Anda di halaman 1dari 27

1.

Berikan contoh-contoh tentang kerusakan lingkungan di Indonesia, diantaranya seperti dalam


slide-slide diatas (sile 41 sd 50), kerusakan lingkungan tersebut disebabkan oleh orang
miskin atau orang kaya (atau perusahaan)? Berikan pendapat saudara dengan disertai dengan
penjelasan yang memadai (carilah referensi)
Artikel : Hutan Mangrove Babel Mengkhawatirkan
PANGKALPINANG (radarbangka.co.id) - Berdasarkan catatan yang dikumpulkan Wahana
Lingkungan Hidup (Walhi) wilayah Bangka Belitung (Babel) di lapangan, beberapa titik hutan
mangrove atau hutan bakau di Babel rusak parah bahkan mengkhawatirkan.
Dari data primer tahun 2009 di Desa Lumut, Baturusa, Kampung Pasir, Air Ainyir,
Pelabuhan Jelitik, Kurau, dan Sampur, kerusakan tersebut mayoritas disebabkan oleh aktivitas
penambangan.
"Kita belum melakukan pemetaan. Tapi sejauh ini dari data yang dikumpulkan di
lapangan, yaitu data primer, beberapa titik kawasan hutan mangrove di Babel sudah rusak.
Indikasi kerusakan tersebut karena aktivitas penambangan. Kita melakukan pendataan di tujuh
lokasi yang memiliki luas lahan hutan mangrove yang cukup besar di Babel," ungkap Direktur
Eksekutif Walhi Babel, Ratno Budi kepada Radar Bangka Minggu (22/5).
Ratno mengatakan, kerusakan hutan mangrove tersebut dapat berimbas ke permasalahan
lingkungan. Seperti terjadinya abrasi pantai, banjir, sedimentasi, menurunnya produktivitas
perikanan. Selain itu menurut dia, akibatknya juga hilangnya habitat satwa daratan dan lautan,
hilangnya berbagai jenis satwa dan flora mangrove, sampai terjadinya kehilangan beberapa pulau
kecil, yang berarti hilangnya bufferzone (daerah penyangga) yang berfungsi untuk menjaga
kestabilan ekosistem pesisir, pantai dan daratan.
"Walhi melihat beberapa fungsi dari mangrove Babel sangat penting. Pengelolalan hutan
mangove jika tidak arif, maka dapat menyebabkan gangguan lingkungan lainnya," ujarnya.
Ekosistem mangrove yang unik dan kompleks sebagai penyambung antara ekosistem darat dan
ekosistem laut ini, dapat ditemukan di sepanjang pantai atau muara-muara sungai yang selalu
dipengaruhi oleh pasang surut air laut.
Secara fisik, hutan mangrove berfungsi menjaga garis pantai agar tetap stabil dan kokoh
dari abrasi air laut, melindungi pantai dan tebing sungai dari proses erosi atau abrasi serta

menahan atau menyerap tiupan angin kencang dari laut ke darat pada malam hari, menahan
sedimen secara periodik sampai terbentuk lahan baru dan sebagai kawasan penyangga proses
intrusi atau perembesan air laut ke danau atau sebagai filter air asin menjadi air tawar.
Salah satu Penelitian dari ahli, yang bernama Kenji Harada dan Fumihiko Imamura
(2002) dalam Subandono (2008) yang berjudul Hidup Akrab dengan Gempa dan Tsunami,
menyebutkan bahwa hutan pantai dengan tebal 200 meter, kerapatan 30 pohon per 100 meter
kubik, dan diameter pohon 15 cm, dapat meredam 50 persen energi gelombang tsunami dengan
ketinggian gelombang 3 meter. Karena hutan mangrove memiliki sistem perakaran yang kuat dan
istimewa, tajuknya rata dan rapat serta lebat sepanjang waktu.
Secara biologis dan ekologi, hutan mangrove juga berfungsi sebagai kawasan untuk
berlindung, bersarang serta berkembangbiak bagi biota laut seperti udang, kepiting, kerang, ikan,
burung serta satwa biota laut lainnya.
Selain itu, juga sebagai sumber plasma nutfah dan sumber genetika, habitat alami bagi
berbagai jenis biota darat dan laut, penghasil bahan pelapukan yang merupakan sumber makanan
penting bagi invertebrata kecil pemakan bahan pelapukan (detritus) yang kemudian berperan
sebagai sumber makanan bagi hewan yang lebih besar, kawasan pemijahan (spawning ground)
dan daerah asuhan (nursery ground) bagi udang, sebagai daerah mencari makanan (feeding
ground) bagi plankton dan menjaga kelestarian terumbu karang.
Lebih lanjut Ratno memaparkan, hutan mangrove Babel dapat menguntungkan
masyarakat Babel jika pengelolaannya dilakukan dengan tepat.
"Hutan mangrove Babel sebenarnya dapat menguntungkan ekonomi rakyat. Kita tidak
keberatana jika pengelolaan hutan mangrove untuk rakyat luas, bagus itu, hanya saja
pengelolalaan yang tidak merusaka hutan mangrove Babel itu sendiri. Karena kalau ktia lihar
sekarang, pengelolaanya sudah merusak, habitat mangrove Babel terancam punah, dan kami
khawatir itu," paparnya.
Hal tersebut menurut Ratno menyebabkan hutan mangrove tidak dapat dikonversi lagi
untuk kepentingan lain. Tambak ikan, misalnya. Hal tersebut didukung dengan hasil penelitian
Litbang Kehutanan tahun 2006, bahwa pengurangan hutan mangrove seluas 1 hektar yang
dikonversi menjadi tambak yang dapat menghasilkan sebanyak 247 kg /tahun, akan berdampak
terhadap pengurangan produksi ikan tangkapan sebanyak 480 kg /tahun. Dia menyebutkan salah

satu desa di Kurau yang tidak mengubah fungsi mangrove, karena letak yang pemukimannya
dikelilingi oleh hutan mangrove.
"Hutan mangrove Babel sulit untuk dikonversi karena sudah banyak hutannya yang
rusak. Mangrove harus tetap kita pertahankan sebagai kawasan lindung. Perkampungan di Desa
Kurau, tepat di pinggiran hutan mangrove. Desa itu dilindungi mangrove. Jika desa itu
mengubah fungsi mangrove, maka desa itu akan tenggelam," sebut Ratno. Meski demikian,
Ratno belum memastikan berapa persentase kerusakan hutan mangrove Babel. Sebab
menurutnya, Pemda sendiri belum mengantongi data valid luas areal hutan mangrove Babel yang
terbaru.
"Sebenarnya perlu data valid yang tersisa dari hutan mangrove di Babel sekarang ini.
Pemda harusnya mendata luas areal hutan mangrove yang terbaru. Nanti dapat diketahui sisanya.
Dari sisa tersebut, Pemda harus membuat payung hukum. Dinas terkait juga harus pro aktif.
Jangan sampai menunggu rusak baru didata. Artinya kan itu kecolongan," sarannya.
Sementara itu, Sekretaris Badan Koordinasi Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan
Kehutanan Babel, Rofiko membenarkan kondisi hutan mangrove Babel saat ini disebabkan
aktivitas penambangan. "Mangrove di Babel sudah rusak parah akibat penambangan. Koloidal
kepekatan yang merupakan solven, bahan beracun dari tambang sudah masuk dalam pori-pori
akar nafas mangrove. Akar-akar itu ditutupi sedimentasi limbah tambang," terang Rofiko.
Rofiko menyebutkan, sebesar 74,4 persen mangrove Babel terancam. Hal tersebut dia
katakan berdasarkan pencitraan Landsat dari hasil penelitian PPLH IPB tahun 2009 silam.
"Dasar saya bicara 74,4 persen mangrove Babel terancam punah karena hasil penelitian PPLH
IPB tahun 2009 tersebut," ujarnya.
Salah satu dosen di Institut Pertanian Bogor (IPB) yang kerap meneliti tentang
lingkungan, Suryo Adiwibowo juga mengatakan hal yang sama. "Khusus ekosistem mangrove
dalam artian luas sudah berkurang banyak. Itu berarti hutan mangrove yang menjadi tempat
tinggal ekosistem mangrove sudah berkurang juga," terang Bowo saat dihubungi RB, Minggu
(22/5).
Pengurangan hutan mangrove, dikatakan Bowo karena dampak yang komulatif. Yaitu
pengurangan luas areal karena konversi hutan ke tambak dan karena aktivitas pertambangan.
Bowo mengungkapkan konversi ke tambak udang di Babel sudah dilakukan sejak tahun 90-an.

Salah satu lokasinya di Baturusa. "Sudah sejak era 90-an, daerah di Baturusa yang menjadi
kawasan hutan mangrove terbesar di Babel dikonversi menjadi tambak udang," sebutnya.
Pengurangan luas hutan mangrove dari penambangan, dikatakan Bowo karena ada
sedimentasi terhadap mangrove yang berasal dari pendakalan TI (Tambang Invenkonvensial),
kapal keruk, ataupun kapal isap. Tak hanya aktivtas tambang di laut, penambangan di darat pun
menyebabkan masuknya bahan beracun, atau keruhnyanya air ke muara. Jadi disuplai terus dari
hulu dan hilir ke muara dimana banyak mangrove tumbuh," katanya.
Bowo menyarankan agar pemerintah untuk segera menertibkan penambangan di kawasan
hutan mangrove. Disamping itu, restorasi terhadap hutan mangrove yang rusak terus dilakukan.
"Pemulihan harus berjalan seraya dilakukan penertiban pertambangan. Karena tanpa
menertibkan penambangan di wilayah hutan mangrove sama saja percuma. Dikhawatirkan
ekosistem mangrove yang menjadi jantung ekosistem laut tidak akan berputar lagi," harap Bowo.
Terpisah, Kepala Dinas Kehutanan Babel, Andre melalui Slamet Riyanto sebagai Seksi
Konservasi dan Pemanfaatan Jasa Lingkungan mengatakan, luas potensial hutan mangrove
Babel, berdasarkan hasil Inventarisasi dan Identifikasi Tahun 2006 oleh Balai Pengelolaan DAS
Musi Palembang, memiliki potensi hutan mangrove seluas + 273.692,81 hektar. Tercatat luas
mangrove di Kabupaten Bangka seluas 38.957,14 hektar, Kabupaten Bangka Barat seluas
48.529,43 hektar, Kabupaten Bangka Selatan seluas 58.165,04 hektar, Kabupaten Bangka Tengah
seluas 19.150,86 hektar, Kabupaten Belitung seluas 65.658,06 hektar, dan Kabupaten Belitung
Timur seluas 43.232,28 hektar.
Dari luasan hutan mangrove tersebut, hutan mangrove Babel saat ini sebesar 42,83
persen, atau seluas 117.229,29 hektar dalam kondisi kategori rusak berat dan rusak sedang
terdapat sebesar 31,87 persen atau seluas 87.238,69 hektar.
"Dari 273.692,81 hektar dikalikan 42,83 persen didapat angka 11,7 229 hektar yang rusak
berat. Jika 273.692,81 tersebut dikalikan 31,87 persen didapat pula 87,238 yang rusak sedang,"
paparnya.
Namun berdasarkan data Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Babel, luas hutan
mangrove yang juga biasa dikenal dengan hutan payau di tujuh Kabupaten/ Kota Babel dalam
kategori baik seluas 73.129 hektar, kandisi sedang seluas 68,79 hektar, dan kondisi rusak seluas
324,92 hektar.

"Metode penghitungan antara DKP dan Balai Pengelolaan DAS Musi Palembang
mungkin berbeda. Sehingga hasil akhir juga berbeda," jelas Slamet. Slamet mengatakan
pihaknya hanya menggunakan data dari Balai Pengelolaan DAS Musi Palembang tahun 2006.
Namun, ia mengakui jika luas areal mangrove Babel sudah berkurang. Pengurangan tersebut
dikatakan Slamet disebabkan karena aktivitas penambangan.
"Memang betul sepertinya hutan mangrove Babel sudah banyak yang rusak, dan
disebabkan oleh aktivitas penambangan," sebutnya.
Dari catatan Dinhut Babel, Hutan Mangrove adalah komunitas vegetasi pantai tropis yang
khas, tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut, terutama di laguna, muara sungai, dan
pantai yang terlindung dengan substrat lumpur atau lumpur berpasir (Ditjen RLPS, 2009).
Berdasarkan Keppres No. 32 Pasal 26 Tahun 1990, Ekosistem Mangrove berfungsi sebagai
Kawasan Lindung. Penetapan kriteria kawasan pantai berhutan bakau sesuai Keppres No. 32
Pasal 27 Tahun 1990, adalah minimal 130 kali nilai rata-rata perbedaan air pasang tertinggi dan
terendah tahunan diukur dari garis air surut terendah ke arah darat.
Kriteria tersebut ditetapkan untuk pantai yang landai dengan kelerengan antara 0 % 8
%, areal hutan mangrove yang sudah ada baik dalam kondisi rusak atau baik/utuh, pantai
berlumpur, pantai yang tidak digunakan untuk keperluan lain seperti pelabuhan pendaratan,
sarana-prasaran pariwisata.
Permasalahan :
Hutan Mangrove merupakan ekosistem penyangga pantai yang terdapat di daerah pasang
surut dan daerah estuary. Keberadaan hutan mangrove sangatlah penting, baik secara fisik,
biologi dan ekonomi. Secara fisik, hutan mangrove berfungsi menjaga garis pantai agar tetap
stabil dan kokoh dari abrasi air laut, melindungi pantai dan tebing sungai dari proses erosi atau
abrasi serta menahan atau menyerap tiupan angin kencang dari laut ke darat pada malam hari,
menahan sedimen secara periodik sampai terbentuk lahan baru dan sebagai kawasan penyangga
proses intrusi atau perembesan air laut ke danau atau sebagai filter air asin menjadi air tawar.
Secara biologis dan ekologi, hutan mangrove juga berfungsi sebagai kawasan untuk
berlindung, bersarang serta berkembangbiak bagi biota laut seperti udang, kepiting, kerang, ikan,
burung serta satwa biota laut lainnya. Selain itu, juga sebagai sumber plasma nutfah dan sumber
genetika, habitat alami bagi berbagai jenis biota darat dan laut, penghasil bahan pelapukan yang

merupakan sumber makanan penting bagi invertebrata kecil pemakan bahan pelapukan (detritus)
yang kemudian berperan sebagai sumber makanan bagi hewan yang lebih besar, kawasan
pemijahan (spawning ground) dan daerah asuhan (nursery ground) bagi udang, sebagai daerah
mencari makanan (feeding ground) bagi plankton dan menjaga kelestarian terumbu karang.
Sedangkan secara ekonomi, hutan mangrove dapat menguntungkan masyarakat Babel jika
pengelolaannya dilakukan dengan tepat tanpa harus merusak hutan mangrove itu sendiri.
Menurut Andre, melalui Slamet Riyanto sebagai Seksi Konservasi dan Pemanfaatan Jasa
Lingkungan mengatakan bahwa luas potensial hutan mangrove Babel, berdasarkan hasil
Inventarisasi dan Identifikasi Tahun 2006 oleh Balai Pengelolaan DAS Musi Palembang,
memiliki potensi hutan mangrove seluas 273.692,81 hektar. Dari luasan hutan mangrove
tersebut, hutan mangrove Babel saat ini sebesar 42,83 persen, atau seluas 117.229 hektar dalam
kondisi kategori rusak berat dan rusak sedang terdapat sebesar 31,87 persen atau seluas 87.238
hektar. Dugaan penyebab terjadi kerusakan tersebut adalah aktivitas penambangan. Sebagian
masyarakat mengalihfungsikan kawasan mangrove untuk dijadikan lahan tambak serta konversi
lahan ke pertambangan. Pengurangan hutan mangrove seluas 1 hektar yang dikonversi menjadi
tambak yang dapat menghasilkan sebanyak 247 kg /tahun, akan berdampak terhadap
pengurangan produksi ikan tangkapan sebanyak 480 kg /tahun.
Seperti diketahui, Bangka dikenal akan produktivitas timahnya. Adanya perusahaan
tambang di Bangka yang melakukan eksplorasi timah dalam skala besar membuat masyarakat
secara perlahan membuka lahan untuk melakukan penambangan atau disebut juga sebagai
Tambang Konvensional (TK). Tambang Konvensional (TK) dilakukan oleh sekelompok orang
atau individu dengan menambang timah di daratan (hutan darat). Namun sejak Undang Undang
Nomer 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Keputusan Menteri Perindustrian dan
Perdagangan No.146/MPP/Kep/4/1999 mengenai pencabuan timah sebagai komoditas strategis
memberikan izin aktivitas penambangan skala kecil atau Tambang Inkonvensional (TI). Hanya
dalam kurun waktu beberapa tahun, jumlah Tamabang Inkonvensional (TI) darat semakin
meningkat hingga merambah kawasan pesisir pantai yang sering disebut sebagai Tambang
Inkonvensional Apung (TI Apung).

Dampak :
Dampak dari Tambang Inkonvensional Apung (TI Apung) tersebut adalah rusaknya
ekosistem ekosistem yang terdapat di daerah interda, seperti terumbu karang, lamun dan
mangrove. Hutan Mangrove di Bangka telah mengalami degradasi akibat aktivitas penambangan
di pesisir pantai. Hampir semua Hutan Mangrove di kabupaten yang ada di Bangka telah
mengalami kerusakan dengan tingkat kerusakan yang berbeda beda. Misalnya di Kabupaten
Bangka Tengah, degradasi mengrove telah terjadi dibeberapa wilayah seperti Pantai Sampur,
Sungai Selan, Batu Belubang dan Permis. Adapun di Kabupaten Bangka Induk, degradasi
mangrove telah terjadi di Pantai Rebo, Mengkubung, Jebus dan Kabupaten Bangka Selatan
terdapat di Pantai Tanjung Kerasak.
Kawasan Hutan Mnagrove di Bangka sudah mengalami degradasi baik terjadi akibat
alami maupun aktivitas pertambangan. Aktivitas Tambang Inkonvensional tersebut dilakukan di
kawasan mangrove (konversi lahan) dan dilakukan di laut (200 meter). Aktivitas Tambang
Inkonvensional ini merusak mangrove dimana masyarakat mengkonversi lahan menjadi kawasan
pertambangan rakyat. Aktivitas Tambang Inkonvensional yang dilakukan di laut juga akan
berdampak buruk terhadap ekosistem mangrove. Adanya pendangkalan akibat pengerukan yang
berasal dari kapal keruk, kapal hisap dan Tambang Inkonvensional menyebabkan sedimentasi.
Menurut Suryo Adiwibowo (2011), pengurangan luas lahan mangrove dari penambangan
menyebabkan sedimentasi pada mangrove yang berasal dari pendangkalan Tambang
Inkonvensional, kapal keruk ataupun kapal isap. Tak hanya aktivitas tambang di laut,
penambangan di daratpun menyebabkan masuknya bahan beracun atau keruhnya air ke muara.
Pengelolaan Mangrove Pasca Penambangan :
Beberapa tahu terakhir pemerintah beserta stakeholder di Bangka telah melakukan
beberap upaya rehabilitasi kembali kawasan yang telah mengalami kerusakan. Penanaman ini
dilakukan oleh pemerintah, masyarakat, LSM serta organisasi organisasi besar yang berlatar
belakang dari dunia pertambangan yaitu Bangka Goes Green (BGG). Jenis mangrove yang
ditanami adalah jenis Rhizopora sp dan Avicennia sp. Kegiatan penanaman yang dilakukan
beberapa tahun terakhir belum dilakukan secara optimal karena tidak disertai dengan penertiban
penambangan dan juga tidak adanya monitoring setelah penanaman, sehingga kebanyakan
mangrove tidak tumbuh dengan baik karena kurangnya perhatian dari pemerintah dan

masyarakat sebagai pengguna langsung dari ekosistem mangrove. Jika pemerintah dan
stakeholder berperan penuh terhadap penanaman tersebut maka dapat memulihkan ekosistem
mangrove. Biota biota seperti udang, ikan dan yang lainnya memiliki tempat untuk mencari
makan dan merupakan tempat hidup untuk habitatnya. Tetapi peran pemerintah hanya sebatas
penanaman dan tidak ada keberlanjutan dari kegiatan itu sehingga penanaman mangrove tidak
berhasil secara optimal.
Solusi :
Menurut Kustanti (2011) bahwa pengelolaan mangrove haruslah melalui perencanaan
dengan memperhatikan berbagai aspek seperti aspek bioekologi, sosial ekonomi dan fisik.
Pengelolaan mangrove dengan memperhatikan ketiga aspek ini adalah pengelolaan yang
berkelanjutan. Jika ketiga aspek ini terintegrasi dengan baik maka pengelolaan mangrove akan
terkelola secara lestari. Pengelolaan mangrove hendaklah melakukan beberapa tahap sehingga
penanaman mangrove berjalan optimal. Hal hal yang perlu dilakukan adalah perencanaan,
survey lapangan, pengumpulan data, penyusunan rencana pengelolaan, pelaksanaan pengelolaan,
monitoring dan evaluasi.
Adanya tindakan penyuluhan dari instansi terkait yang ada di kepulauan Bangka. Dengan
adanya tindakan penyuluhan dapat memberikan informasi kepada masyarakat agar dapat
mengelola hutan mangrove secara efektif, dan dapat memberikan perlindungan hutan mangrove
tanpa merusak hutan tersebut.
Adanya tindakan yang lebih intensif dari pihak pemerintah khususnya Dinas Kehutanan
dan juga bekerjasama dengan kepolisian setempat, selain itu bekerja sama dengan lembagalembaga terkait perlindungan hutan. Dengan begitu dapat membuat peraturan mengenai
penjagaan dan perlindungan hutan mangrove.
2. A. Cari contoh film tentang degradasi lingkungan di you tube atau situs yang lain
B. Berikan ulasan mengenai film tersebut
Dalam video yang berjudul Tingkat Polusi Di Beijing Sangat Berbahaya tersebut,
digambarkan bahwa hampir semua masyarakat China yang melakukan aktivitas di luar ruangan
harus menggunakan masker yang dikarenakan keadaan udara di China tersebut sangat tidak
sehat. Dalam video tersebut terlihat bahwa kota Beijing diselimuti asap tebal yang telah melewati

batas normal. Terlihat bahwa kabut abu-abu tersebut sangat mengganggu masyarakat yang
melakukan aktivitas di luar ruangan. Polusi udara yang terjadi di China ini digambarkan bahwa
hal ini diakibatkan oleh banyaknya kegiatan-kegiatan perusahaan industri dan dari asap-asap
knalpot mobil yang memberikan dampak berupa limbah atau polutan udara tak sehat yang
menyebabkan udara di China mengalami degradasi (penurunan kualitas) dan menyebakan
terjadinya polusi udara yang parah.
Krisis mutu udara di Beijing, belakangan ini mengundang keprihatinan dari para ahli
lingkungan dan politik. Tingkat Polusi meningkat 30-45 kali dari ambang batas normal, menurut
grafik pengukuran. Aparat menyarankan agar warga tetap tinggal di rumah, tapi solusi ini sulit
diterima oleh mereka.
Pusat Pemantau Polusi China menunjukkan partikel udara dibawah 2,5 mikrometer, telah
mencapai 900 mikrogram per meter kubik, pada Sabtu sore. Menurut rekomendasi Organisasi
Kesehatan

Dunia (WHO), partikel yang aman berada di tingkat

25 mikrogram.

PM 2,5 adalah polutan kecil yang dapat masuk ke paru-paru dan menyebabkan masalah
pernafasan. Pemerintah Beijing juga dipaksa mengambil tindakan sementara untuk mengurangi
hasil pencemaran. Termasuk meminta 54 perusahaan yang menghasilkan emisi tinggi untuk
mengurangi polusi sebanyak 30%. 28 Poyek bangunan juga telah ditunda.
Permasalahan yang terjadi adalah menurunnya kualitas udara di Kota Beijing tersebut
yang menyebabkan terganggunya aktivitas warga Beijing. Udara yang tidak sehat tersebut
diduga berasal dari emisi hasil perusahaan industri dan dari asap-asap knalpot kendaraan.
Penurunan kualitas udara di Beijing semakin parah karena polutan yang diduga terdapat dalam
udara di Beijing tersebut adalah salah satu jenis polutan mikro yang dapat langsung masuk ke
sistem pernafasan manusia dan dapat menyebabkan masalah pernafasan. Kerugian yang
ditimbulkan akibat polusi udara yang parah di beijing tersebut adalah timbulnya berbagai
penyakit berbahaya dan menyebabkan kerugian ekonomi karena aktivitas warga menjadi
terhambat karena udara yang tidak sehat membuat masyarakat sulit beraktivitas dengan leluasa.
Menurut saya solusi yang dapat diajukan untuk mengatasi terjadinya penurunan kualitas
udara yang terjadi di China tersebut adalah dengan memperbanyak menanam tanaman hijau dan
mengajak masyarakat untuk turut berperan aktif dalam hal menanam tanaman. Pemerinah China
harus menyediakan banyak ruang terbuka hijau. Seperti yang diungkapkan Tome, 2005 bahwa
satu hektar daun-daun hijau dapat menyerap 8 kg CO 2per jam yang setara dengan CO2yang

dihembuskan manusia sebanyak 200 orang dalam waktu yang sama. Sementara satu hektarruang
terbuka hijau, mampu menghasilkan 0,6 ton oksigen guna dikonsumsi 1.500 manusia perhari.
Luasan taman di perumahan dipengaruhi pula oleh karakter dan minat penduduk terhadap
tumbuhan. Untuk itu pemerintah China harus mampu mengajak masyarakat China untuk turut
berpartisipasi dalam memeperbaiki kualitas udara di China tersebut.Peranan tumbuhan hijau
sangat diperlukan untuk menjaring CO2dan melepas O2kembali ke udara. Namun tumbuhan juga
melakukan respirasi dengan melepaskan CO2tetapi bukti menunjukkan bahwa CO2yang
terbentuk dapat digunakan dalam fotosintesis. Pada keadaan yang menguntungkan, proses
fotosintesis terjadi cukup tinggi, sehingga tumbuhan menghasikan oksigen jauh lebih banyak
daripada yang dipakainya, dan menggunakan CO2lebih banyak (Sutarmi, 1983). Setiap tumbuhan
mempunyai karakteristik yang berbeda dalam mengabsorpsi gas-gas tertentu di udara, sehingga
dapat merupakan penyangga yang baik terhadap pencemaran udara. Pemilihan jenis tanamanpun
dapat disesuaikan, selain sebagai penyerap CO2juga penyerap polutan lainnya, selain dapat
melambangkan kekhasan daerah, akan tetapi harus memperhatikan kondisi lingkungan atau
tanah setempat juga dari segi sosial (Green for life, 2003).
Selain dengan menanam tanaman hijau, pemerintah China juga harus mampu mengatur
masyarakatnya agar mengurangi penggunaan kendaraan bermotor. Sumber gas CO berasal dari
sumber alami dan sumber antropogin. Sumberantropogin gas CO seluruhnya berasal dari
pembakaran bahan organik. Pembakaran bahan organikini dimaksudkan untuk mendapat energi
kalor yang kemudian digunakan untuk berbagai keperluan, antara lain: transportasi, pembakaran
batu bara, dll. Menurut Suhardjana (1990), sumber antropogin gas CO di udara yang terbesar disumbangkan oleh kegiatan transportasi yaitu dari kendaraan bermotor berbahan bakarbensin,
sebesar 65.1 %. Untuk itu pemerintah perlu mensosialisasikan kepada masyarakat bahwa
ternyata penggunaan kendaraan bermotor turut memperparah keadaan atau kualitas udara di
China tersebut.

3. Berdasarkan hasil analisis tk global diatas, Mahasiswa diminta untuk mengevaluasi tapak
ekologi dari beberapa negara yang disajikan pada tabel berikut :

Country

Population
In 2014

USA

321.034.35
5

Australi
a

24.025.301

Land area in 2014 (ha)


lautan

hutan

66.470
.
900
5.892.
000

155.399
.
000
163.291
.
200

Spac
e

banguna
n
221.089.
000

Lahan
potensial
409.300.00
0

Padang
rumput
130.408.60
0

Total luas
lahan (ha)
982.667.50
0

143.368.
300

432.570.50
0

29.000.000

774.122.00
0

Ecologica
l footprint
12,2

32,2

8.5

Sumber : worldbank.org
Australia
Meskipun sebagian besar Australia tidak begitu subur atau bahkan berupa gurun,
Australia memiliki aneka ragam habitat dari mulai padang rumput hingga ke hutan hujan tropika,
dan diakui sebagai negara megadiversitas. Luas Wilayah tahun 2014 sebesar 7,741,220 km2 =
774.122.000 Ha
Space :

Luas la h an
Populasi

L 1+ L2+ L 3+ L 4+ L5
Populasi

Keterangan : L1 : Lautan
L2 : Bangunan
L3 : Padang rumput
L4 : lahan potensial
L5 : Hutan
Space :

Luas la h an
Populasi

L 1+ L2+ L 3+ L 4+ L5
Populasi

774.122 .000
24.025 .301

= 32,2 Ha/kapita

Jadi dari hasil peritungan diatas jumlah lahan yang seharusnya dikuasi oleh masyarakat Australia
sebesar 32,2 Ha/perkapitanya. Tetapi pada buktinya footprint yang hanya sebesar 8,5
Ha/perkapita tidak sesuai dengan peritungan diatas, hal ini disebabkan adanya factor-faktor yang
mempengaruhi, diantaranya adalah :

Meskipun Australia merupakan negara yang amat luas, tetapi tidak banyak daerah yang
cocok untuk daerah hunian, jadi bagian yang didapat masyarakat Auatralia hanya 8,5/perkapita.
Daerah-daerah yang paling sesuai untuk hunian adalah daerah pantai yang iklimnya nyaman dan
curah hujannya cukup. Daerah pantai Australia sebelah Utara tidak dihuni oleh banyak penduduk
karena iklim tropisnya sangat kering, sedangkan daerah pedalaman dan daerah pantai Barat
Australia terlalu gersang. Dengan luas tanah 7,741,220 km, rata-rata kepadatan penduduk di
Australia hanya sekitar 2 orang/km. Kebanyakan orang Australia, yakni lebih dari 85% tinggal
di kota kecil dan kota besar. Kota-kota tersebut pada umumnya terletak di tepi pantai. Hal ini
memungkinkan penurunan footprint pada masyarakat Australia.
USA
Space :

Luas la h an
Populasi

L 1+ L2+ L 3+ L 4+ L5
Populasi

982.667.500
321.034 .355

= 3,06 Ha/kapita

Jadi dari hasil peritungan diatas jumlah lahan yang seharusnya dikuasi oleh masyarakat
Aumerika pada saat ini sebesar 3,06 Ha/perkapitanya. Tetapi pada buktinya footprint yang
seharusnya sebesar 12,2 Ha/perkapita tidak sesuai dengan peritungan diatas, hal ini disebabkan
adanya factor-faktor yang mempengaruhi, diantaranya adalah :
Dengan bertambahnya jumlah penduduk dari tahun ketahun Negara Amerika harus
membuka lahan untuk wilayah pemukiman penduduknya, jadi luas lahan yang didapatkan yang
seharunya besar perkapita tetapi malah sebaliknya saat ini lebih sedikit. Kepadatan penduduk
mendorong peningkatan kebutuhan lahan, baik lahan untuk tempat tinggal, sarana penunjang
kehidupan, industri, tempat pertanian, dan sebagainya. Untuk mengatasi kekurangan lahan,
sering dilakukan dengan memanfaatkan lahan pertanian produktif untuk perumahan dan
pembangunan sarana dan prasarana kehidupan. Selain itu pembukaan hutan juga sering
dilakukan untuk membangun areal industri, perkebunan, dan pertanian. Meskipun hal ini dapat
dianggap sebagai solusi, sesungguhnya kegiatan itu merusak lingkungan hidup yang dapat
mengganggu keseimbangan lingkungan. Jadi peluang terjadinya kerusakan lingkungan akan
meningkat seiring dengan bertambahnya kepadatan penduduk.

Country

United
Kingdo
m
Japan

Population
In 2014

Land area in 2014 (ha)


lautan

hutan

bangunan

64.000.000

13.143.00
0

2.900.00
0

407.000

128.000.00
0

19.359.00
0

2.500.00
0

7.201.00
0

Total luas
lahan (ha)
24.400.00
0

Spac
e

Ecologica
l footprint

0.4

6,2

Lahan
potensial
1.700.00
0

Padang
rumput
6.250.00
0

4.590.00
0

4.250.00 37.900.00 0,29


5,9
0
0
Sumber : worldbank.org

United Kingdom
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa untuk Negara Inggris luas negara keseluruhan
sebesar 24.400.000 ha dengan pembagian masing-masing penggunaan lahan sebagai berikut
untuk luas lautan seluas 13.143.000 ha, penggunaan lahan untuk hutan seluas 2.900.000 ha,
penggunaan lahan untuk bangunan seluas 407.000 ha, penggunaan lahan sebagai lahan potensial
seluas 1.700.000 ha dan luas lahan padang rumput senilai 6.250.000 ha.
Jadi berdasarkan data tahun 2014 diketahui luas lahan keseluruhan di Inggris adalah
seluas 24.400.000 hektar. Bio kapasitas seluas 24.400.000 hektar tersebut bila didistribusikan
secara adil pada 64 juta penduduk Inggris saat tahun 2014 lebih kurang sama dengan 0,4 hektar.
Jadi satu orang penduduk Inggris pada tahun 2014 untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
memperoleh daya dukung ekologis dari 0,4 hektar lahan.
Hasil perhitungan diatas didasari oleh konsep jejak ekologis yang merupakan estimasi
berdasarkan sumber daya alam pada wilayah tertentu serta jumlah sumber daya yang digunakan
beserta limbah yang dihasilkannya. Konsep ini merupakan alat untuk menghitung seberapa besar
penggunaan sumber daya alam oleh manusia, agar supaya dapat dihemat atau dikurang.
Japan
Untuk Negara Jepang luas negara keseluruhan sebesar 37.900.000 ha dengan pembagian
masing-masing penggunaan lahan sebagai berikut untuk luas lautan seluas 19.359.000 ha,

penggunaan lahan untuk hutan seluas 2.500.000 ha, penggunaan lahan untuk bangunan seluas
7.210.000 ha, penggunaan lahan sebagai lahan potensial seluas 4.590.000 ha dan luas lahan
padang rumput senilai 4.250.000 ha.
Jadi berdasarkan data tahun 2014 diketahui luas lahan keseluruhan di Jepang adalah
seluas 37.900.000 hektar. Bio kapasitas seluas 37.900.000 hektar tersebut bila didistribusikan
secara adil pada 128 juta penduduk Jepang saat tahun 2014 lebih kurang sama dengan 0,29
hektar. Jadi satu orang penduduk Jepang pada tahun 2014 untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
memperoleh daya dukung ekologis dari 0,29 hektar lahan (biokapasitas rata-rata).
Ecological Footprint dapat digunakan sebagai ukuran prestasi kita dalam mendukung
keberlanjutan bumi ini, dan menjadi indikator terbaik dan efisien dalam mendukung
keberlanjutan kehidupan. Alat ukur ini menjadi penting dalam konteks untuk mengetahui apakah
kegiatan konsumsi yang kita lakukan masih dalam batas daya dukung lingkungan ataukah sudah
melewatinya, dengan kata lain masih dalam surplus ataukah sudah dalam defisit (penurunan
kualitas) ekologi. Hal tersebut terjadi karena beberapa komponen yang dianalisis dalam
penghitungan tapak ekologi melalui penggunaan energi langsung seperti apabila populasi dari
species tersebut telah melebihi daya dukung habitatnya, maka yang terjadi adalah sumberdaya
yang dibutuhkan oleh spesies tersebut bagi kelangsungan hidupnya akan mengalami deplesi, atau
limbah yang diproduksi species tersebut menumpuk dan meracuni anggota species, atau akan
terjadi keduanya, dan populasi pun akan punah.

Country

Argentin
a
Brazil

Population
In 2014

42,980,026
204,259,37
7

Land area in 2014 (ha)


lautan

hutan

bangunan

Lahan
potensial

1.069.91
2
539.092

2.335.97
6
198.781

1.223.08
7
298.421

1.430.00
0
589.999

Argentina
Luas wilayah : 6.870.518 ha

Spac
e
Padang
rumput

Ecologica
l footprint

Total luas
lahan
(ha)
811.543 6.870.51 0.15
3.7
8
477.99 2.104.29 0,010 2.5
9
2
Sumber : worldbank.org

L1 : Laut: 1.069.912 ha
L2 : bangunan: 1.223.087 ha
L3 : padang rumput : 811.543 ha
L4: Lahan potensial : 1.430.000 ha
L5: Hutan: 2.335.976 ha

Total wilayah:
L1+L2+L3+L4+L5

= 1.069.912 + 1.223.087 + 811.543 + 1.430.000 + 2.335.976

Populasi

42,980,026.0
=

6.870.518
42,980,026.0

= 0,15
Brazil
Luas wilayah : 2.104292
L1 : Laut: 539.092 ha
L2 : bangunan: 198.781 ha
L3 : padang rumput : 298.421 ha
L4: Lahan potensial : 589.999 ha
L5: Hutan: 477.999 ha
L1+L2+L3+L4+L5

= 539.092 + 198.781+ 298.421 + 589.999 + 477.999

Populasi

204,259,377.0
=

2.104.292
204,259,377.0

Berdasarkan data yang telah didapatkan dapat diketahui bahwa populasi negara Argentina
mengalami kenaikan, dari 35.219.000 orang penduduk menjadi 42,980,026.0 orang, dengan

tingkat ecological footprint 3.7 (data sama sejak tahun 1996 data dapat dipakai dan berlaku
selama bertahun-tahun) dan space lahan menjadi 0,15 ha/orang. Hal ini dapat disebabkan oleh
jumlah pembangunan yang semakin padat, hal ini juga diiringi oleh pertambahan kendaraan
pribadi yang dimiliki masyarakat Argentina. Tingginya tingkat pembuangan material dan bahan
limbah secara sembarangan juga turut menyumbang berkurangnya space di Argentina.
Sedangkan untuk Negara Brazil terjadi peningkatan penduduk secara drastic dari
161.533.000 orang penduduk menjadi 204,259,377 orang. Begitu pula dengan space terjadi
pengurangan menjadi 0,010, dan merupakan jumlah pengurangan yang sangat drastic daripada
sebelumnya. Total luas lahan Brazil sendiri kini mencapai 2.104.292 ha. Hal ini diketahui
disebabkan oleh tingginya jumlah imigran di Negara tersebut, tingkat kelahiran penduduk,
bertambahnya jumlah kendaraan pribadi, pengalokasian lahan yang dilakukan untuk komoditas
pertanian dengan tingkat ekspor tinggi seperti kopi, CPO, dan karet, serta tingkat pembangunan
wilayah besar-besaran yang dilakukan di Negara B

Data Pada Tahun 1996


Negara
Cina
Euthopia

Luas Wilayah

Jumlah

GDP total

Ecological

9.640.821 km
1.126.829 km

penduduk
1.232.456.000
56.789.000

Footprint
US$ 744.890 miliar 1,8
US$ 5.722 miliar
0,8
Sumber : worldbank.org

Sedangkan untuk Data Wilayah Negara Terbaru 2013 yaitu :


Negara

Luas Wilayah

Jumlah penduduk

GDP total

GDP per kapita

Cina
Euthopia

9.671.018 km
637,657 km

1.353.821.000
9.359.000

$13.374 triliun
US$5,731 miliar

$ 9.828
US$600

Sumber : worldbank.org
China
Dari data tersebut dapat diketahui bahwa Ecological footprint yang digunakan untuk
menganalisis seberapa besar pengaruh penggunaan sumberdaya dan kemampuan menampung

limbah dari populasi manusia dengan kemampuan lahan pada tahun 1996 dan 2013 adalah sama,
yaitu untuk negara Cina 1,8, sedangkan untuk negara Euthopia 0,8. Dimana negara Cina setiap
individu rata-rata membutuhkan lahan produktif seluas 1,8 hektar yang didalamnya juga terdapat
air yang dapat digunakan manusia untuk memproduksi sesuatu yang berguna untuk kebutuhan
hidupnya serta untuk mengolah limbahnya sendiri. begitu pula dengan negara Euthopia yang
memiliki Ecological footprint sebesar 0.8 dimana setiap individu rata-rata membutuhkan lahan
produktif sebesar 0,8 hektar.
Sedangkan untuk mengetahui biokapasitas suatu negara, melalui perhitungan rumus yaitu
jumlah seluruh wilayah dibagi dengan jumlah populasi. Dengan adanya perhitungan biokapasitas
dan Ecological foot print dapat mengevaluasi tapak ekologi suatu wilayah negara pada tahun
1996 dan pada tahun 2013, sebagai indikator apakah pemanfaatan sumber daya alam yang
dilakukan oleh manusia mengakibatkan penurunan kualitas ekologi ataukah

tidak

mengakibatkan penurunan kualitas ekologi, sehingga keseimbangan alam dapat lebih terjaga.
Untuk Negara Cina tahun 1996 didapatkan hasil biokapasitasnya adalah 9.640.821 /
1.232.456.000 = 0,00782 , sedangkan untuk Euthopia didapatkan hasil biokapasitasnya adalah
1.126.829/ 56.789.000 = 0.0199.
Untuk Negara Cina tahun 2013 didapatkan hasil biokapasitasnya adalah 9.671.018 /
1.353.821.000 = 0.00714, sedangkan untuk Euthopia Didapatkan hasil biokapasitasnya adalah
637,657 / 9. 359.000 = 0.068.
Pada Tahun 1996 Biokapasitas negara cina sebesar 0.00782 gha per kapita, sedangkan
ecologi Footprintnya sebesar 1,8 gha perkapita, hal ini berarti rata-rata penduduk negara cina
mengalami defisit sebesar 1,79 gha. sedangkan di negara Euthopia biokapasitasnya sebesar
0.0199 gha perkapita, dan ecologi footprintnya sebesar 0,8 gha perkapita, hal ini berarti rata-rata
penduduk negara euthopia mengalami defisit sebesar 0,78 gha.
Pada tahun 2013 Biokapasitas negara cina sebesar 0.00714 gha per kapita, sedangkan
ecologi footprintnya sebesar 1,8 gha perkapita, hal ini berarti rata-rata penduduk negara cina
mengalami defisit sebesar 1,79 gha. sedangkan di negara Euthopia biokapasitasnya sebesar 0.068

gha perkapita, dan ecologi footprintnya sebesar 0,8 gha perkapita, hal ini berarti rata-rata
penduduk negara euthopia mengalami defisit sebesar 0.73 gha.
Dapat disimpulkan bahwa pada tahun 1996 ecologi footprint dikedua negara mengalami
defisit, begitu pula yang terjadi pada tahun 2013. kapasitas yang disediakan lebih kecil dibanding
dengan kapasitas yang seharusnya di dapat oleh individu.
Dinegara Cina nilai ecologi footprinnya termasuk yang paling maksimal yaitu 1,8 gha,
namun biokapasitas negara cina itu sendiri tidak mencukupi ecologi footprint itu sendiri
dikarenakan beberapa faktor yaitu : dikarenakan tingkat pendapat individu di negara tersebut
tinggi mengakibatkan meningkatnya jumlah yang dikonsumsi baik itu konsumsi pangan,
konsumsi energi, air, transport personal, sehingga secara tidak langsung mengakibatnya
meningkatnya jumlah limbah yang dihasilkan setiap individunya. sesuai menurut pendapat
Wackernagel et al. (2000) menyatakan bahwa jejak ekologi sangat tergantung pada pendapatan,
harga barang, nilai-nilai sosial yang dianut pribadi dan masyarakat, yang kemudian akan
mempengaruhi konsumsi. Konsumsi pangan merupakan gambaran mengenai jumlah, jenis, dan
frekuensi bahan makanan yang dikonsumsi individu dan merupakan ciri khas pada suatu
kelompok masyarakat tertentu. Jika konsumsi individu lebih besar dari biokapasitas alam akan
mengakibatkan kerusakan lingkungan akibat ekstraksi sumberdaya alam yang berlebihan dan
akan menurunkan kemampuan alam dalam mendukung kebutuhan hidup manusia. (Wackernagel
and Rees, 1994), Adanya jumlah penduduk yang banyak dengan luas wilayah yang tidak
memadai, sehingga harus memaksakan untuk membangun lebih banyak rumah, membangun
jalan lebih luas, menyediakan lebih banyak air bersih, memperluas area pengolah sampah dan
meningkatkan produksi pangan. Kegiatan seperti inilah yang dapat menimbulkan pengurangan
area luas lahan yang diterima setiap individunya, Selain itu Cina tempat berkembang pesatnya
pusat industri, sehingga tidak hanya menggunakan lahan yang besar namun juga menghasilkan
limbah yang banyak dibanding dengan negara yang memiliki industri lebih sedikit.
Ethiopia
Sedangkan di negara Euthiopia nilai ecologi footprinnya termasuk dalam skala normal,
yakni tidak melebihi 1,8 gha, namun negara tersebut biokapasitanya tidak dapat mencukupi

ecologi footprinya . Hal ini memungkinkan adanya jumlah penduduk yang banyak dengan luas
wilayah yang tidak luas, sehingga harus membangun lebih banyak rumah, membangun jalan
lebih luas, menyediakan lebih banyak air bersih, memperluas area pengolah sampah dan
meningkatkan produksi pangan. Kegiatan seperti inilah yang dapat menimbulkan pengurangan
area luas lahan yang diterima setiap individunya. Adanya peningkatan pendapatan individu
menyebabkan tingkat konsumsi pangan, energi, air, transport personal menjadi meningkat,
sehingga secara tidak langsung mengakibatnya meningkatnya jumlah limbah yang dihasilkan
setiap individunya.

Egypt
Country

Egypt

Population
in 2014

89.579.670

Land Area in 2014 (ha)

Lautan

Hutan

Bangunan

Lahan
potensial

Padang
rumput

Total Luas
Lahan (ha)

600.000

71.200

92.941.800

3.732.000

2.800.00
0

100.145.00
0

Space
(ha/capita
)

Ecological
Footprint
(ha/capita)

1,118

1,7

Sumber : worldbank.org
Egypt merupakan salah satu negara yang terdapat di Arab Saudi. Populasi di Negara
Mesir pada tahun 2014 adalah sebesar 89.579.670 dimana dengan total luas lahan sebesar
100.145.000 ha. Berdasarkan dari data tabel di bawah ini dapat di perhitungkan space Negara
Egypt atau Mesir ini adalah senilai 1,118 ha/ kapita. Yaitu dengan cara membagi Luas lahan
dengan populasi. Maka dapat di intrepetasikan bahwa perbandingan antara space yang diperoleh
dengan ecological footprint pada tahun 1996 mengalami penurunan sebesar 58,2%. Penduduk
yang pada awalnya setiap satu orang pada tahun 1996 di Mesir ini untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya memperoleh daya dukung ekologis dari 1,7 ha lahan menyusut menjadi 1,118
ha/kapita.
Penurunan ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu yang pertama adalah
bangunan. Dapat dilihat pada tabel dibawah, Luas lahan bangunan memiliki kapasitas paling
besar dibandingkan luas lahan yang lainnya yaitu sebesar 92,80% dari total luas lahan. Dengan

adanya teknologi-teknologi yang semakin canggih ini juga menjadi alasan dari pembuatan
bangunan yang semakin luas, besar dan semakin megah. Bangunan di Mesir ini notabennya
adalah seperti bangunan museum atau piramida dimana menjadi tempat penyimpanan dari
peninggalan sejarah dan juga objek wisata. Sehingga kapasitas daya dukung untuk setiap orang
nya semakin berkurang karena terjadi penyempitan lahan yang telah dialihfungsikan menjadi
bangunan. Selain bangunan juga terdapat komponen yang kedua yaitu pada daerah Hutan di
Mesir. Hutan di Mesir ini merupakan hutan yang memiliki keadaan fisik yang kering. Terlebih
lagi dari perluasan lahan bangunan dengan cara mengalihfungsikan lahan hutan menjadi
bangunan yang berakibat pada degradasi lingkungan. Sehingga fungsi hutan di Mesir ini sudah
semakin berkurang.Selain itu juga pada air, Negara Mesir meurpakan negara yang memiliki
kebutuhan air yang tinggi. Melihat negara Mesir merupakan negara yang yang bergurun, panas
dan kering maka air sulit untuk dapat di peroleh. Hanya saja sekarang telah dikembangkan
sistem pengelolaan air yang bermuara di Sungai Nil yaitu dengan tujuan agar dapat memenuhi
kebutuhan air penduduk Mesir hingga 5000 tahun. Tetapi tetap saja pengelolaan air ini memiliki
banyak permasalahan yang dapat menghambat dalam pemenuhan kebutuhan air.
Lalu komponen selanjutnya adalah material dan limbah. Sampah di Mesir dikumpulkan
di kawasan pembuangan sampah yang terletak di pinggiran atau luar kota. Sekitar 80 persen
hingga 85 persen sampah di sana diproduksi lagi, didayagunakan, dan diperdagangkan. Para
pemilik perusahaan biasanya menjual sampah kepada para pengumpul untuk diberdayakan
kembali, didaur ulang, atau dimanfaatkan lagi energinya. Sisa yang 15 persen hingga 20 persen
tidak dapat diberdayakan dan dibuang di pembuangan sampah permanen atau dibakar.Sumber
sampah berasal dari kawasan urban dan pedesaan di seluruh Mesir. Penduduk urban biasanya
membuang sampah 0,4 hingga 1,3 kg per hari, sedangkan penduduk desa 0,2 hingga 0,35 kg per
hari.Sektor industri diperkirakan menghasilkan sampah 1-3 juta ton per tahun, termasuk limbah.
Sektor pertanian diperkirakan menghasilkan sampah minimal 10 juta ton per tahun. Rumah sakit
hanya menghasilkan sampah 32.000-68.000 ton per tahun. Sehingga ini juga merupakan faktor
yang dapat menurunkan kapasitas daya dukung penduduk di Mesir.
Komponen selanjutanya adalah penggunaan energi langsung pada Negara mesir adalah
menggunakan energi minyak bumi, gas bumi, dan air sebagai tenaga pembangkit listrik. Dengan
penggunan minyak bumi, gas bumi, dan air jelas akan menurunkan dari daya dukung lahan atau
footprint karena dengan penggunaan secara terus menerus tanpa adanya pembaharuan akan

mengakibatkan kerusakan lingkungan yang berdampak pada penurunan daya dukung lahan di
Negara Mesir tersebut. Dan yang terakhir adalah pangan, survey terakhir menunjukkan bahwa
pada Mei 2015 lalu, Mesir mengalami inflasi sekitar 13,11 %. Jauh lebih tinggi bila
dibandingkan pada bulan sebelumnya yang hanya sebanyak 10,96 %. Para ekonom Mesir
mengatakan inflasi terjadi karena pemerintah memangkas subsidi energi pada Juli, sehingga
harga bahan pokok dan pangan melonjak drastis hingga 78 %. Dengan harga yang tinggi ini
maka akan menurunkan kemampuan daya beli masyarakat Mesir dimana akan berdampak pada
sulitnya dalam memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari.

India
Country

India

Population in
2014

1.295.291.543

Land Area in 2014 (ha)

Lautan

Hutan

Bangunan

Lahan
potensial

Padang
rumput

32.609.619

6.872.400

107.143.981

179.300.000

2.800.000

Space
(ha/c
apita)

Ecological
Footprint
(ha/capita)

0,254

1,7

Total Luas
Lahan (ha)
328.726.000

Sumber : worldbank.org
India merupakan salah satu negara yang terdapat di Benua Asia. Populasi di Negara India
pada tahun 2014 adalah sebesar 1.295.291.543 dimana dengan total luas lahan sebesar 328.726.000
ha. Berdasarkan dari data tabel di bawah ini dapat di perhitungkan space Negara India ini adalah
senilai 0,254 ha/ kapita. Yaitu dengan cara membagi Luas lahan dengan populasi. Maka dapat di
intrepetasikan bahwa perbandingan antara space yang diperoleh dengan ecological footprint pada
tahun 1996 mengalami penurunan sebesar 144,6%. Penduduk yang pada awalnya setiap satu
orang pada tahun 1996 di India ini untuk memenuhi kebutuhan hidupnya memperoleh daya
dukung ekologis dari 1,7 ha lahan menyusut menjadi 0,254 ha/kapita.
Penurunan ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu yang pertama adalah
bangunan. Dapat dilihat pada tabel dibawah, Luas lahan potensial memiliki kapasitas paling
besar dibandingkan luas lahan yang lainnya yaitu sebesar 32,59% dari total luas lahan. Luas
lahan potensial ini yang terus meningkat seringkali dimanfaatkan dalam kegiatan pertanian di

India. Selain itu juga lahan potensial ini digunakan sebagai tanah industri yaitu pembuatan
pabrik. Pembuatan pabrik di India ini

memang merupakan lahan potensial dimana dapat

meningkatkan pertumbuhan ekonomi penduduk India. Hanya saja, pembukaan hutan menjadi
lahan potensial yaitu berupa pabrik atau industri dan bangunan lainnya yang pada dasarnya akan
memiliki land rent yang lebih tinggi dibandingkan dengan lahan pertanian. Sehingga kapasitas
daya dukung untuk setiap orang nya semakin berkurang karena terjadi penyempitan lahan yang
telah dialihfungsikan menjadi bangunan. Alihfungsikan lahan hutan menjadi bangunan yang
berakibat pada degradasi lingkungan. Sehingga fungsi hutan di India ini sudah semakin
berkurang. Selain itu juga pada air, terlihat bahwa India merupakan salah satu Negara yang
memiliki populasi terpadat diantara negara lain sehingga kecukupan dan kebutuhan akan air
masih sulit tercukupi. Melihat negara India merupakan Negara berkembang yang memiliki
keterbatasan teknologi dalam pendistribusian air bersih tersebut ke penduduk miskin atau
penduduk yang memiliki taraf hidup yang rendah. Selain pendistribusian juga terdapat pada
pengelolaan air tersebut yang sulit mencapai standar sanitasi layak untuk dikonsumsi.
Lalu komponen selanjutnya adalah material dan limbah. India merupakan rumah bagi
beberapa kota paling kotor sedunia. India merupakan negara yang tenggelam dalam sampah
karena negara ini tidak memiliki sistem pengelolaan sampah. Indutrilisasi tumbuh pesat di India
dan akan meningkatkan presentase dari limbah padat ataupun cair yang akan merusak sanitasi
lingkungan. Sehingga penduduk India memiliki daya dukung lahan untuk memenui
kebutuhannya tersebut jauh tertinggal dibandingkan pada daya dukung lahan pada tahun 1996
dimana indutrilisasi belum berkembang terlalu pesat.
Komponen selanjutanya adalah penggunaan energi langsung pada Negara India adalah
menggunakan batubara hampi 70% sebagai bahan bakar pembangkit listrik tenaga uap. Padahal
dengan penggunan batubara tersebut, sebesar 20% akan mempercepat perubahan iklim
dibandingan dengan energi lainnya. Dan ini akan berdampak pada penurunan daya dukung lahan
atau footprint di India. Dan yang terakhir adalah pangan. Dimana India kini dalam bidang
pangan tidak terjadi kenaikan harga atau inflasi dengan persentase yang tinggi. Sehingga
kecukupan akan pangan rata-rata dapat terpenuhi dengan baik bagi penduduk India. Hanya saja ,
pendistribusian pangan menjadi salah satu permasalahan yang terdapat di India, karena negara
tersebut yang memiliki tingkat populasi yang cukup tinggi dibandingkan dengan negara lain

Bangladesh
Country

Population
in 2014

Bangladesh

156.594.962

Land Area in 2014 (ha)

Lautan

Hutan

Bangunan

Lahan
potensial

Padang
rumput

Total Luas
Lahan (ha)

1.009.000

1.436.800

3.275.200

9.125.000

0,05

14.846.000

Space
(ha/c
apita)

Ecological
Footprint
(ha/capita)

0,09

0,6

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa untuk Negara Bangladesh luas negara
keseluruhan sebesar 14.846.000 ha dengan pembagian masing-masing penggunaan lahan sebagai
berikut untuk luas lautan seluas 1.009.000ha, penggunaan lahan untuk hutan seluas 1.436.800 ha,
penggunaan lahan untuk bangunan seluas 3.275.200 ha, penggunaan lahan sebagai lahan
potensial seluas 9.125.000 ha dan luas lahan padang rumput senilai 0,05 ha.
Jadi berdasarkan data tahun 2014 diketahui luas lahan keseluruhan di Bangladesh adalah
seluas 14.846.000 hektar. Bio kapasitas seluas 14.846.000 hektar tersebut bila didistribusikan
secara adil pada 156.594.962 penduduk Bangladesh saat tahun 2014 lebih kurang sama dengan
0,09 hektar. Jadi satu orang penduduk Inggris pada tahun 2014 untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya memperoleh daya dukung ekologis dari 0,09 hektar lahan.
Saat kita melakukan kegiatan apapun seperti makan,minum,berpakaian, berpindah
dengan kendaraan kita memerlukan bahan (materi) dan energi. Materi dan energi yang kita
butuhkan tentu tidak datang begitu saja, melainkan dari alam. Jadi hasil perhitungan diatas
didasari oleh konsep jejak ekologis yang merupakan estimasi berdasarkan sumberdaya alam pada
wilayah tertentu serta jumlah sumberdaya yang digunakan beserta limbah yang dihasilkannya.
Gaya hidup yang tidak berwawasan lingkungan kemungkinan juga menjadi penyebaab utama
berlebihnya jejak ekologi.
Perhitungan Biokapasitas:
Space :

Luas lahan
Populasi

L 1+ L2+ L 3+ L 4+ L5
Populasi

Space :

Luas lahan
Populasi

L 1+ L2+ L 3+ L 4+ L5
Populasi

14.846 .000
156.594 .962

= 0,09Ha/kapita

Keterangan : L1 : Lautan
L2 :Bangunan
L3 : Padang rumput
L4 :lahan potensial
L5 :Hutan

DAFTAR PUSTAKA
AMPL, POKJA.2004. Menengok Sistem Pemeliharaan Lingkungan di Mesir. [online]. Tersedia
di (http://www.ampl.or.id/digilib/read/menengok-sistem-pemeliharaan-lingkungan-dimesir/21612, diakses pada tanggal 22 September 2015)
FAO. Egypt Production Potential. [online]. Tersedia di
(http://www.fao.org/ag/Agp/agpc/doc/field/Wheat/africa/egypt/egyptagec.htm, diakses
pada tanggal 22 September 2015)

Green for Life. 2003. www.wwf.or.id. https://www.youtube.com/watch?v=BIQZyFuYxvM

Kustanti, A. 2011. Manajemen Hutan Mangrove. IPB Press : Bogor


March, Stephanie.2015. Pengelolaan Sampah, Solusi dari Timbunan Sampah di Negara
Berkembang.[online]. Tersedia di : (http://www.radioaustralia.net.au/indonesian/2015-01-

12/pengelolaan-sampah-solusi-dari-timbunan-sampah-di-negara-berkembang/1405797,
diakses pada tanggal 22 September 2015).
Malahayati, Lulu. 2011. Upaya Greenpeace dalam Mengurangi Perubahan Iklim (Studi Kasus
Pemakaian Batubara di India). [online]. Tersedia di :
(http://repository.upnyk.ac.id/1572/1/RESUME_SKRIPSI.pdf, diakses pada tanggal 22
September 2015)

Radar

Bangka

[Online].

2011.

Hutan

Mangrove

Babel

Mengkhawatirkan.

www.radarbangka.co.id. Di akses pada tanggal 22 September 2015


Rajagukguk.Ranto.2015. Mesir Belajar di Indonesia. [online]. Tersedia di :
(http://m.inilah.com/news/detail/2199514/manfaatkan-batubara-untuk-pembangkit-listrik,
diakses pada tanggal 22 September 2015)

Rees, W.E. and Wackernagel, M. 1994. Ecological Footprints and Appropriated Carrying
Capacity : Measuring the Natural Capital Requirements of the Human Economy,
Jansson, A., Folke, C., Hammer, M. and Costanza R. (ed.), Island Press

Sri, Dini Mulyati. 2015. Departemen Pangan Mesir : Daging Keledai Aman Dikonsumsi.
[online]. Tersedia di (https://www.islampos.com/departemen-pangan-mesir-dagingkeledai-aman-dikonsumsi-190663/, diakses pada tanggal 22 September 2015)

Wackernagel et al. 2000. Water Resources Carrying Capacity Oriented by Watershed Ecological
Viewpoints. Hohai University, Nanjing, China.

Worldbank. Data of Surface Area (sq.km), Arable Land (ha), Forest Area (sq.km), Land Area
(sq.km), [online]. Tersedia di (http://data.worldbank.org/indicator, diakses pada tanggal
22 September 2015)

TUGAS PERTANIAN BERLANJUT


PRODUKSI DAN KONSUMSI PANGAN DI INDONESIA

Disusun Oleh:
Kelompok 4
Kelas E
Stella Ocktavia
Resty Hutami Lirphandari
Rizkina Aulawiah
Widya Putri Mahardika
Fiqi Faradilla
Silka Armila
Ayu Ardiyanti Subiyantoro
Ary Novita Dwi Andriani

135040101111247
135040101111258
135040101111259
135040101111279
135040101111281
135040101111282
135040101111289
135040101111289

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2015

Anda mungkin juga menyukai