Anda di halaman 1dari 5

Masalah kesehatan jiwa di masyarakat sedemikian luas dan kompleks, saling

berhubungan dengan segala aspek kehidupan manusia. Selama beberapa abad terakhir, penyakit jiwa
atau psikiatrik ini sering diakitkan dengan rahasia mistik. ( Davis, 1995 ) dan bahkan penyakit jiwa
sering dianggap sebagai penyakit seumur hidup. Sehingga kebanyakan masyarakat enggan untuk
berhubungan dengan penderita yang masih menderita ganggguan jiwa atau yang sudah sembuh.
Ketidak mampuan penderita dengan gangguan jiwa untuk berinteraksi dengan orang lain
menjadikannya sering dikucilkan dari komunitas sosialnya atau bahkan sering dianggap menjadi salah
satu aib bagi kelurganya sendiri. Menurut Rosa ( 2009 ) Disebutkan bahwa penderita gangguan jiwa
masih dipandang sebelah mata oleh pemerintah, Sehingga salah satu bentuknya adalah penderita
sering melarikan diri dari tempat tinggalnya atau bahkan mereka sengaja dibuang oleh keluarganya
dan mereka terlantar atau menjadi gelandangan.
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh puspitasari ( 2009 ) dinyatakan bahwa
penderita gangguan jiwa sering mendapat stigma yang negatif dari masyarakat atau lingkungan sosial
yang ada disekitarnya dan juga sering diperlakukan secara tidak manusiawi seperti halnya di olok
olok, perilaku kekerasan atau bahkan dipasung untuk diasingkan. Bentuk perilaku yang seperti inilah
yang sering menimbulkan kekambuhan bagi penderita dengan gangguan jiwa yang sudah sembuh.
Dikaitkan dengan masalah tersebut sudah tentunya keluarga memiliki peran yang sangat penting untuk
mendukung proses peningkatan kualitas kembali dari penderita jiwa baik yang sudah sembuh atau
masih dalam tahap pemulihan. Menurut ( Suryani, 2013 ) setiap tahun, jumlah penderita gangguan jiwa
terus meningkat, baik gangguan jiwa berat maupun ringan. Hal ini terbukti berdasarkan hasil identifikasi
di Rumah Sakit Jiwa Lawang dari kapasitas tempat tidur sebanyak 700 orang rata rata huniannya
mencapai 93% ( Munir, 2013 ). Prevalensi gangguan jiwa tertinggi di Indonesia terdapat di provinsi
Daerah Khusus Ibu kota Jakarta (24,3%), diikuti Nagroe Aceh Darussalam (18,5 %), Sumatera Barat
(17,7 %), NTB (10,9 %), Sumatera Selatan (9,2 %) dan Jawa Tengah (6,8%) (Depkes RI, 2008).
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (2007), menunjukkan bahwa prevalensi gangguan jiwa
secara nasional mencapai 5,6% dari jumlah penduduk, dengan kata lain menunjukkan bahwa pada
setiap 1000 orang penduduk terdapat empat sampai lima orang menderita gangguan jiwa.
( Dikutip dari Hidayati, 2012 )
Gangguan jiwa atau tingkah laku yang abnormal adalah akibat dari keadaan sakit atau
terganggu yang jelas kelihatan berdasarkan gejala klinis yang ditampilkan (Baihaqi,2007). Gangguan
jiwa memberikan dampak kepada kualitas hidup individu yang mengalaminya. Salah satu dampak yang
ditimbulkan adalah dampak fisik, dampak sosial, dan dampak ekonomi atau proktifitas seseorang.
Selain itu dampak dari gangguan jiwa ini berdampak terhadap keluarga atau komunitas yang ada

dilingkungan sekitar. Sehingga perlu pengembangan pelayanan kesehatan khususnya dalam bidang
keperawatan jiwa guna mampu memberikan pelayanan yang efektif. ( WHO, 2013 )
Tingginya prevalensi tersebut menuntut bagaimana peran serta dari tenaga kesehatan untuk
dapat mengurangi dampak yang ditimbulkan.( Ambari, 2010 ). Salah satunya adalah pengambilan
kebijakan. Sebagai petugas kesehatan salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan
berpartisipasi terhadap beberapa program pemerintah yang sudah ditetapkan atau masih dicanangkan.
Berdasarkan undang-undang Nomor 23 Tahun 1966 tentang Kesehatan Jiwa menyatakan bahwa
pasien dengan gangguan jiwa yang terlantar harus mendapatkan perawatan dan pengobatan pada
suatu tempat perawatan dan kesehatan merupakan Hak Asasi Manusia yang harus diwujudkan oleh
bangsa indonesia yang diatur dalam UUD RI 1945. Selain itu dalam Undang Undang No 36 Tahun
2009 menyatakan bahwa kesehatan adalah merupakan kondisi yang sehat secara fisik, mental,
spiritual sehingga dapat lebih produktif khususnya dalam hal sosial dan ekomoni. ( Depkes, 2009 ).
Berdasarkan pemahaman tersebut, didapatkan bahwa kesehatan secara mental merupakan hal
penting yang harus diperhatikan untuk dapat terwujudnya kesehatan secara utuh. Dengan harapan
setiap individu mampu berinteraksi sosial tanpa ada suatu hambatan yang berarti.
Keperawatan diibaratkan sebagai pisau bermata dua, di satu sisi adalah sebagai suatu pohon
ilmu ( Body Of Knowledge ) dan di sisi lain adalah merupakan penerapan dari ilmu pengetahuan yang
sama, melalui praktik keperawatan. ( Sarwoko S, 2010 ). Keunikan disiplin ilmu keperawatan ini
didasarkan pada bentuk pelayanan langsung yang diberikan yang meliputi respon yang nyata terhadap
keluhan atau yang didasarkan kepada kebutuhan dasar manusia, dan bila digolongkan terkait aspek
pelayanan praktik keperawatanyang diberikan terdiri dari aspek respon biologis, psikologis, sosial, dan
spiritual. Dalam memberikan pelayanan keperawatan tentunya tidak serta merta akan berjalan mulus,
melainkan juga ada beberapa ketidak puasan dari berbagai sudut pandang, salah satunya adalah dari
pasien yang merupakan subyek langsung dari tindakan. Untuk mengurangi tersebut bisa dilakukan
pendekatan pendekatan teri keperawatan yang sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai( Jenifer L,
2012 ).
Keperawatan merupakan bentuk pelayanan yang diberikan oleh seorang perawat yang
meliputi aspek kebutuhan dasar manusia yang bersifat holistik. Pelayanan yang diberikan berdasarkan
kepercayaan bahwa perawat akan berbuat hal yang benar, hal yang diperlukan, dan hal yang
menguntungkan pasien dan kesehatannya. Oleh karena manusia dalam interaksi bertingkah laku
berbeda-beda maka diperlukan pedoman untuk mengarahkan bagaimana harus bertindak. Kadangkadang perawat dihadapkan pada situasi yang memerlukan keputusan untuk mengambil tindakan.

Dalam pengambilan keputusan terhadap sesuatu, didalam dunia keperawatan dan khususnya
bagi seorang perawat atau mahasiswa keperawatan sudah tentunya didasarkan kepada sebuah
prinsip etik keperawatan dimana hal ini dianggap sebagai landasan dalam sebuah teori. ( Donny J,
S, 1985 ). Salah satu bentuk pengambilan keputusan adalah pada pasien wanita yang menderita
gangguan jiwa diharuskan suntik KB (Keluarga Berencana). Suntikan KB itu dilakukan sebagai
langkah prefentif untuk menjaga pasien wanita oleh karena masalah kehamilan merupakan episode
dramatis terhadap kondisi biologis, perubahan psikologis dan adaptasi dari seorang wanita yang
pernah mengalaminya. Sebagian besar kaum wanita menganggap bahwa kehamilan adalah
peristiwa kodrati yang harus dilalui tetapi sebagian lagi menganggap sebagai peristiwa khusus yang
sangat menentukan kehidupan selanjutnya. Perubahan kondisi fisik dan emosional yang kompleks
memerlukan adaptasi terhadap penyesuaian pola hidup dengan proses kehamilan yang terjadi.
Konflik antara keinginan prokreasi, kebanggaan yang ditumbuhkan dari norma-norma sosiokultural
dan persoalan dalam kehamilan itu sendiri, dapat merupakan pencetus berbagai reaksi psikologis,
mulai dari reaksi emosional ringan, hingga ketingkat gangguan jiwa yang berat.
Dukungan psikologik dan perhatian akan memberi dampak terhadap pola kehidupan sosial
(keharmonisan, penghargaan, pengorbanan, kasih sayang dan empati). Pada wanita hamil dan dari
aspek teknis dapat mengurangi aspek sumber daya. Berikut ini adalah perubahan yang terjadi
selama kehamila: Trimester Pertama: Sering terjadi fluktuasi lebar aspek emosional sehingga
periode ini mempunyai resiko tinggi untuk terjadinya pertengkaran atau rasa tidak nyaman,
Trimester Kedua: Fluktuasi emosional sudah mulai mereda dan perhatian wanita hamil lebih
terfokus pada berbagai perubahan tubuh yang terjadi selama kehamilan, kehidupan seksual
keluarga dan hubungan batiniah dengan bayi yang dikandungnya, Trimester Ketiga: Berkaitan
dengan banyaknya resikokehamilan dan proses persalinan sehingga wanita hamil sangat emosional
dalam upaya mempersiapkan atau mewaspadai segala sesuatu yang mungkin akan dihadapi.
Ironisnya ketika tenaga kesehatan melakukan tindakan tersebut tidak pernah melakuakn
persetujuan dengan penderita. Padahal alat kontrasepsi yang dipakai ini juga memiliki beberapa
efek samping yang tidak diinginkan, yang berpengaruh pada pemakainya. Salah satu efek samping
yang dianggap paling berbahaya adalah gangguan pada sistem kardiovaskuler, dimana dapat
menimbulkan penyakit jantung koroner. Dari data-data yang ada, pada awalnya menyebutkan,
bahwa peningkatan resiko kematian diantara wanita yang pernah memakai pil kontrasepsi, terutama
disebabkan adanya gangguan pembuluh darah pada para pemakai yang usianya lebih tua dan
mempunyai kebiasaan merokok.

Sedangkan laporan yang lebih baru menyebutkan, setelah

dilakukan penelusuran lebih dari 25 tahun, diketahui bahwa efek pil kontrasepsi yang paling
meningkatkan mortalitas terjadi pada pemakai baru dan yang sedang menggunakan. Efek ini
menetap dalam jangka 10 tahun setelah penghentian pemakaian. Faktor risiko lain yang dapat
memicu timbulnya penyakit jantung koroner adalah abnormalitas dari tes glukosa darah . Seperti
diketahui, pemakaian pil kontrasepsi juga dapat meningkatkan kadar glukosa darah pada
pemakainya, sehingga pada peserta KB yang memakai kontasepsi dalam bentuk pil, resiko
terjadinya penyakit kardiovaskuler ini akan menjadi semakin lebih besar (4, 9)
Efek pemakaian kontrasepsi oral terhadap metabolisme karbohidrat ini diperkirakan oleh
karena komponen estrogen pada preparat kontrasepsi oral tersebut Namun, penelitian selanjutnya
menunjukkan bahwa gangguan estrogen terhadap metabolisme karbohidrat adalah kecil.
Pernyataan ini juga ditunjang oleh penelitian yang dilakukan Berenson dan kawan-kawan , para
sarjana tersebut meneliti preparat ethinyl estradiol and desogestrel, yang ternyata juga memberikan
dampak kepada metabolisme karbohidrat, walaupun gangguan tersebut secara klinis tidak
bermakna Selain itu, penelitian tentang efek norgestimate dan desogestrel yang dikombinasi
dengan 25 g ethinyl estradiol (EE), ternyata hasilnya tidak menunjukkan perbedaan dengan kedua
penelitian tersebut diatas (12).Saat ini banyak dilakukan penelitian dengan menggunakan
kontrasepsi oral tiga fase. Nampaknya kontrasepsi oral jenis ini hanya memberikan efek yang
minimal pada metabolisme karbohidrat, dan bahkan tidak menunjukkan efek yang berarti pada
pemakainya. Efek itu tergantung pada macam kontrasepsi oral yang dipakai, serta ada atau tidak
adanya latar belakang risiko timbulnya penyakit-penyakit tersebut.

REFERENSI

Depkes RI. Pedoman Kerja Puskesmas jilid II. Direktorat Pembinaan, Kesehatan
Masyarakat, Jakarta, 1997Marion, H., & Gero, L. (2013). WHO Definition of health
must be enforced by national law a debate. BMC Medical Ethics(2013), 14.
Kebijakan Dasar Puskesmas Nomor 128/MENKES/SK/II/2004
Keliat, Budi Anna, dkk, 2011, Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas CMHM (basic
course). Jakarta: EGC
Keliat, Budi Anna, dkk, 2011, Manajemen Keperawatan Desa Siaga CMHM (basic course).
Jakarta: EGC
Keliat, Budi Anna, dkk, 2011, Manajemen Keperawatan Desa Siaga CMHM (intermediet
course). Jakarta: EGC
Keputusan

Menteri

Kesehatan

RI

Nomor

1688/Menkes/SK/VIII/2011

TENTANG

PEMBENTUKAN PANITIA PENYELENGGARA PERINGATAN HARI KESEHATAN


JIWA SEDUNIA TAHUN 2011Mayang, A. P. K. (2010). Keberfungsian Sosial Pada
Pasien Skizofrenia Pasca Perawatan Di Rumah Sakit
Muhammad, S. (201). Peran Keluarga Terhadap Proses Penyembuhan Pasien Gangguan
Jiwa. Universitas Muhammadiyah.Admin, RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang,
2013 , Tarif Pelayanan Rawat Inap Psikiatri, http://rsjlawang.com/tarif_rain.html,
Diakses pada 23-9-2013 Pukul 15.30 WIB
Nurhamid.K, 2011, Makalah Konferensi Nasional Kesehatan Jiwa I. http://peran-sertakomunitas-dalam-pelayanan_07.html. Diakses pada 23-9-2013 Pukul 15.00 WIB
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 59/MENKES/PER/XII/2012
Tentang Petunjuk Teknis Bantuan Operasional Kesehatan
Unpublished Thesis. Universitas Diponegoro
Yip, Kam-shing. 2006, Community Mental Health in the Peoples Republic of China: A Critical
Analysis. Community Mental Health Journal, Vol. 42, No. 1, February 2006 DOI:
10.1007/s10597-005-9003-x

Anda mungkin juga menyukai