1.2
Perubahan lanjutan
1. Meningkatnya Produksi Sel Darah Merah
Selama
aklimitasi
berlanjut,
sumsum
tulang
berperan
dengan
meningkatkan produksi sel darah merah. Sel-sel darah merah yang baru akan
berfungsi dalam darah setelah 4-5 hari, sehingga akan meningkatkan
kapasitas darah dalam pengangkut oksigen.
2. Meningkatnya Produksi 2,3 DPG (Diphosphoglycareta)
Dengan meningkatnya produksi sel darah menjadi peningkatan 2,3
DPG. Ini adalah fosfat organic yang membantu oksigen untuk bergabung
dengan sel-sel darah merah. Produksi myoglobin, protein intramuskuler
pembawa oksigen dalam sel-sel darah juga meningkat.
3. Meningkatnya Jumah Pembuluh Darah Kapiler.
Tubuh mengembangkan lebih banyak pembuluh darah kapiler untuk
merespon terhadap ketinggian. Ini merubah kecepatan penyerapan oksigen
dengan memperpendek jarak antara sel dan pembuluh darah kapiler.
a. Bagaimana perubahan fisiologi tubuh yang normal pada saat berada di ketinggian
system
kardiovaskular
yang
menyebabkan
perangsangan
langsung
penurunan
PCO2
adalah
selalu
hiperventilasi
2. Sistem Kardiovaskular
Otot jantung seperti halnya otot rangka, menggunakan energy kimia
untuk menyebabkan kontraksi. Energy ini dihasilkan terutama dari
metabolisme oksidatif asam lemak dan sebagian kecil dari bahan makanan
yang lain, khususnya laktat dan glukosa. Karena itu, semakin berkurang
kandungan oksigen di udara, maka proses pembentukan energy pun akan
terganggu, dan suplai ke jantung pun akan ikut berkurang.
3. Sistem Aliran darah
Pada penderita hipoksia (hipoksia hipotoksik), aliran darah juga
terganggu akibat dari kompensasi tubuh tehadap sistem cardiovascular. Mulamula takikardi; kemudian bradikardia jika otot jantung tidak cukup mendapat
oksigen. Peningkatan tekanan darah yang diikuti dengan penurunan tekanan
darah jika hipoksia tidak diatasi.
4. Sistem Eskresi
Perubahan fungsi sistem ekskresi, seperti ginjal pada ketinggian 3200 m
sebagai efek langsung hipoksia sejalan dengan mekanisme kompensasi
adaptasi sistem lainnya. Pengeluaran urin dan ekskresi sodium ini juga
berhubungan dengan penurunan tekanan parsial Oksigen (PO2). Diuresis dan
natriuresis disertai ekskresi bikarbonat dan kalium sejalan dengan penurunan
inspirasi oksigen yang akut dan dimediasi oleh kemoreseptor perifer sensitive
oksigen. Ketika respon hiperventilasi hipoksia dimediasi oleh kemoreseptor
perifer, respon diuresis dan natriuresis hipoksia akan muncul selama 24-48
jam pertama bervariasi setiap individu hingga dampaknya bisa menyebabkan
dua sampai tiga kali peningkatan ekskresi protein dan urin yang
mekanismenya melibatkan perubahan permeabilitas kapiler. Dalam hal PO2
yang rendah pun, sel kortikal intestitial meningkatkan produksi eritropoietin
guna membantu oksigenasi ke jaringan, yang dilepaskan sejak 1-2 jam
pertama setelah paparan hipoksia dengan puncak pada 24-48 jam dan
menurun setelah beberapa minggu dan terjadi penekanan feedback.
5. Sistem saraf
3.1
3.2
Penatalaksanaan
Penanganan yang dapat dilakukan terhadap penderita hipoksia adalah:
Pemberian oksigen
Merupakan tindakan memberikan oksigen ke dalam saluran pernafasan dengan alat
bantu oksigen. Pemberian oksigen dapat dilakukan meallui tiga cara, yaitu melalui
kanula, nasakm dan masker. Pemberian oksigen ini ditujukan untuk memenuhi
kebutuhan oksigen dan mencegah terjadinya hipoksia.
Penanganan pada daerah tinggi yaitu:
1) Turun segera
Dengan turun segera dari ketinggian dapat menyembuhkan gejala dalam beberapa jam,
namun misi naik gunung dapat tertunda
2) Istirahat di ketinggian yang sama
Diharapkan terjadinya proses aklimatisasi(penyesuaian ketersediaan O2 yang menurun
di dataran tinggi), namun gejala baru akan hilang dalam 24-48 jam.
3) Istirahat dan minum Acetazolamide, atau Deksametason, atau keduanya
Dengan Acetazolamide, gejala dapat hilang dalam 12-24 jam, namun ada efek
samping obat. Sedangkan pada Deksametason dapat menghilangkan gejala dalam
beberapa jam, namun hanya menyembunyikan gejala dan tidak terjadi proses
aklimatisasi.
4) Terapi oksigen hiperbarik
Gejala akan hilang dalam beberapa menit, namun hanya dapat meningkatkan jumlah
O2 yang larut dalam darah arteri, sehingga memberikan arti yang terbatas pada
hipoksia stagnan, anemik, histotoksik, dan hipoksik.
Tes terbaik untuk AMS sedang adalah menyuruh seseorang yang terkena AMS sedang
berjalan dengan tumit sampai ujung kaki membentuk garis lurus seperti yang dilakukan pada
tes kesadaran. Seseorang dengan ataksia tidak akan mampu berjalan lurus. Ini merupakan
indikasi yang jelas bahwa turun ke ketinggian yang lebih rendah perlu segera dilakukan. Hal
ini penting untuk menghindari sebelum ataksia mencapai titik di mana mereka tidak bisa
berjalan sendiri (yang akan memerlukan evakuasi tandu), seperti terlihat pada gambar 1.
lebih rendah dengan segera sekitar 600 meter ke bawah adalah upaya menyelamatkan nyawa
yang diperlukan. Ada beberapa obat yang dapat digunakan untuk pengobatan di lapangan, tapi
ini memerlukan pelatihan yang tepat dalam penggunaannya (Schommer, 2011).
Siapapun yang menderita HACE harus dievakuasi ke fasilitas medis untuk tindak lanjut
pengobatan.
High altitude pulmonary edema adalah kasus dimana terdapat hasil dari cairan yang
terbentuk di paru-paru. Cairan ini mencegah pertukaran oksigen yang efektif. Ketika kondisi
menjadi lebih parah, tingkat oksigen dalam aliran darah berkurang, yang menyebabkan
sianosis, gangguan fungsi otak, dan kematian (Schommer, 2011).
Gejala HAPE ini meliputi sesak napas pada saat istirahat, sesak di dada, batuk terusmenerus membesarkan cairan putih, berair, atau berbusa, adanya kelelahan dan kelemahan,
perasaan sesak napas yang akan datang di malam hari, kebingungan, dan perilaku irasional
(Schommer, 2011).
Kebingungan, dan perilaku irasional adalah tanda-tanda bahwa oksigen tidak cukup
mencapai otak. Salah satu metode untuk pengujian diri sendiri untuk HAPE adalah untuk
memeriksa waktu pemulihan kita setelah pengerahan tenaga.
Grade
Mild
Symptoms
Sesak napas saat melakukan
Signs
HR (rest) < 90-100
Chest Xray
Eksudat dalam paru-
RR (rest) <20
paru
Moderat
dusky nailbeds
HR 90-110
25%
Eksudatnya
RR 16-30
bertambah menjadi
cyanotic nailbeds
HR > 110
kedua paru
Eksudat lebih
RR > 30
50%
paru
Severe
Sesak
ekstrim,
napas,
istirahat,
Kelelahan
sesak Ketika
berbaring (orthopnea)
kurang dari
dari
pada kedua
HAPE tak akan terjadi bila tidak diawali dengan AMS. Beberapa pedoman yang dapat diikuti
subyek dengan AMS ringan dan subyek tanpa gejala. Para pendaki juga biasanya mengalami
kesulitan kurang tidur (Stephen, 2010).
Deksametason (steroid) adalah obat yang menurunkan pembengkakan otak dan
memperbaiki efek dari AMS. Dosis biasanya 4 mg dua kali sehari selama beberapa hari
dimulai dengan pendakian. Hal ini mencegah sebagian besar gejala penyakit ketinggian
berkembang. Namun perlu diingat bahwa deksametason adalah obat kuat dan harus digunakan
dengan hati-hati, hanya atas saran dari dokter serta harus digunakan untuk membantu
aklimatisasi oleh orang-orang yang cukup memenuhi syarat atau mereka dengan pengalaman
dalam melakukan penggunaannya (Paralikar, 2010)
Adaptasi Lingkungan
Mekanisme Adaptasi Terhadap Ketinggian
a. Adaptasi Fungsional
Setelah efek permulaan dan respon terhadap stress ketinggian, biasanya dicirikan dengan
menghilangnya gejala mountain sickness akut terjadi respon adaptasi yang berkembang secara
gradual kadang membutuhkan waktu beberapa bulan hingga beberapa tahun untuk
perkembangan yang lengkap. Frisancho (1979) menyebutkan beberapa mekanisme adaptasi
fungsional terjadi melalui aklimatisasi berhubungan langsung dengan ketersediaan oksigen
dan tekanan oksigen pada jaringan, terjadi melalui modifikasi :
Ventilasi paru-paru.
Volume paru-paru dan kapasitas difusi pulmoner.
Transport oksigen dalam darah.
Difusi oksigen dari darah ke jaringan.
Penggunaan oksigen pada tingkat jaringan.
Penduduk asli kota pada tempat tinggi beraklimatisasi terhadap tempat tinggi sejak
lahir atau selama pertumbuhan mempunyai kapasitas aerobic yang lebih tinggi daripada
subjek yang beraklimatisasi pada saat dewasa. Diantara subjek yang beraklimatisasi pada
tempat tinggi selama masa pertumbuhan hampir 25% variabilitas dalam kapasitas aerobic
dapat dijelaskan dengan faktor perkembangan dan dengan faktor genetis 20-25 % (Frisancho
et al 1995 dalam Tutiek Rahayu).
Hubungan antara tingkat aktivitas pekerjaan dan aktivitas aerobic yang lebih besar
diantara subjek yang beraklimatisasi pada tempat tinggi sebelum umur 10 tahun daripada
setelah umur tersebut.Sehingga dapat dikatakan bahwa kapasitas aerobik normal pada tempat
tinggi berhubungan dengan aklimatisasi perkembangan dan fakor genetik tetapi ekspresinya
dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti aktivitas pekerjaan dan komposisi badan.
Kapasitas untuk beradaptasi pada tempat yang tinggi bervariasi pada tiap
individu.Beberapa orang tidak pernah beraklimatisasi dengan sukses sementara lainnya dapat
menyesuaikan diri tetapi tidak dapat bekerja dengan penuh. Salah satu penyebab stress
lingkungan di ketinggian untuk manusia yakni tekanan udara yang rendah yang menjadi
faktor keterbatasan signifikan dalam daerah ketinggian.
Presentase oksigen di udara pada ketinggian 2 mil (3,2 km) sama seperti sea level
(21%). Namun tekanan udara lebih rendah 30 % pada ketinggian yang lebih jauh disebabkan
molekul pada atmosfer lebih jarang sehingga letak molekul-molekul tersebut saling berjauhan.
Ketika kita menghirup udara pada sea level, tekanan atmosfer sekitar 1,04 kg per cm2 yang
menyebabkan oksigen dengan mudah melewati membrane permeable selektif paru menuju
darah. Pada ketinggian tekanan udara yang lebih rendah membuat oksigen sulit untuk
memasuki sistem vascular tubuh.Hasilnya berdampak pada hipoksia atau kekurangan oksigen.
Ketika kita bepergian ke daerah yang lebih tinggi tubuh kita mulai membentuk respon
fisiologis yang efisien.Terdapat kenaikan frekuensi pernapasan dan denyut jantung hingga dua
kali lipat walapun saat istirahat.Denyut nadi dan tekanan darah meningkat karena jantung
memompa lebih kuat untuk mendapatkan lebih banyak oksigen.Kemudian tubuh mulai
membentuk respon efisien secara normal yaitu aklimatisasi.Sel darah merah lebih banyak
diproduksi untuk membawa oksigen lebih banyak. Paru-paru akan lebih mengembang untuk
memfasilitasi osmosis oksigen dan karbondioksida. Terjadi pula peningkatan vaskularisasi
otot yang memperkuat transfer gas.
Ketika kembali pada level permukaan laut setelah terjadi aklimatisasi yang sukses
terhadap ketinggian, tubuh akan mempunyai lebih banyak sel darah merah dan kapasitas paru
yang lebih besar. Berdasarkan hal ini, Amerika dan beberapa Negara lain sering melatih para
atletnya di pegunungan. Akan tetapi, perubahan fisiologik ini hanya berlangsung singkat.
Pada beberapa minggu tubuh akan kembali pada kondisi normal.
b.
Adaptasi Biokimia
Pada ketinggian didapati terjadinya stress reduktif yang juga mengakibatkan
peningkatan produksi radikal bebas oleh sistem transport electron mitokondria terutama pada
kompleks I dan III. Pada hipoksia, terjadi penurunan jumlah oksigen yang tersedia untuk
direduksi menjadi H2O pada sitokrom oksidase.Terjadilah akumulasi ekuivalen pereduksi
yang menginduksi auto oksidasi kompleks mitokondria dan membangkitkan spesies oksigen
reaktif.
Hipoksia ini dapat menyebabkan peningkatan produksi spesies oksigen reaktif seperti
anion superoksida (O2-), radikal hidroksil (-OH), dan hydrogen peroksida (H2O2) dari sel
parenkim dan endotel vaskuler yang hipoksik.Maka dari itu, sel memiliki mekanisme
pertahanan terhadap radikal bebas yakni berupa sistem antioksidan sebagai adaptasi biokimia
dengan memiliki enzim-enzim antioksidan seperti superoksida dismutase (SOD), glutation
peroksidase, dan katalase.
c. Adaptasi Genetik
Faktor genetik berperan dalam adaptasi terhadap ketinggian dengan ditemukannya gen
yang selektif pada lingkungan hipoksia. Individu dengan alel dominan untuk saturasi oksigen
lebih tinggi mempunyai keuntungan selektif pada lingkungan tinggi yang hipoksia.
Belum banyak penelitian yang menghubungkan antara faktor genetik dengan ketinggian
geografis.Gelvis meneliti manusia yang tinggal di dataran tinggi Tibet untuk mengetahui
bagaimana protein melindungi enzim yang berperan dalam mekanisme perlindungan otot dari
bahaya oksidatif.Hasil penelitian mereka menyebutkan adanya adaptasi pada tingkat protein
yang menyebabkan orang Tibet mampu hidup di ketinggian.Simonson juga menemukan
adanya bukti genetik adaptasi orang Tibet di dataran tinggi. Hasil penelitian mereka
menunjukkan dengan akurat ternyata DNA orang Tibet tidak sama dengan orang yang hidup
di dataran tinggi Tiongkok. Mereka menemukan dua gen yaitu EGLN 1 dan PPARA yang
terletak pada kromosom manusia 1 dan 22. Peranan gen tersebut dalam adaptasi di dataran
tinggi tidak jelas, baik EGLN1 dan PPARA dapat menyebabkan penurunan konsentrasi
hemoglobin. Seluruh manusia mempunyai gen EPAS1, tetapi orang-orang Tibet mempunyai
versi gen yang spesial. Melalui proses evolusi yang panjang, individu-individu yang mewarisi
jenis gen ini mampu bertahan dan menurunkannya pada anak-anak mereka, sehingga jenis gen
spesial ini menjadi sesuatu yang sudah lumrah di seluruh penduduk.
Penelitian yang berhubungan dengan ketinggian untuk daerah ATPase6 mtDNA manusia
sudah pernah dilakukan oleh Ariningtyas dan Humayanti.Mereka meneliti variasi mutasi pada
populasi dataran rendah Cirebon dan dataran tinggi Kuningan.Hasil penelitian mereka belum
ditemukannya mutasi spesifik untuk populasi dataran rendah dan dataran tinggi, karena
mutasi A8701G dan A8860G yang ditemukan terdapat pada dua populasi yang diteliti.
HIPOKSIA
Hipoksia merupakan suatu keadaan yang terjadi secara akut sebagai akibat dari tidak
adekuatnya oksigenisasi jaringan. Dulu dikenal dengan istilah anoxia, tapi tidak relevan
karena selama manusia hidup jaringan tidak pernah mengalami keadaan tanpa oksigen sama
sekali.
Klasifikasi Hipoksia
Menurut sebabnya hipoksia ini dibagi menjadi 4 macam (Suroto, 1995) :
1. Hypoxic Hipoksia, yaitu hipoksia yang terjadi karena menurunnya tekanan parsial
oksigen dalam paru atau karena terlalu tebalnya dinding paru. Hypoxic Hipoksia
inilah yang sering dijumpai pada penerbangan, karena semakin tinggi terbang semakin
rendah tekanan barometernya sehingga tekanan parsial oksigennya pun semakin kecil.
2. Anemic Hipoksia, yaitu hipoksia yang disebabkan oleh karena berkurangnya
hemogloblin dalam darah baik karena jumlah darahnya yang kurang (perdarahan)
maupun karena kadar HB dalam darah menurun (anemia).
3. Stagnant Hipoksia, yaitu hipoksia yang terjadi karena adanya bendungan sistem
peredaran darah sehingga aliran darah tidak lancar, sehingga jumlah oksigen yang
diangkut dari paru menuju sel menjadi berkurang. Stagnant hipoksia sering terjadi
pada penderita penyakit jantung.
4. Histotoxic Hipoksia, yaitu hipoksia yang terjadi karena adanya bahan racun dalam
tubuh sehingga menggangu kelancaran pernapasan internal. Contohnya pada orang
yang mengkonsumsi alkohol dan narkotika, atau terkena racun sianida, maka
kemampuan sel untuk menggunakan oksigen yang tersedia menjadi menurun.
Faktor faktor yang mempengaruhi hipoksia :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Ketinggian tempat
Kecepatan naik
Lamanya ketinggian
Suhu lingkungan
Kegiatan fisik
Faktor individual :
a. Toleransi perorangan
b. Jasmani
c. Emosi
d. Aklimitasi
Tingkatan hipoksia berkaitan dengan tekanan atmosfer, ketinggian, dan saturasi oksigen
dalam darah, dibagi menjadi :
1. Indifferent stage
Kelainan biasanya muncul
sejak
ketinggian
5000
kaki.
Kelainan
berupa
memanjangnya adaptasi gelap. Oleh karena itu, bagi penerbang fighter diwajibkan
memakai masker oksigen sejak dari permukaan tanah pada malam hari.
2. Compensatory stage
Adanya kompensasi faali terhadap hipoksia, sehingga gejala hipoksia tidak terlalu
terlihat. Biasanya gejala yang nampak berupa pernapasan yang cepat dan dalam, serta
peningkatan dari nadi, sirkulasi, dan curah jantung.
3. Disturbance stage
Pada tingkat kompensasi faali sudah tidak bisa memenuhi kebutuhan oksigen jaringan.
Gejala gejala subjektif, meliputi :
a. Malas
b. Ngantuk
c. Euphoria
d. Pusing dan sakit kepala
Gejala gejala objektif, meliputi :
a. Panca indera
Kedua penglihatan menurun tajam. Daya perabaan dan rasa sakit menurun atau
bahkan menghilang. Pendengaran adalah indera terakhir yang mengalami
gangguan.
b. Fungsi otak
Kemunduran kecerdasan adalah tanda yang pertama kali muncul. Daya ingat
jangka pendek dan kemampuan membuat keputusan menurun. Waktu reaksi
memanjang.
c. Sifat kepribadian
Tergantung sifat dasar dari penerbang. Bisa timbul euphoria, over confidence,
ataupun moroseness.
d. Fungsi psikomotor
Koordinasi gerak otot menurun. Terlihat adanya gerakan yang kaku dan patahpatah, tulisan jelek, dan formasi pada saat terbang terganggu.
e. Gejala hiperventilasi
f. Cyanosis
4. Critical stage
Pada tingkat akhir ini kesadaran menghilang karena kegagalan sirkulasi dan sstem
saraf pusat (Suroto, 1995).
Tingkat Hipoksia
Tingkat
Indifferent
Compensatory
Disturbance
Critical
0 10000
10000 15000
15000 20000
20000 23000
34000 39000
39000 42500
42500 44800
44800 45500
Saturasi
oksigen
dalam darah
95% - 90%
90% - 80%
80% - 70%
70% - 60%
Time of Useful Consciousness (TUC) adalah waktu efektif yang masih dapat
digunakan sebelum seseorang menderita serangan hipoksia pada tiap ketinggian, di luar waktu
itu kesadaran akan hilang. Waktu itu berbeda beda pada tiap ketinggian, semakin tinggi
semakin pendek waktu tersebut. TUC ini juga dipengaruhi oleh kondisi badan dan kerentanan
seseorang terhadap hipoksia. TUC ini perlu diperhatikan oleh para awak pesawat agar mereka
dapat mengetahui berapa waktu yang tersedia baginya bila mendapat serangan hipoksia pada
ketinggian tersebut. Sebagai contoh : TUC pada ketinggian 22.000 kaki = 10 menit, 25.000
kaki = 3-5 menit, 28.000 kaki = 2,53 menit, 30.000 kaki = 1,5 menit, 35.000 kaki = 0,5 -1
menit, 40.000 kaki = 15 detik dan 65.000 kaki = 9 detik (Suroto, 1995).
Pengobatan hipoksia
Pengobatan hipoksia yang paling baik adalah pemberian oksigen secepat mungkin
sebelum terlambat, karena bila terlambat dapat mengakibatkan kelainan (cacat) sampai
dengan kematian. Pada penerbangan bila terjadi hipoksia harus segera menggunakan masker
oksigen atau segera turun pada ketinggian yang aman yaitu di bawah 10.000 kaki. (Harding,
1988)
Pencegahan hipoksia
Pencegahan hipoksia dapat dilakukan dengan beberapa cara mulai dari penggunaan
oksigen yang sesuai dengan ketinggian tempat kita berada, pernapasan dengan tekanan dan
penggunaan pressure suit, pengawasan yang baik terhadap persediaan oksigen pada
penerbangan, pengukuran pressurized cabin, mengikuti ketentuan ketentuan dalam
penerbangan dan sebagainya. Cara lain untuk pencegahan yaitu latihan mengenal datangnya
bahaya hipoksia agar dapat selalu siap menghadapi bahaya tersebut (Dhenin, 1978).
Oleh karena itu, kasus Hypoxia ini tidak terjadi pada penduduk setempat yang sudah terbiasa
hidup di daerah dataran tinggi tersebut dan bagi pendaki gunung diperlukan pos-pos
pemberhentian agar tubuh selalu dapat beradaptasi secara baik terus-menerus.
Kesetimbangan Pengikatan Oksigen oleh Hemoglobin
Keadaan tersebut dapat dijelaskan berdasarkan sistem reaksi kesetimbangan pengikatan
oksigen oleh hemoglobin:
Hb(aq) + O2(aq) HbO2(aq)