Anda di halaman 1dari 19

Film Dokumenter

Ditulis oleh Kusen Dony Herm... - Ditayangkan pada 27 Agustus 2009


Banyak perdebatan tentang film, terutama dokumenter. Perdebatan itu masih di sekitar wilayah
pemahaman dasar, padahal di negeri-negeri tempat dokumenter itu berasal seperti Perancis,
Russia, Inggris dan lain sebagainya, para pembuat dan teoritikusnya bahkan hampir tidak lagi
berbincang tentang masalah realitas dan fakta, namun sudah lebih dari itu.
Satu dekade belakangan fenomena pembuatan film menjadi menguat terutama dikarenakan
adanya lompatan teknologi video yang harganya menjadi sangat terjangkau. Sudah tidak aneh
bila tiba-tiba saja ada orang yang mengaku sutradara, padahal di masa lalu hal seperti itu
sangatlah sulit diraih. Perkembangan teknologi ini juga kemudian menjadikan film tidak lagi
ekslusif, sehingga memungkinkan setiap orang yang bisa mengaksesnya untuk membuat film.
Sayangnya hal tersebut tidak dibarengi dengan pemahaman yang baik tentang produksi film itu
sendiri, bahkan pengadopsian istilah-istilah dari dunia perfilman di barat (Amerika Serikat)
menjadi sangat arbitrer. Contohnya saja ketika salah seorang pembuat film menggunakan istilah
independen, maka hampir semua orang yang berhubungan dengan film menerjemahkannya
dengan seenak pikirnya. Beberapa diskusi bahkan tidak mengetahui darimana istilah independen
berasal, sampai-sampai ada yang menggunakan kata indische untuk mencari kata itu. Padahal
kalau benar-benar membaca sejarah film terutama di Amerika Serikat, istilah itu tidak sulit untuk
ditemukan bahkan sampai ke sejarahnya.
Kembali lagi pada pemahaman dasar produksi film, banyak pembuat film hanya tahu bahwa
kalau membuat film itu ambil kamera, shoot dan masuk editing. Dalam dunia dokumenter sendiri
bila mau shooting yang mereka lakukan adalah mendatangi narasumber dan wawancara. Setelah
itu mereka tinggal mengambil gambar sekedarnya untuk disesuaikan dengan isi wawancaranya.
Sekarang ini bisa dilihat, banyak dari para pembuat dokumenter itu tidak lagi memahami
tentang;
Bagaimana cara bercerita yang baik?
Bagaimana merencanakan film dokumenter?
Apa mise en scene yang harus direkam?
Apakah suara penting dalam dokumenter?
Namun sebelum lebih jauh masuk ke permasalahan tersebut, maka ada baiknya kita melihat dulu
apa definisi dokumenter, sehingga dapat dengan memudahkan atau membantu bagi yang ingin
memulainya.
Definisi Film Dokumenter

Ditulis oleh Kusen Dony Herm... - Ditayangkan pada 27 Agustus 2009

Sesungguhnya kata ini muncul dari tulisan John Grierson ketika menanggapi film-film karya
Robert Flaherty, terutama sekali Nanook of the North. Film yang berdurasi kurang lebih 1,5 jam
itu tidak lagi mendongeng ala Hollywood. Grierson kemudian menyampaikan pandangannya
bahwa apa yang dilakukan oleh Flaherty tersebut merupakan sebuah perlakuan kreatif terhadap
kejadian-kejadian actual yang ada (the creative treatment of actuality).
Walaupun definisi ini bertahan cukup lama, kemudian bermunculanlah orang-orang yang
mencoba mendefinisikan dengan caranya masing-masing (arbitrer) seperti yang coba
dikumpulkan berikut ini :
1. Paul Rotha :
Definisi Dokumenter bukan merujuk pada subyek atau sebuah gaya, namun dokumenter adalah
sebuah pendekatan. Pendekatan dalam dokumenter dalam film berbeda dari film cerita. Bukan
karena tidak dipedulikannya aspek kriya / kerajianan (craftsmanship) dalam pembuatannya,
tetapi dengan sengaja justru memperlihatkan bagaimana kriya tersebut digunakan.
2. Paul Wells :
Teks Non-Fiksi yang menggunakan footagefootage yang aktual, di mana termasuk di dalamnya
perekaman langsung dari peristiwa yang akan disajikan dan materi-materi riset yang
berhubungan dengan peristiwa itu, misalnya hasil wawancara, statistik, dlsb. Teks-teks seperti ini
biasanya disuguhkan dari sudut pandang tertentu dan memusatkan perhatiannya pada sebuah isuisu sosial tertentu yang sangat memungkinkan untuk dapat menarik perhatian penontonnya.
4. Steve Blandford, Barry Keith Grant dan Jim Hillier :
Pembuatan film yang subyeknya adalah masyarakat, peristiwa atau suatu situasi yang benarbenar terjadi di dunia realita dan di luar dunia sinema.
(The Film Studies Dictionary, halaman 73).
5. Frank Beaver :
Sebuah film non-fiksi. Film Dokumenter biasanya di-shoot di sebuah lokasi nyata, tidak
menggunakan actor dan temanya terfokus pada subyeksubyek seperti sejarah, ilmu
pengetahuan, social atau lingkungan. Tujuan dasarnya adalah untuk memberi pencerahan,
member informasi, pendidikan, melakukan persuasi dan memberikan wawasan tentang dunia
yang kita tinggali.
(Dictionary of Film Terms, halaman 119)

6. Louis Giannetti :
Tidak seperti kebanyakan film-film fiksi, dokumenter berurusan dengan fakta-fakta, seperti
manusia, tempat dan peristiwa serta tidak dibuat . Para pembuat film dokumenter percaya
mereka menciptakan dunia di dalam filmnya seperti apa adanya.
(Understanding Movies , Edisi Ke-7, halaman 339)
7. Timothy Corrigan :
Sebuah film non-fiksi tentang masyarakat dan peristiwanya, seringkali mengabaikan struktur
naratif yang tradisional.
(A Short Guide to Writing About Film, Edisi Ke-4, halaman 206).
8. Michael Rabinger :
Dokumenter harusnya dibuat dengan hati dan bukan hanya dengan pikiran kita saja. Film
dokumenter ada untuk mengubah cara kita merasakan sesuatu.
9. Ralph S. Singleton and James A. Conrad :
Film dari sebuah peristiwa yang aktual. Peristiwa-peristiwa tersebut didokumentasikan dengan
menggunakan orang-orang biasa dan bukan actor.
(Filmmakers Dictionary, Edisi Ke-2, halaman 94)
10. Edmund F. Penney :
Suatu jenis film yang melakukan interpretasi terhadap subyek dan latar belakang yang nyata.
Terkadang istilah ini digunakan secara luas untuk memperlihatkan aspek realistiknya
dibandingkan pada film-film cerita konvensional. Namun istilah ini juga telah menjadi sempit
karena seringkali hanya menyajikan rangkaian gambar dengan narasi dan soundtrack dari
kehidupan nyata.
(Facts on File Film and Broadcast Terms, halaman 73).
11. James Monaco :
Istilah dengan makna yang sangat luas, secara mendasar digunakan untuk merujuk pada film atau
program televisi yang tidak seluruhnya fiktif saat menyajikan alam.

(The Dictionary of New Media, halaman 94)


12. Ira Konigsberg :
Sebuah film yang berkaitan langsung dengan suatu fakta dan non-fiksi yang berusaha untuk
menyampaikan kenyataan dan bukan sebuah kenyataan yang direkayasa. Film-film seperti ini
peduli terhadap perilaku masyarakat, suatu tempat atau suatu aktivitas.
(The Complete Film Dictionary, Edisi Ke-2, halaman 103).
13. Gerald Mast dan Bruce F. Kawin
Sebuah film non-fiksi yang menata unsur-unsur faktual dan menyajikannya, dengan tujuan
tertentu.
(A Short History of the Movies, Edisi Ke-7, halaman 64).
14. David Bordwell dan Kristin Thompson
Justru yang menarik adalah apa yang dikatakan oleh David Bordwell dan Kristin
Thompson dalam Film Art: An Introduction, Edisi Ke-5. Menurutnya bahwa inti dari film
dokumenter adalah untuk menyajikan informasi yang faktual tentang dunia di luar film itu
sendiri. Bedanya dengan fiksi adalah dalam pembuatannya tidak ada rekayasa baik dari tokohnya
(manusia), ruang (tempat), waktu dan juga peristiwanya.
15. Misbach Yusabiran
Misbach Yusabiran melalui Penulis Skenario, Armantono pernah mengatakan bahwa dokumenter
adalah suatu dokumentasi yang diolah secara kreatif dan bertujuan untuk mempengaruhi (mempersuasi) penontonnya. Dengan definisi ini, film dokumenter seringkali menjadi sangat dekat
dengan film-film yang bernuansa propaganda.
Perihal Dokumenter

Ditulis oleh Kusen Dony Herm... - Ditayangkan pada 24 September 2010


A. MENYAMPAIKAN KEBENARAN
Sampai hari ini, masih banyak yang percaya bahwa film dokumenter berfungsi untuk
menyampaikan dan menampilkan kebenaran dalam kehidupan manusia, sehingga pembuat film
dokumenter dengan sekuat tenaga akan menggunakan seluruh sumber daya dan sarana yang ada
untuk mewujudkannya. Tentu saja apa yang disajikan oleh para pembuat film dokumenter

adalah footage dari masa kini ataupun masa lalu untuk mengeksplorasi subjek tertentu, termasuk
peristiwa sejarah dan peristiwa kekinian, juga fenomena alam, profil pesohor, senibudaya serta
segala macam tema yang bisa dibayangkan.
B. GAYA DAN SUDUT PANDANG (POINT OF VIEW)
Film dokumenter secara signifikan akan selalu dibuat bervariasi terutama dalam aspek gaya dan
sudut pandangnya. Film dokumenter yang dibuat secara konvensional, seperti In Search of
Mozart, selalu menggunakan footage (gambar bergerak) dan foto (gambar diam) untuk
mengantarkan penonton masuk ke dalam subjeknya, yang dalam kasus ini adalah kehidupan dan
dunia musik Wolfgang Amadeus Mozart ketika muda.
Pada spektrum gaya yang lain, film dokumenter juga dibuat dengan pendekatan eksperimental,
contohnya dalam film Mayhem (1987) karya Abigail Child, di mana ekspresi pribadi sangatlah
kuat dengan menggunakan jukstaposisi gambar yang tak terduga.
Para pembuat film dokumenter panjang seperti Michael Moore dalam film Sicko (2007) juga
mengugunakan teknik jukstaposisi gambar dalam mengkonstruksi ceritanya, sedangkan Michael
Winterbottom dan Mat Whitecross dalam film Road To Guantanamo (2006) justru menggunakan
pendekatan fiksi (semi dokumenter) untuk menceritakan apa terjadi di sana ketika footage
aslinya tidak tersedia.
C. PROPAGANDA YANG KUAT
Film dokumenter yang kuat dapat mempengaruhi kehidupan sosial dan politik suatu masyarakat.
Dengan sangat halus, sutradara biasanya memiliki sudut pandang yang akhirnya menyatu dengan
nilai propaganda terhadap permasalahan yang disampaikannya. Oleh karena itu penonton harus
peka terhadap kemungkinan adanya bias itu.
Contoh itu ada dalam dokumenter klasik, Triumph of the Will (1935) karya Leni Reifenstahl yang
saat itu menjadi tangan kanan Adolf Hitler dalam urusan media film. Di sisi lain, Amy Berg
nominasi piala Oscar dalam Deliver Us From Evil (2006), yang membeberkan pelecehan anak
oleh rohaniwan Katolik di Los Angeles yang menyebabkan Keuskupan Agung Los Angeles
menawarkan $ 660 juta kepada korban pelecehan untuk penyelesaian kasus tersebut baru-baru
ini.
D. KONFLIK KEPENTINGAN (CONFLICT OF INTEREST)
Saat menonton film dokumenter dengan kemungkinan biasnya sudut pandang sutradara, maka
salah satu kesadaran yang perlu diangkat adalah sumber pendanaan pembuatan film tersebut.
Misalnya ketika perusahaan rokok membiayai film yang menunjukkan rokok sebagai gaya hidup
ataupun ketika The Dixie Chicks merekrut Barbara Kopple menyutradari Shut Up & Sing

(2006) yang menceritakan kembalinya mereka ke tengah panggung, di mana mereka mengkritisi
Perang Irak yang dilancarkan George Walker Bush. Dikarenakan film ini menceritakan mereka
yang masuk ke industri musik kembali, maka membuat informasi dan pesan film tentang Perang
Irak seperti kurang dipercaya.
E. ETIKA DAN AKUNTABILITAS
Konflik kepentingan dan adanya kredibilitas yang dipertanyakan bukan satu-satunya standar
yang dipertimbangkan dalam film dokumenter. Unsur lain yang dipertimbangkan oleh pembuat
film adalah digunakannya subjek hidup dan merekamnya dengan akurasi tinggi. Dalam Tooties
Last Suit (2006), Lisa Katzman mengikuti Mardi Gras India untuk menentukan kostum siapa
yang paling bagus. Film ini mengungkap persaingan antara Tootie dan putranya di mana kedua
subjek tersebut merasa merana saat menonton, tapi sang sutradara tidak bisa disalahkan karena
mengkhianati kepercayaan mereka.
F. EVOLUSI PEMBUATAN FILM DOKUMENTER
Pembuatan film dokumenter telah berkembang selama puluhan tahun. Film awal seperti Nanook
of the North (1930) karya Robert Flaherty saat itu memerlukan peralatan canggih untuk membuat
gambar menarik tetapi tidak sempurna. Teknologi digital saat ini memungkinkan para pembuat
film professional dan amatir menggunakan cara gerilya (seperti hanya perekaman yang dapat
mengungkapkan kebenaran tentang berbagai hal namun mereka sedang difilmkan tidak
menyadarinya).
G. SEKARANG SUDAH LEBIH POPULER
Film dokumenter menjadi semakin populer di masyarakat karena teknologinya membuat mereka
bisa menjangkau untuk masuk profesi tersebut. Penonton juga cenderung lebih percaya dan
tertarik terhadap sumber informasi para pembuat film pemula tersebut, dibandingkan dengan
film yang diproduksi oleh lembaga mainstream di mana informasinya sering dipotongpotong
untuk kepentingan berita mereka daripada untuk kepentingan substansi ceritanya.
NB : Tulisan ini merupakan terjemahan bebas dari sebuah situs di internet yang saya sudah lupa,
mohon maaf bagi yang situsnya diterjemahkan. Ini hanya untuk berbagi.
sumber: http://saungsinema.wordpress.com
Membedakan Film Dokumenter

Ditulis oleh Kusen Dony Herm... - Ditayangkan pada 24 September 2010


Bagaimana membedakan film dokumenter dengan film atau tayangan audio-visual yang lain di
mana tayangan tersebut dianggap mirip atau bahkan dianggap sama. Misalnya beda dokumenter
dengan film dokumentasi dan jurnalistik televisi.

Banyak orang ketika mengucapkan sebuah pernyataan,film kamu ini dokumentasi, bukan
dokumenter! Lalu ketika ditanya perbedaannya, mereka clegukan tidak bisa menjelaskan.
1. Persamaan
Persamaan antara dokumenter, dokumentasi dan jurnalistik televisi adalah objeknya. Artinya
bahwa apa yang menjadi pembahasan, perekaman dan pengamatannya adalah segala macam hal
yang bersifat faktual dan juga aktual.
2. Perbedaan
a. Film Dokumentasi adalah sebuah perekaman gambar dan suara yang hanya merekam kejadian
faktual dan aktual tanpa ada pretensi apapun terutama penceritaan. Intinya hanya sekedar
merekam belaka tanpa ada embel-embel tertentu. Bahkan terkadang dokumentasi tidak melalui
proses editing, yang ada hanya melalui proses cutting (potong-sambung) yang tujuannya untuk
memperpendek durasi. Dengan kata lain, dokumentasi tidak memiliki ideologi yang ingin
disebarkan kepada penontonnya.
b. Junalistik Televisi adalah sebuah tayangan yang menggunakan perekaman gambar dan suara
yang faktual, namun biasanya tayangan tersebut sudah melalui unsur editing untuk disesuaikan
dengan naskah pemberitaan. Jadi dalam jurnalistik televisi sudah ada ideologi dan tujuannya,
artinya biasanya saat merekam sudah terjadi pemilihan / seleksi gambar dan suara, tentu saja
yang sesuai dengan ideologi dan tujuan tayangan tersebut.
c. Film Dokumenter adalah sebuah film yang menggunakan perekaman gambar dan suara yang
faktual dan aktual. Film tipe ini juga memiliki tujuan dan ideologi, sehingga seringkali dikaitkan
dengan jurnalistik. Namun apa yang membedakan antara dokumenter dengan tipe audio-visual
lainnya adalah story-telling (penceritaan) di mana jurnalistik dan dokumentasi tidak
memilikinya.
Dengan demikian, misalkan ada sebuah pernikahan seorang kawan, yang awalnya di benak kita
langsung menganggapnya akan menjadi dokumentasi, maka hal itu bisa saja menjadi film
dokumenter ataupun laporan jurnalistik televisi tergantung apakah hanya berhenti pada pelaporan
jurnlistik dengan tujuan tertentu atau ada penceritaannya yang mendalam sehingga menjadi
sebuah film dokumenter.
dari: http://saungsinema.wordpress.com
Persinggungan Antara Bentuk & Tipe Film

Ditulis oleh Kusen Dony Herm... - Ditayangkan pada 24 September 2010

Ada pertanyaan yang kemudian muncul, yaitu bagaimana melihat persinggungan antara tipe film
dan bentuk film itu sendiri, sebab secara sepintas sulit menyatukan dua klasifikasi ini.

Walaupun tidak semuanya bisa dijelaskan, namun setidaknya cukup banyak yang bisa disatukan
dalam sebuah film. Untuk tipe fiksi dan bentuk naratif mungkin tidak perlu penjelasan panjang, sebab banyak sekali
film fiksi-naratif yang diproduksi di seluruh dunia terutama film-film yang diputar di bioskop-bioskop. Yang perlu
menjadi catatan adalah sisa dari keterkaitan antara bentuk dan tipe.
1. Naratif dan Dokumenter.

Sub-tipe doku-drama merupakan titik temu antara dokumenter dengan naratif, dimana peristiwa,
tokoh, ruang dan waktunya diambil dari kehidupan nyata, namun pembuatnya harus
menginterpretasi ulang dan membuatnya tampak meyakinkan bagi penonton bahwa kejadian
sesungguh adalah seperti yang digambarkannya.
2. Naratif dan Animasi.

Film-film animasi kartun adalah salah satu pertemuan titik antara bentuk naratif dengan tipe
animasi. Dalam layar lebar banyak sekali film animasi kartun yang diproduksi seperti Fantasia,
Beauty And The Beast dan sebagainya, sedangkan di televisi kita mengenal film kartun seperti
Doraemon, Crayon Sinchan, Popeye, Scoby Doo dll.
3. Naratif dan Eksperimental.

Seringkali menjadi sulit mencari contoh dari film naratif dengan bungkusan eksperimental,
namun setidaknya ada beberapa contoh yang dapat digunakan seperti Un Chien Andalou (Luis
Bunuel), Pink Floyd : The Wall (Alan Parker), Parfumed Nightmare (Kidlat Tahimik) dsb.

Sedangkan titik temu antara bentuk non-naratif dengan tipe yang lain adalah seperti berikut :
4. Non-Naratif (Categorical) dan Fiksi.

Sub-tipe mockumentary adalah pertemuan antara categorical dengan fiksi, dimana peristiwa,
tokoh, ruang dan waktunya merupakan hal fikstif, namun pembuatannya menggunakan
pendekatan struktur serta aspek teknis dari dokumenter.
5. Non-Naratif (Categorical) dan Dokumenter.

Bentuk categorical memang awalnya ditujukan untuk dokumenter dan umumnya digunakan
untuk hampir seluruh jenis dokumenter seperti ilmu pengetahuan, perjalanan, sejarah,
instruksional dan lain sehingga.
6. Non-Naratif (Categorical) dan Animasi.

Sebenarnya titik temu awalnya sangatlah sulit dicari contohnya, namun setelah melihat Waltz
With Bashir (Ari Folman) maka animasi-categorical ini menjadi memungkinkan. Film ini
menceritakan sebuah penulusuran dari memori sang sutradara, namun dikemas dengan tipe
animasi sehingga terpaksa bentuk categorical-nya cenderung menguat.
7. Non-Naratif (Rethorical) dan Fiksi / Animasi.

Bentuk rethorical dan fiksi bergabung dalam film-film iklan (TVC) ataupun iklan layanan
masyarakat (PSA). Film-film tersebut cenderung melakukan persuasi yang kuat terhadap
masyarakat.
8. Non-Naratif (Rethorical) dan Dokumenter.

Bentuk rethorical dan dokumenter cenderung muncul pada dokumenter dengan pendekatan
propaganda, seperti yang terjadi dalam film Triumph of the Wheel (Leni Refensthal) dan Why We
Fight ? (Frank Cappra).
Baik bentuk categorical ataupun rethorical sangat sulit mencari titik temunya dengan eksperimental, karena
kencenderungan wujudnya yang sangat absurd.
9. Non-Naratif (Abstract) dan Fiksi / Animasi / Eksperimental.

Bentuk abstract sebagian besar merupakan fiksi dan ketika pembuatannya menggunakan elemen
realis ataupun dengan teknik animasi maka akan cenderung menjadi film yang bersifat
eksperimental. Misalnya film Dot (Norman McLaren), Mothlight (Stan Brakhage), Berita Hari
Ini Tentang Dian Sastro (Faozan Rizal) dsb.
Dokumenter Dalam Klasifikasi Bentuk Film

Ditulis oleh Kusen Dony Herm... - Ditayangkan pada 24 September 2010


Pada kategori bentuk film, Bordwell membaginya menjadi dua yaitu bentuk naratif (bercerita) dan bentuk non-naratif.

1. Bentuk Naratif
Bentuk naratif merupakan sebuah bentuk penceritaan yang peristiwanya memiliki hubungan
sebab akibat yang jelas dan terjadi dalam ruang serta waktu yang jelas pula. Dikarenakan
penceritaan dalam film didasari oleh bidang sastra dan drama.

Bagaimanapun juga selain adanya aspek ruang, waktu, peristiwa dan manusia, naratif juga tidak hanya melibatkan aspek
cerita (story), akan tetapi nantinya penceritaan itu akan terbagi lagi menjadi plot.
Ada beberapa pemahaman tentang plot ini sendiri, namun kalau mau gabungkan untuk memenuhi definisi di dalam film,
yaitu segala unsur yang terlihat dan terdengar oleh penonton di layar, di mana unsur-unsur tersebut merupakan penggalanpenggalan cerita yang dipilih oleh pembuatnya agar dapat dirangkai sehingga bisa mewakili penceritaan. Artinya dari plot
ini penonton akan merangkaikan seluruh aspek-aspeknya hingga terbentuk cerita (story) dibenaknya, dengan kata lain
story adalah konstruksi abstrak penonton dari penyusunan plot-plot di dalam kepalanya.
Selain itu, naratif di dalam film juga memiliki struktur yang tentu saja berbeda dengan sastra (roman) maupun drama
(teater), walaupun ada kedekatan, namun struktur di dalam film lebih banyak menyesuaikan dengan durasi maksimal yang
umum ada atau dikenal oleh masyarakat, yaitu antara beberapa menit hingga 3 jam. Oleh karena itu ada pembagian dua
struktur besar, Struktur Hollywood Klasik yang dikenal di Indonesia dengan Struktur 3 Babak dan lawannya, Struktur Art
Cinema Naration.
2. Bentuk Non-Naratif.

Bentuk ini bukannya tidak bercerita, hanya saja cara menceritakannya berbeda dengan naratif
yang seperti orang mendongeng, artinya aspek story, plot, ruang, waktu, peristiwa dan manusia
tetap ada hanya saja cara menyampaikannya berbeda. Oleh karena itu, cara bercerita non-naratif
dalam buku David Bordwell ini sangat beragam dan setidaknya ada empat cara bercerita dalam
bentuk ini :
a. Categorical
Film dibuat kategori agar dapat dikumpulkan per sub-temanya. Bordwell mengibaratkan cara ini
seperti memasuki supermarket dimana setiap barang akan dikategorikan menurut jenisnya dan bukan merknya. Banyak
film dokumenter yang masuk dalam wilayah ini, terutama dokumenter yang umum ditayangkan seperti di televisi publik
ataupun televisi berbayar.
b. Rethorical
Film ini memiliki persuasi yang kuat untuk mempengaruhi penontonsehingga kesan propaganda melekat erat dalam
bentuk ini. Tipe film yang banyak menggunakan metode ini adalah film iklan yang banyak ditayangkan di televisi dan
dokumenter propaganda, seperti film Triumph of the Will (Leni Refensthal) dan Why We Fight ? (Frank Cappra) .

c. Abstract
Penceritaan film ini mengikuti sebuah usaha untuk mengeluarkan suatu ekpresi paling dalam dari
pembuatnya. Umumnya sulit untuk dicerna oleh penonton, namun karena didasari oleh kebebasan berekspresi sehingga
sering permasalahan penonton tidak lagi menjadi yang utama. Film eksperimental, di tahun 1970-an dikenal dengan
expanded cinema atau sekarang ini banyak seniman yang lebih mengenalnya sebagai video art adalah contoh dari film
dengan bentuk abstrak, seperti film-film dari Stan Brakhage, Tan Jun Paik, Norman McLaren, Hans Richter, Walter
Ruttman, Luis Bunnuel dsb. Film dalam sub-bentuk ini pada masa sekarang banyak dipakai pada video musik.

d. Associational

Film-film dalam bentuk ini sekilas mirip dengan bentuk abstrak, namun sesungguhnya sangatlah
berbeda. Film bentuk ini biasanya menggunakan gambar-gambar yang tidak memiliki hubungan ruang, waktu ataupun
peristiwa, namun memiliki tujuan yang sama untuk mengarah pada satu tema atau sub-tema penceritaan. Dokumenter
dengan jenis association picture story menggunakan bentuk ini, seperti karya Man With A Movie Camera (Dziga Vertov),
Baraka (Ron Fricke) serta trilogi film Geodfrey Regio : Powwaqqatsi, Koyanisqatsi dan Naqoyqatsi.

Dokumenter Dalam Klasifikasi Tipe Film

Ditulis oleh Kusen Dony Herm... - Ditayangkan pada 24 September 2010


Dalam buku Film Art : An Introduction, David Bordwell menuliskan adanya tipe-tipe film yang
dibedakan dari bentuknya. Bordwell menggunakan kata tipe dan bukan jenis, untuk
membedakannya dengan genre (jenis). Tipe-tipe tersebut adalah film fiksi, film dokumenter, film
animasi dan film eksperimental. Bila ditinjau lebih jauh, Bordwell mencoba menyederhanakan
tipe-tipe tersebut merupakan kategori dari film yang berkembang dan dibuat di seluruh dunia.
Adapun definisinya adalah :
1. Film Fiksi adalah film yang tokoh, peristiwa, ruang dan waktunya direkayasa. Kita tentu mengetahui bila film fiksi ini
jauh lebih berkembang karena faktor penceritaannya yang seperti dongeng. Lagipula film-film tipe ini cenderung lebih
nyaman untuk dinikmati.
2. Film Dokumenter menjadi lawan dari fiksi, di mana tokoh, peristiwa, ruang dan waktunya tidak direkayasa atau otentik
ada dan terjadi.
Anehnya untuk dua definisi terakhir, Bordwell justru merujuk pada penggunaan yang teknis atau personal yaitu :
3. Film Animasi adalah usaha menghidupkan sesuatu non-manusia agar mendekati seperti kehidupan manusia itu
sendiri. Secara tradisional, tekniknya sering disebut dengan frame by frame technique, artinya pengambilan shot-nya
adalah per gambar. Jadi bila akan membuat film yang panjangnya 1 detik saja maka harus disediakan 24 gambar bila akan
direkam dengan kamera film dan 25 gambar bila menggunakan kamera video. Sebenarnya teknik film animasi yang
kemudian berkembang juga menjadi semakin banyak, misalnya stop motion, clay animation, pixilation, animasi boneka,
animasi tiga dimensi yang menggunakan computer-generated imagery (CGI), animasi dua dimensi dan masih banyak
lainnya.
4. Film Eksperimental merupakan film yang sangat menekankan ekspresi personal paling dalam dari pembuatnya. Karyakarya dalam film ini nyaris semuanya abstrak, tentu saja hal ini berkaitan dengan kemunculannya yaitu oleh Hans Richter,
Walter Ruttman, Luis Bunnuel, Salvador Dali dan para seniman lainnya yang menjadi pita seluloid ini hanya sebagai
pengganti kanvasnya. Seniman-seniman itu juga lebih banyak merupakan seniman dari aliran dadaisme, surrealisme
ataupun impresionisme. Sehingga film-film dari tipe pada waktu itu ini jarang sekali menjadi konsumsi publik karena
sangat sulit dimengerti dan cenderung tidak bercerita.
Akan tetapi umumnya masyarakat pembuat film terutama dokumenter cenderung melawankan film dokumenter dengan
film fiksi bila dilihat dari definisi keduanya. Namun bagaimanapun juga karena film adalah sebuah media, pastinya akan
ada singgungan antara dokumenter dengan fiksi yang akhirnya akan memunculkan bentuk, pendekatan ataupun gaya
tertentu.

Seringkali singgungan itu terjadi ketika pembuat filmnya secara serius ataupun main-main mencoba untuk mencampurkan
antara fakta-fakta otentik dengan sesuatu yang fiktif. Bisa juga film fiksi yang menggunakan gaya teknis dokumenter
sehingga penonton menjadi tertipu karenanya.

Walaupun sangat terbuka untuk perdebatan, saya mencoba untuk memformulasi kemungkinan
percampuran antara dokumenter dengan fiksi. Secara sederhana kita dapat membaginya menjadi
3 tipe besar, yaitu :
1. Fiksi : Apabila kandungan fiktifnya 75 % hingga 100 % dari keseluruhan film.
2. Dokumenter : Apabila kandungan faktanya 75 % hingga 100 % dari keseluruhan film.
3. Semi-Dokumenter : bila kandungan fiktifnya dan faktanya berkisar antara 40 % hingga 60
% dari keseluruhan film ataupun bisa juga seimbang.
Tentu saja yang dapat menghitung prosentase tersebut adalah pembuat film itu sendiri serta
tujuan awal para pembuat film, apakah ingin membuat fiksi atau dokumenter dapat turut
menentukan tipe yang dipilihnya.
Namun dari dari tipe fiksi sendiri muncul beberapa sub-tipe lagi yang merupakan usaha dari
pembuat film ketika melakukan pendekatan terhadap filmnya, yaitu :
4. Doku-Drama : sub-tipe ini adalah sebuah interpretasi ulang terhadap peristiwa nyata sehingga
hampir seluruh film cenderung untuk direkonstruksi, misalnya tokoh dan ruang peristiwa tersebut akan dicari
ataupun dibuat ulang agar dapat semirip mungkin dengan aslinya. Contoh dari film sub-tipe ini adalah JFK (Oliver
Stone), G30S/PKI (Arifin C. Noer), Johny Indo (Franky Rorimpandey), All The Presidents Men (Alan J. Pakula) dsb.

5. Mockumentary : sub-tipe ini biasanya mengadopsi gaya teknis yang umumnya digunakan film
dokumenter, misalnya hand-held camera dan available light (sinematografi), wawancara (mise en scene), cut-away
(editing) dan narasi (suara) yang mampu menipu penonton sehingga seringkali film dengan model seperti ini dikira
dokumenter. Pendekatan dalam filmnya dibuat komedi ataupun satir dengan tujuan menganalisa peristiwa dan isu yang
sedang terjadi dengan memanfaatkan setting fiktif. Contoh dari film sub-tipe ini adalah This Is Spinal Tap (Rob Reiner)
dan 24 Hours Party People (Michael Winterbottom).

Seringkali ada juga film fiksi yang menggunakan setting peristiwa nyata, sehingga pembuat
filmnya harus merekonstruksi peristiwa, ruang dan waktunya seperti yang dilakukan oleh dokudrama, namun tokoh-tokoh yang dihadirkannya adalah tokoh fiktif. Contoh filmnya adalah
Titanic (James Cameron).
Sejarah Film Dokumenter

Ditulis oleh Himawan Pratista - Ditayangkan pada 24 Maret 2010


Film dokumenter tidak seperti halnya film fiksi (cerita) merupakan sebuah rekaman peristiwa
yang diambil dari kejadian yang nyata atau sungguh-sungguh terjadi. Definisi dokumenter
sendiri selalu berubah sejalan dengan perkembangan film dokumenter dari masa ke masa. Sejak
era film bisu, film dokumenter berkembang dari bentuk yang sederhana menjadi semakin
kompleks dengan jenis dan fungsi yang semakin bervariasi. Inovasi teknologi kamera dan suara
memiliki peran penting bagi perkembangan film dokumenter. Sejak awalnya film dokumenter
hanya mengacu pada produksi yang menggunakan format film (seluloid) namun selanjutnya
berkembang hingga kini menggunakan format video (digital). Berikut adalah ulasan singkat
mengenai perkembangan sejarah film dokumenter dari masa ke masa.
Film Dokumenter: Era Film Bisu

Ditulis oleh Himawan Pratista - Ditayangkan pada 24 Maret 2010

Sejak awal ditemukannya sinema, para pembuat film di Amerika dan


Perancis telah mencoba mendokumentasikan apa saja yang ada di sekeliling mereka dengan alat
hasil temuan mereka. Seperti Lumiere Bersaudara, mereka merekam peristiwa sehari-hari yang
terjadi di sekitar mereka, seperti para buruh yang meninggalkan pabrik, kereta api yang masuk
stasiun, buruh bangunan yang bekerja, dan lain sebagainya. Bentuknya masih sangat sederhana
(hanya satu shot) dan durasinya pun hanya beberapa detik saja. Film-film ini lebih sering
diistilahkan actuality films. Beberapa dekade kemudian sejalan dengan penyempurnaan
teknologi kamera berkembang menjadi film dokumentasi perjalanan atau ekspedisi, seperti South
(1919) yang mengisahkan kegagalan sebuah ekspedisi ke Antartika.

Tonggak awal munculnya film dokumenter secara resmi yang banyak


diakui oleh sejarawan adalah film Nanook of the North (1922) karya Robert Flaherty. Filmnya
menggambarkan kehidupan seorang Eskimo bernama Nanook di wilayah Kutub Utara. Flaherty
menghabiskan waktu hingga enam belas bulan lamanya untuk merekam aktifitas keseharian
Nanook beserta istri dan putranya, seperti berburu, makan, tidur, dan sebagainya. Sukses
komersil Nanook membawa Flaherty melakukan ekspedisi ke wilayah Samoa untuk
memproduksi film dokumenter sejenis berjudul Moana (1926). Walau tidak sesukses Nanook
namun melalui film inilah pertama kalinya dikenal istilah documentary, melalui ulasan John
Grierson di surat kabar New York Sun. Oleh karena peran pentingnya bagi awal perkembangan
film dokumenter, para sejarawan sering kali menobatkan Flaherty sebagai Bapak Film
Dokumenter.

Sukses Nanook juga menginspirasi sineas-produser Merian C. Cooper dan


Ernest B. Schoedsack untuk memproduksi film dokumenter penting, Grass: A Nation's Battle for
Life (1925) yang menggambarkan sekelompok suku lokal yang tengah bermigrasi di wilayah
Persia. Kemudian berlanjut dengan Chang: A Drama of the Wilderness (1927) sebuah film
dokumenter perjalanan yang mengambil lokasi di pedalaman hutan Siam (Thailand). Eksotisme
film-film tersebut kelak sangat mempengaruhi produksi film (fiksi) fenomenal produksi Cooper,
yaitu King Kong (1933). Di Eropa, beberapa sineas dokumenter berpengaruh juga bermunculan.
Di Uni Soviet, Dziga Vertov memunculkan teori kino eye. Ia berpendapat bahwa kamera
dengan semua tekniknya memiliki nilai lebih dibandingkan mata manusia. Ia mempraktekkan

teorinya melalui serangkaian seri cuplikan berita pendek, Kino Pravda (1922), serta The Man
with Movie Camera (1929) yang menggambarkan kehidupan keseharian kota-kota besar di
Soviet. Sineas-sineas Eropa lainnya yang berpengaruh adalah Walter Ruttman dengan filmnya,
Berlin - Symphony of a Big City (1927) lalu Alberto Cavalcanti dengan filmnya Rien Que les
Heures.
http://montase.blogspot.com/2008/05/sejarah-film-dokumenter.html
Film Dokumenter: Era Menjelang dan Masa Perang Dunia

Ditulis oleh Himawan Pratista - Ditayangkan pada 24 Maret 2010


Film dokumenter berkembang semakin kompleks di era 30-an. Munculnya teknologi suara juga
semakin memantapkan bentuk film dokumenter dengan teknik narasi dan iringan ilustrasi musik.
Pemerintah, institusi, serta perusahaan besar mulai mendukung produksi film-film dokumenter
untuk kepentingan yang beragam. Salah satu film yang paling berpengaruh adalah Triump of the
Will (1934) karya sineas wanita Leni Riefenstahl, yang digunakan sebagai alat propaganda Nazi.
Untuk kepentingan yang sama, Riefenstahl juga memproduksi film dokumenter penting lainnya,
yakni Olympia (1936) yang berisi dokumentasi even Olimpiade di Berlin. Melalui teknik editing
dan kamera yang brilyan, atlit-atlit Jerman sebagai simbol bangsa Aria diperlihatkan lebih
superior ketimbang atlit-atlit negara lain.
Di Amerika, era depresi besar memicu pemerintah mendukung para sineas dokumenter untuk
memberikan informasi seputar latar-belakang penyebab depresi. Salah satu sineas yang menonjol
adalah Pare Lorentz. Ia mengawali dengan The Plow that Broke the Plains (1936), dan sukses
film ini membuat Lorentz kembali dipercaya memproduksi film dokumenter berpengaruh
lainnya, The River (1937). Kesuksesan film-film tersebut membuat pemerintah Amerika serta
berbagai institusi makin serius mendukung proyek film-film dokumenter. Dukungan ini kelak
semakin intensif pada dekade mendatang setelah perang dunia berkecamuk.
Perang Dunia Kedua mengubah status film dokumenter ke tingkat yang lebih tinggi. Pemerintah
Amerika bahkan meminta bantuan industri film Hollywood untuk memproduksi film-film
(propaganda) yang mendukung perang. Film-film dokumenter menjadi semakin populer di
masyarakat. Sebelum televisi muncul, publik dapat menyaksikan kejadian dan peristiwa di
medan perang melalui film dokumenter serta cuplikan berita pendek yang diputar secara reguler
di teater-teater. Beberapa sineas papan atas Hollywood, seperti Frank Capra, John Ford, William
Wyler, dan John Huston diminta oleh pihak militer untuk memproduksi film-film dokumenter
Perang. Capra misalnya, memproduksi tujuh seri film dokumenter panjang bertajuk, Why We
Fight (1942-1945) yang dianggap sebagai seri film dokumenter propaganda terbaik yang pernah
ada. Capra bahkan bekerja sama dengan studio Disney untuk membuat beberapa sekuen
animasinya. Sementara John Ford melalui The Battle of Midway (1942) dan William Wyler

melalui Memphis Belle (1944) keduanya juga sukses meraih piala Oscar untuk film dokumenter
terbaik.
http://montase.blogspot.com/2008/05/sejarah-film-dokumenter.html
Film Dokumenter: Era Pasca Perang Dunia

Ditulis oleh Himawan Pratista - Ditayangkan pada 24 Maret 2010


Pada era setelah pasca Perang Dunia Kedua, perkembangan film dokumenter mengalami
perubahan yang cukup signifikan. Film dokumenter makin jarang diputar di teater-teater dan
pihak studio pun mulai menghentikan produksinya. Semakin populernya televisi menjadikan
pasar baru bagi film dokumenter. Para sineas dokumenter senior, seperti Flaherty, Vertov, serta
Grierson sudah tidak lagi produktif seperti pada masanya dulu. Sineas-sineas baru mulai
bermunculan dan didukung oleh kondisi dunia yang kini aman dan damai makin memudahkan
film-film mereka dikenal dunia internasional. Satu tendensi yang terlihat adalah film-film
dokumenter makin personal dan dengan teknologi kamera yang semakin canggih membantu
mereka melakukan berbagai inovasi teknik. Tema dokumenter pun makin meluas dan lebih
khusus, seperti observasi sosial, ekspedisi dan eksplorasi, liputan even penting, etnografi, seni
dan budaya, dan lain sebagainya.
Sineas Swedia, Arne Sucksdorff menggunakan lensa telefoto dan kamera tersembunyi untuk
merekam kehidupan satwa liar dalam The Great Adventure (1954); Oceanografer Jeacques
Cousteau memproduksi beberapa seri film dokumenter kehidupan bawah laut, seperti The Silent
World (1954); Observasi kota tampak melalui karya Frank Stauffacher, Sausalito (1948) serta
Francis Thompson, N.Y., N.Y. (1957). Mengikuti gaya eksotis Flaherty, John Marshall
memproduksi The Hunters (1956) mengambil lokasi di gurun Kalihari di Afrika. Lalu Robert
Gardner memproduksi salah satu film antropologis penting, Dead Birds (1963) yang
menggambarkan suku Dani di Indonesia dengan ritual perangnya. Di Perancis, beberapa sineas
berpengaruh seperti Alan Resnais, Georges Franju, serta Chris Marker lebih terfokus pada
masalah seni dan budaya. Resnais mencuat namanya setelah filmnya, Van Gogh (1948) meraih
penghargaan di Venice dan Academy Award. Franju memproduksi beberapa film dokumenter
berpengaruh seperti Blood of the Beast (1948) dan Hotel des invalides (1951). Sementara Marker
memproduksi Sunday in Peking (1956) dan Letter from Siberia (1958).
Film Dokumenter: Era Direct Cinema

Ditulis oleh Himawan Pratista - Ditayangkan pada 24 Maret 2010


Pada akhir 50-an hingga pertengahan 60-an perkembangan film dokumenter mengalami
perubahan besar. Dalam produksinya, sineas mulai menggunakan kamera yang lebih ringan dan
mobil, jumlah kru yang sedikit, serta penolakan terhadap konsep naskah dan struktur tradisional.

Mereka lebih spontan dalam merekam gambar (tanpa diatur), minim penggunaan narasi dengan
membiarkan obyeknya berbicara untuk mereka sendiri (interview). Pendekatan ini dikenal
dengan banyak istilah, seperti candid cinema, uncontrolled cinema, hingga cinma vrit (di
Perancis), namun secara umum dikenal dengan istilah Direct Cinema. Beberapa faktor yang
mempengaruhi munculnya tren ini, yakni gerakan Neorealisme Italia yang menyajikan
keseharian yang realistik, inovasi teknologi kamera 16mm yang lebih kecil dan ringan, inovasi
perekam suara portable, serta pengisi acara televisi yang popularitasnya semakin tinggi.
Pendekatan Direct Cinema terutama banyak digunakan sineas asal Amerika, Kanada, dan
Perancis.

Di Amerika, pengusung Direct Cinema yang paling berpengaruh adalah Robert


Drew, seorang produser yang juga jurnalis foto. Drew membawahi beberapa sineas dokumenter
berpengalaman seperti, Richard Leacock, Don Pannebaker, serta David dan Albert Maysles.
Drew memproduksi film-film dokumenter yang lebih ditujukan untuk televisi, satu diantaranya
yang paling berpengaruh adalah Primary (1960). Film ini menggambarkan kontes politik antara
John Konnedy dan Hubert Humprey di Wisconsin. Drew bersama para asistennya merekam
momen demi momen secara spontan. Secara bergantian kamera mengikuti kemana pun dua
politisi tersebut pergi, di tempat kerja, bertemu publik di jalanan, berpidato, dan bahkan ketika
tengah bersantai di hotel. Dalam perkembangan Leacock, Pannebaker, dan Maysles
meninggalkan perusahaan milik Drew dan membentuk perusahaan mereka sendiri. Beberapa
diantaranya memproduksi film-film dokumenter penting, seperti Whats Happening! The Beatles
in New York (1964) arahan Maysles Bersaudara yang dianggap merupakan film dokumenter
Amerika pertama tanpa penggunaan narasi sama sekali.
Di Perancis, salah satu pengusung cinma vrit yang paling berpengaruh adalah Jean Rouch.
Salah satu karyanya yang dianggap paling berpengaruh (bahkan di dunia) adalah Cronicle of a
Summer (1961). Rouch berkolaborasi dengan sosiologis, Edgar Morin menggunakan pendekatan
baru cinma vrit, yakni tidak hanya semata-mata melakukan observasi dan bersimpati namun
juga provokasi. You push these people to confess themselves its very strange kind of
confession in front of the camera, where the camera is, lets say, a mirror, and also a window
open to the outside ungkap Rouch. Dalam filmnya tampak Morin berdiskusi dengan pelajar
serta para pekerja di Kota Paris tentang kehidupan mereka dengan melayangkan pertanyaan
kunci, Are you happy?. Rouch membiarkan subyeknya mendefinisikan sendiri masalah mereka
secara alamiah melalui performa mereka di depan kamera.
..

Sejak pertengahan 60-an, pengembangan teknologi kamera 16mm dan 35 mm yang semakin
canggih serta ringan makin menambah fleksibilitas para pengusung Direct Cinema. Sejak awal
60-an, hampir semua sineas dokumenter telah menggunakan teknik kamera handheld untuk
merekam segala peristiwa. Direct Cinema juga berpengaruh pada perkembangan film fiksi secara
estetik melalui gerakan new wave, seperti di Perancis. Para sineas new wave seringkali
menggunakan kamera handheld, pencahayaan yang tersedia, kru yang minim, serta shot on
location. Bahkan film-film (fiksi) mainstream pun seringkali mengadopsi teknik Direct Cinema
untuk menambah unsur realisme sebuah adegan. Pendekatan Direct Cinema secara umum
berpengaruh perkembangan seni film di dunia terutama pada era 60-an dan 70-an.
Film Dokumenter: Warisan Direct Cinema dan Perkembangannya Hingga Kini

Ditulis oleh Himawan Pratista - Ditayangkan pada 24 Maret 2010

Dalam perkembangannya, Direct Cinema terbukti sebagai kekuatan yang


berpengaruh sepanjang sejarah film dokumenter. Berbagai pengembangan serta inovasi teknik
serta tema bermunculan dengan motif yang makin bervariasi. Salah satu bentuk variasi dari
Direct Cinema yang paling populer adalah rockumentaries (dokumentasi musik rock).
Rockumentaries memiliki bentuk serta jenis yang beragam. Let it Be (1970) memperlihatkan
grup musik legendaris The Beatles yang tengah mempersiapkan album mereka. Woodstock:
Three Days of Peace & Music (1970) garapan Michael Wadleigh merupakan dokumentasi dari
festival musik tiga hari di sebuah lahan pertanian yang menampilkan beberapa musisi rock papan
atas. Woodstock sering dianggap sebagai film dokumenter musik terbaik sepanjang masa dan
menjadi dasar berpijak bagi film-film dokumentasi sejenis berikutnya. Pada dekade mendatang,
This is Spinal Tap (1984) merupakan sebuah parodi rockumentary yang terbukti paling sukses
komersil pada masanya.
Tradisi Direct Cinema juga tampak pada film-film kontroversial karya Fredrick Wiseman. Filmfilmnya banyak bersinggungan dengan kontrol sosial, berkait erat dengan birokrasi dan
bagaimana masyarakat dibuat frustasi olehnya. Dalam film debutnya, High School (1968)
memperlihatkan bagaimana para siswa berontak melawan birokrasi di sekolah mereka. Maysles
Bersaudara memproduksi film Direct Cinema Amerika berpengaruh, Salesman (1966) yang
menggambarkan seorang salesman yang gagal. Sejak era 70-an, format film dokumenter mulai
berubah melalui kombinasi pendekatan Direct Cinema, kompilasi footage, narasi, serta iringan

musik. Salah satu sineas yang mempelopori format kombinasi ini adalah Emile De Antonio
melalui film anti perangnya, Vietnam: In the Years of the Pig (1969). Dalam perkembangannya
format ini mendominasi gaya film dokumenter selama beberapa dekade ke depan. Munculnya
format digital juga semakin memudahkan siapa pun untuk memproduksi film dokumenter. Kritik
sosial dan politik, lingkungan hidup, serta keberpihakan kaum minoritas masih menjadi menu
utama tema film dokumenter beberapa dekade ke depan.

Beberapa sineas dokumenter berpengaruh muncul selama periode 70-an


hingga kini. Erol Morris memproduksi film-film dokumenter unik dengan tema dan subyek yang
tak lazim, seperti Gates of Heaven (1978), The Thin Blue Line (1988), serta Mr. Death (2000).
Barbara Kopple dikenal melalui filmnya bertema demonstasi buruh, yakni, Harlan County, USA
(1976) dan American Dream (1990). Michael Moore gemar melakukan kritik sosial dan politik
melalui film-filmnya Roger and Me (1989), Bowling for Columbine (2001), Fahrenheit 9/11
(2004) serta Sicko. Kevin Rafferty dikenal melalui film-filmnya seperti The Atomic Caf (1982)
dan The Last Cigarettes (1999). Pendekatan eksotis Flaherty juga masih tampak dalam film
peraih Oscar, March of the Penguins (2005) yang tercatat sebagai film dokumenter terlaris
sepanjang masa. Selama sejarah perkembangannya, film dokumenter terbukti dapat lebih
manipulatif ketimbang film-film fiksi komersil. Film dokumenter melalui penyajian dan
subyektifitasnya seringkali cenderung menggiring kita untuk memihak. Masalah etika dan moral
selalu dipertanyakan. Sineas dokumenter seyogyanya tidak hanya mampu menyajikan fakta
namun juga kebenaran. (hp)

Anda mungkin juga menyukai