Anda di halaman 1dari 7

THALHAH BIN UBAIDILLAH RADHIYALLAHU ANHU

Thalhah adalah putra Ubaidullah. Lengkapnya, Thalhah bin Ubaidillah bin Utsman bin Amr
bin Kaab bin Saad bin Taim bin Murrah bin Kaab bin Luay bin Ghalib bin Fihr bin Malik
bin An-Nadhr bin Kinanah Al-Qurasyi At-Taimi Al-Makki. Kuniyah Thalhah adalah Abu
Muhammad. Nasabnya bertemu dengan Rasulullah pada kakeknya yang bernama Murrah.
Sementara itu, jika dilihat dari hubungan kekerabatan, Thalhah sendiri masih satu kerabat
dengan Abu Bakar Ash-Shiddiq, Bani Taimi.
Thalhah adalah salah seorang sahabat Rasulullah yang dijamin masuk ke dalam
jannah. Utsman, Ali, Zubair, Thalhah, Abdurrahman (bin Auf), Abu Ubaidah, dan Saad
bin Abi Waqqash di Surga, kata Rasulullah suatu hari.1
Ibnu Mandah, seperti yang disinggung dalam Thabaqat Ibn Saad, pernah
menyebutkan beberapa ciri perawakan Thalhah. Di antaranya, Thalhah adalah laki-laki
yang berkulit sawo matang. Rambutnya lebat. Tidak keriting, tidak pula lurus. Wajahnya
rupawan. Kalau berjalan, cepat. Ditambahkan pula dalam Mustadrak Al-Hakim, dari cerita
yang disampaikan oleh Musa bin Thalhah bin Ubaidillah, bahwa Thalhah memiliki bahu
yang bidang dan badan yang besar.
Thalhah juga termasuk salah seorang sahabat Rasulullah

yang pernah

menyampaikan sejumlah hadits sepeninggal Rasulullah, meski tidak sebanyak Abu


Hurairah. Dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim, misalnya, ada tujuh hadits yang
berasal dari Thalhah radhiyallahu anhu. Dua di antaranya sama-sama dikeluarkan oleh Imam
Al-Bukhari atau yang sering diistilahkan dengan muttafaq alaihi. Di antara orang-orang yang
pernah mendapat hadits-hadits dari Thalhah itu, seperti yang tercatat dalam Siyar Alam AnNubala karya Imam Adz-Dzahabi,
adalah anak-anaknya: Yahya, Musa, dan Isa; [kemudian] As-Saib bin
Yazid, Malik bin Aus bin Al-Hadatsan, Abu Utsman An-Nahdi [Abdurrahman
bin Mul], Qais bin Abi Hazm, Malik bin Abi Amir Al-Ashbahi, Al-Ahnaf bin
Qais At-Tamimi, Abu Salamah bin Abdurrahman [bin Auf], dan yang
lainnya.
Thalhah memang bukan sembarang orang. Dalam Siyar Alam An-Nubala, Imam
Adz-Dzahabi mengatakan,
Thalhah radhiyallahu anhu termasuk orang yang pertama kali masuk
Islam, disakiti karena Allah, dan kemudian berhijrah. Para ulama sepakat,
1

HR. At-Tirmidzi [dalam Jami At-Tirmidzi] nomor 3748 dan disahihkan oleh Syaikh Muhammad

Nashiruddin Al-Albani.

Thalhah adalah sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang tidak


ikut serta dalam Perang Badar disebabkan satu urusan dagang di Syam.
Thalhah pun menyesal karena itu. Namun Rasulullah tetap memberikan
untuknya bagian dari Perang Badar itu dan pahala orang-orang yang
mengikutinya.
Menebus ketidakikutsertaannya di Badar, pada Perang Uhud, Thalhah mengamuk.
Ia menyerang orang-orang musyrik waktu itu dan menewaskan banyak orang dari kalangan
mereka. Dalam hitungan Imam Adz-Dzahabi, ada sebelas orang musyrik yang berhasil
dirobohkan Thalhah pada Perang Uhud.
Puncaknya, Thalhan menjadikan dirinya sendiri sebagai perisai bagi diri Rasulullah.
Sampai-sampai, jari-jari tangan Thalhah terpotong ketika menahan senjata-senjata musuh
yang mengarah kepada Rasulullah. Tidak heran, jika Rasulullah pun bersabda, Telah tetap
[bagi] Thalhah [ganjaran untuknya].2
Selain hilang jari-jemarinya, Thalhah, seperti yang disebut Ummu Ishaq dan Aisyah
dua orang putri Thalhah dalam Thabaqat Ibn Saad, juga mendapat sebanyak dua puluh
empat luka di sekujur tubuhnya dari perang itu. Meski demikian, Thalhah tidak surut
semangatnya untuk mendampingi Nabi shallallahu alaihi wa sallam di perang-perang
berikutnya.
Pada akhir masa pemerintahan Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu anhu, Thalhah
ditunjuk oleh Umar sebagai salah seorang dari enam orang sahabat Rasulullah yang menjadi
rijal asy-syura.3 Orang-orang inilah yang akan membicarakan sekaligus menunjuk dan
mengangkat khalifah pengganti Umar. Dalam keadaan seperti itu, Thalhah justru
menyerahkan hak kepemimpinan yang ada pada dirinya kepada orang lain. Ia merasa tidak
pantas menjadi orang yang menggantikan Umar sebagai pemimpin kaum muslimin.4
Di antara bentuk rendah hati yang dimiliki Thalhah adalah tekadnya untuk menamai
putra-putrinya dengan nama-nama para nabi atau nama orang-orang yang shalih dan
shalihah. Putra-putra Thalhah bernama Muhammad, Musa, Yahya, Isa, Yaqub, Zakaria, dan
Ishaq. Tentang ini, Imam Adz-Dzahabi pernah menyinggungnya dalam Siyar Alam AnNubala,
"Abu Hatim Ar-Razi pernah berkata, 'Musa adalah sebaik-baik anak
Thalhah setelah Muhammad [bin Thalhah bin Ubaydillah].' Kukatakan, 5
2

HR. At-Tirmidzi no. 3739, disahihkan oleh Imam At-Tirmidzi dan disepakati kesahihannya oleh

Imam Adz-Dzahabi.
3

Enam orang itu, selain Thalhah, adalah Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abdurrahman bin

Auf, Saad bin Abi Waqqash, dan Zubair bin Al-Awwam. Ridwanullahi alaihim ajmain.
4

Waktu itu, yang dipilih oleh rijal asy-syura sebagai khalifah pengganti Umar adalah Utsman bin

Affan radhiyallahu anhu.


5

Maksudnya adalah Imam Adz-Dzahabi sendiri.

Muhammad yang dimaksud adalah anak Thalhah yang paling besar.


Muhammad terbunuh bersama ayahnya pada waktu Perang Jamal.
Muhammad adalah seorang ahli ibadah dan orang yang cerdas. Setelah
dirinya, yang paling baik adalah Musa yang dibicarakan tadi. Lalu Isa bin
Thalhah. Lalu, Yahya bin Thalhah. Lalu, Ya'qub bin Thalhah, salah seorang
pemberani, yang terbunuh pada Peristiwa Al-Harrah. Lalu, Zakariyya bin
Thalhah, cucu Abu Bakar Ash-Shiddiq. Lalu, Ishaq bin Thalhah. Masingmasing mereka memiliki anak dan para penerus mereka."
Adapun anak perempuannya, Thalhah menamakannya dengan Aisyah. Dalam
sejarah Islam, Aisyah binti Thalhah ini dikenal sebagai salah satu dari dua wanita Arab yang
paling cantik di masanya. Yang menyaingi kecantikan Aisyah binti Thalhah waktu itu hanya
Sukainah binti Husain bin Ali bin Abi.
Thalhah meninggal dunia pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu
anhu, ketika terjadi Perang Jamal pada tahun 36 H. Waktu itu, sebatang anak panah takbertuan melayang mengenainya dan menjadi sebab terbunuhnya. Ali bin Abi Thalib sangat
berduka ketika melihat jenazah Thalhah setelah perang usai. Mudah-mudahan Allah
senantiasa meridhoinya dan para sahabat Rasulullah yang lainnya.[]

PERANG JAMAL & SEBAB-SEBAB PERSELISIHAN

Dalam Minhaj As-Sunnah, Ibnu Taimiyah pernah menulis tentang kemunculan perselisihan
yang menyebabkan terjadinya perang yang dimaksud,
Tersebar rumor di tengah rakyat Syam akan Ali radhiyallahu anhu yang
menerima pembunuhan Utsman itu. Rumor seperti ini tersebar di sana
karena empat sebab. (1) Tidak adanya qishash terhadap para pembunuh
Utsman, (2) meletusnya Perang Jamal, (3) kepergian Ali dari Madinah
sekaligus kepindahan Ali ke Kufah tempat komplotan pembunuh Utsman
berada, (4) orang-orang yang membunuh Utsman bergabung ke dalam
pasukan Ali radhiyallahu anhu. Empat alasan itulah yang membuat rakyat
Syam mencurigai Ali memiliki saham dalam pembunuhan Utsman.
Padahal, tidak sama sekali. Sebaliknya, Ali justru melaknat para
pembunuh Utsman itu.
Ada lebih dari satu orang yang masuk dan melakukan kekerasan fisik terhadap
Utsman sampai terbunuh. Ibnu Asakir dan Ibnu Katsir menyebutkan nama-nama mereka di
dalam karya masing-masing berdasarkan riwayat-riwayat yang sahih.
Orang pertama adalah laki-laki yang dijuluki Al-Mawt Al-Aswad, kematian yang
hitam. Ia adalah orang yang mencekik Utsman sampai pingsan. Mengira Utsman sudah takbernyawa, Al-Mawt Al-Aswad keluar.
Orang kedua adalah Kinanah bin Bisyr. Setelah Utsman siuman, Kinanah memukul
rusuk dan kepala Utsman dengan tiang besi sampai jatuh tersungkur.
Orang ketiga adalah Sudan bin Humran Al-Muradi. Ialah yang membuat jari-jari
istri Utsman, Nailah, terputus ketika hendak melindungi suaminya. Ketika tidak terhalang
lagi, Sudan segera menikam Utsman sampai terbunuh. Belum sempat beranjak pergi, Sudan
dibunuh oleh salah seorang pelayan Utsman.
Orang keempat adalah Amr bin Hamq. Melihat Utsman telah ditikam, Amr segera
menduduki dada Utsman. Dengan penuh kebencian, Amr menikam Utsman yang sudah
tidak bernyawa lagi itu. Tiga tikaman, kata Amr, kuberikan karena Allah. Enam tikaman
lagi kuberikan karena dendam yang menyesakkan dadaku.
Khalifah Khayyath, dalam kitab Tarikh miliknya, menambahkan orang kelima yang
bernama Jabalah. Ia berasal dari rombongan penentang pemerintahan Utsman yang datang
dari Mesir. Orang inilah yang diyakini oleh banyak orang sebagai pembunuh Utsman
sebenarnya.
Antara keluarnya Al-Mawt Al-Aswad dan masuknya Kinanah bin Bisyr, sempat
masuk Muhammad bin Abi Bakar, putra Abu Bakar Ash-Shiddiq dari istrinya yang bernama

Asma binti Umais. Muhammad segera memegang jenggot Utsman, tetapi melihat keadaan
Utsman waktu itu ia urung melanjutkan apa yang akan dilakukannya.
Muhammad kemudian menyesal lalu pergi keluar. Ia yang bergabung dengan
rombongan orang-orang dari Mesir sempat berusaha menahan dan menyadarkan temantemannya. Meski demikian, amarah massa sudah tidak terbendung lagi. Usaha Muhammad
berlalu sia-sia.
TERBUNUHNYA DUA SAHABAT NABI DI PERANG JAMAL6
Adapun Perang Jamal, ini adalah contoh paling baik tentang kesalahpahaman yang
berdarah-darah. Ketika massa di tingkat bawah tidak terkendali lagi, para pemimpinmeski
dikenal memiliki keilmuan menjulang tak tertandingi sekalipuntidak akan sanggup
menenangkan mereka kecuali jika Allah mengizinkan.
Bermula dari bertemunya sejumlah sahabat Rasulullah di Makkah awal tahun 36 H.
Thalhah dan Zubair waktu itu bertemu dengan rombongan Aisyah yang baru selesai
menunaikan ibadah haji. Hadir juga di sana Yala bin Muniyah dan Abdullah bin Amir.
Mereka sepakat untuk pergi ke Bashrah untuk mencari para pembunuh Utsman.
Mereka mengira dengan kuat, dari Madinah para pembunuh pergi ke Kufah atau Bashrah
dan berdiam di sana.
Tiba di Bashrah, mereka didatangi Utsman bin Hunaif, gubernur setempat yang
diangkat oleh Ali. Utsman bin Hunaif menahan mereka sampai Ali tiba di sana.
Belum lagi Ali datang, tiba-tiba Jabalah datang menyerbu dengan membawa
pasukan yang berjumlah sekitar 700 orang bersenjata. Mereka yang datang ini dapat
dikalahkan. Waktu itu, selain membawa para pendukung dari Makkah, Thalhah, Zubair dan
Aisyah juga dibantu oleh penduduk-penduduk Bashrah.
Kabar yang sampai kepada Ali, Utsman bin Hunaif telah berperang melawan
rombongan sahabat-sahabat Rasulullah itu. Ali segera menyiapkan 10.000 orang untuk
datang ke Bashrah menemui mereka. Pasukan sejumlah itu dikenal dalam sejarah sebagai
pasukan Kufah.
Masing-masing pihak kemudian mengirimkan utusan untuk bertemu dan berusaha
mendudukkan persoalan. Pihak Ali diwakili oleh Al-Miqdad bin Al-Aswad dan Al-Qaqa
bin Amr yang berunding dengan Thalhah dan Zubair.
Mereka pun sepakat untuk mengadakan qishash terhadap para pembunuh Utsman.
Selain itu, masing-masing pihak sepakat pula untuk menahan diri tidak saling menyerang.
Satu-satunya yang tersisa dari pembicaraan adalah masalah waktu pelaksanaan.
Akan tetapi, kesepakatan itu rusak ketika tiba-tiba sebuah pasukan yang diorganisasi
oleh oknum-oknum pembunuh Utsman menyerang tempat bermalam rombongan Thalhah,
6

Uraian tentang Perang Jamal ini disarikan dari apa yang ditulis Ibnu Katsir dalam karya beliau, Al-

Bidayah wa An-Nihayah

Zubair dan Aisyah. Serangan ini dilakukan sebelum masuk waktu fajar. Para penyerang
melakukan penyerangan atas inisiatif sendiri, tanpa sepengetahuan Ali. Mereka segera
melarikan diri setelah berhasil menewaskan sejumlah orang.
Thalhah mengira, serangan itu atas perintah Ali. Karena itu, menganggap pihak Ali
telah merusak kesepakatan mereka, Thalhah dan Zubair menyiapkan serangan balik.
Paginya, mereka menyerang Ali dan pasukannya.
Ali dan pasukannya tidak mengira akan serangan itu. Balik menganggap pasukan
Thalhah dan Zubair telah merusak kesepakatan, pasukan Ali kemudian meladeni mereka.
Saling serang pun terjadi. Lewat tengah hari, apa yang terjadi di antara mereka itu
berubah menjadi sebuah perang besar. Sayangnya, baik Ali maupun Thalhah dan Zubair,
masing-masing tidak dapat menahan lagi pasukan mereka. Dari kedua belah pihak, korbankorban telah berjatuhan.
Di tengah kecamuk perang, Aisyah sempat mengutus Kaab bin Sur untuk
menghentikan perang. Berbekal sebuah mushaf yang diangkatnya, Kaab mencoba menarik
perhatian

kedua

belah

pihak

memintadengan

nama

Allahuntuk

berhenti

menumpahkan darah. Usaha itu gagal. Kaab tewas dihujani anak-anak panah.
Thalhah termasuk orang-orang yang pertama terbunuh pada perang itu. Sebatang
anak panah tak-bertuan melayang mengenainya dan menjadi sebab terbunuhnya. Ali sangat
berduka ketika melihat jenazah Thalhah setelah perang usai.
Berbeda dengan Thalhah, Zubair berpaling dari perang. Ada banyak riwayat yang
menerangkan alasan di balik berpalingnya Zubair. Riwayat yang paling masyhur adalah
yang bercerita bahwa Zubair pergi dari perang itu setelah mengingat kembali sebuah sabda
Rasulullah yang didengarnya dan didengar Ali pula, Sungguh, engkau akan memerangi
Ali, sedangkan engkau sebagai pihak yang zalim.7
Belum jauh berpaling dari medan perang, Zubair dibunuh oleh salah satu anggota
pasukan Ali. Pembunuh itu bernama Amr bin Jurmuz. Ketika dikabari perihal kematian
Zubair itu, Ali segera berkata kepada Amr, Kabari orang yang membunuh putra Shafiyyah
itu dengan Neraka. Shafiyyah yang dimaksud adalah ibu Zubair.
Adapun Aisyah, unta yang ditungganginya tumbang setelah ditebas oleh seseorang.
Sekedup Aisyah terjatuh dan orang-orang yang ada di sekitarnya menjauh sekaligus
menghentikan perang. Telah banyak orang yang terbunuh di sekitar unta itu karena
membela keselamatan Aisyah.
Dengan unta yang tumbang itu, Perang Jamal usai. Kedua pasukan menghentikan
serangan. Ali secara langsung memerintahkan orang-orangnya untuk mengamankan
sekedup yang berisi Aisyah itu. Hari sudah menjelang sore.

Meski demikian, salah satu perawi hadits ini diperbincangkan oleh para pakar hadits dari dulu

sampai sekarang.

Muhammad bin Abi Bakar yang bergabung dengan pasukan Ali diperintah untuk
mendampingi Aisyah. Malam itu mereka masuk ke Bashrah dan bermalam di sana.
Ali bermalam di Bashrah selama tiga hari. Beliau radhiyallahu anhu memimpin shalat
jenazah bagi mereka yang terbunuh dalam perang sehari itu. Harta-harta yang telah
dirampas pasukan dikembalikan. Sebaliknya, orang-orang yang lari dari perang
dibiarkannya dan tidak dikejar.
Selama di Bashrah, Aisyah diperlakukan dengan baik oleh Ali dan pasukannya.
Bahkan, ia akan menghukum siapa saja dari pasukannya yang kedapatan mencela Aisyah.
Ali kemudian memulangkan Aisyah dan rombongannya ke Makkah untuk
kemudian kembali ke Madinah. Rombongan itu dilepas oleh Ali sendiri, seperti ketika
melepas seorang ibu pergi. Bahkan, Ali langsung mengiringi mereka sampai beberapa mil
dan mengucapkan selamat jalan, radhiyallahu anhum.
Sebelum berangkat pulang, Aisyah mendoakan Ali dan pasukannya. Kepada orangorang yang hadir di sana, Aisyah berwasiat, Wahai anak-anakku, jangan kalian saling
mencaci-maki. Demi Allah, sungguh, apa yang terjadi antara aku dan Ali adalah masalah
yang biasa terjadi antara seorang wanita dengan saudara-saudara iparnya. Walaupun aku
pernah mencelanya, sungguh, Ali adalah hamba yang terpilih.
Mendengar wasiat Aisyah itu, Ali menyambung, Beliau benar. Demi Allah, tidak
ada masalah antara kami berdua kecuali seperti yang telah disebutkan itu. Sungguh, beliau
adalah istri nabi kalian radhiyallahu anha di dunia dan di akhirat.[]

Anda mungkin juga menyukai