Anda di halaman 1dari 19

1.

Bagaimana penyesuaian fisiologis tubuh saat mendaki gunung?

1.2

Apa saja faktor yang mempengaruhi penyesuaian fisiologis tubuh saat


mendaki gunung?

Prinsip-prinsip utama yang terjadi pada aklimatisasi:


1. Peningkatan ventilasi paru yang cukup besar
2. peningkatan jumlah sel darah merah
3. peningkatan kapasitas difusi paru
4. peningkatan vaskularisasi jaringan perifer
5. peningkatan kemampuan sel dalam menggunakan oksigen sekalipun nilai
pO2 rendah. Pajanan pO2 rendah secara mendadadak akan merangsang
kemoreseptor arteri sehingga kemoreseptor tersebut akan meningkatkan
ventilasi alveolus menjadi maksimal 1,65 kali di atas normal.
Perubahan awal
1. Terjadinya Peningkatan Frekuensi Pernafasan.
Selama minggu pertama adaptasi, terjadi perubahan yang bervariasi.
Frekuensi pernafasan dan kedalamnya meningkat dalam darah, menyebabkan
lebih banyak oksigen diangkut ke gelembung udara paru. Peningkatan
frekuensi pernafasan dimulai pada jam awal kedatangan di ketingian kurang
dari 2000 m. Hilangnya karbondioksida menyebabkan tubuh menjadi lebih
alkalis (basa). Untuk mengkompensasi meningkatnya alkalinitas tubuh, ginjal
akan mengeluarkan bicarbonate-unsur alkali dalam kencing. Adaptasi ini
terjadi dalam 24-48 jam setelah hiperventilasi (nafas cepat) mulai.
2. Meningkatnya Frekuensi Denyut Jantung.
Sel-sel tubuh memerlukan masukan oksigen yang teratur sehingga
jantung berdenyut lebih cepat untuk memenuhi kebutuhan. Kecuali di
ketinggian yang ekstrim, denyut jantung akan kembali ke normal setelah
aklamatisasi.
3. Perpindahan Cairan
Aliran darah ke otak meningkat untuk mencukupi kebutuhan otak
dengan volume oksigen yang mencukupi (sebanding dengan yang dapat
diperoleh di atas laut). Di paru-paru, kapiler paru mengalami konstriksi
(pengkerutan), meningkatkan resistansi aliran ke paru dan meningkatkan
tekanan darah di paru. Yang berbahaya adalah tekanan darah yang tinggi
dalam arteri pulponalis menyebabkan cairan lari dari kapiler dan tumpah ke
paru sehingga terjadi pembengkakan di paru.

Perubahan lanjutan
1. Meningkatnya Produksi Sel Darah Merah
Selama

aklimitasi

berlanjut,

sumsum

tulang

berperan

dengan

meningkatkan produksi sel darah merah. Sel-sel darah merah yang baru akan
berfungsi dalam darah setelah 4-5 hari, sehingga akan meningkatkan
kapasitas darah dalam pengangkut oksigen.
2. Meningkatnya Produksi 2,3 DPG (Diphosphoglycareta)
Dengan meningkatnya produksi sel darah menjadi peningkatan 2,3
DPG. Ini adalah fosfat organic yang membantu oksigen untuk bergabung
dengan sel-sel darah merah. Produksi myoglobin, protein intramuskuler
pembawa oksigen dalam sel-sel darah juga meningkat.
3. Meningkatnya Jumah Pembuluh Darah Kapiler.
Tubuh mengembangkan lebih banyak pembuluh darah kapiler untuk
merespon terhadap ketinggian. Ini merubah kecepatan penyerapan oksigen
dengan memperpendek jarak antara sel dan pembuluh darah kapiler.
a. Bagaimana perubahan fisiologi tubuh yang normal pada saat berada di ketinggian

?(pada keadaan normal dan setelah berada di ketinggian)


Terjadi perubahan fisiologis yang signifikan terhadap kinerja paru saat berada
di ketinggian ataupun dataran rendah yaitu berpengaruh dalam Respons ventilasi.
Saat di ketinggian tekanan barometer menurun, ventilasi meningkat untuk
meminimalkan penurunan PaO2. Peningkatan ventilasi terjadi bila tekanan oksigen
inspirasi menurun sampai kira-kira 13,3 kPa (kilopascal) atau pada ketinggian 3000
meter dan tekanan oksigen alveolar kira-kira 8 kPa. Peningkatan ventilasi ini
merupakan akibat perangsangan hipoksia dari badan karotid yang derajatnya
berbeda tiap individu.
Hipoksia akut menyebabkan peningkatan ventilasi, setelah 15 menit terjadi
pengurangan hiperventilasi sekitar 25-30%; pengurangan ini terjadi akibat reaksi
sekunder neurotransmitter di sistem saraf pusat dan penurunan nilai metabolik
serebral, walaupun mekanismenya belum diketahui. Selanjutnya setelah beberapa
hari, ventilasi terus meningkat akibat kompensasi ginjal terhadap alkalosis
respiratorik melalui ekskresi bikarbonat yang memperbaiki status asam basa
sehingga merangsang pernapasan.

Hiperventilasi karena ketinggian akan diikuti peningkatan curah jantung,


frekuensi jantung dan tekanan darah sistemik. Efek ini akibat perangsangan
simpatis

system

kardiovaskular

yang

menyebabkan

perangsangan

kemoreseptorarteri dan peningkatan inflasi paru.


Selain itu mungkin juga merupakan akibat langsung efek hipoksia
miokardium yang menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah pulmoner.
Peningkatan curah jantung, vasokonstriksi hipoksik pulmoner dan rangsang saraf
simpatis pembuluh darah menyebabkan peningkatan tekanan arteri pulmoner ratarata yang selanjutnya dapat mengakibatkan hipertensi pulmoner serta peningkatan
kerja ventrikel kanan.
Fisiologi tubuh di ketinggian
1. Sistem respirasi
Ketinggian menyebabkan penurunan tekanan parsial oksigen (PO2)
inspirasi. Penurunan tekanan parsial oksigen menyebabkan penurunan
tekanan oksigen kapiler alveolar. Seiring dengan penurunan PO2, tubuh akan
mengkompensasinya dengan meningkatkan ventilasi. Respons ventilasi
merupakan keadaan fisiologi yang terjadi akibat ketinggian. Bila tekanan
barometer menurun, ventilasi meningkat untuk meminimalkan penurunan
PO2.
PO2 darah yang rendah pada keadaan normal tidak akan meningkatkan
ventilasi alveolus secara bermakna sampai tekanan oksigen alveolus turun
hampir separuh dari normal. Sebab dari berkurangnya efek perubahan
tekanan oksigen pada pengaturan pernapasan berlawanan dengan yang
disebabkan oleh mekanisme yang mengatur karbondioksida dan ion hidrogen.
Peningkatan ventilasi yang benar-benar terjadi bila PO2 turun mengeluarkan
karbondioksida dari darah dan oleh karena itu mengurangi tekanan PCO 2.
Penyebab

langsung

penurunan

PCO2

adalah

selalu

hiperventilasi

alveolar(ventilasi alveolus dalam keadaan kebutuhan metabolisme yang


berlebihan). Hiperventilasi menyebabkan alkalosis respiratorik dan kenaikan
pH darah. Hiperventilasi menggambarkan usaha tubuh untuk meningkatkan
PO2 dengan usaha membuang CO2 yang berlebihan dari paru sehingga
menimbulkan gejala sesak napas.

2. Sistem Kardiovaskular
Otot jantung seperti halnya otot rangka, menggunakan energy kimia
untuk menyebabkan kontraksi. Energy ini dihasilkan terutama dari
metabolisme oksidatif asam lemak dan sebagian kecil dari bahan makanan
yang lain, khususnya laktat dan glukosa. Karena itu, semakin berkurang
kandungan oksigen di udara, maka proses pembentukan energy pun akan
terganggu, dan suplai ke jantung pun akan ikut berkurang.
3. Sistem Aliran darah
Pada penderita hipoksia (hipoksia hipotoksik), aliran darah juga
terganggu akibat dari kompensasi tubuh tehadap sistem cardiovascular. Mulamula takikardi; kemudian bradikardia jika otot jantung tidak cukup mendapat
oksigen. Peningkatan tekanan darah yang diikuti dengan penurunan tekanan
darah jika hipoksia tidak diatasi.
4. Sistem Eskresi
Perubahan fungsi sistem ekskresi, seperti ginjal pada ketinggian 3200 m
sebagai efek langsung hipoksia sejalan dengan mekanisme kompensasi
adaptasi sistem lainnya. Pengeluaran urin dan ekskresi sodium ini juga
berhubungan dengan penurunan tekanan parsial Oksigen (PO2). Diuresis dan
natriuresis disertai ekskresi bikarbonat dan kalium sejalan dengan penurunan
inspirasi oksigen yang akut dan dimediasi oleh kemoreseptor perifer sensitive
oksigen. Ketika respon hiperventilasi hipoksia dimediasi oleh kemoreseptor
perifer, respon diuresis dan natriuresis hipoksia akan muncul selama 24-48
jam pertama bervariasi setiap individu hingga dampaknya bisa menyebabkan
dua sampai tiga kali peningkatan ekskresi protein dan urin yang
mekanismenya melibatkan perubahan permeabilitas kapiler. Dalam hal PO2
yang rendah pun, sel kortikal intestitial meningkatkan produksi eritropoietin
guna membantu oksigenasi ke jaringan, yang dilepaskan sejak 1-2 jam
pertama setelah paparan hipoksia dengan puncak pada 24-48 jam dan
menurun setelah beberapa minggu dan terjadi penekanan feedback.
5. Sistem saraf

Apabila sistem syaraf kekurangan suplai oksigen dapat menyebabkan


ischemic pada jaringan, bila berkelanjutan dapat menyebakan nekrosis dan
kemudian sel mengalami degenerasi. Kekurangan oksigen pada kelenjar juga
dapat menyebabkan kurangnya produksi cairan endolimfe dan perolimfe yang
mengatur keseimbangan tubuh.
1.2

Bagaimana pengaruh pendakian gunung dengan cepat tanpa berhenti


terhadap tubuh?

3.1

Apa tujuan pemberian Oxygen pada kasus?

3.2

Apa pengaruh A dipapah turun gunung?

Penatalaksanaan
Penanganan yang dapat dilakukan terhadap penderita hipoksia adalah:
Pemberian oksigen
Merupakan tindakan memberikan oksigen ke dalam saluran pernafasan dengan alat
bantu oksigen. Pemberian oksigen dapat dilakukan meallui tiga cara, yaitu melalui
kanula, nasakm dan masker. Pemberian oksigen ini ditujukan untuk memenuhi
kebutuhan oksigen dan mencegah terjadinya hipoksia.
Penanganan pada daerah tinggi yaitu:
1) Turun segera
Dengan turun segera dari ketinggian dapat menyembuhkan gejala dalam beberapa jam,
namun misi naik gunung dapat tertunda
2) Istirahat di ketinggian yang sama
Diharapkan terjadinya proses aklimatisasi(penyesuaian ketersediaan O2 yang menurun
di dataran tinggi), namun gejala baru akan hilang dalam 24-48 jam.
3) Istirahat dan minum Acetazolamide, atau Deksametason, atau keduanya
Dengan Acetazolamide, gejala dapat hilang dalam 12-24 jam, namun ada efek
samping obat. Sedangkan pada Deksametason dapat menghilangkan gejala dalam
beberapa jam, namun hanya menyembunyikan gejala dan tidak terjadi proses
aklimatisasi.
4) Terapi oksigen hiperbarik
Gejala akan hilang dalam beberapa menit, namun hanya dapat meningkatkan jumlah
O2 yang larut dalam darah arteri, sehingga memberikan arti yang terbatas pada
hipoksia stagnan, anemik, histotoksik, dan hipoksik.

Acute Mountain Sickness


Penyakit ketinggian dapat terjadi pada beberapa orang ketika berada di ketinggian
minimal 2.500 meter, tetapi gejala serius bisa saja tidak terjadi hingga berada di ketinggian
3.000 meter. Sulit untuk menentukan siapa yang mungkin akan terpengaruh oleh penyakit
ketinggian karena tidak ada faktor-faktor tertentu seperti usia, jenis kelamin, atau kondisi fisik
yang berkorelasi dengan kerentanan seseorang terhadap sakit karena ketinggian. Acute
mountain sickness ini sebenarnya lebih sering terjadi pada pria muda yang terlalu
bersemangat karena mereka lebih cenderung untuk mencoba melakukan pendakian cepat
dengan berlari menaiki gunung seperti beberapa superhero yang nekad (Fiore, 2010).
Acute mountain sickness adalah kelainan yang sangat umum di ketinggian. Pada lebih
dari 3.000 meter 75% orang akan mengalami gejala ringan. Terjadinya AMS tergantung pada
elevasi, laju pendakian, dan kerentanan individu. Banyak orang akan mengalami AMS ringan
selama proses aklimatisasi. Gejala biasanya mulai 12 sampai 24 jam setelah tiba di ketinggian
dan mulai penurunan keparahan sekitar hari ketiga. Adapun klasifikasi dari AMS yaitu ringan,
sedang, dan berat (Schommer, 2011).
Beberapa gejala yang bisa dilihat dari pendaki yang mengalami AMS ringan adalah
sakit kepala, mual & pusing, kehilangan nafsu makan, kelelahan, sesak napas, tidur
terganggu, dan perasaan malaise umum (Schommer, 2011).
Gejala cenderung lebih buruk pada malam hari dan ketika irama pernapasan menurun.
AMS ringan tidak mengganggu aktivitas normal dan gejala umumnya mereda dalam waktu
dua sampai empat hari sebagai aklimatisasi tubuh. Selama terjadinya gejala yang ringan, dan
hanya mengganggu, pendakian dapat melanjutkan ke tingkat menengah. Ketika hiking, adalah
penting untuk segera mengkomunikasikan gejala penyakit kepada teman seperjalanan.
Pada AMS sedang, akan sulit untuk beraktivitas normal, meskipun orang masih dapat
berjalan sendiri. Pada tahap ini, hanya terapi medikamentosa yang dapat membalikkan
masalah. Turun ke tempat yang lebih rendah sekitar 300 meter akan menghasilkan beberapa
perbaikan, dan 24 jam pada ketinggian yang lebih rendah akan menghasilkan perbaikan yang
signifikan. Orang harus tetap di ketinggian rendah sampai semua gejala sudah reda (sampai 3
hari). Pada titik ini, orang telah menyesuaikan dengan iklim untuk ketinggian itu dan dapat
mulai mendaki lagi.
Tanda-tanda dan gejala AMS sedang meliputi sakit kepala parah yang tidak berkurang
dengan obat-obatan, mual dan muntah, kelelahan, sesak napas, serta penurunan koordinasi
(ataksia).

Tes terbaik untuk AMS sedang adalah menyuruh seseorang yang terkena AMS sedang
berjalan dengan tumit sampai ujung kaki membentuk garis lurus seperti yang dilakukan pada
tes kesadaran. Seseorang dengan ataksia tidak akan mampu berjalan lurus. Ini merupakan
indikasi yang jelas bahwa turun ke ketinggian yang lebih rendah perlu segera dilakukan. Hal
ini penting untuk menghindari sebelum ataksia mencapai titik di mana mereka tidak bisa
berjalan sendiri (yang akan memerlukan evakuasi tandu), seperti terlihat pada gambar 1.

Gambar 1. Evakuasi tandu terhadap pasien AMS sedang (Ruhaizad, 2012)


Dalam kasus AMS berat, terdapat beberapa peningkatan keparahan gejala, seperti sesak
napas saat istirahat, ketidakmampuan untuk berjalan, penurunan status mental, dan bocor
cairan di paru-paru. AMS berat ini mengharuskan pendaki untuk turun ke tempat yang lebih
rendah secepatnya dari ketinggian sebelumnya.
Ada dua kondisi serius yang berhubungan dengan ketinggian AMS berat, yaitu High
Altitude Cerebral Edema (HACE) dan High Altitude Pulmonary Edema (HAPE). HAPE
adalah kelainan yang lebih sering terjadi, terutama bagi mereka yang mampu beradaptasi
terhadap iklim. Tapi, ketika hal ini terjadi, biasanya menyerang kelompok orang yang sudah
mendaki terlalu tinggi dan terlalu cepat atau pendakian pada daerah yang sangat tinggi dan
tinggal di sana. Dalam kedua kasus ini kurangnya hasil oksigen mengakibatkan kebocoran
cairan melalui dinding kapiler dan memunculkan kelainan baik pada paru-paru atau otak
(Fiore, 2010).
High altitude cerebral edema adalah hasil dari pembengkakan jaringan otak dari
kebocoran cairan. Untuk gejalanya sendiri HACE dapat dilihat dari adanya sakit kepala, rasa
lemah, disorientasi, kehilangan koordinasi, penurunan tingkat kesadaran, kehilangan memori,
halusinasi & perilaku psikosis, dan koma (Schommer, 2011).
Gejala ini umumnya terjadi setelah seminggu atau lebih pada daerah yang tinggi. Kasus
berat dapat menyebabkan kematian jika tidak ditangani dengan cepat. Turun ke tempat yang

lebih rendah dengan segera sekitar 600 meter ke bawah adalah upaya menyelamatkan nyawa
yang diperlukan. Ada beberapa obat yang dapat digunakan untuk pengobatan di lapangan, tapi
ini memerlukan pelatihan yang tepat dalam penggunaannya (Schommer, 2011).
Siapapun yang menderita HACE harus dievakuasi ke fasilitas medis untuk tindak lanjut
pengobatan.
High altitude pulmonary edema adalah kasus dimana terdapat hasil dari cairan yang
terbentuk di paru-paru. Cairan ini mencegah pertukaran oksigen yang efektif. Ketika kondisi
menjadi lebih parah, tingkat oksigen dalam aliran darah berkurang, yang menyebabkan
sianosis, gangguan fungsi otak, dan kematian (Schommer, 2011).
Gejala HAPE ini meliputi sesak napas pada saat istirahat, sesak di dada, batuk terusmenerus membesarkan cairan putih, berair, atau berbusa, adanya kelelahan dan kelemahan,
perasaan sesak napas yang akan datang di malam hari, kebingungan, dan perilaku irasional
(Schommer, 2011).
Kebingungan, dan perilaku irasional adalah tanda-tanda bahwa oksigen tidak cukup
mencapai otak. Salah satu metode untuk pengujian diri sendiri untuk HAPE adalah untuk
memeriksa waktu pemulihan kita setelah pengerahan tenaga.

Grade
Mild

Symptoms
Sesak napas saat melakukan

Signs
HR (rest) < 90-100

Chest Xray
Eksudat dalam paru-

kegiatan, batuk kering

RR (rest) <20

paru

Moderat

Sesak napas saat

dusky nailbeds
HR 90-110

25%
Eksudatnya

kelelahan, batuk serak

RR 16-30

bertambah menjadi

cyanotic nailbeds

50% pada satu atau

HR > 110

kedua paru
Eksudat lebih

RR > 30

50%

wajah & kuku sianosis,

paru

Severe

Sesak
ekstrim,

napas,

istirahat,

Kelelahan

sesak Ketika

berbaring (orthopnea)

kurang dari

dari

pada kedua

sputum darah, koma


Klasifikasi dari HAPE dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Klasifikasi HAPE (Dietz, 2000)
Dalam kasus HAPE, turun ke tempat yang lebih rendah secepatnya sekitar 600 meter
ke bawah adalah hal yang diperlukan untuk menyelamatkan nyawa. Siapapun yang
menderita HAPE harus dievakuasi ke fasilitas medis untuk tindak lanjut yang tepat
pengobatan (Dietz, 2000).

Penanganan Acute Mountain Sickness (AMS)


Obat terbaik guna mencegah kerusakan lebih lanjut pada AMS adalah melakukan
aklimatisasi atau turun ke tempat yang lebih rendah. Gejala AMS ringan dapat diobati
dengan pembunuh rasa sakit untuk sakit kepala, acetazolamide dan deksametason. Hal ini
membantu untuk mengurangi keparahan gejala, tapi ingat, mengurangi gejala tidak
menyembuhkan masalah dan bahkan bisa memperburuk masalah dengan menutupi gejala
lain (Fiore, 2010).
Acetazolamide memungkinkan pendaki untuk bernapas lebih cepat sehingga
membantu metabolisme dengan persediaan oksigen yang lebih banyak, sehingga
meminimalkan gejala-gejala yang disebabkan oleh miskinnya oksigenasi yang sangat
membantu pada malam hari ketika kemampuan pernapasan menurun. Dosis pemberian
acetazolamide adalah 125 mg po setiap 12 jam, dan pendaki diharuskan untuk tidak
melanjutkan pendakiannya sampai gejala-gejala AMS hilang secara total. Namun,
acetazolamide tidak memproteksi sepenuhnya pendaki yang telah membaik dan ingin
melanjutkan pendakiannya. Acetazolamide ini sendiri merupakan obat sulfonamide
derivative, sehingga tidak dianjurkan untuk diberikan kepada pendaki yang menderita
alergi sulfa (Stephen, 2010).
Acute mountain sickness ini juga dapat ditangani dengan pemberian deksametason 4
mg per oral atau intramuscular setiap 6 jam sebanyak 2 dosis. Pendaki tidak boleh
melanjutkan pendakiannya sampai membaik kurang lebih 18 jam (Fiore, 2010).
Deksametason ini sendiri memiliki efek anti inflamasi dan anti alergi dengan pencegahan
pelepasan histamin. Pendaki yang mengalami AMS juga bisa diberikan terapi oksigen
hiperbarik menggunakan hyperbaric bag dengan kecepatan pemberian oksigen 4
liter/menit. Bentuk dari hyperbaric bag dapat dilihat di gambar 2 di bawah (Stephen, 2010).

Gambar 2. Hyperbaric Bag (Dietz, 2000)


Penanganan High Altitude Cerebral Edema (HACE)
High altitude cerebral edema merupakan kasus lanjutan setelah seorang pendaki
mengalami AMS. Hal ini bisa terjadi akibat kurangnya oksigen sehingga menimbulkan
kebocoran kapiler yang menyebabkan edema karena akumulasi cairan di otak (Fiore, 2010).
Dalam penanganannya, pemilihan deksametason merupakan obat yang tepat, karena
deksametason ini adalah obat steroid yang kuat dan dapat menyelamatkan jiwa pada orang
dengan HACE, dimana obat ini bekerja dengan mengurangi pembengkakan dan mengurangi
tekanan dalam rongga kepala. Obat ini membeli waktu terutama pada malam hari ketika
mungkin saja terjadi masalah untuk turun. Tidaklah bijaksana untuk naik saat menggunakan
deksametason. Deksametason dapat sangat efektif. Misalnya, banyak orang yang lesu atau
bahkan koma akan membaik secara signifikan setelah menerima deksametason baik tablet
atau suntikan, dan bahkan tidak terkecuali para pendaki yang turun dengan bantuan (Fiore,
2010).
Pemberian deksametason dengan dosis awal 8 mg IM diikuti 4 mg IM/po setiap 6 jam
adalah penanganan yang dianjurkan. Pendaki gunung juga kadang-kadang membawa obat ini
untuk mencegah atau mengobati AMS. Perlu digunakan hati-hati, karena bagaimanapun juga
obat ini dapat menyebabkan iritasi lambung. Pada orang alergi terhadap obat sulfa,
deksametason juga dapat digunakan untuk pencegahan, dengan dosis 4 mg dua kali sehari
selama sekitar tiga hari. Ibuprofen (600 mg tiga kali sehari) juga dapat diberikan dan efektif
dalam menghilangkan sakit kepala akibat ketinggian. Terapi oksigen hiperbarik juga bisa
menjadi pilihan dalam menangani kasus HACE ini (Dietz, 2000).

Gambar 3. MRI dari High Altitude Cerebral Edema (Dietz, 2000)


Penanganan High Altitude Pulmonary Edema (HAPE)
Patofisiologi HAPE sudah jelas berbeda dari AMS ataupun HACE. HAPE diawali
dengan adanya vasokontriksi dari pembuluh darah paru yang disebabkan oleh hipoksia,
sehingga terjadi perpindahan darah dari pembuluh darah menuju paru-paru dan menghasilkan
hipertensi paru-paru.
Sama seperti HACE, pendaki dengan diagnosis HAPE sangat diwajibkan untuk segera
turun. Pasien sebaiknya diangkut dengan tandu, karena berjalan dapat meningkatkan tekanan
arteri pulmonar yang akan memperburuk gejala. Usahakan juga pasien dalam keadaan hangat
agar tekanan arterinya tidak kembali meningkat.
Pemberian nifedipine merupakan terapi yang dianjurkan untuk kasus ini. Pasien
diharuskan mengunyah 10 mg + 10 mg yang ditelan di awal, dan dilanjutkan dengan 10 mg
po setiap 4 jam. Bila pasien koma, hancurkan nifedipine dan diminumkan kepada pasien.
Nifedipine ini bersifat memvasodilatasikan pulmonar dan juga menghilangkan hipertensi
pulmonar. Obat ini juga bisa meningkatkan saturasi oksigen, walaupun beresiko menimbulkan
hipotensi (Paralikar, 2010).
Selain nifedipine, penggunaan hyperbaric bag juga bisa dilakukan guna mempercepat
waktu perbaikan tekanan bagi tubuh pasien yang gagal beraklimatisasi. Bedrest dan
pemberian furosemide 80 mg tiap 12 jam juga dapat membantu terapi untuk pasien dengan
gejala HAPE (Dietz, 2000).

Gambar 4. HAPE chest X-ray (Dietz, 2000)


1.

Pencegahan Kasus High Altitude Illness


Pencegahan high altitude illness bisa difokuskan terhadap AMS, karena HACE dan

HAPE tak akan terjadi bila tidak diawali dengan AMS. Beberapa pedoman yang dapat diikuti

guna menjaga kenyamanan dalam pendakian antara lain (Schommer, 2011):


a. Jika mungkin, jangan berlari atau mendaki terlalu cepat dalam 24 jam pertama untuk
ketinggian yang tinggi. Mulai di bawah 3.000 meter dan seterusnya.
b. Jika mendaki dimulai di atas 3.000 meter, tingkatkan ketinggian sebanyak 300 meter
per hari, dan untuk setiap 900 meter dari elevasi yang diperoleh, ambil hari istirahat
untuk menyesuaikan diri.
c. Mendaki ke tempat tinggi dan usahakan tidur di tempat yang lebih rendah! Pendaki
bisa naik lebih dari 300 meter dalam satu hari selama bisa kembali turun dan tidur di
ketinggian yang lebih rendah.
d. Jika pendakian dimulai dari ketinggian moderat, jangan dulu mendaki sampai gejala
penyakit berkurang. Jadi bila gejala malah meningkat, usahakan untuk turun ke
tempat yang lebih rendah terlebih dahulu.
e. Perlu diingat bahwa setiap orang berbeda ketahanannya pada ketinggian yang
berbeda-beda pula. Pastikan setiap orang dalam tim kita benar-benar mampu
menyesuaikan dengan iklim dan ketinggian sebelum mendaki ke tempat yang lebih
tinggi.
f.Tetap terhidrasi dan minum dengan baik. Aklimatisasi sering disertai dengan
kehilangan cairan, sehingga kita perlu untuk minum banyak cairan untuk tetap
terhidrasi dengan baik (setidaknya 4-6 liter per hari). Output urin harus berlimpah
dan jernih, kuning pucat.
g. Kalau bisa beraktivitaslah pada cahaya di siang hari, hal ini lebih baik daripada tidur
karena pernapasan menurun selama tidur sehingga dapat memperburuk gejala.
h. Hindari tembakau, alkohol dan obat-obatan depresan lainnya termasuk, barbiturat,
penenang, obat tidur dan opiat seperti dihydrocodeine. Ini lebih lanjut menurunkan
ritme pernapasan saat tidur yang mengakibatkan memburuknya gejala.
i. Makan makanan berkalori tinggi sementara saat berada pada ketinggian.
j. Ingat: Aklimatisasi dihambat oleh kelelahan, dehidrasi, dan alkohol.
Acetazolamide adalah obat yang paling dicoba dan diuji untuk pencegahan dan
pengobatan penyakit ketinggian. Untuk pencegahan, 125-250 mg dua kali sehari mulai satu
atau dua hari sebelum dan berlanjut selama tiga hari setelah ketinggian tertinggi tercapai
merupakan hal yang efektif (Fiore, 2010). Konsentrasi puncak acetazolamide pada darah
antara satu sampai empat jam setelah pemberian tablet. Penelitian telah menunjukkan bahwa
pemberian profilaksis acetazolamide pada dosis 250 mg setiap 8-12 jam sebelum dan selama
pendakian efektif untuk mengurangi gejala berat (sakit kepala, mual, sesak napas, pusing,
mengantuk, dan kelelahan) penyakit gunung akut (AMS). Fungsi paru lebih besar baik pada

subyek dengan AMS ringan dan subyek tanpa gejala. Para pendaki juga biasanya mengalami
kesulitan kurang tidur (Stephen, 2010).
Deksametason (steroid) adalah obat yang menurunkan pembengkakan otak dan
memperbaiki efek dari AMS. Dosis biasanya 4 mg dua kali sehari selama beberapa hari
dimulai dengan pendakian. Hal ini mencegah sebagian besar gejala penyakit ketinggian
berkembang. Namun perlu diingat bahwa deksametason adalah obat kuat dan harus digunakan
dengan hati-hati, hanya atas saran dari dokter serta harus digunakan untuk membantu
aklimatisasi oleh orang-orang yang cukup memenuhi syarat atau mereka dengan pengalaman
dalam melakukan penggunaannya (Paralikar, 2010)

Adaptasi Lingkungan
Mekanisme Adaptasi Terhadap Ketinggian
a. Adaptasi Fungsional
Setelah efek permulaan dan respon terhadap stress ketinggian, biasanya dicirikan dengan
menghilangnya gejala mountain sickness akut terjadi respon adaptasi yang berkembang secara
gradual kadang membutuhkan waktu beberapa bulan hingga beberapa tahun untuk
perkembangan yang lengkap. Frisancho (1979) menyebutkan beberapa mekanisme adaptasi
fungsional terjadi melalui aklimatisasi berhubungan langsung dengan ketersediaan oksigen
dan tekanan oksigen pada jaringan, terjadi melalui modifikasi :
Ventilasi paru-paru.
Volume paru-paru dan kapasitas difusi pulmoner.
Transport oksigen dalam darah.
Difusi oksigen dari darah ke jaringan.
Penggunaan oksigen pada tingkat jaringan.
Penduduk asli kota pada tempat tinggi beraklimatisasi terhadap tempat tinggi sejak
lahir atau selama pertumbuhan mempunyai kapasitas aerobic yang lebih tinggi daripada
subjek yang beraklimatisasi pada saat dewasa. Diantara subjek yang beraklimatisasi pada
tempat tinggi selama masa pertumbuhan hampir 25% variabilitas dalam kapasitas aerobic
dapat dijelaskan dengan faktor perkembangan dan dengan faktor genetis 20-25 % (Frisancho
et al 1995 dalam Tutiek Rahayu).
Hubungan antara tingkat aktivitas pekerjaan dan aktivitas aerobic yang lebih besar
diantara subjek yang beraklimatisasi pada tempat tinggi sebelum umur 10 tahun daripada
setelah umur tersebut.Sehingga dapat dikatakan bahwa kapasitas aerobik normal pada tempat
tinggi berhubungan dengan aklimatisasi perkembangan dan fakor genetik tetapi ekspresinya
dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti aktivitas pekerjaan dan komposisi badan.

Kapasitas untuk beradaptasi pada tempat yang tinggi bervariasi pada tiap
individu.Beberapa orang tidak pernah beraklimatisasi dengan sukses sementara lainnya dapat
menyesuaikan diri tetapi tidak dapat bekerja dengan penuh. Salah satu penyebab stress
lingkungan di ketinggian untuk manusia yakni tekanan udara yang rendah yang menjadi
faktor keterbatasan signifikan dalam daerah ketinggian.
Presentase oksigen di udara pada ketinggian 2 mil (3,2 km) sama seperti sea level
(21%). Namun tekanan udara lebih rendah 30 % pada ketinggian yang lebih jauh disebabkan
molekul pada atmosfer lebih jarang sehingga letak molekul-molekul tersebut saling berjauhan.
Ketika kita menghirup udara pada sea level, tekanan atmosfer sekitar 1,04 kg per cm2 yang
menyebabkan oksigen dengan mudah melewati membrane permeable selektif paru menuju
darah. Pada ketinggian tekanan udara yang lebih rendah membuat oksigen sulit untuk
memasuki sistem vascular tubuh.Hasilnya berdampak pada hipoksia atau kekurangan oksigen.
Ketika kita bepergian ke daerah yang lebih tinggi tubuh kita mulai membentuk respon
fisiologis yang efisien.Terdapat kenaikan frekuensi pernapasan dan denyut jantung hingga dua
kali lipat walapun saat istirahat.Denyut nadi dan tekanan darah meningkat karena jantung
memompa lebih kuat untuk mendapatkan lebih banyak oksigen.Kemudian tubuh mulai
membentuk respon efisien secara normal yaitu aklimatisasi.Sel darah merah lebih banyak
diproduksi untuk membawa oksigen lebih banyak. Paru-paru akan lebih mengembang untuk
memfasilitasi osmosis oksigen dan karbondioksida. Terjadi pula peningkatan vaskularisasi
otot yang memperkuat transfer gas.
Ketika kembali pada level permukaan laut setelah terjadi aklimatisasi yang sukses
terhadap ketinggian, tubuh akan mempunyai lebih banyak sel darah merah dan kapasitas paru
yang lebih besar. Berdasarkan hal ini, Amerika dan beberapa Negara lain sering melatih para
atletnya di pegunungan. Akan tetapi, perubahan fisiologik ini hanya berlangsung singkat.
Pada beberapa minggu tubuh akan kembali pada kondisi normal.
b.

Adaptasi Biokimia
Pada ketinggian didapati terjadinya stress reduktif yang juga mengakibatkan

peningkatan produksi radikal bebas oleh sistem transport electron mitokondria terutama pada
kompleks I dan III. Pada hipoksia, terjadi penurunan jumlah oksigen yang tersedia untuk
direduksi menjadi H2O pada sitokrom oksidase.Terjadilah akumulasi ekuivalen pereduksi
yang menginduksi auto oksidasi kompleks mitokondria dan membangkitkan spesies oksigen
reaktif.
Hipoksia ini dapat menyebabkan peningkatan produksi spesies oksigen reaktif seperti
anion superoksida (O2-), radikal hidroksil (-OH), dan hydrogen peroksida (H2O2) dari sel

parenkim dan endotel vaskuler yang hipoksik.Maka dari itu, sel memiliki mekanisme
pertahanan terhadap radikal bebas yakni berupa sistem antioksidan sebagai adaptasi biokimia
dengan memiliki enzim-enzim antioksidan seperti superoksida dismutase (SOD), glutation
peroksidase, dan katalase.
c. Adaptasi Genetik
Faktor genetik berperan dalam adaptasi terhadap ketinggian dengan ditemukannya gen
yang selektif pada lingkungan hipoksia. Individu dengan alel dominan untuk saturasi oksigen
lebih tinggi mempunyai keuntungan selektif pada lingkungan tinggi yang hipoksia.
Belum banyak penelitian yang menghubungkan antara faktor genetik dengan ketinggian
geografis.Gelvis meneliti manusia yang tinggal di dataran tinggi Tibet untuk mengetahui
bagaimana protein melindungi enzim yang berperan dalam mekanisme perlindungan otot dari
bahaya oksidatif.Hasil penelitian mereka menyebutkan adanya adaptasi pada tingkat protein
yang menyebabkan orang Tibet mampu hidup di ketinggian.Simonson juga menemukan
adanya bukti genetik adaptasi orang Tibet di dataran tinggi. Hasil penelitian mereka
menunjukkan dengan akurat ternyata DNA orang Tibet tidak sama dengan orang yang hidup
di dataran tinggi Tiongkok. Mereka menemukan dua gen yaitu EGLN 1 dan PPARA yang
terletak pada kromosom manusia 1 dan 22. Peranan gen tersebut dalam adaptasi di dataran
tinggi tidak jelas, baik EGLN1 dan PPARA dapat menyebabkan penurunan konsentrasi
hemoglobin. Seluruh manusia mempunyai gen EPAS1, tetapi orang-orang Tibet mempunyai
versi gen yang spesial. Melalui proses evolusi yang panjang, individu-individu yang mewarisi
jenis gen ini mampu bertahan dan menurunkannya pada anak-anak mereka, sehingga jenis gen
spesial ini menjadi sesuatu yang sudah lumrah di seluruh penduduk.
Penelitian yang berhubungan dengan ketinggian untuk daerah ATPase6 mtDNA manusia
sudah pernah dilakukan oleh Ariningtyas dan Humayanti.Mereka meneliti variasi mutasi pada
populasi dataran rendah Cirebon dan dataran tinggi Kuningan.Hasil penelitian mereka belum
ditemukannya mutasi spesifik untuk populasi dataran rendah dan dataran tinggi, karena
mutasi A8701G dan A8860G yang ditemukan terdapat pada dua populasi yang diteliti.
HIPOKSIA
Hipoksia merupakan suatu keadaan yang terjadi secara akut sebagai akibat dari tidak
adekuatnya oksigenisasi jaringan. Dulu dikenal dengan istilah anoxia, tapi tidak relevan
karena selama manusia hidup jaringan tidak pernah mengalami keadaan tanpa oksigen sama
sekali.

Klasifikasi Hipoksia
Menurut sebabnya hipoksia ini dibagi menjadi 4 macam (Suroto, 1995) :
1. Hypoxic Hipoksia, yaitu hipoksia yang terjadi karena menurunnya tekanan parsial
oksigen dalam paru atau karena terlalu tebalnya dinding paru. Hypoxic Hipoksia
inilah yang sering dijumpai pada penerbangan, karena semakin tinggi terbang semakin
rendah tekanan barometernya sehingga tekanan parsial oksigennya pun semakin kecil.
2. Anemic Hipoksia, yaitu hipoksia yang disebabkan oleh karena berkurangnya
hemogloblin dalam darah baik karena jumlah darahnya yang kurang (perdarahan)
maupun karena kadar HB dalam darah menurun (anemia).
3. Stagnant Hipoksia, yaitu hipoksia yang terjadi karena adanya bendungan sistem
peredaran darah sehingga aliran darah tidak lancar, sehingga jumlah oksigen yang
diangkut dari paru menuju sel menjadi berkurang. Stagnant hipoksia sering terjadi
pada penderita penyakit jantung.
4. Histotoxic Hipoksia, yaitu hipoksia yang terjadi karena adanya bahan racun dalam
tubuh sehingga menggangu kelancaran pernapasan internal. Contohnya pada orang
yang mengkonsumsi alkohol dan narkotika, atau terkena racun sianida, maka
kemampuan sel untuk menggunakan oksigen yang tersedia menjadi menurun.
Faktor faktor yang mempengaruhi hipoksia :
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Ketinggian tempat
Kecepatan naik
Lamanya ketinggian
Suhu lingkungan
Kegiatan fisik
Faktor individual :
a. Toleransi perorangan
b. Jasmani
c. Emosi
d. Aklimitasi
Tingkatan hipoksia berkaitan dengan tekanan atmosfer, ketinggian, dan saturasi oksigen
dalam darah, dibagi menjadi :
1. Indifferent stage
Kelainan biasanya muncul

sejak

ketinggian

5000

kaki.

Kelainan

berupa

memanjangnya adaptasi gelap. Oleh karena itu, bagi penerbang fighter diwajibkan
memakai masker oksigen sejak dari permukaan tanah pada malam hari.
2. Compensatory stage
Adanya kompensasi faali terhadap hipoksia, sehingga gejala hipoksia tidak terlalu
terlihat. Biasanya gejala yang nampak berupa pernapasan yang cepat dan dalam, serta
peningkatan dari nadi, sirkulasi, dan curah jantung.
3. Disturbance stage

Pada tingkat kompensasi faali sudah tidak bisa memenuhi kebutuhan oksigen jaringan.
Gejala gejala subjektif, meliputi :
a. Malas
b. Ngantuk
c. Euphoria
d. Pusing dan sakit kepala
Gejala gejala objektif, meliputi :
a. Panca indera
Kedua penglihatan menurun tajam. Daya perabaan dan rasa sakit menurun atau
bahkan menghilang. Pendengaran adalah indera terakhir yang mengalami
gangguan.
b. Fungsi otak
Kemunduran kecerdasan adalah tanda yang pertama kali muncul. Daya ingat
jangka pendek dan kemampuan membuat keputusan menurun. Waktu reaksi
memanjang.
c. Sifat kepribadian
Tergantung sifat dasar dari penerbang. Bisa timbul euphoria, over confidence,
ataupun moroseness.
d. Fungsi psikomotor
Koordinasi gerak otot menurun. Terlihat adanya gerakan yang kaku dan patahpatah, tulisan jelek, dan formasi pada saat terbang terganggu.
e. Gejala hiperventilasi
f. Cyanosis
4. Critical stage
Pada tingkat akhir ini kesadaran menghilang karena kegagalan sirkulasi dan sstem
saraf pusat (Suroto, 1995).
Tingkat Hipoksia
Tingkat

Ketinggian dalam kaki


Bernapas udara
Bernapas 100% O2

Indifferent
Compensatory
Disturbance
Critical

0 10000
10000 15000
15000 20000
20000 23000

34000 39000
39000 42500
42500 44800
44800 45500

Saturasi

oksigen

dalam darah
95% - 90%
90% - 80%
80% - 70%
70% - 60%

Gejala gejala objektif, meliputi :


a. Air hunger, yaitu rasa ingin menarik napas panjang terus menerus
b. Frekuensi nadi dan pernapasan naik
c. Gangguan pada cara berpikir dan konsentrasi
d. Gangguan dalam melakukan gerakan koordinatif, misalnya memasukkan paku ke
e.
f.
g.
h.

dalam lubang yang sempit


Sianosis, yaitu warna kulit, kuku dan bibir menjadi biru.
Lemas
Kejang kejang
Pingsan dan sebagainya.

Time of Useful Consciousness (TUC)

Time of Useful Consciousness (TUC) adalah waktu efektif yang masih dapat
digunakan sebelum seseorang menderita serangan hipoksia pada tiap ketinggian, di luar waktu
itu kesadaran akan hilang. Waktu itu berbeda beda pada tiap ketinggian, semakin tinggi
semakin pendek waktu tersebut. TUC ini juga dipengaruhi oleh kondisi badan dan kerentanan
seseorang terhadap hipoksia. TUC ini perlu diperhatikan oleh para awak pesawat agar mereka
dapat mengetahui berapa waktu yang tersedia baginya bila mendapat serangan hipoksia pada
ketinggian tersebut. Sebagai contoh : TUC pada ketinggian 22.000 kaki = 10 menit, 25.000
kaki = 3-5 menit, 28.000 kaki = 2,53 menit, 30.000 kaki = 1,5 menit, 35.000 kaki = 0,5 -1
menit, 40.000 kaki = 15 detik dan 65.000 kaki = 9 detik (Suroto, 1995).
Pengobatan hipoksia
Pengobatan hipoksia yang paling baik adalah pemberian oksigen secepat mungkin
sebelum terlambat, karena bila terlambat dapat mengakibatkan kelainan (cacat) sampai
dengan kematian. Pada penerbangan bila terjadi hipoksia harus segera menggunakan masker
oksigen atau segera turun pada ketinggian yang aman yaitu di bawah 10.000 kaki. (Harding,
1988)
Pencegahan hipoksia
Pencegahan hipoksia dapat dilakukan dengan beberapa cara mulai dari penggunaan
oksigen yang sesuai dengan ketinggian tempat kita berada, pernapasan dengan tekanan dan
penggunaan pressure suit, pengawasan yang baik terhadap persediaan oksigen pada
penerbangan, pengukuran pressurized cabin, mengikuti ketentuan ketentuan dalam
penerbangan dan sebagainya. Cara lain untuk pencegahan yaitu latihan mengenal datangnya
bahaya hipoksia agar dapat selalu siap menghadapi bahaya tersebut (Dhenin, 1978).
Oleh karena itu, kasus Hypoxia ini tidak terjadi pada penduduk setempat yang sudah terbiasa
hidup di daerah dataran tinggi tersebut dan bagi pendaki gunung diperlukan pos-pos
pemberhentian agar tubuh selalu dapat beradaptasi secara baik terus-menerus.
Kesetimbangan Pengikatan Oksigen oleh Hemoglobin
Keadaan tersebut dapat dijelaskan berdasarkan sistem reaksi kesetimbangan pengikatan
oksigen oleh hemoglobin:
Hb(aq) + O2(aq) HbO2(aq)

HbO2 merupakan oksihaemoglobin yang berperan dalam membawa oksigen ke seluruh


jaringan tubuh termasuk otak. Tetapan kesetimbangan dari reaksi tersebut adalah:
Kc = [HbO2] / [Hb][O2]
Pada ketinggian 3 km, tekanan parsial gas oksigen sekitar 0,14 atm, sedangkan pada
permukaan laut tekanan parsial gas oksigen sebesar 0,2 atm.
Kesetimbangan akan bergeser ke kiri
Berdasarkan azas Le-Chatelier, dengan berkurangnya gas oksigen berati kesetimbangan akan
bergeser ke kiri, dan berakibat kadar HbO2 di dalam darah menurun. Akibat yang ditimbulkan
dari keadaan tersebut, suplai oksigen ke seluruh jaringan akan berkurang. Hal inilah yang
mengakibatkan terjadinya rasa mual dan pusing, serta perasaan tidak nyaman pada tubuh.
Kondisi tersebut akan mengakibatkan tubuh berusaha beradaptasi dengan memproduksi
hemoglobin sebanyak-banyaknya. Dengan meningkatnya konsentrasi hemoglobin akan
menggeser kembali kesetimbangan ke kanan dan HbO2 akan meningkat kembali seperti
semula. Penyesuaian ini berlangsung kurang lebih 2-3 minggu.
Dari penelitian, diketahui bahwa kadar hemoglobin rata-rata penduduk yang bertempat tinggal
di dataran tinggi akan memiliki hemoglobin lebih tinggi daripada penduduk yang bertempat
tinggal di dataran rendah.

Anda mungkin juga menyukai