Anda di halaman 1dari 12

CREEPING ERUPTION

I. Definisi
Creeping eruption sinonim dengan nama cutaneous larva migrans,
dermatosis linearis migrans, sandworm eruption, creeping verminous dermatitis,
plumbers itch dan duck hunters itch. Serpiginous dan lesi linear adalah gejala
yang sering disebabkan oleh Creeping eruption (A.Braziliense dan Ancylostoma
merupakan penyebab paling sering pada Hookworm-Related Creeping
eruption). Umumnya gejala yang sering yaitu eritematous, serpiginous, bula,
vesikel dan pruritus yang intensif oleh karena migrasi larva pada intradermal.[1, 2]
Berdasarkan istilah klinisnya, Creeping eruption dibedakan dengan
cutaneous eruption karena cutaneous eruption memiliki banyak penyebab. Sesuai
dengan istilah, gejala utama Creeping eruption yaitu lesi kulit yang terjadi oleh
karena adanya pergerakan parasit di bawah kulit.[1]
Creeping eruption adalah peradangan pada kulit yang berbentuk linear
atau berkelok-kelok, menimbul dan progresif, disebabkan oleh invasi larva cacing
tambang yang berasal dari anjing dan kucing.[4]
II. Epidemiologi
Infeksi ini paling sering di iklim hangat dan daerah tropis atau subtropis
seperti Karibia (terutama Jamaika), Afrika, Amerika Tengah, Selatan dan
Tenggara dan Asia Tenggara. Di Indonesia pun banyak dijumpai.[2, 3]
Orang-orang yang tidak memakai alas kaki di pantai, anak-anak yang
sering bermain pasir, tukang kayu dan tukang pipa yang bekerja di bawah
rumah,dan tukang kebun berpotensi mengalami creeping eruption. Daerah yang
paling umum terlibat adalah kaki, bokong, genitalia dan tangan. [2, 3, 4]
III.

Etiologi
Penyebab utama adalah larva cacing tambang yang ada pada binatang

anjing dan kucing, dimana Ancylostoma brazilienes, Ancylostoma caninum dan


Ancylostoma ceylanicum adalah spesies yang paling sering ditemukan pada
manusia. Di Asia Timur umumnya disebabkan oleh gnatostoma babi dan kucing.

1 | Page

Pada beberapa kasus ditemukan Echinococcus, Strongyloideus sterconalis,


Dermatobia maxiales, dan Lucilia caesar. Selain itu dapat pula disebabkan oleh
larva dari beberapa jenis lalat, misalnya Castrophilus (the horse bot fly) dan
Cattle fly. Larva yang hidup pada lalat merupakan stadium ketiga dari siklus hidup
Ancylostoma .[5, 6, 7]
Penyakit ini disebabkan oleh migrasi dari cacing melalui kulit, parasit ini
merupakan

parasit yang tidak dapat menyelesaikan siklus hidupnya pada

manusia, sehingga hanya menyebabkan manifestasi kulit.[7]


Cacing tambang pada anjing adalah yang paling sering yang menyebabkan
creeping eruption pada manusia. Anatrichosoma cutaneum, parasit yang ada pada
monyet di daerah Timur dunia, jarang menyebabkan creeping eruption.
Strongyloides

stercoralis

menyebabkan

bentuk

khas

creeping

eruption.

Gnathostoma spp. menyebabkan pembengkakan di subkutan akibat migrasi


parasit yang biasanya hilang dalam waktu yang singkat.[1]
IV.

Patogenesis
Cacing tambang dewasa hidup di usus anjing dan kucing, kemudian telur

cacing terbawa dan hidup pada feses anjing dan kucing. Pada kondisi kelembaban
dan suhu yang optimal, telur cacing tambang menetas menjadi larva yang infektif,
yang akan menembus kulit manusia. Setelah menembus ke dalam kulit, kemudian
akan migrasi ke stratum germinativum dan korneum.[2, 6]
Larva stadium tiga menembus kulit manusia dan bermigrasi beberapa
sentimeter per hari, biasanya antara stratum granulosum dan stratum korneum.
Larva ini tinggal di kulit dan bergerak sepanjang dermoepidermal. Hal ini
menginduksi reaksi inflamasi eosinofilik setempat. Setelah beberapa jam atau hari
akan timbul gejala pada kulit.[1, 2]
Larva bermigrasi pada epidermis tepat di atas membran basalis dan jarang
menembus ke dermis. Manusia merupakan hospes penderita dan larva tidak
mempunyai enzim kolagenase yang cukup untuk penetrasi membran basalis
sampai ke dermis. Sehingga penyakit ini menetap di kulit saja. Enzim proteolitik
yang diekskresi larva menyebabkan inflamasi sehingga terjadi rasa gatal dan
progresi lesi. Meskipun larva tidak bisa mencapai intestinum untuk melengkapi
siklus hidup, larva sering kali migrasi ke paru-paru sehingga terjadi infiltrat paru.

2 | Page

Kebanyakan larva tidak mampu menembus lebih dalam dan mati setelah beberapa
hari sampai beberapa bulan.[1, 2]

Gambar 1 : siklus hidup Ancylostoma [14]

Penetrasi larva ke kulit biasanya asimtomatik. Selama larva migrasi,


respon inflamasi lokal dipicu oleh pelepasan sekresi larva yang sebagian besar
terdiri dari enzim proteolitik. Gejala yang timbul berupa gatal, kemerahan, adanya
reaksi peradangan eksemantosa[2, 7]
V. Gejala Klinis
Masuknya larva ke kulit biasanya disertai rasa gatal dan panas. Mula-mula
akan timbul papul, kemudian diikuti bentuk yang khas, yaitu lesi berbentuk linear
atau berkelok-kelok (snakelike appearance), menimbul dengan diameter 2-3
milimiter, berwarna merah segar, atau merah muda, dan terasa gatal. Adanya lesi
papul yang eritematosa ini menunjukkan bahwa larva tersebut telah berada di kulit
selama beberapa jam atau hari. Lamanya waktu mulai dari terinfeksi sampai
timbulnya gejala yaitu 1-6 hari.[1, 6]
Perkembangan selanjutnya papul berwarna merah akan menjalar seperti
benang berkelok-kelok, polisiklik, serpiginosa, menimbul dan membentuk
terowongan (burrow), mencapai panjang beberapa milimeter sampai sentimeter
setiap harinya. Dapat terdapat satu lesi maupun beberapa lesi. Rasa gatal biasanya
lebih hebat pada malam hari. Terowongan yang sudah lama akan mengering dan

3 | Page

menjadi krusta dan bila pasien sering menggaruk akan menimbulkan iritasi yang
rentan terhadap infeksi sekunder.[1, 2]
Umumnya predileksi pada daerah ekstremitas inferior, plantar, trunkus,
anus, bokong dan paha, juga di bagian tubuh lainnya yang sering kontak dengan
larva.[7]
Gejala sistemik misalnya wheezing, batuk kering, urtikaria dapat terjadi
pada pasien dengan infeksi yang berat. Larva Ancylostoma caninum dapat
bermigrasi ke saluran pencernaan, yang menyebabkan human eosinophilic
enterocolitis, dengan gejala nyeri abdominal, anoreksia, mual, dan diare. Larva
caninum juga bermigrasi ke dermis dan memasuki sirkulasi, sehingga
menyebabkan sindrom Loeffler yang memberikan gambaran klinis sesak,
wheezing, eosinofilia, demam, dan urticaria.[2, 4]

Gambar 2: lesi kemerahan dan berkelok-kelok (Creeping eruption).[4]

Gambar 3: Creeping

eruption Ada

beberapa
lesi berliku-liku, trek

larva yang

inflamasi, beberapa
di antaranya dapat dilihat blister sebagai tanda
permulaan lesi.[1]

4 | Page

Gambar 4:

Creeping

eruption di sekitar

bokong.[2]

VI. Diagnosis Dan Penatalaksanaan


Diagnosis Creeping eruption

ditegakkan

berdasarkan

anamnesis,

pemeriksaan fisis dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis ditanyakan


kondisi tempat tinggal, kebiasaan berjalan tanpa menggunakan alas kaki,
pekerjaan yang berhubungan dengan tanah atau pasir, dan adanya binatang seperti
anjing dan kucing yang berada disekitar tempat tinggal.[1, 2]
Pemeriksaan fisis creeping eruption dilakukan inspeksi pada daerah
ekstremitas inferior, plantar, manus, anus, gluteus atau femur, juga dibagian
tubuh di mana saja yang sering kontak dengan tempat larva berada. Hasil inspeksi
akan tampak adanya lesi linear dan atau serpiginous dan terdapat papul dan
vesikel .[2, 8]
Pemeriksaan penunjang yang membantu diagnosis yaitu pemeriksaan
laboratorium dan pemeriksaan histologi. Pada pemeriksaan darah rutin dapat
ditemukan tanda sistemik berupa eosinofilia perifer pada infeksi yang ekstensif
dan pada sindrom Loeffler terjadi peningkatan IgE.[2, 5]
Untuk menunjang diagnosis dapat juga dilakukan biopsi kulit atau
pemeriksaan histologi, namun tidak begitu bermakna karena larva biasanya tidak
ditemukan. Pada pemeriksaan histologi tampak larva nematoda terperangkap di
antara folikel, stratum korneum atau di dermis bersama dengan infiltrat eosinofilik
inflamasi.[2]

5 | Page

Gambar 5: A.Tampak infiltrat eosinofi dan tanda-tanda spongiosis pada lapisan epidermis
B. Cutaneous larva migras dengan kutikula yang berwarna merah muda epidermis, tepat
di bawah lapisan sel glanular

VII.

Diagnosis Banding
a. Dermatofitosis
Bentuk polisiklik yang terjadi pada creeping eruption sering dikacaukan

dengan dermatofitosis. Infeksi dermatofita superfisial pada kulit ditandai oleh satu
atau lebih lesi melingkar, berbatas tegas, eritematosa, kering, bersisik, dan patch
hyperpigmented.[4]

Gambar 6: Dikutip dari kepustakaan 1.

Biopsi kulit tidak sering digunakan dalam pemeriksaan dari dermatofitosis.


Erupsi kulit lokal yang diduga merupakan dermatofitosis dilakukan pemeriksaan
KOH meskipun kurang jelas. Biopsi dapat membantu menegakkan diagnosis
ketika agen sistemik sedang dipertimbangkan untuk pengobatan erupsi atau lebih
luas . Biopsi kadang-kadang berguna dalam mengkonfirmasikan adanya hifa,
meskipun pada kultur membutuhkan spesies yang patogen. Hifa dapat ditemukan
di stratum korneum pada pewarnaan HE (Hematoksilin-Eosin).[2]

6 | Page

Gambar 7: Dikutip dari

kepustakaan 1.

b. Herpes
Bila

Zoster

invasi

larva

yang

multipel timbul serentak, papul-papul lesi ini dapat menyerupai herpes zoster
stadium awal. Pada herpes zoster, papul dan dan plak eritema yang disertai nyeri.
Lesi akan muncul pada lokasi sesuai dengan dermatom dan biasanya unilateral.[4]

Gambar 8: Dikutip dari pustakaan 3

Lesi pada varicella dan herpes zoster bisa dibedakan dengan pemeriksaan
histopatologi. Adanya giant cell berinti banyak dan sel epitel yang mengandung
badan inklusi intranuklear asidofilik membedakan lesi kulit yang dihasilakn oleh
VZV dari semua lesi vesikular lain (misalnya yang disebabkan oleh Variola, dan
poxvirus lain dan oleh coxsackie virus dan echovirus, kecuali yang diproduksi
oleh HZV). Sel-sel ini dapat ditunjukkan dalam Tzank smears specimen dikikis
sebagian dasar oleh vesikel awal, diletakkan pada slide kaca, difiksasi dengan
aseton atau metanol, dan diwarnai dengan HE, Giemsa, Papanicolaou, Paragon
multiple stain.[2]

7 | Page

Gambar 9: A. Dikutip dari kepustakaan 3

B. Dikutip dari kepustakaan 4

c. Skabies
Skabies dibedakan dengan creeping eruption dengan melihat adanya
terowongan, pada skabies terowongan yang terbentuk tidak akan sepanjang seperti
pada creeping eruption. Scabies ditandai dengan lesi papular pruritus, ekskoriasi,
dan terowongan. Predileksinya yaitu pada sela-sela jari, pergelangan tangan,
ketiak, areola, umbilikus, perut bagian bawah, genital, dan bokong. Skabies
ditularkan melalui kontak langsung dengan penderita, menyerang secara
berkelompok dan secara tidak langsung yaitu dengan menggunakan seprai atau
baju yang terkontaminasi dengan Sarcoptes Scabiei.[4]

Gambar 10: Dikutip dari kepustakaan 2.

VIII. Penatalaksanaan
1. Non-medikamentosa
Infeksi cacing tambang dapat dicegah dengan menghindari kontak kulit
langsung dengan tanah yang tercemar dengan kotoran binatang dengan memakai
alas kaki. Pemberian obat cacing untuk binatang peliharaan merupakan hal yang
direkomendasikan untuk mencegah creeping eruption.[5, 8, 9]
Pada kasus yang ringan biasanya tidak memerlukan pengobatan. Tanpa
pengobatan, larva akan mati dan diarbsorbsi. Meskipun penyakit ini dapat sembuh

8 | Page

sendiri, rasa gatal yang hebat dan resiko infeksi sekunder yang menyebabkan
pasien datang untuk berobat. Jika perlu dapat diberikan antihelmintes topikal
untuk lesi awal yang terlokalisir. Pada kasus yang lebih berat dan gagal dengan
terapi topikal dapat diberikan terapi oral. Antihistamin membantu mengurangi
rasa gatal. Jika terjadi infeksi sekunder oleh bakteri dapat diberikan antibiotik.[1, 5]
2. Medikamentosa
A. Pengobatan oral
Tiabendazole Merupakan antihelmintik derivat benzimidazol yang sering
digunakan untuk mengobati creeping eruption.

Obat ini merupakan obat

antihelmintes berspektrum luas dan efektif untuk mengobati berbagai nematoda


pada manusia, dan efektifitasnya tinggi terhadap strongiloides, askariasis,
oksiuriasis dan larva migrans kulit. Cara kerjanya yaitu menghambat enzim
fumarat reduktase cacing. Tiabendazol dapat meghancurkan sebagian larva yang
terdapat dalam otot. Dosis standar yang dianjurkan 2 x 25 mg/kgBB. Untuk
cutaneous larva migran yang dianjurkan adalah 2 x 25 mg/kgBB selama 2-5 hari.
Bila masih ditemukan adanya lesi aktif, selang 2 hari kemudian dapat diberikan
lagi satu rangkai pengobatan. Pemberian obat setelah makan. Efek samping obat
ini ialah anoreksia, mual, muntah, dan pusing. [2, 5, 9, 13]
Ivermektin obat ini dihasilkan melalui proes fermentasi dari Streptomyces
avermitillis. Pemberian oral pda manusia diabsorpsi baik dan memiliki waktu
paruh 10-12 jam. Kadar puncak 4 jam. Obat ini tidak dapat melewati sawar darah
otak. Cara kerja obat ini yakni memperkuat peranan GABA pada proses transmisi
di saraf tepi, sehingga cacing mati pada keadaan paralisis. Obat ini merupakan
Antiparasit yang diberikan dengan dosis 12 mg atau 200ug/kgBB dosis tunggal.[4,
5]

Albendazol Merupakan generasi ketiga dari obat heterosiklik antihelmintik


dan merupakan obat cacing derivat benzimidazol berspektrum luas yang dapat
dibeikan per oral. Pernah digunakan pada infeksi parasit saluran pencernaan. Pada
pemberian per oral, obat ini diserap secara tidak teratur oleh usus. Obat ini cepat
dimetabolisme, terutama menjadi albendazol sulfoksida. Obat ini bekerja dengan
cara berikatan dengan -tubulin parasit sehingga menghambat polimerase
mikrotubulus dan memblok pengambilan glukosa oleh larva maupun cacing

9 | Page

dewasa sehingga pembentukan ATP berkurang dan akibatnya cacing akan mati.
Antihelmintes alternatif sebagai pengganti tiabendazol. Dosis albendazol yaitu
400 mg perhari, diberikan selama 3 hari atau 2 x 200 mg perhari diberikan selama
5 hari.[2, 9]
B. Pengobatan Topikal
Tiabendazol : Tujuan utama terapi topikal yaitu untuk mencegah terjadinya
efek samping dari terapi sistemik. Aplikasi tiabendazol ointmen topikal 10%-15%
pada daerah lesi menunjukan hasil yang baik. Pada kebanyakan penderita, lesi dari
migrasi larva membaik dalam waktu 48 jam setelah pengobatan.[3, 9]
Krim tiabendazol dibuat dari penghancuran 500 mg tablet tiabendazol
yang dilarutkan dalam air. Walaupun kurang efektif, tiabendazol krim 10%,
merupakan alternatif yang baik untuk anak-anak untuk mencegah efek samping
pengobatan sistemik .[9] Topikal berupa suspensi 10-15% (dikombinasikan dengan
krim kortikosteroid) secara oklusi, digunakan 2 kali sehari, selama minimal 1
minggu.[2]
Albendazol : Aplikasi topikal dari albendazol krim 10% 2 kali sehari
memberikan hasil yang baik dalam waktu 10 hari. Pengobatan dini terhadap
creeping eruption penting karena jika tidak diobati dengan baik, dapat menjadi
lebih parah karena infeksi sekunder dan sindrom Loeffler. Tiabendazol krim 15%
telah diketahui efektif. Tiabendazol oral juga diketahui keefektifannya, namun
memiliki efek samping yang tinggi.[2,10]
Agen Pembeku Topikal : Membekukan sesuai dengan alur dari larva yang
terdapat pada kulit dengan sprai ethylene cloride, solid carbon dioxide, atau
nitrogen cair terkadang berhasil. Cara terapi ialah dengan cryotherapy yakni
menggunakan CO2 snow (dry ice) dengan penekanan selama 45 detik sampai satu
menit, dua hari berturut-turut.[2,9,13]
IX.

Komplikasi
Ekskoriasi dan infeksi sekunder oleh bakteri akibat garukan merupakan

komplikasi yang sering terjadi. Infeksi umumnya disebabkan oleh streptococcus


pyogenes. Bisa juga terjadi impetigo, reaksi alergi lokal atau general misalnya
edema dan reaksi vesicobullous.[2,4,9]

10 | P a g e

Salah satu komplikasinya yaitu sindrom Loeffler yang merupakan


kumpulan gejala hipersensitivitas seperti dispnea, wheezing, batuk dan demam
yang terjadi karena migrasi larva ke jaringan paru-paru.[2,4]
X. Prognosis
Prognosisnya dubia ad bonam. Creeping eruption merupakan penyakit
yang dapat sembuh sendiri, dimana ketika larva mati, lesi akan membaik dalam
waktu 4-8 minggu, terkadang waktu 1 tahun.[8,11,13]

DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Lopez, F.V. and R.J. Hay. Parasitic Worms and Protozoa. In: T. Burns,
Wiley-Blackwell, editor. Rook's Textbook of Dermatology: Oxford. 2010. p.
37.16-37.17.
Suh, K.N. and J.S. Keystone. Helminthic Infections. In: K. Wolff, et al.,
Editors, McGraw-Hill. . Fitzpatrick's Dermatology In General Medicine.
2012. USA. p. 3619-3638.
Lupi, O. Protozoa and Worms. In: Dermatology, J.L. Bolognia, J.L. Jorizzo,
and R.P. Rapini, Editors. 2008, Mosby: London.
W D James, T G Berger, D M Elston. Creeping Eruption. In Andrew's
Disease of The Skin: Clinical Dermatology, Pack SC,et al , Editors. 2006,
Mosby: London. p. 435-436.
W Sterry, R Paus, and W Burgdorf. Cutaneous Larva Migrans. In: Sterry,
Editor. Thieme Clinical Companios Dermatology. 2006, Thieme: New York.
p. 131-132.
Rosenthal, P.J. Protozoal and Helminthic Infections. In: M.A. Papadakis and
S.J. McPHEE, Editors. Current Medical Diagnosis and Treatment. 2013.
McGraw-Hill: New York. p. 1523-1524.
Estrada, R. Larva Migrans. In: R. Arenas and R. Estrada, Landes Bioscience,
Editors. Tropical Dermatology. 2010: Texas. p. 213-218.
11 | P a g e

8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.

Vano-Gaivan, S., et al., Creeping eruption Cases Journal, 2009. 2: p. 112.


Caumes, E. Treatment of Creeping eruption.Clinical Infectious Diseases.
2010. 30: p. 811-814.
Dhanaraj M, Ramalingam M. Creeping eruption Masquerading as Tinea
Corporis. Journal of Clinical and Diagnostic Research. 2013 Oct, Vol-7(10):
2313.
Suzanne J. Supplee et al. Creeping eruptions: Creeping eruption. Journal of
Community Hospital Internal MedicinePerspectives. 2013,3:21833
Balfour E, Zalka A, Lazova R. Creeping eruption With Parts of the
Larva in the Epidermis. Yale Dermatopathology Laboratory.2013
Alsah Siti. Creeping eruption. In Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5th ed.
Jakarta. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007. p.125-126
Centers for Disease Control and Prevention (CDC). Division of Parasitic
Diseases and Malaria. January 10, 2013 : USA
Ganiswarna, Sulistia. Farmakologi dan Terapi. Edisi 4. Tahun 2006. Jakarta :
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal : 532-535.

12 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai