Anda di halaman 1dari 12

PENDAHULUAN

Reaksi yang berkepanjangan biasanya terjadi menyusul peristiwa traumatik yang


extreme, yang bersifat katastrofik dan menakutkan, yang menimbulkan distress pada hampir
setiap orang. Dalam satu decade terakhir ini kita sering mendengar terjadinya kasus-kasus
yang terjadi pasca bencana alam, kekerasan baik itu berupa kekerasan rumah tangga maupun
bentuk kekerasan lainnya serta berbagai bentuk peristiwa traumatic lainnya. Pelbagai kondisi
ini merupakan suatu stressor psikososial yang mungkin akan berdampak terhadap kehidupan
individu berupa terjadinya gangguan stress pasca trauma. Dari penelitian terkini didapatkan
bahwa dalam kehidupannya seorang individu minimal akan mengalami satu peristiwa
traumatic, dan 25% dari mereka yang tetap bertahan hidup dikatakan akan mengalami
gangguan stress pasca trauma.
Disamping gangguan stress pasca trauma, mereka yang mengalami peristiwa yang
traumatic juga berisiko untuk mengalami berbagai jenis gangguan psikiatrik lainnya, seperti
gangguan depresi major, gangguan panic, gangguan cemas menyeluruh, dan penyalahgunaan
zat.
Anak-anak dan orang dewasa yang mengalami peristiwa traumatic yang kronik dan
berulang, juga berisiko untuk mengalami berbagai jenis gangguan fisik seperti hipertensi,
asma bronchial serta berbagai jenis keluhan somatic tanpa dasar kelainan organic yang
bermakna.
Produktivitas individu yang mengalami gangguan stress pasca trauma akan menurun.
Mereka seringkali absen hingga acapkali kehilangan pekerjaan, kapasitas mereka sebagai
pencari nafkah pun akan menurun. Mereka lebih banyak mengunjungi fasilitas-fasilitas
kesehatan dalam upaya untuk mengatasi keluhan dan penderitaan yang dialami. Dengan
demikian dampak dari gangguan stress pasca trauma tidak hanya pada individu yang
mengalami, melainkan juga meningkatkan beban bagi keluarga.
EPIDEMIOLOGI
Gangguan psikologis setelah mengalami peristiwa traumatic atau stress berat, seperti
peristiwa perang telah dikenal sejak puluhan tahun yang lalu. Pada tahun 1980, American
Psychiatric Association mulai memperkenalkan gangguan jiwa yang disebut gangguan stress
pasca trauma (Post Trumatic Stress Disorder/PTSD) dengan criteria diagnosis yang tercantum
dalam DSM III dan WHO yang memasukkan diagnosis ini ke dalam International

Classification of Diseases (ICD) X. Penelitian-penelitian yang telah dilakukan menunjukkan


bahwa kasus gangguan stress pasca trauma merupakan salah satu kasus psikiatri yang cukup
sering dijumpai. Kasus ini dijumpai pada sekitar 10.3% untuk pria dan 18.3% pada wanita.
ETIOLOGI
Terjadinya gangguan stress pasca trauma didahului oleh adanya suatu stressor berat
yang melampaui kapasitas hidup seseorang, serta menimbulkan penderitaan bagi setiap
orang. Kondisi psikologis seseorang sebelum mengalami peristiwa traumatic tersebut akan
berdampak terhadap respons yang ditimbulkan sebagai akibat peristiwa tersebut.
Beberapa factor predisposisi bagi seorang individu untuk mengalami gangguan stress
pasca trauma adalah:
- Adanya gangguan psikiatrik sebelum trauma baik pada individu yang bersangkutan maupun
-

keluarganya.
Adanya trauma masa kanak, seperti kekerasan fisik maupun seksual.
Kecenderungan untuk mudah menjadi khawatir.
Cirri kepribadian ambang, paranoid, dependen, atau antisocial.
Mempunyai karakter yang bersifat introvert atau isolasi social, adany a problem

menyesuaikan diri.
- Adanya kebutuhan emosional yang tidak terpenuhi secara bermakna.
- Terpapar oleh kejadian-kejadian dalam kehidupan yang luar biasa sebelumnya baik tunggal
maupun ganda dan dirasakan secara subjektif oleh individu yang bersangkutan sebagai
suatu kondisi atau peristiwa yang menimbulkan penderitaan bagi dirinya.
Tipe kejadian yang cenderung akan meningkatkan angka kejadian gangguan stress
pasca trauma dapat dikategorikan menjadi:
1. Mereka yang mengalami tindak kekerasan interpersonal.
2. Mereka yang mengalami kecelakaan atau bencana alam yang mengancam nyawa, baik
berupa kejadian alamiah atau kejadian yang dibuat oleh manusia.
3. Trauma berulang dan bersifat kronik.
Berdasarkan DSM IV, ada beberapa jenis kejadian yang potensial mungkin akan
meningkatkan angka kejadian gangguan stress pasca trauma, yaitu :
1.
2.
3.
4.
5.

Kekerasan personal (kekerasan seksual, penyerangan fisik dan perampokan).


Penculikan.
Penyanderaan.
Serangan militer.
Serangan teroris.

6. Penyiksaan.
7. Ditahan dalam penjara sebagai tahanan politik atau tahanan perang.
8. Bencana alam baik yang alamiah maupun yang dibuat oleh manusia.
9. Kecelakaan mobil yang berat.
10. Didiagnosis mengalami penyakit berat yang mengancam kehidupan.
Menurut definisi, stressor adalah faktor penyebab utama dalam pengembangan PTSD.
Tidak semua orang mengalami gangguan setelah peristiwa traumatis, namun. Stressor saja
tidak cukup untuk menyebabkan gangguan ini. Respon terhadap peristiwa traumatik harus
melibatkan rasa takut intens atau horor. Dokter juga harus mempertimbangkan faktor-faktor
yang sudah ada sebelumnya individu biologis dan psikososial dan peristiwa yang terjadi
sebelum dan sesudah trauma. Sebagai contoh, anggota dari kelompok yang hidup melalui
bencana kadang-kadang dapat menangani trauma karena orang lain berbagi pengalaman.
Makna subyektif stressor terhadap seseorang juga penting. Misalnya, orang yang selamat dari
bencana mungkin mengalami perasaan bersalah (survivor rasa bersalah) yang dapat
mempengaruhi, atau memperburuk, PTSD.
Pada umumnya individu yang mempunyai karakter yang extrovert atau lebih berpikir
positif lebih jarang mengalami masalah psikologis seperti ini. Karakteristik dari peristiwa
traumatic yang dialami juga akan mempengaruhi jenis reaksi psikologis yang akan terjadi,
seperti :
-

Durasi dan intensitas dari stressor yang dialami.


Derajatnya dalam kaitan dengan ancaman terhadap kehidupan seseorang.
Berat ringannya kehilangan yang dialami (baik material maupun personal).
Perilaku korban yang selamat pada waktu menghadapi peristiwa traumatic tersebut,
misalnya apakah ia juga menyelamatkan orang lain pada saat kejadian atau dia hanya
menyelamatkan diri sendiri.
Setelah mengalami peristiwa traumatic, maka system keyakinan dan latar belakang

budaya yang dianut oleh individu yang bersangkutan, serta dukungan social dan lingkungan
sekelilingnya akan memegang peranan yang penting bagi individu untuk menyesuaikan
dirinya kembali.
Aspek biologic dari gangguan stress pasca trauma
Gejala-gejala gangguan stress pasca trauma timbul sebagai akibat dari respons
biologic dan juga psikologik seorang individu. Kondisi ini terjadi oleh karena aktivasi dari
beberapa system di otak yang berkaitan dengan timbulnya perasaan takut pada seseorang.

Terpaparnya seseorang oleh peristiwa yang traumatic akan menimbulkan respon takut
sehingga otak dengan sendirnya akan menilai kondisi keberbahayaan peristiwa yang dialami,
serta mengorganisasi suatu respons perilaku yang sesuai. Dalam hal ini, amigdala merupakan
bagian otak yang sangat berperan besar. Amigdala akan mengaktivasi beberapa
neurotransmitter serta bahan-bahan neurokimiawi di otak jika seseorang menghadapi
peristiwa traumatic yang mengancam nyawa sebagai respons tubuh untuk menghadapi
peristiwa tersebut. Dalam waktu beberapa milidetik setelah mengalami peristiwa tersebut,
amigdala dengan segera akan bereaksi dengan memberikan stimulus berupa tanda darurat
kepada :
1. System saraf simpatis (katekolamin).
2. System saraf parasimpatis.
3. Aksis hipotalamus-hipofisis-kelenjar adrenal (aksis HPA)
Akibat dari perangsangan pada system saraf simpatis segera setelah mengalami
peristiwa traumatic, maka akan terjadi peningkatan denyut jantung dan tekanan darah.
Kondisi ini disebut sebagai reaksi fight or flight reaction. Reaksi ini juga akan meningkatkan
aliran darah dan jumlah glukosa pada otot-otot skeletal sehingga membuat seseorang sanggup
untuk berhadapan dengan peristiwa tersebut atau jika mungkin memberikan reaksi interaktif
terhadap ancaman yang optimal. Reaksi system saraf parasimpatis berupa membatasi reaksi
system saraf simpatis pada beberapa jaringan tubuh, namun respons ini bekerja secara bebas
dan tidak berkaitan dengan respons yang diberikan oleh system saraf simpatis. Aksis HPA
juga akan terstimulasi oleh beberapa neuropeptida otak pada waktu orang berhadapan dengan
peristiwa traumatic. Hipotalamus akan mengeluarkan Cortico-Releasing Factor) dan
beberapa neuropeptida regulator lainnya, sehingga kelenjar hipofisis akan terangsang dan
mensekresi pengeluaran adrenocorticotropic hormone (ACTH) yang akhirnya menstimulasi
pengeluaran hormone kortisol dari kelenjar adrenal.
Jika seseorang mengalami tekanan, maka tubuh secara alamiah akan meningkatkan
pengeluaran katekolamin dan hormone kortisol, pengeluaran kedua zat ini tergantung pada
derajat tekanan yang dialami oleh individu. Katekolamin berperan dalam menyediakan
energy yang cukup dari beberapa organ vital tubuh dalam bereaksi terhadap tekanan tersebut.
Hormone kortisol berperan dalam menghentikan aktivasi system saraf simpatik dan beberapa
system tubuh yang bersifat defensive tadi yang timbul akibat dari peristiwa traumatic yang
dialami oleh individu tersebut. Dengan kata lain, hormone kortisol berperan dalam proses

terminasi dari respons tubuh dalam mengalami tekanan. Peningkatan hormone kortisol akan
menimbulkan efek umpan balik negative pada aksis HPA tersebut.
Pitman (1989) menghipotesiskan bahwa pada individu yang cenderung untuk
mengalami gangguan stress pasca trauma, mengalami gangguan dalam regulasi neuropeptida
dan juga katekolamin di otak pada waktu menghadapi peristiwa traumatic. Katekolamin yang
meningkat ini kana membuat individu tetap berada dalam kondisi siaga terus-menerus. Jika
hormone kortisol gagal menghentikan proses ini, maka aktivasi katekolamin akan tetap tinggi
dan kondisi ini dikaitkan dengan terjadinya konsolidasi berlebihan dari ingatan-ingatan
peristiwa traumatic yang dialami.
System

noradrenergik

Tentara dengan gejala PTSD seperti menunjukkan kegugupan , peningkatan tekanan darah
dan denyut jantung , jantung berdebar , berkeringat , memerah , dan tremorsa gejala yang
berhubungan dengan obat adrenergik . Studi menemukan peningkatan konsentrasi epinefrin
urine 24 jam di veteran dengan PTSD dan peningkatan konsentrasi katekolamin urine pada
anak perempuan mengalami pelecehan seksual . Selanjutnya , platelet - dan limfosit

adrenergik reseptor yang menurunkan regulasi di PTSD , mungkin dalam menanggapi


konsentrasi katekolamin meningkat secara kronis . Sekitar 30 sampai 40 persen pasien
dengan kilas balik laporan PTSD setelah yohimbine ( Yocon ) administrasi . Temuan tersebut
merupakan bukti kuat untuk fungsi diubah dalam sistem noradrenergik di PTSD .
Sistem

opioid

Kelainan pada sistem opioid disarankan oleh konsentrasi plasma - endorphin rendah pada
PTSD . Veteran perang dengan PTSD menunjukkan nalokson ( Narcan ) - reversibel respon
analgesik untuk melawan terkait rangsangan , meningkatkan kemungkinan sistem opioid
hyperregulation mirip dengan yang di sumbu HPA . Satu studi menunjukkan bahwa
nalmefene ( Revex ) , antagonis reseptor opioid , adalah digunakan dalam mengurangi gejala
PTSD pada veteran perang .
Aspek psikodinamik dari gangguan stress pasca trauma
Model psikodinamik ini menjelaskan bahwa gangguan stress pasca trauma terjadi oleh
karena reaktivasi dari konflik-konflik psikologis yang belum terselesaikan di masa lampau.
Dengan adanya peristiwa traumatic yang dialami maka konflik-konflik psikologis yang
belum diselesaikan itu akan tereaktivasi kembali. System ego akan kembali teraktivasi dan
berusaha untuk mengatasi masalah dan meredakan kecemasan yang terjadi.

Hal-hal yang berkaitan dengan aspek psikodinamik dan gangguan stress pasca trauma
adalah:
1. Arti subjektif dari stressor yang dialami mungkin menentukan dampak dari peristiwa
traumatic yang dialami oleh seseorang.
2. Kejadian traumatic yang dialami mungkin mereaktivasi konflik-konflik psikologis akibat
peristiwa traumatic di masa kanak.
3. Peristiwa traumatic akan membuat seseorang gagal untuk meregulasi system afeksinya.
4. Refleksi peristiwa traumatic yang dialami mungkin akan timbul dalam bentuk somatisasi
atau aleksitimia.
5. Beberapa system defensi yang sering digunakan pada individu dengan gangguan stress
pasca trauma adalah penyangkalan, splitting, projeksi, disosiasi dan rasa bersalah.
6. Model relasi objek yang digunakan adalah projeksi dan introjeksi dari berbagai peran
seperti penyelamat yang omnipoten atau korban yang omnipoten.
Gambaran klinis dan Diagnosis
Gangguan stress pasca trauma biasanya timbul dalam waktu enam bulan setelah
terjadinya peristiwa traumatic atau merupakan kelanjutan dari gangguan stress akut yang per
definisi berlangsung maksimal satu bulan. Alasan berubahnya diagnosis dari gangguan stress
akut menjadi gangguan stress pasca trauma setelah satu bulan adalah karena kasus yang
berlangsung lebih dari satu bulan biasanya menjadi kronis dan memerlukan pendekatan dan
pengobatan yang berbeda daripada gangguan stress akut. Stress yang terjadi atau keadaan
yang tidak nyaman tersebut merupakan factor pemicu utama, dan tanpa hal tersebut gangguan
ini tidak akan terjadi.
Gambaran klinis dari gangguan stress pasca trauma seringkali berupa adanya ingataningatan kembali akan peristiwa-peristiwa traumatic yang pernah dialami serta mendesak
untuk timbul ke alam sadar dan disertai adanya mimpi-mimpi buruk. Individu juga dengan
sengaja tampak menghindari berbagai situasi atau kondisi yang akan mengingatkannya akan
peristiwa traumatic tersebut.
Umumnya individu dengan gangguan stress pasca trauma datang ke dokter tidak
dengan gejala-gejala tersebut di atas. Mereka umumnya datang dengan keluhan berupa
gejala-gejala depresi, ide-ide bunuh diri, penarikan diri dari lingkungan sosialnya, kesulitan
tidur, penyalahgunaan alcohol/zat adiktif lainnya, serta berbagai keluhan fisik lainnya
(misalnya nyeri kronik, irritable bowel symptoms, dll). Gangguan stress pasca trauma
seringkali berhubungan dengan keluhan-keluhan fisik dan penurunan taraf kesehatan secara

umum, sehingga kondisi-kondisi ini seringkali dijumpai pada pusat-pusat pelayanan


kesehatan primer. Gejala-gejala disosiatif merupakan kelompok gejala lainnya yang terdiri
dari kesulitan mengingat kembali bagian-bagian penting dari peristiwa traumatik, perasaan
bukan bagian dari peristiwa itu, ketidakmampuan untuk merasakan perasaan. Kadang-kadang
terjadi depersonalisasi dan derealisasi. Perilaku menghindar merupakan bagian dari gejala
gangguan stress pasca trauma, pasien menghindari hal-hal yang dapat mengingatkan dia akan
peristiwa traumatic tersebut. Gejala-gejala depresi kerap kali didapatkan dan penyintas sering
merasa bersalah.
Penelitian mendapatkan bahwa individu dengan gangguan stress pasca trauma 3 kali
lebih banyak mengunjungi prakter dokter umu atau pusat pelayanan kesehatan primer jika
dobandingkan dengan kunjungan ke professional kesehatan mental lainnya. Seperempat dari
jumlah individu yang berobat ke pusat pelayanan kesehatan primer melaporkan adanya latar
belakang problem emosi atau psikologis sebagai latar belakang keluhan-keluhan yang mereka
alami. Oleh karena itu, peningkatan kesadaran dan pemahaman dari gangguan stress pasca
trauma ini sangat diperlukan bagi dokter umum atau dokter-dokter yang bekerja di pusat
pelayanan kesehatan primer.
Diagnosis gangguan stress pasca trauma tidak akan pernah dibuat jika dokter tidak
pernah menanyakan apakah individu pernah atau tidak pernah mengalami peristiwa traumatic
tertentu, seperti apakah pernah mengalami kekerasan baik fisik, emosional atau seksual, atau
apakah pernah mengalami kecelakaan hebat atau mengalami bencana alam, atau kekerasan
militer atau peperangan. Perlu juga diketahui bahwa seringkali peristiwa traumatic yang
dialami sudah terjadi bertahun-tahun sebelum gejala psikiatrik dijumpai, oleh karena itu
kadang-kadang tidak mudah untuk mengaitkan apakah ada kaitan langsung antara peristiwa
traumatic yang dialami dahulu dengan keluhan gangguan jiwa saat ini. Kadang-kadang bagi
pasien sendiri juga sulit untuk mengemukakan peristiwa traumatic yang dialami oleh karena
rasa malu atau perasaan bersalah karena merasa telah membuka aib keluarga. Dengan
demikian seorang dokter perlu berempati dan memberi dukungan kepada individu yang
mengalami gangguan stress pasca trauma sehingga mereka lebih mudah untuk berbagi
perasaan dan pengalaman akan peristiwa traumatic yang pernah dialaminya.
Criteria diagnostic dari gangguan stress pasca trauma berdasarkan DSM IV adalah :
1. Individu pernah terpapar dengan peristiwa traumatic berupa;

a. Individu mengalami, menjadi saksi mata atau berhadapan langsung dengan satu
kejadian atau beberapa kejadian yang mengerikan atau mengancam kehidupan atau
kecelakaan yang serius, atau ancaman terhadap integritas fisik diri sendiri atau orang
lain.
b. Respons dari individu yang terlibat dalam peristiwa yang sangat mengerikan,
keputusasaan atau ketakutan yang luar biasa. Pada anak kondisi ini mungkin
ditunjukkan oleh adanya perilaku yang disorganisasi atau agitasi.
2. Pengalaman peristiwa traumatic selalu timbul berulang dalam salah satu bentuk dibawah
ini;
a. Adanya bayangan, pikiran atau persepsi yang berkaitan dengan peristiwa traumatic
yang timbul secara berulang dan menyebabkan penderitaan bagi individu yang
bersangkutan. Bagi anak, seringkali kondisi ini diekspresikan melalui pola mainan
yang bertemakan peristiwa traumatic yang dialaminya.
b. Adanya mimpi buruk berulang yang menimbulkan penderitaan bagi individu. Pada
anak kondisi ini seringkali berupa timbulnya mimpi buruk tanpa dapat dikenali isi dari
mimpi-mimpinya tersebut.
c. Berperilaku atau berperasaan seolah-olah peristiwa traumatic yang dialami itu terjadi
kembali (termasuk ilusi, halusinasi, dan episode disosiatif yang bersifat flashback).
d. Adanya distress psikologis jika berhadapan dengan hal-hal atau symbol-simbol yang
berkaitan dengan aspek peristiwa traumatic baik sebagian atau seluruhnya secara
internal maupun eksternal.
e. Adanya reaksi fisiologis jika berhadapan dengan hal-hal atau symbol-simbol yang
berkaitan dengan aspek peristiwa traumatic baik sebagian atau seluruhnya secara
internal maupun eksternal.
3. Adanya perilaku penghindaran yang menetap terhadap stimulus-stimulus yang berkaitan
dengan peristiwa traumatic yang dialami dan disertai dengan respon emosi yang membeku
secara keseluruhan (tidak dijumpai sebelum trauma terjadi), yang ditunjukkan oleh 3 atau
lebih gejala dibawah ini;
a. Adanya usaha untuk menghindari pikiran-pikiran, perasaan, atau pembicaraan yang
berkaitan dengan peristiwa traumatic yang dialaminya.
b. Adanya usaha untuk menghindari aktivitas, tempat-tempat atau orang-orang yang
membangkitkan ingatan-ingatan tentang peristiwa traumatic yang dialaminya.
c. Kesulitan untuk mengingat kembali aspek-aspek penting yang berkaitan dengan
peristiwa traumatic yang dialaminya.
d. Penurunan yang jelas akan ketertarikan atau partisipasi dalam aktivitas-aktivitas.
e. Merasa asing atau merasa terpisah dari lingkungan atau orang-orang sekitar.
f. Adanya ekspresi afektif yang terbatas, misalnya tidak mampu lagi merasakan perasaan
dicintai.

g. Kehilangan motivasi untuk membina masa depannya, misalnya tidak mempunyai


keinginan lagi untuk mengembangkan karir, hidup perkawinan, mengasuh anak, dll.
4. Adanya gejala yang menetap dari peningkatan kewaspadaan yang ditandai oleh 2 atau
lebih gejala dibawah ini;
a. Kesulitan untuk tidur atau jatuh tertidur.
b. Iritabilitas atau mudah mengalami ledakan kemarahan.
c. Kesulitan berkonsentrasi.
d. Hipervigilance.
e. Respons yang kacau dan tidak terkendali.
5. Durasi dari gejala-gejala dalam criteria 2, 3, dan 4 berlangsung lebih dari 1 bulan.
6. Gejala-gejala diatas jelas menimbulkan penderitaan dalam fungsi social, pekerjaan atau
fungsi penting lainnya
Spesifikasi:
- Akut : jika durasi gejala-gejala kurang dari tiga bulan.
- Kronik : jika durasi gejala-gejala berlangsung 3 bulan atau lebih.
- Dengan awitan lambat : jika awitan dari gejala-gejala terjadi paling lambat 6 bulan
setelah mengalami peristiwa traumatic.
Sedangkan criteria diagnostic menurut PPDGJ III yaitu :
1. Diagnosis baru ditegakkan bilamana gangguan ini timbul dalam kurun waktu 6 bulan
setelah kejadian traumatic berat (masa laten yang berkisar antara beberapa minggu
sampai beberapa bulan, jarang sampai melampaui 6 bulan)
Kemungkinan diagnosis masih dapat ditegakkan apabila tertundanya waktu mulai saat
kejadian dan onset gangguan melebihi waktu 6 bulan, asal saja manifestasi klinisnya
adalah khas dan tidak didapat alternative kategori gangguan lainnya.
2. Sebagai bukti tambahan selain trauma, harus didapatkan bayang-bayang atau mimpimimpi dari kejadian traumatic tersebut secara berulang-ulangkembali (flashback).
3. Gangguan otonomik, gangguan afek dan kelainan tingkah laku semuanya dapat
mewarnai diagnosis tetapi tidak khas.
- Suatu sequelae menahun yang terjadi menahun yang terjadi lambat setelah stress
yang luarbiasa, misalnya saja beberapa puluh tahun setelah trauma, diklasifikasi
dalam kategori F 62.0 (perubahan kepribadian yang berlangsung lama setelah
mengalami katastrofa).
Perjalanan dan Prognosis
PTSD biasanya berkembang beberapa waktu setelah trauma. Penundaan bisa
sesingkat 1 minggu atau selama 30 tahun. Gejala dapat berfluktuasi dari waktu ke waktu dan
mungkin paling intens selama periode stres. Tidak diobati, sekitar 30 persen pasien sembuh
sepenuhnya, 40 persen terus memiliki gejala ringan, 20 persen terus memiliki gejala sedang,

dan 10 persen tetap tidak berubah atau menjadi lebih buruk. Setelah 1 tahun, sekitar 50
persen pasien akan sembuh. Sebuah prognosis yang baik diperkirakan oleh onset yang cepat,
durasi pendek dari gejala ( kurang dari 6 bulan ), fungsi premorbid yang baik, dukungan
sosial yang kuat, dan tidak adanya jiwa, atau gangguan - zat terkait medis lain atau faktor
risikolain.
Secara umum, sangat muda dan sangat tua memiliki lebih banyak kesulitan dengan peristiwa
traumatis daripada mereka di usia pertengahan. Sebagai contoh, sekitar 80 persen anak-anak
muda yang menderita luka bakar menunjukkan gejala PTSD 1 atau 2 tahun setelah cedera
awal, hanya 30 persen orang dewasa yang menderita cedera seperti memiliki PTSD setelah 1
tahun. Agaknya, anak-anak belum memiliki mekanisme penanganan yang memadai untuk
berurusan dengan penghinaan fisik dan emosional dari trauma. Demikian juga, orang tua
cenderung memiliki mekanisme penanganan lebih kaku daripada orang dewasa muda dan
kurang mampu mengumpulkan pendekatan fleksibel untuk menangani efek dari trauma.
Selain itu, efek traumatis dapat diperburuk oleh cacat fisik karakteristik kehidupan akhir,
terutama cacat dari sistem saraf dan sistem kardiovaskular, seperti berkurangnya aliran darah
otak, visi gagal, jantung berdebar, dan aritmia. Yang sudah ada sebelumnya cacat kejiwaan,
apakah gangguan kepribadian atau kondisi yang lebih serius, juga meningkatkan efek dari
stres tertentu. PTSD yang komorbiditas dengan gangguan lain sering lebih parah dan
mungkin lebih kronis dan mungkin sulit untuk mengobati. Ketersediaan dukungan sosial juga
dapat mempengaruhi perkembangan, tingkat keparahan, dan durasi PTSD. Secara umum,
pasien yang memiliki jaringan yang baik dukungan sosial cenderung mengalami gangguan
tersebut dan mengalaminya dalam bentuk parah, dan lebih mungkin untuk pulih lebih cepat .
Tatalaksana
Tatalaksana gangguan stress pasca trauma diharapkan dalam bentuk yang
komprehensif, meliputi pemberian medikasi dan psikoterapi serta edukasi, dukungan
psikososial, teknik untuk meredakan kecemasan dan juga modifikasi pola hidup. Edukasi
sangat penting karena merupakan suatu bentuk pendekatan untuk membantu pasien mengerti
akan perubahan-perubahan yang terjadi dalam fungsi diri pasien baik secara fisik maupun
psikis sebagai dampak dari peristiwa traumatic yang dialami, baik adaptif maupun
maladaptive. Dukungan psikososial dibutuhkan untuk mengurangi berbagai stigma negative
yang mungkin muncul akibat dari diagnosis gangguan stress pasca trauma. Dukungan
psikososial tidak hanya diberikan oleh dokter tetapi juga oleh seluruh anggota keluarga
bahkan seluruh lingkungan masyarakat di sekitar pasien.

Berbagai teknik untuk meredakan kecemasan seperti relaksasi, teknik-teknik


mengatur pernafasan, serta mengontrol pikiran-pikiran perlu dilatih dan terbukti bermanfaat
untuk individu dengan gangguan stress pasca trauma. Modifikasi pola hidup seperti diet yang
sehat, mengatur konsumsi kafein, alcohol, rokok, dan obat-obatan lainnya, perlunya olahraga
teratur, dll. Medikasi yang terbukti bermanfaat untuk mengatasi kasus ini adalah pemberian
antidepressant golongan SSRI seperti fluoxetin 10-60 mg/hari, sertralin 50-200 mg/hari, atau
fluvoxamine 50-300 mg/hari. Antidepressant lain yang juga dapat digunakan adalah
amitriptilin 50-300 mg/hari dan juga imipramin 50-300 mg/hari.
Psikoterapi yang umum diberikan bagi individu dengan gangguan stress pasca
trauma adalah psikoterapi kognitif perilaku, psikoterapi kelompok, dan hypnotherapy. Terapi
kognitif perilaku yang harus mencakup unsur-unsur pendidikan tentang gangguan stress
pasca trauma, pantau gejala-gejala, manajemen anxietas, pemaparan terhadap rangsangan
yang mengakibatkan anxietas dalam suasana yang mendukung, penataan kembali kognisi
terutama untuk trauma kompleks, dan manajemen kemarahan. Termasuk dalam kelompok
penanganan ini adalah teknik paparan berkepannjangan. Eye movement desensitization and
reprocessing (EMDR) adalah terapi baru uang menggunakan gerakan bola mata bolak-balik
secara volunteer untuk mengurangi anxietas yang berhubungan dengan pikiran yang
mengganggu. Terapi psikodinamik bertujuan untuk memahami arti peristiwa traumatic bagi
individu dan untuk menggarap dan menyelesaikan konflik tak sadar yang memprovokasi
gangguan stress pasca trauma.
Berdasarkan rekomendasi dari The Expert Consensus Panels for PTSD, tatalaksana
gangguan stress pasca trauma sebaiknya mempertimbangkan beberapa aspek di bawah ini :
1. Gangguan stress pasca trauma merupakan suatu gangguan yang kronik dan berulang
serta sering berkormobiditas dengan gangguan-gangguan jiwa serius lainnya.
2. Antidepressant golongan penghambat selektif dari ambilan serotonin/SSRI
merupakan obat pilihan pertama untuk kasus ini.
3. Terapi yang efektif harus dilanjutkan paling sedikit 12 bulan.
4. Exposure therapy merupakan terapi dengan pendekatan psikososial terbaik yang
dianjurkan dan sebaiknya dilanjutkan selama 6 bulan.

DAFTAR PUSTAKA

Elvira SD, Hadisukanto G, 2010, Buku Ajar Psikiatri, Badan Penerbit FKUI, Jakarta.
Maslim R, 2001, Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III,
Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya, Jakarta.
Maramis WF, Maramis AA, Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa Edisi 2, Pusat Penerbitan dan
Percetakan UNAIR Airlangga University Press, Surabaya.
Sadock BJ, Sadock KA, Kaplan & Sadocks Synopsis of Psychiatry 10 Ed, Wolters Kluwers,
New York.

Anda mungkin juga menyukai