Tinjauan Pustaka
1
sindrom hepatitis neonatal. Beberapa penyebab yang sering
ditemukan pada kolestasis neonatal dapat dilihat pada Tabel 1.
2
kelahiran hidup. Adanya metode diagnostik yang lebih baik dan akurat
menurunkan insiden bayi dengan diagnosis hepatitis neonatal
idiopatik. Insidens atresia bilier bervariasi antara 1:8000-25000
kelahiran hidup.
3
Biopsi hati
4
bilier akan terlihat keadaan umumnya lebih baik dibandingkan sindrom
hepatitis neonatal, dan pertumbuhannya pun tetap baik, dengan berat
badan naik sesuai grafik pertumbuhan. Hal-hal inilah yang
menyebabkan dokter yang kurang memahami atresia bilier dapat
terkecoh, tidak menyangka pasien yang sedang dihadapinya sebagai
atresia bilier yang memerlukan penanganan segera. Sebaliknya bayi
dengan sindrom neonatal hepatitis sering ditemukan lebih ikterus,
kurang bertumbuh baik, tampak lebih ‘sakit’ dibandingkan atresia
bilier.
Ikterik pada atresia bilier pada umumnya terjadi pada usia 3-6 minggu,
hal ini pada umumnya terjadi pada tipe perinatal. Pada tipe yang
jarang yaitu tipe embrionik (prenatal), ikterus dapat ditemukan sejak
lahir. Sekitar 10%-15% bayi jenis ini memiliki malformasi kongenital
lain.
Laboratorium
5
aminotransferase biasanya hanya ringan sampai sedang. Sedangkan
gamma glutamil transpeptidase (GGT) dan fosfatase alkali akan
meningkat secara progresif yang menunjukkan adanya kerusakan
saluran bilier yang berat. Tingginya GGT ini memiliki nilai untuk
membedakan dengan sindrom hepatitis neonatal, karena GGT yang
rendah jarang ditemukan pada atresia bilier.
Ultrasonografi
Biopsi hati
Biopsi hati per kutan merupakan tes diagnostik yang penting untuk
evaluasi bayi dengan kolestasis. Pada umumnya tindakan biopsi pada
bayi merupakan tindakan yang aman dengan menggunakan jarum
biopsi Menghini. Saat ini tersedia jarum biopsi Mengihini sekali pakai
dengan harga yang cukup terjangkau. Berbagai penelitian melaporkan
atresia bilier dapat didiagnosis pada 90-95% kasus. Pada biopsi hati
dapat ditemukan tanda karakteristik adanya obstruksi duktus
hepatikus komunis antara lain proliferasi duktus biliaris, bile plug pada
6
duktus biliaris, dan adanya fibrosis portal, pelebaran portal track, dan
edema.
Kolangiografi intraoperatif
Pada umumnya, pada atresia bilier, kandung empedu terlihat kecil dan
fibrotik diikuti fibrosis difus sistem bilier ekstrahepatik. Untuk
menentukan patensi sistem bilier, perlu dilakukan kolangiografi.
Sebuah jarum atau kateter diinsersikan ke kandung empedu kemudian
ditusukkan zat kontras sambil diamati dengan fluoroskopi untuk
menentukan luasnya obstruksi dan variasi anatominya. Variasi anatomi
yang umum dipakai adalah menurut Japanese Society of Pediatric
Surgeons yang membagi keadaan ini menjadi 3 tipe. Tipe 1 atresia
meliputi terutama duktus biliaris komunis. Tipe 2 atresia bilier naik
sampai ke duktus hepatikus komunis, dan tipe 3, atresia bilier
mengenai seluruh sistem bilier ekstrahepatik. Bentuk paling banyak
ialah tipe 3 (85-90% kasus); rekonstruksi bedah (portoenterostomi)
paling menantang dalam bentuk ini. Pemeriksaan kolangiografi ini
penting untuk memastikan diagnosis atresia bilier. Sindrom Alagille
merupakan keadaan yang dapat mirip dengan atresia bilier jika tidak
diketahui pada saat kolangiografi atau tidak dilakukan kolangiografi
akan membuat pasien menjalani prosedur Kasai. Bila hal ini terjadi,
portoenterostomi akan menyebabkan pasien Alagille mengalami sirosis
bilier dan memperburuk prognosisnya.
Terapi
7
vitamin yang larut dalam lemak. Ringkasan dukungan nutrisi yang
diperlukan dapat dilihat pada Tabel 4.
Faktor Prognostik
8
jaundice persisten pada bulan ke-3. Mereka menemukan tidak ada
hubungan antara ukuran di porta tapi menemukan hubungan dengan
derajat fibrosis dan degenerasi duktus bilier intrahepatik. Pada studi
lain, kualitas duktus bilier pada porta dievaluasi. Ditemukan struktur
bilier besar yang tidak memiliki koneksi dengan duktus intrahepatik;
oleh karena itu, identifikasi yang cermat terhadap duktus sejati terkait
dengan aliran empedu postoperatif, walaupun korelasi statistik antara
struktur dan restorasi aliran empedu tidak didapatkan. Temuan yang
sama antara antara histologi duktus bilier dan aliran empedu juga
disebutkan oleh Ohio dkk. Duktus bilier sejati dikaitakan dengan
peningkatan aliran empedu, ekskresi bilirubin, dan penurunan insiden
kolangitis.
9
portoenterostomi juga diikuti oleh penurunan lebih dari 50%
kecepatan, yang terjadi dini setelah kegagalan. Yang perlu
diperhatikan, penilaian vena portal setelah portoenterostomi bisa
menjadi sulit. Jika dibandingkan dengan portografi portografi arterial,
hanya membuktikan akurasi 38% pada penilaian patensi.
Komplikasi
10
disarankan pemberian kortikosteroid. Kortikosteroid dosis tinggi di
taperring off setelah 4 hari hingga 3 minggu.
Derajat hipertensi portal hadir pada hampir semua pasien pada waktu
awal operasi. Sekitar 50% dari semua pasien yang bertahan hidup
hingga 5 tahun, walaupun dengan level bilirubin normal, memiliki
varises esofagus, tapi hanya 10-15% mengalami perdarahan saluran
cerna. Untuk itu, variceal banding atau skleroterapi injeksi merupakan
pilihan terapi. Pada sekitar 10% pasien yang level bilirubin serum
kembali normal, terdapat prograsi kolangiopati intrahepatik dan
berkembang komplikasi sirosis bilier. Bagi pasien-pasien ini, dan yang
terapi operasi tidak efektif, transplantasi hati harus dipertimbangkan.
Dengan angka survival 1 tahun mendekati 90%, dan angka survival 5
tahun di atas 80%, transplantasi hati kini menjadi opsi terapi standar.
11
dari 120 hari, sirosis, histologi yang buruk menjadi petunjuk indikasi
transplantasi primer.
12
Sebagian besar kuman penyebab ISK pada penelitian ini adalah E.coli
(15/24), Staphylococcus epidermidis (3/24), Enterobacter aerogens dan
Proteus mirabilis masing-masing 2, dan Klebsiela sp serta Providencia
stuartii masing-masing 1. Prevalensi ISK pada bayi dengan KIH pada
penelitian ini cukup tinggi (24/34) dengan dominasi lelaki (3:1). Tidak
ada gejala klinik yang spesifik pada kolestasis dengan ISK. Demam
pada umumnya tidak ditemukan. Pemeriksaan urinalisis tidak sensitif
untuk mendiagnosis KIH dengan ISK. Walaupun leukosituria secara
tradisi digunakan sebagai petanda untuk membedakan ISK dengan
bakteriuria asimtomatik, tetapi leukosituria bukan petanda yang
sensitif pada bayi. Crain dan Gershel pada penelitian prospektif
melaporkan 333 bayi dari 430 bayi dengan demam kurang dari 8
minggu yang disebabkan oleh ISK. Dari 33 bayi tersebut hanya 48%
diantaranya dengan leukosit atau terlihat bakteri pada pemeriksaan
mikroskopis. Pada penelitian kami, KIH dengan biakan urin positif
hanya 1 dari 24 pasien dengan leukosituria. Oleh sebab itu
pemeriksaan kultur urin perlu dilakukan pada semua pasien dengan
KIH.
Pada keadaan infeksi baik yang masuk ke dalam hati maupun di luar
hati, bakteri dapat menghasilkan endotoksin dan endotoksin tersebut
dapat masuk dalam sirkulasi walaupun bakteri yang menginfeksi tidak
masuk dalam peredaran darah. Oleh sebab itu mungkin saja
ditemukan kolestasis walaupun tidak ada bakteremia. Endotoksin
dapat merangsang sintesis sitokin oleh makrofag (di dalam hati
misalnya: Sel Kupfer). Sel kupfer dan sel imunokompeten lainnya
dalam hati mensintesis sitokin intrahepatik seperti TNF α, IL-1, IL-6 dan
IL-8, sehingga sitokin intrahepatik meningkat jumlahnya, mengganggu
fungsi hepatosit dan menyebabkan kolestasis. Telah diketahui bahwa
sitokin proinflamasi, terutama TNF α dan IL-1 adalah inhibitor yang
poten untuk menghambat ekspresi gen transporter hepatobilier. Asam
empedu dan bilirubin untuk masuk dari sinusoid ke intrahepatik
memerlukan bantuan protein transporter tertentu, demikian juga untuk
ekskresi asam empedu dan bilirubin dari intrahepatik ke kanalikulus
biliaris. Akibat adanya gangguan pada transporter-transporter baik
untuk transpor bilirubin dan asam empedu maka akan terjadi
gangguan aliran empedu dan secara klinis dikenal sebagai kolestasis.
13
Sindrom Alagille
Prevalensi
Gambaran Klinis
Rasio saluran empedu terhadap portal track adalah kurang dari 0,5.
Pemeriksaan yang paling baik paling sedikit dapat memeriksa minimal
10 portal track. Walaupun demikian jumlah bile duct pada waktu awal
pada bayi dengan sindrom Alagille dapat normal dan paucity akan
berkembang kemudian. Pada suatu laporan kasus dengan biopsi hati
serial dilaporkan sampai dengan 59% biopsi hari awal pada pasien
yang berusia kurang dari 6 bulan atau satu tahun ratio bile duct
14
terhadap portal tract masih normal, tetapi 90% paucity ditemukan
pada pasien yang beruia lebih dari 1 tahun.
Pada biopsi awal juga dapat ditemukan proliferasi bile duct yang mirip
gambaran untuk atresia bilier, hal ini lebih menyulitkan lagi jika
ditambah dengan kesulitas saat menemukan hasil kolangioram yang
abnormal dan tidak berhasil melihat saluran bilier ekstrahepatik yang
hipoplastik. Berbeda dengan atresia bilier, prosedur portoenterostomi
yang dilakukan pada sindrom Alagille akan memperburuk prognosis
pasien ini.
Diagnosis
Terapi
Gambaran klinis
Laboratorium
15
Bilirubin direk meningkat. Nilai ALT dan AST meningkat 2-10 kali batas
atas normal. Kadar gamma glutamyl transpeptidase meningkat
bervariasi tetapi biasanya tidak melebihi 5 kali batas atas normal.
Kadar serum asam empedu biasanya meningkat hebat. Dapat
ditemukan pemanjangan waktu protrombin karena adanya faktor
pembekuan karena defisiensi vitamin K atau penurunan sitesis faktor
pembekuan.
Histopatologi hati
Tatalaksana
16
Daftar Pustaka
Vergani, G.E. and Nedim H. Biliary atresia and neonatal disorders of the
bile duct in Pediatric Gastrointestinal and Liver Disease. Elsevier:
Netherland, 2006.
Atein, J.E and Joseph P.V. Biliary atresia and other disorder of the
extrahepatic biliary tree In Liver Disease In Children. Mosby:
Missouri, 1994.
17
BAB II
SAJIAN KASUS
Identitas Pasien
Nama : By A. P.
Jenis kelamin : Laki-laki
Usia : 4 bulan
Agama : Islam
Alamat : Kp. Kuaron Ds. Citerep Kec. Cirus Kab. Serang
No. RM :3380692
Tgl Masuk RS :22 Februari 2010 pkl 17.15
Orang Tua
Ayah
Nama : Tn. S.
Pekerjaan :tidak bekerja
Pendidikan : SD kelas 2
Ibu
Nama : Ny. R.
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Pendidikan : SMP
Data diperoleh dari hasil aloanamnesis dengan ibu dan ayah pasien (4
Maret 2010) dan rekam medis Rumah Sakit.
Anamnesis
Sejak lahir pasien agak kuning. Kuning terlihat di mata dan seluruh
badan. Di rumah pasien dijemur oleh ibunya namun kuning tetap tidak
membaik. Kuning makin tampak jelas pada saat usia bayi 3 bulan. BAB
pasien warna putih (dempul). BAK pasien warna kuning, agak gelap.
Riwayat BAB atau BAK berdarah disangkal. Riwayat demam, batuk,
pilek (+) 3 x dalam 3 bulan. Perut buncit tampak, agak keras saat
diraba, dan terdapat gambaran pembuluh darah sejak 1 bulan smrs.
Pasien sering menggaruk-garuk kepala dan wajah. Pernah menggaruk
ke dalam mulut sehingga gusi berdarah. Memar disangkal. Riwayat
mual muntah (+) 2 bulan smrs. Pasien berobat ke RSUD Serang. Pasien
dikatakan menderita penyakit hati, tidak diberi obat dan dirujuk ke
RSCM untuk penanganan lebih lanjut. Di RSCM pasien sempat dirawat
dan dilakukan USG Hati. Pasien kemudian pulang karena tidak ada
biaya operasi. Setelah mengurus surat Jamkesmas pasien dikirim
kembali ke RSCM.
Sehari-hari pasien aktif, tidak rewel, mau minum susu dari botol, bisa
tidur pulas.
18
Saat ini pasien sudah dirawat selama 2 minggu di RSCM, masih kuning
dan perutnya buncit. Telah dilakukan pemeriksaan darah, air seni, tinja
dan biopsi hati dengan USG pada pasien. Selama perawatan di RS,
pasien diinfus, dipasang selang makan dari hidung, diberikan susu
khusus dari RS, diberi obat suntik maupun obat minum, BAK diukur
dan berat badan ditimbang.
Riwayat Gizi : Sejak lahir pasien diberikan susu formula karena ibu
tidak bisa produksi ASI. Pasien selalu diberi susu tiap kali menangis.
Saat ini orang tua pasien diedukasi untuk memberikan susu dari RS
sesuai takaran.
Riwayat tumbuh kembang: pasien sudah bisa miring kanan dan kiri,
menurut orang tua pasien sudah bisa tangkurap. Pasien sudah bisa
mengoceh spontan dan berekasi terhadap bunyi maupun muka orang.
Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum: tampak sakit ringan, cukup aktif, tidak sesak, tidak
sianosis
Kesadaran : kompos mentis
Frekuensi nadi : 120x/menit, reguler, isi cukup
Frekuensi nafas : 32x/menit, reguler, kedalaman cukup
Suhu : 36,8oC(aksila)
Status antropometri : BB 5,45 kg, TB 56 cm
19
BB/U = 5,45/7 x100% =77,9%
TB/U = 56/63,9 x 100%=87,6%
BB/TB = 5,45/4,4%= 123% (kesan: gizi lebih
obesitas ringan)
Kepala : Ubun-ubun besar cekung (-), membonjol (-),
deformitas (-), lingkar kepala 39 cm (normocephal
batas bawah)
Wajah : dismorfik (-)
Mata : Kunjungtiva pucat -/-, sklera ikterik +/+ tampak
kotor, pergerakan bola mata simetris, cekung -/-
Telinga : nyeri tekan telinga -/-, sekret -/-
Hidung : deviasi septum (-), konka tidak hiperemis,
pernafasa cuping hidung -/-
Tenggorok : faring tidak hiperemis, tonsil T1/T1 tenang
Gigi dan mulut : mukosa tidak kering, higiene baik, perdarahan
gusi (-), gigi belum tumbuh
Leher : KGB tidak teraba pembesaran
Dada : Gerakan simetris stastis dan dinamik, retraksi (-)
Jantung : Bunyi jantung I/II normal, murmur (-), gallop (-)
Paru : Vesikuler +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-
Abdomen :Buncit, lemas, venektasi (+), bising usus (+)
normal, turgor cukup, hepar 4 cm bpx, 4 cm bac,
permukaan rata, tepi tajam, lien S1-II,lingkar perut
47 cm
Ekstremitas : Akral hangat CRT < 2’’, edema -/-, sianosis -/-,
aktif bergerak, kuning (+)
Kulit : warna gelap, tampak ikterik, ruam kulit (-)
Genitalia eksterna : penis dan skrotum lengkap, ukuran testis
kiri=kanan, hiperemis (-), nyeri tekan (-)
Status neurologis : Tanda rangsang meningeal (-), tidak terdapat
gerakan tak terkoordinasi.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium
Tanggal 22-2-2010
Hb 8,2 g/dl
Ht 24%
MCV 80 fL
MCH 23 pg
MCHC 35%
Leukosit 22600/mm3
Trombosit 143000
PT 12,7
APTT 42,8 1,3x
SGOT 133 U/L
Bilirubin total 20,7 mg/dl
20
Bilirubin direk 13,8 mg/dl
Bilirubin indirek 6,9 mg/dl
GDS 66 mg/dl (N: 60-100)
Albumin 2,0 mg/dl (N:3,4-4,8)
Tanggal 23-2-2010
SGOT 117 U/L (N<64)
SGPT 51 U/L (N<60)
Gamma GT 490U/L (N<204)
Fosfatase Alkali 442 U/L (N<449)
Ureum darah 13mg/dL(N<50)
Kreatinin darah 0,2mg/dL(N: 0,8-1,3)
Trigliserida 164mg/dL(N<150)
Kolesterol total 189mg/dL (N:60-190)
Na 139 mEq/L (N:129-143)
K 4,45 mEq/L(N:3,6-5,8)
Cl 107,2mEq/L(N: 93-112)
Ca 1,17mmol/L(N: 1,01-1,31)
Albumin 3,27 g/dL (N:3,8-5,4)
Tanggal 24-2-2010
Mikrobiologi biakan dan res anaerob urin
Isolat 1: streptokokus viridans
Jumlah koloni 3500kuman/mL
Resisten terhadap cefotaxim
Sensitif terhadap fosfomycin
Tanggal 25-2-2010
Anti toksoplasma IgG 1,3 IU/mL (reaktif)
Anti toksoplasma IgM 0,2 COI (non reaktif)
Anti CMV IgG 52,8 Au/mL (reaktif)
Anti CMV IgM 0,5 COI (non reaktif)
Tanggal 1-3-2010
21
Albumin 3,32 g/dL
Ureum darah 11mg/dL (N: 15-40)
Kreatinin darah 0,6 md/dL
SGOT 89 mU/ml (N<40)
SGPT 32 mU/ml (N<40)
XGT 343 U/L (N: 11-50)
PT 17,9’’ (N:13-17)
PTT 43,7’’ (N:27-35)
BT 3’ (N: 2-7)
CT 4’20” (N: 5-8)
Tanggal 2-3-2010
Hb 10 g/dl
Ht 31,2%
MCV 85,4 fL
MCH 27,3 pg
MCHC 32 g/dl
Trombosit 195000/µL
Leukosit 15800/µL
Hitung jenis 2/1/40/57/-
Tanggal 4-3-2010
Hasil Analisis tinja:
Infeksi usus karena bakteri gram negatif
Infeksi usus karena jamur
Anjuran antibiotik: sefiksim
Anjuran antimikotik: nistatin
Ringkasan
Bayi laki-laki, 4 bulan, dengan keluhan utama kuning pada mata dan
seluruh tubuh sejak lahir. BAB dempul, BAK kuning agak gelap, sering
menggaruk kepala dan wajah, perut buncit dan teraba keras.
Perkembangan dan aktivitas keseharian relatif normal. Riwayat
kehamilan usia 2 bulan, ibu mengalami penyakit kuning. Riwayat
kelahiran relatif normal, kecuali terlahir kuning. Dikatakan menderita
penyakit hati dengan indikasi operasi. Hingga saat pemeriksaan ini
telah 13 hari dirawat di RSCM. Pada Pemeriksaan fisik: compos mentis,
tampak sakit ringan, dismorfik (-), sklera ikterik tampak kotor, perut
buncit dengan pembesaran hepar 4 cm bac dan bpx, permukaan licin,
tepi tajam, venektasi abdomen (+), kulit kuning pada perut dan
ekstremitas, status neurologis dalam batas normal.
Diagnosis:
• Kolestasis ekstrahepatik e.c atresia bilier post biopsi hati hati ke-
2
22
• Diare akut tanpa dehidrasi
• Infeksi saluran kemih
• Anemia makrositik normokrom
Terapi:
• Cairan : UMU balans
• Diet: Progestimil 8 x 100ml per NGT
• Obat:
o Asam ursodeoksikolat 3 x 50mg P.O.
o Actavol 2 x 1 mL
o Vitamin E 1 x 100 IU P.O
o Pedialyte 60mL/kali diare
o Zinkid 1 x 10mg P.O
o Ambroxol 3 x 2,5 mg PO
o PCT 60 mg kalau perlu
o Cefotaxim 2 x 100 mg IV ganti dengan fosfomycin 2 x
250mg IV
o Nystatin 2 x 1 ml P.O
• Konsul bedah anak
• Tunggu hasil biopsi hati
S: Demam (-), muntah (-), BAB mencret 1x, konsistensi seperti bubur,
ampas >>
O: kompos mentis, sesak (-), sianosis (-)
Frekuensi nadi: 130 x/menit, regular, isi cukup
Frekuensi nafas: 48x/menit, regular, kedalaman cukup
Suhu: 36,8oC
23
Paru : Vesikuler +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-
Abdomen :Buncit, lemas, venektasi (+), bising usus (+)
normal, turgor cukup, hepar 4 cm bpx, 4 cm bac,
lien S1-II, lingkar perut 47 cm
Ekstremitas : Akral hangat CRT < 2’’, edema -/-, sianosis -/-,
aktif bergerak, tonus baik, kuning (+)
Kulit : warna gelap, tampak ikterik, ruam kulit (-), memar (-)
Genitalia eksterna : penis dan skrotum lengkap, ukuran testis
kiri=kanan, hiperemis (-), nyeri tekan (-)
Status neurologis : Tanda rangsang meningeal (-), tidak terdapat
gerakan tak terkoordinasi.
460 ml 264 ml
Balans: +196 ml
Diuresis: 3,05/kg/jam
24
BAB III
PEMBAHASAN
Pada pasien bayi laki-laki usia 4 bulan dengan keluhan utama
kuning di mata dan seluruh tubuh sejak lahir mengarahkan diagnosis
ke bayi dengan ikterus. Ikterus yang terjadi tidak pernah hilang (>2
minggu) sehingga ikterus non fisiologis. Dari anamnesis didapatkan
riwayat BAB dempul terus menerus, dan warna urin kuning agak gelap.
Hal ini mengarahkan kita pada diagnosis kolestasis. 2 penyebab
kolestasis paling sering ialah sindrom hepatitis neonatal dan kolestasis
ekstrahepatik. Dari riwayat keadaan pasien dan klinis nampaknya tidak
cocok dengan sindrom hepatitis neonatal. Jadi, kemungkinan ikterus
yang terjadi disebabkan oleh kolestasis ekstrahepatik. Dilakukan
langkah mengikuti tahapan evaluasi kolestasis. Untuk menunjang
diagnosis dilakukan pemeriksaan penunjang yaitu bilirubin total dan
fraksi bilirubin. Hasil menunjukkan peningkatan bilirubin total > 5
mg/dl dan bilirubin direk > 20% bilirubin total sehingga sesuai dengan
kolestasis. Untuk mengetahui kondisi kelainan hepatoselular dan bilier
dilakukan pemeriksaan penunjang SGOT, SGPT, alkali fosfatase, dan
GGT. Nilai SGOT meningkat tidak terlalu tinggi yaitu 117 U/L,
sedangkan nilai SGPT dalam batas normal menunjukkan gangguan
hepatoselular tidak berat. Nilai GGT meningkat hingga 2 x lipat
sedangkan fosfatase alkali dalam batas normal menunjukkan
kemungkinan adanya kerusakan saluran bilier. Untuk menilai fungsi
hati dilakukan pemeriksaan albumin serum, waktu protrombin, glukosa
darah. Hasilnya menunjukkan pasien mengalami hipoalbuminemia
(masih diatas 3 setelah dirawat) dan sedikit pemanjangan PT
sedangkan glukosa darah dalam batas normal. Hal ini menunjukkan
fungsi sintesis hati masih baik.
Pada pasien terdapat ISK yang dapat pula menyebabkan
kolestasis. Dengan demikian ISK perlu pula ditangani. Pada pasien juga
dilakukan pemeriksaan imunoglobulin anti toksoplasma dan CMV
hasilnya menunjukkan IgG reaktif.
Pasien juga mengalami anemia makrositik normokrom. Hal ini
bisa karena defisiensi vitamin B12, asam folat ataupun karena penyakit
hati. Defisiensi folat maupun vitamin B12 bisa akibat asupan yang
kurang, malabsorpsi, keadaan medis yang meningkatkan kebutuhan
maupun meningkatkan ekskresi. Nutsisi pada pasien ini sudah
dicukupkan dengan pemberian susu dan suplementasi vitamin. Terjadi
perbaikan nilai Hb namun nilai MCV masih tinggi. Pada pasien ini jelas
terdapat penyakit hati yang dapat menjadi faktor penyebab.
Untuk meyakinkan bahwa kolestasis yang terjadi benar akibat
obstruksi ekstrahepatik dilakukan pemeriksaan USG dan biopsi hati
dengan USG. Kedua hasil pemeriksaan terakhir ini pun mendukung
diagnosis obstruksi ekstrahepatik yaitu berupa atresia bilier. Hasil
25
konsul bedah anak merencanakan kolangiografi intraoperatif, hal ini
penting untuk menentukan patensi sistem bilier sehingga diagnosis
atresia bilier menjadi lebih pasti. Hasil terakhir ini akan menentukan
perlu tidaknya dilakukan prosedur Kasai (portoenterostomi) untuk
meningkatkan aliran bilier dan memperbaiki ikterus.
Terapi medis suportif pada pasien sudah sesuai pedoman
kepustakaan yaitu suplementasi vitamin-vitamin larut lemak, asam
ursodeoksikolat untuk mencegah kolangitis dan menurunkan
kandungan asam empedu dalam darah (dapat mencegah sepsis),
memiliki efek sitoprotektifdan imunomodulasi disertai diet
Progestimil.
Terapi definitif untuk atresia bilier ialah transplantasi hati.
Portoenterostomi yang juga menjadi opsi terapi bersifat pelengkap
karena pada akhirnya pun pasien atresia bilier post operasi
portoenterostomi akan mengalami disfungsi hepar.
Apabila pada pasien ini akan dilakukan prosedur Kasai, maka
angka keberhasilannya kecil mengingat saat operasi usia pasien sudah
> 4 bulan. Di kepustakaan waktu operasi pada bulan ketiga angka
keberhasilannya hanya 20-30%. Selain itu, hasil histologi biopsi hati
mengatakan telah terjadi sirosis bilier. Hal-hal ini memperburuk nilai
prognostik pasien. Hal ini merupakan petunjuk indikasi dilakukannya
transplantasi hati primer. Kalaupun berhasil, pasien harus
mendapatkan terapi imunisupresi jangka panjang dan berisiko tinggi
terkena infeksi. Kondisi sosial ekonomi orang tua pasien yang rendah
makin memperburuk nilai prognostik pasien.
26