Anda di halaman 1dari 6

Pembentukan Lahan Gambut

Gambut terbentuk dari timbunan sisa-sisa tanaman yang telah mati, baik yang
sudah lapuk maupun belum. Timbunan terus bertambah karena proses
dekomposisi terhambat oleh kondisi anaerob dan/atau kondisi lingkungan lainnya
yang menyebabkan rendahnya tingkat perkembangan biota pengurai.
Pembentukan tanah gambut merupakan proses geogenik yaitu pembentukan
tanah yang disebabkan oleh proses deposisi dan tranportasi, berbeda dengan
proses pembentukan tanah mineral yang pada umumnya merupakan proses
pedogenik
(Hardjowigeno,
1986).
Proses pembentukan gambut dimulai dari adanya danau dangkal yang secara
perlahan ditumbuhi oleh tanaman air dan vegetasi lahan basah. Tanaman yang
mati dan melapuk secara bertahap membentuk lapisan yang kemudian menjadi
lapisan transisi antara lapisan gambut dengan substratum (lapisan di bawahnya)
berupa tanah mineral. Tanaman berikutnya tumbuh pada bagian yang lebih
tengah dari danau dangkal ini dan secara membentuk lapisan-lapisan gambut
sehingga danau tersebut menjadi penuh (Gambar 1a dan 1b).
Bagian gambut yang tumbuh mengisi danau dangkal tersebut disebut dengan
gambut topogen karena proses pembentukannya disebabkan oleh topograf
daerah cekungan. Gambut topogen biasanya relatif subur (eutrofk) karena
adanya pengaruh tanah mineral. Bahkan pada waktu tertentu, misalnya jika ada
banjir besar, terjadi pengkayaan mineral yang menambah kesuburan gambut
tersebut. Tanaman tertentu masih dapat tumbuh subur di atas gambut topogen.
Hasil pelapukannya membentuk lapisan gambut baru yang lama kelamaan
memberntuk kubah (dome) gambut
yang permukaannya cembung (Gambar
1c). Gambut yang tumbuh di atas
gambut
topogen
dikenal
dengan
gambut
ombrogen,
yang
pembentukannya ditentukan oleh air
hujan. Gambut ombrogen lebih rendah
kesuburannya dibandingkan dengan
gambut topogen karena hampir tidak
ada pengkayaan mineral.

Gambar 1. Proses pembentukan gambut

Klasifikasi Gambut
Secara umum dalam klasifkasi tanah, tanah gambut dikenal sebagai Organosol
atau Histosols yaitu tanah yang memiliki lapisan bahan organik dengan berat

jenis (BD) dalam keadaan lembab < 0,1 g cm-3 dengan tebal > 60 cm atau
lapisan organik dengan BD > 0,1 g cm-3 dengan tebal > 40 cm (Soil Survey
Staff, 2003).
Gambut diklasifkasikan lagi berdasarkan berbagai sudut pandang yang berbeda;
dari tingkat kematangan, kedalaman, kesuburan dan posisi pembentukannya.
Berdasarkan tingkat kematangannya, gambut dibedakan menjadi:

Gambut saprik (matang) adalah gambut yang sudah melapuk lanjut dan
bahan asalnya tidak dikenali, berwarna coklat tua sampai hitam, dan bila
diremas kandungan seratnya < 15%.

Gambut hemik (setengah matang) (Gambar 2, bawah) adalah gambut


setengah lapuk, sebagian bahan asalnya masih bisa dikenali, berwarma
coklat, dan bila diremas bahan seratnya 15 75%.

Gambut fbrik (mentah) (Gambar 2, atas) adalah gambut yang belum


melapuk, bahan asalnya masih bisa dikenali, berwarna coklat, dan bila
diremas >75% seratnya masih tersisa.

Berdasarkan tingkat kesuburannya, gambut dibedakan menjadi:

Gambut eutrofk adalah gambut yang subur yang kaya akan bahan
mineral dan basa-basa serta unsur hara lainnya. Gambut yang relatif
subur biasanya adalah gambut yang tipis dan dipengaruhi oleh sedimen
sungai atau laut.

Gambut mesotrofk adalah gambut yang agak subur karena memiliki


kandungan mineral dan basa-basa sedang

Gambut oligotrofk adalah gambut yang tidak subur karena miskin mineral
dan basa-basa. Bagian kubah gambut dan gambut tebal yang jauh dari
pengaruh lumpur sungai biasanya tergolong gambut oligotrofk

Gambut di Indonesia sebagian besar tergolong gambut mesotrofk dan oligotrofk


(Radjagukguk, 1997). Gambut eutrofk di Indonesia hanya sedikit dan umumnya
tersebar di daerah pantai dan di sepanjang jalur aliran sungai. Tingkat kesuburan
gambut ditentukan oleh kandungan bahan mineral dan basa-basa, bahan
substratum/dasar gambut dan ketebalan lapisan gambut. Gambut di Sumatra
relatif lebih subur dibandingkan dengan gambut di Kalimantan.
Berdasarkan lingkungan pembentukannya, gambut dibedakan atas:

Gambut ombrogen yaitu gambut yang terbentuk pada lingkungan yang


hanya dipengaruhi oleh air hujan

Gambut topogen yaitu gambut yang terbentuk di lingkungan yang


mendapat pengayaan air pasang. Dengan demikian gambut topogen akan
lebih kaya mineral dan lebih subur dibandingkan dengan gambut
ombrogen.

Berdasarkan kedalamannya gambut dibedakan menjadi:

Gambut dangkal (50 100 cm),

Gambut sedang (100 200 cm),

Gambut dalam (200 300 cm), dan

Gambut sangat dalam (> 300 cm)

Berdasarkan proses dan lokasi pembentukannya, gambut dibagi menjadi:

Gambut pantai adalah gambut yang terbentuk dekat pantai laut dan
mendapat pengayaan mineral dari air laut

Gambut pedalaman adalah gambut yang terbentuk di daerah yang tidak


dipengaruhi oleh pasang surut air laut tetapi hanya oleh air hujan

Gambut transisi adalah gambut yang terbentuk di antara kedua wilayah


tersebut, yang secara tidak langsung dipengaruhi oleh air pasang laut.

Pembentukan Tanah Gambut Di Indonesia


Pembentukan tanah gambut di Indonesia dimulai kira-kira semenjak 5.000 tahun
yang lalu pada waktu terjadi trangresi laut akibat mencairnya es di daerah kutub.
Karena naiknya permukaan air laut maka daerah-daerah dataran di sekitar
pantai Sumatera, Kalimantan, Irian Jaya dan lain-lain menjadi rawa-rawa atau
naik permukaan air tanahnya. Di daerah yang sangat berdekatan dengan pantai
umumnya terdiri dari tanah mineral dengan salinitas tinggi dan kematangan
rendah (n-value > 1.4) dan makin jauh dari pantai (shore plain) kematangan
tanah meningkat (n-value < 1.4), tetapi salinitas masih tetap tinggi. Daerah
pinggir sungai (levee) juga terdiri dari tanah mineral yang matang dengan
salinitas rendah. Akumulasi gambut biasanya dimulai di daerah backswamp di
mana mulai di daerah ini belum cukup tebal, tetapi makin ke daerah pedalaman
yaitu ke daerah depresi, tebal gambut makin meningkat dan terbentuklah tanah
gambut yang sangat tebal.
Bahan penyusun gambut berasal dari tumbuhan (terutama bagian kayu)
setempat atau yang ada di sekelilingnya. Bila lingkungan tidak terusik (alami
atau buatan), dan masih adanya sumber pembentuk gambut serta peningkatan
muka air di musim hujan, maka timbunan gambut akan terus berkembang
membentuk gumuk (dome) gambut di posisi rawa tengahan (backswamp).
Gambut bersifat hidroflik (suka air/dapat menyerap air) dan proses pematangan

gambut berlangsung secara evolusi, tergantung dari kestabilan muka air


genangan. Gumuk gambut berfungsi sebagai tandon air (upper catchment),
bersifat seperti paru-paru. Menyimpan air di musim hujan dan melepaskan air
secara perlahan pada musim kemarau melalui aliran lateral bawah permukaan
tanah atau celah alami (creek).
Diemont (1986) merangkum pemikiran Polak (1933), Andeson (1964), Andriesse
(1974) dan Driessen (1978) tentang tahapan-tahapan terjadinya gambut di
Indonesia sebagai berikut:
1. Permukaan laut berada dalam kondisi stabil 5000 tahun lalu.
2. Beberapa abad kemudian terjadi dengan cepat deposisi sedimen pantai
yang menyebabkan terjadinya daratan pantai yang luas di beberapa
daerah pantai Timur Sumatera, Borneo dan Irian Jaya. Beberapa daratan
itu tertutup oleh komunitas hutan mangrove.
3. Komunitas mangrove itu membuat daerah menjadi stabil dan
mengakibatkan terjadinya perluasan tanah-tanah yang akhirnya
membentuk daerah mangrove dan lagoon yang mampu mengurangi kadar
garam serta meningkatkan daerah dengan air yang segar (freshwater)
yang mengakibatkan terjadinya hutan gambut tropika atau danau berair
segar.
4. Danau berair segar itu secara bertahap menampung bahan organik yang
dihasilkan oleh tumbuhan, berkembang menjadi hutan gambut tropika
yang dipengaruhi oleh air tanah gambut (groundwater peat).
Pembentukan gambut semacam ini dikenal sebagai gambut topogen yaitu
terbentuk berdasarkan kondisi topograf dan geomorphologi.
5. Di atas gambut topogen itu terbentuklah hutan gambut ombrotrophic.
Fuchsman (1980), memberikan uraian proses pembentukan gambut sebagai
berikut:
1. Tumbuhan yang hidup, sebagai bahan pembentuk gambut, mengandung
protein, karbohidrat, lipid dan polyfenol seperti lignin. Dalam jumlah kecil,
terdapat asam nukleat, pigmen, alkoloid, vitamin-vitamin dan bahan
organik lain maupun anorganik.
2. Bahan-bahan ini sifatnya khusus tergantung spesies tumbuhan, jaringan
tumbuhan, dan bagian tumbuhan. Beberapa komponen bahan ini sifatnya
tidak larut air, misalnya selulosa. Sedangkan senyawa karbohidrat seperti
gula, mudah larut air, dan pada saat tumbuhan hidup karbohidrat
dipergunakan tanaman untuk membentuk selulosa, menghasilkan energi
untuk oksidasi atau disimpan sebagai cadangan dalam bentuk pati.
Apabila tumbuhan mati, gula ini secara cepat larut dalam air dan langsung
menjadi bahan metabolisme mikroba. Pati juga mengalami peristiwa yang
sama, segera larut dan dirubah menjadi gula melalui proses enzimasi
pada tumbuhan yang mati atau oleh mikroba.

3. Hemiselulosa, pektin, dan getah-getahan lebih lambat dihancurkan dan


lebih bertahan dalam jumlah bervariasi sebagai penyusun gambut
bersama-sama dengan selulosa.
4. Protein tanaman dalam jumlah besar dimanfaatkan oleh mikroba.
Sejumlah nitrogen dalam protein memang hilang, diduga dalam bentuk
garam amonium yang tercuci oleh residu yang tidak larut. Protein dalam
bentuk asam amino atau turunannya menjadi bahan penyusun atau
merupakan bagian dari asam humat gambut.
5. Asam amino pada asam humat dapat diisolasi dan diidentifkasi melalui
chromatograf setelah dihidrolisis menggunakan asam hidroklorat.
6. Berbagai lipid dari tumbuhan hidup terhadap dalam bentuk tak larut
dalam air. Termasuk di dalamnya lemak, minyak tumbuhan, asam lemak
bebas, getah-getah tumbuhan, steroid dan terpenten.

Pembentukan Lignit
Golongan ini sudah memperlihatkan proses selanjutnya berupa struktur kekar
dan gejala pelapisan. Apabila dikeringkan, maka gas dan airnya akan keluar.
Endapan ini bisa dimanfaatkan secara terbatas untuk kepentingan yang bersifat
sederhana, karena panas yang dikeluarkan sangat rendah. Lignit atau batu bara
coklat adalah batu bara yang sangat lunak yang mengandung air 35-75% dari
beratnya. . Batu bara ini berwarna hitam, sangat rapuh, nilai kalor rendah
dengan kandungan karbon yang sangat sedikit, kandungan abu dan sulfur yang
banyak. Batu bara jenis ini dijual secara eksklusif sebagai bahan bakar untuk
pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).
Prose pembentukan gambut berlangsung tanpa menutupi endapan gambut
tersebut dawah kondisi yang asam, dengan dibebaskanya H2O, CH4,dan sedikit
CO2. Terbentuklah material dengan rumus kimia C65H2O30 atau ulmin yang
dalam keadaan kering akan mengnadung karbon 61,7% hydrogen 0,3% dan
oksigen 38%.
Dengan berubahnya tofograf daerah diselilinganya, gambut menjadi terkubur
di bawah lapisan lanau (silt) dan pasir yang dinedapkan oleh sungai dan rawa.
Semakin dalam terkubur, semakin bertambah timbunan sedimen yang
menghimpitnya sehinggga tekanan pada lapisan gambut bertambah serta suhu
naik dengan jelas. Tahap ini merupakan tahapan kedua dari prosesm
pembentukan batubara atau yang disebut tahap metamorfk.
Penutupan rawa gambut memberikan kesempatan bada bakteri untuk aktif
dan penguraian pada kondisi basa yang menyebabkanya CO2, dioksigenasi dari
ulmin, sehinggga kandungan hydrogen dan karbon bertambah. Tahap kedua dari

pembentukan batubara ini adlah pembentuakan lignit, yaitu batubra rank rendah
yang mempunyai rumus perkiraan C79H5,5O14,1. Dalam kering, lignit
mengandung karbon 80,4% dan oksigen 19,1%.

http://planetcopas.blogspot.com/2013/10/proses-pembentukan-tanah-lahangambut.html
http://valkauts.wordpress.com/2013/01/11/proses-pembentukan-gambut-diindonesia/
http://achmadkimia.blogspot.com/2009/08/bab-1-pendahuluan-1.html
http://angghajuner.blogspot.com/2010/10/proses-pembentukan-endapanbatubara.html

Anda mungkin juga menyukai