Anda di halaman 1dari 10

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN
Latar belakang masalah ................................................................ 2
BAB II LANDASAN TEORI
Tempe bongkrek
i.
ii.
iii.
iv.
v.
vi.

Definisi .............................................................................. 4
Keracunan tempe bongkrek ............................................... 4
Pseudomonas cocovenans ................................................. 5
Toksofalvin ....................................................................... 5
Asam bongkrek ................................................................. 6
Gejala keracunan tempe bongkrek .................................... 6

BAB III PEMBAHASAN


Diagnosis ...................................................................................... 7
Tatalaksana ................................................................................... 7
BAB IV KESIMPULAN .......................................................................... 8
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 9

BAB I
PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG MASALAH


Makanan tempe sudah dikenal luas oleh masyarakat terutama di Indonesia.
Tempe termasuk makanan yang cukup digemari oleh masyarakat selain karena
harganya yang lebih terjangkau dibandingkan lauk pauk yang lain, rasa tempe
juga pas dengan lidah masyarakat Indonesia, selain itu kandungan gizi tempe
tidak kalah dengan lauk pauk lain.
Masyarakat Indonesia memang sudah sangat akrab dengan tempe, namun
ternyata tidak semua tempe menyehatkan dan bisa dimakan. Di daerah Banyumas
terdapat sebuah tempe yang sudah banyak dikenal karena telah memakan banyak
korban akibat keracunan yaitu tempe bongkrek. Menurut Suara merdeka (2007)
pada tahun 2003 terjadi peristiwa keracunan tempe bongkrek di Desa Sirau dan
Kramat, Purbalingga. 5 orang tewas dalam kasus tersebut. Kasus keracunan tempe
bongkrek terbesar menurut harian Kompas (2013) terjadi pada tahun 1988 dengan
korban tewas 34 orang di Kecamatan Lumbir, Banyumas. Tempe bongkrek sendiri
memang merupakan makanan khas daerah Banyumas, terutama dikonsumsi oleh
masyarakat lembah Sungai Serayu. Sejak saat itu Banyumas memberlakukan
peraturan daerah yang melarang produksi, konsumsi, dan penjualan tempe
bongkrek. Sehingga tempe bongkek dihapus dari daftar menu warga Banyumas
dan para pengrajin tempe bongkrek beralih menjadi petani jamur. (Suara
merdeka : 2007)
Kasus keracunan tempe bongkrek telah terjadi selama hampir dua abad
dan jumlah korban mencapai ribuan orang. Menurut suara merdeka (2007) dari
catatan Institut Pertanian Bogor bagian Teknologi Gizi dan Pangan dari tahun
1895 dampai 1901 terdapat 340 korban kercunan dan 200 diantaranya meninggal
dunia. Sampai saat ini walaupun sudah ada peraturan pelarangan, tempe bongkrek
masih saja dikonsumsi oleh masyarakat Banyumas terutama oleh masyarakat

ekonomi rendah atau miskin. Sehingga masih ada saja laporan korban keracuna
setiap tahunnya. Namun jumlah ini memang sudah jauh menurun dibanding
sebelum ada perda pelarangan tempe bongkrek.
Menurut Kompas (2013) kasus keracunan tempe bongkrek sudah dikenal
sejak tahun 1895 namun penelitian mengenai penyebab keracunan tempe
bongkrek baru dilakukan mulai tahun 1930-an dan orang pertama yang
mempelajarinya adalah Mertens dan van Veen dari Institut Eijkman.

BAB II
LANDASAN TEORI

TEMPE BONGKREK
i. Definisi
Menurut Suprapti (2003) tempe bongkrek merupakan makanan khas
daerah Banyumas, Jawa Barat. Berbeda dengan tempe biasa, tempe bongkrek
dibuat dengan bahan dasar kacang kedelai dan ditambah dengan ampas kelapa
sisa pembuatan santan. Menurut masyarakat tempe bongrkrek ini sangat lezat
sehingga banyak masyarakat yang menyukainya. Di Banyumas sendiri
memang banyak terdapat pohon kelapa sehingga banyak masyarakat yang
mengolah kelapa untuk bahan makanan. Menurut Shurtleff dan Aoyagi (1985)
cara pembuatannya yaitu ampas kelapa direndam semalam lalu dicuci dan
diperas airnya, setelah itu dikukus selama kurang lebih satu jam. Setelah
dikukus ampas kelapa lalu dicampur dengan teme yang mengandung kapang
tempe Rhizopus oligosporus atau oryzae. Setelah itu tempe dibungkus dengan
daun pisang atau plastik dan disimpan pada suhu 37 C selama kurang lebih 2
hari.
ii. Keracunan tempe bongkrek
a. Faktor-faktor yang mempengaruhi
Menurut Shurtleff dan Aoyagi (1979) fermentasi yang tidak sempurna
atau kebersihan yang tidak baik pada saat pembuatan bisa membuat bakteri
Pseudomonas cocovenans mudah untuk tumbuh. Contohnya jika tempe dibawa
dan disimpan pada kondisi yang tidak bersih, atau setelah 18 jam produksi
tidak diinokulasi oleh Rhizopus oryzae, karena bakteri bekerja antagonist
terhadap kapang tempe jadi bila kapang yang tumbuh sangat tipis atau tidak
tumbuh dengan baik maka kemungkinan bakteri telah tumbuh di situ. Bisa juga
karena temperatur selama fermentasi sekitar 40 C atau kelembaban dan pH

yang tinggi karena pada kelembaban tinggi bakteri lebih mudah tumbuh
sedangkan kapang tempe lebih mudah tumbuh pada udara yang kering.
b. Pseudomonas cocovenans
Menurut Menurut Shurtleff dan Aoyagi (1979) Pseudomonas
cocovenans membutuhkan minyak kelapa untuk dapat bertahan hidup.
Sehingga bakteri ini mudah tumbuh pada tempe bongkrek terutama yang dibuat
dari ampas kelapa manual atau dengan tangan yang kadar lemaknya yang
tinggi yaitu 10-12% dibandingkan ampas kelapa pabrikan yang kadar
lemaknya rendah yzitu 3-4%. Selain dari kadar lemaknya, kandungan air yang
tinggi pada ampas kelapa membuat bakteri ini lebih mudah tumbuh
dibandingkan pada media lain seperti kedelai, ampas tahu, dan bungkil kacang
tanah.
Kasus keracunan tempe bongkrek sendiri menurut Anies (2005) terjadi
karena racun yang diproduksi oleh bakteri Pseudomonas cocovenans. Bakteri
ini memproduksi dua toksin melalui pemecahan lemak (gliserida) menjadi
gliserol dan asam lemak oleh kerja enzim bakteri. Gliserol lalu diubah menjadi
toksoflavin sedangkan asam lemak akan diubah menjadi asam.
c. Toksoflavin
Menurut Henderson dan Lardy (1970) Toksoflavin memiliki rumus
kimia C7H7N5O2. Racun ini berwarna kuning, jadi bila tempe bongkrek sudah
berwarna kuning maka kemungkinan besar sudah terdapat toksoflavin pada
tempe. Warna kuning pada toksoflavin disebabkan karena toksoflavin
merupakan gugus prostetik dari pigmen kuning tersebut dan pigmen ini hanya
terbentuk bila Pseudomonas cocovenans tumbuh pada media tertentu seperti
ampas kelapa.
Toksoflavin bersifat racun karena membentuk hidrogen peroksida dan
methemoglobin. Hidrogen peroksida dibentuk dengan cara :
NADH + Toks. Toks.-H2 + 2 NAD+
Toks.-H2 + O2 Toks. + H2O2
Hidrogen peroksida dan methemoglobin akan merusak sel dengan mengganggu
ambilan oksigen sel dan jaringan.

d. Asam bongkrek
Asam bongkrek memiliki rumus kimia C 28H38O7 dan racun ini tidak
berwarna. Menurut Henderson dan Lardy (1970) asam bongkrek bekerja
dengan cara menghambat proses fosforilase oksidatif di mitokondria sehingga
menggangu produksi ATP. Terganggunya produksi ATP menyebabkan
terganggunya metabolisme seluruh tubuh karena tidak ada energi yang
dihasilkan. Glukosa darah akan lebih banyak yang diekskresi karena tidak
dapat digunakan untuk pembentukan ATP. Sebagai kompensasi tejadi proses
glikolisis untuk menghasilkan ATP sehingga glikogen di hati, otot, dan jantung
akan banyak dipecah dan terjadilah hiperglikemia. Namun hal ini tetap tidak
mampu menghasilkan ATP dengan jumlah yang cukup untuk kebutuhan energi
tubuh. Selanjutnya terjadilah hipoglikemia dan kematian.
e. Gejala keracunan tempe bongkrek
Gejala keracunan tempe bongkrek biasanya timbul 12-48 jam setelah
mengkonsumsi. Terdapat tingkatan gejala mulai dari ringan sampai berat
menurut Henderson dan Lardy (1970). Gejala ringan berupa pusing mual dan
muntah. Gejala sedang yaitu gejala ringan ditambah dengan sakit perut.
Sedangkan gejala berat sampai diare, kejang, keluar buih putih dari mulut,
kegagalan sirkulasi dan pernafasan hingga kematian.

BAB III
PEMBAHASAN

i. Diagnosis biasanya ditegakkan dari hasil anamnesis dan gejala yang dialami
pasien.
Anamnesis
- Riwayat memakan tempe, terlebih bila tempe telah berwarna kuning.
- Riwayat memakan tempe di daerah endemis seperti di daerah
-

Banyumas.
Munculnya gejala keracunan setelah memakan tempe seperti psuing,
mual, muntah, sakit perut, diare, kejang, kesulitan bernafas, sianosis,

sampai kematian.
Biasanya pada kasus keracunan tempe bongkrek tidak hanya satu
individu yang mengalami namun satu keluarga atau berbarengan

dengan orang lain yang juga memakan tempe tersebut.


Pemeriksaan fisik
- Kesadaran pasien : bisa komposmentis sampai terjadi penurunan
kesadaran atau tidak sadarkan diri (tergantung berapa banyak tempe
bongkrek beracun yang dikonsumsi, seberapa berat keracunan dan
-

gejala yang dialami, serta cepatnya penanganan)


Pemeriksaan vital : tekanan darah bisa normal sampai hipotensi,
pernafasan bisa normal atau meningkat, denyut nadi bisa normal atau

meningkat, dan suhu biasanya normal.


Tanda-tanda dehidrasi : pasien tampak pucat, turgor kulit menurun,

bibir kering, mata cekung.


Tanda kegagalan sirkulasi dan respirasi: sianosis, akral dingin, retraksi

dinding dada.
- Tanda keracunan : keluar buih dari mulut
ii. Tata laksana
Antidotum spesifik untuk keracunan tempe bongkrek atau racunnya
belum ada, hanya terdapat terapi non spesifik untuk menyelamatkan nyawa,
mencegah absorbsi racun lebih lanjut dan mempercepat ekskresi. Tindakan
yang bisa dilakukan antara lain segera merujuk ke rumah sakit dan apabila
penderita masih sadar bisa diusahakan untuk memuntahkannya dengan
merangsang secara mekanis seperti memasukkan jari ke lidah atau dengan
gosokan pada leher atau dada. Selain itu bisa diberikan norit 20 tablet dengan
cara digerus dan diaduk dengan air dalam gelas dan diulangi 1 jam kemudian.
Di rumah sakit atau di puskesmas bisa diberikan infus glukosa atau NaCl

apabila terdapat tanda-tanda syok. Lalu bisa dilakukan bilas lambung apabila
racun atau tempe tidak bisa dikeluarkan dengan memuntahkannya atau
dengan obat pencahar. Selain itu tetap jaga jalan nafas dan pola pernafasan
yang adekuat. Apabila terdapat gangguan pernafasan bisa diberikan oksigen
sesuai kondisi pasien.

BAB VI
KESIMPULAN
Tempe yang merupakan makanan sehari-hari masyarakat Indonesia
ternyata juga bisa menyebabkan keracunan oleh jenis tempe tertentu seperti tempe
bongkrek yang merupakan makanan khas daerah Banyumas. Kasus keracunan
tempe bongkrek telah terjadi selama dua abad dan telah memakan korban ribuan
orang. Tempe bongkrek sendiri terbuat dari campuran tempe dan ampas kelapa
sisa pembuatan santan. Tempe bongkrek sangat mudah ditumbuhi oleh bakteri
Pseudomonas cocovenans yang menyukai media tinggi kadar lemak seperti ampas
kelapa terutama apabila pembuatan atau fermentasinya tidak sempurna. Toksin
yang diproduksi oleh bakteri ini lah yang menyebabkan keracunan pada konsumsi
tempe bongkrek. Terdapat 2 racun yang diproduksi bakteri ini yaitu toksoflavin
yang berwarna kuning dan asam bongkrek yang tidak berwarna. Tempe bongkrek

yang sudah beracun mudah dikenali dari warnanya yang kuning atau ragi yang
terbentuk sanagat tipis atau dari baunya yang menyengat.
Gejala keracunan tempe bongkrek bisa ringan seperti pusing, mual, dan
muntah sampai berat seperti kejang, mengeluarkan buih dari mulut, kegagalan
sirkulasi dan pernafasan samapai kematian. Diagnosis untuk keracunan tempe
bongkrek bisa dilakukan dari anamnesis terhadap riwayat konsumsi dan gejala
yang dialami serta dari pemeriksaan fisik. Pada kasus ini biasanya keracunan tidak
terjadi hanya pada satu orang tapi bisa satu keluarga atau berbarengan dengan
orang lain yang memakan tempe tersebut.
Sampai saat ini belum ada antidotum spesifik untuk kasus keracunan
tempe bongkrek. Untuk pasien sadar bisa mengusahakn untuk memuntahkan
makanannya atau dengan minum norit untuk antiracunnya. Sedangkan untuk
pasien tidak sadar bisa dilakukan bilas lambung. Perlu diperhatikan juga tandatanda syok, patensi jalan nafas, pola nafas, dan tanda-tanda gangguan sirkulasi.

DAFTAR PUSTAKA

Anies. 2005. Seri Kesehatan Umum Pencegahan Dini Gangguan Kesehatan. Elex
Media Komputindo : Jakarta
Arisman. 2008. Keracunan Makanan: Buku Ajar Ilmu Gizi. EGC : Jakarta
Deshpande, S.S., et al. 2000. Fermented Grain Legumes, Seeds and Nuts. FAO
http://www.suaramerdeka.com/harian/0708/02/nas06.htm (diakses pada tanggal
10 November 2014)
http://sosbud.kompasiana.com/2013/06/09/keracunan-tempe-bongkrek-dibanyumas-567208.html (diakses pada tanggal 11 November 2014)
Schaechter, Moselio. 2009. Encyclopedia of Microbiology. Elsevier Inc

Shurtleff, William., Aoyagi, Akiko., 1979. The Book of Tempeh. Harper & Row
Publisher
Shurtleff, William., Aoyagi, Akiko., 1985. History of Tempeh, a Fermented
Soyfood from Indonesia. Soyfood Center.
Suprapti, Lies., 2003. Teknologi Pengolahan Pangan : Pembuatan Tempe.
Kanisius : Yogyakarta.

10

Anda mungkin juga menyukai