Anda di halaman 1dari 2

KORUPSI DALAM PANDANGAN ISLAM

Indonesia merupakan Negara dengan mayoritas muslim terbesar di dunia. Hal ini
harusnya sejalan dengan terciptanya kondisi hukum yang baik, termasuk dalam proses
pemberantasan korupsi. Namun pada kenyataannya tidak demikian. Menurut lembaga survey
internasional Political and Economic Risk Consultancy,Indonesia merupakan negeri terkorup
diantara 12 negara di Asia.
Tindak korupsi tentu sangat merugikan rakyat. Dana dari penggelapan pajak, kebocoran
APBN, maupun penggelapan hasil sumberdaya alam, menguap masuk ke kantong para koruptor.
Di samping itu, korupsi yang biasanya diiringi dengan kolusi, juga membuat keputusan yang
diambil oleh pejabat negara menjadi tidak optimal.
Karena mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim penting untuk mengetahui postulat
hukum Islam kaitannya dengan korupsi dan bagaimana perspektif dan kontribusinya terutama
terhadap kasus korupsi yang ada di Indonesia. Tindak korupsi tentu termasuk hal yang harus
diperangi Islam karena dapat menimbulkan masalah besar. Dengan kata lain, Islam harus ikut
pula bertanggungjawab memikirkan dan memberikan solusi terhadap prilaku korupsi yang sudah
menjadi epidemis ini. Tentunya Islam tidak bisa berbicara sendiri, harus ada usaha-usaha untuk
menyuarakan konsep-konsep Islam.
Kata korupsi memang tidak ditemukan dalam khasanah hukum Islam, tetapi substansi
atau persamaannya bisa dicari dan ditelusuri dalam hukum Islam. Analogi tindakan korupsi bisa
ke arah Ghulul(berupa tindakan penggelapan yang dilakukan seseorang untuk memperkaya diri
sendiri), Risywah(segala sesuatu yang diberikan oleh seseorang kepada seorang hakim atau yang
bukan hakim agar ia memutuskan suatu perkara untuk kepentingannya atau agar ia mengikuti
kemauannya), Suht(sesuatu yang terlarang, yang tidak halal dilakukan karena akan merusak atau
menghilangkan keberkahan), danSariqoh(mencuri).
Itu berarti, jika seseorang untuk mengerjakan sesuatu pekerjaan telah dibayar maka
apapun selain itu bukan menjadi haknya dan haram mengambilnya. Begitu juga, jika dia
memanfaatkan harta perusahaan atau negara untuk kepentingan pribadinya, dalam hal ini ia telah
mengambil sesuatu yang bukan haknya secara bathil dan haram hukumnya.

Adapun hadis mengenai pelarangan suap adalah:

: :
()
Dari Abdullah ibn Amru berkata: Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda: Allah melaknat
orang yang menyuap dan yang menerima suap. (H.R. Ibnu Hibban)
)

(
Dari Abu Hurairah ra. Berkata: Rasulullah melaknat orang yang menyuap dan yang menerima
suap dalam hukum. (H.R. Turmuzi)
Adapun dalam pidana korupsi, sanksi yang diterapkan bervariasi sesuai dengan tingkat
kejahatannya. Mengapa bervariasi? Karena tidak adanya nash qathi(penentuan berdasarkan
sumber hukum yang mutlak yaitu Al-Quran dan sunnah) yang berkaitan dengan tindak kejahatan
yang satu ini. Artinya sanksi syariat yang mengatur hal ini bukanlah merupakan paket jadi dari
Allah swt yang siap pakai. Sanksi dalam perkara ini termasuk sanksi tazir, di mana seorang
hakim (imam/pemimpin) diberi otoritas penuh untuk memilihtentunya sesuai dengan
ketentuan syariatbentuk sanksi tertentu yang efektif dan sesuai dengan kondisi ruang dan
waktu, di mana kejahatan tersebut dilakukan.
Kalau kita melihat dari tujuan utama syariat Islam (maqashid al-syariah), yaitumenjaga
dan melindungi kemanusiaan yang telah dirumuskan oleh para ulama dalam 5 tujuan (almaqashid al-khamsah), yakni perlindungan terhadap agama (hifzh al-din), perlindungan terhadap
jiwa (hifzh al-nafs), perlindungan terhadap akal (hifzh al-aql), perlindungan terhadap keturunan
(hifzh al-nasl), dan perlindungan terhadap harta (hifzh al-mal).Tindakan korupsi jelas merupakan
perlawanan terhadap tujuan kelima; hifzh al-mal. Apabila dalam kepustakaan hukum Islam,
contoh populer perbuatan melawan tujuan hifdh al-mal ini adalah kejahatan mencuri (al-sariqah)
milik perorangan, maka korupsi sebagai kejahatan mencuri harta milik bangsa dan negara lebih
layak lagi untuk dicatat sebagai pelanggaran yang sangat serius terhadap prinsip hifzh al-mal.
Korupsi bukanlah pencurian biasa dengan dampaknya yang bersifat personal-individual,
melainkan ia merupakan bentuk pencurian besar dengan dampaknya yang bersifat massalkomunal. Bahkan ketika korupsi sudah merajalela dalam suatu negara sehingga negara itu nyaris
bangkrut dan tak berdaya dalam menyejahterakan kehidupan rakyatnya, tidak mampu
menyelamatkan mereka dari ancaman gizi buruk dan busung lapar yang mendera, maka korupsi
lebih jauh dapat dianggap sebagai ancaman bagi tujuan syariat dalam melindungi jiwa manusia
(hifzh al-nafs).
Dari uraian mengenai korupsi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa Islam telah
melarang tindakan korupsi baik berbentuk ghulul, suap, maupun yang lainnya. Walaupun tidak
terdapat sanksi dalam bentuk nash qathi mengenai hukuman bagi koruptor, bukan berarti tidak
adanya sanksi bagi pelaku korupsi. Adapun pelaku yang melalukan korupsi dapat dihukum tazir
sesuai dengan tingkat kejahatannya.

Anda mungkin juga menyukai