SEKULER Vs ISLAM
Materi Diskusi Mikro Ekonomi Islam
Dosen Pengampu
Disusun Oleh :
(931304413)
JURUSAN SYARIAH
PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KEDIRI
2015
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Mencari laba merupakan salah satu tujuan aktivitas bisnis. Laba dapat menjadi
motivator pengusaha melakukan usaha. Namun terdapat perbedaan pandangan antara Sistem
Ekonomi Konvensional dengan Sistem Ekonomi Islam dalam memandang laba. Pandangan
terhadap masalah laba dari kedua sistem ekonomi ini, tergantung pada pendekatan yang
digunakan. Teori konvensional biasanya menggunakan Pendekatan Impersonal dalam
keterkaitannya dengan masalah distribusi. Pendekatan ini terutama berlandaskan pada
kekuatan-kekuatan pasar,
BAB II
PEMBAHASAN
A. Maksimalisasi Laba dalam Pandangan Sekuler
Dalam pandangan ekonomi sekuler, maksimalisasi laba sebagai kondisi
rasional yang tidak berhubungan dengan kesejahteraan. Dorongan untuk pengayaan
diri dengan penggandaan penjualan menjadikan kompetisi di antara para pembisnis.
Setelah kompetisi terganggu logika maksimalisasi laba cenderung beroperasi dalam
arah berlawanan (tidak beretika). Hal ini digambarkan pada grafik dibawah ini:
Price P
MR
P0
MC
P1
AC
T
AR
0
Q0
Q1
q output
Dari grafik di atas terlihat bahwa rata-rata penerimaan sama dengan biaya
rata-rata (titik P0, laba normal). Setelah perusahaan ingin melakukan maksimalisasi
keuntungan dengan faktor produksi yang sama, sehingga terjadi harga komoditas
lebih besar daripada biaya marginal produksi P0q0 > Tq0. Ini menunjukkan bahwa (1)
faktor pekerja yang dikerjakan tidak dibayar dengan nilai penuh dari hasil produksi
fisik marginal (dieksploitasi) (2) para pelanggan/ konsumen ditolak, perolehan suatu
penurunan dalam harga sama dengan biaya marginal di titik P1, dan surplus mereka
dikurangi, dan (3) pemanfaatan fasilitas kurang dari optimal-produksi sosial tidak
dimaksimalisasikan (Oq0 < Oq1).
B. Posisi Laba Secara Islami
Di dalam Islam penentuan posisi laba dan perilaku rasional dalam
maksimalisasi laba pada dasarnya dikondisikan oleh tiga faktor, yaitu:
1.
(produksi). Para ahli hukum Islam menngklasifikasi bisnis sebagai fardhu kifayah,
karena di dalamnya terdapat kewajiban sosial. Jika sekelompok orang sudah
berkecimpung dalam memproduksi barang-barang dalam jumlah yang mencukupi
masyarakat, maka kewajiban keseluruan masyarakat sudah terpenuhi dan
sebaliknya jika tidak mencukupi kebutuhan masyarakat maka akan diminta
pertanggungjawabannya di akhirat.1 Bisnis dalam kajian konvensional hanya
dalam rangka pengendalian pasar, namun bisnis Islam berupaya menemukan nilai
ibadah yang berdampak pada konsep perwujudan rahmatan lil alamin, untuk
mendapatkan ridha Allah. Oleh karena itu, sasaran keuntungan, keridhoan
konsumen harus dibingkai dengan ridha Allah. Daromi (2002) konsep ini
diformulasikan sebagai berikut: G = f (p, s,...) R
2. Perlindungan Kepada Konsumen
Untuk melindungi konsumen dari tindakan eksploitasi, syariah Islam
memberikan sejumlah kewajiban bagi penjual sehubungan dengan takaran,
kualitas, harga dan informasi. Perlindungan konsumen merupakan tindakan yang
berhubungan atas berbagai kemungkinan penyalahgunaan kelemahan yang
dimiliki oleh konsumen. Perlindungan konsumen yang berhubungan dengan
tindakan pratransaksi, meliputi:
a) Perlindungan dari Pemalsuan dan Informasi Tidak Benar
Salah satu tujuan promosi atau iklan adalah agar barang dagangan
tersebut laku atau menarik pembeli untuk membelinya. Dalam fiqih Islam
istilah promosi atau iklan yang tidak jujur yaitu al-ghurur. Al-ghurur
adalah usaha membawa dan menggiring seseorang dengan cara yang tidak
benar untuk menerima suatu hal yang tidak memberi keuntungan disertai
dengan rayuan bahwa hal itu menguntungkannya, sedangkan sekiranya ia
mengetahui hakikat ajakan tersebut, maka ia tidak akan menerimanya.
Dalam Islam jika terdapat Al-ghurur (ketidaksesuaian antara promosi
dengan sifat barang) maka konsumen akan mempunyai hak khiyar tadlis,
khiyar aib, dan khiyar ruyah.
b) Perlindungan terhadap Hak Pilih dan Nilai Tukar Tidak Wajar
1
Adiwarman A. Karim, Ekonomi Mikro Islam (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), 102
Dalam perlindungan hak pilih dan nilai tukar tidak wajar, fiqih
Islam menawarkan banyak solusi, di antaranya: pelarangan praktek
ribawi, pelarangan monopoli dan persaingan tidak sehat, pemberlakuan
tasir, pemberlakuan khiyar al-ghubun al- fahisy, pemberlakuan khiyar almurtarsil, pelarangan jual beli an-Najasy, pelarangan jual beli Talaqi
Rukban dan jual beli al-hadhir li bad.
c) Perlindungan terhadap Keamanan Produk dan Lingkungan Sehat
Berdasarkan Hadist Nabi SAW Tidaklah halal bagi seseorang
yang menjual suatu barang, kecuali apabila ia menjelaskan kualifikasi
barang tersebut. Dan tidak halal bagi orang yang mengetahui hal tersebut
kecuali apabila ia terangkan hakikatnya (HR. Ahmad dari Wasilah).
Sebagai penjual diwajibkan memberitahukan mutu dan cacat barang yang
tersembunyi, namun juga wajib adanya pemberitahuan tentang risikorisiko pemakain suatu produk. Dengan demikian, dapat disimpulkan
bahwa kerugian jiwa atau materil yang menimpa konsumen sebagai akibat
buruk dari produk pelaku usaha harus ditanggung oleh pelaku usaha
sesuai prinsip ganti rugi (dhaman).
Islam sangat mendambakan dan melindungi lingkungan yang sehat
dan aman bagi seseorang, hal ini dapat dilihat dengan adanya
pemberlakuan hukum yang berkaitan dengan huquq al-irtifaq dan syufah.
d) Perlindungan dari Pemakaian Alat Ukur Tidak Tepat
Maksud alat ukur tidak tepat di sini adalah ketidak sesuain antara
sifat dan kualifikasi barang yang di minta dengan yang diserahkan dari
segala segi, mulai dari ukuran berat isi, kandungan isi, dan semua yang
tertulis dalam label atau yang dijanjikan oleh penjual. Dalam
pemerintahan Islam, perlindungan dari pemakaian alat ukur tidak tepat
adalah al-hisbah. Al-Quran juga melaknat hal demikian berdasarkan
(QS.Al-Muthaffifin 1-3): Celakalah orang-orang yang berbuat curang
yaitu orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain, mereka
meminta dipenuhi. Dan apabila mereka menimbang untuk orang lain,
mereka merugikan.
4
Rozalinda, Ekonomi Islam Teori dan Aplikasinya pada Aktivitas Ekonomi (Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2014), 191
patokan harga diambil dari harga terendah pada hari terjadinya transaksi.
Sedangkan Ibnu Abidin menyatakan bahwa patokan harga sesuai dengan
waktu dan tempat transaksi, namun apabila mata uang yang berlaku ketika
akad tidak berlaku lagi pada saat ganti rugi, maka yang dituntut nilainya
(al-qimah) bukan barang semisal.
3. Bagi Hasil di antara Faktor yang Mendukung (Penghargaan Kepada Faktor
Produksi)
Teori ekonomi sekuler memenuhi salah satu kegagalan utamanya dalam hal
menunjukkan bagaimana nilai produk suatu perusahaan dapat dibagi secara adil di
antara faktor produksi. Bagi hasil antara tenaga kerja dan modal akan menjadi
petunjuk yang baik dari organisasi pada masa-masa mendatang. Sebab potensinya
adalah untuk meningkatkan efisiensi, keadilan, stabilitas, dan pertumbuhan. Namun,
hal ini bergantung pada umat Islam sendiri apakah mereka akan menanggapi pesan
agama dan memasukkan mekanisme bagi hasil menjadi mekanisme maksimalisasi
laba yang dapat bebas dari eksploitasi, mengecewakan dan menyusahkan.
C. Maksimaliasi Laba dan Efek Sosialnya
1. Maksimalisasi Laba
Di dalam kompetisi monopolistik, maksimalisasi laba yang bertujuan
untuk memberikan harga komoditas paling rendah, volume hasil yang lebih
besar, dan keuntungan neto yang besar. Maksimalisasi laba Islam dan sekuler
dapat dibandingkan sebagai berikut:
a) Minimalisasi Biaya untuk Memproduksi Jumlah yang sama antara Sekuler
(bunga) dan Islam (bagi hasil)
Kurva biaya total yang membandingkan antara biaya total pada sistem
bunga dan biaya total pada sistem bagi hasil, dapat diketahui bahwa biaya total
pada sistem bunga akan lebih tinggi daripada biaya total pada sistem bagi
hasil. Secara grafis baiaya total pada sistem bunga akan digambarkan dengan
kurva TC , dan biaya total pada sistem bagi hasil dengan kurva Tc. Pada
sumbu X yang menggambarkan tingkat produksi sama (Q). Kemudian ditarik
garis vertikal ke atas sampai memotong kurva TC dan TC . Dari perpotongan
tersebut kita tarik garis horizontal ke sumbu Y, ternyata pada tingkat produksi
yang sama, biaya total sistem bagi hasil lebih kecil dibandingkan biaya total
pada sistem bunga. Sehingga, produksi dengan sistem bagi hasil lebih efisien
dibandingkan dengan sistem bunga.
Rp
Tc
Tc
Fc
Rp
TC
FC
Q
0
Qi
c) Skala Ekonomi
Dalam melakukan analisis ini, digunakan kurva penerimaan total (TR)
yang membandingkan antara penerimaan total sistem bagi hasil (TRrs) dan
penerimaan total sistem bunga (TRi). Penerimaan total pada sistem bagi
7
hasil akan berputar searah jarum jam, sementara penerimaan total pada
sistem bunga akan tetap pada tempatnya. Untuk melakukan analisis terhadap
skala ekonomi, kita tarik titik mana saja pada sumbu Y sebagai titik yang
menggambarkan penerimaan total yang sama (TR), kemudian ditarik garis
horizontal yang memotong kurva TRrs dan kurva TRi. Dari perpotongan
tersebut, kita tarik garis vertikal ke bawah sampai sumbu X. Ternyata
berdasarkan analisis grafis terlihat bahwa pada penerimaan total yang sama,
jumlah produksi pada sistem bagi hasil lebih besar, daripada jumlah
produksi sistem bunga. Sehingga, pada sistem bagi hasil bukan saja lebih
efisien namun juga mampu mendorong produsen untuk berproduksi pada
skala yang lebih besar.3
TR
RP
TRs
TC
TR
FC
Q
0
Qi
Qrs
2. Efek Sosial
Perusahaan Islam beroperasi dengan menggunakan mekanisme bagi
hasil. Dalam kerangka bagi hasil, maka akan terjadi pembagian hasil dan
risiko. Penghapusan mekanisme bunga dalam organisasi kerangka Islam,
akan melakukan penyebaran risiko atas investasi keseluruhan secara adil.
Dengan demikian terlihat, bahwa maksimalisasi laba akan memberikan
suasana partisipasi bagi semua agen produksi dan akan mendorong mereka
bekerja sama secara timbal balik. Hubungan antara profit dengan risiko
dalam praktek perusahaan Islam, dapat digambarkan sebagai berikut:
Nur Rianto, Teori Mikro Ekonomi Suatu Perbandingan Ekonomi Islam dan Ekonomi Konvensional (Jakarta:
Kencana, 2010), 210.
Kombinasi
Risiko laba
yang dapat
dicapai
B1
I1
I2
T1
T2
A
B
P1
P2
Muhammad, Ekonomi Mikro dalam Perspektif Islam (Yogyakarta: BPFE Yogyakarta, 2005), 276.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Maksimalisasi Laba dalam Pandangan Sekuler sebagai kondisi rasional yang tidak
berhubungan dengan kesejahteraan. Dorongan untuk pengayaan diri dengan penggandaan
penjualan menjadikan kompetisi di antara para pembisnis. Setelah kompetisi terganggu
logika maksimalisasi laba cenderung beroperasi dalam arah berlawanan (tidak beretika).
Di dalam Islam penentuan posisi laba dan perilaku rasional dalam maksimalisasi laba
pada dasarnya dikondisikan oleh tiga faktor, yaitu: Pandangan Bisnis adalah Suatu Fardhu
Kifayah, perlindungan kepada konsumen dan bagi hasil di antara faktor yang mendukung.
Maksimaliasi Laba dan Efek Sosialnya di dalam kompetisi monopolistik,
maksimalisasi laba yang bertujuan untuk memberikan harga komoditas paling rendah,
volume hasil yang lebih besar, dan keuntungan neto yang besar. Maksimalisasi laba Islam
dan sekuler dapat dibandingkan sebagai berikut: Minimalisasi Biaya untuk Memproduksi
Jumlah yang sama antara Sekuler (bunga) dan Islam (bagi hasil), Maksimalisasi Produksi
dengan Jumlah Biaya Sama dan Efek Sosial
10
DAFTAR PUSTAKA
A. Karim, Adiwarman. Ekonomi Mikro Islam. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2010.
Muhammad. Ekonomi Mikro dalam Perspektif Islam. Yogyakarta: BPFE, 2004.
Rianto, Nur. Teori MikroEkonomi Suatu Perbandingan Ekonomi Islam dan Ekonomi
Konvensional. Jakarta: Kencana, 2010.
Rozalinda. Ekonomi Islam Teori dan Aplikasinya pada Aktivitas Ekonomi. Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2014.
11