosial dan masyarakat, seperti mesjid, dan meunasah.
(4) Rusaknya sarana dan prasarana pelayanan keagamaan seperti kantor KUA dan
balai nikah, kantor dinas syariah.
(5) Hilangnya kesempatan anak-anak untuk memperoleh pengasuhan orang tua
dan pendidikan di sekolah/madrasah, meunasah, pondok pesantren, diniyah, dan
tempat pengajian;
Kebijakan dan strategi agama:
(1) Pemulihan ketentraman rohani dengan:
a. Memberikan bimbingan dan konseling
b. Memberikan pengasuhan anak yatim piatu
c. Menggiatkan pengajian majelis taklim
(2) Melengkapi tenaga pelayanan keagamaan dengan:
a. Memberikan pendidikan dan pelatihan bagi Imam masjid, khatib, dai, guru
pengajian
b. Merekrut tenaga pegawai mulai dari tingkat gampong sampai sampai propinsi
(kantor wilayah)
(3) Merehabilitasi simbol-simbol agama dengan:
a. Merehabilitasi dan membangun sarana dan prasarana peribadatan seperti mesjid,
meunasah.
b. Merehabilitasi dan membangun sarana dan prasarana pelayanana keagamaan seperti
Kandep Agama kabupaten/kota, kantor Dinas Syariah, kantor MPU.
4.1.2 Sosial Budaya
Permasalahan pokok sosial budaya yang ditimbulkan dengan adanya gempa dan tsunami
baik yang dirasakan secara langsung maupun tidak langsung terhadap kehidupan sosial
budaya antara lain:
(1) Jumlah korban yang sangat banyak. Hilangnya ratusan ribu nyawa, ratusan ribu
lainnya terpaksa jadi pengungsi dan anak-anak menjadi yatim piatu, hancurnya rumah
dan bangunan
(2) Kerusakan fisik yang sangat masif pada fasilitas pelayanan sosial budaya seperti
panti sosial, balai pelestarian peninggalan purbakala, museum, klinik keluarga

4-4

berencana serta prasarana kepemudaan dan olahraga, sehingga mengakibatkan


terhambatnya kehidupan keagamaan dan sosial budaya.
(3) Banyaknya korban yang tidak terlayani dalam memperoleh pangan, tempat
tinggal, terhentinya kegiatan kepemudaan dan keolahragaan, pelayanan keluarga
berencana serta terganggunya kehidupan budaya.
(4) Informasi kependudukan pasca bencana yang sangat tidak lengkap dan
mengalami perubahan sangat drastis sehingga tidak diketahui secara pasti
keadaan jumlah, jenis kelamin, struktur umur serta kondisi sosial ekonomi masyarakat.
(5) Ribuan pengungsi yang memerlukan kebutuhan pelayanan dasar serta
konseling bagi yang mengalami trauma.
(6) Perempuan dan anak di lokasi pengungsian memerlukan kebutuhan spesifik, dan
mereka menjadi rentan terhadap tindakan pelecehan seksual dan
perdagangan manusia.
Kebijakan dan strategi sosial budaya
Kebijakan untuk mengatasi permasalahan pokok sosial budaya tersebut adalah:
(1) Peningkatan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak dengan:
a. Melakukan pendataan kebututuhan khusus perempuan dan anak;
b. Mengembangkan dan menfungsikan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan
Perempuan (P2TP2), dan memfasilitasi women crisis center;
c. Memfasilitasi children center dan reunifikasi keluarga, bantuan hukum, dan
dukungan untuk pengasuhan anak;
d. Memberdayakan perempuan khususnya kepala keluarga perempuan dalam kegiatan
ekonomi
(2) Peningkatan kualitas kehidupan adat, tradisi, dan kegiatan seni budaya
serta pelestarian warisan budaya masyarakat dengan:
a. Melakukan pendataan dan inventarisasi terhadap kerusakan warisan budaya
b. Memperkuat nilai-nilai budaya dan melestarikan warisan seni dan budaya
masyarakat
c. Membangun/merehabilitasi sarana dan prasarana budaya, serta memugar warisan
budaya yang rusak
(3) Pemberian bantuan dan jaminan bagi masyarakat rentan dengan:
a. Memberikan bantuan dan jaminan sosial bagi masyarakat korban bencana
b. Meningkatkan pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi anak, lanjut usia, dan
penyandang cacat korban bencana
c. Membangun dan memfungsikan trauma center;
d. Memberdayakan keluarga, fakir miskin, dan komunitas adat terpencil.
(4) Pendataan lengkap penduduk dan pemberian jaminan pelayanan keluarga sejahtera
dan kesehatan reproduksi dengan:
a. Melakukan pendataan lengkap penduduk guna menyediakan data komposisi
penduduk yang lengkap

4-5

b. Merehabilitasi dan merekonstruksi akses dan sarana prasarana pelayanan keluarga


berencana, kesehatan reproduksi dan pemberdayaan ketahanan keluarga
c. Menyediakan alat dan obat kontrasepsi yang dibutuhkan oleh pasangan usia subur.
(5) Peningkatan peran pemuda dan budaya olahraga dengan:
a. Menyediakan fasilitas kepemudaan dan keolahragaan dan memulihkan fungsi
kelembagaannya,
b. Mobilisasi dan pemberdayaan potensi kepemudaan dan keolahragaan
4.1.3 Kesehatan
Beberapa permasalahan pokok kesehatan setelah terjadi bencana antara lain:
1. Jumlah korban yang sangat banyak. Banyaknya jumlah korban baik yang
meninggal, mengalami luka-luka baik ringan dan berat, maupun yang mengalami
depresi memerlukan pertolongan kesehatan dengan segera.
2. Sistem kesehatan lumpuh disebabkan rusaknya sarana dan prasaran pelayanan
kesehatan serta banyaknya tenaga kesehatan yang hilang, meninggal, dan mengalami
depresi.
3. Lokasi korban yang tersebar sehingga penanganan korban bencana tidak optimal.
Banyak anggota masyarakat termasuk pengungsi yang tinggal di lokasi pengungsian sulit
memperoleh pelayanan kesehatan dasar dan rujukan.
4. Terbatasnya air bersih dan buruknya sanitasi lingkungan. Tempat-tempat
pengungsian tidak memenuhi syarat kesehatan, misalnya kekurangan air bersih, tempat
pembuangan sampah, dan sarana mandi, cuci dan kakus.
5. Ketahanan pangan dan gizi menurun. Sebagai akibat ketersediaan dan distribusi
bahan makanan yang kurang merata dan banyaknya titik pengungsi menyebabkan
meningkatnya resiko kekurangan gizi, sakit dan kematian terutama pada kelompok
rentan yaitu bayi, balita, ibu hamil, dan usia lanjut.
6. Kemungkinan timbulnya penyakit menular. Kondisi lingkungan yang buruk
diikuti dengan kekurangan gizi dapat menyebabkan berjangkitnya berbagai penyakit
menular, misalnya campak, diare, malaria dan infeksi saluran pernafasan akut (ISPA).
Kebijakan dan strategi kesehatan.
Berdasarkan permasalahan pokok kesehatan tersebut kebijakan prioritas yang harus
ditempuh dan strategi-strategi yang akan dijalankan dalam melaksanakan kebijakan adalah.
(1) Penyelamatan korban bencana yang masih hidup, melalui strategi:
a. Pelayanan kesehatan darurat.
b. Pelayanan kesehatan bagi korban yang mengalami trauma.
(2) Pemulihan sistem kesehatan, dengan strategi:
a. Mobilisasi tenaga kesehatan dari daerah lain.
b. Menempatkan tenaga kesehatan dengan sistem kontrak
c. Merekrut tenaga kesehatan baru

4-6

d. Melatih tenaga kesehatan


e. Merehabilitasi dan membangun prasarana dan sarana pelayanan kesehatan yang
rusak
f. Memulihkan fungsi fasilitas pelayanan kesehatan
(3) Pencegahan terjadinya wabah penyakit, melalui strategi:
a. Melakukan penilaian kebutuhan cepat (rapid health assessment)
b. Melakukan imunisasi, vector control, disinfeksi, dan penyediaan air minum
c. Memperkuat survailans epidemiologi
(4) Pencegahan kekurangan gizi, melalui strategi:
a.
b.
c.
d.

Memberikan bantuan makanan bagi bayi, balita dan ibu hamil.


Memberikan paket pertolongan gizi seperti vitamin A, tablet besi, syrup besi
Memberikan penyuluhan gizi
Memperkuat survailans gizi.

4.1.4 Pendidikan
Beberapa permasalahan pokok pendidikan akibat bencana adalah:
(1) Banyaknya peserta didik, pendidik, dan tenaga pendidikan yang meninggal
dan hilang menyebabkan kegiatan belajar mengajar terhenti sementara dan sampai
sekarang belum sepenuhnya dapat dilaksanakan secara normal.
(2) Banyaknya kerusakan sarana dan prasarana pendidikan pada semua jalur,
jenis dan jenjang pendidikan menyebabkan terbatasnya fasilitas pendidik yang dapat
digunakan bagi peserta didik yang selamat.
(3) Banyaknya anak-anak yang kehilangan orang tua dan keluarga serta tempat
tinggalnya menuntut perhatian semua pihak untuk dapat menjamin kelangsungan
pendidikan mereka dengan tetap memperhatikan kasih sayang yang dibutuhkan serta
upaya untu menyediakan tempat tinggal bagi mereka.
(4) Rusaknya materi bahan ajar dan peralatan pendidikan seperti buku pelajaran,
buku perpustakaan, dan alat peraga pendidikan menyebabkan menurunnya kualitas
proses belajar mengajar.
(5) Banyaknya pendidik dan tenaga kependidikan yang kehilangan tempat
tinggal mengakibatkan mereka tidak mampu melaksanakan tugas dengan baik.
(6) Cukup banyak tenaga kependidikan di institusi pengelola pendidikan seperti
Dinas Pendidikan dan Kantor Wilayah Departemen Agama baik di tingkat provinsi
maupun kabupaten/kota yang meninggal atau hilang menyebabkan fungsi-fungsi
pengelolaan pendidikan termasuk perencanaan kurang berjalan dengan baik
(7) Banyaknya masyarakat yang kehilangan mata pencaharian akibat bencana
yang terjadi menuntut perlunya penyediaan pelayanan pendidikan
keterampilan baik melalui jalur formal dan non-formal agar mereka lebih siap untuk
bekerja kembali.

4-7

Kebijakan dan Strategi


(1) Menyelenggarakan pendidikan darurat bagi peserta didik yang terkena bencana
dengan: (timing)
a. Menyediakan fasilitasi pendidikan darurat termasuk tenda dan sekolah darurat
b. Membersihkan fasilitas pendidikan untuk dapat difungsikan kembali.
c. Merekrut pendidik dan tenaga kependidikan lainnya yang bersifat semsentara
termasuk memberdayakan relawan,
d. Menyediakan buku dan peralatan pendidikan lainnya.
e. Melakukan bimbingan dan konseling yang diberikan bagi peserta didik, pendidik,
dan tenaga kependidikan lainnya untuk membantu mereka menghilangkan trauma
yang dialami akibat bencana yang terjadi.
(2) Memperluas pemerataan dan keterjangkauan pelayanan pendidikan bagi
semua penduduk usia sekolah (education for all) terutama wajib belajar pendidikan 9
tahun melalui (timing)
a. Pengembangan program pendidikan dan pelatihan untuk anggota masyarakat
b. Rehabilitasi dan pembangunan sarana dan prasarana pendidikan termasuk lembaga
dayah
c. Bimbingan dan konseling bagi peserta didik, pendidik dan tenaga kependidikan
d. Penyediaan beasiswa bagi peserta didik dan bantuan biaya hidup bagi korban
(3) Meningkatkan kualitas dan relevansi pendidikan melalui
a. Peningkatan mutu pendidikan dan meningkatkan relevansinya termasuk
pengembangan pendidikan bertaraf internasional;
b. Pengembangan kurikulum yang relevan disesuaikan dengan kebutuhan lokal;
c. Peningkatan jumlah, kualitas dan profesionalisme pendidik
d. Peningkatan kesejahteraan dan perlindungan hukum pendidik dan tenaga
kependidikan
(4) Memperkuat manajemen pelayanan pendidikan melalui:
a. Pengembangan sistem pendidikan termasuk pendidikan keluarga dan masyarakat;
b. Peningkatan partisipasi masyarakat dan dunia usaha;
c. Revitalisasi dinas pendidikan dan kantor wilayah agama provinsi dan
kabupaten/kota;
d. Penyediaan anggaran pendidikan yang memadai dan berkelanjutan;
e. Pelaksanaan sosialisasi tentang pentingnya pendidikan sebagai hak asasi, investasi,
dan aset kepada seluruh kelompok masyarakat
f. Penataan dan peningkatan kinerja penyelenggaraan pendidikan termasuk penelitian
dan pengembangan, serta sistem informasi pendidikan;
4.1.5 Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi
Terjadinya gempa dan tsunami di Aceh telah menyadarkan bangsa ini bahwa kepulauan
Indonesia terletak di kawasan yang rawan bencana. Dalam membangun kembali Aceh dan
Nias, Sumatera Utara serta pembangunan Indonesia ke depan, peran iptek sangat
diperlukan terutama dalam memberikan landasan pembangunan yang berwawasan mitigasi
bencana. Dalam hal ini permasalahannya adalah belum berfungsinya sistem pencegahan
dini (early warning system) dalam mendeteksi bencana dan mengkomunikasikannya
kepada masyarakat.

4-8

Kebijakan dan Strategi


(1) Meningkatkan pengetahuan, kesadaran dan kesiapan masyarakat dalam pencegahan dini
terhadap bencana, khususnya terhadap gempa dan tsunam dengan memperhatikan
kearifan budaya lokal
(2) Membangun pusat peringatan dini (early warning system).
(3) Memanfaatkan teknologi tepat guna dalam mendukung kehidupan sosial, ekonomi,
budaya, kesehatan dan pendidikan masyarakat.
4.1.6 Keamanan, Ketertiban, dan Ketahanan Masyarakat
Upaya yang dilakukan untuk membangun kembali masyarakat Aceh dan Nias dilakukan
dengan menciptakan rasa aman masyarakat dan membangun ketahanan masyarakat.
Beberapa permasalahan pokok setelah terjadinya bencana alam:
(1) Kondisi masyarakat yang rentan. Kondisi masyarakat yang rentan secara sosial dan
psikologis akibat bencana akan membahayakan dirinya dari tindakan-tindakan
ketidakadilan dan kesewenangan.
(2) Terbatasnya peran lembaga kemasyarakatan. Konflik yang berkepanjangan dan
bencana alam telah memperlemah lembaga kemasyarakatan lokal untuk membangun
kemandirian masyarakat termasuk untuk menyelesaikan persoalannya sendiri.
(3) Ancaman dan ganggunan keamanan dan ketertiban masih relatif tinggi.
Ancaman dan gangguan keamanan dan ketertiban dapat membahayakan integritas dan
kelangsungan hidup masyarakat.
(4) Kerusakan parah sarana prasarana lembaga keamanan dan ketertiban,
serta korban jiwa aparat TNI/POLRI. Kerusakan sarana dan prasarana lembaga
keamanan serta korban yang meimpa aprat keamanan mengakibatkan tidak optimalnya
fungsi lembaga keamanan dan ketertiban sehingga memberikan peluang bagi
meningkatnya gangguan keamanan dan ketertiban.
Kebijakan dan Strategi
Berdasarkan permasalahan pokok tersebut di atas, kebijakan prioritas yang harus ditempuh
dan strategi yang akan dijalankan untuk melaksanakan kebijakan adalah:
(1) Membangun masyarakat Aceh melalui penciptaan kematangan dan
kedewasaan sosial politik baik tata kehidupannya maupun kelembagaan dan
mekanismenya dalam kerangka demokrasi:
a. Fasilitasi peran masyarakat sipil dalam membantu peningkatan kesadaran dan
kemampuan masyarakat dalam menyelesaikan persoalan sosial kemasyarakatan;
b. Melakukan restrukturisasi dan reorientasi lembaga masyarakat, lembaga ekonomi,
dan pemerintahan, serta memantapkan sistem komunikasi massa dan informasi;
c. Melakukan Pengelolaan Dampak Bencana berupa kegiatan kemanusiaan,
peningkatan kondisi keamanan dan ketertiban masyarakat, refungsionalisasi
pemerintahan, termasuk lembaga keamanan, dukungan rehabilitasi dan dukungan
rekonstruksi dengan pendekatan sosio-kultural;
d. Membangun karakter dan kebangsaan (nation and character building) yang mandiri
dan berkualitas agar masyarakat memiliki kesadaran dan saling percaya dalam
membangun kembali Aceh dan membela negara dan bangsa;
e. Melaksanakan secara konsisten dan berkelanjutan pemberdayaan masyarakat dalam
segala bidang pembangunan di Aceh;

4-9

f.

Memantapkan otonomi khusus Propinsi Nangroe Aceh sehingga masyarakat Aceh


mampu melakukan pembangunan yang berkelanjutan dan melanjutkan upaya-upaya
pemantapan rasa cinta tanah air; dan
g. Mengembangkan insentive framework yang menyeluruh untuk para dalam rangka
mencapai perdamaian yang abadi dan tuntas.
(2) Membangun masyarakat Aceh melalui penciptakan rasa aman dan tertib di
masyarakat bersama-sama dengan seluruh komponen masyarakat.
a. Melaksanakan refungsionalisasi lembaga lembaga keamanan dan ketertiban;
b. Melaksanakan pengamanan terpadu terhadap daerah-daerah pengungsian,
c. Memantapkan keamanan dengan pengamanan terpadu terhadap daerah-daerah yang
kondisi keamanan dan ketertibannya relatif kondusif;
d. Melaksanakan pengamanan proses pembangunan terutama rehabilitasi dan
rekonstruksi sarana dan prasarana serta aktivitas sosial ekonomi; dan
e. Meningkatkan keamanan dan ketertiban masyarakat di daerah-daerah yang rawan.
4.1.7 Hukum
Permasalahan Pokok Hukum
(1) Keperdataan
a. Orang dan keluarga: (i) tidak adanya data penduduk pasca gempa-tsunami yang
akurat, yaitu data mengenai penduduk yang selamat, meninggal atau hilang serta; (ii)
tidak adanya identitas diri yang berkaitan dengan hubungan perkawinan, perceraian
serta pewarisan.
b. Kebendaan dan perniagaan: (i) tidak jelasnya status harta-benda individu, misalnya
dana di bank, asuransi jiwa, dan kepemilikan benda bergerak; (ii) hilangnya
dokumen identitas badan hukum; (iii) belum jelasnya status pelaksanaan hak dan
kewajiban (hubungan perikatan) baik antara individu maupun badan hukum,
termasuk cicilan rumah, mobil, motor, dll.
(2) Pertanahan
a. Belum adanya ketentuan mengenai obyek (tanah): (i) tanah musnah dan; (ii) hasil
scanning sebagai alat bukti yang sah;
b. Belum adanya ketentuan mengenai subyek hukum berkaitan dengan tanah yaitu: (i)
tanggung jawab terhadap kebenaran materiil dokumen pendukung kepemilikan
tanah; (ii) larangan transaksi atau pengalihan hak atas tanah untuk melindungi
pemilik tanah.
c. Belum adanya ketentuan Baitul Maal sebagai badan hukum pemegang hak atas
tanah;
d. Belum adanya ketentuan mengenai modifikasi mekanisme pengumuman dan
sumpah untuk percepatan penerbitan sertipikat pengganti;
e. Belum adanya ketentuan mengenai penetapan tanah milik komunal (hak milik adat).
f. Tidak jelasnya mekanisme penetapan penggunaan tanah untuk kamp pengungsian
atau kegiatan penanggulangan bencana lainnya.
(3) Administrasi Pemerintahan
a. Tidak jelasnya tanggung jawab kepada pihak ketiga: keuangan (pengadaan barang
yang musnah), dokumen hukum di lingkungan pemerintahan, dll.
b. Belum adanya ketentuan pajak pasca tsunami.

4 - 10

(4) Peradilan
a. Belum selesainya proses perkara perdata dan pidana sebelum tsunami (yang sedang
diproses ketika bencana datang)
b. kompleksitas prosedur hukum acara perdata dan pidana
c. Belum berkembangnya lembaga adat sebagai alternatif penyelesaian sengketa
d. Masih terbatasnya sarana dan prasarana pengadilan/ Mahkamah Syariyah
e. Masih terbatasnya bantuan hukum bagi masyarakat
f. Belum adanya ketentuan mengenai narapidana yang hilang/meninggal akibat
tsunami
Kebijakan dan strategi hukum
(1) Kebijakan yang akan dilakukan untuk menyelesaikan berbagai masalah di keperdataan,
pidana, status identitas, perikatan, dan pemerintahan adalah dengan mewujudkan
jaminan kepastian, perlindungan, penegakan hukum dan HAM, melalui
strategi:
a. Pemulihan dan pemberian hak-hak keperdataan serta penerbitan kembali alat bukti
haknya.
b. Pemulihan hak-hak yang berkaitan dengan hukum publik.
c. Pemberian kembali dokumen identitas.
d. Pemberian status hukum Baitul Maal sebagai subyek hukum, Provinsi NAD.
e. Pemberdayaan lembaga adat sebagai instrumen penyelesaian sengketa di luar
pengadilan.
(2) Kebijakan yang akan dilakukan untuk mengembalikan fungsi dan tugas
pelayanan hukum melalui strategi:
a. Mobilisasi tenaga hakim dan tenaga peradilan lainnya serta jaksa dari daerah lain.
b. Merehabilitasi dan membangun kembali sarana dan prasarana pengadilan dan
kejaksaan serta sarana pendukung lainnya.
(3) Kebijakan yang akan dilakukan adalah dengan menyusun payung hukum untuk
mendukung pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi dengan memperhatikan
pengarusutamaan kesetaraan jender melalui strategi: menyusun substansi Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) untuk pelaksanaan rehabilitasi dan
rekonstruksi di bidang: Pertanahan dan tata ruang; Ekonomi dan Ketenagakerjaan; dan
Hukum.
4.1.8 Kelembagaan Agama Dan Adat Dalam Kegiatan Sosial Masyarakat
Permasalahan pokok kelembagaan agama dan adat terutama di masyarakat Aceh antara
lain:
(1) Tidak berfungsinya kelembagaan adat dan masyarakat yang telah ada sejak
dahulu dan diperkuat keberadaannya oleh UU No. 18/2001. Saat ini dengan tercerai
berainya dan berkurangnya ketua-ketua dan anggota lembaga agama, adat, dan sosial
lainnya tingkat mukim dan gampong (akibat bencana) menyebabkan tidak optimalnya
lembaga adat yang ada.
(2) Berkurangnya serta rusak dan musnahnya sarana lembaga agama, adat, dan
sosial tingkat mukim dan gampong (meunasah dan bale), menyebabkan
kegiatan sosial dan budaya tidak berjalan sebagaimana mestinya.

4 - 11

(3) Tidak kondusifnya kondisi keamanan sehingga


berkembangnya lembaga-lembaga tradisional tersebut.

menjadi

kendala

bagi

Kebijakan dan Strategi


Dalam upaya memfungsikan kembali hubungan kekerabatan antar masyarakat dan kegiatan
sosial lainnya melalui lembaga agama, adat, dan sosial lainnya tingkat mukim dan gampong,
maka perlu ada kebijakan dan strategi pemberdayaan lembaga agama, adat dan sosial yang
ada di Aceh, terutama di wilayah yang terkena bencana. Keberadaan lembaga agama adat
dan sosial lainnya sudah sejak lama dan berfungsi dengan baik sebagai media komunikasi
dan kegiatan sosial dan masyarakat. Kebijakan dan strategi pengembangan kelembagaan
agama, adat dan sosial lainnya dalam rangka pemulihan kembali masyarakat ini harus
didasarkan kepada kondisi sosial masyarakat Aceh sebelum terkena bencana dan tetap
dalam kerangka otonomi khusus sesuai Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001. Kebijakan
tersebut adalah
(1) Meningkatkan peranserta lembaga agama, adat, dan sosial lainnya tingkat
mukim dan gampong dalam penyusunan rencana dan kebijakan, dengan cara :
a. Pelibatan perangkat mukim dan gampong dalam pelaksanaan kegiatan rehabilitasi
dan rekonstruksi,
b. Peningkatan peran dewan penasihat mukim dan gampong, serta dewan ulama
mukim dan gampong dalam pengawasan kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi serta
c. Peningkatan kapasitas dan peran lembaga agama, adat, dan sosial lainnya dalam
menghadapi ancaman bencana alam dan buatan, berpartisipasi dalam proses
kebijakan publik melalui pelatihan-pelatihan teknis manajerial, pengembangan
sistem deteksi dini, serta pengembangan ruang dan mekanisme partisipasi.
(2) Memfasilitasi sarana dan prasarana agama, adat, dan sosial lainnya tingkat
mukim dan gampong, dengan cara :
Penyediaan sarana dan prasarana sosial dan ekonomi lembaga agama, adat, dan sosial
lainnya tingkat mukim dan gampong seperti pembangunan meunasah dan bale sebagai
tempat bermusyawarah.
Fokus penguatan dan optimalisasi fungsi pada kedua lembaga tersebut disebabkan lembaga
mukim dan gampong memiliki unsur pemberdayaan masyarakat dan kemandirian rakyat
yang lebih dominan. (Berdasarkan Undang-Undang No 18/2001).

4.2

Membangun Kembali Ekonomi

Bencana alam yang terjadi di Aceh dan Nias, Sumatera Utara menyebabkan lumpuhnya
kegiatan ekonomi yang disebabkan:
(1) Rusaknya hampir semua sarana kegiatan ekonomi masyarakat, antara lain
a. Rusaknya sarana pelayanan masyarakat yang berkaitan dengan kegiatan perikanan
dan pertanian seperti pelabuhan ikan, pusat-pusat penjualan perikanan dan
pertanian, serta saluran irigasi.
b. Rusaknya sarana produksi masyarakat meliputi antara lain sekitar 10.000 perahu
nelayan yang terdiri dari 42% perahu tanpa motor dan 58% perahu dengan motor.
(2) Tidak berfungsinya sistem keuangan termasuk perbankan yang disebabkan oleh
rusaknya berbagai sarana perbankan serta hilangnya kegiatan ekonomi yang didukung
oleh perbankan

4 - 12

(3) Tidak berjalannya


pengangguran.

kegiatan

usaha

yang

menyebabkan

meningkatkan tingkat

Kebijakan dan Strategi


1. Memulihkan pendapatan masyarakat melalui penyediaan lapangan kerja yang
berkaitan dengan rehabilitasi dan rekonstruksi dan memberikan pelatihan bagi berbagai
pekerjaan yang hilang. Pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi mengutamakan
partisipasi masyarakat Aceh untuk itu akan dilaksanakan pelatihan yang berkaitan
dengan rehabilitasi dan rekonstruksi.
2. Memulihkan fasilitas pelayanan masyarakat untuk memenuhi standar pelayanan
minimal. Pemulihan ini dilaksanakan oleh Pemerintah melalui mobilisasi berbagai
sumber daya yang tersedia seperti APBN dan bantuan. Pemulihan diutamakan kepada
sarana pelayanan masyarakat yang berkaitan langsung dengan kegiatan ekonomi
masyarakat seperti perikanan dan pertanian seperti pemulihan pangkalan pendaratan
ikan, tempat pelelangan ikan, memulihkan sarana irigasi serta pusat-pusat penjualan
lainnya.
3. Memulihkan kegiatan perbankan melalui pemulihan berbagai sarana perbankan
serta mengembalikan fungsi intermediasi. Pemulihan dilakukan pula melalui identifikasi
nasabah serta penetapan ahli warisnya. Sedangkan dari sisi aset perbankan pemulihan
dilakukan melalui restrukturisasi.
4. Memberikan bantuan kepada masyarakat untuk memulihkan sarana produksinya.
Bantuan kepada masyarakat ini akan diberikan melalui bantuan langsung melalui
pendekatan berbasis masyarakat (community-based approach). Bantuan kepada
masyarakat dilakukan melalui pemberian hibah langsung yang besarnya maksimum
sebesar Rp. 2 juta. Selain itu akan diberikan pula bantuan yang berkaitan dengan tanah
yang tidak dapat digunakan sebagai tempat pemukiman serta bantuan perumahan.
5. Memberikan dukungan kepada masyarakat unuk dapat memperoleh akses
kepada sumber daya produktif melalui penyediaan sistem insentif kredit disertai
pemberian bantuan teknis. Dukungan diberikan kepada kelompok masyarakat yang
besarnya berkisar antara Rp. 515 juta. Masyarakat penerima bantuan dapat
menggunakan dana tersebut sebagai pemulihan sarana bersama atau menggunakan
dukungan dana tersebut untuk melakukan kegiatan usaha sebagai dana pendamping
(matching fund). Dukungan diberikan pula agar masyarakat penerima dukungan ini
dapat memperoleh dana pendamping melalui mekanisme perbankan biasa dengan
menggunakan tingkat bunga pasar. Bantuan hanya diberikan melalui kemudahan
perolehan kredit serta perpanjangan waktu tenggang.

4.3

Membangun Kembali Infrastruktur

Permasalahan Pokok
Bencana gempa dan tsunami telah menyebabkan kerusakan infrastruktur dan perumahan
dalam skala masif. Hal tersebut telah menimbulkan dampak sebagai berikut:
1. Hancurnya perumahan serta prasarana dan sarana pemukiman yang
mengakibatkan ratusan ribu penduduk kehilangan tempat tinggal, menurunnya kualitas
kesehatan masyarakat, serta rusaknya sistim lingkungan yang berpotensi menimbulkan
bencana lingkungan (enviroment disaster).

4 - 13

2. Hancurnya sistem transportasi, komunikasi, dan logistik, serta


infrastruktur energi yang telah menimbulkan stagnasi ekonomi dan berpotensi
menimbulkan depresi ekonomi.
3. Meningginya rasa tidak aman masyarakat terhadap ancaman bencana.
4. Terisolasinya beberapa wilayah.
Kebijakan dan Strategi
Berdasarkan permasalahan pokok bidang infrastruktur dan perumahan tersebut,
kebijakan yang harus ditempuh dan strategi yang akan dijalankan dalam melaksanakan
kebijakan adalah sebagai berikut:
1. Memprioritaskan penyediaan prasarana dan sarana untuk memenuhi
kebutuhan dasar serta prasarana untuk memperlancar logistik.
a. Menetapkan prioritas utama pada pembangunan kembali perumahan, air minum,
sanitasi, dan drainase.
b. Memprioritaskan pelaksanaan rehabilitasi prasarana akses masuk (entry point),
antara lain pelabuhan laut dan bandara udara strategis beserta jaringan jalan
pendukungnya.
2. Membantu dan menlaksanakan rehabilitasi dan rekonstruksi perumahan
beserta prasarana dan sarana dasar pendukungnya bagi para korban bencana.
a. Membantu korban yang ingin kembali ke tempat tinggal semula dalam bentuk incash atau in-kind setara:
Rp. 28 juta untuk rumah dengan tingkat kerusakan berat atau hancur
Rp. 10 juta untuk rumah dengan tingkat kerusakan ringan
b. Membantu penyediaan perumahan dan prasarana dan sarana dasar pendukungnya
bagi korban bencana yang berkeinginan pindah ke tempat baru (resettlement).
c. Menyelesaikan bantuan dan penyediaan perumahan bagi korban bencana dalam
jangka waktu kurang dari 2,5 tahun.
3. Membangun kembali sistem transportasi dan komunikasi yang memadai untuk
mendukung kelancaran hubungan antar wilayah di dalam propinsi dan antar propinsi,
serta luar negeri.
a. Membuka entry point dan jalur jalan utama (nasional), dilanjutkan dengan
pembukaan jalur transportasi yang terintegrasi untuk memperlancar distribusi
logistik yang effisien dan pengembangan wilayah
b. Merehabilitasi fasilitas telekomunikasi yang ada dan merekonstruksi fasilitas
komunikasi baru melalui teknologi nir-kabel untuk memberikan kemudahan akses
telekomunikasi baik secara lokal, SLJJ, maupun SLI
4. Merehabilitasi fasilitas distribusi energi dan kelistrikan sebagai upaya
mendukung kembalinya aktivitas sosial dan perekonomian.
a. mprioritaskan rehabilitasi jaringan distribusi kelistrikan
b. Mengarahkan upaya rekonstruksi untuk mendukung diversifikasi sumber energi
listrik
5. Mendukung upaya menjaga ketersedian pangan.
a. Memprioritaskan rehabilitasi jaringan irigasi pada wilayah dimana petani
penggarapnya telah siap dan diutamakan pada wilayah-wilayah pusat kegiatan
ekonomi dan pemukiman.
b. Membantu upaya perbaikan jaringan tambak rakyat, khususnya pada jaringan
primer dan sekunder.

4 - 14

6. Memulihkan rasa aman bagi penduduk terkena bencana melalui peningkatan


penyiapan fasilitas infrastruktur untuk mendukung upaya penyelamatan terhadap
ancaman bencana.
a. Mengatasi masalah genangan melalui rehabilitasi dan pembangunan saluran
drainase utama atau perbaikan alur alam.
b. Merehabilitasi dan merekonstruksi drainase kawasan perkotaan (micro dan macro
drainage) untuk mengurangi potensi dampak negatif kerusakan lingkungan dan
kesehatan masyarakat.
c. Membangun sistem peringatan dini dan fasilitas penyelamatan (escape facilities)
melalui pembangunan bukit penyelamatan (escape hill) dan jalur penyelamatan
(escape road) pada daerah pemukiman kawasan pantai rawan bencana tsunami.
d. Mengendalikan banjir daerah pemukiman dan perkotaan melalui kegiatan
normalisasi sungai, perbaikan/pembangunan tanggul, dan perbaikan fasilitas
pengendali banjir.
7. Menerapkan secara konsisten prinsip-prinsip investasi yang didasarkan pada
kelayakan ekonomi, teknis, lingkungan, sosial, budaya dan agama.
a. Melakukan studi kelayakan ekonomi, teknis, lingkungan, sosial, budaya dan agama
untuk setiap kegiatan peningkatan dan pembangunan fasilitas baru sebagai dasar
pengambilan keputusan untuk melakukan investasi.
b. Memprioritaskan optimalisasi prasarana dan sarana yang telah dibangun, sebelum
menetapkan pembangunan fasilitas baru.
c. Menerapkan keterpaduan intermoda prasarana dan sarana dalam menetapkan
prioritas pelaksanaan kegiatan.
d. Keputusan jadwal pelaksanaan perlu selalu memperhatikan tingkat kepentingan
(urgency) dan tingkat kesiapan (readiness).
e. Menerapkan metoda pelaksanaan dan sistem logistik yang efisien.
f. Melakukan konsultasi publik, yang antara lain ditujukan untuk menggali dan
mengakomodasikan nilai budaya lokal dan agama

4.4

Memulihkan Pemerintahan Propinsi Dan Kabupaten/Kota

Permasalahan Pokok
Permasalahan di dalam penyelenggaraan pemerintahan adalah:
(1) Terjadinya permasalahan individual dan traumatik para PNS akibat
kehilangan anggota keluarga ataupun harta benda.
(2) Kurangnya pegawai khususnya pada beberapa Provinsi/Kabupaten/ Kota.
(Meninggalnya guru dan tenaga kesehatan menyebabkan proses belajar mengajar dan
pelayanan kesehatan dasar tidak dapat berjalan dengan baik di beberapa wilayah)
(3) Meninggalnya Kepala Daerah dan Anggota Legislatif menyebabkan hilangnya
kepemimpinan daerah serta beberapa kepala daerah yang habis masa baktinya.
(4) Banyaknya sarana dan prasarana pemerintahan yang tidak berfungsi dan
rusak terutama untuk tingkat kecamatan dan kelurahan/desa/mukim menyebabkan
turunnya pelayanan pemerintahan dan pelayanan umum kepada masyarakat.
(5) Hilangnya wilayah dan beberapa desa akibat bencana tsunami menyebabkan
berubahnya luas dan batas wilayah administrasi.
(6) Tidak kondusifnya penyelenggaraan pemerintahan akibat adanya gangguan
keamanan.

4 - 15

Kebijakan dan Strategi


Dalam melaksanakan proses rehabilitasi dan rekonstruksi, tujuan pemulihan kembali
pemerintah adalah:
(1) Memperkuat pemerintah daerah dalam pelaksanaan pelayanan publik yang efektif,
akuntabel dan transparan;
(2) Mengembangkan dan mengefektifkan ruang publik yang dinamis dengan melibatkan
semua stakeholder dalam proses perencanaan, formulasi kebijakan, pembuatan
keputusan, monitoring dan evaluasi;
(3) Membangun dan memulihkan kembali infrastruktur pemerintahan untuk mendukung
proses pelayanan publik.
Selanjutnya, dalam upaya mempercepat pencapaian mencapai tujuan yang telah ditetapkan
maka ditentukan kebijakan dan strategi untuk mencapai proses rehabilitasi dan rekonstruksi
kelembagaan pemerintahan daerah di Aceh dan Sumut. Dasar pemikiran perumusan
kebijakan ini adalah untuk mencapai fungsi dan peran kelembagaan yang optimal dalam
menunjang pembangunan di daerah-daerah yang terkena dampak tsunami.
Seluruh kebijakan dan strategi peningkatan kapasitas kelembagaan pemerintahan perlu
dilakukan sesuai dengan kebutuhan terkini pasca-tsunami. Kebijakan dan strategi dalam
pemerintahan daerah adalah sebagai berikut:
(1) Memulihkan pemerintahan daerah dalam jangka pendek untuk pelayanan umum
darurat, melalui strategi:
a. Menyelenggarakan pemerintahan dan pelayanan umum melalui bantuan sementara
aparat pusat kepada pemerintah daerah.
b. Melakukan evaluasi ketersediaan jumlah aparat dibandingkan dengan penduduk
eksisting.
c. Melakukan prioritas rekruitmen, pelatihan, dan pendidikan secara khusus dan cepat
untuk mengisi kekosongan aparatur yang hilang/meninggal.
d. Melakukan penanganan masalah administrasi kepegawaian (gaji, tunjangan,
asuransi, dsb).
e. Melakukan pembersihan, perbaikan dan pemanfaatan sarana dan prasarana
pemerintahan yang masih dapat dipergunakan.
f.

Mendukung ketersediaan kantorkantor darurat


/kelurahan/desa.

tingkat kecamatan/mukim

g. Melakukan penyelamatan dokumen administrasi pemerintahan.


h. Melakukan penggalangan bantuan kerjasama antar daerah dalam pemberian
bantuan keuangan, bantuan medis, dan peralatan lainnya.
i.

Memulihkan batas-batas administrasi wilayah (kecamatan/kelurahan/desa)

j.

Melakukan harmonisasi peraturan perundang-undangan pusat dan daerah, termasuk


yang mengatur tentang Otonomi Khusus Provinsi NAD, mahkamah NAD, serta
kebijakan darurat sipil NAD.

(2) Meningkatkan kapasitas pemerintahan di daerah dalam jangka menengah, melalui


strategi:
a. Melakukan penataan dan penyediaan aparatur pemerintah daerah, legislatif,
pimpinan daerah dan aparatur pusat.
b. Meningkatkan kemampuan aparatur Pemda dan anggota legislatif dalam proses
penyusunan rencana daerah, dan pengelolaan keuangan daerah.

4 - 16

c. Meningkatkan kemampuan aparatur Pemda dalam menghadapi ancaman bencana


alam dan buatan, melalui pelatihan-pelatihan teknis manajerial dan pengembangan
sistem deteksi dini.
d. Memperbaiki sistem administrasi pemerintahan daerah yang responsif terhadap
perubahan-perubahan yang tidak diduga (bencana alam dan bencana buatan).
e. Memperbaiki dan menata struktur kelembagaan yang proporsional dan prosedur
kerja sesuai dengan tugas pokok, fungsi, wewenang dan tanggung jawab, untuk
memenuhi standar pelayanan minimum (SPM).
f.

Menciptakan dan
pemerintahan.

meningkatkan

koordinasi

serta

kerjasama

antar

tingkat

(3) Mempercepat penyediaan sarana dan prasarana lembaga pemerintahan permanen,


melalui strategi:
a. Merehabilitasi prasarana pemerintah
masterplan dan rencana teknis (DED).

daerah

yang

permanen

berdasarkan

b. Menyediakan sarana kerja pemerintah daerah dan peralatan mitigasi bencana untuk
mendukung pelayanan publik.
c. Memfasilitasi dan mendukung ketersediaan sarana dan prasarana trauma centre,
sistem kehumasan Pemda, dan forum komunikasi.

4 - 17

Bab 5
Penataan Ruang
5.1 Tujuan
Tujuan penataan ruang wilayah Aceh dan Nias pasca bencana gempa bumi dan tsunami
adalah: membangun kembali wilayah, kota, kawasan dan lingkungan permukiman yang
rusak akibat bencana gempa dan tsunami sehingga masyarakat dapat segera melakukan
aktivitasnya dalam kondisi yang lebih baik dan aman dari bencana.
Implementasi pembangunan Aceh dan Nias pasca bencana akan tetap menerapkan
prinsip pembangunan berkelanjutan yang mengutamakan keseimbangan antara aspek
dan pertimbangan ekonomi, sosial dan lingkungan dengan pembangunan antar dan
intra generasi. Pelaksanaan berbagai aspek pembangunan bidang sumber daya alam dan
lingkungan hidup yang berkelanjutan ini juga mempertimbangkan aspek pendukung
lainnya seperti penggunaan teknologi terkini, tepat guna, dan ramah lingkungan serta
mempertimbangkan aspek-aspek kemungkinan bencana yang akan datang.

5.2

Kebijakan dan Strategi

1.

Mewujudkan kondisi wilayah


penghidupan yang lebih baik

yang

aman

dari

bencana

dan

Konsep dasar penataan ruang membangun kembali Aceh dan Nias adalah untuk
mewujudkan kehidupan yang lebih baik dan lebih aman dari bencana. Untuk itu di
setiap wilayah rawan bencana tsunami perlu memiliki: fasilitas perlindungan yang dapat
berupa bentuk alami maupun bangunan, jalur penyelamatan menuju ke tempat lebih
aman, dan tempat aman untuk penyelamatan, dapat berupa bangunan, bukit, dll.
Strategi:
a. Memberikan perlindungan seefektif mungkin bagi masyarakat dari kejadian
bencana di kemudian hari.
b. Mewujudkan lingkungan hidup yang lebih berkualitas bagi masyarakat.
c. Membangun kembali prasarana dan sarana sosial ekonomi sehingga masyarakat
terkena bencana dapat segera melakukan kegiatan secara normal.
Kegiatan Pokok:
a. Pembangunan berbagai fasilitas untuk perlindungan dan penyelamatan pada
skala lingkungan hingga kota.
b. Pembangunan sistem deteksi dini.
c. Pembangunan berbagai sarana dan prasarana sosial ekonomi.

5-1

2.

Memberikan pilihan kepada warga untuk bermukim

Warga berhak menentukan kemana akan bertempat tinggal: kembali ke tempat asal atau
pindah ke lokasi lain. Pemerintah Daerah perlu memberi informasi, peraturan, dan
sarana prasarana termasuk sarana perlindungan dan penyelamatan bagi warga yg ingin
tinggal di zona berpotensi tidak aman.
Strategi:
a. Memfasilitasi masyarakat untuk segera memulai kehidupan baru di kawasan
yang lebih aman.
b. Memberikan perlindungan dan sarana penyelamatan bagi masyarakat.
c. Menyiapkan lokasi permukiman baru untuk menampung warga yang ingin
pindah.
Kegiatan Pokok:
a. Pemberian informasi kepada masyarakat mengenai potensi kerusakan dan
tingkat ketidaklayakan huni.
b. Pembangunan fasilitas perlindungan dan penyelamatan pada skala lingkungan
hingga kota.
3.

Melibatkan masyarakat dan menggunakan pranata sosial dalam


menghadapi bencana dan kegiatan pembangunan

Dalam melaksanakan pembangunan bidang sumber daya alam dan lingkungan hidup,
peran serta masyarakat lokal merupakan unsur utama dalam proses penanganan
bencana dan maupun tahapan pembangunan.
Strategi:
a. Membangun sistem peringatan dini secara terintegrasi
b. Meningkatkan kepedulian masyarakat dalam mengantisipasi bencana
Kegiatan Pokok:
a. Penyusunan standar, operasi dan prosedur (SOP) untuk respon darurat bencana.
b. Peningkatan kapasitas sumber daya manusia dan institusi pemerintah.
c. Pemanfaatan nilai kearifan lokal sebagai bagian yang melengkapi sistem
peringatan dini.
d. Pemberdayaan peran masyarakat dalam mekanisme penanganan bencana.
4.

Menonjolkan karakteristik budaya dan agama

Dalam membangun kembali kota-kota dan lingkungan-lingkungan permukiman di


wilayah Aceh harus ditonjolkan nilai-nilai budaya Aceh dan agama Islam.
Strategi:
Membangun wujud fisik kota dan lingkungan yang sesuai nilai-nilai budaya dan
agama sekaligus menyiagakan warga menghadapi bencana.

5-2

Kegiatan Pokok:
a. Penataan lansekap kota dan pembangunan kota taman waspada bencana
(penghijauan kawasan pesisir, pantai, ruang terbuka hijau kota, taman memorial
tsunami, RTH kawasan mesjid, kawasan permukiman, pusat budaya Aceh).
b. Pengadaan berbagai fasilitas kegiatan budaya dan agama di berbagai pusat
kegiatan dan lingkungan permukiman.
5.

Pendekatan penataan ruang partisipatif

Proses penataan ruang sesuai dengan UU 24/1992 dilaksanakan secara partisipatif.


Semakin detail rencana tata ruang, semakin intensif proses partisipatif yang dilakukan.
Pemecahan masalah dimulai dari pengenalan akar masalah dan pengenalan terhadap
kebutuhan dan keinginan masyarakat menurut masyarakat sendiri.
Strategi:
Mengajak seluruh komponen masyarakat untuk secara bersama-sama dan serentak
menata kembali tata ruang lingkungan permukiman di seluruh wilayah perdesaan dan
perkotaan yang rusak akibat bencana.
Kegiatan Pokok:
a. Pelaksanaan penyusunan rencana tata ruang secara partisipatif.
b. Pemetaan batas-batas kepemilikan tanah secara partisipatif.
c. Pelaksanaan konsolidasi tanah secara partisipatif.
d. Pelaksanaan pembangunan berbagai fasilitas perindungan dan penyelamatan
secara partisipatif.
6.

Mengantisipasi bencana dan memitigasi kawasan bencana

Penataan ruang kembali wilayah Aceh dan Nias berprinsip mitigasi kawasan bencana,
dan mengantisipasi dampak bencana, serta menjadikan tata ruang kawasan yang lebih
baik dari keadaan sebelum bencana. Zonasi dalam rencana tata ruang wilayah berupa
zona-zona berdasarkan tingkat potensi kerusakan, seperti dengan zona dengan potensi
tingkat kerusakan tinggi, zona dengan potensi tingkat kerusakan sedang, zona degan
potensi tingkat kerusakan rendah, dan zona aman. Pada masing-masing zona perlu
dibangun fasilitas perlindungan dan penyelamatan.
Strategi:
Memberi pemahaman kepada masyarakat mengenai kebencanaan dan upaya-upaya
menghindarinya.
Kegiatan Pokok:
a. Pembangunan prasarana dan sarana sistem peringatan dini.
b. Pemberdayaan peran masyarakat dalam mekanisme penanganan bencana.
c. Pengembangan pendidikan tentang kebencanaan.
d. Pelatihan secara terus menerus upaya penyelamatan dari bencana.

5-3

7.

Proses Penataan ruang sebagai perpaduan proses pendekatan dari


atas dan bawah

Penataan ruang merupakan hasil bersama dimana dalam prosesnya memadukan/


mengkombinasikan dua arah, baik proses dari bawah ke atas dan juga proses dari atas ke
bawah, serta sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku, antara lain hukum
pertanahan. Kontribusi dari atas ke bawah adalah tersedianya struktur konseptual kota
dan wilayah. Sedangkan proses perencanaan dan pembangunan skala lingkungan dan
skala bagian kota dibuat bersama masyarakat. Dengan demikian pertimbangan makro
dan mikro dapat diakomodasi secara proporsional dalam tata ruang wilayah paska
bencana.
Strategi:
Mempertemukan kepentingan untuk pelayanan masyarakat pada skala kota/kabupaten
dengan kepentingan masyarakat pada skala lingkungan.
Kegiatan Pokok:
a. Pemerintah Daerah segera menyusun/merevisi Rencana Tata Ruang Wilayah
masing-masing.
b. Pemerintah Daerah memfasilitasi masyarakat menyusun rencana tata ruang
skala lingkungan dengan konsolidasi tanah yang partisipatif.
c. Perumusan qanun/perda dan peraturan pelaksanaannya (termasuk building
code) secara terbuka.
8.

Mengembalikan peran pemerintah daerah

Penyusunan rencana tata ruang merupakan kewenangan dan kewajiban Pemerintah


Daerah. Konsep rencana tata ruang dalam Master Plan ini disiapkan oleh Pemerintah
Pusat karena Pemerintah Daerah (pada waktu itu) belum berfungsi penuh. Selanjutnya
Pemerintah Daerah dapat menggunakan konsep rencana tata ruang ini dalam
memfinalisasi proses penyusunan rencana dan meneruskan proses hukum dan legalitas
dari rencana tata ruang yang definitif.
Strategi:
Memfasilitasi Pemda untuk segera merevisi qanun/perda rencana tata ruang.
Kegiatan Pokok:
a. Pemberian data dan informasi yang diperlukan kepada seluruh Pemda terkait.
b. Pendampingan kepada Pemda dalam menyusun revisi qanun/perda rencana tata
ruang dan peraturan pelaksanaannya.
9.

Perlindungan terhadap hak perdata warga

Hak perdata warga diakui dan dihormati dalam pembangunan kembali wilayah yang
rusak akibat bencana. Penyusunan rencana tata ruang dalam tingkatan yang lebih
rinci/operasional harus memperhatikan hak keperdataan masyarakat atas tanah. Oleh
karena itu penetapan dan pelaksanaan tata ruang perlu didahului oleh pendataan fisik
dan yuridis tanah. Masyarakat harus diberi jaminan bahwa hak-hak keperdataan atas

5-4

tanah mereka akan terjamin/tidak terhapus sebagai akibat penetapan dan implementasi
tata ruang.
Strategi:
Mengidentifikasi hak-hak warga dan merekonstruksi batas-batas fisik
Kegiatan Pokok:
a. Rekonstruksi batas bidang tanah.
b. Inventarisasi hak-hak warga dan legalisasinya.
10.

Mempercepat proses administrasi pertanahan

Dalam menata kembali penggunaan tanah pasca bencana, Pemerintah akan melakukan
program rekonstruksi batas fisik dan program konsolidasi tanah. Untuk mempercepat
pelaksanaan program-program tersebut dan untuk memungkinkan pelibatan
masyarakat dalam pelaksanaannya, pemerintah akan membuat peraturan baru atau
melakukan perubahan terhadap peraturan yang ada guna menyesuaikan peraturan
pertanahan yang berlaku nasional dengan kondisi di Aceh dan Nias terkait dengan
bencana gempa bumi dan tsunami.
Strategi:
Menyusun peraturan untuk mempercepat proses administrasi pertanahan khusus di
wilayah pasca bencana.
Kegiatan Pokok:
a. Identifikasi permasalahan pertanahan dan peraturan yang ada.
b. Perumusan peraturan baru.
11.

Pemberian kompensasi dan ganti rugi yang adil dan terjangkau

Penetapan rencana tata ruang tidak menghilangkan hubungan hukum orang dengan
tanah. Oleh karena itu apabila terjadi kehilangan/hapusnya hak keperdataan seseorang
terhadap tanah sebagai akibat penetapan rencana tata ruang, maka wajib dilakukan
ganti rugi kepada yang bersangkutan atau dengan cara lain atas kesepakatan bersama.
Pemerintah akan memberikan kompensasi bagi warga yang hak miliknya dipergunakan
untuk kepentingan umum seperti fasilitas perlindungan dan penyelamatan. Besarnya
kompensasi ditentukan sesuai ketentuan yang ada dan sesuai dengan kemampuan
pembiayaan Pemerintah. Pelaksanaan kebijakan ini akan dilakukan secara terbuka.
Pemerintah juga akan memberikan bantuan bagi warga yang tanahnya tidak dapat
digunakan karena tenggelam atau tidak layak huni karena tingkat keracunan yang tinggi.
Strategi:
Menetapkan kebijakan ganti rugi yang adil dan terjangkau
Kegiatan Pokok:
a. Identifikasi subyek hukum calon penerima ganti rugi.
b. Penyusunan mekanisme ganti rugi.
c. Pemberian ganti rugi secara transparan.

5-5

12.

Melakukan revitalisasi kegiatan perekonomian masyarakat yang


berbasis sumber daya alam

Dengan hancurnya berbagai kegiatan perekonomian masyarakat khususnya di bidang


pertanian dan perikanan yang menjadi andalan masyarakat setempat, mengakibatkan
masyarakat memerlukan pengaktifan kembali dan bantuan untuk memulihkan keadaan
perekonomian setempat. Untuk mendukung kegiatan perekonomian masyarakat
maupun pembangunan selama masa rehabilitasi dan rekonstruksi, diperlukan pula
strategi khusus untuk memenuhi kebutuhan bahan atau material pembangunan yang
berasal dari sumber daya alam.
Strategi:
a. Memulihkan dan meningkatkan kegiatan pertanian.
b. Memulihkan kegiatan dan meningkatkan perikanan.
c. Menyediakan material dasar pembangunan dari sumber daya alam yang tidak
mengancam kelestarian lingkungan.
Kegiatan pokok:
a. Intensifikasi pertanian, peningkatan ketahanan pangan, pengembangan
agrobisnis, peningkatan kesejahteraan petani.
b. Pengembalian kegiatan perikanan tangkap dan rehabilitasi lahan tambak
masyarakat dan perikanan budidaya.
c. Penyediaan kayu dan penyediaan bahan bangunan lainnya.
13.

Memulihkan kembali daya


ancaman bencana alam

dukung

lingkungan

dan

antisipasi

Bencana tsunami dan gempa bumi telah mengakibatkan kerusakan lingkungan yang
sangat besar dan berdampak langsung terhadap kehidupan masyarakat saat ini dan di
masa yang akan datang.
Strategi:
a. Mengamankan dan menginformasikan wilayah yang terkena pencemaran dan
bahaya kegempaan.
b. Melakukan pembersihan wilayah bencana.
c. Merehabilitasi tanah.
d. Merehabilitasi terumbu karang.
e. Membangun daerah penyangga (green belt) sesuai dengan karakter pantai.
f. Mengamankan fungsi kawasan lindung eksisting.
g. Melakukan kajian pengamanan dan pencegahan bahaya lingkungan pada tahap
rekonstruksi.
Kegiatan Pokok:
a. Survei berkala parameter pencemar, penetapan status keamanan lingkungan dari
suatu wilayah, dan sosialisasi kualitas lingkungan dan ancaman bahaya gempa.
b. Pembuangan limbah padat tsunami, penataan kembali sistem persampahan kota,
penataan ulang sistem drainase perkotaan, Membangun sistem pengolahan
limbah cair.
c. Penelitian kualitas tanah dan uji coba tanaman yang sesuai dengan kondisi
tanah.

5-6

d. Pendataan kembali terumbu karang dan penanaman kembali terumbu karang.


e. Rehabilitasi mangrove dan rehabilitasi vegetasi perintis kawasan pantai.
f. Pengamanan Taman Nasional Lueser dari pembangunan, pengamanan fungsi
kawasan lindung lainnya, baik yang berada di Aceh maupun propinsi lainnya
yang berdekatan dengan Aceh.
g. Pelaksanaan kegiatan AMDAL regional dan konsultasi dengan masyarakat.
14.

Memulihkan kembali sistem kelembagaan SDA dan LH di tingkat


pemerintah

Prasarana dan sarana kepemerintahan yang sebagian besar hancur karena tsunami
membutuhkan rehabilitasi dan pembangunan kembali agar roda pemerintahan dapat
berjalan normal.
Strategi:
a. Melengkapi dan mengisi kembali formasi pegawai (tenaga ahli dan tenaga
pendukung).
b. Memulihkan sarana dan prasarana kepemerintahan bidang sumber daya alam
dan lingkungan daerah.
Kegiatan Pokok:
a. Pelaksanaan kajian kelembagaan yang responsif terhadap bencana dan
Melakukan rekruitmen pegawai baru.
b. Pelaksanaan pembangunan dan rehabilitasi kantor dan laboratorium dan
Melengkapi sarana pendukung kegiatan operasional instansi.
15.

Mengembalikan dan merehabilitasi struktur dan pola tata ruang


wilayah Provinsi NAD

Struktur dan pola tata ruang wilayah Provinsi NAD yang rusak dikembalikan menjadi
seperti semula dengan memperkuat bagian-bagian tertentu sehingga lebih tahan
menghadapi bencana gempa bumi dan tsunami. Sebagai bagian dari upaya
penyelamatan dan pengembangan wilayah, pembukaan jalan baru lintas utara-selatan
dan barat-timur diupayakan tanpa mengorbankan kelestarian hutan lindung dan suaka
margasatwa yang ada.
Strategi:
Kota-kota pesisir dikembangkan dengan memperhatikan aspek-aspek lokal terutama
keterkaitannya dengan rawan gempa bumi dan tsunami serta dengan kawasan
konservasi dan penyangga yang berfungsi lindung.
Kegiatan Pokok:
a. Rehabilitasi untuk menjaga keterkaitan antar kota-kota di pantai barat, pantai
timur, dan keterkaitan kedua wilayah, serta mendorong perkembangan dan
pemerataan wilayah.
b. Fasilitas penyeberangan ke pulau-pulau kecil difungsikan kembali untuk
pengembangan ekonomi wilayah.
c. Fungsionalisasi dan peningkatan bandar udara dan pelabuhan laut.
d. Rehabilitasi sistem jaringan listrik terinterkoneksi.

5-7

e.
f.
g.
h.

16.

Perbaikan kawasan budidaya pertanian dan kelautan.


Rehabilitasi jaringan sumberdaya air.
Pembuatan fasilitas perlindungan pantai berupa vegetasi atau bangunan.
Penentuan batas dan konservasi taman nasional dan kawasan lindung lain, serta
suaka gajah dan margasatwa langka lain.
Membangun kembali kota-kota yang terkena bencana dilakukan
dengan merajut kembali tatanan kota lama

Membangun kembali kota-kota yang rusak karena gempa bumi dan tsunami dilakukan
dengan memberdayakan secara cepat penduduk yang terkena bencana, merajut kembali
tatanan fisik, tatanan sosial dan sistim ekonomi yang lama, memperbaiki sarana dan
prasarana yang rusak, melindungi nyawa dan harta penduduk dari bencana yang akan
terjadi, membuat taraf hidup masyarakat lebih baik dan mampu memberi arahan
pembangunan yang terpadu, efektif dan efisien.
Strategi:
Melakukan pendataan dan pemetaan warga dan tanah yang dimiliki sebelum terjadi
bencana, pengumpulan harapan masyarakat, penataan ulang lingkungan permukiman
oleh masyarakat sendiri, peningkatan kemampuan dan kepercayaan diri masyarakat.
Kegiatan Pokok:
a. Pelaksanaan survey bersama masyarakat, LSM dan pemerintah di kawasan yang
terkena bencana.
b. Pemetaan bersama masyakat pada kawasan pra dan pasca tsunami
c. Pengumpulan dan identifikasi harapan masyarakat, stakeholder, tokoh
masyarakat.
d. Perencanaan tata ruang lingkungan permukiman oleh masyarakat, termasuk
fasilitas umum dan sosial dan disain bentuk bangunan tahan gempa dan
tsunami.
e. Peningkatan kemampuan masyarakat di kawasan terkena bencana dengan
pelatihan mengenai identifikasi bencana, pelatihan evakuasi, pelatihan bertahan
hidup sewaktu terjadi bencana.
f. Pengawasan bersama oleh masyarakat pada tahap pelaksanaan.
Strategi:
Merajut kembali dan memperbaiki tatanan fisik, tatanan sosial dan sistim ekonomi yang
rusak.
Kegiatan Pokok:
a. Revitalisasi sarana dan prasarana serta ruang kegiatan sosial-ekonomi penduduk
dengan sesedikit mungkin melakukan perubahan pola penggunaan lahan.
b. Rekonstruksi dan atau rehabilitasi kawasan yang rusak.
c. Perbaikan/pendayagunaan kembali sarana dan prasarana yang masih ada.
d. Perbaikan dan pembangunan kembali infrastruktur yang rusak.
Strategi:
Menyelamatkan nyawa dan melindungi harta penduduk kawasan eks bencana.

5-8

Kegiatan pokok:
a. Pembangunan sistem peringatan dini/early warning system.
b. Pembangunan fasilitas perlindungan seperti sistem sabuk hijau.
c. Pembangunan fasilitas penyelamatan berupa bukit pada kawasan permukiman
kepadatan sedang rendah dan bangunan (mesjid, meunasah) pada kawasan
permukiman kepadatan tinggi.
d. Pembangunan jalur-jalur penyelamatan.
e. Rekonstruksi bangunan baru yang memenuhi design teknis tahan gempa, tahan
gelombang, mengurangi bongkahan (debris).
Strategi:
Membuat taraf hidup masyarakat lebih baik.
Kegiatan Pokok:
a. Penggunaan tenaga lokal dalam proses pembangunan kembali kawasan dan
rumah-rumah yang terkena bencana.
b. Pelatihan ketrampilan-ketrampilan bagi masyarakat.
c. Penciptaan peluang kerja baru.
d. Sosialisasi dan pembudayaan sistem asuransi jiwa dan harta.
Strategi:
Memberi arahan pembangunan yang terpadu, efektif dan efisien.
Kegiatan Pokok:
a. Pembuatan konsep tata ruang pasca tsunami yang terpadu skala lingkungan,
skala bagian kota dan skala kota/kabupaten serta skala provinsi.
b. Pembuatan guidelines untuk merehabilitasi infrastruktur, fasilitas umum,
fasilitas sosial dan
permukiman dengan memanfaatkan material yang
ada/tersisa.

5.3 Kebijakan Struktur dan Pola Pemanfaatan Ruang Provinsi NAD


Secara prinsip kebijakan struktur dan pola pemanfaatan ruang provinsi diarahkan untuk
mengembalikan dan merehabilitasi struktur dan pola pemanfaatan ruang wilayah
Provinsi NAD. Untuk itu kebijakan penataan ruang wilayah Provinsi NAD pasca gempa
dan tsunami yang berupa pola dan struktur pemanfaatan ruang adalah sebagai berikut:
1. Pusat Permukiman/Kota-kota di Pantai Barat tetap dipertahankan untuk menjaga
keseimbangan pertumbuhan antar wilayah (Barat-Timur) dan wilayah Tengah serta
didukung pusat-pusat pertumbuhan skala lebih kecil adalah Sigli, Bireuen, Singkil,
Tapak Tuan, Blangpidie, Calang di wilayah pesisir; dan Blangkejeren dan Jantho di
wilayah pedalaman.
2. Kota-kota Tepi Air dikembangkan dengan memperhatikan juga aspek-aspek lokal
terutama keterkaitannya dengan rawan Gempa dan Tsunami dengan kawasan
konservasi dan penyangga yang berfungsi lindung.
3. Jaringan jalan direhabilitasi untuk menjaga keterkaitan antar kota-kota di Pantai
Barat, Pantai Timur, atau keterkaitan kedua wilayah, serta mendorong
perkembangan dan pemerataan wilayah: Meulaboh-Calang-Lamno-Banda Aceh
Jantho-Sigli-Bireun hingga Lhokseumawe dan Rehabilitasi dan pembangunan jalan
baru (dalam kaitan pembangunan jalan rusuk/pengumpan) yang menghubungkan

5-9

daerah terisolir Aceh Barat/Meulaboh dan Aceh Jaya antara lain: Lhok KruetCalang-Teunom-Woyla-Meulaboh dengan memanfaatkan jalan perkebunan Sawit
dan peningkatan jalan desa; membuka kembali ruas jalan Jantho-Lamno;
Beureunun-Geumpang-Tutut-Meulaboh, jalan Ladia Galaska Simpang Peut-JeuramBeutong Ateuh-Takengon, ruas jalan lintas Barat Meulaboh-Tapaktuan-Bakongan;
Jantho-Lamno; Calang-Tangse-Beureunun; Teunom-Sarah Raya-Geumpang;
Teunom-Sarah Raya-Woyla; dan Calang-Geumpang.
4. Penyeberangan ke pulau-pulau kecil (a.l.: pulau Weh, Sabang, dan Simeuleu)
difungsikan kembali untuk mobilisasi penduduk dan perkembangan ekonomi
wilayah.
3. Fungsionalisasi dan peningkatan Bandar Udara: Bandar Udara Sultan Iskandar
Muda, Cut Nyak Dien, Lasikin, Maimun Saleh, Malikussaleh, dan Teuku Cut Ali.
Pelabuhan udara di pantai barat-selatan dapat didarati hercules untuk evakuasi dan
supply logistik.
4. Fungsionalisasi dan peningkatan pelabuhan laut: Sabang, Malahayati, Calang,
Meulaboh, Kuala Langsa, Singkil, dan Lhokseumawe. Lokasi pelabuhan
penyeberangan pengganti Uleu-lhee ditentukan setelah melakukan studi kelayakan
teknis terlebih dahulu.
7. Rehabilitasi sistem jaringan listrik terinterkoneksi untuk Banda Aceh-Sigli-BireunLhokseumawe dan Meulaboh-Calang-Takengon.
8. Perbaikan kawasan budidaya industri di Lhoknga, Lhokseumawe, dan Malahayati;
perdagangan, pertanian pangan dan perkebunan, dan pesisir kelautan.
9. Rehabilitasi jaringan sumberdaya air (al: saluran irigasi, alur sungai, dan pantai)
mendukung ketersediaan air baku dan air minum
10. Rehabilitasi dan rekonstruksi untuk fungsionalisasi kawasan berfungsi Lindung
konservasi (bagian Tengah) antara lain kawasan ekosistem leuser, hutan lindung,
dan lindung binaan (buffer zone dan hutan kota) di sepanjang pantai mellaui
penyiapan area penyangga (buffer zona) pantai baik berupa vegetasi atau bangunan.
11. Kawasan permukiman diupayakan tidak berada di kawasan lindung, seperti wilayah
kehidupan gajah yang semakin langka populasinya, antara lain di Desa Pucok, Alue
Raya, Blang Dalam & Lhok Kuala, Lamje, Kr. Batee Mirah, Kr. Alue Ceuroloup, Kr.
Buerieng, Can. Kaking Ungoh Batee, perbatasan Tutut, Kawasan Uteun Cut, Panga,
Panga-Teunom, dan Lageun.

5 - 10

95 BT

96

}
#

98 BT

97

P. Weh
#
KOTA SABANG
/ Sabang

Sigli
#
#

KAB. PIDIE

#
#

KAB.
#
ACEH
JAYA

}6#

Bireuen

#
#

KAB.
ACEH TENGAH

/
}

M
U

Jalan Arteri
Jalan Kolektor

Gunung

Jalan lain

Sungai

Rel KA

Kota Orde I / PKN

Kota Orde II / PKW

#
#

#
#

Blangkejeran

Jalan Nasional

KAB. #
ACEH GAYO LUES

Jalan Tol

Kota Kecamatan

}
}

#
Karang
Baru

Ibukota Propinsi
Ibukota Kabupaten

Batas Kabupaten

KAB. ACEH
TAMIANG

KAB.

Jalan Provinsi

Ke Medan

Blang Pidie
KAB. ACEH
#

Keterkaitan dengan Pulau-Pulau Kecil


Keterkaitan Antar Kota-kota di Provinsi

BARAT# DAYA
#

KAB. ACEH
SELATAN

KAB. ACEH
TENGGARA

Kawasan Budidaya untuk


Pengembangan Hutan Rakyat

Ke Kabanjahe

#
#

P. Siumat
#

#
#

/#

Hutan Produksi Tetap

P. Tapah

#
#

ak
ny P. Ujungbatu
Ba
p.
Ke
#
P. Lasia
P. Babi P. Bangkuru
P. Tuangku

2 LU

Kawasan Budidaya, masih dimungkinkan


Kawasan Berfungsi Lindung dalam
Rencana yang lebih Detail

96

Kebijakan
Struktur
Kabupaten/Kota.

Pelabuhan Laut Internasional


Pelabuhan Laut Nasional
Pelabuhan Laut Lokal

/
#
#

#
#
Peta Dasar

Singkil

97

dan

Bandar Udara Tersier


Bandar Udara Lokal

KAB. ACEH
SINGKIL

Sinabang
#

Ke Sidikalang

Hutan Produksi Terbatas

6##
#

KAB. SIMEULIE#

Bandar Udara Sekunder

PELABUHAN LAUT

Peta Reppprot 1:250.000, Bakosurtanal

Tema

Nama File

2 LU

Kawasan Lindung di luar Kawasan Hutan

# #

#
#

BANDAR UDARA

Tapaktuan

P. Simeulue

Hutan Lindung

Keterkaitan Antar Provinsi / Pulau

Kutacane

Hutan Konservasi (Hutan Suaka Alam,


Hutan Pelestarian Alam, Taman Nasional)

Jalur Ladia Galaska Utama (Prioritas)

PROVINSI
SUMATERA UTARA

KAWASAN HUTAN

50 Km

Batas Propinsi

Langsa

#
Meulaboh
NAGANRAYA

KOTA LANGSA

Suka Makmue

KAB.
BENER MERIAH

#
#

Takengon
#

/
}
#
#

Simpangtigaredelong

KAB.
ACEH BARAT

}
/

KAB.
ACEH TIMUR

25

Legenda :

#
#

KAB. ACEH UTARA

Calang

5.4

95 BT

Lhokseumawe

KOTA
LHOKSEUMAWE
#

KAB. BIREUN
#

5 LU

Janthoi

#
#

5 LU

PETA 11
RENCANA TATA RUANG
PROVINSI NAD

KOTA
BANDA ACEH

KAB.
ACEH BESAR

BANDA ACEH

6#}
6

P. Breueh

DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM

98 BT

Pola

Pemanfaatan

Ruang

5.4.1 Sistem Kota


1. Meminimalisasikan perubahan struktur, hirarki, kepadatan dan tata guna
lahan eksisting
2. Mengembangkan jalan eksisting dan menambah jalan baru sebagai jalur
penyelamatan
3. Merehabilitasi/merekonstruksi kawasan kota yang terkena tsunami
4. Meningkatkan aksesibilitas kota dari arah laut maupun udara dalam rangka
evakuasi, distribusi logistik maupun rehabilitasi kota/kawasan
5.4.2 Struktur Ruang Kota
1. Mempertahankan kerangka kota yang ada yang merangkai seluruh wilayah
kota.
2. Merehabilitasi kerangka kota yang ada.
3. Membangun kota dan kawasan yang tahan menghadapi bencana.
4. Memanfaatkan alur sungai sebagai kerangka kota.
5. Meningkatkan fungsi dan peran ruang-ruang struktural utama.

5 - 11

5.4.3 Kawasan Non Budidaya


1. Kawasan Lindung
a. Merehabilitasi dan mereboisasi kawasan lindung yang rusak akibat
bencana tsunami.
b. Mengkonservasi dan memproteksi kawasan hutan lindung, hutan kota
dan hutan mangrove sebagai fungsi lindung dan pertanahan terhadap
bencana tsunami.
c. Mengembangkan dan menambah kawasan sabuk hijau sebagai fungsi
pertahanan terhadap bencan dan konservasi alam
d. Memanfaatkan kawasan sabuk hijau dan escape hill untuk ruang terbuka
hijau.
2. Kawasan Pantai dan Pesisir
Mengembalikan fungsi dan pemanfaatan lahan kawasan pantai/pesisir
seperti semula dengan menerapkan mitigasi bencana
3. Kawasan Sungai
Menata kawasan sungai dengan menerapkan mitigasi bencana
5.4.4 Kawasan Budidaya
1. Kawasan Permukiman
a. Membangun kembali permukiman kota yang rusak beserta fasilitasnya.
b. Melengkapi permukiman yang ada dengan fasilitas mitigasi bencana.
c. Mengembangkan bangunan penyelamatan/rumah vertikal pada kawasankawasan yang berkepadatan tinggi.
d. Menciptakan kawasan permukiman baru.
2. Kawasan Bersejarah
Mengkonservasi dan merevitalisasi kawasan bersejarah yang masih ada.
5.5 Arahan Pemanfaatan Ruang Kabupaten/Kota
Arahan pemanfaatan ruang kabupaten/kota bertujuan untuk memberi beberapa
alternatif konsep pemanfaatan ruang yang dapat dijadikan pedoman bagi pemerintah
daerah dalam menyusun atau merevisi rencana tata ruang wilayahnya, serta dalam
menyusun rencana tata ruang wilayah yang lebih rinci, misalnya rencana detail tata
ruang kota dan rencana tata bangunan dan lingkungan. Arahan pemanfaatan ruang
kabupaten/kota disusun dengan mempertimbangkan 16 (enam belas) kebijakan penatan
ruang, yaitu: (1) mewujudkan penghidupan yang aman dan lebih baik; (2) memberi
pilihan kepada warga untuk bermukim; (3) melibatkan masyarakat dalam
penanggulangan bencana; (4) menonjolkan karakteristik budaya dan agama; (5)
pendekatan penataan ruang partisipatif; (6) memitigasi bencana; (7) tata ruang
memadukan pendekatan dari atas dan bawah; (8) mengembalikan peran pemerintah
daerah; (9) perlindungan hak perdata warga; (10) mempercepat proses administrasi
pertanahan; (11) pengaturan mengenai kompensasi; (12) revitalisasi kegiatan ekonomi;
(13) memulihkan daya dukun lingkungan; (14) memulihkan sistem kelembagaan SDA
dan LH; (15) rehabilitasi strultur dan pola tata ruang; dan (16) membangun kembali
kota.

5 - 12

5.5.1 Kota Banda Aceh


1.

Zonasi Fisik Banda Aceh.

Arahan zonasi fisik Banda Aceh sebagian besar terdiri dari atas Kawasan Lindung
(Conservation, Zona V), Kawasan Pengembangan Terbatas (Restricted Development
Area, meliputi zona I, II, dan III), Kawasan Pengembangan (Promoted Development
Area, zona IV).

2.

Arahan Pemanfaatan Ruang Banda Aceh

Pola pemanfaatan ruang kawasan perkotaan Banda Aceh dan sekitarnya yang
disesuaikan dengan karakteristik wilayah yang rawan bencana, meliputi: i) zona pantai,
ii) zona perikanan/tambak, iii) zona taman kota, iv) zona permukiman, permukiman
terbatas dan permukiman perkotaan, v) landmark dan pusat pemerintahan kota Banda
Aceh, iv) zona permukiman baru bagi penduduk yang ingin pindah, vii) pusat bisnis dan
pemerintahan provinsi dan fasilitas perkotaan berskala kota dan regional, vii) zona
pendidikan tinggi, dan ix) zona pertanian.

5 - 13

5 - 14

5.5.2 Kabupaten Aceh Jaya


Rencana pola pemanfaatan ruang Kabupaten Aceh Jaya meliputi rencana pola
pemanfaatan kawasan lindung dan rencana pola pemanfaatan kawasan budidaya
sebagai berikut:
1. Kawasan lindung, meliputi:
a. Hutan bakau dan sempadan sungai
b. Hutan lindung.
2. Kawasan budidaya, meliputi:
a. Perikanan /tambak.
b. Hutan produksi
c. Kawasan produksi, terdiri atas:
- Kawasan pertanian lahan basah.
- Kawasan pertanian lahan kering.
- Kawasan pertanian tanaman tahunan
- Kawasan perkebunan besar.
- Kawasan perkebunan rakyat/tanaman rakyat.
d. Kawasan permukiman dan pusat kota, terdiri atas:
- Kawasan permukiman perkotaan.
- Kawasan permukiman terbatas.
- Zona CBD dan sub pusat wilayah kota.
e. Kawasan pelabuhan
Peruntukan zona pemanfaatan ruang Kabupaten Aceh Jaya, yang terdiri dari kawasan
perkotaan dan perdesaan disesuaikan dengan karakteristik wilayah yang rawan bencana,
meliputi :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.

Zona Pantai/Hutan Bakau (Z-1-1).


Zona Perikanan/Tambak dan Permukiman Desa Terbatas (Z-1-2).
Zona Hutan (Hutan Produksi)/Ruang Terbuka Hijau (Z-1-3).
Zona Hutan Lindung (Z-1-4).
Zona Rawa (Z-1-5).
Zona Pertanian Lahan Basah dan Permukiman Desa Terbatas (Z-2-1).
Zona Pertanian Lahan Kering dan Permukiman Desa Terbatas (Z-2-2).
Zona Pertanian Tanaman Tahunan dan Permukiman Terbatas (Z-2-3).
Zona Perkebunan Besar dan Permukiman Terbatas (Z-2-4).
Zona Perkebunan Rakyat/Tanaman Rakyat dan Permukiman Desa Terbatas (Z-2-5).
Zona Pusat Kota/CBD dan Sub-Pusat Kota (Z-3-1).
Zona Pusat Permukiman Baru (Z-3-2).
Zona Permukiman Terbatas (Z-3-3).

5 - 15

5 - 16

5.5.3 Kabupaten Aceh Barat


Pola pemanfaatan ruang kawasan sepanjang pantai Kabupaten Aceh Barat dan kota
Meulaboh disesuaikan dengan karakteristik wilayah yang rawan bencana, meliputi zonazona sebagai berikut:
1)

Zona N1 :

Zona ditepi muka air pasang berjarak minimal 100 meter dari pasang laut tertinggi
dimanfaatkan untuk membangun fasilitas perlindungan (Buffer Zone) dengan hutan
tanaman manggrove, waru laut dan tanaman penyangga lainnya sesuai karakteristik
pantai.
2)

Zona N2 :

Zona yang dicapai oleh gelombang tsunami dengan ketinggian > 1 meter DPL, dengan
pemanfaatan ruang sebagai lahan budidaya perkebunan atau taman kota dengan
tanaman penyangga yang dapat difungsikan sebagai Buffer Zone dengan bangunan
terbatas dan kepadatan wilayah terbangun rendah (TPI, permukiman nelayan, dll) yang
dilengkapi dengan disaster mitigation plan.
3)

Zona B1 :

Zona transisi (zona antara) yang dicapai gelombang Tsunami < 1 meter DPL dengan
zona aman, dengan pemanfaatan ruang untuk kegiatan jasa dan perdagangan serta
permukiman kepadatan rendah sampai sedang.
4)

Zona B2 :

Zona yang aman dari terpaan gelombang tsunami dengan pemanfaatan ruang sebagai
pusat kegiatan bisnis (CBD), pelayanan sosial dan permukiman perkotaan dengan
kepadatan tinggi, disesuaikan dengan kondisi daya dukung lahan setempat dan
pemanfaatan ruang yang ada.

5 - 17

5 - 18

5.5.4 Kabupaten Nagan Raya


Secara umum arahan pemanfaatan ruang yang dipilih untuk menjabarkan konsep
penanganan penataan ruang pasca bencana di wilayah pesisir Kabupaten Nagan Raya
adalah sebagai berikut:

Pusat-pusat pelayanan sosial dan ekonomi perlu dikembangkan dengan


memperhatikan wilayah rawan bencana, daya dukung lingkungan dan efisiensi
pengembangan.

Pembangunan kembali pelabuhan nelayan (Tempat Pelelangan Ikan/TPI) di Kuala


Tuha dan Kuala Tadu.

Penataan kembali kawasan permukiman dengan konstruksi bangunan tahan gempa


dan tsunami, serta dilengkapi sarana prasarana untuk kepentingan mitigasi bencana.

Mengembangkan kawasan penyangga atau kawasan hijau berupa hutan pantai di


sepanjang pesisir pantai dengan ditanami tanaman kelapa dan cemara (disesuaikan
dengan karakteristik tanahnya) dengan ketebalan 400 - 600 m, kerapatan 30 pohon
per 100 m2, diameter pohon 15 cm, yang diperkirakan dapat meredam 50 % energi
gelombang tsunami.

Lapangan Udara Cut Nya Dien tetap seperti yang ada dengan membangun tanggul
pengaman sepanjang lapangan udara, sehingga keamanan lapangan udara tetap
terjaga dari bencana.

Penataan kembali pusat-pusat kegiatan/permukiman lama di sepanjang pesisir.

Diperlukan system peringatan dini (Early Warning System) dan Disaster


Management berbasis Rencana Tata Ruang.

Selanjutnya, arahan pemanfaatan ruang tersebut diterjemahkan pada rencana zonasi


pemanfaatan ruang Kabupaten Nagan Raya dengan memeprtimbangkan wilayah rawan
bencana. Zonasi pemanfaatan ruang Kabupaten Nagan Raya meliputi:
1. Zona Pesisir (terdiri dari: Buffer Zone, Pertanian, dan Permukiman
2. Zona Hutan Lindung
3. Zona Hutan Produksi Tetap
4. Zona Permukiman
5. Zona Lahan Usaha, terdiri atas :
5.a. Perkebunan Besar
5.b. Perkebunan Rakyat
5.c. Lahan Basah
5.d. Tanaman Tahunan

5 - 19

ZONASI
Kabupaten Nagan Raya

Keterangan:
Batas Kabupaten
Jalan

PK

HL

Hutan Lindung

HP

Hutan Produksi Tetap

TT

Tanaman Tahunan

PB

Perkebunan Besar

LB

Lahan Basah

LK

Lahan Kering

TR

Transmigrasi

PK

Permukiman Kota

Sumber Peta:
RTRW Prov. NAD 1:500.000

5 - 20

5.5.5 Kabupaten Simeulue


Arahan penataan ruang Kabupaten Simeulue sebagai berikut :

1. Membangun kembalipusat-pusat permukiman yang terkena dampak tsunami, baik


permukiman kota maupun permukiman desa.

2. Menata kembali kota/desa dengan peruntukan sebagai berikut zona penyangga;


ruang terbuka hijau, pariwisata, pertanian, perkebunan, permukiman dengan tingkat
kepadatan rendah atau fungsi kegiatan lain dengan tingkat aktifitas rendah.

3. Menata kembali dan mengembangkan Kota Sinabang, dengan kegiatan utama


sebagai kawasan pelabuhan, perdagangan dan jasa distribusi, dengan membangun
fasilitas pendukungnya.

4. Memberi perlindungan bagi permukiman desa, nelayan dan pertanian dengan


mengembangkan buffer zone dan zona penyelamatan yang mudah dijangkau.

5. Diperlukan dukungan pembangunan dan penataan kembali infrastruktur; jaringan


jalan, irigasi, air bersih, drainase dan lainnya bagi permukiman kota dan desa.

6. Menata kembali wilayah sepanjang pantai dengan mengatur peruntukkan fungsi bagi
ekosistem mangrove, sempadan pantai, perkebunan, pertanian, perikanan/tambak,
pemukiman desa terbatas, wisata bahari dan pantai, serta jalan lingkar pulau.

7. Dipertahankannya fungsi-fungsi kawasan hutan sebagai hutan lindung, hutan


produksi, hutan produksi terbatas dan hutan produksi yang dapat dikonversi.

Selanjutnya, arahan pemanfaatan ruang tersebut diterjemahkan ke dalam arahan zonasi


pemanfaatan ruang, sebagai berikut :
I. Zona I (0-3 meter dpl), wilayah antara garis pantai dengan jalan lingkar
pulau
1

Zona Mangrove ( Hutan Bakau )

Z. 1 - 1

Zona Sempadan Pantai (100 meter dari garis pantai)

Z. 1 - 2

Zona Perkebunan

Z. 1 - 3

Zona Perikanan ( Tambak )

Z. I - 4

Zona Pertanian

Z. I - 5

Zona Permukiman Desa sangat terbatas (0-3 m dpl)

Z. I - 6

Zona Pariwisata Bahari dan Pantai

Z. I - 7

Jalan Lingkar Pulau

Z. I - 8

II . Zona II (3-6 meter dpl), wilayah pemanfaatan terbatas


1

Zona Pertanian

P. 2 - 1

Zona Perkebunan

P. 2 - 2

Zona Perikanan dan Nelayan

P. 2 - 3

5 - 21

Zona Permukiman Desa terbatas ( 3 s/d 6 m dpl)

P. 2 - 4

Zona Pariwisata Bahari dan Pantai

P. 2 - 5

III. Zona III (>6 meter dpl), wilayah pemanfaatan aman dari tsunami
1

Zona Pusat Permukiman Baru

M. 3 - 1

Zona Kota lama yang dipertahankan

M. 3 - 2

Zona Perdagangan

M. 3 - 3

Zona Pelabuhan Udara

M. 3 - 4

Zona Pertanian / Perkebunan

M. 3 - 5

IV. Zona IV, wilayah hutan


1

Zona Hutan Produksi

H. 4 - 1

Zona Hutan Produksi Terbatas

H. 4 - 2

Zona Hutan Produksi Konversi

H. 4 - 3

Zona Hutan Lindung

H. 4 - 4

Zona Pertanian/Perkebunan Besar

H. 4 - 5

5 - 22

5 - 23

5.5.6 Kota Lhokseumawe


Pada kawasan yang rusak akibat bencana tsunami, dilakukan evaluasi dan peninjauan
ulang arahan pemanfaatan ruang dengan mempertimbangkan tingkat kerusakan dan
prospek pengembangannya, yaitu:
1)

Bila tingkat yang ditimbulkan dengan ciri hilang/hancurnya permukiman nelayan


dan penduduk beserta kerusakan prasarana dan sarana permukiman yang
mendukung kehidupan sosial ekonominya, maka arahan pemanfaatan ruang pada
kawasan ini harus bernuansa konservasi namun tetap memperhatikan peluang
pengembangan potensi ekonomi yang sudah ada dengan mempertimbangkan
aspek-aspek penanganan yang dapat melindungi ataupun meminimalkan dampak
kerusakan kawasan bila bencana ini berulang di masa yang akan datang.

2)

Bila tingkat kerusakan yang ditimbulkan tidak parah, atau umumnya menjadi
wilayah limpasan gelombang dengan ciri tidak menghilangkan atau
menghancurkan permukiman maupun kerusakan prasarana dan sarana
permukiman yang mendukung kehidupan sosial ekonominya, maka arahan
pemanfaatan ruang pada kawasan ini dapat disesuaikan dengan arahan
pemanfaatan ruang yang telah ditetapkan dalam RTRW yang telah disusun, namun
dengan menambah fungsi sebagai daerah perlindungan (shelter) masyarakat
terhadap bencana gempa dan tsunami bila berulang di masa yang akan datang.

Pada kawasan dengan permukiman dan prasarana/sarana yang rusak berat, maka
peninjauan ulang pemanfaatan ruangnya dilakukan pada hal-hal sebagai berikut:
1)

Perlu penetapan buffer zone yang berfungsi untuk meminimalisasi dampak


abrasi dan melindungi permukiman penduduk dari genangan air laut pada
musim pasang tertinggi. Lebar sempadan pantai yang difungsikan sebagai buffer
zone bervariasi disesuaikan dengan tingkat abrasi dan tinggi genangan air laut
pada pasang tertinggi.

2)

Pada muara sungai dan titik-titik dimana terdapat TPI (atau PPI) dan tempat
tangkapan perahu nelayan, penetapan buffer zone perlu mempertimbangkan
keamanan dan menjamin kelangsungan aktivitas nelayan.

3)

Permukiman nelayan yang terletak di dalam buffer zone direhabilitasi dengan


dilengkapi berbagai sarana prasarana untuk kepentingan mitigasi bencana dan
dilengkap dengan berbagai infrastruktur kegiatan ekonomi nelayan, seperti TPI
(atau PPI), tangkapan perahu, dan lainnya.

4)

Upaya pembangunan permukiman baru hanya dilakukan dalam upaya memenuhi


keinginan masyarakat yang terkena bencana.

5)

Pembangunan prasarana dan sarana dalam buffer zone terbatas hanya untuk
mendukung fungsi perlindungan, seperti pembangunan tanggul pantai, bangunan
pemecah gelombang/ombak, dan jalan inspeksi, serta escape route.

6)

Aktivitas budidaya yang dapat dikembangkan berupa tambak ikan, tambak garam,
dan pertanian (persawahan maupun lahan kering).

Sedangkan pada kawasan yang tidak mengalami kerusakan berat, namun menjadi
wilayah limpasan gelombang tsunami, maka pemanfaatan ruangnya disesuaikan dengan
ketetapan dalam RTRW, namun dengan penambahan fungsi-fungsi sebagai berikut:
1)

Pusat permukiman dan kegiatan sosial skala desa.

2)

Tempat perlindungan dari bahaya tsunami.

5 - 24

3)

Pusat kegiatan ekonomi kawasan perdesaan skala kecamatan secara terbatas untuk
menunjang langsung kegiatan nelayan, pertambakan, pembuatan garam dan
pertanian.

Pembagian zona pemanfaatan ruang meliputi:


1.

Zona konservasi pantai

6.

Zona permukiman perkotaan

2.

Zona prasarana nelayan

7.

Zona pusat ekonomi kecamatan

3.

Zona pertambakan

8.

Zona pusat ekonomi kota

4.

Zona pertanian

9.

Zona pusat pelayanan kota

5.

Zona permukiman perdesaan

10.

Zona industri

5 - 25

Kegiatan Sektor :
1. Perbaikan tambak
2. Pembangunan sempadan pantai
3. Pembangunan permukiman bagi
nelayan
4. Pengembangan kaw.pesisir pantai
5. Rehabiliasi bantuan pengrajin

C t

Kegiatan Sektor :
1. Penetapan kaw.
penyangga
2. Perbaikan jaringan
jalan
3. Rehabilitasi bangunan
4. Perbaikan fasilitas

Kegiatan Sektor :
1. Rehabilitasi bangunan-bangunan
2. Perbaikan jaringan jalan utama
3. Penyiapan kawasan penyangga
4. Perbaikan fasilitas perkotaan
5. Rehabilitasi terminal kota di Cunda
6. Rehabilitasi pelabuhan di
Lhokseumawe
7. Pembangunan kembali TPI di

Kegiatan Sektor :
1. Perbaikan jalan
lingkar utara
2. Perbaikan fasilitas
perkotaan
3. Penyediaan kembali
sarana-sarana
pendukung kegiatan

Kegiatan Sektor :
1. Perbaikan jaringan jalan
2. Rehabilitasi tambak
3. Pembangunan sempadan pantai
4. Pembangunan permukiman bagi
nelayan
5. Pengenbangan kawasan pesisir
pantai
6. Pembangunan Tanggul Laut
7. Rehabilitasi sekolah dasar dan
menengah
8 Pembangunan pabrik es bagi keg

Ni
Kegiatan Sektor :
1. Pembangunan tanggul Sungai
2. Perbaikan tambak
3. Pembangunan sempadan pantai
4. Pembangunan permukiman bagi
nelayan

Lh k

Kegiatan Sektor :
1. Rehabilitasi pembangunan jalan
2. Pembangunan tanggul
3. Pengelolaan jaringan irigasi
4. Rehabilitasi sekolah
dasar&menengah
5.Pembangunan sempadan pantai
6.Pengembangan kaw. pesisir pantai
7.Pembangunan pabrik es

B kit

B
G

Kegiatan Sektor :
1. Penyiapan Kaw. Penyangga
2. Perbaikan jaringan jalan uatama
3. Rehabilitasi terminal
terpadu&kereta api
3.Perbaikan fasilias perkotaan

Lh k

PETA ZONA PENANGANAN PASCA GEMPA & TSUNAMI


DI KOTA LHOKSEUMAWE DAN KABUPATEN ACEH UTARA

LEGEN

Kegiatan Sektor :
1. Perbaikan jaringan jalan
2. Pengendalian & penanganan DAS dan
abrasi pantai
3. Normalisasi saluran pembuang
4. Pembangunan pabrik es bagi keg. perikanan
5. Pembangunan sempadan pantai
6. Pembangunan permukiman bagi nelayan
7. Pengembangan kawasan pesisir pantai
8. Pembangunan tanggul laut
9. Rehabilitasi sekolah dasar dan menengah

Jaringan Jalan
Shelter
Permukiman Baru
Kampung
Bangunan-bangunan
Sawah
Rawa
Empang/Tambak
Hutan Belantara, Belukar
Tegalan

Z1 = Kegiatan Perikanan, Wisata Pantai, Permukiman


Z2 = Kegiatan Perikanan/Tambak, Permukiman, Tanaman Pangan Lahan Basah
Z3 = Kegiatan Perikanan/Tambak, Wisata Pantai (Pantai Lapang), Permukiman,
Tanaman Pangan Lahan Basah
Z4 = Kegiatan Perikanan/Tambak, Wisata Pantai (Pantai Ulee Rubek), Permukiman,
Tanaman Pangan Lahan Basah
Z5 = Kegiatan CBD, Pelabuhan, Wisata Pantai, Permukiman
Z6 = Perluasan CBD, Permukiman
Z7 = Kawasan Industri, Permukiman, Pelabuhan
Z8 = Kawasan Industri, Perikanan, Permukiman
Z9 = Pelabuhan Udara, Permukiman, Tanaman Pangan Lahan Basah

5 - 26

5.5.7 Kabupaten Bireun


Arahah Pemanfaatan Ruang Kabupaten Bireun
1.

Zona Pantai

Zona ini tersebar di sepanjang pantai dari Timur ke Barat Kabupaten Bireuen, dengan
kegiatan utama adalah zona penyangga (buffer zone), zona budidaya perikanan tangkap
dan perikanan budidaya dengan kegiatan pendukung berupa pelabuhan perikanan, serta
pengembangan pelabuhan rakyat Kuala Radja, Pelabuhan Kawasan Industri Batee
Geulumpu dan Pelabuhan Perikanan Peudada sebagai alternatif percepatan aksesibilitas
perekonomian Kabupaten Bireuen.
2.

Zona Permukiman Terbatas

Zona permukiman terbatas direncanakan di sepanjang jalur jalan ke arah Zona Pantai,
yang semula padat olehpermukiman, serta di berbagai tempat yang mengalami
kerusakan, baik oleh gempa maupun tsunami. Zona ini dikembangkan untuk
permukiman terbatas dan budidaya pertanian, serta memperhatikan konstruksi
bangunan (pemerintah dan masyarakat) yang tahan terhadap gempa dan tsunami.
3.

Zona Pengembangan Kegiatan

Zona ini berada di bagian selatan jalur jalan nasional dengan kegiatan utama adalah
pertanian lahan basah (sawah irigasi) dan pertanian lahan kering. Pada beberapa
wilayah di zona ini akan dikembangkan pusat-pusat permukiman baru (Gampong Putoh,
Blang Rangkuluh, Leubu Mesjid), sebagai alternatif bagi perluasan pengembangan
permukiman di Zona Permukiman Terbatas, sekaligus dengan mengembangkan jalur
jalan alternatif untuk mengurangi beban jalur jalan nasional.

A3
B3
A1

A2
BIREU

B1

B2
C3
C1
C2

E1

Ju
E2

E3

Keterangan
A Zona Pantai
B Zona Perikanan
C Zona Permukiman Terbatas
D Kota Bireuen
E Zona Pengembangan Kegiatan

5 - 27

5.5.8 Kabupaten Pidie dan Kota Sigli


Arahan Pemanfaatan Ruang Kabupaten Pidie
1. Zona konservasi
2. Zona pertambakan dan hutan
3. Zona permukiman terbatas
4. Zona pertanian lahan basah (sawah) dengan permukiman desa terbatas
5. Zona perkebunan dan hutan
6. Zona pertanian, perkebunan dan hutan
7. Zona rawa
8. Zona pusat pelayanan perkotaan (CDB)
9. Permukiman transmigrasi
10. Sawah
11. Hutan produksi terbatas
12. Hutan lindung

5 - 28

5 - 29

Arahan Pemanfaatan Ruang Kota Sigli

1. Zona hutan pantai


2. Zona lahan usaha tambak dan pertanian basah dengan permukiman sangat terbatas
3. Zona kawasan komersial dan perkantoran
4. Zona permukiman terbatas dengan kepadatan tinggi
5. Zona permukiman terbatas dengan kepadatan rendah
6. Zona permukiman perkotaan
7. Zona lahan usaha sawah
8. Zona lahan usaha perkebunan dan hutan lindung
9. Zona rawa

5 - 30

ZONASI KOTA SIGLI

5 - 31

5.5.9 Kabupaten Nias


Pola pemanfaatan Kabupaten Nias yang terdiri dari kawasan perkotaan dan perdesaan
disesuaikan dengan karakteristik wilayah yang rawan bencana, adalah sebagai berikut.
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15

Pola Pemanfaatan
Hutan bakau
Perikanan dan permukiman desa terbatas
Hutan/hutan produksi/ruang terbuka hijau
Hutan lindung
Rawa
Pariwisata
Pertenian lahan basah dan permukiman desa
terbatas
Pertanian lahan kering dan permukiman desa
terbatas
Pertanian tanaman tahunan dan permukiman
terbatas
Perkebunan besar dan permukiman terbatas
Perkebunan rakyat/tanaman rakyat dan
permukiman desa terbatas
Pusat kota/CBD dan sub pusat kota
Pusat permukiman baru
Pusat permukiman terbatas
Fasilitas umum, sosial, dan ekonomi

Kode
Z-1-1
Z-1-2
Z-1-3
Z-1-4
Z-1-5
Z-1-6
Z-2-1
Z-2-2
Z-2-3
Z-2-4
Z-2-5
Z-3-1
Z-3-2
Z-3-3
Z-3-4

Berikut adalah contoh salah satu pola pemanfaatan di Kecamatan Sirombu.

5 - 32

5 - 33

Bab 6
Isu Lintas Bidang
Berikut ini akan dijabarkan secara khusus beberapa permasalahan lintas bidang (crosscutting issues) yang terkait dengan bantuan pemulihan aset produktif non-publik; hak
kepemilikan tanah; anak dan perempuan korban bencana; serta masalah keamanan
dalam pengelolaan rehabilitasi dan rekonstruksi.
6.1

Bantuan Pemulihan Aset Non Publik (Harta Milik Pribadi).

Berkaitan dengan bencana di Provinsi NAD Pemerintah bermaksud untuk memberikan


bantuan kepada masyarakat agar dapat memulai kegiatan ekonominya. Kesulitan untuk
menjalankan kegiatan ekonomi merupakan permasalahan yang harus secepatnya
dipecahkan. Salah satu upaya adalah memberikan bantuan kepada masyarakat untuk
memulihkan asetnya. Bantuan pemulihan aset masyarakat dibagi menjadi tiga:
1.

Bantuan penggantian tanah

Bantuan penggantian tanah hanya akan diberikan kepada mereka yang tanahnya tidak
dapat digunakan sebagai tempat tinggal akibat bencana. Tanah tidak dapat digunakan
sebagai tempat tinggal yang disebabkan oleh musnahnya tanah karena tenggelam atau
oleh karena secara teknis tidak layak untuk ditempati. Seperti diketahui tidak ada
keharusan untuk relokasi tempat tinggal. Dengan demikian keputusan untuk tinggal di
lokasi yang lama atau pindah ke lokasi yang baru diputuskan sepenuhnya oleh
masyarakat. Bagi lokasi yang tidak dapat digunakan lagi karena musnah, hilang, atau
tenggelam karena tergerus oleh air pemerintah merencanakan untuk memberikan
bantuan tanah seluas 200 m2 dengan rumah inti di atasnya seluas 36 m2 per keluarga di
lokasi yang ditetapkan oleh pemerintah. Hubungan perdata dengan tanah yang musnah
tersebut tidak mengalami perubahan. Sedangkan bagi mereka yang memilih pindah ke
tempat baru karena tanahnya secara teknis tidak dapat digunakan pemerintah
membantu dengan memberikan bantuan tanah seluas 200 m2 dengan rumah inti di
atasnya seluas 36 m2 per keluarga di lokasi yang ditetapkan oleh pemerintah. Tanah
yang dahulu dimiliki menjadi milik pemerintah tanpa diberikan penggantian.
Bila terjadi perubahan peruntukan tanah karena alasan akan digunakan untuk
kepentingan masyarakat, seperti pembuatan jalur penyelamatan, penggantian kepada
masyarakat menggunakan mekanisme ganti rugi biasa sesuai dengan peraturan
perundangan yang berlaku.
2.

Bantuan perumahan

Untuk membantu meringankan beban korban bencana alam gempa bumi dan tsunami
di Provinsi NAD dan Sumatera Utara pemerintah menyediakan rumah inti (core house)
seluas 36 m2 perkeluarga. Pemerintah merencanakan untuk memberikan sumbangan

setara tipe rumah 36 yaitu Rp. 28 juta untuk rumah yang rusak seluruhnya dan Rp. 10
juta bagi rumah yang mengalami rusak ringan dan menengah. Bantuan rumah inti
tersebut dapat dibangun di lokasi rumah sebelum bencana alam gempa bumi dan
tsunami terjadi atau pada lokasi-lokasi resettlement yang disediakan oleh pemerintah
bagi masyarakat yang menghendaki resettlement.
Untuk memberikan kemudahan dalam memilih desain, memperbaiki, dan membangun
rumah maka pemerintah akan memberikan informasi mengenai beberapa alternatif
desain rumah tahan gempa (informed choice), bantuan teknis (supervisi) dalam
pembangunan rumah, dan pelatihan keterampilan pertukangan (batu dan kayu) kepada
masyarakat.
3.

Bantuan pemulihan sarana produktif masyarakat

Bantuan pemulihan asset produktif masyarakat untuk memulai kembali kegiatan usaha
ekonomi dilakukan melalui tiga jalur. Pertama, adalah hibah modal berupa peralatan
usaha sederhana kepada pengusaha mikro yang penggunaannya bersifat perorangan
dengan nilai hibah besarnya maksimum sebesar Rp. 2 juta. Bantuan ini diberikan
langsung kepada masyarakat untuk membantu mereka dalam menjalankan kegiatan
ekonominya. Pemberian bantuan langsung ini akan dilaksanakan melalui pendekatan
berbasis masyarakat (community based approach).
Kedua, adalah bantuan kepada kelompok masyarakat yang besarnya antara Rp. 5 juta
sampai Rp. 15 juta. Bantuan hibah ini diberikan kepada kelompok dengan jumlah
anggota 4-6 orang untuk pengadaan sarana produksi/peralatan yang mempunyai nilai
modal lebih besar dari jenis bantuan yang pertama. Pada dasarnya kepemilikan sarana
produksi dapat merupakan milik pribadi, namun sebagai upaya awal untuk
menggerakkan kegiatan usaha, pengadaan barang sebagai sarana produksi melalui skim
ini diberikan sebagai kepemilikan atau penggunaan bersama diantara anggota kelompok
(common facilities). Bantuan ini dapat digunakan sebagai dana hibah padanan
(matching grant fund) bila kelompok membutuhkan sarana produksi yang bernilai lebih
besar dari Rp. 15 juta. Kekurangan dari kebutuhan dana yang diperlukan dapat
diperoleh melalui mekanisme perbankan. Untuk itu akan diberikan kemudahan dalam
bentuk perpanjangan waktu tenggang (grace period) yang lebih lama serta kemudahan
dalam persyaratan kredit. Untuk menghindari moral hazards tidak disarankan untuk
memberikan subsidi bunga. Mekanisme pemberian hibah dalam skim ini juga melalui
pendekatan berbasis masyarakat yang pelaksanaannya melalui BKM.
Ketiga, adalah memberikan kemudahan pemberian kredit perbankan bagi perusahaan
kecil, menengah dan besar. Kemudahan yang diberikan adalah dalam bentuk
perpanjangan waktu tenggang (grace period) serta kemudahan dalam persyaratan
kredit dan tidak diberikan subsidi bunga.
Pendekatan berbasis masyarakat membutuhkan dibentuknya badan keswadayaan
masyarakat (BKM) yang berfungsi sebagai forum pengambilan keputusan dan
penggerakan masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan, pembiayaan dan
pengendalian dalam pengelolaan bantuan tersebut. Pembentukan BKM ini sebaiknya
menggunakan dasar administrasi kewilayahan sebelum terjadi bencana. Langkah awal
yang dilakukan adalah mengidentifikasikan dan mengelompokkan kembali para korban
bencana berdasarkan desa tempat tinggal sebelum bencana. Pembentukan BKM ini
membutuhkan fasilitator yang harus diberikan pelatihan sebelumnya. Dengan adanya

6-2

BKM ini maka keputusan mengenai siapa yang akan mendapat bantuan, dalam bentuk
apa, serta dimana mereka tinggal, dapat dilakukan pada tingkat masyarakat.
Bantuan menggunakan pendekatan berbasis masyarakat ini diberikan kepada
perorangan dan usaha mikro yang dikelompokan ke dalam 3 kegiatan yaitu kegiatan
ekonomi, investasi prasarana umum, serta sosial.
6.2

Hak Kepemilikan Tanah

Permasalahan hak kepemilikan tanah pada dasarnya berhubungan dengan subyek


hukum (pihak yang menguasai tanah) dan obyek hukum (tanah). Gempa dan tsunami
memiliki dampak secara fisik terhadap bangunan di atas tanah berikut tanahnya di
Provinsi NAD dan Kep. Nias - Sumatera Utara. Permasalahan hak kepemilikan tanah
dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1. Dilihat dari obyek hukum atau tanah
a. Secara fisik, tanahnya masih ada; atau
b. Tanahnya hilang/musnah, misalnya terendam air dll.
2. Dilihat dari ada tidaknya pemilik atau yang menguasai tanah (subyek hukum)
a. Tanah yang pemiliknya masih ada atau;
b. Tanah yang pemiliknya tidak ada.
Secara rinci permasalahan tersebut diatas dapat diuraikan sebagai berikut:
Dari segi obyek hukum (kondisi tanahnya)
1. Bila secara fisik, tanahnya ada, terdapat 2 kemungkinan. Pertama, batas-batas tanah
masih ada dan jelas, maka persoalan yang perlu diatasi selanjutnya adalah mengenai
subyek hukum (pemilik) tanah tersebut. Kedua, tanah masih ada, namun batas-batas
tanah kabur, maka perlu ada mekanisme penetapan batas tanah.
2. Tanahnya hilang/musnah, maka perlu dibuat pengertian/definisi atas tanah
musnah/hilang, karena hal ini belum diatur secara tegas dalam peraturan
perundang-undangan.
Dari segi subyek hukum (pemilik/yang menguasai tanah)
1. Tanah yang masih ada pemilik/yang menguasainya.
Dalam kelompok ini, terdapat dua kemungkinan, yaitu terdaftar atau tidak terdaftar.
Alternatif penyelesaiannya dari segi hukum adalah sebagai berikut:
(1) Tanah yang masih ada pemilik/yang menguasainya dan tidak terdaftar.
(a) Dilakukan pemeriksaan subyek dan obyek hak atas tanah.
(b) Diumumkan selama 2 (dua) bulan
(c) Penerbitan sertifikat baru.
(2) Tanah yang masih ada pemilik/yang menguasainya dan terdaftar.
(a) Pengumuman 2 (dua) bulan
(b) Sumpah dari pemohon sertifikat atas tanah, yang menyatakan bahwa dia
adalah pemilik dari tanah tersebut.

6-3

(c) Penerbitan sertifikat pengganti


2. Tanah yang pemilik/yang menguasainya tidak ada.
Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) menetapkan Fatwa No. 2 Tahun 2005 yang
menyatakan bahwa Tanah milik orang yang mati dengan tidak mempunyai ahli
waris adalah menjadi milik umat Islam, melalui Baitul Mal. Fatwa tersebut juga
menyatakan bahwa Gugatan hak milik dan gugatan kewarisan atas tanah korban
tsunami hanya diterima dalam waktu 5 (lima) tahun sejak musibah tsunami terjadi.
Dan setelah itu, dinyatakan lewat waktu (taqadum, kadaluarsa). Sedang bagi anak
yang belum dewasa, ketika musibah tsunami terjadi, hak mengajukan gugatan ini
diperpanjang sampai dia berumur 19 tahun.
Tugas, fungsi dan wewenang Baitul maal dimuat dalam Qanun No. 7 Tahun 2004
mengenai Pengelolaan Zakat. Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, Baitul maal belum bisa dikategorikan sebagai Badan Hukum. Dengan
demikian Baitul maal tidak memenuhi syarat sebagai subyek hukum pemegang hak
atas tanah. Oleh karena itu, perlu ada kajian lebih lanjut mengenai status hukum
Baitul maal sebagai subyek hukum yang dapat memegang hak atas tanah, terutama
dalam pengelolaan tanah-tanah tak bertuan.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) Penanganan
Masalah Pertanahan di Provinsi NAD dan Nias-Sumatera Utara
Perlu ada dasar hukum untuk penanganan terhadap kondisi khusus yang terjadi di
Aceh dan Nias, Sumatera Utara akibat bencana gempa-tsunami di bidang
pertanahan, yaitu:
1. Ketentuan mengenai Obyek Hukum (tanah)
(a) Perlu ada ketentuan mengenai tanah musnah
Pasal 27 huruf b jo. Pasal 34 huruf f. Jo Pasal 40 huruf f, UU No. 5 Tahun
1960 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Agraria (UUPA) menyatakan
bahwa hak atas tanah (hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak
pengelolaan) dinyatakan hapus antara lain apabila tanahnya musnah.
Pengertian musnah ialah tanah yang bentuk fisiknya tidak dikenali lagi.
Namun demikian, pengertian tersebut belum menjelaskan kriteria tanah
musnah. Sehingga perlu ada ketentuan peraturan perundang-undangan
mengenai pengertian dan kriteria tanah musnah.
(b) Hasil pemindaian (scanning) terhadap sertifikat tanah sebagai alat bukti.
Data pertanahan yang disimpan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN)
sebagian hilang dan sebagian mengalami kerusakan terendam air. Sebagian
data yang terendam tersebut diselamatkan melalui proses pemindaian
(disimpan secara digital di komputer). Hukum acara perdata saat ini hanya
mengakui akta otentik sebagai alat bukti yang sah di muka persidangan dan
tidak mengakui alat bukti dalam bentuk digital seperti hasil pemindaian.
Oleh karena itu, perlu ada ketentuan hukum acara perdata khusus yang
berlaku di NAD dan Nias, Sumatera Utara, mengenai pengakuan hasil
pemindaian sertifikat hak atas tanah sebagai alat bukti yang sah.
2. Ketentuan mengenai Subyek Hukum
(a) Tanggung jawab pemohon penerbitan sertifikat

6-4

Pihak pemohon penerbit sertifikat harus bertanggung jawab atas kebenaran


materiil dokumen-dokumen yang diajukan ke instansi yang berwenang (BPN,
Mahkamah Syariah).
(b) Larangan melakukan transaksi/pengalihan hak-hak atas tanah selama belum
ada kejelasan tentang subyek-obyek tanah.
Berdasarkan Fatwa MPU No. 2 Tahun 2005, MPU mengusulkan kepada
Pemerintah atau MA agar memerintahkan Pejabat Pembuat Akta Tanah
(PPAT) untuk tidak menerima permintaan transaksi pengalihan hak atas
tanah korban tsunami, apabila keberadaan dan batas-batas tanah tersebut
belum jelas, serta alat bukti yang diajukan tidak sah atau belum memadai.
Untuk menjamin perlindungan hukum bagi pemegang hak atas tanah yang
sah, Perpu perlu mengatur larangan melakukan transaksi/pengalihan hakhak atas tanah dalam periode tertentu.
Dalam butir yang sama, fatwa tersebut juga menyatakan, apabila terjadi sengketa
pewarisan, kepemilikan atas tanah, hadhanah dan penetapan nasab, menjadi
kewenangan Mahkamah Syariah. Oleh karena itu diperlukan Perpu agar
Mahkamah Syariah menjalankan wewenang tersebut.
3. Baitul Maal
Perlu adanya kajian mengenai Baitul Maal sebagai subyek hukum yang dapat
memegang hak atas tanah.
4. Mekanisme Pengumuman dan Sumpah
Masyarakat mengharapkan percepatan proses penerbitan sertifikat pengganti
hak atas tanah. Peraturan yang berlaku menetapkan diperlukan pengumuman
selama 2 (dua) bulan dan sumpah dari pihak pemohon bahwa ia merupakan
pemilik yang sah dari tanah tersebut. Apabila periode pengumuman dan sumpah
ini akan dipersingkat, dibutuhkan Perpu.
6.3

Anak Dan Perempuan

Anak dan perempuan korban gempa bumi dan tsunami di Provinsi NAD dan Nias
Sumatera Utara cukup besar. Keterangan beberapa LSM asal Aceh menjelaskan bahwa
salah satu sebab lebih banyak laki-laki yang bertahan hidup dibandingkan perempuan
ketika menghadapi gempa bumi dan tsunami adalah kemungkinan bahwa anak gadis
dan perempuan Aceh tidak didorong untuk aktif berolahraga terutama berenang,
sehingga ketahanan fisik mereka tidak optimal. Dengan tradisi perempuan mengurus
banyak hal, perempuan membagi perhatian mereka kepada anak, orang tua, dan sanak
keluarga, sehingga konsentrasi penyelamatan diri tidak maksimal.
Dalam penanganan akibat bencana, anak dan perempuan mempunyai kebutuhan yang
spesifik, sehingga kebutuhan mereka dalam tahapan penanggulangan bencana perlu
mendapat perhatian khusus dan perlu diatasi secara lintas sektor dan terpadu.
Masalah yang dihadapi anak dan perempuan, selain masalah trauma fisik dan psikologis
adalah meningkatnya resiko terjadinya tindakan pelecehan seksual dan perdagangan
manusia. Untuk trauma psikologis pada anak dan perempuan telah dan akan
dilanjutkan pelayanan trauma konseling melalui women trauma center dan children
center. Untuk mencegah terjadinya tindak kekerasan dan perdagangan anak, akan

6-5

dibentuk Gugus Tugas anti-trafficking dan Pencegahan Tindak Kekerasan. Di samping


itu, juga telah dilakukan upaya untuk mempertemukan kembali anak-anak dengan
keluarganya dilakukan melalui kegiatan reunifikasi keluarga.
Dengan banyaknya perempuan yang kehilangan mata pencaharian atau harus menjadi
pencari nafkah keluarga, maka akan dilakukan upaya peningkatan usaha ekonomi bagi
perempuan terutama perempuan kepala keluarga. Untuk membantu anak dan
perempuan dalam mengatasi masalah hukum yang mungkin terjadi di masa datang,
akan disiapkan pelayanan bantuan hukum termasuk pemberian akte kelahiran secara
gratis kepada anak-anak.
Untuk menjaga keberlangsungan upaya-upaya perlindungan pada tahap rehabilitasi dan
rekonstruksi akan dibentuk Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan
(P2TP2) yang dapat menampung dan menyalurkan kebutuhan spesifik kaum
perempuan.
Pada pelaksanaannya hal ini diselenggarakan secara lintas sektor dengan peran serta
LSM dan masyarakat. Hal tersebut sejalan dengan konsep budaya dan tradisi Aceh yang
memperhatikan peran perempuan dalam pengambilan keputusan dan dalam
perlindungan anak. Dengan demikian masalah perlindungan anak dan perempuan serta
kesetaraan jender penting untuk dilaksanakan secara lintas sektor.
6.4

Masalah Keamanan

6.4.1 Aspek Security Clearance


Bencana gempa bumi dan tsunami telah menyebabkan banyak peralatan termasuk
senjata yang hilang, dan sekaligus membawa masuknya bantuan logistik ke Aceh. Hal ini
memberikan peluang penguatan logisitik bagi pihak Gerakan Separatis Bersenjata AcehGerakan Aceh Merdeka (GSBA-GAM) untuk mengkonsolidasikan kekuatannya. Di
samping itu banyak tahanan GAM yang akan bebas dan dipastikan beberapa akan
kembali ke Aceh. Terkait dengan prediksi kondisi keamanan dan ketertiban tersebut,
pihak Penguasa Darurat Sipil Pusat (PSDP) mengeluarkan maklumat untuk mengatur
kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan selama masa darurat sipil.
Dalam melaksanakan isu ini, akan dilakukan sosialisasi peraturan yang berlaku kepada
pihak-pihak terkait yang akan melaksanakan kegiatan-kegiatan rehabilitasi dan
rekonstruksi.
6.4.2 Contingency Fund untuk Memperlancar Kegiatan Rehabilitasi dan
Rekonstruksi
Pembangunan di Aceh dan Nias di berbagai sektor akan dilaksanakan secara intensif
dalam kurun waktu lima tahun ke depan. Namun, pelaksanaannya terutama pada tahaptahap awal diperkirakan akan mengalami hambatan mengingat kondisi keamanan dan
ketertiban yang masih rawan. Dengan kondisi tersebut, diperkirakan lembaga-lembaga
keamanan dan ketertiban akan masih berperan secara signifikan.
Untuk mengatasi hal ini, diusulkan agar masing-masing program/kegiatan rehabilitasi
dan rekonstruksi menyusun estimasi biaya keamanan resminya, yang kemudian dana

6-6

tersebut dialokasikan di Departemen Pertahanan yang selanjutnya akan mengamankan


pelaksanaan program/kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi.
6.4.3 Prioritas Aktivitas Tahap Awal Rehabilitasi
Membangun kebersamaan dan kepercayaan akan sangat ditentukan oleh keberhasilan
pelaksanaan program/kegiatan R3MAS pada tahap awal. Oleh karena itu, pengamanan
program/kegiatan dimaksud menjadi prasyarat utama.
Untuk tujuan dimaksud, diperlukan adanya identifikasi program/kegiatan prioritas yang
membutuhkan pengamanan pada tahapan rehabilitasi
6.4.4 Pengembangan Incentive Framework
Penanganan korban paska konflik termasuk mantan GAM perlu dilakukan secara
intensif, komprehensif, proporsional dan adil. Selama ini, pembinaan mantan GAM
dengan berbagai insentif yang diperolehnya telah membuat kecemburuan masyarakat
Aceh lainnya yang justru memiliki semangat untuk mempertahankan NKRI.
Terkait dengan persoalan ini, akan dibentuk Tim Perumus Rekomendasi Kebijakan
(TPRK) yang bertujuan untuk mencari formula insentif framework yang tepat bagi
semua pihak secara adil. Diharapkan adanya dukungan program/kegiatan rehabilitasi
dan rekonstruksi dan para pakar untuk membantu merumuskan dan melaksanakan
kebijakan tersebut.
6.4.5 Mekanisme Kerjasama Kelembagaan Pusat dan Daerah
Kerjasama yang sinergis antara kelembagaan pemerintahan dan masyarakat di pusat
dan daerah baik secara vertikal dan horizontal perlu diperkuat dengan dibangun dan
diperkuatnya suatu mekanisme kerjasama yang baik. Perlu pembagian kewenangan
secara tegas antara pemerintah pusat terutama TNI/Polri, pemerintah daerah, Badan
Pelaksana, dan masyarakat.
6.4.6 Metodologi Pelaksanaan Kegiatan
Momentum gempa bumi dan tsunami dapat dimanfaatkan oleh kepentingan kelompok
tertentu termasuk GSBA-GAM untuk melakukan konsolidasi kekuatan sehingga
diprediksi dapat memperburuk kondisi keamanan dan ketertiban di dalam masyarakat.

6-7

Bab 7
Partisipasi Masyarakat
Dan Swasta
7.1

Partisipasi Masyarakat

Bencana alam yang melanda Aceh dan Nias telah menimbulkan kerugian yang amat
besar, baik jiwa maupun harta benda. Pada umumnya korban bencana yang masih
hidup berada di daerah pengungsian, yaitu di sekitar tempat tinggal asal maupun daerah
lain. Implikasi kondisi ini adalah terpecahnya struktur, tatanan dan ikatan sosial yang
selama ini telah terbentuk. Keadaan ini menimbulkan tantangan tersendiri bagi
berbagai pihak dalam menyusun perencanaan rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh dan
Nias berbasis partisipatif. Masyarakat korban bencana yang masih hidup tidak hanya
merupakan sumber data dan informasi dalam perencanaan rehabilitasi dan
rekonstruksi, namun harus ditempatkan pula sebagai pelaku utama rangkaian kegiatan
pembangunan.
Penempatan masyarakat sebagai pelaku utama pembangunan pada umumnya masih
terbatas pada tingkat pembicaraan atau sebatas konsep di atas kertas, walaupun
pemerintah telah mengeluarkan berbagai perundangan dan peraturan pelaksanaannya.
Realisasi pendekatan partisipatif dalam seluruh proses pembangunan masih memiliki
keterbatasan kelembagaan, yaitu sarana dan prasarana pengambilan keputusan yang
melibatkan seluruh pelaku pembangunan dan kemampuan para pelaku pembangunan
itu sendiri. Realisasi pendekatan partisipatif dalam seluruh proses pembangunan
harus segera dimulai dengan memperkuat kelembagaan pemerintah dan masyarakat
yang ada, sesuai dengan tingkat kesiapan masing-masing. Penguatan kelembagaan
pemerintah dalam konteks partisipasi sektor publik, swasta dan masyarakat luas dalam
pembangunan diartikan sebagai peningkatan pemahaman, kepekaan dan kemampuan
aparat dan lembaga pemerintah dalam bekerja bersama masyarakat. Penguatan swasta
dan masyarakat dalam konteks yang sama diartikan sebagai peningkatan pengetahuan,
keahlian, akses informasi dan posisi tawar kelompok ini dalam bekerja bersama
pemerintah. Apabila kondisi seperti ini telah terwujud, proses partisipatif yang
mengutamakan kesetaraan antar pelaku pembangunan dapat mulai berlangsung (lihat
Diagram 1).

Diagram 1: Prinsip Partisipasi Masyarakat dan Dunia Usaha


Perubahan dari dominasi pemerintah menuju kesetaraan antara pemerintah, masyarakat dan dunia
usaha (warga): meliputi cara-cara langsung dimana warga mempunyai pengaruh dan melakukan
pengawasan terhadap pemerintahan. Menjamin agar kepedulian masyarakat lokal/daerah dan dunia
usaha (warga) berkesesuaian secara langsung dengan kepedulian penerintah atau negara.

PENDIDIKAN WARGA
DAN PEMBANGUNAN
1
KESADARAN
Pendidikan rakyat dengan
metodologi komunikasi
untuk meningkatkan
kesadaran warga atas hakhak dan kewajibannya.
Metode: penggunaan radio
komunitas dan teater rakyat

ADVOKASI, ALIANSI DAN


KOLABORASI
3
Warga, organisasi berbasis
masyarakat dan LSM yang
sebelumnya tersisihkan
dalam proses pengambilan
keputusan perlu belajar
kecakapan advokasi dan
pengaruh dari kebijakan.
Begitu juga bagi
pemerintah.

MELATIH DAN MEMBUAT PEKA


PEMERINTAH DAERAH
2
Mengajak pemda untuk
berhubungan dengan rakyat dengan
cara-cara yang lebih partisipatif

7.1.1

PEMBUATAN ANGGARAN
YANG PARTISIPATIF
4
Pengalaman partisipasi
rakyat yang berhasil dalam
pengambilan keputusan di
tingkat lokal adalah
pengalaman pembuatan
anggaran belanja yang
partisipatif.

MENINGKATKAN
AKUNTABILITAS PEMERINTAH
5
DAERAH
Menggalang gerakan hak atas
informasi yang menuntut
keterbukaan minimal pemda

Prinsip dan Definisi

Partisipasi adalah suatu kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang ikut serta
dalam suatu kegiatan secara bersama, mengembangkan langkah-langkah kegiatan dan
membentuk atau menguatkan kelembagaan lokal. Partisipasi adalah hak, dan bukan
sebuah alat untuk mencapai tujuan suatu kegiatan pembangunan. Inti pokok dari
partisipasi adalah keterlibatan seluruh unsur masyarakat dalam proses pengambilan
keputusan yang dimulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga monitoring dan
evaluasi. Dalam kerangka rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh dan Nias, pengertian
partisipasi harus dapat direalisasikan dalam suatu model dan kerangka kerja sama
dimana pemerintah (pusat dan daerah) bergandeng-tangan dengan masyarakat dalam
membangun kembali Aceh dan Nias.
Prinsip kerjasama sinergis antara pemerintah dan masyarakat (para pelaku
pembangunan) adalah untuk mewujudkan hasil pembangunan yang lebih besar jika
dilakukan secara bersama, dibandingkan jika setiap pelaku pembangunan
melakukannya sendiri-sendiri.
Pemerintah adalah pemerintah pusat dan pemerintah daerah dengan perangkat
turunannya di tingkat kabupaten/kota, kecamatan, desa dan kelurahan.
Masyarakat adalah sekelompok orang yang berdomisili di suatu daerah dalam suatu
wilayah administratif tertentu. Dalam konteks pembangunan, khususnya rehabilitasi
dan rekonstruksi Aceh dan Nias, masyarakat diartikan sebagai sekelompok orang (dan

7-2

atau lembaga kemasyarakatan) yang berada di luar bidang pemerintahan, yang pada
umumnya dapat dibedakan antara lain sebagai berikut:
1. Lembaga yang berkaitan dengan swasta, seperti yang dapat diwakili oleh
Kadinda, REI, Himpunan Pengusaha Perhotelan dan Restoran, INKINDO, dan
sebagainya. Kelompok ini umumnya dikenal sebagai swasta.
2. Lembaga lain yang terdiri dari berbagai unsur di masyarakat seperti perguruan
tinggi, asosiasi profesi (Persatuan Guru, IDI, IAI, IAP dan ISEI), Persatuan
Nelayan, Panglima Laot/Kelompok Tani, Kelompok Usaha Perdagangan,
Kelompok Perajin, Kelompok Budayawan, Kelompok Seniman, Persatuan Buruh,
berbagai jenis lembaga swadaya masyarakat, lembaga kemasyarakatan dan adat
(keuchik, kepala lingkungan, Masyarakat Adat Aceh, Majelis Adat Aceh, Majelis
Permusyawaratan Ulama) dan media massa.
Berdasarkan pengelompokan ini, pemahaman yang umum terdapat di masyarakat
mengenai pengelompokan aktor pembangunan adalah pemerintah, masyarakat dan
swasta. Dalam kerangka inilah kebijakan rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh dan Nias
disusun.
7.1.2 Kebijakan
Kegiatan partisipatif seluruh aktor pembangunanpemerintah, swasta dan
masyarakattidak perlu dibedakan dalam rangkaian proses pembangunan, mengingat
keragaman latar belakang dan kemampuan setiap komponen masyarakat di setiap
daerah.
Berdasarkan pertimbangan ini, beberapa langkah kebijakan partisipasi
masyarakat dan swasta dalam rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh dan Nias adalah:
1. Pemerintah berfungsi tidak hanya sebagai salah satu aktor pembangunan namun
harus melaksanakan fungsi fasilitasi dalam kegiatan pembangunan. Fasilitasi adalah
suatu kegiatan yang dilakukan oleh fasilitator (pemerintah atau anggota masyarakat)
bersama masyarakat (seluruh pihak) dalam mengenali permasalahan,
mengidentifikasi potensi dan kendala pembangunan maupun masing-masing pelaku
pembangunan dan merumuskan berbagai alternatif penyelesaian masalah, memilih
berbagai alternatif tersebut dan menyusun prioritas penyelesaian masalah dan
strategi pelaksanaannya.
2. Dalam hal pemerintah daerah (di semua tingkat administratif) belum mampu
melaksanakan fungsi fasilitasi ini, pihak luar seperti perguruan tinggi, lembaga
swadaya masyarakat, atau pihak lainnya dapat mendampingi pemerintah daerah
dalam memahami prinsip dan strategi pelaksanaan kegiatan pembangunan yang
patisipatif.
3. Pada tingkat masyarakat, terutama di wilayah dimana pemerintah belum dapat
melakukan fungsi fasilitasi seperti di atas, lembaga swadaya masyarakat/lembaga
pendidikan tinggi atau anggota masyarakat yang peduli pembangunan (sukarelawan)
dapat mendampingi masyarakat umum dan melaksanakan fungsi fasilitasi.
4. Penguatan masyarakat di setiap desa dan kelurahan perlu dilakukan melalui suatu
organisasi dengan prinsip membangun kembali struktur kelembagaan adat/lokal
(lihat Sub Bab 8.4). Dalam kondisi dimana struktur kelembagaan masyarakat di

7-3

tingkat terkecil tidak lagi tersedia, pembentukan kembali struktur kelembagaan


adat/kelembagaan lokal perlu dilakukan.
5. Di setiap desa/kelurahan, kecamatan, kota/kabupaten dan propinsi perlu dibentuk
sebuah dewan pembangunan (DP), yang terdiri dari unsur pemerintah daerah,
swasta dan masyarakat, untuk menciptakan tradisi, iklim dan kerangka
pembangunan partisipatif. Dewan pembangunan adalah nama generik, yang dalam
pelaksanaannya dapat berbentuk lembaga adat/lembaga kemasyarakatan yang
sudah ada sejauh lembaga tersebut membicarakan masalah pembangunan yang
menyangkut kehidupan masyarakat umum.
6. Tugas DP adalah sebagai lembaga yang menampung aspirasi ketiga kelompok besar
pelaku pembangunan, memutuskan rencana dan mekanisme pelaksanaan
pembangunan, beserta monitoring dan evaluasinya. Dengan demikian DP juga
berfungsi sebagai lembaga penerima dan penyebarluasan informasi pembangunan.
7. Pada tingkat administrasi pemerintahan yang lebih tinggi (seperti
kecamatan/kabupaten/kota) perlu dibentuk jaringan DP horizontal (misalnya antar
desa/kecamatan) dan vertikal (misalnya antara tingkat desa dan kecamatan) yang
berfungsi sebagai lembaga komunikasi dan pengambilan keputusan lintas pelaku
dalam skala yang lebih besar.
8. Keterlibatan DP dalam proses pembangunan dimulai dari langkah awal kegiatan
pembangunan, yaitu perencanaan (identifikasi masalah, potensi, ancaman dan
peluang), penyusunan mekanisme pelaksanaan, hingga monitoring dan evaluasi.
Pemerintah perlu menjamin keterlibatan DP dalam setiap proses pengambilan
keputusan atas berbagai jenis kegiatan tersebut di atas, dan disahkan dalam qanun
oleh DPRD.
7.1.3 Mekanisme Pelaksanaan
Pelaksanaan kebijakan partisipasi masyarakat dan swasta secara umum dapat
digambarkan sebagai berikut:
1. Kegiatan pembangunan dapat dibedakan atas skala dan tingkat kompleksitas
pelaksanaannya, berdasarkan tingkat kebutuhan skala propinsi, kabupaten/kota,
kecamatan dan desa/kelurahan. Untuk pelaksanaan kegiatan berskala besar dan
menengah, peran pemerintah dan swasta pada umumnya akan lebih besar. Untuk
kegiatan berskala kecil peran masyarakat akan lebih dominan. Namun demikian
proses pengambilan keputusan dalam seluruh rangkaian kegiatanterutama
berskala besartetap harus melibatkan masyarakat, terutama masyarakat di daerah
lokasi kegiatan tersebut.
2. Pada tingkat desa/kelurahan, pembangunan kembali lembaga adat/masyarakat
dilakukan dengan berbagai cara pemetaan sosial yang tujuannya adalah
mengidentifikasi warga masyarakat beserta perangkat kelembagaan masyarakat yang
masih ada (seperti keuchick, kepala meunasah, kepala mukim, perangkat gampong
dan lain sebagainya). Pada saat masyarakatsebagai satu kesatuan warga suatu
wilayahtelah kembali terbentuk, kelembagaan masyarakat adat setempat dapat
segera berfungsi. Pada saat ini terjadi berbagai kegiatan pembangunan dapat

7-4

dilakukan, misalnya dimulai dari pengurusan kembali identitas diri dan kegiatan lain
yang menjamin hak keperdataan warga, termasuk didalamnya pendataan tanah dan
harta benda lain, maupun kegiatan pembangunan pada umumnya seperti tata ruang
desa, pembangunan perumahan, prasarana dan sarana fisik lingkungan, ekonomi
lokal dan sebagainya.
3. Pembentukan DP di tingkat desa menjadi titik awal dan utama. Anggota DP dipilih
oleh komunitasnya, dan tidak berdasarkan penunjukan, dan bertugas untuk suatu
periode waktu yang ditentukan bersama.
4. Pembentukan DP di tingkat kecamatan/tingkat adiministratif yang lebih tinggi harus
dilakukan berdasarkan kesiapan berbagai unsur di tingkat desa untuk membentuk
dan mengoperasikan lembaga ini.
5. DP di tiap tingkatan adalah otonomi dan bukan merupakan subordinasi DP di
tingkat administrasi yang lebih tinggi.
6. DP dapat berfungsi berdasarkan kegiatan pembangunan sektoral (khusus perikanan,
pertanian, perumahan, dan sebagainya). Pembentukan DP adalah sebagai berikut:
a. Di tingkat desa/kelurahan, DP dibentuk bersama masyarakat, dan terdiri dari
wakil pemerintah tingkat terkecil dan perwakilan masyarakat (lembaga
kemasyarakatan yang representatif seperti dewan ulama mukim/perangkat
mukim) dan swasta. DP didampingi oleh fasilitator dan anggota masyarakat
yang peduli pembangunan (sukarelawan). Sejauh DP belum berfungsi secara
sempurna, fasilitator bertugas sebagai motor penggerak. DP yang telah
terbentuk dapat bekerja bersama lembaga kemasyarakatan yang sudah ada untuk
memulai dan atau memperluas kegiatan pembangunan yang akan direncanakan
di desa/kelurahan itu. Rencana pembangunan yang telah ditetapkan DP akan
dilaksanakan oleh warga desa/kelurahan berdasarkan mekanisme pelaksanaan
yang disepakati bersama. Setelah DP di tingkat desa terbentuk secara matang
dan beroperasi baik, pembentukan DP ditingkat kecamatan dapat dimulai.
b. Di tingkat kecamatan, DP terdiri dari wakil DP tingkat desa/kelurahan, wakil
pemerintah kecamatan, swasta, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat
dan sukarelawan.
Tingkat cakupan pembahasan substansi pembangunan
umumnya menyangkut kegiatan pembangunan lintas desa/kelurahan.
c. Di tingkat kota/kabupaten, DP terdiri dari wakil DP tingkat kecamatan, swasta,
wakil pemerintah kota/kabupaten, perguruan tinggi, lembaga swadaya
masyarakat dan anggota masyarakat yang peduli terhadap materi pembangunan
terkait. Tingkat cakupan pembahasan substansi pembangunan umumnya
menyangkut kegiatan pembangunan lintas kecamatan.
d. Di tingkat propinsi, DP terdiri dari DP tingkat kota dan kabupaten dan
perguruan tinggi/lembaga swadaya masyarakat, swasta, wakil pemerintah,
anggota masyarakat yang peduli terhadap materi pembangunan terkait dan wakil
Badan Pelaksana Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh dan Nias, Sumut (BAPEL).

7. Perencanaan pembangunan meliputi perencanaan fisik dan penganggarannya.

Untuk menghindari proses penyaringan usulan perencanaan yang berlebihan pada

7-5

suatu tingkat administratif, sebagai konsekuensi dari keterbatasan dana, DPRD dan
pemerintah tingkat yang lebih tinggi harus menciptakan proses komunikasi yang
terbuka dan efektif.

8. Untuk mendukung pelaksanaan proses pembangunan partisipatif seperti tersebut di

atas, diperlukan kebijakan dan mekanisme pengalokasian sumber daya


pembangunan yang menjadi otonomi setiap desa, kecamatan, kota/kabupaten dan
propinsi. Sebagai contoh, kebutuhan pembangunan minimum desa dipenuhi
melalui dana hibah langsung (block grant) ke desa bersangkutan berdasarkan
rencana pembangunan yang diputuskan oleh DP di desa tersebut. Jumlah dana ini
harus dapat memenuhi kebutuhan investasi pembangunan yang dapat dikerjakan
dalam skala desa. Jika kebutuhan dana investasi minimum tidak mencukupi, usulan
kegiatan tambahan harus diteruskan ke tingkat yang lebih tinggi untuk memperoleh
tambahan sumber pendanaan. Demikian pula untuk tingkat kecamatan dan
seterusnya.

7-6

7.1.4 Model Kelembagaan dan Partisipasi Masyarakat Aceh.


Salah satu usaha dalam membangun kembali masyarakat Aceh adalah dengan
kebijakan memberdayakan lembaga agama, adat dan sosial lainnya yang
ada di Aceh. Kebijakan tersebut diimplementasikan dengan strategi pemberdayaan
dan optimalisasi lembaga mukim dan gampong yang telah ada. Fokus
pemberdayaan dan optimalisasi fungsi pada kedua lembaga tersebut disebabkan karena
lembaga mukim dan gampong memiliki unsur pemberdayaan masyarakat dan
kemandirian rakyat yang lebih dominan (berdasarkan Undang-Undang No 18/2001).
Bentuk lembaga sosial masyarakat Aceh di tingkat akar rumput yang perlu direvitalisasi
adalah Mukim dan Meusanah. Dalam budaya Aceh kedua lembaga itu menjadi semacam
sumber energi sosial, semacam sumber daya internal yang mempunyai mekanisme dan
kemampuan untuk mengatasi masalahnya sendiri. Hal ini tercipta karena lembaga ini
lebih dekat dengan kenyataan sehari-hari masyarakat. Saat ini keberadaannya diakui,
namun karena bencana yang terjadi, eksistensinya semakin berkurang.
1.

Model Kelembagaan Mukim

Mukim adalah sebutan untuk satu wilayah kesatuan masyarakat hukum adat, yang
mempunyai batas-batas tertentu, memiliki perangkat dan simbol-simbol adat, hak-hak
pemilikan dan penguasaan atas suatu sumber daya dan prasarana serta mempunyai
tatanan sosial yang spesifik lokal. Mukim terdiri atas gabungan beberapa Gampong
yang mempunyai batas wilayah tertentu dan memiliki harta kekayaan sendiri. Mukim
berkedudukan langsung di bawah kecamatan/Sagoe Cut.
Ada lima unsur pokok dalam jenjang struktur kepemerintahan pada masa Kerajaan Aceh
yaitu : Sultan, Panglima Sagoe, Uleebalang, Imeum Mukim dan Keuchiek Salah satu
alasan dibentuknya mukim adalah karena kebutuhan skala ekonomis dan beberapa
persyaratan administrasi untuk melakukan suatu kegiatan. Pada masa itu, wilayah
teritorial mukim adalah seluas radius orientasi jangkauan mesjid untuk shalat jumat.
Jumlah penduduk mukim berkisar antara 200 300 jiwa.
Mukim dipimpin oleh seorang Imeum Mukim, yang statusnya mengalami
metamorfosa sebagai berikut:
1. Sebutan imam diperoleh dari perannya sebagai imam shalat Jumat.
2. Dalam perkembangannya peran Imeum Mukim berkembang dalam sistem
pemerintahn formal dengan kedudukan diantara Uleebalang dan Keuchiek (Kades).
3. Kemudian Imeuem Meukim lebih berspesialisasi dalam pemerintahan, dengan
sebutan lainnya dalah Imeum Adat. Sedangkan imam shalat Jumat disebut
dengan Imeum Mesjid atau Teungku Imeum.
Unsur-unsur lembaga, seperti mukim, yang terdapat dalam masyarakat Aceh
adalah:
1. Tuha Peut atau Tuha Lapan: orang yang paling paham dan berpengalaman di
bidang adat, agama, dan kehidupan kampung dan dapat menjadi petugas di
bidang tertentu.
2. Keujreun: pejabat pengatur tanaman pangan dan irigasi (Keujreun Blang)
dan pengatur pertambangan (Keujreun Meuih).
3. Panglima Kawon: kepala/kepemimpinan suatu keluarga besar.

7-7

4. Panglima Lhok/Laot: pejabat koordinator kegiatan mata pencaharian di laut


5. Petua Seunebok: pejabat pengatur sistem perladangan dan pembukaan
ladang baru.
6. Pawang Glee: Pejabat pengatur pemanfaatan areal hutan dan penjaga ekologi
hutan.
7. Raja Kuala : Pejabat pengatur tambatan perahu dan pukat di muara.
8. Haria Peukan : Pejabat pengelola pasar/pengutip retribusi pasar.
Sebagai lembaga masyarakat, mukim dapat dikembangkan secara bertahap, yaitu
dengan cara dikembangkan menjadi lebih terorganisasi dan dibina menjadi lebih
mandiri. Untuk menjalankan hal tersebut, maka hal yang penting adalah
memberdayakan Imeum Mukim untuk: (a) Meningkatkan fungsi mukim sebagai suatu
kesatuan masyarakat; (b) Menata lembaga-lembaga kelengkapan mukim dan
mengefektifkan peran dan fungsinya seperti Majelis Musyawarah Mukim dan Rapat
Adat Mukim; (c) Mengelola harta kekayaan dan pendapatan mukim untuk kepentingan
masyarakat.
Diagram 2 - Struktur Kelembagaan Mukim

DEWAN PENASIHAT
MUKIM

Unsur
Pelayanan
Sekretariat
mukim
Tata usaha

Perangkat Mukim

Dewan Ulama Mukim

Imum Mukim
(Ketua Mukim)

Tuha Peut/
Tuha Lapan Mukim

Pelaksana
Teknis
Panglima
Laot
Pawang
Uteun/Glee
Syahbanda

Unsur
Wilayah
(Geuchik)

Tengku Dayah Chik


Tengku Dayah
Imum Chik

Penjelasan:
Kelembagaan pemerintah, adat dan agama pada tingkat mukim terdiri atas lembagalembaga sebagai berikut:
Dewan Penasehat Mukim merupakan lembaga tertinggi di wilayah mukim. DPM
memiliki kedudukan, tugas, dan fungsi sebagai penasihat mukim.
Dewan Ulama Mukim terdiri dari Imeum Chik, Tengku Dayah, tengku Dayah
Chik, Tuha Peut/Tuha Lapan Mukim. Dewan ulama mukim merupakan badan
konsultatif Imeum Mukim bidang pemerintahan, pelaksanaan syariat dan
adat istiadat.

7-8

2.

Tuha Peut/Tuha Lapan Mukim merupakan lembaga independen yang bertugas


mengawasi jalannya pemerintahan mukim. Tuha Peut/Tuha Lapan Mukim
merupakan Dewan Legislatif Mukim, hanya saja anggota-anggotanya tidak dipilih
melalui pemilihan umum.
Perangkat Mukim, pemerintahan mukim terdiri dari imeum mukim dan
perangkat mukim. Perangkat mukim terdiri dari unsur pelayanan (sekretariat
mukim dan tata usaha), unsur pelaksana teknis (panglima laot, pawang uteun/glee,
syahbanda), dan unsur wilayah (geuchik).
Model Kelembagaan Gampong dan Meunasah

Gampong adalah kesatuan msyarakat hukum yang merupakan organisasi pemerintahan


terendah langsung di bawah mukim yang dipimpin oleh Keuchik.
Kelembagaan pemerintah, adat dan agama pada tingkat Gampong terdiri atas lembagalembaga sebagai berikut:
(1) Dewan Penasehat Gampong
(2) Geuchik
(3) Imeum Meunasah
(4) Tuha Peut/Tuha Lapan Gampong
(5) Teungku Rangkang/Dayah
(6) Sekretariat Gampong
(7) Keujreun Blang/Peutua Seuneubok/Panglima Glee/Panglima Uteun/Panglima
Laot/Panglima Lhok.
Setiap desa memiliki satu meusanah atau lebih yang berfungsi sebagai tempat ibadah,
pusat komunikasi dan informasi, balai musyawarah, tempat penyelesaian perkara, dan
pusat kegiatan-kegiatan lainnya.

7-9

Diagram 3 - Struktur Kelembagaan Gampong

DEWAN PENASIHAT
GAMPONG

Unsur
Pelayanan
Sekretariat
gampong

Perangkat Gampong

Dewan Ulama Gampong

Keuchik/
Imeum Meunasah

Tuha Peut/
Tuha Lapan Gampong

Pelaksana Teknis
Keujreun blang,
peutua seuneubok,
panglima glee,
panglima uteun

Unsur
Wilayah
(Geuchik)

7 - 10

Tengku Rangkang/ Dayah

7.2

Partisipasi Swasta

Partisipasi swasta merupakan komponen penting guna membangun kembali Nanggroe


Aceh Darussalam pasca bencana gempa dan tsunami. Di samping terbatasnya
sumberdaya dan kemampuan yang dimiliki oleh pemerintah, hal ini dapat menjadi nilai
tambah positif karena ada tanggung jawab yang bias diringankan melalui keterlibatan
swasta kepada yang menderita bencana. Montgomery (1988) menyatakan bahwa sudah
menjadi tugas pemerintah untuk merangsang terjadinya partisipasi dan kegiatan
kelompok masyarakat dalam rangka membangun masyarakat yang mandiri.
Pembangunan tidak dapat berjalan dengan baik bila hanya mengandalkan pada
kekuatan yang ada pada pemerintah, hasilnya pun tidak akan sama dengan
pembangunan yang mendapat dukungan dan partisipasi rakyat.
7.2.1 Prinsip dan Definisi
Partisipasi swasta di sini adalah segala bentuk keterlibatan masyarakat dan/atau
lembaga-lembaga nonpemerintah yang bertujuan memberikan bantuan, baik dalam
bentuk uang, barang maupun jasa yang berkaitan dengan kegiatan rehabilitasi dan
rekonstruksi NAD pasca bencana gempa dan tsunami. Partisipasi rakyat dalam hal ini
dapat berbentuk partisipasi secara perorangan maupun yang terorganisir dalam
kelompok-kelompok, termasuk di dalamnya kelompok-kelompok yang berorientasi pada
profit maupun kelompok-kelompok nirlaba.
Lembaga-lembaga tersebut yang dari kacamata pemerintah disebut sebagai kelompok
swasta dapat berupa lembaga swadaya masyarakat, lembaga-lembaga sosial seperti
yayasan, asosiasi, badan keagamaan dan sosial politik, serta badan-badan usaha, baik
yang berasal dari dalam negeri maupun yang berasal dari luar negeri.
Kegiatan-kegiatan yang dikelola oleh lembaga-lembaga swasta inilah yang diharapkan
dapat menggerakkan kegiatan pembangunan di wilayah NAD yang luluh lantak pasca
bencana gempa dan tsunami 2004. Hal itu perlu dikelola dengan baik guna menjamin
keselarasan pembangunan yang direncanakan oleh pemerintah dan dicita-citakan oleh
seluruh masyarakat.
Ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam mengelola partisipasi swasta pada
pembangunan kembali NAD pasca bencana gempa dan tsunami ini, antara lain:
1. Kebijakan yang pro partisipasi swasta
Birokrasi selama ini cenderung dicap menghambat partisipasi masyarakat dalam
pembangunan, untuk itu diperlukan kebijakan-kebijakan terobosan agar masyarakat
merasa dapat bergabung dengan mudah dalam membangun.
2. Manfaat
Partisipasi swasta yang muncul haruslah bermanfaat bagi masyarakat Aceh dan
Pemerintah harus menjaga agar tidak terjadi hal-hal negatif akibat partisipasi ini.
3. Netral dan terbuka
Pemerintah harus menjaga agar kesempatan partisipasi ini terbuka bagi seluruh
lapisan dan golongan masyarakat, dan juga harus dapat menampung aspirasi semua
pemangku kepentingan.
4. Transparansi

7 - 11

Pengaturan pola dan bentuk partisipasi swasta seyogyanya dapat melibatkan


masyarakat luas untuk memantau setiap tahapan pembangunan agar dapat
memberikan umpan balik bagi perbaikan pelaksanaannya.
5. Akuntabilitas
7.2.2 Kebijakan
Saat ini, banyak pihak baik perorangan maupun kelompok yang sangat berminat untuk
berpartisipasi membangun kembali Aceh, untuk itu, diperlukan pola yang sifatnya
memberikan peluang yang lebih luas sehingga swasta dapat melaksanakan kegiatan
pembangunan NAD. Pemerintah harus mengimbanginya dengan suatu kebijakan dan
kerangka yang jelas dalam memberikan pijakan dan patokan dalam membangun Aceh.
Misalnya mengenai tata ruang, mana yang dapat dikembangkan dan mana yang tidak
harus dapat diinformasikan secepat mungkin agar swasta yang ingi berpartisipasi tidan
merasa ada tekanan.
Kebijakan-kebijakan yang diperlukan dalam pengaturan partisipasi swasta antara lain:
1. Membangun e-Aceh.org dan policy matrix sebagai akses informasi
2. Menyebarluaskan informasi dan memberi akses yang lengkap tentang rencana
pembangunan di wilayah NAD, baik yang bersifat jangka pendek maupun jangka
panjang.
3. Memberikan kemudahan prosedur. Hal ini bisa berbentuk kemudahan perizinan,
perlakuan khusus dalam prosedur pengadaan barang dan jasa, atau yang lainnya.
4. Memberikan insentif dan disinsentif yang mendorong partisipasi swasta, seperti
memberikan pengurangan/pembebasan bea masuk, ataupun pengurangan pajak.
7.2.3 Mekanisme Pelaksanaan
Guna menjaga keselarasan partisipasi oleh semua pihak swasta dibentuk suatu
mekanisme yang mengatur administrasi dan koordinasi antar pihak-pihak terkait.
Dalam kasus pembangunan kembali NAD pasca bencana gempa dan tsunami,
diperlukan suatu organisasi yang memainkan peran strategis dalam mengelola
partisipasi swasta. Lembaga tersebut, Badan Pelaksana (Bapel), memiliki kewenangan
untuk mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang diperlukan.
Koordinasi partisipasi swasta dilaksanakan oleh Bapel. Lembaga ini mengkoordinasikan
semua elemen yang terlibat baik dengan Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah maupun
dan pihak swasta yang ingin terlibat dalam membangun Aceh. Pihak swasta yang
mempunyai inisiatif membangun sesuatu di Aceh harus melihat dan mencocokkan
dengan master plan yang ada di Bapel dan juga keinginan masyarakat Aceh sendiri, serta
masukan dari Pemerintah Daerah. Hal ini mutlak dilakukan guna menghindari
terjadinya tumpang tindih bentuk dan lokasi kegiatannya dengan kegiatan yang
dilaksanakan oleh pihak-pihak lain serta ketidakmanfaatan bantuan akibat tidak adanya
rencana yang baik dan matang.
Prosedur bantuan swasta ini disusun sesederhana mungkin tanpa meninggalkan prinsip
akuntabilitas dalam mengelola bantuan. Pada Diagram 4 di bawah ini ditunjukkan
bagaimana mekanisme pelaksanaan partisipasi swasta yang dimulai dari inisiatif yang

7 - 12

datang dari swasta. Inisiatif tersebut kemudian dikoordinasikan dengan Bapel dan
Pemda untuk melihat keterkaitan antara inisiatif swasta tersebut dengan master plan
(rencana induk) dan keinginan masyarakat. Setelah melakukan koordinasi, Bapel
melakukan konfirmasi dan menerbitkan persetujuan teknis atas inisiatif tersebut.
Persetujuan teknis diteruskan untuk dituangkan dalam Nota Kesepakatan yang
ditandatangani oleh Swasta dan Bapel. Kesepakatan tersebut dapat dipakai sebagai
acuan oleh pihak swasta untuk melakukan kontrak dengan pihak ketiga, dan Bapel dapat
melaporkan jumlah dana ke Departemen Keuangan untuk dicatat dalam register. Pada
tahap implementasi, Bapel, Pemda dan swasta bersama-sama terlibat melaksanakan
kegiatan. Setelah implementasi selesai, Departemen Keuangan mencatat sebagai
penerimaan negara. Untuk monitoring, dilakukan oleh semua pihak yang terkait,
termasuk Departemen Keuangan.

7 - 13

Diagram 4:
Prosedur Bantuan Swasta
Dalam Membangun Kembali NAD
Donor

Bapel

Inisiatif

Inisiatif

Pemda

Depkeu

Inisiatif

Usulan
Konfirmasi

Persetujuan
Teknis

Memorandum of
Understanding

Kontrak dng
Pihak ke III

Pembayaran

Laporan
Jumlah Dana

Implementasi

Implementasi

Register

Implementasi
Pencatatan
Sbg Penerimaan
Negara

Monitoring

7 - 14

Bab 8
Pendanaan
Hasil kajian awal yang dilakukan oleh Bappenas bersama Bank Dunia, perkiraan
kerusakan dan kerugian (loss and damage assessment) yang ditimbulkan oleh gempa
bumi dan tsunami mencapai sekitar Rp. 41,40 triliun yang terdiri dari kerusakan di
berbagai sektor mencapai Rp. 27,19 triliun dan kerugian sebesar Rp 14,21 triliun. Jumlah
kerusakan dan kerugian tersebut hampir sebanding dengan lima kali APBD provinsi
NAD dan seluruh kabupaten/kota.
Pada tahap tanggap darurat yang merupakan kegiatan awal dan usaha penyelamatan
(rescue), dan merupakan kegiatan yang sangat sulit dilaksanakan akibat kelangkaan
berbagai sumber daya, secara kasar diperkirakan memerlukan dana tidak kurang dari
Rp. 5,1 triliun. Pada tahap ini sumber bantuan datang dari berbagai pihak mulai dari
masyarakat dan dermawan setempat, sampai kelompok-kelompok masyarakat, yayasan,
LSM, badan usaha, hampir dari seluruh Indonesia, baik dalam bentuk bantuan dana
maupun bantuan tenaga secara fisik. Bantuan juga berupa upaya-upaya kreatif
berbentuk koordinasi bantuan. Bantuan secara nyata juga dilakukan oleh aparat TNI
dan Kepolisian yang telah mengerahkan segala daya dan kemampuan untuk usaha
penyelamatan, pembersihan, dan mengatasi keadaan darurat. .
Sumbangan secara nyata juga dilakukan oleh berbagai lembaga/institusi internasional,
mulai dari kapal induk dan beberapa helikopter milik pemerintah Amerika beserta
ratusan tentaranya. Aparat militer juga hadir dari Australia, Inggris, Perancis, dan
berbagai negara eropa lainnya. Banyaknya bantuan dari negara sahabat, dan negara
sesama anggota ASEAN hampir seluruhnya memberikan bantuan pada tahap ini.
Kelompok masyarakat baik yang berbentuk Non Government Organization (NGO)
internasional atau kelompok khusus kemanusiaan yang juga terlibat dan membantu
dalam tahap tanggap darurat ini bahkan mencapai lebih dari 300 organisasi/lembaga.
Ratusan ribu jiwa yang meninggal dan hilang tidak akan pernah tergantikan, namun
upaya untuk mewujudkan masyarakat dan lingkungan yang lebih baik, harus menjadi
agenda rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah Aceh dan Nias, Sumatera Utara.
Pembangunan kembali provinsi NAD dan Nias, termasuk rekonsiliasi dari luka lama,
sehingga terwujud masyarakat yang lebih sejahtera, aman dan bebas dari rasa takut.
Pada tahap rehabilitasi dan rekonstruksi kebutuhan pendanaan akan jauh lebih besar
dibanding dengan pendanaan pada tahap tanggap darurat. Dalam pelaksanaan
rehabilitasi dan rekonstruksi kebutuhan dana yang paling besar adalah untuk keperluan
pembangunan sarana dan prasarana (infrastruktur), pembangunan sektor sosial,
pembangunan sektor produktif (ekonomi), dan sektor-sektor lainnya.
Sebagaimana dimaklumi, mengingat besarnya korban jiwa akibat bencana gempa dan
tsunami, pembangunan kembali sarana dan prasarana yang baru tentu akan
mempertimbangkan kondisi yang ada saat ini, baik dari segi jumlah penduduk yang ada,

8-1

minat (preference) dari penduduk, kualitas layanan (pendidikan, kesehatan, layanan


dasar dan layanan sosial lainnya) yang ingin diwujudkan, serta aspek pencegahan dan
penanggulangan (prevention and mitigation) bencana serupa di waktu-waktu yang akan
datang. Oleh karena itu, perkiraan kebutuhan pendanaan untuk pembangunan kembali
mungkin berbeda dengan perkiraan dana kerusakan dan kerugian.
8.1

Kebutuhan Pendanaaan

Perkiraan kebutuhan pendanaan (need assestment) untuk rehabilitasi dan rekonstruksi


wilayah Aceh dan Nias, dikumpulkan dengan dua cara. Pertama, perkiraan kebutuhan
pendanaan yang berasal dari data yang dikumpulkan oleh Departemen/lembaga, yang
dikumpulkan dengan melibatkan bantuan instansi terkait di daerah-daerah bencana. Kedua,
perkiraan kebutuhan yang berasal dari Bappenas yang memperkirakan kebutuhan
pendanaan untuk pembangunan kembali berdasarkan pada perencanaan tata ruang yang
baru, kualitas layanan baru yang ingin diwujudkan, serta sarana dan prasarana baru untuk
mendukungnya.
Dengan membandingkan 2 (dua) pendekatan perhitungan tersebut, diharapkan terjadi
pemeriksaan silang (cross check), dalam penentuan prioritas kegiatan, penentuan urutan
(sequence) dari pelaksanaan kegiatan, serta integrasi kegiatan antar sektor, pada akhirnya
dapat ditentukan jenis kegiatan beserta jumlah pendanaan yang diperlukan untuk setiap
tahun anggaran selama 5 (lima) tahun (dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2009).

Disamping itu, berdasarkan data perkiraan kebutuhan pendanaan


dilakukan evaluasi berdasarkan prinsip-prinsip, sebagai berikut:

yang terkumpul,

1) Pemerintah hanya akan melakukan pembangunan kembali prasarana dan sarana


pelayanan umum (public goods), seperti: jalan, jembatan, pelabuhan, sekolah,
rumah sakit pemerintah, puskesmas, air bersih, listrik, dan sebagainya;
2) Pembangunan kembali sarana dan prasarana pelayanan umum yang rusak hanya
dilakukan di daerah yang terkena bencana;
3) Kompensasi terhadap harta benda pribadi (private property), akan ditentukan
secara khusus dan sumbangan dari pemerintah tidak cukup besar, seperti
kompensasi terhadap rumah yang hancur total sebesar Rp 28 juta/keluarga dan
terhadap rumah yang memerlukan rehabilitasi sebesar Rp 10 juta/keluarga;
4) Kompensasi terhadap aktivitas ekonomi (asset produktif), seperti: Ruko, bengkel,
dan lain-lain: sebesar Rp. 2 juta untuk perseorangan, atau Rp. 15 juta perkelompok
yang nanti bergulir; dan bantuan akses kepada sistem perbankan yang dipermudah;
5) Prosedur dan mekanisme pendanaan harus mengedepankan aspek transparansi,
efisiensi, efektivitas yang tinggi, dan akuntabel.
Berdasarkan perkiraan kebutuhan dana yang dilakukan oleh Bappenas, sebelum terjadinya
gempa yang menimpa Pulau Nias dan Pulau Simeulue tanggal 28 Maret 2005, untuk
membiayai rehabilitasi dan rekonstruksi dibutuhkan dana sebesar Rp 41,7 triliun.
Berkenaan dengan terjadinya bencana gempa yang terjadi pada tanggal 28 Maret 2005 yang
menimpa Kabupaten Nias, Kabupaten Nias Selatan dan Kabupaten Simeulue, telah

8-2

dilakukan penyesuaian terhadap besarnya kebutuhan dana, dan untuk itu diperkirakan
tambahan kebutuhan dana sebesar Rp. 3.171,6 milyar. Di samping perlu juga di tambahkan
kebutuhan pendanaan untuk keperluan Lintas Sektor yaitu komponen Pemulihan Ketertiban
dan Kemanan sebesar Rp. 2.194,9 milyar serta kebutuhan dana komponen Bantuan
Pemulihan Sarana Produktif Masyarakat Aceh dan Nias sebesar Rp. 1.638,0 milyar yang
tidak tertampung dalam buku induk maupun buku rinci sebelumnya.
Dengan demikian jumlah kebutuhan dana rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah Aceh dan
Nias, Sumatera Utara setelah dilakukan penyesuaian akibat gempa tanggal 28 Maret 2005
seluruhnya berjumlah Rp. 48.767,8 milyar yang rincian per sektor dan komponennya dapat
dilihat pada Tabel 8.1.
Berdasarkan usulan Kementerian/Lembaga, kebutuhan dana rehabilitasi dan rekonstruksi
adalah sebesar Rp 58,3 triliun, dengan rincian untuk tahun 2005 sebesar Rp 5,1 triliun,tahun
2006 Rp 14,7 triliun, dan untuk tiga tahun berikutnya
sebesar Rp 30,7 triliun (lihat Tabel 8.2).

8-3

Tabel 8.1
Perkiraan Kebutuhan Dana Rehabilitasi dan Rekontruksi
(dalam miliar rupiah)

Sektor

Perkiraan Kerusakan dan Kerugian *)


Privat
Publik
Total

Perkiraan
Kebutuhan
Pendanaan

300.0
84.0
216.0

2,508.0
1,110.0
622.0
776.0

2,808.0
1,194.0
838.0
776.0

14,564.0
8,295.7
2,095.1
4,173.1

Infrastructure
Perumahan
Perhubungan
Telekomunikasi
Energi
Air Minum dan Sanitasi
Prasarana Sumber Daya Air
Prasarana lainnya

16,129.0
13,098.0
1,542.0
80.0
10.0
170.0
1,229.0

5,216.0
94.0
3,442.0
123.0
622.0
106.0
829.0

21,345.0
13,192.0
4,984.0
203.0
632.0
276.0
2,058.0
-

26,593.6
5,384.9
10,848.8
386.6
4,386.9
3,270.0
1,913.8
402.6

Sektor Produksi
Pertanian dan Pangan
Perikanan
Industri dan Perdagangan
Tenaga kerja
UKM dan Koperasi
Pariwisata

10,207.0
1,490.0
4,729.0
3,988.0

418.0
230.0
23.0
165.0

10,625.0
1,720.0
4,752.0
4,153.0

1,499.2
492.1
870.9
41.1
17.0
73.3
4.8

130.0

6,309.0
5,105.0
829.0
375.0

6,439.0
5,105.0
829.0
375.0

6,111.0
1,315.0
680.0
283.0
2,195.0
1,638.0

Sektor Sosial
Pendidikan
Kesehatan
Agama dan kebudayaan

Lintas Sektor
Lingkungan Hidup.
Administrasi/Pemerintahan
Hukum
Ketertiban Keamanan
Bantuan Sarana Produksi
Perbankan

TOTAL

130.0

26,766.0

*) Sumber: World Bank

8-4

130.0

14,451.0

41,217.0

48,767.8

Tabel 8.2
Rekapituasi Usulan Dana Rehabilitasi dan Rekonstruksi
Yang Diajukan oleh Kementerian/Lembaga
Usulan
Tanggap Darurat
Rehabilitasi/Rekonstruksi
Total

2005
5,1
7,8
12,9

2006
14,7
14,7

(dalam triliun rupiah)


2007-2009
Total
5,1
30,7
53,2
30,7
58,3

Perkiraan kerusakan dan kerugian dihitung secara menyeluruh, meliputi sarana dan
prasarana umum, serta harta benda perseorangan (private property). Jumlah kebutuhan
pendanaan, belum termasuk kebutuhan yang diusulkan oleh pemerintah daerah dan
masyarakat yang juga harus diperhitungkan.
Terhadap kebutuhan pendanaan untuk pembangunan kembali yang diusulkan
departemen/lembaga pada tahap rehabilitasi dan rekonstruksi, selama lima tahun perlu
dilakukan penilaian kembali, antara lain dengan mempertimbangkan:
(1)
(2)
(3)
(4)
8.2

masih adanya overlapping antar departemen/lembaga;


kemampuan penyerapan;
skala prioritas; dan
berdasarkan ketersediaan dana.
Sumber-Sumber Pendanaan

Melihat kebutuhan pendanaan rehabilitasi dan rekonstruksi yang sedemikian besar


dibandingkan dengan kemampuan keuangan negara yang sangat terbatas, maka
kebijaksanaannya adalah mendayagunakan semua potensi sumber pendanaan yang
tersedia, yang secara garis besar terdiri dari dana APBN, APBD, hibah (grant), serta
dana yang berasal dari masyarakat
8.2.1 Dana Anggaran Pembangunan dan Belanja Negara (APBN)
Sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah dalam penanganan bencana nasional,
pemerintah perlu mengalokasikan dana secara khusus untuk pelaksanaan rehabilitasi
dan rekonstruksi di provinsi NAD dan Nias. Potensi sumber dana yang berada dalam
APBN terdiri dari:
(1) dana rupiah murni;
(2) hibah luar negeri baik yang bersifat bilateral maupun multilateral;
(3) realokasi atau reprogramming dana pinjaman luar negeri yang sedang berjalan
dialihkan untuk provinsi NAD dan Nias;
(4) pinjaman luar negeri baru (apabila diperlukan); serta
(5) penundaan dana pembayaran bunga dan pokok utang luar negeri akibat moratorium
di Paris Club.
Dana rupiah murni, dalam APBN 2005 dana rupiah murni yang bisa digunakan
untuk mendukung pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi antara lain berasal dari
dana cadangan umum sebesar Rp. 2 triliun, dana hasil moratorium (Paris Club) sebesar

8-5

Rp. 3.9 triliun. Di samping itu juga terdapat dana Departemen/Lembaga yang berada di
provinsi NAD dan Nias baik berupa dana dekonsentrasi, tugas pembantuan maupun
dana instansi pusat yang kewenangannya tidak didesentralisasikan seperti bidang
agama, bidang peradilan serta bidang keuangan. Untuk kebutuhan tahun anggaran 2006
dan tahun-tahun berikutnya dana kebutuhan rehabilitasi dan rekonstruksi akan
langsung dimasukkan rancangan APBN.
Hibah luar negeri, terdiri dari hibah yang berasal dari negara-negara dan lembaga
donor yang tergabung dalam Consultative Group on Indonesia (CGI) telah
menyampaikan kesediaan dan memberikan janji (pledge) bantuan sekitar Rp 15.7 triliun
yang terdiri dari :
1.
Donor Bilateral
Rp. 8,0 triliun;
2.
Donor Multilateral Rp. 7,7 triliun
Berdasarkan penyalurannya, jumlah dana itu akan disalurkan dalam APBN on-budget
sebesar Rp. 9,1 trilun, dan sisanya sebesar Rp. 6,6 triliun akan disalurkan secara offbudget. Saat ini sudah dapat direalisasikan hibah dari Bank Pembangunan Asia (ADB)
sebesar US$ 300 juta.
Jumlah hibah tersebut akan bertambah setelah negara donor maupun lembaga
internasional melakukan need assessment. Pemberi hibah juga akan memberikan hibah
setelah Rencana Induk Rehabilitasi dan Rekonstruksi provinsi NAD dan Nias selesai.
Hibah dari swasta/masyarakat bersumber dari perusahaan, Non Government
Organization (NGO), perorangan dan sumber lain. Perkiraan dana hibah yang
bersumber dari Swasta/masyarakat diperkirakan sebesar Rp.13.50 triliun Penggalangan
dana untuk membantu korban tsunami dilakukan di berbagai negara. Dana yang
terkumpul dari swasta dapat lebih besar lagi dengan adanya upaya penggalangan dana
dari swasta/masyarakat yang akan dilakukan melalui Private Sector Summit on Post
Tsunami Reconstruction Program pada bulan Mei 2005. Oleh karena itu, pemerintah
menyediakan keikutsertaan swasta dan masyarakat dalam program rehabilitasi dan
rekonstruksi agar tercipta dan terjamin akuntabilitas, efektivitas, transparansi dalam
penyaluran dan penggunaannya.
Realokasi dana pinjaman luar negeri,
Realokasi pinjaman luar negeri dari Islamic Development Bank, Bank Dunia dan Bank
Pembangunan Asia (ADB) untuk proyek-proyek yang sedang berjalan merupakan salah
satu sumber pendanaan untuk pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi. Realokasi
dilakukan tanpa merugikan pembangunan daerah/provinsi lain. Dana yang direalokasi
adalah dana yang belum dialokasikan untuk kegiatan tertentu (unallocated), serta dana
dari sisa pinjaman yang tidak terpakai. Dana pinjaman yang tersedia untuk direalokasi
per tanggal 15 Maret 2005 sebesar .Rp. 2,49 triliun.
Pinjaman Luar Negeri baru
Dengan pendanaan yang begitu besar, serta ketersediaan dana dari hibah dan dana
dalam negeri yang terbatas, maka pinjaman luar negeri terutama yang sangat lunak
menjadi salah satu sumber dana untuk rehabilitasi dan rekonstruksi. Beberapa pinjaman
sangat lunak yang sudah disepakati, diantaranya dari Pemerintah Australia sebesar A$
500 juta, dengan masa pengembalian selama 40 tahun, tenggang waktu pembayaran
(grace period) selama 10 tahun, dan bunga 0%.
Moratorium merupakan salah satu sumber pembiayaan pelaksanaan rehabilitasi dan
rekonstruksi pada tahun anggaran 2005. Paris Club pada sidang tanggal 9 Maret 2005

8-6

telah memutuskan untuk memberikan moratorium utang kepada negara yang terkena
bencana tsunami sampai dengan 31 Desember 2005.
Indonesia mendapatkan
moratorium sebesar Rp. 3,9 triliun. Pembayaran hutang yang jatuh tempo tahun ini
ditangguhkan selama 5 tahun dengan masa tenggang satu tahun. Dengan adanya
moratorium tersebut, Pemerintah Indonesia pada tahun anggaran 2005 dapat memiliki
ruang gerak yang lebih lapang untuk penyediaan dana rehabilitasi dan rekonstruksi.
Meskipun demikian moratorium tersebut adalah penundaan beban, oleh karena itu
pemerintah harus mempertimbangkan beban anggaran pada saat penundaan tersebut
jatuh tempo.
Pemerintah Indonesia telah menyatakan persetujuannya untuk menerima tawaran
moratorium tersebut. Dengan diterimanya moratorium tersebut, maka pemerintah
Indonesia akan kehilangan sebagian hibah dari beberapa negara donor sebagai trade off
atas fasilitas moratorium, diantaranya pemerintah Indonesia akan kehilangan hibah dari
Amerika Serikat sebesar Rp. 270 miliar.
8.2.2 Non APBN
Dari berbagai sumber pendanaan terdapat sumber pendanaan yang berasal dari
masyarakat, lembaga donor dan dunia usaha yang bermaksud membantu pendanaan
rehabilitasi dan rekontruksi wilayah Aceh dan Nias dengan cara langsung melaksanakan
suatu kegiatan tertentu tanpa melalui APBN (off budget).
Meskipun pendanaan rehabilitasi dan rekontruksi menerapkan prinsip on budget,
namun sumbangan secara langsung dari masyarakat, lembaga donor dan dunia usaha
perlu difasilitasi. Untuk itu tatacara yang selama ini telah dilakukan dalam Program
Partnership yang dikelola oleh UNDP dapat digunakan sebagai model.
8.3

Mekanisme Pengelolaan Pendanaan

Pada dasarnya mekanisme dan prosedur pendanaan dalam rangka rehabilitasi dan
rekonstruksi Aceh dan Nias mengikuti prosedur baku pendanaan sebagaimana yang
tertuang dalam Undang-undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan
Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan serta aturan
pelaksanaan yang terkait dengan undang undang dimaksud.
Mekanisme pendanaan yang akan menggunakan APBN, baik rupiah murni maupun
pinjaman dilakukan dengan mekanisme yang baku sesuai aturan yang telah ditetapkan
Departemen Keuangan. Namun demikian untuk memperlancar rehabilitasi dan
rekonstruksi dapat dilaksanakan langkah-langkah percepatan antara lain: percepatan
penyelesaian administrasi dokumen anggaran, percepatan pembayaran melalui Kantor
Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) Khusus untuk melayani pelaksanaan
Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh dan Nias. KPPN tersebut juga akan melakukan
fungsi pembayaran valuta asing.
.
Badan Pelaksana (Bapel) yang dibentuk merupakan satuan kerja (satker), dan menjadi
pengguna anggaran dengan yang mempunyai dokumen anggaran (DIPA) tersendiri.
Mengingat DIPA dalam rangka Rehabilitasi dan rekonstruksi ada pada Bapel, maka
pelaksanaan pengadaan barang dan jasa serta penendatanganan kontrak dilakukan oleh

8-7

Bapel. Bapel berwenang untuk melaksanakan proyek proyek pada berbagai sektor yang
utama dan strategis (flagship) serta seluruh proyek yang lintas sektor.

ALUR PENDANAAN R2WANS


Non APBN

Pemerintah Pusat
APBN

DAK
DAU
Bagi
Hasil

DIPA Bapel
DIPA Rekon

DAK/Dana Darurat

BADAN PELAKSANA

DIPA
Grant

Pemerintah Daerah
APBD

Rehabilitasi &
Rekonstruksi Sektoral

Pengeluaran Rutin

Proyek
Strategis

Rehabilitasi & Rekonstruksi

Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus dan Bagi Hasil yang ada di APBD akan
langsung dilaksanakan oleh pemerintah Provinsi NAD dan masing-masing Pemerintah
Kabupaten/Kota. Perencanaan dan pemanfaatan dana tersebut tetap dilaksanakan
sendiri oleh masing-masing pemerintah daerah, namun untuk kegiatan tertentu yang
sejenis dengan pekerjaan yang dilaksanakan Bapel, perlu dilakukan langkah-langkah
koordinasi dengan Bapel.
Untuk penyaluran dana hibah, dalam rangka rehabilitasi dan rekonstruksi provinsi NAD
dan Nias, Pemerintah Indonesia telah membuat kesepakatan dengan donor/lender
untuk memperpendek prosedur dan mempercepat proses, sehingga dana hibah dapat
segera dilaksanakan dengan lebih cepat.
Setelah melakukan perkiraan kebutuhan berdasarkan Rencana Induk di bawah
koordinasi Bappenas, para donor akan membuat dokumen kesepakatan, seperti: Grant
Agreement atau Memorandum of Understanding, Exchange of Notes atau sejenisnya.
Berdasarkan dokumen kesepakatan tersebut, proyek dapat segera melaksanakan
kegiatannya. Dokumen kesepakatan tersebut seyogyanya dicatatkan (registered) kepada
Departemen Keuangan, dan ditembuskan kepada Bappenas dan Sekretariat Kabinet.
Setiap Instansi akan mengeluarkan persetujuan sesuai dengan kewenangannya dan
sejalan dengan pelaksanaan di lapangan. Khusus untuk barang impor
harus

8-8

memperoleh pembebasan pajak dari Departemen Keuangan dengan rekomendasi dari


Sekretariat Negara
Bagan Alir Mekanisme Hibah Luar Negeri

Donor

Executing
Agency/BAPEL

Bappenas

CCITC/Setkab

Departemen
Keuangan

Need Assesment

Dokumen Pelaksanaan

cc

Persetujuan

Pembebasan Pajak
dan Izin tinggal

Register

Pelaksanaan

Laporan
Pelaksanaan

Pencatatan

.
Alur persiapan, persetujuan dan pelaksanaan proyek/program sebagai berikut :
(1) Proposal proyek/program disiapkan oleh Pemerintah Indonesia;
(2) Steering Committee mengevaluasi usulan proyek/program dan memberikan
persetujuan;
(3) trustee melakukan penilaian (appraisal);
Perjanjian hibah antara Trustee dan Pemerintah indonesia.
Penampungan hibah dari Swasta (private)/masyarakat, sesuai dengan surat Menteri
Keuangan No. S-24/MK.06/2005 tanggal 18 Januari 2005. Menteri Keuangan telah
membuka 4 (empat) rekening di bank Indonesia untuk menampung hibah dari luar
negeri dan masyarakat dalam negeri dalam mata uang Rupiah (No. Rek 510.000.272),
Dollar Amerika Serikat (No. Rek 602.074.411), Japanese Yen (No. Rek. 602.075.111) dan
Euro (No. Rek. 602.076.991). Apabila swasta dalam dan luar negeri yang bermaksud
memberikan bantuan hibah dapat disetorkan langsung ke rekening tersebut diatas.
Namun demikian, apabila tidak bersedia untuk menyetorkan dananya, maka
swasta/masyarakat dapat melaksanakan sendiri, dengan ketetentuan bahwa
kegiatan/proyek yang akan dilaksanakan harus sudah dikonsultasikan dan disetujui oleh

8-9

Bapel untuk memastinkan kegiatan tersebut sesuai dengan Rencana Induk Rehabilitasi
dan Rekonstruksi provinsi NAD dan Kabupaten Nias.

8.4

Pengadaan Barang dan Jasa

Mekanisme dan prosedur pengadaan barang/jasa (procurement) dalam pelaksanaan


kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh dan Nias, Sumatera Utara, pada prinsipnya
mengikuti Keputusan Presiden Nomor 80 tahun 2003, tentang Pedoman Pengadaan
Barang dan Jasa Instansi Pemerintah.
Beberapa perubahan terhadap Keppres No. 80 Tahun 2003, khusus untuk pelaksanaan
kegiatan di propinsi NAD dan di Kabupaten Nias, perlu dilakukan untuk memberikan
keleluasaan bagi para pengguna anggaran, kuasa pengguna anggaran mempercepat
pelaksanaan kegiatannya, serta memberikan beberapa kemudahan dan fleksibiltas,
dengan tidak mengabaikan prinsip efisien, transparan, persaingan yang adil, serta
akuntabel.
Beberapa perubahan dan penyesuaian yang diperlukan meliputi pemberian kewenangan
yang lebih besar untuk melakukan penyesuaian paket-paket kontrak kegiatan sesuai
dengan kondisi lapangan. Disamping itu, diberikan wewenang yang lebih besar untuk
hal-hal yang batasannya telah ditentukan. Perubahan ketentuan juga diberikan untuk
meningkatkan peran pemantauan dan pengawasan dalam rangka mengurangi potensi
penyimpangan dalam pelaksanaan kegiatan.
Pengadaan barang/jasa untuk setiap paket kegiatan pada prinsipnya harus dilaksanakan
oleh pengguna anggarana atau di instansi yang memegang dokumen anggaran.
Penentuan instansi sebagai pengguna anggaran (pemegang dokumen anggaran) akan
segera ditetapkan sesuai dengan kewenangan yang telah digariskan oleh aturan
perundangan yang berlaku.
Dengan pelaksanaan pengadaan sesuai dengan kewenangan,
maka penyedia
barang/jasa setempat mempunyai kesempatan yang terbuka untuk berpartisipasi dalam
berkompetisi melaksanakan pekerjaan. Ketelibatan penyedia barang/jasa setempat
dianggap mempunyai keunggulan komparatif yang diantaranya pengenalan medan,
penggunaan tenaga dan sumber daya lokal, dan budaya setempat lainnya. Meskipun
demikian apabila dianggap, pelaksanaan pengadaan barang/jasa tidak mungkin dapat
dilakukan di daerah bencana, maka Menteri/Ketua Lembaga atau Ketua Bapel sebagai
Pengguna Anggaran dapat menetapkan lokasi pengadaan barang/jasa di tempat lain.
Di samping penyederhanaan beberapa prosedural, dan penyingkatan waktu, saat ini
sedang dipersiapkan dokumen pengadaan barang/jasa yang seragam untuk berbagai
sumber pendanaan, baik pendanaan yang berasal dari luar negeri maupun pendanaan
yang berasal dari dalam negeri. Dalam mempersiapkan penyeragaman dokumen
tersebut, telah dijalin koordinasi dengan beberapa lender/donor, diantaranya: Bank
Dunia, Bank Pembangunan Asia, dan JBIC.
Atas pertimbangan hal tersebut di atas khusus untuk pengadaan barang/jasa di propinsi
NAD dan Nias, untuk melaksanakan kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi, diusulkan
dibuat Peraturan Presiden yang baru, tentang Pedoman Pengadaan Barang/Jasa Untuk

8 - 10

Penanganan Pasca Bencana Alam Gempa Bumi dan Tsunami di propinsi NAD dan
Kabupaten Nias. Namun perlu dicatat bahwa pengaturan baru diluar Keppres 80 Tahun
2003 tersebut hanya berlaku di daerah propinsi NAD yang terkena bencana dan Nias,
dan hanya berlaku selama 5 (lima) tahun.

8 - 11

Bab 9
Penerapan Prinsip-Prinsip Tata
Kelola Yang Baik dan Pengawasan
Pelaksanaan
Untuk menjamin keberhasilan pencapaian tujuan/sasaran rehabilitasi dan rekonstruksi
wilayah Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Nias, Sumatera Utara serta untuk
menghindarkan terjadinya korupsi dan penyimpangan lainnya, harus diterapkan
prinsip-prinsip tata-kelola yang baik (good governance) dalam pelaksanaan rehabilitasi
dan rekonstruksi. Langkah-langkah strategis yang perlu dilakukan mencakup tindakan
preventif dan represif terhadap korupsi dan penyalahgunaan wewenang lainnya.
Langkah preventif berupa penerapan prinsip-prinsip tata-kelola yang baik dengan 4
(empat) prinsip utama, yaitu transparansi, partisipasi, akuntabilitas dan penegakan
hukum dan sejalan dengan prinsip tata kelola lainnya yaitu amanah, jaminan keadilan,
berorientasi kesepakatan, responsif, berhasil guna dan berdaya guna. Sedangkan
langkah represif berupa pengawasan terhadap pelaksanaan rencana induk (R3WANS).
Pedoman ini hanya mengatur pengawasan oleh Aparat Pengawasan Internal
Pemerintah (APIP) termasuk Satuan Pengawas Internal pada Badan Pelaksana
Rehabilitasi dan Rekonstruksi serta mendorong pengawasan oleh masyarakat umum
dan stakeholders. Adapun pengawasan/pemeriksaan oleh Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), DPR dan DPRD Provinsi/
Kabupaten/Kota terhadap pelaksanaan rencana induk ini dilakukan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

9.1.

Penerapan Prinsip-Prinsip Tata Kelola yang Baik

Seluruh pelaksanaan kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah Aceh dan NiasSumatera Utara oleh Badan Pelaksana atau instansi/lembaga lain dibawah koordinasi
Badan Pelaksana harus menerapkan prinsip-prinsip tata kelola yang baik, untuk itu,
perlu disusun sistem manajemen yang dapat mendorong terwujudnya transparansi dan
partisipasi publik, akuntabilitas, taat asas, serta prinsip-prinsip pelaksanaan program
rehabilitasi dan rekonstruksi lainnya. Lebih detail, unsur utama tata kelola pelaksanaan
rehabilitasi dan rekonstruksi adalah:

9.1.1 Penerapan Prinsip Akuntabilitas


Akuntabilitas adalah kewajiban untuk mempertanggungjawabkan pengelolaan dan
pengendalian sumber daya dan pelaksanaan kebijakan termasuk keberhasilan atau
kegagalan dalam mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan melalui media

pertanggungjawaban berupa laporan pelaksanaan (akuntabilitas kinerja) secara


periodik.
Unsur-unsur pendukung akuntabilitas meliputi: 1) Penetapan Tujuan dan Sasaran
yang jelas, baik untuk jangka pendek maupun jangka menengah. Apabila dianggap
perlu, Badan Pelaksana rehabilitasi dan rekonstruksi dapat menyusun visi dan misi
yang jelas, sebagai acuan untuk menyusun tujuan dan sasaran rehabilitasi dan
rekonstruksi. 2) Struktur Kelembagaan yang solid untuk mendorong terwujudnya
sistem manajemen yang efisien dan efektif guna mencapai tujuan dan sasaran yang
telah ditetapkan. 3) Penetapan Kebijakan yang jelas dan terarah, konsisten dengan
tujuan organisasi, tertulis, dan transparan. 4) Perencanaan yang realistis, terinci dan
sesuai dengan kebutuhan, transparan dan partisipatif, akomodatif terhadap sosial
budaya masyarakat setempat, dan merupakan penjabaran tujuan dan sasaran yang
telah ditetapkan Badan Pelaksana. 5) Penetapan Prosedur Kerja yang tepat dan jelas,
mudah dilaksanakan, mudah dimengerti dan transparan, serta mempertimbangkan
peraturan perundangan yang terkait. 6) Sumber Daya Manusia yang kompeten,
profesional, dan bermoral. 7) Pelaksanaan Kegiatan yang efektif dan efisien, tertib
administrasi, transparan, baik dalam pengadaan barang dan jasa, pengelolaan
keuangan, pengelolaan barang inventaris, pengelolaan barang persediaan, maupun
pengelolaan barang bantuan. 8) Sistem Pencatatan yang jelas, akurat, dan sederhana.
9) Satuan Pengawasan Internal yang independen tapi bertanggung jawab langsung
kepada Badan Pelaksana.
Laporan pelaksanaan (akuntabilitas kinerja) rehabilitasi dan rekonstruksi akan
mengacu pada prinsip-prinsip objektifitas, transparansi, akurasi yang tinggi, serta
profesionalisme yang dapat diandalkan.

9.1.2 Penerapan Prinsip Transparansi dan Partisipasi


Penerapan prinsip transparansi dimaksudkan agar data/informasi kegiatan rehabilitasi
dan rekonstruksi wilayah NAD dan Nias-Sumatera Utara termasuk perumusan
kebijakan dan pelaksanaan kerja organisasi, dapat diakses oleh publik. Transparansi
menumbuhkan kepercayaan timbal balik antara pemerintah, Badan Pelaksana
(termasuk antar unit-unit internalnya), masyarakat dan stakeholders lainnya. Prinsip
partisipasi dimaksudkan agar publik dapat berpartisipasi aktif dan konstruktif dalam
pengambilan keputusan rehabilitasi dan rekonstruksi, baik secara langsung maupun
melalui institusi yang mewakili kepentingannya,. Partisipasi tersebut dibangun atas
dasar kebebasan berasosiasi dalam menyampaikan pendapat demi keberhasilan
pencapaian tujuan/sasaran rehabilitasi dan rekonstruksi. Tiga faktor utama yang dapat
mendorong dan mempercepat terwujudnya transparansi dan partisipasi di atas adalah:
1) ketersediaan data/informasi yang akurat, komprehensif, dan terkini; 2) kemudahan
mengakses data/informasi; serta 3) keseragaman data/informasi yang disampaikan.
Informasi dan kegiatan yang harus transparan meliputi pengelolaan dana yang
meliputi sistem, jumlah dan sumber dana, serta penyalurannya; organisasi dan personal
meliputi struktur, tugas, personal, dan sistem manajemennya; perencanaan meliputi
rencana jangka pendek dan menengah; pelaksanaan meliputi progres report serta
kendala yang dihadapi; pengadaan barang dan jasa meliputi informasi terpadu
pelaksanaannya; dan penyaluran dana bantuan kemanusiaan meliputi jumlah dan nilai
dana yang tersedia, kriteria dan jumlah penerima, sumber dan bentuk bantuan, serta
mekanisme pertanggung jawaban.
Dalam rangka transparansi dan partisipasi pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi
wilayah NAD dan Nias-Sumatera Utara, diperlukan media interaktif dengan

9-2

mekanismenya yang jelas. Beberapa media yang dipandang efektif dan efisien, antara
lain melalui Website (internet) rehabilitasi dan rekonstruksi yang dirancang secara
terpadu untuk seluruh program, kotak pos pengaduan, telepon bebas pulsa, serta
diskusi/pertemuan terbuka dengan publik dipimpin oleh Dewan Pengawas dan Badan
Pelaksana rehabilitasi dan rekonstruksi. Perlu dibentuk Tim atau Unit yang mengolah
dan mempelajari masukan, kritik dan saran yang diterima dari publik. Tim akan
mengevaluasi kelayakan informasi untuk ditindak lanjuti. Tanggapan, jawaban atau
tindak lanjut dilakukan paling lambat 5 (lima) hari kerja dan dimuat di website. Untuk
pelaksanaan mekanisme ini diperlukan sarana dan sumber daya manusia di bidang
teknologi informasi yang memadai. Sedangkan untuk pengawasan yang dilaksanakan
dalam bentuk forum pertemuan, pihak Badan Pelaksana memberikan tanggapan dan
jawaban yang objektif dan bila diminta/diperlukan dapat disampaikan dalam bentuk
jawaban/tanggapan tertulis.

9.1.3 Penerapan Prinsip Penegakan Hukum


Apabila terjadi korupsi atau penyimpangan dalam pelaksanaan rehabilitasi dan
rekonstruksi wilayah Aceh dan Nias-Sumatera Utara, perlu segera dilakukan tindakan
perbaikan, tindakan administratif dan/atau sanksi pidana. Untuk menjamin
diterapkannya prinsip di atas, tindak lanjut atas rekomendasi hasil pengawasan/audit
harus dilakukan secara transparan dan konsisten sesuai peraturan perundangundangan yang berlaku. Badan Pelaksana akan menerima pengaduan dan masukan
dari semua komponen masyarakat tentang pelaksanaan dan kinerja program/kegiatan,
baik yang dilakukan oleh Badan Pelaksana sendiri atau oleh pihak lain dibawah
koordinasinya (dinas, kementerian/LPND, LSM, pihak swasta). Badan Pelaksana
mempunyai wewenang untuk menindaklanjuti berbagai pengaduan melalui jalur
hukum.

9.1.4 Pelaporan Pelaksanaan Rehabilitasi dan Rekonstruksi


Badan Pelaksana menyusun dan menyampaikan laporan (akuntabiltas kinerja) tentang
pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah Aceh dan Nias, Sumatera Utara.
Badan Pelaksana wajib menyusun Laporan Triwulanan dan Laporan Tahunan yang
disampaikan kepada Presiden, Gubernur NAD dan atau Gubernur Sumut, Dewan
Pengawas, dan Dewan Pengarah, serta Menteri dan Lembaga lainnya yang terkait.
Kedua laporan disusun secara berjenjang mulai dari penanggung jawab/ unit pelaksana
program, pimpinan unit hingga jenjang Pimpinan Badan Pelaksana.
Laporan pelaksanaan (akuntabiltas kinerja) rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah Aceh
dan Nias, Sumatera Utara mengacu kepada prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Konsisten dan menggambarkan penerapan prinsip-prinsip tata kelola yang baik
(good governance) dan auditable.
2. Obyektif, komprehensif, informatif dan akurat.
3. Didukung dengan bukti-bukti yang cukup, relevan, kompeten (berkesesuaian), dan
materil.
4. Menunjukkan tingkat pencapaian kinerja atau tujuan/sasaran yang telah
ditetapkan, termasuk tingkat keberhasilan dan/atau kegagalan dalam pencapaian
tujuan/ sasaran yang telah ditetapkan.
Sedangkan materi laporan sekurang-kurang mengenai:
1. Tingkat kemajuan/pencapaian kinerja tujuan/sasaran yang telah ditetapkan.

9-3

2.
3.
4.
5.

Realisasi/pertanggunggjawaban keuangan/pembiayaannya.
Pengelolaan barang inventaris/persediaan/bantuan.
Kendala/permasalahan yang dihadapi dan penanganan/penyelesaiannya.
Pengaduan masyarakat dan stakeholders lainnya serta tindak lanjutnya.

9.2

Pengawasan Terhadap Pelaksanaan

Pengawasan terhadap Badan Pelaksana adalah untuk meningkatkan kinerja,


memberikan informasi yang independen atas kinerja, serta untuk mengarahkan
manajemen dalam mengkoreksi masalah-masalah pencapaian kinerja.
Badan
Pelaksana harus dapat berpartispasi penuh untuk kelancaran dan berhasil gunanya
pengawasan tersebut. Aparat Pengawasan Internal Pemerintah (APIP), masyarakat,
dan lembaga lainnya merupakan mitra bagi Badan Pelaksana untuk mencapai
tujuan/target pengawasan yang telah ditetapkan.

9.2.1 Lembaga Pengawasan


Program rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah Aceh dan Nias, Sumatera Utara
merupakan program lintas sektoral dengan lokasi yang tersebar di beberapa
kota/kabupaten, disamping itu, instansi/lembaga/pihak yang berwenang melakukan
pengawasan terhadap pelaksanaan cukup beragam di lingkungan APIP yaitu: Badan
Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Inspektorat Jenderal Kementerian
atau Inspektorat LPND, Bawasda Provinsi, Bawasda Kota/Kabupaten, Unit Pengawasan
di POLRI, Unit Pengawasan di TNI, dan Satuan Pengawas Internal.
Lembaga, instansi dan pihak-pihak lain, baik secara langsung maupun tidak langsung
yang dapat melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan program rehabilitasi dan
rekonstruksi, antara lain adalah, unsur Pemda (Provinsi/Kabupaten/Kota) lainnya di
luar Bawasda, Dewan Pengawas, Badan Pengawas Penguasa Darurat Sipil Daerah
(NAD), Tim Pengawas Operasi Terpadu (TPOT), pengawasan dari masyarakat luas,
LSM, media massa, yang tidak menjadi anggota dari Dewan Pengawas, serta kantor
akuntan publik atau independent auditors (seperti McKinsey untuk bidang
akuntabilitas, dan Ernst and Young untuk masalah pemeriksaan keuangan) atas
permintaan Dewan Pengawas dan donors.
BPK, KPK, DPR dan DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota melakukan pengawasan/
pemeriksaan terhadap pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah Aceh dan
Nias, Sumatera Utara sesuai dengan peraturan perundangan-undangan yang berlaku.
Karena itu, hal-hal tersebut tidak dapat diatur dalam buku pedoman ini.

9.2.2 Koordinasi Pengawasan


Mengingat banyaknya APIP yang berpotensi untuk melaksanakan pengawasan
pelaksanaan program rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah Aceh dan Nias, Sumatera
Utara diharapkan terciptanya sistim koordinasi pengawasan, sehingga dapat
dihindarinya audit yang tumpang tindih. Untuk itu, harus dilakukan pertemuan secara
berkala antar APIP melalui forum koordinasi baik pada tahap perencanaan
pengawasan, pelaksanaan, pelaporan dan tindak lanjut hasil pengawasan. Dengan
adanya forum koordinasi tersebut diharapkan dapat terkompilasi hasil pengawasan dari
APIP dan lembaga lainnya. Untuk efisiensi dan efektivitas kegiatan forum koordinasi,
dapat ditunjuk koordinator yang disepakati bersama.

9-4

9.2.3 Partisipasi dan Kemitraan dalam Pengawasan


Pengawasan/audit dikatakan berakhir apabila seluruh rekomendasi audit telah
ditindaklanjuti oleh unit/pihak yang terkait di lingkungan Badan Pelaksana.
Pengawasan/audit dapat bersifat current audit (ex-ante) dan post audit (ex-post).
Dalam rangka membantu kelancaran pelaksanaan audit dan tindak lanjutnya, seluruh
jajaran Badan Pelaksana hendaknya mengetahui dan berpartispasi aktif dalam setiap
tahap/proses kegiatan pengawasan yang terdiri dari pelaksanaan uudit, pelaksanaan
tindak lanjut, pemantauan dan evaluasi pelaksanaan tindak lanjut, serta tindak lanjut
atas penyimpangan yang melanggar peraturan dan prosedur.
Pengawasan oleh masyarakat dan lembaga lainnya pada umumnya tidak terstruktur
seperti pengawasan yang dilakukan oleh APIP. Bentuk partisipasi dan kemitraan oleh
Badan Pelaksana adalah dalam bentuk tanggapan berupa upaya tindak lanjut yang
sudah atau yang akan dilakukan melalui media interaktif.
Dalam hal penyimpangan terhadap peraturan/prosedur kepentingan pencapaian
kinerja program/kegiatan dan tidak merugikan pihak manapun, karena tidak sesuai
dengan kondisi dan hampir mustahil untuk dialksanakan, maka perlu ditindaklanjuti
dengan pengkajian/penelaahan terhadap peraturan/prosedur tersebut. Untuk
melakukan pengkajian/penelaahan tersebut perlu dibentuk semacam Komisi/Panitia.
Untuk tingkat Provinsi NAD anggotanya ditetapkan oleh Gubernur dari unsur
Pemerintah Daerah NAD, DPRD, LSM yang bergerak di bidang anti-korupsi, lembaga
keagamaan, lembaga akademik/profesional (misalnya Ikatan Akuntan Indonesia),
unsur swasta, dan pihak-pihak lainnya yang relevan.

9.3

Sanksi

Penyimpangan terhadap prosedur dan ketentuan yang telah diuraikan dalam


pedoman ini dan atau penyalahgunaan wewenang dalam pelaksanaan
rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah Aceh dan Nias, Sumatera Utara yang
berakibat pada kerugian negara dan tidak tercapai tujuan dan sasaran yang telah
ditetapkan, dapat dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan perundanganundangan yang berlaku.
9.4

Review Berkala

Pedoman ini dapat disempurnakan sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan di


lapangan sepanjang bertujuan untuk menjamin tercapainya tujuan dan sasaran/target
program rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah Aceh dan Nias, Sumatera Utara.
Penyempurnaan tersebut termasuk juga penyusunan prosedur kerja dan format yang
diperlukan sesuai kebutuhan.
Diharapkan penerapan prinsip-prinsip good governance dalam pelaksanaan
rehabilitasi dan rekonstruksi tidak hanya untuk keberhasilan program/kegiatan
rehabilitasi dan rekonstruksi, tetapi juga dapat turut mendorong atau memberikan
kontribusi bagi penerapan prinsip-prinsip atau nilai-nilai good governance dalam
penanggulangan bencana alam di wilayah lainnya; dan penerapan prinsip-prinsip good
governance di lingkungan Pemerintah Provinsi, Kabupaten dan Kota di Aceh dan
Sumatera Utara pada khususnya, serta lingkungan pemerintahan pada umumnya.

9-5

Bab 10
Kelembagaan
Dalam membangun kembali secara cepat wilayah Aceh dan Kepulauan Nias, Sumatera
Utara yang terkena bencana gempa bumi dan tsunami, diperlukan penanganan dengan
cara khusus yang cepat, sistematis, terarah, terpadu dan menyeluruh dengan
melibatkan partisipasi luas para pemangku kepentingan (stakeholders), dan
memperhatikan aspirasi dan prioritas kebutuhan masyarakat setempat.
Untuk melaksanakan proses rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah Aceh dan Kepulauan
Nias-Sumatera Utara secara efektif dan efisien, diperlukan suatu badan rehabilitasi dan
rekonstruksi yang mempunyai tugas, kewenangan dan tanggung jawab yang
menyeluruh, terpusat dan terkoordinasi, guna melaksanakan perencanaan,
pelaksanaan, pengendalian dan evaluasi pelaksanaan berdasarkan asas tata
kepemerintahan yang baik, berhasil guna, transparan dan akuntabel. Badan tersebut
dalam menjalankan kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi berpedoman pada Rencana
Induk yang telah ditetapkan dan menjabarkannya secara lebih operasional dan detail
sesuai dengan kondisi yang ada di lapangan dan prioritas kebutuhan masyarakat
setempat.
10.1

Struktur Kelembagaan/Organisasi

Pembentukan badan rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah Aceh dan Kepulauan NiasSumatera Utara berada di bawah dan bertanggungjawab langsung kepada Presiden.
Secara fungsional, terdapat tiga kelengkapan organisasi yang ada dalam struktur badan
rehabilitasi dan rekonstruksi, yakni: (a) Dewan Pengarah, (b) Dewan Pengawas, dan (c)
Badan Pelaksana.
a. Dewan Pengarah
Dewan pengarah adalah kelengkapan organisasi dalam struktur badan rehabilitasi dan
rekonstruksi yang memiliki fungsi pengarah, mengemban tugas memberikan arahan
dalam perumusan, perencanaan, dan pelaksanaan proses rehabilitasi dan rekonstruksi.
Anggota Dewan Pengarah merupakan representasi berbagai pemangku kepentingan
(stakeholders) seperti dari unsur masyarakat, unsur akademisi/perguruan tinggi, unsur
pemerintah baik pemerintah pusat dan pemerintah daerah, serta unsur lain yang dapat
mendukung fungsi pengarah. Anggota Dewan Pengarah bertanggung jawab untuk
meyakinkan bahwa aspirasi berbagai pihak yang diwakilinya telah menjadi acuan dalam
proses rehabilitasi dan rekonstruksi. Dewan Pengarah memberikan laporan atas
pelaksanaan tugas-tugasnya kepada Presiden Republik Indonesia.

b. Dewan Pengawas
Dewan pengawas adalah kelengkapan organisasi dalam struktur badan rehabilitasi dan
rekonstruksi yang memiliki fungsi pengawas, mengemban tugas antara lain (i)
melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan proses rehabilitasi dan rekonstruksi; (ii)
menerima dan menindaklanjuti pengaduan yang disampaikan oleh masyarakat; (iii)
melakukan audit pelaksanaan tugas Badan Pelaksana. Dalam melakukan audit dan
membantu pelaksanaan tugas-tugasnya, Dewan Pengawas dapat menggunakan jasa
profesional auditor independen atau tenaga ahli lainnya. Pelaksanaan tugas-tugas
tersebut, dilaporkan secara berkala kepada Presiden.
Para anggota Dewan Pengawas berasal dari individu-individu yang memiliki
pemahaman memadai di bidang pengawasan, yang terdiri dari unsur-unsur tokoh
nasional dan tokoh masyarakat Aceh yang independen. Selain itu, dimungkinkan dari
perwakilan negara/lembaga donor masuk dalam keanggotaan Dewan Pengawas. Untuk
menjamin dan memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam pelaksanaan
rehabilitasi dan rekonstruksi, maka hasil-hasil pengawasan yang telah dilakukan
terbuka bagi publik untuk mengakses.
c. Badan Pelaksana
Badan pelaksana adalah kelengkapan organisasi dalam struktur badan rehabilitasi dan
rekonstruksi yang memiliki fungsi pelaksana, mengemban tugas antara lain (i)
merumuskan strategi dan kebijakan operasional; (ii) menyiapkan rencana tindak dan
melaksanakan kegiatan; (iii) melaksanakan kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi
untuk proyek tertentu sesuai kesepakatan instansi/institusi lainnya; dan (iv)
memastikan penggunaan dana rehabilitasi dan rekonstruksi dilakukan dengan
menjunjung tinggi integritas dan bebas dari tindak pidana korupsi.
Untuk mengefektifkan pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi, dan pencapaian
target/sasaran yang telah ditetapkan khususnya yang digariskan dalam rencana induk
dan rencana rinci pada masing-masing bidang rehabilitasi dan rekonstruksi, maka
struktur organisasi Badan Pelaksana dapat dikembangkan sesuai dengan kebutuhan
dan optimalisasi kinerja pelaksanaan.
Badan Pelaksana disamping mengemban tugas-tugas sebagaimana tersebut di atas,
mempunyai kewenangan antara lain; (i) mengelola pelaksanaan rehabilitasi dan
rekonstruksi wilayah dan kehidupan masyarakat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
dan Kepulauan Nias, Sumatera Utara; (ii) mengelola sumberdaya yang ada, baik
sumberdaya manusia maupun keuangan untuk melaksanakan rehabilitasi dan
rekonstruksi; (iii) menjalin kerjasama dengan pihak-pihak yang berhubungan dengan
pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi; dan (iv) meminta bantuan berupa informasi
dan dukungan teknis dalam pelaksanaan tugasnya kepada Pemerintah Pusat,
Pemerintah Daerah, dan pihak-pihak yang terkait lainnya, dan (v) mengorganisasikan
dan mengkoordinasikan pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi yang dilakukan oleh
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan pihak yang terkait lainnya.
Pelaksanaan tugas dan wewenang Badan Pelaksana tersebut mengacu pada rencana
induk dan rencana rinci rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah Aceh dan Nias-Sumatera
Utara yang disusun oleh Pemerintah bersama dengan Pemerintah Daerah. Selain itu,

10 - 2

dalam pelaksanaan kegiatan di lapangan, perlu memperhatikan masukan-masukan dari


pihak-pihak di tingkat daerah, nasional maupun internasional khususnya dalam
menangani permasalahan-permasalahan yang muncul di lapangan. Mengingat bahwa
wilayah Nagroe Aceh Darussalam memiliki status otonomi khusus maka ketentuanketentuan dan norma-norma umum yang berlaku di wilayah Nanggroe Aceh Darussalam
wajib diperhatikan dalam pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi.
Untuk menggerakkan dan melaksanakan tugas-tugas dalam pelaksanaan rehabilitasi
dan rekonstruksi secara cepat, terarah, terpadu dan komprehensif, maka perlu
didukung sumberdaya manusia (SDM) yang memiliki kapabilitas tinggi dan
kompetensi yang relevan serta integritas yang tinggi terhadap Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI). Untuk mendukung hal ini, maka Badan Pelaksana dapat
melakukan rekruitmen pegawai sesuai dengan kebutuhan. Proses rekruitmen pegawai
harus dilakukan secara profesional dan obyektif.
10.2

Tata Kelola Yang Baik (Good Governance)

Pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah Aceh dan Nias-Sumatra Utara, harus
dilandasi prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik (good governance) yang
meliputi transparansi, akuntabilitas, partisipatif, independensi dan mendahulukan
kepentingan umum. Penerapan prinsip-prinsip tersebut, untuk menjaga kredibilitas di
mata rakyat Indonesia dan dunia internasional, dan khususnya untuk memastikan
bahwa pembiayaan dan pelaksanaan kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi tepat
sasaran sesuai dengan tujuan yang ditetapkan, dan dapat dipertanggungjawabkan
kepada publik. Pelaksanaan prinsip-prinsip Good Governance juga berlaku untuk
seluruh pihak-pihak terkait, dalam pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi.
10.3. Hubungan Antar Lembaga
Pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh dan Nias-Sumut dikhawatirkan
menimbulkan kompleksitas hubungan antar lembaga, mengingat cakupan kegiatannya
dimobilisasi secara masif dan cepat. Untuk itu diperlukan pengaturan hubungan antar
lembaga agar proses pelaksanaannya tetap dapat terkoordinasi secara baik sesuai
dengan lingkup tugas dan wewenang yang ada pada masing-masing lembaga/instansi
terkait. Beberapa hal yang diatur antara lain sebagai berikut:
(1)

Pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah Aceh dan Nias-Sumatera Utara


harus dilakukan melalui koordinasi yang intensif dengan Pemerintah Pusat,
Pemerintah Daerah dan pihak-pihak yang terkait.
(2) Kegiatan dekonsentrasi oleh Departemen dan Kementrian Teknis yang terkait
dengan kegiatan dan program rehabilitasi dan rekonstruksi di wilayah pasca
bencana dikoordinasikan dengan badan pelaksana yang menangani pelaksanaan
rehabilitasi dan rekonstruksi.
(3) Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan pihak-pihak yang terkait diwajibkan
memberikan dukungan secara penuh kepada badan pelaksana yang menangani
rehabilitasi dan rekonstruksi.

10 - 3

10.4. Pendanaan
Pendanaan yang dibutuhkan untuk pembiayaan pelaksanaan rehabilitasi dan
rekonstruksi berasal dari berbagai sumber, baik dari dalam negeri maupun luar negeri.
Dari dalam negeri seperti dana khusus untuk rehabilitasi dan dana perimbangan,
sedangkan dari luar negeri seperti dari pinjaman luar negeri, hibah dan moratorium.
Mengingat sifat urgensi dari kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi, proses penyaluran
dana-dana di atas dapat menggunakan prosedur khusus yang diatur lebih lanjut dengan
Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan dan Pimpinan Badan Pelaksana.
10.5. Pertanggungjawaban dan Pelaporan
Badan rehabilitasi dan rekonstruksi menyampaikan laporan pertanggungjawaban
kepada Presiden dan dilaksanakan dengan cara menerbitkan berbagai laporan dalam
bentuk laporan semesteran, tahunan dan laporan akhir, serta menyediakan informasi
laporan pertanggungjawaban kepada publik. Laporan tersebut sekurang-kurangnya
memuat laporan pengelolaan kegiatan dan laporan pengelolaan keuangan dan
anggaran.
Laporan keuangan badan rehabilitasi dan rekonstruksi diaudit oleh auditor
independen. Laporan Keuangan dan Laporan Kegiatan, beserta laporan auditnya dapat
diakses oleh masyarakat luas.

10 - 4

STRUKTUR ORGANISASI
BADAN REHABILlTASI DAN REKONSTRUKSI WILAYAH DAN
KEHIDUPAN MASYARAKAT PROVINSI NANGGROE ACEH
DARUSSALAM DAN KEPULAUAN NIAS, PROVINSI
SUMATERAUTARA

PRESIDEN
DPR/DPD/DPRD
(NAD/SUMUT)
RENCANA INDUK

Dewan Pengawas

Badan Pelaksana
Rehabilitasi dan
rekonstruksi Wilayah
dan Kehidupan
Masyarakat provinsi
Nanggroe Aceh
Darussalam dan
A
Kepulauan
Nias,
Sumatera Utara

IMPLEMENTASI

10 - 5

Dewan Pengarah

Bab 11
Penutup
Buku Utama Rencana Induk ini disusun bersama-sama dan dilengkapi dengan
Buku Rencana berdasarkan bidang-bidang rehabilitasi dan rekonstruksi. Bukubuku rencana bidang tersebut dilampirkan bersama-sama serta merupakan
bagian utuh yang tidak terpisahkan dari Buku Utama ini.
Pelaksanaan Rencana Induk Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah Aceh dan
Nias ini dapat menghadapi potensi tantangan serta perlunya pengelolaan masa
peralihan dari waktu ditetapkannya rencana ini sampai efektifnya tugas dan
fungsi Badan Pelaksana.
Setelah rencana induk ini ditetapkan secara resmi oleh Presiden Republik
Indonesia sebagai pedoman kebijakan pemerintah dalam penyelenggaraan
Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah Aceh dan Nias, selanjutnya buku ini
akan menjadi pegangan dan acuan bagi Badan Pelaksana (BAPEL) Rehabilitasi
dan Rekonstruksi Wilayah Aceh dan Nias, Sumatera Utara, khususnya Badan
Pelaksana Harian yang selanjutnya akan menjabarkan kebijakan, strategi, dan
rencana-rencana yang ada ke dalam rencana aksi dan kegiatan-kegiatan rinci,
sesuai dengan periode waktu yang ditetapkan.

Anda mungkin juga menyukai