Anda di halaman 1dari 10

Sindrom Stevens-Johnson

Elike Oktorindah Pamilangan


102013412
C1
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara No.6 Kebon Jeruk, Jakarta
elikeoktorindah@gmail.com

Pendahuluan
Sindrom Stevens-Johnson (SSJ) merupakan sindrom yang mengenai kulit, selaput lender di
orifisium, dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari ringan sampai berat; kelainan pada
kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat disertai purpura.1
Berbagai sinonim dipakai untuk penyakit ini, di antaranya eritema multiforme mayor, namun
yang lazim ialah sindrom Stevens-Johnson (SSJ).1

Skenario 14
Anak laki-laki 13 tahun dirawat di RS dengan keluhan melepuh pada kedua lengan, badan atas,
bokong, dan kedua paha setelah minum obat sejak 2 hari yang lalu.

Anamnesis
Anamnesis mempunyai peranan yang sangat penting dalam menegakkan diagnosa penyakit.
Anamnesis diperoleh dari hasil wawancara antara dokter dengan penderita atau keluarga
penderita yang mengetahui keadaan pasien secara keseluruhan. Seorang dokter harus menguasai
cara melakukan anamnesis yang baik sehingga dapat mengarahkan dan menganalisis jawabanjawaban pasien untuk memperoleh suatu kesimpulan yang merupakan penegakkan diagnosis dari

sindrom Stevens-Johnson. Anamnesis yang dilakukan meliputi keluhan utama, riwayat penyakit
yang sedang dan pernah diderita baik penyakit umum, riwayat penyakit keluarga, riwayat
menggunakan obat secara sistemik, serta riwayat timbulnya erupsi kulit.1, 2

Pemeriksaan
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan klinis dapat dilakukan baik ekstra oral maupun intra oral. Ada beberapa hal penting
dalam pemeriksaan klinis yang dapat dijadikan bahan acuan dalam mendiagnosis sindrom
Stevens-Johnson, yaitu:
1. Diawali oleh penyakit peradangan akut yang disertai gejala prodormal berupa demam,
malaise, nyeri dada, diare, muntah dan artralgia.
2. Tiga gejala yang khas yaitu kelainan pada mulut berupa stomatitis, kelainan pada mata
berupa konjungtivitis, kelainan pada genital berupa balanitis dan vulvovaginitis.
3. Keadaan umum bervariasi dari baik sampai buruk dan kesadaran penderita mulai dari
sopor bahkan menurun sampai koma.
4. Berhubungan dengan reaksi alergi terhadap obat tertentu secara sistemik, imunologi, atau
kombinasinya.
5. Manifestasi oral biasanya timbul setelah erupsi kulit, tetapi ada kalanya timbul
mendahului erupsi kulit.
6. Pada lesi kulit terdapat makula, vesikel atau bula, dapat disertai purpura yang tersebar
luas pada tubuh.
7. Terdapat pengelupasan epidermis seluas kurang dari 10% area permukaan tubuh.3

Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium
a. Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang dapat membantu dokter dalam diagnose selain
pemeriksaan biopsy.
b. Pemeriksaan darah lengkap dapat menunjukkan kadar sel darah putih yang normal atau
leukositosis non spesifik, penurunan tajam kadar sel darah putih dapat mengindikasikan
kemungkinan infeksi bacterial berat.
c. Imunofluoresensi banyak membantu membedakan sindrom Steven Johnson dengan
panyakit kulit dengan lepuh subepidermal lainnya.
d. Menentukan fungsi ginjal dan mengevaluasi adanya darah dalam urin.
e. Pemeriksaan elektrolit.
f. Kultur darah, urine, dan luka, diindikasikan ketika dicurigai terjadi infeksi.

g. Pemeriksaan bronchoscopy, esophagogastro duodenoscopy (EGD), dan kolonoskopi


dapat dilakukan.
2. Imaging studies:
a. Chest radiography untuk mengindikasikan adanya pneumonitis.
3. Pemeriksaan histopatologi dan imunohistokimia dapat mendukung ditegakkannya diagnosis. 2,
3

Diagnosis Kerja
Sindrom Stevens-Johnson adalah penyakit akut dan berat, terdiri dari erupsi kulit,
kelainan mukosa dan lesi pada mata. Sindrom Stevens-Johnson atau eritema multiformis mayor
adalah variasi eritema multiformis mukokutan yang lebih parah dengan ditandai keterlibatan
membran mukosa.3
Sindrom Stevens-Johnson adalah bentuk penyakit mukokutan dengan tanda dan gejala
sistemik yang dari ringan sampai berat berupa lesi target dengan bentuk yang tidak teratur,
disertai makula, vesikel, bula dan purpura yang tersebar luas terutama pada rangka tubuh, terjadi
pengelupasan epidermis kurang lebih 10 % dari area permukaan tubuh, serta melibatkan lebih
dari satu membran mukosa. Kasus dengan pengelupasan epidermis antara 10% sampai dengan
30% disebut dengan overlap Stevens-Johnson Syndrome-Toxic Epidermal Necrolysis (SJS-TEN),
sedangkan kasus dengan pengelupasan epidermis lebih dari 30% disebut Toxic Epidermal
Necrolysis (TEN).3

Diagnosis Banding
Diagnosis SSJ tidak sulit karena gambaran klinisnya khas yakni terdapat trias kelainan seperti
yang telah disebutkan. Karena NET dianggap sebagai bentuk parah SSJ, maka hendaknya dicari
apakah terdapat epidermolisis. Umumnya pasien berbaring, jadi diperiksa punggungnya. Apabila
terdapat epidermolisis, maka diagnosisnya menjadi NET. Pada NET keadaan umumnya lebih
buruk daripada SSJ.1

Sebagai diagnosis banding ialah NET. Penyakit ini sangat mirip SSJ. Pada NET terdapat
epidermolisis generalisata yang tidak terdapat pada SSJ. Perbedaan lain biasanya keadaan umum
pada NET lebih buruk.1

Etiologi
Penyebab utama ialah alergi obat, lebih dari 50%. Sebagian kecil karena infeksi, vaksinasi,
penyakit graft-versus-host, neoplasma, dan radiasi. Pada penelitian Adhi Djuanda selama 5 tahun
(1998-2002) SSJ yang diduga alergi obat tersering ialah analgetik/antipiretik (45%), disusul
karbamazepin (20%) dan jamu (13,3%). Sebagian besar jamu dibubuhi obat. Kausa yang lain
amoksisilin, kotrimoksasol, dilantin, klorokuin, seftriakson, dan adiktif.1
Beberapa faktor penyebab timbulnya SSJ diantaranya: infeksi (virus herpes simplex, dan
Mycoplasma pneumoniae), makanan (coklat), dan vaksinasi. Faktor fisik (udara dingin, sinar
matahari, sinar X) rupanya berperan sebagai pencetus (trigger). Patogenesis SSJ sampai saat
ini belum jelas walaupun sering dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe III dan IV. Oleh
karena proses hipersensitifitas, maka terjadi kerusakan kulit sehingga terjadi: 1) kegagalan fungsi
kulit yang menyebabkan kehilangan cairan, 2) stres hormonal diikuti peningkatan resistensi
terhadap insulin, hiperglikemia dan glukosuria, 3) kegagalan termoregulasi, 4) kegagalan fungsi
imun, dan 5) infeksi.3, 4

Patogenesis
Penyakit ini sama dengan NET disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas tipe II (sitolitik) menurut
klasifikasi Coomb dan Gel. Gambaran klinis atau gejala reaksi tersebut bergantung kepada sel
sasaran (target cell). Sasaran utama SSJ dan NET ialah pada kulit berupa destruksi keratinosit.
Pada alergi obat akan terjadi aktivitas sel T, termasuk CD4 dan CD8. IL-5 meningkat, juga
sitokin-sitokin yang lain. CD4 terutama terdapat di dermis, sedangkan CD8 pada epidermis.

Keratinosit epidermal mengekspresi ICAM-1, ICAM-2, dan MHC II. Sel Langerhans tidak ada
atau sedikit. TNF di epidermis meningkat.1
Perjalanan penyakit termasuk keluhan utama dan keluhan tambahan yang dapat berupa didahului
panas tinggi, dan nyeri kontiniu. Erupsi timbul mendadak, gejala bermula di mukosa mulut
berupa lesi bulosa atau erosi, eritema, disusul mukosa mata, genitalia sehingga terbentuk trias
(stomatitis, konjunctivitis, dan uretritis). Gejala prodormal tidak spesifik, dapat berlangsung
hingga 2 minggu. Keadaan ini dapat menyembuh dalam 3-4 minggu tanpa sisa, beberapa
penderita mengalami kerusakan mata permanen. Kelainan pada selaput lendir, mulut dan bibir
selalu ditemukan. Dapat meluas ke faring sehingga pada kasus yang berat penderita tak dapat
makan dan minum. Pada bibir sering dijumpai krusta hemoragik.5, 6

Epidemiologi
Insiden SSJ dan nekrolisis epidermal toksik (NET) diperkirakan 2-3% per juta populasi setiap
tahun di Eropa dan Amerika Serikat. Umumnya terdapat pada dewasa. Hal tersebut berhubungan
dengan kausa SSJ yang biasanya disebabkan oleh alergi obat. Pada dewasa iminitas telah
berkembang dan belum menurun seperti pada usia lanjut.1

Gejala klinis
Sindrom ini jarang dijumpai pada usia 3 tahun ke bawah karena imunitas belum begitu
berkembang. Keadaan umumnya bervariasi dari ringan sampai berat. Pada yang berat
kesadarannya menurun, pasien dapat soporous sampai koma. Mulainya penyakit akut dapat
disertai gejala prodromal berupa demam tinggi, malese, nyeri kepala, batuk, pilek, dan nyeri
tenggorokan.1
Pada SSJ ini terlihat trias kelainan berupa: kelainan kulit, kelainan selaput lender di orifisium,
dan kelainan mata.1
a. Kelainan kulit

Kelainan kulit terdiri atas eritema, vesikel, dan bula. Vesikel dan bula kemudian
memecah sehingga terjadi erosi yang luas. Di samping itu dapat juga terjadi purpura.
Pada bentuk yang berat kelainannya generalisata.
b. Kelainan selaput lender di orifisium
Kelainan selaput lender yang tersering ialah pada mukosa mulut (100%), kemudian
sisusul oleh kelainan di lubang alat genital (50%), sedangkan di lubang hidung dan anus
jarang (masing-masing 8% dan 4%).
Kelainannya berupa vesikel dan bula yang cepat memecah hingga menjadi erosi dan
ekskoriasi dan krusta kehitaman. Di mukosa mulut juga dapat terbentuk pseudomembran.
Di bibir kelainan yang tersering tampak ialah krusta berwarna hitam yang tebal.
Lesi di mukosa mulut dapat juga terdapat di faring, traktus respiratorius bagian atas, dan
esofagus. Stomatitis dapat menyebabkan pasien sukar/tidak dapat menelan. Adanya
pseudomembran di faring dapat menyebabkan keluhan sukar bernapas.
c. Kelainan mata
Kelainan mata, merupakan 80% di antara semua kasus; yang tersering ialah
konjungtivitis kataralis. Selain itu juga dapat berupa konjungtivitis kataralis. Selain itu
juga dapat berupa konjungtivitis purulen, perdarahan, simblefaron, ulkus kornea, iritis,
dan iridosiklitis.1
Di samping trias kelainan tersebut dapat pula terdapat kelainan lain, misalnya: nefritis dan
onikolisis.1

Penatalaksanaan
A. Medika Mentosa
Tindakan pertama adalah menghentikan pemakaian obat yang dicurigai. Bila pada saat itu pasien
memakai bermacam-macam obat, kalau mungkin semuanya dihentikan. Tetapi bila tidak
mungkin berikan obat yang esensial saja dan diketahui paling kecil kemungkinannya

menimbulkan reaksi alergi. Dapat juga diberikan obat lain yang rumus imunokimianya
berlainan.7
Pengobatan yang diberikan antara lain:
1. Kortikosteroid (KS)
Pemberian pengobatan dengan kortikosteroid merupakan tindakan life-saving. Jenis KS
yang biasa digunakan adalah deksametason dengan dosis 20-30 mg/hari secra intravena.
Dosis ini diberikan sampai tidak muncul lesi baru. Penurunan dosis dilakukan secara
cepat yaitu 5 mg/hari. Setelah dosis mencapai 5 mg/hari, maka pengobatan dilanjutkan
dengan pemberian prednisone 20 mg/hari secara oral. Setelah itu, dosis prednisone
diturunkan secara bertahap, lalu dihentikan.
2. Antibiotika (AB)
Pemberian

antibiotik

untuk

mencegah

terjadinya

infeksi

sekunder

seperti

bronkopneumonia. Ini dapat terjadi karena imunitas pasien yang menurun akibat
pemberian KS dosis tinggi. Antibiotika yang digunakan adalah AB yang jarang
menimbulkan alergi, berspektrum luas dan bersifat bakterisidal, seperti:
a. Gentamisi : 2 x 60 mg/hari, secara i.v
b. Sefotaksim : 3 x 1 g/hari secara i.v, dibagi dalam 3-4 hari pemberian
c. Pemberian AB dihentikan bila dosis deksametason telah mencapa 5 mg/hari dan tidak
terdapat tanda-tanda infeksi.
3. Infus dengan caitan dekstrosa 5%, NaCl 0,9% dan laktat Ringer berbanding 1:1:1 dalam
labu yang diberikan 8 jam sekali. Tujuan pemberian infus:
a. Mengatur dan mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit
b. Pemberian nutrisi dan obat
4. Pengobatan topikal
Pasien dimandikan dengan permanganat kalium 1:10.000. Lesi pada mulut dapat
diberikan kenalog in orabase dan betadine gargle. Untuk bibir yang biasanya kelainannya
berupa krusta tebal kehitaman dapat diberikan emolien misalnya krim urea 10%.1
B. Non-Medika Mentosa

Untuk mengurangi efek samping kortikosteroid diberikan diet rendah garam dan tinggi
protein, karena kortikosteroid bersifat katabolik. Kalau diperlukan dapat diberikan tranfusi
darah.1

Pencegahan
Sebagian besar kasus sindrom Steven-Johnson dipicu oleh penggunan obat, karena itu
langkah pencegahan adalah dengan penggunaan obat yang rasional. Penggunaan obat yang
rasional meliputi upaya untuk menggunakan obat sesuai indikasi, dosis, jangka waktu, dan biaya
termurah bagi pasien dan lingkungan.3
Obat tetaplah bahan kimia yang dapat menimbulkan efek yang tidak diinginkan dari yang
ringan sampai berat. Karena pemakaian obat walaupun sesuai dosis tetap dapat menimbulkan
efek yang tidak diinginkan maka harus bijaksana dalam pemakaian obat. Pastikan benar-benar
bahwa anda memerlukan obat dalam tatalaksana keadaannya, dan bila meminum obat pastikan
membaca petunjuk dalam kemasan obat, observasi tanda-tanda yang muncul setelah meminum
obat.3
Jangan minum obat bila tidak sesuai indikasi. Selalu tanyakan diagnosis penyakit, periksa
kembali apakah memang obat yang dikonsumsi sudah sesuai indikasi penyakit yang diderita.
Cara-cara ini untuk menghindari dari efek yang tidak diinginkan dari obat yang diminum.
Mencegah lebih baik dari mengobati.3

Komplikasi
Komplikasi yang tersering ialah bronkopneumonia, yang didapati sekitar 16% di antara seluruh
kasus yang datang berobat. Komplikasi yang lain ialah kehilangan cairan/darah, gangguan
keseimbangan elektrolit, dan syok. Pada mata dapat terjadi kebutaan karena gangguan lakrimasi.1

Prognosis

Kalau kita bertindak tepat dan cepat, maka prognosis cukup memuaskan. Bila terdapat purpura
yang luas dan leukopenia prognosisnya lebih buruk. Pada keadaan umum yang buruk dan
terdapat bronkopneumonia penyakit ini dapat mendatangkan kematian.1

Kesimpulan
Sindrom Stevens-Johnson (SSJ) kebanyakan disebabkan oleh alergi obat. Kelainan pada kulit
biasaanya berupa eritema, vesikel/bula, tetapi dapat disertai purpura. Kalau sudah terdapat
purpura sulit untuk menyembuhkan pasien ini. Jadi sebaiknya sebelum membeli atau meminum
obat, lihat petunjuknya lalu lihat kandungan didalamnya.

Daftar Pustaka
1. Hamzah M. Sindrom Stevens-Johnson. In: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 3rd edition.
Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2007. p:163-5
2. Adithan C. Stevens-Johnson Syndrome. In: Drug Alert. Volume 2. Issue 1. Departement of
Pharmacology. JIPMER. India. 2006. Access on: April 19th, 2013. Available at:
www.jipmer.edu
3. Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Erupsi Alergi Obat. In: Kapita
Selekta Kedokteran. Volume 2. 3rd edition. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Media Aesculapius. Jakarta. 2002. p:133-9
4. Carroll MC, Yueng-Yue KA, Esterly NB. Drug-induced hypersensitivity syndrome in
pediatric patients. Pediatrics 2001; 108 : 485-92.
5. Ilyas, S. Sindrom Steven Johnson. In Ilmu Penyakit Mata. 3 rd edition. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta. 2004. p:135-6.
6. Siregar, R.S. Sindrom Stevens Johnson. In : Saripati Penyakit Kulit. 2 nd edition. EGC.
Jakarta. 2004. p:141-2.

7. Djauzi S, Sundaru H, Mahdi D, Sukmana N. Alergi obat. In: Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 1.

5th edition. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Internal Publishing.
Jakarta. 2009. p: 390.

Anda mungkin juga menyukai