Anda di halaman 1dari 89

QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM

NOMOR 9 TAHUN 2003


TENTANG
HUBUNGAN TATA KERJA
MAJELIS PERMUSYAWARATAN ULAMA DENGAN
EKSEKUTIF, LEGISLATIF DAN INSTANSI LAINNYA
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM
DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA
GUBERNUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM,
Menimbang: a. bahwa dalam masyarakat Aceh ulama menempati
posisi strategis dan terhomiat sebagai warasatul
ambiya' yang bertugas membimbing umat dalam
kehidupan beragama, bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara;

Mengingat :

b.

bahwa Undang-undang Nomor 44 Tahun


1999 dan semangat Undang-undang Nomor 18
Tahun 2001 telah menempatkan Majelis
Permusyawaratan Ulama (MPU) sebagai badan
independen dan mitra sejajar badan eksekutif,
legislatif, dan instansi lainnya, untuk itu perlu
adanya pengaturan tentang hubungan tata kerja
antara lembaga-lembaga tersebut;

c.

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b, perlu


penetapan dalam Qanun.

1. Al-Quran;
2.
Al-Hadits;
3.
Pasal 18 b dan pasal 29 UndangUndang Dasar 1945;

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

Undang-undang Nomor 24 Tahun


1956 tentang Pembentukan Daerah Otonomi
Provinsi Aceh dan Perubahan Peraturan
Pembentukan
Propinsi
Sumatera
Utara
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1956 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 1103);
Undang-undang Nomor 5 Tahun
1991 tentang Kejaksaan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1991 Nomor 59
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3451);
Undang-undang Nomor 22 Tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor
60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
Undang-undang Nomor 25 Tahun
1999 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 72,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3848);
Undang-undang Nomor 44 Tahun
1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan
Propinsi Daerah Istimewa Aceh (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor
172, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3
893);
Undang-undang Nomor 18 Tahun
2001 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi
Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2001 Nomor 114, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4134);
Undang-undang Nomor 2 Tahun
2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia
(Lembaran
Negara
Republik
Indonesia Tahun 2002 Nomor 2, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4168);

11.

Undang-undang Nomor 3 Tahun


2002 tentang Pertahanan Negara (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor
3, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1469);
12.
Peraturan Pemerintah Nomor 25
Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah
dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah
Otonom (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3952);
13.
Peraturan Daerah (Qanun) Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 3 Tahun
2000 tentang Pembentukan Organisasi dan tata
Kerja Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU)
Propinsi Daerah Istimewa Aceh (Lembaran
Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh Tahun
2000 Nomor 23);
14.
Peraturan Daerah (Qanun) Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 5 Tahun 2000
tentang Pe-laksanaan Syari'at Islam (Lembaran
Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh Tahun
2000 Nomor 30);
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI
NANGGROE ACEH DARUSSALAM
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM
TENTANG HUBUNGAN TATA KERJA MAJELIS
PERMUSYAWARATAN
ULAMA
DENGAN
EKSEKUTIF, LEGISLATIF DAN INSTANSI LAINNYA.
BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Qanun ini yang dimaksud dengan :
1. Provinsi adalah Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam.
2. Pemerintah Provinsi adalah Gubemur beserta
perangkat lain Pemerintah Daerah sebagai
Badan eksekutif Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam.
3. Gubemur adalah Gubemur provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam.
4. Badan Eksekutif adalah kekuasaan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Gubemur, dibantu
oleh seorang wakil Gubemur dan perangkat
Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
5. Badan Legislatif adalah Dewan Perwakilan Rakyat
daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darassalam yang
dipilih melalui pemilihan umum.
6. MPU adalah Majelis Permusyawaratan Ulama
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang
bersifat independen.
7. Instansi lainnya adalah instansi vertikal yang
ber-ada di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
yang meliputi KODAM Iskandarmuda, Kepolisian
Daerah Nanggroe Aceh Darussalam dan Kejaksaan
Tinggi Nanggroe Aceh Darussalam.
8. Tata Hubungan Kerja adalah mekanisme
hubungan fungsional antara MPU, dengan
Badan Eksekutif, Legislatif dan Instansi lainnya
yang berkaitan dengan fungsi dan tugas MPU
dalam penentuan kebijakan Daerah.
9. Kebijakan Daerah adalah Qanun Provinsi dan
Keputusan Gubemur yang bersifat mengatur
dan
mengikat
dalam
penyelenggaraan
pemerintahan, pembangunan dan pembinaan
kemasyarakatan.
10. Independen
adalah
kedudukan
Majelis
Permusyawaratan Ulama (MPU) tidak berada
4

11.

12.
13.
14.

dibawah Gubemur, DPRD atau Lembaga lain,


tetapi sebagai mitra sejajarnya.
Fatwa adalah Keputusan Dewan Paripuma
Ulama (DPU) yang berhubungan dengan hukum
syariat terhadap sesuatu masalah kenegaraan
dan kemasyarakatan.
Pertimbangan Ulama adalah keputusan DPU
yang berhubungan dengan kebijakan daerah
yang disampaikan secara tertulis.
Saran Ulama adalah usul atau rekomendasi yang
disampaikan oleh pimpinan MPU kepada
pemerintah.
Wilayatul Hisbah adalah satuan tugas yang
membantu polisi dalam urusan penegakan Syariat
Islam.
BAB II
KEWENANGAN
MAJELIS PERMUSYAWARATAN ULAMA

Pasal 2
Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) berwenang
memberikan pertimbangan, saran/fatwa baik diminta
maupun tidak diminta kepada Badan Eksekutif,
Legislatif, Kepolisian Daerah Nanggroe Aceh
Darussalam, Kejaksaan, KODAM Iskandarmuda dan
lain-lain Badan/Lembaga Pemerintah lainnya.
BAB III
HUBUNGAN TATA KERJA MPU DENGAN
BADAN EKSEKUTIF
Pasal 3
(1) Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) merupakan mitra kerja Badan Eksekutif dalam penentuan
kebijakan Daerah terutama yang berkaitan dengan
Syari'at Islam.

(2) Sebagai mitra kerja Badan Eksekutif, Majelis


Permusyawaratan Ulama (MPU) wajib memberi
masukan, pertimbangan dan saran-saran kepada
Badan Eksekutif dalam merumuskan dan
menjalankan kebijakan Daerah baik dalam
bidang pemerintahan, pembangunan, kemasyarakatan dan tatanan hukum serta tatanan
ekonomi yang Islami.
Pasal 4
(1) Badan Eksekutif dalam menjalankan kebijakan
Daerah
wajib
memposisikan
Majelis
Permusyawaratan Ulama (MPU) sebagai
Badan independen dan mitra kerja terutama
yang berkaitan dengan Syari'at Islam.
(2) Badan Eksekutif wajib meminta masukan,
pertimbangan dan saran-saran dari Majelis
Permusyawaratan Ulama (MPU) dalam
menjalankan kebijakan Daerah.
(3) Badan Eksekutif wajib mendengar fatwa Majelis
Permusyawaratan Ulama (MPU) dalam menjalankan kebijakan Daerah, di bidang pemerintahan, pembangunan, kemasyarakatan,
tatanan hukum dan tatanan ekonomi yang
Islami.
BAB IV
HUBUNGAN TATA KERJA MPU DENGAN
BADAN LEGISLATIF
Pasal 5
(1) MPU sebagai badan independen dan mitra kerja
badan Legislatif dalam menjalankan fungsi
legislasi, penganggaran dan pengawasan
kebijakan Daerah, terutama bidang syari'at Islam.
(2) Sebagai badan independen dan mitra kerja
badan Legislatif, MPU wajib memberikan

masukan, pertimbangan dan saran-saran


kepada badan legislatif dalam menjalankan
fungsi legislasi, penganggaran dan pengawasan kebijakan Daerah.
Pasal 6
Badan Legislatif dalam menjalankan fungsi
legislasi yang menyangkut dengan Syari'at
Islam wajib meminta masukan, pertimbangan
dan saran-saran dari Majelis Permusyawaratan
Ulama (MPU).
(2) Dalam hal Badan Legislatif menjalankan fungsi
legislasi, penganggaran dan pengawasan kebijakan Daerah, menyangkut dengan Hukum
Islam, wajib meminta dan mempertimbangkan
Fatwa dan pertimbangan Majelis Permusyawaratan
Ulama (MPU).
(1)

Pasal 7
Badan Legislatif dapat menerima Rancangan
Qanun di bidang Syari'at Islam yang diajukan MPU
sebagai Rancangan Qanun hak inisiatif anggota
DPRD.
Pasal 8
Dalam rangka pembentukan Komisi independen
Pemilihan dan Komisi Pengawas Pemilihan
Gubemur dan Wakil Gubemur, Badan Legislatif
wajib meminta pertimbangan MPU.
BAB V
HUBUNGAN TATA KERJA MPU DENGAN
INSTANSI LAINNYA
Bagian Pertama
Hubungan Tata Kerja MPU dengan Kepolisian
Daerah Nanggroe Aceh Darussalam

Pasal 9
MPU sebagai badan independen wajib memberikan
pertimbangan dan saran-saran kepada Kepala
Kepolisian Daerah Nanggroe Aceh Darussalam
dalam melaksanakan kebijakan di bidang
keamanan, tugas fungsional Kepolisian, ketertiban
dan ketentraman masyarakat serta bidang
Pendidikan Kepolisian.
Pasal 10
Kepala Kepolisian Daerah Nanggroe Aceh Darussalam
dalam melaksanakan tugas dibidang keamanan,
fungsional Kepolisian, ketertiban dan ketentraman
masyarakat wajib memperhatikan dengan sungguhsungguh pertimbangan/ fatwa MPU dan Ketua MPU
mempunyai tanggung jawab yang sejajar.
Disatu pihak wajib menyampaikan saran dan
pertimbangan lembaganya, dipihak yang satu lagi
wajib memperhatikan/ mempertimbangkan.
Kedua-duanya tidak saling mengabaikan.
Pasal 11
Kepala Kepolisian Daerah Nanggroe Aceh
Darussalam wajib bekerjasama dengan MPU dalam
rangka pendidikan dan pembinaan Kepolisian
khusus di bidang penegakan Syari'at Islam,
ketertiban dan ketentraman masyarakat.
Bagian Kedua
Hubungan Tata Kerja MPU dengan Kejaksaan
Nanggroe Aceh Darussalam
Pasal 12

MPU sebagai badan independen dan mitra kerja


Kejaksaan Nanggroe Aceh Darussalam dalam melaksanakan tugas dan kebijakan di bidang Penuntutan
dan pelaksanaan putusan Peradilan Syari'at Islam serta
pengawasan terhadap aliran/ajaran sesat.
Pasal 13
Kejaksaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
dalam melaksanakan tugas dan kebijakan di bidang
Penuntutan dan pelaksanaan Putusan Peradilan
Syari'at Islam serta pengawasan terhadap aliran/
paham sesat wajib memperhatikan sungguhsungguh pertimbangan/Fatwa MPU.
Bagian Ketiga
Hubungan Tata Kerja MPU dengan KODAM
Iskandarmuda
Pasal 14
MPU sebagai badan independen dan mitra kerja
Eksekutif, Legislatif dan Instansi lainnya, wajib memberikan saran/pertimbangan kepada Kodam Iskandarmuda dalam rangka penetapan kebijakan dibidang
pertahanan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Pasal 15
Kodam Iskandarmuda dalam menyelenggarakan
kebijkan pertahanan Negara di Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam wajib memperhatikan sungguhsungguh nilai-nilai agama, budaya, adat serta saransaran/Fatwa MPU.
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 16

Hal-hal yang belum diatur dalam Qanun ini


sepanjang pelaksanaannya, akan diatur dalam
Keputusan bersama antara Majelis Permusyawaratan
Ulama (MPU) dengan Badan Eksekutif/Legislatif/
Instansi lainnya.
Pasal 17
Qanun ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Qanun ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam.

LEMBARAN DAERAH PROVINSI NANGGROE


DARUSSALAM TAHUN 2003 NOMOR 22 SERI D

10

ACEH

NOMOR 9

11

PENJELASAN
ATAS
QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM
NOMOR 9 TAHUN 2003
TENTANG
HUBUNGAN TATA KERJA MAJELIS PERMUSYAWARATAN
ULAMA DENGAN BADAN EKSEKUTIF, LEGISLATIF DAN
INSTANSI LAINNYA
I.

UMUM

Sejak abad ke VI M atau abad I H, Islam telah masuk ke


wilayah Nanggroe Aceh Darussalam. Dalam kurun dua abad (abad
XIII-XIV) Nanggroe Aceh Darusaalam menjadi sebuah kerajaan
Islam yang cukup maju, sehingga mengantarkan Nanggroe Aceh
sebagi pusat perdagang, ilmu pengetahuan dan pertahanan.
Kondisi tersebut telah melahirkan suasana masyarakat dan
budaya Aceh yang Islami. Budaya dan adat Aceh yang lahir dari
renungan para ulama, kemudian dipraktekkan, dikembangkan dan
dilestarikannya dalam kehidupan masyarakat Aceh sehari-hari.
Fenomena tersebut terpatri dengan kokohnya dalam ungkapan
bijak "Adat bak Poteu-meureuhom, Hukom bak Syiah Kuala,
Qanun bak Putroe Phang Reusam bak Lakseumana". Ungkapan
tersebut merupakan pencerminan dari Syari'at Islam yang telah
menyatu dan menjadi pedoman hidup bagi masyarakat Aceh.
Kondisi tersebut tidak dapat dipisahkan dari peranan para ulama
sebagai pewaris para rasul. Ulama bersama-sama dengan umara
sangat berperan dalam menjalankan kebijakan pemerintahan dan
membimbing masyarakat.
Fakta sejarah tersebut menjadi kabur sejak Indonesia
merdeka. Bahkan terutama sejak pemerintah Orde Baru berkuasa
peranan ulama secara sistematis dimarginalkan oleh birokrasi,
politisi dan konglomerat. Sehingga para ulama tidak mampu
menjalankan missinya sebagai warasatui Ambiya' dan malah
ditinggalkan oleh umatnya. Bersamaan dengan kondisi tersebut
Syari'at Islam semakin melentur dalam pengamalan dan kehidupan

12

masyarakat Nanggroe Aceh Darusalam. Julukan Aceh SERAMBI


MEKKAH hanya tinggal sebutan tanpa makna.
Dengan munculnya era reformasi pada tahun 1997,
semangat dan peluang yang terpendam untuk memberlakukan
Syari'at Islam di beberapa daerah di Indonesia muncul kembali,
terutama di Aceh yang telah lama dikenal sebagai Serambi
Mekkah. Semangat dan peluang tersebut kemudian terakomodir
dalam Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang
pengyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh.
Dalam rangka memperjelas peranan ulama dalam
penetapan kebijakan daerah sebagaimana dikehendaki oleh
Undang-undang Nomor 44 tahun 1999 tersebut, telah dikeluarkan
Qanun (Peraturan Daerah) Nomor 3 tahun 2000 tentang
Pembentukan organisasi dan Tata Kerja Majelis Permusyawaratan
Ulama (MPU) Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Di dalam pasal 3
ayat (1) dan (2) Perda (Qanun) tersebut ditetapkan bahwa MPU
merupakan suatu Badan yang Independen dan bukan unsur
pelaksana tapi mempakan mitra sejajar Pemerintah Daerah dan
DPRD. Bahwa ketentuan pasal 3 ayat (1) dan (2) Perda (Qanun)
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 3 tahun 2000, masih
diperlukan penjelasan/penjabaran lebih lanjut. Oleh karena Qanun
itu sendiri tidak memberikan penjelasan, baik yang bersifat umum
maupun penjelasan pasal demi pasal.
Sementara itu dalam penetapan kebijakan Daerah dari
aspek Syari'at Islam, sebaiknya dilakukan oleh Gubernur dan
perangkat daerah sebagai badan eksekutif serta DPRD, tapi juga
menyentuh kebijakan pemerintah yang dilaksanakan oleh instansi
lainnya, seperti Kepolisian Daerah Nanggroe Aceh Darussalam,
Kejaksaan Tinggi Nanggroe Aceh Darussalam, Komando Militer
Iskandarmuda dan instansi vertikal lainnya.
Adanya pengaturan hubungan tata kerja MPU dengan
instansi lainnya adalah dimaksudkan agar semua kebijakan
pemerintah yang dilaksanakan oleh isntansi vertikan untuk
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dapat mendukung atau tidak
kontra produktif dengan pelaksanaan Syari'at Islam. Disisi lainnya
dengan adanya hubungan tata kerja dengan MPU, maka kebijakan
pemerintah akan dapat diimplementasikan secara efektif dalam
masyarakat, karena telah mendapat dukungan moril dari MPU.
13

Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka kehadiran


Qanun yang mengatur lebih lanjut Hubungan Tata Kerja MPU
dengan Badan Eksekutif, Legislatif dan instansi lainnya merupakan
kebutuhan filosofis, yuridis dan sosiologis dalam rangka penetapan
kebijakan daerah dan pemerintah yang Islami.
Dalam Qanun ini dipertegaskan kembali tentang
kewenangan MPU untuk memberikan pertimbangan, saran atau
fatwa dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan daerah kepada
Gubemur, perangkat daerah lainnya, badan Legislatif, Kepolisian
Daerah Nanggroe Aceh Darussalam, Kejaksaan Tinggi Nanggroe
Aceh Darussalam, KODAM Iskandarmuda, Kantor Wilayah
Depertemen Agama, Kantor Wilayah Departemen Kehakiman dan
HAM, Perbankan dan Instansi vertikal lainnya yang ada di Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukupjelas
Pasal2
Yang dimaksud dengan "Badan/Lembaga Pemerintah lainnya"
adalah Badan atau Instansi Vertikal (Pemerintah Pusat) yang
berada di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, seperti
Kanwil Departemen Agama, Kanwil Departemen
Kehakiman dan HAM, Kanwil Anggaran Departemen
Keuangan, Keluarga Berencana, Badan Pertanahan,
Lembaga Perbankan dan lain-lain.
Pasa l 3
Ayat (l)
Yang dimaksud dengan "yang berkaitan dengan
Syari'at Islam" adalah ketentuan Syari'at Islam
yang mengatur semua aspek kehidupan

14

masyarakat terutama dalam rangka penentuan dan


palaksanaan kebijakan Daerah.
Ayat (2)
Pasal 4

Cukup jelas
Ayat (l)
Yang dimaksud dengan "Wajib memposisikan
MPU sebagai badan independen dan mitra kerja"
adalah untuk memposisikan MPU sebagai
perangkat Daerah lainnya dalam kegiatan-kegiatan
rutin, atau operasional badan eksekutif.
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas

Pasal 5
Cukup Jelas
Pasal 6
Ayat (l)
Yang dimaksud dengan "wajib meminta masukan,
pertimbangan dan saran-saran dari MPU" adalah
dalam hal DPRD dan menerima Rancangan Qanun
bidang Syari'at Islam dari Eksekutif sebelum
melakukan pembahasan atau membahas bersamasama dengan MPU.
Ayat (2)
Cukup Jelas.
Pasal 7
Dalam keadaan yang dipandang sangat mendesak adanya
Qanun di bidang Syari'at Islam, sementara karena alasan
tertentu tidak memungkinkan
pengajuan Rancangan
15

Qanun tersebut oleh Eksekutif, maka DPRD menerima


Rancangan Qanun yang diajukan oleh MPU yang
dijadikan sebagai hak inisiatif anggota DPRD.
Pasal 8
Cukup Jelas.
Pasal 9
Cukup Jelas.
Pasal 10
Cukup Jelas.
Pasal 11
Cukup Jelas.
Pasal 12
Cukup Jelas.
Pasal 13
Cukup Jelas.
Pasal 14
Cukup Jelas.
Pasal 15
Cukup Jelas.
Pasal 16
Cukup Jelas.
Pasal 17
Cukup Jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH PROVINSI NANGGROE
ACEH DARUSSALAM NOMOR 25
16

QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM


NOMOR 12 TAHUN2003
TENTANG
MINUMAN KHAMAR DAN SEJENISNYA
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM
DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA
GUBERNUR PROVINSI NANGGROE ACEH
DARUSSALAM,
Menimbang: a. bahwa Keistimewaan dan Otonomi Khusus yang
diberikan untuk Daerah Istimewa Aceh sebagai
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam berdasarkan Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999
dan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001,
antara lain bertujuan mengaplikasikan Syari'at
Islam dalam kehidupan masyarakat untuk
mewujudkan tata kehidupan masyarakat yang
sejahtera, aman, tenteram, adil dan tertib guna
mencapai ridha Allah;
b.

bahwa mengkonsumsi minuman khamar dan


sejenisnya merupakan pelanggaran terhadap Syari'at
Islam, merusak kesehatan, akal dan kehidupan
masyarakat dan berpeluang timbul maksiat lainnya;

c.

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana


dimaksud huruf a dan b perlu membentuk Qanun
tentang Larangan Minuman Khamar dan sejenisnya.

Mengingat : 1. Al-Quran;
2.
Al-Hadits;
3.
Pasal 29 Undang-undang
Dasar 1945

17

4. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang


Pembentukan Daerah Otonom Propinsi Aceh dan
Perubahan Peraturan Pembentukan Propinsi
Sumatera Utara (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1956 Nomor 64, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 1103);
5. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3209 );
6. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
7. Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah
Istimewa Aceh (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 172, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3892);
8. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa
Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2001 Nomor 114, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4134);
9. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983
tentang Pelaksanaan KUHAP (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 36,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3258);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1988
tentang Koordinasi Kegiatan Instansi vertikal di
daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1988 Nomor 10, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3373);
11. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000
tentang
Kewenangan
Pemerintah
dan
Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom
18

12.
13.

14.

15.

16.

17.

18.

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun


2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3952);
Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 1997
tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman
Beralkohol;
Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 1999 tentang
Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan
dan Bentuk Rancangan Undang-undang, Rancangan
Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Keputusan
Presiden (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1999 Nomor 70);
Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 23
Tahun 1986 tentang Ketentuan Umum Mengenai
Penyidik Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan
Pemerintah Daerah;
Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun
1997 tentang Larangan, Pengawasan, Penertiban,
Peredaran dan Penjualan Minuman Beralkohol di
Daerah;
Peraturan Daerah (Qanun) Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam Nomor 5 Tahun 2000 tentang
Pelaksanaan Syari'at Islam (Lembaran Daerah
Propinsi Daerah Istimewa Aceh Tahun 2000
Nomor 30);
Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
Nomor 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syari'at
Islam (Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam Tahun 2003 Nomor 2 Seri E
Nomor 2, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 4);
Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan
Syariat Islam Bidang Aqidah, Ibadah dan Syiar
Islam (Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam Tahun 2003 Nomor 3 Seri E
Nomor 3, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 5);
19

Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI
NANGGROE ACEH DARUSSALAM
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM
TENTANG MINUMAN KHAMAR DAN SEJENISNYA

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Qanun ini yang dimaksud dengan :
1.
2.

3.

4.
5.
6.
7.

Daerah adalah Provinsi


Nanggroe Aceh Darussalam.
Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
adalah Gubemur beserta perangkat lainnya
sebagai badan eksekutif Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam.
Pemerintah Kabupaten/Kota adalah Bupati/Wali
kota beserta perangkat lain pemerintah Kabupaten/
Kota sebagai badan eksekutif Kabupaten/ Kota
dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Gubemur adalah Gubemur Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam.
Bupati/Walikota adalah Bupati/Walikota Kabupaten/
Kota dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Camat adalah kepala pemerintahan di kecamatan.
Imum Mukim/Kepala Mukim adalah pimpinan
dalam suatu kesatuan masyarakat hukum yang
terdiri atas gabungan beberapa gampong.

20

8. Keuchik adalah Kepala pemerintahan terendah


dalam suatu kesatuan masyarakat hukum di Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam yang berhak menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri.
9. Masyarakat adalah himpunan orang-orang yang berdomisili di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
10. Mahkamah adalah Mahkamah Syar'iyah Kabupaten/
Kota dan Mahkamah Syar'iyah Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam.
11. Wilayatul Hisbah adalah lembaga yang bertugas
membina, mengawasi dan melakukan advokasi
terhadap pelaksanaan amar makruf nahi
mungkar.
12. Polisi adalah Polisi Nanggroe Aceh Darussalam
yang diberi tugas dan wewenang khusus
menangani pelaksanaan penegakan Syari'at Islam.
13. Penyidik adalah Penyidik Umum dan/atau
Penyidik Pegawai Negeri Sipil.
14. Penyidik Pegawai Negeri Sipil adalah Pejabat
Pegawai Negeri Sipil yang diangkat oleh
Gubemur yang diberi tugas dan wewenang untuk
melakukan penyidikan pelanggaran Syari'at
Islam.
15. Jaksa adalah Jaksa Nanggroe Aceh Darussalam
yang diberi tugas dan wewenang menjalankan
tugas khusus di bidang Syari'at Islam;
16. Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi tugas
dan wewenang khusus untuk melaksanakan
penuntutan di bidang Syari'at dan melaksanakan
penetapan dan putusan hakim Mahkamah;
17. Pejabat yang berwenang adalah Kepala Polisi
Nanggroe Aceh Darussalam dan/atau pejabat lain
di lingkungannya yang ditunjuk berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
18. Jarimah adalah perbuatan yang diancam dengan
'uqubat qishash-diat, hudud, dan ta'zir.
19. 'Uqubat adalah ancaman 'uqubat terhadap
pelanggaran jarimah qishas-diat, hudud dan ta'zir.
21

20. Khamar dan sejenisnya adalah minuman yang


memabukkan,
apabila
dikonsumsi
dapat
menyebabkan terganggu kesehatan, kesadaran
dan daya pikir.
21. Memproduksi adalah serangkaian kegiatan atau
proses menghasilkan, menyiapkan, mengolah,
membuat, mengawetkan, mengemas, dan/atau
mengubah bentuk menjadi minuman khamar dan
sejenisnya.
22. Mengedarkan adalah setiap kegiatan atau
serangkaian kegiatan dalam rangka penyaluran
minuman khamar dan sejenisnya kepada perorangan
dan/atau masyarakat.
23. Mengangkut adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan membawa minuman khamar dan
sejenisnya dari suatu tempat ke tempat lain
dengan kenderaan atau tanpa menggunakan
kenderaan.
24. Memasukkan adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan membawa minuman khamar dan
sejenisnya dari daerah atau negara lain ke dalam
wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
25. Memperdagangkan adalah setiap kegiatan atau
serangkaian kegiatan dalam rangka penawaran,
penjualan atau memasarkan minuman khamar
dan sejenisnya.
26. Menyimpan adalah menempatkan khamar dan
sejenisnya di gudang, hotel, penginapan, losmen,
wisma, bar, restoran, warung kopi, rumah makan,
kedai, kios dan tempat-tempat lain.
27. Menimbun adalah mengumpulkan minuman khamar
dan sejenisnya di gudang, hotel, penginapan,
losmen, wisma, bar, restoran, warung kopi, rumah
makan, kedai, kios dan tempat-tempat lain.
28. Mengkonsumsi adalah memakan atau meminum
minuman khamar dan sejenisnya baik dilakukan
sendiri maupun dengan bantuan orang lain.

22

BAB II
RUANG LINGKUP DAN TUJUAN
Pasal 2
Ruang lingkup larangan minuman khamar dan
sejenisnya adalah segala bentuk kegiatan dan/atau
perbuatan yang berhubungan dengan segala
minuman yang memabukkan.
Pasal 3
Tujuan larangan minuman khamar dan sejenisnya ini
adalah :
a. Melindungi masyarakat dari berbagai bentuk
kegiatan dan/atau perbuatan yang merusak akal;
b. Mencegah terjadinya perbuatan atau kegiatan
yang timbul akibat minuman khamar dalam
masyarakat;
c. Meningkatkan peranserta masyarakat dalam
mencegah
dan memberantas terjadinya
perbuatan minuman khamar dan sejenisnya.
BAB III
LARANGAN DAN PENCEGAHAN
Pasal 4
Minuman Khamar dan yang sejenisnya hukumnya
haram
.
Pasal 5
Setiap orang dilarang mengkonsumsi minuman khamar
dan sejenisnya.
Pasal 6
23

(1) Setiap orang atau badan hukum/badan usaha dilarang


memproduksi menyediakan, menjual, memasukkan,
mengedarkan, mengangkut, menyimpan, menimbun,
memperdagangkan, menghadiahkan dan mempromosikan minuman khamar dan sejenisnya.
(2) Setiap orang atau badan hukum dilarang turut
serta/membantu memproduksi, menyediakan, menjual, memasukkan, mengedarkan, mengangkut,
menyimpan, menimbun, memperdagangkan dan
memproduksi minuman khamar dan sejenisnya.
Pasal 7
Larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
berlaku juga bagi badan hukum dan atau badan usaha
yang dimodali atau mempekerjakan tenaga asing.
Pasal 8
Instansi yang berwenang menerbitkan izin usaha
hotel, penginapan, losmen, wisma, bar, restoran,
warung kopi, rumah makan, kedai, kios, dan tempattempat lain dilarang melegalisasikan penyediaan
minuman khamar dan sejenisnya.
Pasal 9
Setiap orang atau kelompok/institusi masyarakat
berkewajiban mencegah perbuatan minuman khamar
dan sejenisnya.
BAB IV
PERANSERTA MASYARAKAT
(1)
(2)

Pasal 10
Masyarakat berperanserta dalam upaya pemberantasan minuman khamar dan sejenisnya.
Masyarakat wajib melapor kepada pejabat
yang berwenang baik secara lisan maupun
tertulis apabila mengetahui adanya pelanggaran

24

terhadap larangan
sejenisnya.

minuman

khamar

dan

Pasal 11
Wujud peranserta masyarakat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 adalah melapor kepada pejabat yang
berwenang terdekat, apabila mengetahui adanya
perbuatan yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 sampai Pasal 7.
Pasal 12
Dalam hal pelaku pelanggaran tertangkap tangan
oleh warga masyarakat, maka pelaku beserta barang
bukti segera diserahkan kepada pejabat yang
berwenang.
Pasal 13
Pejabat yang berwenang wajib memberikan
perlindungan dan jaminan keamanan kepada pelapor
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan/atau
orang yang menyerahkan pelaku sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12.
Pasal 14
Pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 apabila lalai dan/atau tidak
memberikan perlindungan dan jaminan keamanan
dapat dituntut oleh pihak pelapor dan/atau pihak
yang menyerahkan tersangka.
Pasal 15
Tata cara penuntutan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 14 dilakukan sesuai peraturan perundangundangan yang berlaku dan diajukan ke Mahkamah.
BAB V
PENGAWASAN DAN PEMBINAAN
25

Pasal 16
(1) Gubemur, Bupati/Walikota, Camat, Imum
Mukim dan Keuchik berkewajiban melakukan
pengawasan dan pembinaan terhadap penerapan
larangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5.
sampai Pasal 8.
(2) Untuk melakukan pengawasan dan pembinaan
terhadap pelaksanaan qanun ini, Gubemur,
Bupati/Walikota membentuk Wilayatul Hisbah.
(3) Susunan dan kedudukan Wilayatul Hisbah diatur
lebih lanjut dengan Surat Keputusan Gubemur
setelah mendengar pendapat Majelis Permusyawaratan
Ulama setempat.
Pasal 17
(1) Dalam melaksanakan fungsi pengawasannya,
Pejabat
Wilayatul
Hisbah
sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) Pasal 16 yang
mengetahui pelaku pelanggaran terhadap
larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
sampai Pasal 8, menyampaikan laporan secara
tertulis kepada penyidik.
(2) Dalam melaksanakan fungsi pembinaannya,
Pejabat Wilayatul Hisbah dapat memberi
peringatan dan pembinaan terlebih dahulu
kepada
pelaku
sebelum
menyerahkan
laporannya kepada penyidik.
(3) Pejabat Wilayatul Hisbah wajib menyampaikan
laporan kepada penyidik tentang telah
dilakukan peringatan dan pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
Pasal 18
Wilayatul Hisbah dapat mengajukan gugatan
praperadilan kepada Mahkamah apabila laporannya
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Pasal 17 tidak
ditindaklanjuti oleh penyidik tanpa suatu alasan yang
26

sah setelah jangka waktu 2 (dua) bulan sejak laporan


diterima penyidik.

BAB VI
PENYIDIKAN DAN PENUNTUTAN
Pasal 19
Penyidikan dan penuntutan terhadap pelanggaran
larangan khamar dan sejenisnya dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku
sepanjang tidak diatur dalam Qanun ini.
Pasal 20
Penyidik adalah :
a. pejabat Polisi Nanggroe Aceh Darussalam;
b. pejabat Pegawai Negeri Sipil yang diberi
wewenang khusus untuk melakukan penyidikan
bidang Syari'at Islam;
Pasal 21
(1) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam hurufa
Pasal 20 mempunyai wewenang:
a.
menerima laporan atau pengaduan dari
seseorang tentang adanya jarimah khamar;
b.
melakukan tindakan pertama pada saat
itu di tempat kejadian;
c.
menyumh berhenti tersangka dan
memeriksa tanda pengenal dirinya;
d.
melakukan penangkapan, penahanan,
penggeledahan dan penyitaan;
e.
melakukan pemeriksaan dan penyitaan
surat;
f.
mengambil sidikjari dan memotret
seseorang;
g.
memanggil seseorang untuk didengar
dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
27

h.
i.

j.

mendatangkan orang ahli yang


diperlukan dalam hubungannya dengan
pemeriksaan perkara;
menghentikan penyidikan setelah mendapat petunjuk bahwa tidak terdapat cukup
bukti atau peristiwa tersebut bukan
merupakan jarimah khamar dan memberitahukan hal tersebut kepada penuntut
umum, tersangka atau keluarganya dan
Wilayatul Hisbah;
mengadakan tindakan lain menumt
aturan hukum yang berlaku.

(2)

Penyidik sebagaimana dimaksud dalam huruf


b Pasal 20 mempunyai wewenang sesuai
dengan ketentuan yang berlaku dan berada di
bawah koordinasi penyidik umum.
(3) Dalam melakukan tugasnya sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), penyidik
wajib menjunjung tinggi hukum yang berlaku.
Pasal 22
Untuk kepentingan penyidikan, Balai Pemeriksaan
Obat dan Makanan (POM) wajib melakukan
pemeriksaan dan pengujian kimiawi terhadap
minuman atau makanan yang diduga mengandung
alkohol atau ethanol atau sejenisnya, yang beredar di
kalangan masyarakat atau yang ditemukan oleh
penyidik, dalam rangka memperlancar proses
penyidikan.
Pasal 23
Setiap penyidik yang mengetahui dan/atau menerima
laporan telah terjadi pelanggaran terhadap larangan
khamar dan sejenisnya wajib segera melakukan
penyidikan.
Pasal 24
28

Penuntut umum menuntut perkara jarimah khamar


dan sejenisnya yang terjadi dalam daerah hukumnya
menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Pasal 25
Penuntut umum mempunyai wewenang :
a. menerima dan memeriksa berkas perkara

penyidikan dari penyidik;


b. mengadakan prapenuntutan apabila ada
kekurangan pada penyidikan dan memberi
petunjuk dalam rangka penyempumaan
penyidikan dari penyidik;
c. memberi perpanjangan penahanan, melakukan
penahanan atau mengubah status tahanan
setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik;
d. membuat surat dakwaan;
e. melimpahkan perkara ke Mahkamah;
f. menyampaikan
pemberitahuan
kepada
terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu
perkara disidangkan yang disertai surat
panggilan, baik kepada terdakwa maupun
kepada saksi, untuk datang pada sidang yang
telah ditentukan;
g. melakukan penuntutan;
h. mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas
dan tanggung jawab sebagai penuntut umum
menurut hukum yang berlaku;
i. melaksanakan putusan dan penetapan hakim.
BAB VII
KETENTUAN 'UQUBAT
(1)

Pasal 26
Setiap orang yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 5,
29

(2)

(3)
(4)

diancam dengan 'uqubat hudud 40 (empat


puluh) kali cambuk.
Setiap orang yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 sampai
Pasal 8 diancam dengan 'uqubat ta'zir berupa
kurungan paling lama 1 (satu) tahun, paling
singkat 3 (tiga) bulan dan/atau denda paling
banyak Rp 75.000.000,- (tujuh puluh lima juta
rupiah), paling sedikit Rp 25.000.000,- (dua
puluh lima juta rupiah).
Pelanggaran terhadap larangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 adalahjarimah hudud.
Pelanggaran terhadap larangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 sampai Pasal 8
adalah jarimah ta'zir.

Pasal 27
Denda sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) Pasal
26 merupakan penerimaan Daerah dan disektor
langsung ke Kas Baital Mal.
Pasal 28
Terhadap barang-barang/benda-benda yang digunakan
dan/atau diperoleh dari jarimah minuman khamar
dirampas untuk Daerah atau dimusnahkan.
Pasal 29
Pengulangan pelanggaran terhadap ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, 'uqubatnya
dapat ditambah 1/3 (sepertiga) dari 'uqubat
maksimal.
Pasal 30
Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 sampai Pasal 8 :
a. apabila dilakukan oleh badan hukum/badan
usaha, maka 'uqubatnya dijatuhkan kepada
penanggung jawab;
30

b. apabila ada hubungan dengan kegiatan


usahanya, maka selain 'uqubat sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) Pasal 26, dapat juga
dikenakan 'uqubat administratif dengan
mencabut atau membatalkan izin usaha yang
telah diberikan.
BAB VIII
PELAKSANAAN 'UQUBAT
Pasal 31
(1) 'Uqubat cambuk dilakukan oleh seorang
petugas yang ditunjuk oleh Jaksa Penuntut
Umum.
(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), Jaksa Penuntut
Umum harus berpedoman pada ketentuan
yang diatur dalam Qanun ini dan/atau
ketentuan yang akan diatur dalam Qanun,
tentang hukum formil.
Pasal 32
(1) Pelaksanaan 'uqubat dilakukan segera setelah
putusan hakim mempunyai kekuatan hukum
tetap.
(2) Penundaan pelaksanaan 'uqubat hanya dapat
dilakukan berdasarkan penetapan dari Kepala
Kejaksaan apabila terdapat hal-hal yang membahayakan terhukum setelah mendapat
keterang-an dokter yang berwenang.
Pasal 33
(1) 'Uqubat cambuk dilakukan di tempat yang
dapat disaksikan orang banyak dengan dihadiri

31

Jaksa Penuntut Umum dan dokter yang


ditunjuk;

(2) Pencambukan dilakukan dengan rotan yang


berdiameter 0,75 s/d l(satu) senti meter,
panjang 1 (satu) meter dan tidak mempunyai
ujung ganda/belah.
(3) Pencambukan dilakukan pada bagian tubuh
kecuali kepala, muka, leher, dada dan
kemaluan.
(4) Kadar pukulan atau cambukan tidak sampai
melukai.
(5) Terhukum laki-laki dicambuk dalam posisi
berdiri tanpa penyangga, tanpa diikat, dan
memakai baju tipis yang menutup aurat.
Sedang-kan perempuan dalam posisi duduk
dan ditutup kain di atasnya.
(6) Pencambukan terhadap perempuan hamil
dilakukan setelah 60 (enam puluh) hari yang
bersangkutan melahirkan.
Pasal 34
Apabila selama pencambukan timbul hal-hal yang
membahayakan terhukum berdasarkan pendapat
dokter yang ditunjuk, maka sisa cambukan ditunda
sampai dengan waktu yang memungkinkan.
Pasal 35
Pelaksanaan 'uqubat kurungan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) Pasal 26 dilakukan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

32

BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 36
Dengan berlakunya qanun ini, maka Peraturan
Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor 4
Tahun 1999 tentang Larangan Minuman Beralkohol
di Propinsi Daerah Istimewa Aceh dan Nomor 4
Tahun 2000 tentang Perubahan Pertama atas
Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 1999 dinyatakan
tidak berlaku lagi.
Pasal 37
Sebelum adanya hukum acara yang diatur dalam
qanun tersendiri, maka hukum acara yang diatur
dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana, dan peraturan perundang-undangan lainnya
tetap berlaku sepanjang tidak diatur di dalam qanun
ini.

BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 38
Hal-hal yang menyangkut dengan teknis
pelaksanaan diatur lebih lanjut dengan Keputusan
Gubemur.
Pasal 39
Qanun ini, mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

33

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan


pengundangan Qanun ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam.

LEMBARAN DAERAH PROVINSI NANGGROE


DARUSSALAM TAHUN 2003 NOMOR 25
SERID NOMOR 12

34

ACEH

PENJELASAN
ATAS
QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM
NOMOR 12 TAHUN 2003
TENTANG
MINUMAN KHAMAR DAN SEJENISNYA
I. UMUM
Islam sebagai agama yang membawa rahmat bagi seluruh
alam telah menjadi pedoman dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Hal ini sesuai dengan makna dan roh dari konstitusi negara pasal
29 Undang-undang Dasar 1945 yang diimplimentasikan dengan
Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh serta Undangundang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi
Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam.
Bahwa khamar adalah salah satu perbuatan yang dilarang
dan diharamkan Syari'at Islam karena minuman khamar dapat
merusak akal dan kesehatan manusia, mengganggu kemaslahatan
serta ketertiban umum.
Untuk efektivitas pelaksanaan qanun ini di samping
adanya lembaga penyidikan dan penuntutan, juga dilakukan
pengawasan yang meliputi upaya pembinaan sipelaku jarimah
minuman khamar oleh Pejabat Wilayatul Hisbah. Disamping itu
juga kepada masyarakat diberikan peranan untuk mencegah
terjadinya jarimah minuman khamar dalam rangka memenuhi
kewajiban sebagai seorang muslim untuk melakukan amar
ma'rufnahi mungkar. Peranserta masyarakat tersebut tidak dalam
bentuk main hakim sendiri.
Bentuk ancaman 'uqubat cambuk bagi sipelaku jarimah
minuman khamar, dimaksudkan sebagai upaya memberi kesadaran
35

bagi si pelaku dan sekaligus menjadi peringatan bagi calon


pelanggar lainnya untuk tidak melakukan jarimah. Di samping itu
'uqubat cambuk akan lebih efektif karena memberi rasa malu dan
tidak menimbulkan resiko bagi keluarga. Jenis 'uqubat cambuk
juga berdampak pada biaya yang hams ditanggung pemerintah
menjadi lebih murah dibandingkan dengan jenis 'uqubat lainnya
seperti yang dikenal dalam KUHP sekarang ini.
Oleh karena materi yang diatur dalam qanun ini termasuk
kompetensi Mahkamah Syar'iyah dan sementara ini qanun yang
sesuai dengan kebutuhan Syariat Islam belum terbentuk, maka
untuk menghindari kevakuman hukum, qanun ini juga mengatur
tentang penyidikan, penuntutan dan pelaksanaan 'uqubat.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Angka 1 sd. 19
Cukup jelas.
Pasal 1
Angka 20
Yang dimaksud dengan sejenisnya adalah minuman
yang mempunyai sifat atau kebiasaan memabukkan
atas dasar kesamaan illat (sebab) yaitu
memabukkan seperti bir, brendi, wiski, tuak dan
sebagainya.
Pasal 1 Angka 21 dan seterusnya
Cukup jelas
Pasal 2
Cukup jelas
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4

36

Baik minuman khamar itu terpisah atau bercampur


dengan benda lain.
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Cukup jelas
Pasal 8
Cukup jelas
Pasal 9
Cukup jelas
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12
Cukup jelas
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14
Yang dimaksud dengan penuntutan dalam pasal ini
misalnya si korban menggugat perdata pejabat tersebut
ke Mahkamah untuk mendapat ganti rugi.

Pasal 15
Cukup jelas

37

Pasal 16
Ayat (l)
Cukup jelas
Ayat (2)
Wilayatul Hisbah merupakan institusi di bawah
Pemerintah Daerah, berwenang mengawasi
pelaksanaan amar ma'ruf nahi mungkar termasuk
yang diatur dalam Qanun ini.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 17
Ayat (l)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan peringatan adalah tegoran
kepada tersangka untuk tidak meneruskan atau
mengulangi
perbuatan
jarimah
dengan
memberitahu-kan ancaman 'uqubat yang dapat
dikenakan karena melanggar larangan tersebut.
Pasal 18
Cukup jelas
Pasal 19
Cukup jelas
Pasal 20
Cukup jelas
Pasal 21

38

Ayat (1) Hurufa. sd. Huruf c.


Cukup jelas
Ayat (1)Huruf d.
Penahanan hanya dibenarkan untuk keperluan
penyidikan, penuntutan dan persidangan dan tidak
mempengaruhi kadar penjatuhan 'uqubat.
Ayat (1) Huruf e. sd. huruf i.
Cukup jelas
Ayat (1) Huruf j.
Yang dimaksud dengan hukum yang berlaku
adalah ketentuan peraturan perundang-undangan
dan Syari'at Islam, misalnya terhadap tersangka
perempuan hams dilakukan penyidikan oleh
penyidik
perempuan
sejauh
hal
itu

memungkinkan.
Ayat (2)
Cukupjelas
Ayat (3)
Cukupjelas
Pasal 22
Cukupjelas
Pasal 23
Cukupjelas
Pasal 24
Cukupjelas
Pasal 25
Cukupjelas
Pasal 26

39

Ayat (1)
Yang dimaksud dengan setiap orang adalah
Pemeluk agama Islam yang mukallaf di Nanggroe
Aceh Darussalam.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan setiap orang adalah orang
yang ada di Nanggroe Aceh Darussalam.
Ayat (3)
Jarimah hudud adalah tindak pidana yang kadar
dan jenis 'uqubatnya terikat pada ketentuan AlQuran dan Al-Hadits.
Ayat (4)
Jarimah ta'zir adalah tindak pidana yang tidak
termasuk qishash-diat dan hudud yang kadar dan
jenis 'uqubatnya diserahkan kepada pertimbangan
hakim.
Pasal 27
Selama Baital Mal belum terbentuk, penerimaan disetor ke
Kas Daerah
Pasal 28
Cukupjelas
Pasal 29
Cukupjelas
Pasal 30 Huruf a.
Cukupjelas
Pasal 30 Huruf b.

40

Atas dasar putusan hakim yang sudah berkekuatan


hukum tetap, pemerintah daerah atau pejabat yang
berwenang memberi izin usaha, mencabut atau
membatalkan izin usaha yang telah diberikan.
Pasal 31
Cukup jelas
Pasal 32
Cukup jelas
Pasal 33
Cukup jelas
Pasal 34
Cukup jelas
Pasal 35
Cukup jelas
Pasal 36
Cukup jelas
Pasal 37
Cukup jelas
Pasal 38
Cukup jelas
Pasal 39
Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH PROVINSI NANGGROE


ACEH DARUSSALAM NOMOR 28

41

QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM


NOMOR 13 TAHUN2003
TENTANG
MAISIR (PERJUDIAN)
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM
DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA
GUBERNUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM,
Menimbang: a. bahwa Keistimewaan dan Otonomi Khusus yang
diberikan untuk Daerah Istimewa Aceh sebagai
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam berdasarkan
Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 dan
Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001, antara
lain di bidang penyelenggaraan kehidupan
beragama, kehidupan adat, pendidikan dan peran
Ulama dalam penetapan kebijakan daerah;
b.
bahwa Maisir termasuk salah satu perbuatan
mungkar yang dilarang dalam Syari'at Islam dan
agama lain serta bertentangan pula dengan adat
istiadat yang berlaku dalam masyarakat Aceh
karena perbuatan tersebut dapat menjerumuskan
seseorang kepada perbuatan maksiat lainnya;
c.
bahwa
berdasarkan
pertimbangan
sebagaimana dimaksud huruf a dan b perlu
membentuk Qanun tentang Maisir;
Mengingat : 1.
2.
3.
4.

Al-Qur'an;

Al-Hadits;
Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945;
Undang-undang Nomor 24 Tahun 1956
tentang Pembentukan Daerah Otonom Propinsi
42

5.

6.

7.

8.

9.

10.

11.

12.

Aceh dan Perubahan Peraturan Pembentukan


Propinsi Sumatera Utara (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1956 Nomor 64,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 1103);
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang
Penertiban Perjudian (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1974 Nomor 54, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3040);
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3209 );
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah
Istimewa Aceh (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 172, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3893);
Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa
Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2001 Nomor 114, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4134);
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983
tentang Pelaksanaan KUHAP (Lembaran Negara
Tahun 1983 Nomor 36, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3258);
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1981
tentang Pelaksanaan Penertiban Perjudian
(Lembaran Negara Tahun 1981 Nomor 10,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3192);
Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1988
tentang Koordinasi Kegiatan Instansi Vertikal di
43

13.

14.

15.

16.

17.

18.

Daerah (Lembaran Negara Tahun 1988 Nomor


10, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3373);
Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000
tentang
Kewenangan
Pemerintah
dan
Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom
(Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 54,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3953);
Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 1999
tentang Teknik Penyusunan Peraturan Perundangundangan dan Bentuk Rancangan Undangundang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan
Rancangan Keputusan Presiden (Lembaran
Negara Tahun 1999 Nomor 70);
Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 23
Tahun 1986 tentang Ketentuan Umum Mengenai
Penyidik Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan
Pemerintah Daerah;
Peraturan Daerah (Qanun) Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam Nomor 5 Tahun 2000 tentang
Pelaksanaan Syari'at Islam (Lembaran Daerah
Propinsi Daerah Istimewa Aceh Tahun 2000
Nomor 30);
Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
Nomor 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syari'at
Islam (Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam Tahun 2003 Nomor 2 Seri E
Nomor 2, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 4);
Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan
Syariat Islam bidang Aqidah, Ibadah dan Syiar
Islam (Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam Tahun 2003 Nomor 3 Seri E
Nomor 3, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 5);

44

Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI
NANGGROE ACEH DARUSSALAM
MEMUTUSKAN:
Menetapkan QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM
TENTANG MAISIR (PERJUDIAN).
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Qanun ini yang dimaksud dengan :
1.

Daerah adalah Provinsi Nanggroe Aceh


Darussalam.
2. Pemerintah Daerah Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam adalah Gubemur beserta perangkat
lain Pemerintah Daerah Istimewa Aceh sebagai
badan eksekutif Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam.
3. Pemerintah Kabupaten/Kota adalah Bupati/ Walikota beserta perangkat lain pemerintah Kabupaten/
Kota sebagai badan eksekutif Kabupaten/Kota
dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
4. Gubemur adalah Gubemur Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam.
5. Bupati/Walikota adalah Bupati/Walikota dalam
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
6. Camat adalah kepala pemerintahan di kecamatan.
7. Imeum Mukim/Kepala Mukim adalah pimpinan
dalam suatu kesatuan masyarakat hukum yang
terdiri atas gabungan beberapa gampong.
8. Guechik adalah Kepala pemerintahan terendah
dalam suatu kesatuan masyarakat hukum di
45

Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang berhak


menyelenggarakan urusan rumah tangganya
sendiri.
9. Masyarakat adalah himpunan orang-orang yang berdomisili di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
10. Mahkamah adalah Mahkamah Syar'iyah Kabupaten/
Kota dan Mahkamah Syar'iyah Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam.
11. Wilayatul Hisbah adalah lembaga yang bertugas
membina, mengawasi dan melakukan advokasi
terhadap pelaksanaan amar makrufnahi mungkar.
12. Polisi adalah Polisi Nanggroe Aceh Darussalam
yang diberi tugas dan wewenang khusus
menangani pelaksanaan penegakan Syari'at Islam.
13. Penyidik adalah Penyidik Umum dan/atau
Penyidik Pegawai Negeri Sipil.
14. Penyidik Pegawai Negeri Sipil adalah Pejabat
Pegawai Negeri Sipil yang diangkat oleh
Gubemur yang diberi tugas dan wewenang untuk
melakukan penyidikan pelanggaran Syari'at
Islam.
15. Jaksa adalah Jaksa Nanggroe Aceh Darussalam
yang diberi tugas dan wewenang menjalankan
tugas khusus di bidang Syari'at Islam.
16. Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi tugas
dan wewenang khusus untuk melaksanakan
penuntutan di bidang Syari'at dan melaksanakan
penetapan dan putusan hakim Mahkamah.
17. Pejabat yang berwenang adalah Kepala Polisi
Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
dan/ atau pejabat lain di lingkungannya yang
ditunjuk berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku.
18. Jarimah adalah perbuatan terlarang yang
diancam dengan qishash-diat, hudud, dan ta'zir.
19. 'Uqubat adalah ancaman hukuman terhadap
pelanggaran j arimah.

46

20. Maisir (perjudian) adalah kegiatan dan/atau perbuatan yang bersifat taruhan antara dua pihak
atau lebih dimana pihak yang menang
mendapatkan bayaran.
BAB II
RUANG LINGKUP DAN TUJUAN
Pasal 2
Ruang lingkup larangan maisir dalam Qanun ini
adalah segala bentuk kegiatan dan/atau perbuatan
serta keadaan yang mengarah kepada taruhan dan
dapat berakibat kepada kemudharatan bagi pihakpihak yang bertaruh dan orang-orang/lembaga yang
ikut terlibat dalam taruhan tersebut.
Pasal 3
Tujuan larangan maisir (perjudian) adalah untuk :
a. Memelihara dan melindungi harta benda/
kekayaan;
b. Mencegah anggota mayarakat melakukan perbuatan yang mengarah kepada maisir;
c. Melindungi masyarakat dari pengaruh buruk
yang timbul akibat kegiatan dan/atau perbuatan
maisir;
d. Meningkatkan peran serta masyarakat dalam
upaya pencegahan dan pemberantasan perbuatan
maisir.
BAB III
LARANGAN DAN PENCEGAHAN
Pasal 4
Maisir hukumnya haram.
Pasal 5
Setiap orang dilarang melakukan perbuatan maisir.
47

Pasal 6
(1) Setiap orang atau badan hukum atau badan
usaha dilarang menyelenggarakan dan/atau
memberikan fasilitas kepada orang yang akan
melakukan perbuatan maisir.
(2) Setiap orang atau badan hukum atau badan
usaha dilarang menjadi pelindung terhadap
perbuatan maisir.
Pasal 7
Instansi Pemerintah, dilarang memberi izin usaha
penyelenggaraan maisir.
Pasal 8
Setiap orang atau kelompok atau institusi masyarakat
berkewajiban mencegah terjadinya perbuatan maisir.
BAB IV
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 9
(1) Setiap anggota masyarakat berperan serta dalam
membantu upaya pencegahan dan pemberantasan maisir.
(2) Setiap anggota masyarakat diharuskan melapor
kepada pejabat yang berwenang baik secara lisan
maupun tulisan apabila mengetahui adanya
perbuatan maisir.
Pasal 10
Dalam hal pelaku pelanggaran sebagaimana
dimaksud dalam pasal 5, 6, dan 7 tertangkap tangan
oleh warga masyarakat, maka pelaku beserta barang
bukti segera diserahkan kepada pejabat yang
berwenang.

48

Pasal 11
Pejabat yang berwenang wajib memberikan
perlindungan dan jaminan keamanan bagi pelapor
sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 dan/atau orang
yang menyerahkan pelaku sebagaimana dimaksud
dalam pasal 10.
Pasal 12
Pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud
dalam pasal 11 apabila lalai dan/atau tidak
memberikan perlindungan dan jaminan keamanan
kepada pelapor dapat dituntut oleh pihak pelapor
dan/atau pihak yang menyerahkan tersangka.
Pasal 13
Tata cara penuntutan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 12 dilakukan sesuai peraturan perundangundangan yang berlaku dan diajukan ke Mahkamah.
BAB V
PENGAWASAN DAN PEMBINAAN
(1)

(2)
(3)

Pasal 14
Gubemur, Bupati/Walikota, Camat, Imum
Mukim dan Keuchik berkewajiban melakukan
pengawasan
dan
pembinaan
terhadap
penerapan larangan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 5, 6, dan 7.
Untuk melakukan pengawasan dan pembinaan
terhadap pelaksanaan Qanun ini, Gubemur, dan
Bupati/Walikota membentuk Wilayatul Hisbah.
Susunan dan Kedudukan Wilayatul Hisbah
diatur lebih lanjut dengan Keputusan Gubemur
setelah mendengar pendapat Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU).
Pasal 15
49

(1)

(2)

Dalam
melaksanakan
fungsi
pengawasannya, pejabat Wilayatul Hisbah
sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 ayat (2)
yang
menemukan
pelaku
pelanggaran
sebagaimana dimaksud dalam pasal 5, 6, dan
7, menyerahkan persoalan itu kepada Penyidik.
Dalam melaksanakan fungsi pembinaannya,
Pejabat Wilayatul Hisbah yang menemukan
pelaku jarimah maisir dapat memberi
peringatan dan pembinaan terlebih dahulu
kepada pelaku sebelum menyerahkannya
kepada penyidik.

Pasal 16
Wilayatul Hisbah dapat mengajukan gugatan praperadilan kepada Mahkamah apabila laporannya
sebagaimana dimaksud dalam pasal 15 ayat (1)
tidak ditindaklanjuti oleh penyidik tanpa suatu
alasan yang sah setelah jangka waktu 2 (dua) bulan
sejak laporan diterima penyidik.
BAB VI
PENYIDIKAN DAN PENUNTUTAN
Pasal 17
Penyidikan dan penuntutan terhadap pelanggaran
larangan maisir dilakukan berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku sepanjang tidak
diatur dalam Qanun ini.
Pasal 18
Penyidik adalah:
a. Pejabat Polisi Nanggroe Aceh Darussalam;
b. Pejabat Pegawai Negeri Sipil yang diberi
wewenang khusus untuk melakukan penyidikan
bidang Syari'at Islam;

50

Pasal 19
(1) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam pasal
18 huruf a mempunyai wewenang:
a. menerima laporan atau pengaduan dari
seseorang tentang adanya jarimah Maisir;
b. melakukan tindakan pertama pada saat itu
di tempat kejadian;
c. menyuruh berhenti seseorang tersangka
dan memeriksa tanda pengenal diri
tersangka;
d. melakukan penangkapan, penahanan,
penggeledahan dan penyitaan;
e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan
surat;
f. mengambil sidik jari dan memotret
seseorang;
g. memanggil orang untuk didengar dan
diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
h. mendatangkan saksi ahli yang diperlukan
dalam hubungannya dengan pemeriksaan
perkara;
i. menghentikan penyidikan setelah mendapat petunjuk bahwa tidak terdapat
cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan
merupakan jarimah dan memberitahukan
hal tersebut kepada penuntut umum,
tersangka atau keluarganya dan Wilayatul
Hisbah;
j. mengadakan tindakan lain menumt aturan
hukum yang berlaku.
(2) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam pasal
18 huruf b mempunyai wewenang sesuai
dengan ketentuan yang berlaku dan berada di
bawah koordinasi penyidik umum.
Pasal 20
Setiap penyidik yang mengetahui dan/atau
menerima laporan telah terjadi pelanggaran
51

terhadap larangan maisir wajib segera melakukan


penyidikan sesuai peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Pasal 21
Penuntut umum menuntut perkara jarimah maisir
yang terjadi dalam daerah hukumnya menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
Pasal 22
Penuntut umum mempunyai wewenang :
a. menerima dan memeriksa berkas perkara
penyidikan dari penyidik;
b. mengadakan pra-penuntutan apabila ada
kekurangan pada penyidikan dan memberi
petunjuk dalam rangka penyempumaan
penyidikan dari penyidik;
c. memberi perpanjangan penahanan, melakukan
penahanan atau mengubah status tahanan
setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik;
d. membuat surat dakwaan;
e. melimpahkan perkara ke Mahkamah;
f. menyampaikan
pemberitahuan
kepada
terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu
perkara disidangkan yang disertai surat
panggilan, baik kepada terdakwa maupun
kepada saksi, untuk datang pada sidang yang
telah ditentukan;
g. melakukan penuntutan;
h. mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas
dan tanggung jawab sebagai penuntut umum
menumt hukum yang berlaku;
i. melaksanakan putusan dan penetapan hakim.
BAB VII
KETENTUAN 'UQUBAT
Pasal 23
52

(1)

Setiap orang yang melanggar ketentuan


sebagaimana dimaksud dalam pasal 5,
diancam dengan 'uqubat cambuk didepan
umum paling banyak 12 (dua belas) kali dan
paling sedikit 6 (enam) kali.
(2)
Setiap orang atau badan hukum atau
badan usaha Non Instansi Pemerintah yang
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 6, dan 7 diancam dengan 'uqubat
atau denda paling banyak Rp. 35.000.000,(tiga puluh lima juta rupiah), paling sedikit Rp
15.000.000,- (lima belas juta rupiah).
(3)
Pelanggaran
terhadap
larangan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 5, 6 dan 7
adalah jarimah ta'zir.
Pasal 24
Denda sebagaimana dimaksud dalam pasal 23 ayat
(2) merupakan penerimaan Daerah dan disetor
langsung ke Kas Baital Mal.
Pasal 25
Barang-barang/benda-benda
yang
digunakan
dan/atau diperoleh dari jarimah maisir dirampas
untuk Daerah atau dimusnahkan.
Pasal 26
Pengulangan pelanggaran sebagaimana dimaksud
dalam pasal 5, 6 dan 7 'uqubatnya dapat ditambah
1/3 (sepertiga) dari 'uqubat maksimal.
Pasal 27
Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 6 :
a. apabila dilakukan oleh badan hukum/badan
usaha, maka ' uqubatnya dijatuhkan kepada
penanggungjawab;
b. apabila ada hubungan dengan kegiatan usahanya,
maka selain sanksi 'uqubat sebagaimana di53

maksud dalam pasal 23 ayat (2), dapat juga


dikena-kan 'uqubat administratif dengan mencabut
atau membatalkan izin usaha yang telah
diberikan;
BAB VIII
PELAKSANAAN 'UQUBAT
Pasal 28
(1) 'Uqubat cambuk dilakukan oleh seorang petugas
yang ditunjuk oleh Jaksa Penuntut Umum.
(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), Jaksa Penuntut Umum
hams berpedoman pada ketentuan yang diatur
dalam Qanun ini dan/atau ketentuan yang akan
diatur dalam Qanun tentang hukum formil.
(1)
(2)

Pasal 29
Pelaksanaan 'uqubat dilakukan segera setelah
putusan hakim mempunyai kekuatan hukum
tetap.
Penundaan pelaksanaan 'uqubat hanya dapat
dilakukan berdasarkan penetapan dari Kepala
Kejaksaan Negeri apabila terdapat hal-hal
yang membahayakan terhukum setelah
mendapat keterangan dokter yang berwenang.

Pasal 30
(1) 'Uqubat cambuk dilakukan di suatu tempat
yang dapat disaksikan orang banyak dengan
dihadiri Jaksa Penuntut Umum dan dokter
yang ditunjuk.
(2) Pencambukan dilakukan dengan rotan yang
berdiameter antara 0.75 cm sampai 1 (satu)
senti meter, panjang 1 (satu) meter dan tidak
mempunyai ujung ganda/dibelah.
(3) Pencambukan dilakukan pada bagian tubuh
kecuali kepala, muka, leher, dada dan kemaluan.
54

(4) Kadar pukulan atau cambukan tidak sampai


melukai.
(5) Terhukum laki-laki dicambuk dalam posisi
berdiri tanpa penyangga, tanpa diikat, dan
memakai baju tipis yang menutup aurat.
Sedangkan terhukum perempuan dalam posisi
duduk dan ditutup kain di atasnya.
(6) Pencambukan terhadap perempuan hamil
dilakukan setelah 60 (enam puluh) hari yang
bersangkutan melahirkan.
Pasal 31
Apabila selama pencambukan timbul hal-hal yang
membahayakan terhukum berdasarkan pendapat
dokter yang ditunjuk, maka sisa cambukan ditunda
sampai dengan waktu yang memungkinkan.
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 32
Sebelum adanya hukum acara yang diatur dalam
Qanun tersendiri, maka Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana (Undang-undang Nomor 8
Tahun 1981), dan peraturan perundang-undangan
lainnya tetap berlaku sepanjang tidak diatur di
dalam Qanun ini.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 33
Hal-hal yang menyangkut dengan teknis pelaksanaan
diatur lebih lanjut dengan Keputusan Gubemur.
Pasal 34
Qanun ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar semua orang dapat mengetahuinya,
memerintahkan pengundangan Qanun ini dengan
55

penempatannya dalam Lembaran Daerah Provinsi


Nanggroe Aceh Darussalam.

LEMBARAN DAERAH PROVINSI NANGGROE


DARUSSALAM TAHUN 2003 NOMOR 26 SERI D
NOMOR 13

56

ACEH

PENJELASAN
ATAS
QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSSALAM
NOMOR 13 TAHUN 2003
TENTANG
MAISIR (PERJUDIAN)
I.

UMUM
Sepanjang sejarah, masyarakat Aceh telah menjadikan agama Islam sebagai pedoman dalam kehidupannya.
Melalui penghayatan dan pengamalan ajaran Islam dalam
rentang sejarah yang cukup panjang (sejak abad ke VII M)
telah melahirkan suasana masyarakat dan budaya Aceh yang
Islami. Budaya dan adat Aceh yang lahir dari renungan para
ulama, kemudian dipraktekkan, dikembangkan dan
dilestarikannya. Dalam ungkapan bijak disebutkan "Adat bak
Poteu Meureuhom, Hukom bak Syiah Kuala, Qanun bak
Putro Phang Reusam bak Lakseumana". Ungkapan tersebut
merupakan pencerminan bahwa Syari'at Islam telah menyatu
dan menjadi pedoman hidup bagi masyarakat Aceh melalui
peranan ulama sebagai pewaris para Nabi.
Bahwa pemberlakukan Syari'at Islam di Aceh yang
dikenal sebagai Serambi Mekah terakomodasi dalam
Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh yang
dipertegas dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001
tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Daerah Istimewa
Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Di
samping itu pada tingkat Daerah pelaksanaan Syari'at Islam
telah dirumuskan secara yuridis melalui Peraturan Daerah
(Qanun) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 5
Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syari'at Islam.

57

Secara umum Syari'at Islam di bidang hukum


memuat norma hukum yang mengatur kehidupan
bermasyarakat/bernegara dan norma hukum yang mengatur
moral atau kepentingan individu yang hams ditaati oleh
setiap orang. Ketaatan terhadap norma hukum yang
mengatur moral sangat tergantung pada kualitas iman dan
taqwa atau hati nurani seseorang, juga disertai adanya sanksi
duniawi dan ukhrawi terhadap orang yang melanggamya.
Dalam sistem hukum Islam terdapat dua jenis sanksi;
yaitu sanksi yang bersifat defmitif dari Allah dan Rasul-Nya
dan sanksi yang ditetapkan manusia melalui kekuasaan
eksekutif, legislatif dan yudikatif. Kedua jenis sanksi
tersebut mendorong masyarakat untuk patuh pada ketentuan
hukum.
Dalam banyak hal penegakan hukum menuntut
peranan negara. Hukum tidak berjalan bila tidak ditegakkan
oleh negara. Di sisi lain suatu negara akan tidak tertib bila
hukum tidak ditegakkan.
Maisir (Perjudian) adalah kegiatan dan/atau perbuatan
dalam bentuk permainan yang bersifat taruhan antara dua pihak
atau lebih dimana pihak yang menang mendapatkan bayaran.
Bahwa pada hakikatnya maisir (perjudian) adalah
bertentangan dengan agama, kesusilaan dan moral Pancasila,
serta membahayakan bagi penghidupan dan kehidupan
masyarakat, bangsa dan negara. Namun melihat kenyataan
dewasa ini, perjudian dengan segala macam bentuknya
masih banyak dilakukan dalam masyarakat, sedangkan
ketentuan dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1974
tentang Penertiban Perjudian masih memungkinkan
legalisasi perjudian oleh pemerintah dengan alasan tertentu
dan di tempat tertentu dan tentunya dapat menjerumuskan
orang Islam dalam kemaksiatan tersebut.
Qanun tentang larangan maisir (perjudian) ini
dimaksudkan sebagai upaya pre-emtif, preventif dan pada
58

tingkat optimum remedium sebagai usaha represif melalui


penjatuhan 'uqubat dalam bentuk 'uqubat ta'zir yang dapat
berupa 'uqubat cambuk dan 'uqubat denda (gharamah).
Untuk efektivitas pelaksanaan Qanun ini di samping
adanya lembaga penyidikan dan penuntutan, juga dilakukan
pengawasan yang meliputi upaya pembinaan sipelaku
jarimah maisir oleh Pejabat Wilayatul Hisbah. Di samping
itu juga masyarakat diberikan peranan untuk mencegah
terjadinya jarimah maisir dalam rangka memenuhi kewajiban
sebagai seorang muslim untuk melaksanakan amar ma'ruf
nahi mungkar. Peran serta masyarakat tersebut tidak dalam
bentuk main hakim sendiri.
Bentuk ancaman 'uqubat cambuk bagi sipelaku
jarimah maisir dimaksudkan sebagai upaya memberi
kesadaran bagi si pelaku dan sekaligus menjadi peringatan
bagi calon pelanggar lainnya untuk tidak melakukan maisir.
Di samping itu 'uqubat cambuk akan lebih efektif dengan
memberi rasa malu dan tidak menimbulkan resiko bagi
keluarga. Jenis 'uqubat cambuk juga berdampak pada biaya
yang hams ditanggung pemerintah menjadi lebih murah
dibandingkan dengan jenis 'uqubat lainnya seperti yang
dikenal dalam KUHP sekarang ini.
Oleh karena materi yang diatur dalam Qanun ini
termasuk kompetensi Mahkamah Syar'iyah dan sementara ini
Qanun yang sesuai dengan kebutuhan Syariat Islam belum
terbentuk, maka untuk menghindari kevakuman hukum,
Qanun ini juga mengatur tentang penyidikan, penuntutan dan
pelaksanaan 'uqubat.

59

II.

PASAL DEMI PASAL


Pasal 1
Cukupjelas
Pasal2
Cukupjelas
Pasal 3
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud dengan perbuatan yang
mengarah kepada maisir (perjudian)
seperti permainan domino, kartu, sabung
ayam, taruhan permainan/olahraga, seperti
bilyar, sepak bola, pacuan kuda dan lainlain;
Huruf c
Yang dimaksud dengan pengaruh bumk
yang timbul akibat kegiatan dan/atau
perbuatan maisir ialah seperti konflik
dalam keluarga, perceraian, perkelahian,
pembunuhan dan kejahatan lainnya.
Huruf d
Cukup jelas
Pasal4
Cukup jelas
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Cukupjelas

60

Pasal 7
Yang dimaksud dengan izin usaha termasuk izin untdk
menyelenggarakan keramaian, pameran, pertunjukan dan
lain-lain.
Pasal 8
Cukup jelas
Pasal 9
Cukup jelas
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Perlindungan dan jaminan keamanan dimaksud meliputi
kerahasiaan nama pelapor, keselamatan sipelapor,
sipenyerah beserta keluarga mereka dari ancaman atau
tindakan kekerasan sipelaku atau keluarganya atau pihak
lainnya.
Pasal 12
Yang dimaksud dengan menuntut adalah mengajukan
praperadilan dan/atau gugatan ganti rugi sebagai akibat
kelalaian pejabat yang berwenang.
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14
Ayat(l)
Cukup jelas
Ayat (2)
Wilayatul Hisbah merupakan institusi di bawah
Pemerintah Daerah, berwenang mengawasi

61

pelaksanaan amar ma'ruf nahi mungkar termasuk


yang diatur dalam Qanun ini.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 15
Ayat(l)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan peringatan adalah teguran
kepada tersangka untuk tidak meneruskan atau
mengulangi
perbuatan
jarimah
dengan
memberitahukan ancaman 'uqubat yang dapat
dikenakan karena melanggar larangan tersebut.
Fungsi pembinaan dapat juga dilakukan dengan
melaksanakan ketentuan yang tersebut dalam Perda
Nomor 7 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan
Adat.
Pasal 16
Cukup jelas
Pasal 17
Cukup jelas
Pasal 18
Cukup jelas
Pasal 19
Ayat (1) Huruf a,b dan c
Cukup jelas
Ayat (1) Huruf d

62

Penahanan hanya dibenarkan untuk keperluan


penyidikan, penuntutan dan persidangan dan tidak
mempengaruhi kadar penjatuhan 'uqubat.
Ayat (l)
Huruf e,f,g,h,i.
Cukup jelas
Ayat (1)
Huruf j.
Yang dimaksud dengan hukum yang
berlaku adalah ketentuan peraturan
perundang-undangan dan Syari'at Islam,
misalnya terhadap tersangka perempuan
hams dilakukan penyidikan oleh penyidik
perempuan sejauh hal ini memungkinkan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 20
Cukup jelas
Pasal21
Cukup jelas
Pasal 22
Cukup jelas
Pasal 23
Ayat (l)
Yang dimaksud dengan setiap orang adalah orang
Islam.
Ayat (2)

63

Yang dimaksud dengan setiap orang adalah orang


yang berada di Nanggroe Aceh Darussalam.
Pasal 24
Selama Baital Mal belum terbentuk, penerimaan disetor ke
Kas Daerah.
Pasal 25
Cukup jelas
Pasal 26
Cukup jelas
Pasal 27
Cukup jelas
Pasal 28
Cukup jelas
Pasal 29
Cukup jelas
Pasal 30
Cukup jelas
Pasal 31
Cukup jelas
Pasal 32
Cukup jelas
Pasal 33
Cukup jelas
Pasal 34
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH PROVINSI NANGGROE
ACEH DARUSSALAM NOMOR 29

64

QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM


NOMOR 14 TAHUN2003
TENTANG
KHALWAT (MESUM)
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM
DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA
GUBERNUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM,
Menimbang: a. bahwa Keistimewaan dan Otonomi Khusus yang
diberikan untuk Daerah Istimewa Aceh sebagai
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam di dasarkan
pada Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 dan
Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001, antara lain
di bidang Pelaksanaan Syari'at Islam dalam
kehidupan masyarakat guna terwujudnya tata
kehidupan masyarakat yang tertib, aman, tenteram,
sejahtera dan adil untuk mencapai ridha Allah;
b. bahwa khalwat/mesum termasuk salah satu
perbuatan mungkar yang dilarang dalam Syari'at
Islam dan bertentangan pula dengan adat istiadat
yang berlaku dalam masayarakat Aceh karena
perbuatan tersebut dapat menjemmuskan
seseorang kepada perbuatan zina;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud huruf a dan b perlu membentuk Qanun
tentang Larangan Khalwat/Mesum;
Mengingat :

1. Al-Qur'an;
2.

Al - Hadits;

3.

Pasal 29 Undang-undang Dasar 1945;

65

4.

Undang-undang Nomor 24 Tahun 1956


tentang Pembentukan Daerah Otonom Propinsi
Aceh dan Perubahan Peraturan Pembentukan
Propinsi Sumatera Utara (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1956 Nomor 64,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 1103);

5.

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981


tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3209);

6.

Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999


tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60,
tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);

7.

Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999


tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi
Daerah Istimewa Aceh (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 172,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3893);

8.

Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001


tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah
Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2001 Nomor 114, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4134);

9.

Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun


1983 tentang Pelaksanaan KUHAP (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor
36, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3258);

10.

Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun


1988 tentang Koordinasi Kegiatan Instansi
vertikal di daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1988 Nomor 10, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3373);
66

11.

Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun


2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan
Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2000, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3952);

12.

Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun


1999 tentang Teknik Penyusunan Peraturan
Perundang-undangan dan Bentuk Rancangan
Undang-undang,
Rancangan
Peraturan
Pemerintah, dan Rancangan Keputusan Presiden
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 70);

13.

Keputusan Menteri Dalam Negeri


Nomor 23 Tahun 1986 tentang Ketentuan Umum
Mengenai Penyidik Pegawai Negeri Sipil di
Lingkungan Pemerintah Daerah;

14.

Peraturan Daerah Propinsi Daerah


Istimewa Aceh Nomor 5 Tahun 2000 tentang
Pelaksanaan Syari'at Islam (Lembaran Daerah
Propinsi Daerah Istimewa Aceh Tahun 2000
Nomor 30);

15.

Qanun Provinsi Nanggroe Aceh


Darussalam Nomor 10 Tahun 2002 tentang
Peradilan Syari'at Islam (Lembaran Daerah
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2003
Nomor 2 Seri E Nomor 2, Tambahan Lembaran
Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
Nomor 4);

16.

Qanun Provinsi Nanggroe Aceh


Darussalam Nomor 11 Tahun 2002 tentang
Pelaksanaan Syariat Islam Bidang Aqidah,
Ibadah dan Syiar Islam (Lembaran Daerah
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2003
Nomor 3 Seri E Nomor 3, Tambahan Lembaran

67

Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam


Nomor 5);

Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI
NANGGROE ACEH DARUSSALAM
MEMUTUSKAN :
Menetapkan: QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM
TENTANG KHALWAT(MESUM)
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Qanun ini yang dimaksud dengan :
1. Daerah adalah Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam.
2. Pemerintah
Provinsi
Nanggroe
Aceh
Darussalam adalah Gubemur beserta perangkat
lainnya Pemerintah Daerah Istimewa Aceh
sebagai badan eksekutif Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam.
3. Pemerintah Kabupaten/Kota adalah Bupati/
Walikota beserta perangkat lainnya sebagai
badan eksekutif Kabupaten/Kota dalam Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam.
4. Gubemur adalah Gubemur Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam.
5. Bupati/Walikota adalah Bupati/Walikota dalam
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
6. Camat adalah kepala pemerintahan di
kecamatan.

68

7. Imeum Mukim/Kepala Mukim adalah pimpinan


dalam suatu kesatuan masyarakat hukum yang
terdiri atas gabungan beberapa gampong.
8. Keuchik adalah kepala pemerintahan terendah
dalam suatu kesatuan masyarakat hukum di
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang
berhak menyelenggarakan urusan rumah
tangganya sendiri.
9. Masyarakat adalah himpunan orang-orang yang
berdomisili di Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam.
10. Mahkamah adalah Mahkamah Syar'iyah
Kabupaten/Kota dan Mahkamah Syar'iyah
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
11. Wilayatul Hisbah adalah lembaga yang bertugas
membina, melakukan advokasi dan mengawasi
pelaksanaan amar makruf nahi mungkar dan
dapat berfungsi sebagai penyelidik.
12. Polisi adalah Polisi Nanggroe Aceh Darussalam
yang diberi tugas dan wewenang khusus
menangani pelaksanaan dan penegakan Syari'at
Islam.
13. Penyidik adalah Penyidik Umum dan/atau
Penyidik Pegawai Negeri Sipil.
14. Penyidik Pegawai Negeri Sipil adalah Pejabat
Pegawai Negeri Sipil yang diangkat oleh
Gubemur yang diberi tugas dan wewenang
untuk melakukan penyidikan pelanggaran
Syari'at Islam.
15. Jaksa adalah Jaksa Nanggroe Aceh Darussalam
yang diberi tugas dan ewenang menjalankan
tugas khusus di bidang Syari'at Islam;
16. Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi tugas
dan wewenang khusus untuk melaksanakan
penuntutan di bidang syari'at dan melaksanakan
penetapan putusan hakim mahkamah;
17. Pejabat yang berwenang adalah Kepala Polisi
Nanggroe Aceh Darussalam dan/atau pejabat
69

lain di
lingkungannya
yang
ditunjuk
berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
18. Jarimah adalah perbuatan terlarang yang
diancam dengan qishash-diat, hudud, dan ta'zir.
19. 'Uqubat adalah ancaman hukuman terhadap
pelanggaran jarimah.
20. Khalwat/mesum adalah perbuatan bersunyisunyi antara dua orang mukallaf atau lebih yang
berlainan jenis yang bukan muhrim atau tanpa
ikatan perkawinan.
BAB II
RUANG LINGKUP DAN TUJUAN
Pasal 2
Ruang lingkup larangan khalwat/mesum adalah
segala kegiatan, perbuatan dan keadaan yang
mengarah kepada perbuatan zina.
Pasal 3
Tujuan larangan khalwat/mesum adalah :
a. menegakkan Syari'at Islam dan adat istiadat
yang berlaku dalam masyarakat di Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam;
b. melindungi masyarakat dari berbagai bentuk
kegiatan dan/atau perbuatan yang merusak
kehormatan;
c. mencegah anggota masyarakat sedini mungkin
dari melakukan perbuatan yang mengarah
kepada zina;
d. meningkatkan peran serta masyarakat dalam
mencegah
dan
memberantas
terjadinya
perbuatan khalwat/mesum;
e. menutup peluang terjadinya kerusakan moral.

70

BAB III
LARANGAN DAN PENCEGAHAN
Pasal 4
Khalwat/Mesum hukumnya haram.
Pasal 5
Setiap orang dilarang melakukan khalwat/mesum.
Pasal 6
Setiap orang atau kelompok masyarakat, atau
aparatur pemerintahan dan badan usaha dilarang
memberikan
fasilitas
kemudahan
dan/atau
melindungi orang melakukan khalwat/mesum.
Pasal 7
Setiap orang baik sendiri maupun kelompok
berkewajiban mencegah terjadinya perbuatan
khalwat/mesum.
BAB IV
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 8
(1) Masyarakat berperanserta dalam membantu
upaya pencegahan dan pemberantasan perbuatan
khalwat/mesum.
(2) Masyarakat wajib melapor kepada pejabat yang
berwenang baik secara lisan maupun tulisan
apabila mengetahui adanya pelanggaran
terhadap larangan khalwat/mesum.
Pasal 9
Dalam hal pelaku pelanggaran tertangkap tangan
oleh warga masyarakat, maka pelaku beserta barang
71

bukti segera diserahkan kepada pejabat yang


berwenang.

72

Pasal 10
Pejabat yang berwenang wajib memberikan
perlindungan dan jaminan keamanan kepada pelapor
sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 dan/atau
orang yang menyerahkan pelaku sebagaimana
dimaksud dalam pasal 9.
Pasal 11
Warga masyarakat dapat menuntut pejabat yang
berwenang sebagaimana dimaksud dalam pasal 9
apabila lalai memberikan perlindungan dan jaminan
keamanan bagi pelapor dan/atau orang yang
menyerahkan pelaku.
Pasal 12
Tata cara penuntutan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 11 dilakukan sesuai peraturan perundangundangan yang berlaku dan diajukan ke Mahkamah.
BAB V
PENGAWASAN DAN PEMBINAAN
Pasal 13
(1) Gubemur, Bupati/Walikota, Camat, Imum
Mukim dan Keuchik berkewajiban melakukan
pengawasan dan pembinaan terhadap penerapan
larangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5
dan 6.
(2) Untuk melakukan pengawasan dan pembinaan
terhadap pelaksanaan qanun ini, Gubemur,
Bupati/Walikota membentuk Wilayatul Hisbah.
(3) Susunan dan kedudukan Wilayatul Hisbah
diatur lebih lanjut dengan surat Keputusan
Gubemur dan/atau Bupati/Walikota setelah
mendengar pendapat Majelis Permusyawaratan
Ulama.

73

Pasal 14
(1) Dalam melaksanakan fungsi pengawasannya,
Pejabat Wilayatul Hisbah sebagaimana dimaksud
dalam pasal 13 bila menemukan pelaku
pelanggaran terhadap larangan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 5 dan 6, menyampaikan
laporan secara tertulis kepada penyidik;
(2) Dalam melaksanakan fungsi pembinaannya,
Pejabat Wilayatul Hisbah yang menemukan
pelaku jarimah khalwat/mesum dapat memberi
peringatan dan pembinaan terlebih dahulu
kepada pelaku sebelum menyerahkannya
kepada penyidik.
(3) Pejabat Wilayatul Hisbah wajib menyampaikan
laporan kepada penyidik tentang telah dilakukan
peringatan dan pembinaan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2).
Pasal 15
Wilayatul Hisbah dapat mengajukan gugatan
praperadilan kepada Mahkamah apabila laporannya
sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 ayat (1) tidak
ditindaklanjuti oleh penyidik tanpa suatu alasan
yang sah setelah jangka waktu 2 (dua) bulan sejak
laporan diterima penyidik.
BAB VI
PENYIDIKAN DAN PENUNTUTAN
Pasal 16
Penyidikan dan penuntutan terhadap pelanggaran
larangan khalwat/mesum dilakukan berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku
sepanjang tidak diatur dalam Qanun ini.
Pasal 17
Penyidik adalah:

74

a. Pejabat Polisi Nanggroe Aceh Darussalam;


b. Pejabat Pegawai Negeri Sipil yang diberi
wewenang khusus untuk melakukan penyidikan
bidang Syari'at Islam.
Pasal 18
(1) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam pasal 17
huruf a karena kewajibannya mempunyai
wewenang :
a.
menerima laporan atau pengaduan
dari sese-orang tentang adanyaj arimah;
b.
melakukan tindakan pertama pada
saat itu di tempat kejadian;
c.
menyuruh
berhenti
seseorang
tersangka dan memeriksa tanda pengenal
diri tersangka;
d.
melakukan penangkapan, penahanan,
peng-geledahan dan penyitaan;
e.
melakukan
pemeriksaan
dan
penyitaan surat;
f.
mengambil sidikjari dan memotret
seseorang;
g.
memanggil seseorang untuk didengar
dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
h.
mendatangkan orang ahli yang
diperlukan dalam hubungannya dengan
pemeriksaan perkara;
i.
menghentikan penyidikan setelah
mendapat petunjuk bahwa tidak terdapat
cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan
merupakan j arimah dan memberitahukan
hal tersebut kepada penuntut umum,
tersangka atau keluarganya dan Wilayatul
Hisbah;
j.
mengadakan tindakan lain menurut
aturan hukum yang berlaku.
(2) Penyidik Pegawai Negeri Sipil mempunyai
wewenang sesuai dengan ketentuan yang
75

berlaku dan berada di bawah koordinasi


penyidik umum.
(3) Dalam melakukan tugasnya sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan (2), penyidik wajib
menjunjung tinggi hukum yang berlaku.
Pasal 19
Setiap penyidik yang mengetahui dan/atau menerima
laporan telah terjadi pelanggaran terhadap larangan
khalwat/mesum wajib segera melakukan penyidikan
sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 20
Penuntut umum menuntut perkara jarimah khalwat/
mesum yang terjadi dalam daerah hukumnya menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 21
Penuntut umum mempunyai wewenang :
a. menerima dan memeriksa berkas perkara
penyidikan dari penyidik;
b. mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dan memberi petunjuk dalam
rangka penyempumaan penyidikan dari penyidik;
c. memberi perpanjangan penahanan, melakukan
penahanan atau mengubah status tahanan
setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik;
d. membuat surat dakwaan;
e. melimpahkan perkara ke mahkamah;
f.
menyampaikan pemberitahuan kepada
ter-dakwa tentang ketentuan hari dan waktu
perkara disidangkan yang disertai surat
panggilan, baik kepada terdakwa maupun
kepada saksi, untuk datang pada sidang yang
telah ditentukan;
g. melakukan penuntutan;

76

h.
i.

mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas


dan tanggung jawab sebagai penuntut umum
menurut hukum yang berlaku;
melaksanakan putusan dan penetapan hakim.
BAB VII
KETENTUAN 'UQUBAT

Pasal 22
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan
sebagai-mana dimaksud dalam pasal 4,
diancam dengan 'uqubat ta'zir berupa
dicambuk paling tinggi 9 (sembilan) kali,
paling rendah 3 (tiga) kali dan/ atau denda
paling banyak Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta
rupiah), paling sedikit Rp 2.500.000,- (dua juta
lima ratus ribu rupiah).
(2) Setiap orang yang melanggar ketentuan
sebagai-mana dimaksud dalam pasal 5
diancam dengan 'uqubat ta'zir berupa
kurungan paling lama 6 (enam) bulan, paling
singkat 2 (dua) bulan dan/atau denda paling
banyak Rp. 15.000.000,- (lima belasjuta
rupiah), paling sedikit Rp 5.000.000,- (lima
juta rupiah).
(3) Pelanggaran terhadap larangan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 5 dan 6 adalah j arimah
ta'zir.
Pasal 23
Denda sebagaimana dimaksud dalam pasal 22 ayat
(1) dan (2) merupakan peneriman Daerah dan
disetor langsung ke Kas Baital Mal.
Pasal 24
Pengulangan pelanggaran terhadap ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 22, 'uqubatnya
dapat ditambah 1/3 (sepertiga) dari 'uqubat maksimal.

77

Pasal 25
Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 5 dan 6 :
a. apabila dilakukan oleh badan hukum/badan
usaha, maka 'uqubatnya dijatuhkan kepada
penanggung jawab.
b. apabila ada hubungan dengan kegiatan usahanya, maka selain sanksi 'uqubat sebagaimana
dimaksud dalam pasal 22 ayat (1) dan (2) dapat
juga dikenakan 'uqubat administratif dengan
mencabut atau membatalkan izin usaha yang
telah diberikan.
BAB VIII
PELAKSANAAN 'UQUBAT
Pasal 26
(1) 'Uqubat cambuk dilakukan oleh seorang petugas
yang ditunjuk oleh Jaksa Penuntut Umum.
(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), Jaksa Penuntut
Umum hams berpedoman pada ketentuan yang
diatur dalam Qanun ini dan/atau ketentuan yang
akan diatur dalam Qanun tentang hukum
formil.
Pasal 27
(1) Pelaksanaan 'uqubat dilakukan segera setelah
putusan hakim mempunyai kekuatan hukum
tetap.
(2) Penundaan pelaksanaan 'uqubat hanya dapat
dilakukan berdasarkan penetapan dari Kepala
Kejaksaan apabila terdapat hal-hal yang membahayakan terhukum setelah mendapat
keterangan dokter yang berwenang.
Pasal 28

78

(1) 'Uqubat cambuk dilakukan di suatu tempat


yang dapat disaksikan orang banyak dengan
dihadiri Jaksa Penuntut Umum dan dokter
yang ditunjuk.
(2) Pencambukan dilakukan dengan rotan yang
berdiameter antara 0,7 cm dan 1,00 cm, panjang
1 (satu) meter dan tidak mempunyai ujung
ganda/tidak dibelah.
(3) Pencambukan dilakukan pada bagian tubuh
kecuali kepala, muka, leher, dada dan
kemaluan.
(4) Kadar pukulan atau cambukan tidak sampai
melukai.
(5) Terhukum laki-laki dicambuk dalam posisi berdiri
tanpa penyangga, tanpa diikat, dan memakai baju
tipis yang menutup aurat. Sedangkan perempuan
dalam posisi duduk dan ditutup kain di atasnya.
(6) Pencambukan terhadap perempuan hamil
dilakukan setelah 60 (enam puluh) hari yang
bersangkutan melahirkan.
Pasal 29
Apabila selama pencambukan timbul hal-hal yang
membahayakan terhukum berdasarkan pendapat
dokter yang ditunjuk, maka sisa cambukan ditunda
sampai dengan waktu yang memungkinkan.
Pasal 30
Pelaksanaan 'uqubat kurungan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 22 ayat (2) dilakukan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 31
Sebelum adanya hukum acara yang diatur dalam
qanun tersendiri, maka hukum acara yang diatur
79

dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang


Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, dan
peraturan perundang-undangan lainnya tetap berlaku
sepanjang tidak diatur di dalam qanun ini.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 32
Hal-hal yang menyangkut dengan teknis pelaksanaan
diatur lebih lanjut dengan keputusan Gubemur.
Pasal 33
Qanun ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar semua orang dapat mengetahuinya,
memerintah-kan pengundangan qanun ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Daerah Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam.

80

LEMBARAN DAERAH PROVINSI NANGGROE


DARUSSALAM TAHUN 2003 NOMOR 27 SERI D

ACEH

NOMOR 14
PENJELASAN
ATAS
QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSSALAM
NOMOR 14 TAHUN 2003
TENTANG
KHALWAT/MESUM
I.

PENJELASAN UMUM

Sepanjang sejarah, masyarakat Aceh telah menjadikan


agama Islam sebagai pedoman dalam kehidupannya. Melalui
penghayatan dan pengamalan ajaran Islam dalam rentang sejarah
yang cukup panjang (sejak abad ke VII M) telah melahirkan
suasana masyarakat dan budaya Aceh yang Islami. Budaya dan
adat Aceh yang lahir dari renungan para ulama, kemudian
dipraktekkan, dikembangkan dan dilestarikannya. Dalam ungkapan
bijak disebutkan "Adat bak Poteu Meureuhom, Hukom bak Syiah
Kuala, Qanun bak Putro Phang Reusam bak Lakseumana".
Ungkapan tersebut merupakan pencerminan bahwa Syari'at Islam
telah menyatu dan menjadi pedoman hidup bagi masyarakat Aceh
melalui peranan ulama sebagai pewaris para Nabi.
Fakta sejarah tersebut menjadi kabur sejak Kolonial
Belanda dan Jepang menguasai Aceh bahkan hingga Indonesia
mencapai kemerdekaannya. Dengan munculnya era reformasi pada
tahun 1998, semangat dan peluang yang terpendam untuk
memberlakukan Syari'at Islam di beberapa daerah di Indonesia
muncul kembali, terutama di Aceh yang telah lama dikenal sebagai
Serambi Mekah. Semangat dan peluang tersebut kemudian
terakomodir dalam Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang
81

Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh.


Peluang tersebut semakin dipertegas dalam Undang-undang Nomor
18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah
Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Di
samping itu pada tingkat Daerah pelaksanaan Syari'at Islam telah
dirumuskan secara yuridis melalui Peraturan Daerah Nomor 5
Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syari'at Islam.
Secara umum Syari'at Islam di bidang hukum memuat
norma hukum yang mengatur kehidupan bermasyarakat/bernegara
dan norma hukum yang mengatur moral atau kepentingan individu
yang harus ditaati oleh setiap orang. Ketaatan terhadap norma
hukum yang mengatur moral sangat tergantung pada kualitas iman,
taqwa dan hati nurani seseorang, juga disertai adanya sanksi
duniawi dan ukhrawi terhadap orang yang melanggamya.
Dalam sistem hukum Islam terdapat dua jenis sanksi; yaitu
sanksi yang bersifat definitif dari Allah dan Rasul dan sanksi yang
ditetapkan manusia melalui kekuasaan eksekutif, legislatif dan
yudikatif. Kedua jenis sanksi tersebut mendorong masyarakat
untuk patuh pada ketentuan hukum. Dalam banyak hal penegakan
hukum menuntut peranan negara.
Hukum tidak berjalan bila tidak ditegakkan oleh negara.
Disisi lain suatu negara akan tidak tertib bila hukum tidak
ditegakkan. Khalwat/mesum adalah perbuatan yang dilakukan oleh
dua orang yang berlawanan jenis atau lebih, tanpa ikatan nikah
atau bukan muhrim pada tempat tertentu yang sepi yang
memungkinkan terjadinya perbuatan maksiat di bidang seksual
atau yang berpeluang pada tejadinya perbuatan perzinaan.
Islam dengan tegas melarang melakukan zina. Sementara
khalwat/mesum merupakan washilah atau peluang untuk terjadinya
zina, maka khalwat/mesum juga termasuk salah satu jarimah
(perbuatan pidana) dan diancam dengan 'uqubat ta'zir, sesuai
qaidah syar'iy yang berbunyi :

82

("perintah untuk melakukan atau tidak melakukan suatu,


mencakup prosesnya(
Dalam perkembangannya khalwat/mesum tidak hanya
terjadi di tempat-tempat tertentu yang sepi dari penglihatan orang
lain, tetapi juga dapat terjadi di tengah keramaian atau di jalanan
atau di tempat-tempat lain, seumpama dalam mobil atau kenderaan
lainnya, dimana laki-laki dan perempuan berasyik maksyuk tanpa
ikatan nikah atau hubungan mahram). Perilaku tersebut juga dapat
menjurus pada terjadinya perbuatan zina.
Qanun tentang larangan khalwat/mesum ini dimaksudkan
sebagai upaya pre-emtif, preventif dan pada tingkat optimum
remedium sebagai usaha represif melalui penjatuhan 'uqubat dalam
bentuk 'uqubat ta'zir yang dapat berupa 'uqubat cambuk dan
'uqubat denda (gharamah).
Untuk efektivitas pelaksanaan qanun ini di samping
adanya lembaga penyidikan dan penuntutan, juga dilakukan
pengawasan yang meliputi upaya pembinaan sipelaku jarimah
khalwat/mesum oleh Muhtasib dari lembaga Wilayatul Hisbah. Di
samping itu juga masyarakat diberikan peranan untuk mencegah
terjadinya jarimah khalwat/mesum dalam rangka memenuhi
kewajiban sebagai seorang muslim untuk melaksanakan amar
ma'ruf nahi mungkar. Peran serta masyarakat tersebut tidak dalam
bentuk main hakim sendiri.
Bentuk ancaman 'uqubat cambuk bagi sipelaku jarimah
klalwat/mesum, dimaksudkan sebagai upaya memberi kesadaran
bagi si pelaku dan sekaligus menjadi peringatan bagi anggota
masyarkat lainnya untuk tidak melakukan jarimah. Di samping itu
'uqubat cambuk akan lebih efektif dengan memberi rasa malu dan
tidak menimbulkan resiko bagi keluarga. Jenis 'uqubat cambuk
juga berdampak pada biaya yang harus ditanggung pemerintah
menjadi lebih murah dibandingkan dengan jenis 'uqubat lainnya
seperti yang dikenal dalam KUHP sekarang ini.
83

Oleh karena materi yang diatur dalam qanun ini termasuk


kompetensi Mahkamah Syar'iyah dan sementara ini qanun yang
sesuai dengan kebutuhan Syariat Islam belum terbentuk, maka
untuk menghindari kevakuman hukum, qanun ini juga mengatur
tentang penyidikan, penuntutan dan pelaksanaan 'uqubat.
II.

PASAL DEMI PASAL


Pasal 1
Cukup jelas
Pasal2
Cukup jelas
Pasal 3 Huruf a
Cukup jelas
Pasal 3 Huruf b
Yang dimaksud dengan perbuatan yang merusak
kehormatan adalah setiap perbuatan yang dapat mengakibatkan aib bagi sipelaku dan keluarganya.
Pasal 3 Huruf c, d, dan e
Cukup jelas
Pasal4
Cukup jelas
Pasal5
Cukup jelas
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Cukup jelas
Pasal 8

84

Cukup jelas
Pasal 9
Cukup jelas
Pasal 10
Perlindungan dan jaminan keamanan dimaksud
meliputi kerahasiaan nama pelapor, keselamatan
sipelapor, orang yang menyerahkan pelaku dan/atau
barang bukti beserta keluarga mereka dari ancaman
atau tindakan kekerasan sipelaku atau keluarganya
atau pihak lainnya.
Pasal 11
Yang dimaksud dengan menuntut adalah mengajukan
praperadilan dan/atau gugatan ganti rugi sebagai akibat
kelalaian pejabat yang berwenang.
Pasal 12
Cukup jelas
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14
Ayat(l)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan peringatan adalah teguran
kepada tersangka untuk tidak meneruskan atau
mengulangi
perbuatan
jarimah
dengan
memberitahukan ancaman 'uqubat yang dapat
dikenakan karena melanggar larangan tersebut.
Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16

85

Cukup jelas
Pasal 17
Cukup jelas
Pasal 18
Ayat (1) Huruf a. sd. Huruf c.
Cukup jelas
Ayat (1) Huruf d.
Penahanan
hanya
dibenarkan
untuk
keperluan penyidikan, penuntutan dan
persidangan dan tidak mempengaruhi kadar
penjatuhan 'uqubat.
Ayat (1) Huruf e. sd. huruf i.
Cukup jelas
Ayat (1) Huruf j.
Yang dimaksud dengan hukum yang berlaku
adalah ketentuan peraturan perundang-undangan
dan Syari'at Islam, misalnya terhadap tersangka
perempuan harus dilakukan penyidikan oleh
penyidik perempuan dan sebagainya.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 19
Cukup jelas
Pasal 20
Cukup jelas
Pasal 21
Cukup jelas
Pasal 22
86

Ayat (1) dan (2)


Yang dimaksud dengan setiap orang adalah
orang Islam yang berada di Nanggroe Aceh
Darussalam.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 23
Selama Baital Mal belum terbentuk, penerimaan
disetor ke Kas Daerah.
Pasal 24
Cukup jelas
Pasal 25
Cukup jelas
Pasal 26
Cukup jelas
Pasal 27
Cukup jelas
Pasal 28
Cukup jelas
Pasal 29
Cukup jelas
Pasal 30
Cukup jelas
Pasal 31
Cukup jelas
Pasal 32
Cukup jelas
Pasal 33
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH PROVINSI NANGGROE
ACEH DARUSSALAM NOMOR 30

87

KUMPULAN QANUN
PROVINSI NANGGROE ACEH
DARUSSALAM
Nomor: 9, 12, 13 dan 14 Tahun 2003

88

SEKRETARIAT
MAJELIS PERMUSYAWARATAN ULAMA
NANGGROE ACEH DARUSSALAM
DAFTAR ISI
Halaman
I.

Qanun Nomor: 9 Tahun 2003 Tentang Hubungan


Tata Kerja Majelis Permusyawaratan Ulama Dengan
Eksekutif, Legislatif Dan Instansi Lainnya....................

II. Qanun Nomor 12 Tahun 2003 Tentang


Minuman Khamar Dan Sejenisnya................................

16

III. Qanun Nomor 13 Tahun 2003Tentang


Maisir (Perjudian)..........................................................

41

IV. Qanun Nomor 14 Tahun 2003 Tentang


Khalwat (Mesum)..........................................................

64

89

Anda mungkin juga menyukai