Dokumenter Pengantar
Dokumenter Pengantar
Sesungguhnya kata ini muncul dari tulisan John Grierson ketika menanggapi film-film karya
Robert Flaherty, terutama sekali Nanook of the North. Film yang berdurasi kurang lebih 1,5 jam
itu tidak lagi mendongeng ala Hollywood. Grierson kemudian menyampaikan pandangannya
bahwa apa yang dilakukan oleh Flaherty tersebut merupakan sebuah perlakuan kreatif terhadap
kejadian-kejadian actual yang ada (the creative treatment of actuality).
Walaupun definisi ini bertahan cukup lama, kemudian bermunculanlah orang-orang yang
mencoba mendefinisikan dengan caranya masing-masing (arbitrer) seperti yang coba
dikumpulkan berikut ini :
1. Paul Rotha :
Definisi Dokumenter bukan merujuk pada subyek atau sebuah gaya, namun dokumenter adalah
sebuah pendekatan. Pendekatan dalam dokumenter dalam film berbeda dari film cerita. Bukan
karena tidak dipedulikannya aspek kriya / kerajianan (craftsmanship) dalam pembuatannya,
tetapi dengan sengaja justru memperlihatkan bagaimana kriya tersebut digunakan.
2. Paul Wells :
Teks Non-Fiksi yang menggunakan footagefootage yang aktual, di mana termasuk di dalamnya
perekaman langsung dari peristiwa yang akan disajikan dan materi-materi riset yang
berhubungan dengan peristiwa itu, misalnya hasil wawancara, statistik, dlsb. Teks-teks seperti ini
biasanya disuguhkan dari sudut pandang tertentu dan memusatkan perhatiannya pada sebuah isuisu sosial tertentu yang sangat memungkinkan untuk dapat menarik perhatian penontonnya.
4. Steve Blandford, Barry Keith Grant dan Jim Hillier :
Pembuatan film yang subyeknya adalah masyarakat, peristiwa atau suatu situasi yang benarbenar terjadi di dunia realita dan di luar dunia sinema.
(The Film Studies Dictionary, halaman 73).
5. Frank Beaver :
Sebuah film non-fiksi. Film Dokumenter biasanya di-shoot di sebuah lokasi nyata, tidak
menggunakan actor dan temanya terfokus pada subyeksubyek seperti sejarah, ilmu
pengetahuan, social atau lingkungan. Tujuan dasarnya adalah untuk memberi pencerahan,
member informasi, pendidikan, melakukan persuasi dan memberikan wawasan tentang dunia
yang kita tinggali.
(Dictionary of Film Terms, halaman 119)
6. Louis Giannetti :
Tidak seperti kebanyakan film-film fiksi, dokumenter berurusan dengan fakta-fakta, seperti
manusia, tempat dan peristiwa serta tidak dibuat . Para pembuat film dokumenter percaya
mereka menciptakan dunia di dalam filmnya seperti apa adanya.
(Understanding Movies , Edisi Ke-7, halaman 339)
7. Timothy Corrigan :
Sebuah film non-fiksi tentang masyarakat dan peristiwanya, seringkali mengabaikan struktur
naratif yang tradisional.
(A Short Guide to Writing About Film, Edisi Ke-4, halaman 206).
8. Michael Rabinger :
Dokumenter harusnya dibuat dengan hati dan bukan hanya dengan pikiran kita saja. Film
dokumenter ada untuk mengubah cara kita merasakan sesuatu.
9. Ralph S. Singleton and James A. Conrad :
Film dari sebuah peristiwa yang aktual. Peristiwa-peristiwa tersebut didokumentasikan dengan
menggunakan orang-orang biasa dan bukan actor.
(Filmmakers Dictionary, Edisi Ke-2, halaman 94)
10. Edmund F. Penney :
Suatu jenis film yang melakukan interpretasi terhadap subyek dan latar belakang yang nyata.
Terkadang istilah ini digunakan secara luas untuk memperlihatkan aspek realistiknya
dibandingkan pada film-film cerita konvensional. Namun istilah ini juga telah menjadi sempit
karena seringkali hanya menyajikan rangkaian gambar dengan narasi dan soundtrack dari
kehidupan nyata.
(Facts on File Film and Broadcast Terms, halaman 73).
11. James Monaco :
Istilah dengan makna yang sangat luas, secara mendasar digunakan untuk merujuk pada film atau
program televisi yang tidak seluruhnya fiktif saat menyajikan alam.
adalah footage dari masa kini ataupun masa lalu untuk mengeksplorasi subjek tertentu, termasuk
peristiwa sejarah dan peristiwa kekinian, juga fenomena alam, profil pesohor, senibudaya serta
segala macam tema yang bisa dibayangkan.
B. GAYA DAN SUDUT PANDANG (POINT OF VIEW)
Film dokumenter secara signifikan akan selalu dibuat bervariasi terutama dalam aspek gaya dan
sudut pandangnya. Film dokumenter yang dibuat secara konvensional, seperti In Search of
Mozart, selalu menggunakan footage (gambar bergerak) dan foto (gambar diam) untuk
mengantarkan penonton masuk ke dalam subjeknya, yang dalam kasus ini adalah kehidupan dan
dunia musik Wolfgang Amadeus Mozart ketika muda.
Pada spektrum gaya yang lain, film dokumenter juga dibuat dengan pendekatan eksperimental,
contohnya dalam film Mayhem (1987) karya Abigail Child, di mana ekspresi pribadi sangatlah
kuat dengan menggunakan jukstaposisi gambar yang tak terduga.
Para pembuat film dokumenter panjang seperti Michael Moore dalam film Sicko (2007) juga
mengugunakan teknik jukstaposisi gambar dalam mengkonstruksi ceritanya, sedangkan Michael
Winterbottom dan Mat Whitecross dalam film Road To Guantanamo (2006) justru menggunakan
pendekatan fiksi (semi dokumenter) untuk menceritakan apa terjadi di sana ketika footage
aslinya tidak tersedia.
C. PROPAGANDA YANG KUAT
Film dokumenter yang kuat dapat mempengaruhi kehidupan sosial dan politik suatu masyarakat.
Dengan sangat halus, sutradara biasanya memiliki sudut pandang yang akhirnya menyatu dengan
nilai propaganda terhadap permasalahan yang disampaikannya. Oleh karena itu penonton harus
peka terhadap kemungkinan adanya bias itu.
Contoh itu ada dalam dokumenter klasik, Triumph of the Will (1935) karya Leni Reifenstahl yang
saat itu menjadi tangan kanan Adolf Hitler dalam urusan media film. Di sisi lain, Amy Berg
nominasi piala Oscar dalam Deliver Us From Evil (2006), yang membeberkan pelecehan anak
oleh rohaniwan Katolik di Los Angeles yang menyebabkan Keuskupan Agung Los Angeles
menawarkan $ 660 juta kepada korban pelecehan untuk penyelesaian kasus tersebut baru-baru
ini.
D. KONFLIK KEPENTINGAN (CONFLICT OF INTEREST)
Saat menonton film dokumenter dengan kemungkinan biasnya sudut pandang sutradara, maka
salah satu kesadaran yang perlu diangkat adalah sumber pendanaan pembuatan film tersebut.
Misalnya ketika perusahaan rokok membiayai film yang menunjukkan rokok sebagai gaya hidup
ataupun ketika The Dixie Chicks merekrut Barbara Kopple menyutradari Shut Up & Sing
(2006) yang menceritakan kembalinya mereka ke tengah panggung, di mana mereka mengkritisi
Perang Irak yang dilancarkan George Walker Bush. Dikarenakan film ini menceritakan mereka
yang masuk ke industri musik kembali, maka membuat informasi dan pesan film tentang Perang
Irak seperti kurang dipercaya.
E. ETIKA DAN AKUNTABILITAS
Konflik kepentingan dan adanya kredibilitas yang dipertanyakan bukan satu-satunya standar
yang dipertimbangkan dalam film dokumenter. Unsur lain yang dipertimbangkan oleh pembuat
film adalah digunakannya subjek hidup dan merekamnya dengan akurasi tinggi. Dalam Tooties
Last Suit (2006), Lisa Katzman mengikuti Mardi Gras India untuk menentukan kostum siapa
yang paling bagus. Film ini mengungkap persaingan antara Tootie dan putranya di mana kedua
subjek tersebut merasa merana saat menonton, tapi sang sutradara tidak bisa disalahkan karena
mengkhianati kepercayaan mereka.
F. EVOLUSI PEMBUATAN FILM DOKUMENTER
Pembuatan film dokumenter telah berkembang selama puluhan tahun. Film awal seperti Nanook
of the North (1930) karya Robert Flaherty saat itu memerlukan peralatan canggih untuk membuat
gambar menarik tetapi tidak sempurna. Teknologi digital saat ini memungkinkan para pembuat
film professional dan amatir menggunakan cara gerilya (seperti hanya perekaman yang dapat
mengungkapkan kebenaran tentang berbagai hal namun mereka sedang difilmkan tidak
menyadarinya).
G. SEKARANG SUDAH LEBIH POPULER
Film dokumenter menjadi semakin populer di masyarakat karena teknologinya membuat mereka
bisa menjangkau untuk masuk profesi tersebut. Penonton juga cenderung lebih percaya dan
tertarik terhadap sumber informasi para pembuat film pemula tersebut, dibandingkan dengan
film yang diproduksi oleh lembaga mainstream di mana informasinya sering dipotongpotong
untuk kepentingan berita mereka daripada untuk kepentingan substansi ceritanya.
NB : Tulisan ini merupakan terjemahan bebas dari sebuah situs di internet yang saya sudah lupa,
mohon maaf bagi yang situsnya diterjemahkan. Ini hanya untuk berbagi.
sumber: http://saungsinema.wordpress.com
Membedakan Film Dokumenter
Banyak orang ketika mengucapkan sebuah pernyataan,film kamu ini dokumentasi, bukan
dokumenter! Lalu ketika ditanya perbedaannya, mereka clegukan tidak bisa menjelaskan.
1. Persamaan
Persamaan antara dokumenter, dokumentasi dan jurnalistik televisi adalah objeknya. Artinya
bahwa apa yang menjadi pembahasan, perekaman dan pengamatannya adalah segala macam hal
yang bersifat faktual dan juga aktual.
2. Perbedaan
a. Film Dokumentasi adalah sebuah perekaman gambar dan suara yang hanya merekam kejadian
faktual dan aktual tanpa ada pretensi apapun terutama penceritaan. Intinya hanya sekedar
merekam belaka tanpa ada embel-embel tertentu. Bahkan terkadang dokumentasi tidak melalui
proses editing, yang ada hanya melalui proses cutting (potong-sambung) yang tujuannya untuk
memperpendek durasi. Dengan kata lain, dokumentasi tidak memiliki ideologi yang ingin
disebarkan kepada penontonnya.
b. Junalistik Televisi adalah sebuah tayangan yang menggunakan perekaman gambar dan suara
yang faktual, namun biasanya tayangan tersebut sudah melalui unsur editing untuk disesuaikan
dengan naskah pemberitaan. Jadi dalam jurnalistik televisi sudah ada ideologi dan tujuannya,
artinya biasanya saat merekam sudah terjadi pemilihan / seleksi gambar dan suara, tentu saja
yang sesuai dengan ideologi dan tujuan tayangan tersebut.
c. Film Dokumenter adalah sebuah film yang menggunakan perekaman gambar dan suara yang
faktual dan aktual. Film tipe ini juga memiliki tujuan dan ideologi, sehingga seringkali dikaitkan
dengan jurnalistik. Namun apa yang membedakan antara dokumenter dengan tipe audio-visual
lainnya adalah story-telling (penceritaan) di mana jurnalistik dan dokumentasi tidak
memilikinya.
Dengan demikian, misalkan ada sebuah pernikahan seorang kawan, yang awalnya di benak kita
langsung menganggapnya akan menjadi dokumentasi, maka hal itu bisa saja menjadi film
dokumenter ataupun laporan jurnalistik televisi tergantung apakah hanya berhenti pada pelaporan
jurnlistik dengan tujuan tertentu atau ada penceritaannya yang mendalam sehingga menjadi
sebuah film dokumenter.
dari: http://saungsinema.wordpress.com
Persinggungan Antara Bentuk & Tipe Film
Ada pertanyaan yang kemudian muncul, yaitu bagaimana melihat persinggungan antara tipe film
dan bentuk film itu sendiri, sebab secara sepintas sulit menyatukan dua klasifikasi ini.
Walaupun tidak semuanya bisa dijelaskan, namun setidaknya cukup banyak yang bisa disatukan
dalam sebuah film. Untuk tipe fiksi dan bentuk naratif mungkin tidak perlu penjelasan panjang, sebab banyak sekali
film fiksi-naratif yang diproduksi di seluruh dunia terutama film-film yang diputar di bioskop-bioskop. Yang perlu
menjadi catatan adalah sisa dari keterkaitan antara bentuk dan tipe.
1. Naratif dan Dokumenter.
Sub-tipe doku-drama merupakan titik temu antara dokumenter dengan naratif, dimana peristiwa,
tokoh, ruang dan waktunya diambil dari kehidupan nyata, namun pembuatnya harus
menginterpretasi ulang dan membuatnya tampak meyakinkan bagi penonton bahwa kejadian
sesungguh adalah seperti yang digambarkannya.
2. Naratif dan Animasi.
Film-film animasi kartun adalah salah satu pertemuan titik antara bentuk naratif dengan tipe
animasi. Dalam layar lebar banyak sekali film animasi kartun yang diproduksi seperti Fantasia,
Beauty And The Beast dan sebagainya, sedangkan di televisi kita mengenal film kartun seperti
Doraemon, Crayon Sinchan, Popeye, Scoby Doo dll.
3. Naratif dan Eksperimental.
Seringkali menjadi sulit mencari contoh dari film naratif dengan bungkusan eksperimental,
namun setidaknya ada beberapa contoh yang dapat digunakan seperti Un Chien Andalou (Luis
Bunuel), Pink Floyd : The Wall (Alan Parker), Parfumed Nightmare (Kidlat Tahimik) dsb.
Sedangkan titik temu antara bentuk non-naratif dengan tipe yang lain adalah seperti berikut :
4. Non-Naratif (Categorical) dan Fiksi.
Sub-tipe mockumentary adalah pertemuan antara categorical dengan fiksi, dimana peristiwa,
tokoh, ruang dan waktunya merupakan hal fikstif, namun pembuatannya menggunakan
pendekatan struktur serta aspek teknis dari dokumenter.
5. Non-Naratif (Categorical) dan Dokumenter.
Bentuk categorical memang awalnya ditujukan untuk dokumenter dan umumnya digunakan
untuk hampir seluruh jenis dokumenter seperti ilmu pengetahuan, perjalanan, sejarah,
instruksional dan lain sehingga.
6. Non-Naratif (Categorical) dan Animasi.
Sebenarnya titik temu awalnya sangatlah sulit dicari contohnya, namun setelah melihat Waltz
With Bashir (Ari Folman) maka animasi-categorical ini menjadi memungkinkan. Film ini
menceritakan sebuah penulusuran dari memori sang sutradara, namun dikemas dengan tipe
animasi sehingga terpaksa bentuk categorical-nya cenderung menguat.
7. Non-Naratif (Rethorical) dan Fiksi / Animasi.
Bentuk rethorical dan fiksi bergabung dalam film-film iklan (TVC) ataupun iklan layanan
masyarakat (PSA). Film-film tersebut cenderung melakukan persuasi yang kuat terhadap
masyarakat.
8. Non-Naratif (Rethorical) dan Dokumenter.
Bentuk rethorical dan dokumenter cenderung muncul pada dokumenter dengan pendekatan
propaganda, seperti yang terjadi dalam film Triumph of the Wheel (Leni Refensthal) dan Why We
Fight ? (Frank Cappra).
Baik bentuk categorical ataupun rethorical sangat sulit mencari titik temunya dengan eksperimental, karena
kencenderungan wujudnya yang sangat absurd.
9. Non-Naratif (Abstract) dan Fiksi / Animasi / Eksperimental.
Bentuk abstract sebagian besar merupakan fiksi dan ketika pembuatannya menggunakan elemen
realis ataupun dengan teknik animasi maka akan cenderung menjadi film yang bersifat
eksperimental. Misalnya film Dot (Norman McLaren), Mothlight (Stan Brakhage), Berita Hari
Ini Tentang Dian Sastro (Faozan Rizal) dsb.
Dokumenter Dalam Klasifikasi Bentuk Film
1. Bentuk Naratif
Bentuk naratif merupakan sebuah bentuk penceritaan yang peristiwanya memiliki hubungan
sebab akibat yang jelas dan terjadi dalam ruang serta waktu yang jelas pula. Dikarenakan
penceritaan dalam film didasari oleh bidang sastra dan drama.
Bagaimanapun juga selain adanya aspek ruang, waktu, peristiwa dan manusia, naratif juga tidak hanya melibatkan aspek
cerita (story), akan tetapi nantinya penceritaan itu akan terbagi lagi menjadi plot.
Ada beberapa pemahaman tentang plot ini sendiri, namun kalau mau gabungkan untuk memenuhi definisi di dalam film,
yaitu segala unsur yang terlihat dan terdengar oleh penonton di layar, di mana unsur-unsur tersebut merupakan penggalanpenggalan cerita yang dipilih oleh pembuatnya agar dapat dirangkai sehingga bisa mewakili penceritaan. Artinya dari plot
ini penonton akan merangkaikan seluruh aspek-aspeknya hingga terbentuk cerita (story) dibenaknya, dengan kata lain
story adalah konstruksi abstrak penonton dari penyusunan plot-plot di dalam kepalanya.
Selain itu, naratif di dalam film juga memiliki struktur yang tentu saja berbeda dengan sastra (roman) maupun drama
(teater), walaupun ada kedekatan, namun struktur di dalam film lebih banyak menyesuaikan dengan durasi maksimal yang
umum ada atau dikenal oleh masyarakat, yaitu antara beberapa menit hingga 3 jam. Oleh karena itu ada pembagian dua
struktur besar, Struktur Hollywood Klasik yang dikenal di Indonesia dengan Struktur 3 Babak dan lawannya, Struktur Art
Cinema Naration.
2. Bentuk Non-Naratif.
Bentuk ini bukannya tidak bercerita, hanya saja cara menceritakannya berbeda dengan naratif
yang seperti orang mendongeng, artinya aspek story, plot, ruang, waktu, peristiwa dan manusia
tetap ada hanya saja cara menyampaikannya berbeda. Oleh karena itu, cara bercerita non-naratif
dalam buku David Bordwell ini sangat beragam dan setidaknya ada empat cara bercerita dalam
bentuk ini :
a. Categorical
Film dibuat kategori agar dapat dikumpulkan per sub-temanya. Bordwell mengibaratkan cara ini
seperti memasuki supermarket dimana setiap barang akan dikategorikan menurut jenisnya dan bukan merknya. Banyak
film dokumenter yang masuk dalam wilayah ini, terutama dokumenter yang umum ditayangkan seperti di televisi publik
ataupun televisi berbayar.
b. Rethorical
Film ini memiliki persuasi yang kuat untuk mempengaruhi penontonsehingga kesan propaganda melekat erat dalam
bentuk ini. Tipe film yang banyak menggunakan metode ini adalah film iklan yang banyak ditayangkan di televisi dan
dokumenter propaganda, seperti film Triumph of the Will (Leni Refensthal) dan Why We Fight ? (Frank Cappra) .
c. Abstract
Penceritaan film ini mengikuti sebuah usaha untuk mengeluarkan suatu ekpresi paling dalam dari
pembuatnya. Umumnya sulit untuk dicerna oleh penonton, namun karena didasari oleh kebebasan berekspresi sehingga
sering permasalahan penonton tidak lagi menjadi yang utama. Film eksperimental, di tahun 1970-an dikenal dengan
expanded cinema atau sekarang ini banyak seniman yang lebih mengenalnya sebagai video art adalah contoh dari film
dengan bentuk abstrak, seperti film-film dari Stan Brakhage, Tan Jun Paik, Norman McLaren, Hans Richter, Walter
Ruttman, Luis Bunnuel dsb. Film dalam sub-bentuk ini pada masa sekarang banyak dipakai pada video musik.
d. Associational
Film-film dalam bentuk ini sekilas mirip dengan bentuk abstrak, namun sesungguhnya sangatlah
berbeda. Film bentuk ini biasanya menggunakan gambar-gambar yang tidak memiliki hubungan ruang, waktu ataupun
peristiwa, namun memiliki tujuan yang sama untuk mengarah pada satu tema atau sub-tema penceritaan. Dokumenter
dengan jenis association picture story menggunakan bentuk ini, seperti karya Man With A Movie Camera (Dziga Vertov),
Baraka (Ron Fricke) serta trilogi film Geodfrey Regio : Powwaqqatsi, Koyanisqatsi dan Naqoyqatsi.
Seringkali singgungan itu terjadi ketika pembuat filmnya secara serius ataupun main-main mencoba untuk mencampurkan
antara fakta-fakta otentik dengan sesuatu yang fiktif. Bisa juga film fiksi yang menggunakan gaya teknis dokumenter
sehingga penonton menjadi tertipu karenanya.
Walaupun sangat terbuka untuk perdebatan, saya mencoba untuk memformulasi kemungkinan
percampuran antara dokumenter dengan fiksi. Secara sederhana kita dapat membaginya menjadi
3 tipe besar, yaitu :
1. Fiksi : Apabila kandungan fiktifnya 75 % hingga 100 % dari keseluruhan film.
2. Dokumenter : Apabila kandungan faktanya 75 % hingga 100 % dari keseluruhan film.
3. Semi-Dokumenter : bila kandungan fiktifnya dan faktanya berkisar antara 40 % hingga 60
% dari keseluruhan film ataupun bisa juga seimbang.
Tentu saja yang dapat menghitung prosentase tersebut adalah pembuat film itu sendiri serta
tujuan awal para pembuat film, apakah ingin membuat fiksi atau dokumenter dapat turut
menentukan tipe yang dipilihnya.
Namun dari dari tipe fiksi sendiri muncul beberapa sub-tipe lagi yang merupakan usaha dari
pembuat film ketika melakukan pendekatan terhadap filmnya, yaitu :
4. Doku-Drama : sub-tipe ini adalah sebuah interpretasi ulang terhadap peristiwa nyata sehingga
hampir seluruh film cenderung untuk direkonstruksi, misalnya tokoh dan ruang peristiwa tersebut akan dicari
ataupun dibuat ulang agar dapat semirip mungkin dengan aslinya. Contoh dari film sub-tipe ini adalah JFK (Oliver
Stone), G30S/PKI (Arifin C. Noer), Johny Indo (Franky Rorimpandey), All The Presidents Men (Alan J. Pakula) dsb.
5. Mockumentary : sub-tipe ini biasanya mengadopsi gaya teknis yang umumnya digunakan film
dokumenter, misalnya hand-held camera dan available light (sinematografi), wawancara (mise en scene), cut-away
(editing) dan narasi (suara) yang mampu menipu penonton sehingga seringkali film dengan model seperti ini dikira
dokumenter. Pendekatan dalam filmnya dibuat komedi ataupun satir dengan tujuan menganalisa peristiwa dan isu yang
sedang terjadi dengan memanfaatkan setting fiktif. Contoh dari film sub-tipe ini adalah This Is Spinal Tap (Rob Reiner)
dan 24 Hours Party People (Michael Winterbottom).
Seringkali ada juga film fiksi yang menggunakan setting peristiwa nyata, sehingga pembuat
filmnya harus merekonstruksi peristiwa, ruang dan waktunya seperti yang dilakukan oleh dokudrama, namun tokoh-tokoh yang dihadirkannya adalah tokoh fiktif. Contoh filmnya adalah
Titanic (James Cameron).
Sejarah Film Dokumenter
teorinya melalui serangkaian seri cuplikan berita pendek, Kino Pravda (1922), serta The Man
with Movie Camera (1929) yang menggambarkan kehidupan keseharian kota-kota besar di
Soviet. Sineas-sineas Eropa lainnya yang berpengaruh adalah Walter Ruttman dengan filmnya,
Berlin - Symphony of a Big City (1927) lalu Alberto Cavalcanti dengan filmnya Rien Que les
Heures.
http://montase.blogspot.com/2008/05/sejarah-film-dokumenter.html
Film Dokumenter: Era Menjelang dan Masa Perang Dunia
melalui Memphis Belle (1944) keduanya juga sukses meraih piala Oscar untuk film dokumenter
terbaik.
http://montase.blogspot.com/2008/05/sejarah-film-dokumenter.html
Film Dokumenter: Era Pasca Perang Dunia
Mereka lebih spontan dalam merekam gambar (tanpa diatur), minim penggunaan narasi dengan
membiarkan obyeknya berbicara untuk mereka sendiri (interview). Pendekatan ini dikenal
dengan banyak istilah, seperti candid cinema, uncontrolled cinema, hingga cinma vrit (di
Perancis), namun secara umum dikenal dengan istilah Direct Cinema. Beberapa faktor yang
mempengaruhi munculnya tren ini, yakni gerakan Neorealisme Italia yang menyajikan
keseharian yang realistik, inovasi teknologi kamera 16mm yang lebih kecil dan ringan, inovasi
perekam suara portable, serta pengisi acara televisi yang popularitasnya semakin tinggi.
Pendekatan Direct Cinema terutama banyak digunakan sineas asal Amerika, Kanada, dan
Perancis.
Sejak pertengahan 60-an, pengembangan teknologi kamera 16mm dan 35 mm yang semakin
canggih serta ringan makin menambah fleksibilitas para pengusung Direct Cinema. Sejak awal
60-an, hampir semua sineas dokumenter telah menggunakan teknik kamera handheld untuk
merekam segala peristiwa. Direct Cinema juga berpengaruh pada perkembangan film fiksi secara
estetik melalui gerakan new wave, seperti di Perancis. Para sineas new wave seringkali
menggunakan kamera handheld, pencahayaan yang tersedia, kru yang minim, serta shot on
location. Bahkan film-film (fiksi) mainstream pun seringkali mengadopsi teknik Direct Cinema
untuk menambah unsur realisme sebuah adegan. Pendekatan Direct Cinema secara umum
berpengaruh perkembangan seni film di dunia terutama pada era 60-an dan 70-an.
Film Dokumenter: Warisan Direct Cinema dan Perkembangannya Hingga Kini
musik. Salah satu sineas yang mempelopori format kombinasi ini adalah Emile De Antonio
melalui film anti perangnya, Vietnam: In the Years of the Pig (1969). Dalam perkembangannya
format ini mendominasi gaya film dokumenter selama beberapa dekade ke depan. Munculnya
format digital juga semakin memudahkan siapa pun untuk memproduksi film dokumenter. Kritik
sosial dan politik, lingkungan hidup, serta keberpihakan kaum minoritas masih menjadi menu
utama tema film dokumenter beberapa dekade ke depan.