Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Myastenia gravis merupakan penyakit kelemahan otot yang parah.
Penyakit ini merupakan penyakit neuromuscular yang merupakan gabungan
antara

cepatnya

terjadi

kelelahan

otot-otot

volunter

dan

lambatnya

pemulihan. Pada masa lampau kematian akibat dari penyakit ini bisa
mencapai 90%, tetapi setelah ditemukannya obat-obatan dan tersedianya
unit-unit perawatan pernafasan, maka sejak itulah jumlah kematian akibat
penyakit ini bisa dikurangi. Sindrom klinis ini ditemukan pertama kali pada
tahun 1600, dan pada akhir tahun 1800.
Myastenia gravis banyak timbul pada usia 20 tahun, perbandingan
antara wanita dan pria yang menderita penyakit ini adalah 3:1. Tingkat
manusia yang kedua yang paling sering terserang penyakit ini adalah pria
dewasa yang lebih tua. Kematian dari penyakit myastenia gravis biasanya
disebabkan oleh insufisiensi pernafasan, tetapi dapat dilakukannya perbaikan
dalam perawatan intensif untuk pertahanan sehingga komplikasi yang timbul
dapat ditangani dengan lebih baik. Penyembuhan dapat terjadi pada 10 %
hingga 20 % pasien dengan melakukan timektomi elektif pada pasien-pasien
tertentu dan yang paling cocok dengan jalan penyembuhan seperti ini.
HNP Hernia Nukleus Pulposus (HNP) adalah penyakit yang disebabkan
oleh trauma atau perubahan degeneratif yang menyerang massa nukleus
pada daerah vertebra L4-L5, L5-S1, atau C5-C6 yang menimbulkan nyeri
punggung bawah yang berat, kronik dan berulang atau kambuh. Menjelang

usia meningkat setelah 20 tahun, mulailah terjadi perubahan-perubahan pada


anulus fibrosus dan nukleus pulposus. Pada beberapa tempat serat-serat
fibroelastik terputus dan sebagian rusak diganti oleh jaringan kolagen. Proses
ini berlangsung terus-menerus sehingga dalam anulus fibrosus terbentuk
rongga-rongga. Nukleus pulposus akan melakukan infiltrasi ke dalam ronggarongga tersebut dan juga mengalami perubahan berupa penyusutan kadar
air. Jadi terciptalah suatu keadaan dimana disatu pihak volume materi
nukleus pulposus berkurang dan dipihak lain volume rongga antar vertebrae
bertambah

sehingga

terjadilah

penurunan

tekanan

intradiskal

yang

mengakibatkan nukleus pulposus menonjol.

1.2 Tujuan Pembahasan


Dalam penyusunan makalah ini tentunya memiliki tujuan yang
diharapkan berguna bagi para pembaca dan khususnya kepada penulis
sendiri. Dimana tujuannya dibagi menjadi dua macam yang pertama secara
umum makalah ini bertujuan menambah wawasan mahasiswa/I dalam
menguraikan suatu persoalan secara holistik dan tepat, dan melatih
pemikiran ilmiah dari seorang mahasiswa/I fakultas kedokteran, dimana
pemikiran ilmiah tersebut sangat dibutuhkan bagi seorang dokter agar
mampu menganalisis suatu persoalan secara cepat dan tepat. Sedangkan
secara khusus tujuan penyusunan makalah ini ialah sebagai berikut :
Melengkapi tugas small group discussion skenario tiga modul dua
puluh tiga dengan judul skenario Lemah Otot dan Nyeri Pinggang.
Menambah khasanah ilmu pengetahuan para pembaca dan penulis.
Sebagai bahan referensi mahasiswa/I Fakultas Kedokteran UISU
dalam menghadapi ujian akhir modul.
Itulah merupakan tujuan dalam penyusunan makalah ini, dan juga
sangat diharapkan dapat berguna setiap orang yang membaca makalah ini.
Semoga seluruh tujuan tersebut dapat tercapai dengan baik.
2

1.3

Metode dan Teknik


Dalam penyusunan makalah ini kami mengembangkan suatu metode

yang

sering

digunakan

dalam

pembahasan-pembahasan

makalah

sederhana, dimana kami menggunakan metode dan teknik secara deskriptif


dimana tim penyusun mencari sumber data dan sumber informasi yang
akurat lainnya setelah itu dianalisis sehinggga diperoleh informasi tentang
masalah yang akan dibahas setelah itu berbagai referensi yang didapatkan
dari berbagai sumber tersebut disimpulan sesuai dengan pembahasan yang
akan dilakukan dan sesuai dengan judul makalah dan dengan tujuan
pembuatan makalah ini.

BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Skenario
SEMESTER VI MODUL 21 (KEGAWATDARURATAN MEDIK)
SKENARIO 4
KASUS 1 LEMAH OTOT
Seorang pasien wanita, 44 tahun, datang ke Puskesmas dengan
keluhan otot-ototnya mudah lelah dan lambat untuk pulih. Keluhan
dirasakan terutama pada sore hari, dan pulih apabila istirahat.
Belakangan ia mengeluhkan bahwa kelopak mata bagian atasnya
seperti turun dan sulit menegakkan kepala.
KASUS 2 NYERI PINGGANG
Seorang laki-laki usia 42 tahun datang ke poliklinik dengan keluhan
nyeri pada pinggang kanan yang dialami pasien sejak 5 hari ini. Nyeri
bersifat menjalar sampai ke ujung tungkai kanan. Riwayat jatuh
terduduk tidak ada, riwayat mengangkat berat dalam posisi salah (+).
Pada pemeriksaan Laseque test (+). Pada pemeriksaan fisik umum
didapati kesadaran compos mentis, tekanan darah 120/80 mmHg,
denyut nadi 80 x/i reguler, frekuensi napas 18 x/i.

2.2 Myastenia Gravis


2.2.1 Definisi
Myastenia gravis merupakan gangguan yang mempengaruhi trasmisi
neuromuskuler pada otot tubuh yang kerjanya dibawah kesadaran seseorang
(volunteer). Karakteristik yang muncul berupa kelemahan yang berlebihan

dan umumnya terjadi kelelahan pada otot-otot volunter dan hal itu
dipengaruhi oleh fungsi saraf kranial.
Myastenia gravis dapat menyerang otot apa saja, tapi yang paling
umum terserang adalah otot yang mengontrol gerakan mata, kelopak mata,
mengunyah, menelan, batuk dan ekspresi wajah. Bahu, pinggul, leher, otot yg
mengontrol gerakan badan serta otot yang membantu pernafasan juga dapat
terserang.
Miastenia

gravis

merupakan

sindroma

klinis

akibat

kegagalan

transmisi neuromuskuler yang disebabkan oleh hambatan dan destruksi


reseptor asetilkolin oleh autoantibodi. Sehingga dalam hal ini, myastenia
gravis merupakan penyakit autoimun yang

spesifik

organ.

Antibodi

reseptor asetilkolin terdapat didalam serum pada hampir semua pasien.


Antibodi ini

merupakan antibodi

IgG dan dapat melewati plasenta pada

kehamilan.
2.2.2 Etiologi
Kelainan

primer

pada

myastenia

gravis

dihubungkan

dengan

gangguan transmisi pada neuromuscular junction, yaitu penghubung antara


unsur saraf dan unsur otot. Pada ujung akson motor neuron terdapat partikelpartikel globuler yang merupakan penimbunan asetilkolin (ACh). Jika
rangsangan motorik tiba pada ujung akson, partikel globuler pecah dan ACh
dibebaskan yang dapat memindahkan gaya saraf
bereaksi dengan ACh
Reaksi

ini membuka

Reseptor
saluran

(AChR)

ion

pada

pada

yang

kemudian

membran postsinaptik.

membran

serat

otot

dan

menyebabkan masuknya kation, terutama Na, sehingga dengan demikian


terjadilah kontraksi otot.

Penyebab pasti gangguan transmisi neromuskular pada myastenia


gravis tidakdiketahui. Dulu dikatakan, pada myastenia gravis terdapat
kekurangan ACh atau kelebihan kolinesterase, tetapi menurut teori terakhir,
faktor imunologik lah yang berperan.
Selain itu, terdapat kemungkinan adanya peranan kelenjar thymus
dalam penyakit ini. Kelenjar thymus yang terletak di daerah dada atas di
bawah tulang dada, memainkan peranan penting dalam mengembangkan
system imun pada awal kehidupan. Sel-sel ini membentuk bagian dari system
normal imun tubuh. Kelenjar ini sedikit besar pada saat bayi, tumbuh secara
berangsur-angsur sampai masa pubertas, dan kemudian menjadi mengecil
dan digantikan dengan pertumbuhan bersama usia.
Pada orang-orang dewasa dengan myastenia gravis, kelenjar thymus
tidak normal. Ini mengandung beberapa kelompok dari indikasi sel imun dari
lymphoid hyperplasia. Kondisi ini umumnya hanya ditemukan pada limpa dan
tunas getah bening pada saat reaksi aktif imun. Beberapa orang dengan
myastenia gravis menghasilkan thymoma atau tumor pada kelenjar thymus.
Umumnya tumor ini jinak, tapi bisa menjadi berbahaya. Hubungan antara
kelenjar thymus dan myastenia gravis masih belum sepenuhnya dimengerti.
Para ilmuwan percaya bahwa kelenjar thymus mungkin memberikan instruksi
yang salah mengenai produksi antibodi reseptor asetilkolin sehingga malah
menyerang transmisi neuromuskular.
2.2.3 Epidemiologi
Myastenia gravis merupakan penyakit yang jarang ditemui, dan dapat
terjadi pada berbagai usia. Biasanya penyakit ini lebih sering tampak pada
usia 20-50 tahun. Wanita lebih sering menderita penyakit ini dibandingkan
pria. Rasio perbandingan wanita dan pria yang menderita myastenia gravis
6

adalah 3 : 1. Pada wanita, penyakit ini tampak pada usia yang lebih muda,
yaitu sekitar 20 tahun, sedangkan pada pria, penyakit ini sering terjadi pada
usia 40 tahun. Pada bayi, sekitar 20% bayi yang dilahirkan
penderita

myastenia

gravis

akan

memiliki

oleh

myastenia

ibu
tidak

menetap/transient (kadang permanen).


2.2.4 Patofisiologi
Saraf

besar bermielin yang berasal dari sel kornu anterior medulla

spinalis dan batang otak mempersarafi otot rangka atau otot lurik. Saraf-saraf
ini mengirimkan aksonnya dalam bentuk saraf-saraf spinal dan kranial
menuju ke perifer. Masing-masing saraf bercabang banyak sekali dan mampu
merangsang sekitar 2000 serabut otot rangka. Gabungan antara saraf
motorik dan serabut-serabut otot yang dipersarafi dinamakan unit mototrik.
Meskipun setiap neuron mototrik mempersarafi banyak serabut otot, tetapi
setiap serabut otot dipersarafi oleh hanya satu neuron motorik.
Daerah khusus yang merupakan tempat pertemuan antara saraf motorik
dan

serabut

otot

disebut

sinaps

neuromuskular

atau

hubungan

neuromuscular. Hubungan neuromuskular merupakan suatu sinaps kimia


antara saraf dan otot yang terdiri dari tiga komponen dasar: unsur presinaps,
elemen postsinaps, dan celah sinaps yang mempunyai lebar sekitar 200.
Unsur presinaps terdiri dari akson terminal dengan vesikel sinaps yang berisi
asetilkolin yang merupakan neurotransmitter. Asetilkolin disintesis dan
disimpan dalam akson terminal (bouton). Membran plasma aksonterminal
disebut membran presinaps. Unsur postsinaps terdiri dari membran
postsinaps atau lempeng akhir motorik serabut otot.
Membran postsinaps dibentuk oleh invaginasi selaput otot atau
sarkolema yang dinamakan alur atau palung sinaps dimana akson terminal
7

menonjol masuk ke dalamnya. Bagian ini mempunyai banyak lipatan (celahcelah subneural) yang sangat menambah luas permukaan. Membran
postsinaps memiliki reseptor-reseptor asetilkolin dan mampu menghasilkan
potensial lempeng akhir yang selanjutnya dapat mencetuskan potensial aksi
otot. Pada membran postsinaps juga terdapat suatu enzim yang dapat
menghancurkan asetilkolin yaitu asetilkolinesterase. Celah sinaps adalah
ruang yang terdapat antara membran presinaps dan postsinaps. Ruang
tersebut terisi semacam zatgelatin, dan melalui gelatin ini cairan ekstrasel
dapat berdifusi.
Bila impuls saraf mencapai hubungan neuromukular, maka membran
akson terminal presinaps mengalami depolarisasi sehingga asetilkolin akan
dilepaskan dalam celah sinaps. Asetilkolin berdifusi melalui celah sinaps dan
bergabung

dengan

reseptor

asetilkolin

pada

membran

postsinaps.

Penggabungan ini menimbulkan perubahan permeabilitas terhadap natrium


maupun kalium pada membran postsinaps. Influks ion natrium dan
pengeluaran

ion

kalium

secara

tiba-tiba

menyababkan

depolarisasi

lempengakhir dikenal sebagai potensial lempeng akhir (EPP). Jika EPP ini
mencapai ambang akan terbentuk potensial aksi dalam membran otot yang
tidak

berhubungan

dengan

saraf,

yang

akan

disalurkan

sepanjang

sarkolema. Potensial ini memicu serangkaian reaksi yang mengakibatkan


kontraksiserabut otot. Sesudah transmisi melewati hubungan neuromuskular
terjadi,asetilkolin akan dihancurkan oleh enzim asetilkolinesterase. Pada
orang normal jumlah asetilkolin yang dilepaskan sudah lebih dari cukup untuk
menghasilkan

potensial

aksi.

Pada

myastenia

gravis,

konduksi

neuromuskular terganggu. Jumlah reseptor asetilkolin berkurang yang


mungkin dikarenakan cedera autoimun.

Pada pasien dengan myastenia gravis, secara makroskopis otot-ototnya


tampak normal. Jika ada atrofi, maka itu disebabkan karena otot tidak
digunakan. Secara mikroskopis beberapa kasus dapat ditemukan infiltrasi
limfosit dalam otot dan organ-organ lain, tetapi pada otot rangka tidak dapat
ditemukan kelainan yang konsisten.

10

2.2.5 Manifestasi Klinis


Myastenia gravis diduga merupakan gangguan autoimun yang merusak
fungsi

reseptor

asetilkolin

dan

mengurangi

efisiensi

hubungan

neuromuscular. Keadaan ini sering bermanisfestasi sebagai penyakit yang


berkembang progresif lambat. Pada 90% penderita, gejala awal berupa
gangguan otot-otot okular yang menimbulkan ptosis dan diplopia. Diagnosis
dapat ditegakkan dengan memperhatikan otot-otot levator palpebrae kelopak
mata. Bila penyakit hanya terbatas pada otot-otot mata saja, maka perjalanan
penyakitnya sangat ringan dan tidak akan menyebabkan kematian.
Myastenia gravis juga menyerang otot-otot, wajah, dan laring. Keadaan ini
dapat menyebabkan regurgitasi melalui hidung jika pasien mencoba menelan
(otot-otot palatum), menimbulkan suara yang abnormal atau suara nasal,
dan pasien tak mampu menutup mulut yang dinamakan sebagai tanda
rahang menggantung.

Pada sistem pernapasan, terserangnya otot-otot

pernapasan terlihat dari adanya batuk yang lemah, dan akhirnya dapat
berupa serangan dispnea dan pasien tidak lagi mampu membersihkan lendir
dari trakea dan cabang-cabangnya. Pada kasus yang lebih lanjut, gelang
bahu dan panggul dapat terserang hingga terjadi kelemahan pada semua
otot-otot rangka.
Biasanya gejala

myastenia

beristirahat dan dengan


gejala-gejala tersebut

gravis

memberikan

obat

dapat

diredakan

dengan

antikolinesterase.

Namun

dapat menjadi lebih atau mengalami eksaserbasi

oleh sebab:
1) Perubahan

keseimbangan

hormonal,

misalnya

selama

kehamilan, fluktuasi selama siklus haid atau gangguan fungsi tiroid.


2) Adanya penyakit penyerta terutama infeksi saluran pernapasan
bagian atas, dan infeksi yang disertai diare dan demam.

11

3) Gangguan emosi atau stres. Kebanyakan pasien mengalami


kelemahan otot apabila mereka berada dalam keadaan tegang.
4) Alkohol, terutama bila dicampur dengan air soda yang mengandung
kuinin (suatu

obat

yang

mempermudah

otot) dan obat-obat lainnya.

12

terjadinya

kelemahan

2.2.6 Pemeriksaan
Penegakan diagnosis miastenia gravis, dapat dilakukan pemeriksaan
sebagai berikut:
1.

Penderita ditugaskan untuk menghitung dengan suara yang keras. Lama


kelamaan akan terdengar bahwa suaranya bertambah lemah dan
menjadi kurang terang, penderita menjadi anartris dan afonis.

2.

Penderita ditugaskan untuk mengedipkan matanya secara terus-menerus.


Lama kelamaan akan timbul ptosis. Setelah suara penderita menjadi
parau atau tampak ada ptosis, maka penderita disuruh beristirahat..
Kemudian tampak bahwa suaranya akan kembali baik dan ptosis
juga tidak tampak lagi.

3.

Uji Tensilon (edrophonium chloride), untuk uji tensilon, disuntikkan 2 mg


tensilon secara intravena, bila tidak terdapat reaksi maka disuntikkan
lagi sebanyak 8 mg tensilon secara intravena. Segera sesudah
tensilon disuntikkan hendaknya diperhatikan otot-otot yang lemah
seperti misalnya kelopak mata yang memperlihatkan ptosis. Bila
kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis, maka ptosis
itu akan segera lenyap. Pada uji ini kelopak mata yang lemah harus
diperhatikan dengan sangat seksama, karena efektivitas tensilon
sangat singkat.

4.

Uji Prostigmin (neostigmin), pada tes ini disuntikkan 3 cc atau 1,5 mg


prostigmin merhylsulfat secara intramuskular (bila perlu, diberikan
pula atropin atau mg). Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh
miastenia gravis maka

gejala-gejala

seperti misalnya

ptosis,

strabismus atau kelemahan lain tidak lama kemudian akan lenyap.


13

5.

Uji Kinin, diberikan 3 tablet kinina masing-masing 200 mg, 3 jam kemudian
diberikan 3 tablet lagi (masing-masing 200 mg per tablet). Bila
kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis, maka gejala
seperti ptosis, strabismus, dan lain-lain akan bertambah berat. Untuk
uji ini, sebaiknya disiapkan juga injeksi prostigmin, agar gejala-gejala
miastenik tidak bertambah berat.
Pemeriksaan penunjang untuk diagnosis pasti adalah:
1.

Pemeriksaan Laboratorium

a) Anti-asetilkolin reseptor antibodi


Hasil dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mendiagnosis
suatu myastenia gravis, dimana terdapat hasil yang positif pada
74% pasien, 80% dari penderita myastenia gravis generalisata
dan 50% dari penderita dengan myastenia okular murni
menunjukkan hasil tes anti-asetilkolin reseptor antibodi yang
positif. Pada pasien thymoma tanpa myastenia gravis sering kali
terjadi false positive anti-AChR antibody.
b) Antistriated muscle (anti-SM) antibody
Merupakan salah satu tes yang penting pada penderita myastenia
gravis. Tes ini menunjukkan hasil positif pada sekitar 84% pasien
yang menderita thymoma dalam usia kurang dari 40 tahun. Pada
pasien tanpa thymoma dengan usia lebih dari 40 tahun, anti-SM
Ab dapat menunjukkan hasil positif.
c) Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodies

14

Hampir 50% penderita myastenia gravis yang menunjukkan hasil


anti-AChR Ab negatif (miastenia gravis seronegarif), menunjukkan
hasil yang positif untuk anti-MuSK Ab.
d) Antistriational antibodies
Dalam

serum

beberapa

pasien

dengan

myastenia

gravis

menunjukkan adanya antibodi yang berikatan dalam pola crossstriational pada otot rangka dan otot jantung penderita. Antibodi ini
bereaksi dengan epitop pada reseptor protein titin dan ryanodine
(RyR). Antibodi ini selalu dikaitkan dengan pasien thymoma
dengan miastenia gravis pada usia muda. Terdeteksinya titin/RyR
antibody merupakan suatu kecurigaan yang kuat akan adanya
thymoma pada pasien muda dengan myastenia gravis.
2.
a)

Chest

Imaging
x-ray

(foto

roentgen

thorak),

dapat

dilakukan

dalam

posisi

anteroposterior dan lateral. Pada roentgen thorak, thymoma dapat


diidentifikasi

sebagai

suatu

massa

pada

bagian

anterior

mediastinum.
b)

Chest Ct-scan untuk mengidentifikasi thymoma pada semua kasus myastenia


gravis, terutama pada penderita dengan usia tua.

c)

MRI pada otak dan orbita sebaiknya tidak digunakan sebagai pemeriksaan
rutin. MRI dapat digunakan apabila diagnosis myastenia gravis
tidak dapat ditegakkan dengan pemeriksaan penunjang lainnya
dan untuk mencari penyebab defisit pada saraf otak.
3.

Pendekatan elektrodiagnostik, dapat memperlihatkan defek pada


transmisi neuromuscular melalui 2 teknik:

15

a)

Repetitive Nerve Stimulation (RNS), pada penderita astenia gravis terdapat


penurunan jumlah reseptor asetilkolin, sehingga pada RNS tidak
terdapat adanya suatu potensial aksi.

b)

Single-fiber electromyography (SFEMG), menggunakan jarum single-fiber,


yang memiliki permukaan kecil untuk merekam serat otot
penderita. SFEMG dapat mendeteksi suatu jitter (variabilitas pada
interval interpotensial diantara 2 atau lebih serat otot tunggal pada
motor unit yang sama) dan suatu fiber density (jumlah potensial
aksi dari serat otot tunggal yang dapat direkam oleh jarum
perekam). SFEMG mendeteksi adanya defek transmisi pada
neuromuscular fiber berupa peningkatan jitter dan fiber density
yang normal.
2.2.7 Penatalaksanaan
Pada
batasan

pasien

dengan

myastenia

gravis

harus

berada

dalam

yang ditetapkan oleh penyakit yang mereka derita ini. Mereka

memerlukan tidur selam 10 jam agar dapat bangun dalam keadaan segar,
dan perlu menyelingi kerja dengan istirahat. Selain itu mereka juga harus
menghindari factor-faktor pencetus dan harus minum obat tepat pada
waktunya.
Walaupun belum ada penelitian tentang strategi pengobatan yang pasti,
tetapi myastenia
dapat

gravis

merupakan

kelainan

neurologik

yang

paling

diobati. Antikolinesterase (asetilkolinesterase inhibitor) dan terapi

imunomudulasi merupakan penatalaksanaan utama pada myastenia gravis.


Antikolinesterase biasanya digunakan pada myastenia gravis yang ringan.
Sedangkan pada pasien dengn myastenia gravis generalisata, perlu
dilakukan terapi imunomudulasi yang rutin. Terapi

imunosupresif

dan

imunomodulasi yang dikombinasikan dengan pemberian antibiotik dan


16

penunjang

ventilasi,

mampu

menghambat terjadinya mortalitas dan

menurunkan morbiditas pada penderita miastenia gravis. Pengobatan ini


dapat digolongkan menjadi terapi yang dapat

memulihkan kekuatan otot

secara cepat dan terbukti memiliki onset lebih lambat tetapi memiliki efek
yang lebih lama sehingga dapat mencegah terjadinya kekambuhan.
Secara garis besar, pengobatan myastenia gravis berdasarkan 3
prinsip, yaitu:
1.

Mempengaruhi transmisi neuromuskuler:


a. Istirahat
Dengan istirahat, banyaknya ACh dengan rangsangan saraf akan
bertambahsehingga serat-serat otot yang kekurangan AChR di
bawah ambang rangsangdapat berkontraksi.
b. Memblokir pemecahan Ach
Dengan anti kolinesterase, seperti prostigmin, piridostigmin,
edroponium

atauambenonium

diberikan

sesuai

toleransi

penderita, biasanya dimulai dosis kecilsampai dicapai dosis


optimal.

Pada

bayi

dapat

dimulai

dengan

dosis

10

mgpiridostigmin per os dan pada anak besar 30 mg , kelebihan


dosis dapat menyebabkan krisis kolinergik.
2.

Mempengaruhi proses imunologik


a. Timektomi
Tujuan neurologi utama dari timektomi ini adalah tercapainya
perbaikan signifikan

dari

dosis

harus dikonsumsi pasien, serta idealnya

obat yang

adalah kesembuhan

kelemahan

pasien,

mengurangi

yang permanen dari pasien. Timektomi

dianjurkan pada MG tanpa timoma yang telah berlangsung 3-5


17

tahun. Dengan

timektomi, setelah

tahun

25%

penderita akan mengalami remisi klinik dan 40-50% mengalami


perbaikan.
b. Kortikosteroid
Diberikan prednison

dosis

mencegah efek samping.


dinaikkan

perlahan-lahan

diinginkan.

Kerja

tunggal
Dimulai

atau

alternating

dengan

sampai dicapai

kortikosteroid

untuk

dosis

kecil,

dosis

yang

untuk mencegah kerusakan

jaringan oleh pengaruh imunologik atau bekerja langsung pada


transmisi neromuskuler.
c. Imunosupresif
Yaitu

dengan

menggunakan

Cyclophosphamide
azathioprin

(CPM).

Azathioprine,

Namun

Cyclosporine,

biasanya

digunakan

(imuran) dengan dosis 2 mg/kgBB. Azathioprine

merupakan obat yang secara relatif dapat ditoleransi dengan baik


oleh tubuh dan secara umum memiliki efek samping yang lebihs
edikit

dibandingkan dengan obat imunosupresif lainnya.

Perbaikan lambat sesudah 3-12 bulan. Kombinasi azathioprine


dan kortikosteroid lebih efektif yang dianjurkan terutama pada
kasus-kasus berat.
d. Plasma exchange
Berguna untuk mengurangi kadar anti-AChR; bila kadar dapat
diturunkan sampai 50% akan terjadi perbaikan klinik.
3.

Penyesuaian penderita terhadap kelemahan otot

18

Tujuannya agar penderita dapat menyesuaikan kelemahan otot


dengan:
a)

Memberikan

penjelasan

mengenai

penyakitnya

untuk

mencegah

problem psikis
b)

Alat bantuan non medikamentosa


Pada

myastenia

gravis

dengan

ptosis

diberikan

kaca

mata

khusus yang dilengkapi dengan pengkait kelopak mata.

Bila otot-otot leher yang kena, diberikan penegak leher. Juga


dianjurkan untuk menghindari panas matahari, mandi sauna,
makanan yang merangsang, menekan emosi dan jangan minum
obat-obatan yang mengganggu transmisi neuromuskuler seperti
B-blocker, derivat kinine, phenintoin, benzodiazepin, antibiotika
seperti aminoglikosida, tetrasiklin dan d-penisilamin.
2.2.8 Pencegahan
1)

Pencegahan Primer
Pencegahan primer merupakan suatu bentuk pencegahan yang
dilakukan pada saat individu belum menderita sakit. Bentuk upaya yang
dilakukan yaitu dengan cara promosi kesehatan atau penyuluhan degan
cara memberikan pengetahuan bagaimana penanggulangan dari
penyakit myastenia gravis yang dapat dilakukan dengan:
a. Memberi pengetahuan untuk tidak mengkonsumsi minumminuman beralkohol, khususnya

apabila minuman

keras

tersebut dicampur denganair soda yang mengandung kuinin.


Kuinin ini merupakan suatu obat yangmemudahkan terjadinya
kelemahan otot.
b. Menjaga kondisi untuk tidak kelelahan dalam melakukan
pekerjaan

dan menjaga

19

kondisi

untuk tidak stres. Karena

kebanyakan pasien- pasien myastenia gravis ini terjadi pada


saat mereka dalam kondisi yang lelah dantegang.
2)

Pencegahan Sekunder
Pencegahan ini ditujukan pada individu yang sudah mulai
sakit dan menunjukkan adanya tanda dan gejala. Pada tahap ini yang
dapat dilakukan adalah dengan cara pengobatan antara lain dengan
mempengaruhi proses imunologik pada tubuh
dilaksanakan

dengan timektomi,

individu,

yang

bisa

kortikosteroid, imunosupresif yang

biasanya menggunakan azathioprine.


3)

Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier (rehabilitasi), pada bentuk pencegahan ini
mengusahakan agar penyakit yang di derita tidak menjadi hambatan
bagi individu serta tidak terjadi komplikasi pada individu. Yang dapat
dilakukan dengan:

a.

Mencegah

untuk

tidak

terjadinya

penyakit

infeksi

pada

pernafasan. Karenahal ini dapat memperburuk kelemahan otot


yang diderita oleh individu.
b.

Istirahat yang cukup

c.

Pada

myastenia

diberikan

gravis

dengan

ptosis,

yaitu

dapat

kacamata khusus yang dilengkapi dengan pengait

kelopak mata.
d.

Mengontrol

pasien

myastenia

gravis

untuk

obat-obat antikolinesterase secara berlebihan.

2.2.9 Prognosis
20

tidak

minum

Pada anak, prognosis sangat bervariasi tetapi relatif lebih baik dari pada
orang dewasa. Dalam perjalanan penyakit, semua otot serat lintang dapat
diserang, terutama otot-otot tubuh bagian atas, 10% myastenia gravis tetap
terbatas pada otot-otot mata, 20% mengalami insufisiensi pernapasan yang
dapat fatal, 10%,cepat atau lambat akan mengalami atrofi otot. Progresi
penyakit lambat, mencapai puncak sesudah 3-5 tahun, kemudian berangsurangsur baik dalam 15-20 tahun dan 20% antaranya mengalami remisi.
Remisi spontan pada awal penyakit terjadi pada 10% myastenia gravis.

2.3 Hernia Nukleus Pulposus (HNP)


2.3.1 Anatomi Fisiologi Vertebra
Tulang belakang pada batang punggung sepanjang punggung,
menghubungkan tengkorak dengan panggul. Tulang ini melindungi syaraf
yang menonjol pada otak dan menjalar kebawah punggung dan ke seluruh
tubuh. tulang belakang tersebut dipisahkan oleh piringan yang berisi bahan
yang lembut, seperti agar-agar, yang menyediakan batalan ke batang tulang
belakang. Piringan ini bisa hernia (bergerak keluar dari tempatnya) atau
pecah karena luka berat atau tegangan. Batang tulang belakang dibagi
kedalam beberapa bagian-cervical tulang belakang (leher), thoracic spine
(bagian punggung dibelakang dada), lumbar tulang belakang (punggung
bagian bawah), dan sacral tulang belakang (bagian yang dihubungkan
dengan panggul yang tidak bisa bergerak). Diskus Intervertebralis adalah
lempengan kartilago yang membentuk sebuah bantalan diantara tubuh
vertebra. Material yang keras dan fibrosa ini digabungkan dalam satu kapsul.
Bantalan seperti bola dibagian tengah diskus disebut nukleus pulposus.
2.3.2 Definisi

21

Hernia Nukleus Pulposus (HNP) adalah menjebolnya nucleus pulposus


ke dalam kanalis vertebralis akibat degenerasi annulus fibrosus korpus
vertebralis. HNP mempunyai

banyak sinonim antara lain Herniasi Diskus

Intervertebralis, ruptured disc, slipped disc, prolapsus disc dan sebagainya.


HNP sering menyebabkan nyeri punggung bawah (Low Back Pain). Nyeri
punggung bawah atau LBP adalah nyeri yang terbatas pada region lumbal,
tetapi gejalanya lebih merata dan tidak hanya terbatas pada satu radiks saraf,
namun secara luas berasal dari diskus intervertebralis lumbal. Diskus
intervertebralis adalah lempengan kartilago yang membentuk sebuah
bantalan diantara tubuh vertebra. Material yang keras dan fibrosa ini
digabungkan dalam satu kapsul. Bantalan seperti bola dibagian tengah
diskus disebut nukleus pulposus. HNP merupakan rupturnya nukleus
pulposus. HNP bisa ke korpus vertebra diatas atau bawahnya, bisa juga
langsung ke kanalis vertebralis.
Dari pengertian diatas, penulis dapat menyimpulkan bahwa yang
dimaksud dengan Hernia Nukleus Pulposus (HNP) adalah penyakit yang
disebabkan oleh proses degeneratif atau trauma yang ditandai dengan
menonjolnya

nukleus pulposus dari diskus ke dalam anulus yang

menimbulkan kompresi saraf sehingga terjadi nyeri punggung bawah yang


berat, kronik dan berulang (kambuh).
2.3.3 Etiologi
HNP terjadi karena proses degenratif diskus intervetebralis. Keadaan
patologis dari melemahnya annulus merupakan kondisi yang diperlukan
untuk terjadinya herniasi. Banyak kasus bersangkutan dengan trauma sepele
yang timbul dari tekanan yang berulang. Tetesan annulus atau titik lemah
tidak ditemukan akibat dari tekanan normal yang berulang dari aktivitas biasa
atau dari aktivitas fisik yang berat.
22

Faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya HNP:


1. Aliran darah ke discus berkurang
2. Beban berat
3. Ligamentum longitudinalis posterior menyempit
Jika beban pada discus bertambah, annulus fibrosus tidak kuat
menahan nucleus pulposus (gel) akan keluar, akan timbul rasa nyeri oleh
karena gel yang berada di canalis vertebralismenekan radiks.

2.3.4 Patofisiologi
Protrusi atau ruptur nukleus pulposus biasanya didahului dengan
perubahan degeneratif yang terjadi pada proses penuaan. Kehilangan protein
polisakarida dalam diskus menurunkan kandungan air nukleus pulposus.
Perkembangan pecahan yang menyebar di anulus melemahkan pertahanan
pada herniasi nukleus. Setela trauma jatuh, kecelakaan, dan stress minor
berulang seperti mengangkat) kartilago dapat cedera. Pada kebanyakan
pasien, gejala trauma segera bersifat khas dan singkat, dan gejala ini
disebabkan oleh cedera pada diskus yang tidak terlihat selama beberapa
bulan maupun tahun. Kemudian pada degenerasi pada diskus, kapsulnya
mendorong ke arah medula spinalis atau mungkin ruptur dan memungkinkan
nukleus pulposus terdorong terhadap sakus dural atau terhadap saraf spinal
saat muncul dari kolumna spinal.
Hernia nukleus pulposus ke kanalis vertebralis berarti bahwa nukleus
pulposus menekan pada radiks yang bersama-sama dengan arteria
radikularis berada dalam bungkusan dura. Hal ini terjadi kalau tempat
herniasi di sisi lateral. Bilamana tempat herniasinya ditengah-tengah tidak
ada radiks yang terkena. Lagipula,oleh karena pada tingkat L2 dan terus
23

kebawah sudah tidak terdapat medula spinalis lagi, maka herniasi di garis
tengah tidak akan menimbulkan kompresi pada kolumna anterior. Setelah
terjadi hernia nukleus pulposus sisa duktus intervertebralis mengalami lisis
sehingga dua korpora vertebra bertumpang tindih tanpa ganjalan.
Daerah lumbal adalah daerah yang paling sering mengalami hernisasi
pulposus, kandungan air diskus berkurang bersamaan dengan bertambahnya
usia. Selain itu serabut menjadi kotor dan mengalami hialisasi yang
membantu perubahan yang mengakibatkan herniasi nukleus purpolus melalui
anulus dengan menekan akar akar syaraf spinal.

Sebagian besar dari HNP terjadi pada lumbal antara L4 sampai L5, atau
L5 sampai S1. Arah herniasi yang paling sering adalah posterolateral. Karena
radiks saraf pada daerah lumbal miring kebawah sewaktu berjalan keluar
melalui foramena neuralis, maka herniasi discus antara L5 dan S1.
Perubahan degeneratif pada nukleus pulpolus disebabkan oleh pengurangan

24

kadar protein yang berdampak pada peningkatan kadar cairan sehingga


tekanan intra distal meningkat, menyebabkan ruptur pada anulus dengan
stres yang relatif kecil.
2.3.5 Manifestasi Klinis
Nyeri dapat terjadi pada bagian spinal manapun seperti servikal, torakal
(jarang) atau lumbal. Manifestasi klinis bergantung pada lokasi, kecepatan
perkembangan (akut atau kronik) dan pengaruh pada struktur disekitarnya.
Penekanan terhadap radiks posterior yang masih utuh dan berfungsi
mengakibatkan

timbulnya

nyeri

radikular.

Jika

penekanan

sudah

menimbulkan pembengkakan radiks posterior, bahkan kerusakan structural


yang lebih berat gejala yang timbul ialah hipestesia atau anastesia radikular.
Nyeri radikular yang bangkit akibat lesi iritatif diradiks posterior tingkat
cervical dinamakan brakialgia, karena nyerinya dirasakan sepanjang lengan.
Sedangkan nyeri radikular yang dirasakan sepanjan tungkai dinamakan
iskialgia, karena nyerinya menjalar sepanjang perjalanan. iskiadikus dan
lanjutannya ke perifer.
Gejala HNP adalah adanya nyeri di daerah diskus yang mengalami
herniasasi diikuti dengan gejala pada daerah yang diinorvasi oleh radika
spinalis yang terkena oleh diskus yang mengalami herniasasi yang berupa
pengobatan nyeri kedaerah tersebut, mati rasa, kelayuan, maupun tindakantindakan yang bersifat protektif. Hal lain yang perlu diketahui adalah nyeri
pada hernia nukleus pulposus ini diperberat dengan meningkatkan tekanan
cairan intraspinal (membungkuk, mengangkat, mengejan, batuk, bersin, juga
ketegangan atau spasme otot), akan berkurang jika tirah baring.
Gejala klasik dari HNP lumbal adalah: nyeri punggung bawah yang
diperberat dengan posisi duduk dan nyeri menjalar hingga ekstremitas
25

bawah. Nyeri radikuler atau sciatica, biasanya digambarkan sebagai sensasi


nyeri tumpul, rasa terbakar atau tajam, disertai dengan sensasi tajam seperti
tersengat listrik yang intermiten. Level diskus yang mungkin mengalami
herniasi dapat dievaluasi berdasarkan distribusi tanda dan gejala neurologis
yang timbul.
Sindrom lesi yang terbatas pada masing-masing radiks vertebra adalah:
a. L3
Nyeri, kemungkinan parestesia atau hipalgesia pada dermatom L3,
parestesia otot quadrisep femoris, reflex tendon kuadrisep (reflex
patella) menurun atau menghilang.
b. L4
Nyeri, kemungkinan parestesia atau hipalgesia pada dermatom L4,
parestesia otot kuadrisep dan tibialis anterior dan tibialis anterior,
reflex patella berkurang.

c. L5
Nyeri, kemungkinan parestesia atau hipalgesia pada dermatom L5,
parestesis dan kemungkinan atrofi otot ekstensor halusis longus dan
digitorium brevis, tidak ada reflex tibialis posterior.
d. S1
Nyeri, kemungkinan parestesia atau hipalgesia pada dermatom S1,
paresis otot peronealis dan triseps surae, hilangnya reflex triseps
surae (reflex tendon Achilles).

26

Gejala masing-masing tipe HNP berbeda-beda:


a. Hernia Lumbosakralis
Gejala pertama biasanya low back pain yang mula-mula berlangsung
dan periodik kemudian menjadi konstan. Rasa nyeri di provokasi oleh
posisi badan tertentu, ketegangan, hawa dingin dan lembab,
pinggang terfikasi sehingga kadang-kadang terdapat skoliosis. Gejala
patognomonik adalah nyeri lokal pada tekanan atau ketokan yang
terbatas antara 2 prosesus spinosus dan disertai nyeri menjalar
kedalam bokong dan tungkai. low back pain ini disertai rasa nyeri
yang menjalar ke daerah iskhias sebelah tungkai (nyeri radikuler) dan
secara refleks mengambil sikap tertentu untuk mengatasi nyeri
tersebut, sering dalam bentuk skilosis lumbal.
b. Hernia servicalis
-

Parastesi dan rasa sakit ditemukan di daerah extremitas


(sevikobrachialis)

Atrofi di daerah biceps dan triceps

Refleks biceps yang menurun atau menghilang

Otot-otot leher spastik dan kakukuduk.

c. Hernia thorakalis
-

Nyeri radikal

Melemahnya anggota tubuh bagian bawah dapat menyebabkan


kejang paraparesis

Serangannya kadang-kadang mendadak dengan paraplegia

2.3.6 Diagnosis
Menurut Deyo dan Rainville, untuk pasien dengan keluhan LBP dan
nyeri yang dijalarkan ke tungkai, pemeriksaan awal cukup meliputi:
27

a. Tes laseque
b. Tes kekuatan dorsofleksi pergelangan kaki dan ibu jari kaki.
Kelemahan menunjukkan gangguan akar saraf L4-5
c. Tes refleks tendon achilles untuk menilai radiks saraf S1
d. Tes sensorik kaki sisi medial (L4), dorsal (L5) dan lateral (S1)
e. Tes laseque silang merupakan tanda yang spesifik untuk HNP.
Bila tes ini positif, berarti ada HNP, namun bila negatif tidak berarti tidak
ada HNP. Pemeriksaan yang singkat ini cukup untuk menjaring HNP L4-S1
yang mencakup 90% kejadian HNP. Namun pemeriksaan ini tidak cukup
untuk menjaring HNP yang jarang di L2-3 dan L3-4 yang secara klinis sulit
didiagnosis hanya dengan pemeriksaan fisik saja.
2.3.7 Penatalaksanaan
1. Konservatif bila tidak dijumpai defisit neurologik:
a.

Tidur selama 1 2 hr diatas kasur yang keras

b.

Exercise digunakan untuk mengurangi tekanan atau kompresi


saraf

c.

Terapi obat-obatan : muscle relaxant, nonsteroid, anti inflamasi


drug dan analgetik.

d.

Terapi panas dingin.

e.

Imobilisasi atau brancing, dengan menggunakan lumbosacral


brace atau korset

f.

Traksi lumbal, mungkin menolong, tetapi biasanya resides

g.

Transcutaneus Elektrical Nerve Stimulation (TENS)

2. Pembedahan
a. Laminectomy hanya dilakukan pada penderita yang mengalami
nyeri menetap dan tidak dapat diatasi, terjadi gejala pada kedua
28

sisi tubuh dan adanya gangguan neurology utama seperti


inkontinensia usus dan kandung kemih serta foot droop.
b. Laminotomi, yaitu embagian lamina vertebra
c. Disektomi dengan peleburan
Graf tulang (Dari krista illaka atau bank tulang) yang digunakan
untuk menyatukan dengan prosessus spinosus vertebrata.
Tujuan peleburan spinal adalah untuk menstabilkan tulang
belakang dan mengurangi kekambuhan.
2.3.8 Prognosis
Terapi konservatif yang dilakukan dengan traksi merupakan suatu
perawatan yang praktis dengan kesembuhan maksimal. Kelemahan fungsi
motorik dapat menyebabkan atrofi otot dan dapat juga terjadi pergantian
kulit.

29

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Myastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh
suatu

kelemahan

abnormal

dan

progresif

pada

otot

rangka

yang

dipergunakan secara terus-menerus dan disertai dengan kelelahan saat


beraktivitas. Penyakit ini timbul karena adanya gangguan dari synaptic
transmission atau pada neuromuscular junction. Gangguan tersebut akan
mempengaruhi transmisi neuromuscular pada otot tubuh yang kerjanya
dibawah kesadaran seseorang (volunter).
Wanita lebih sering menderita penyakit ini dibandingkan pria. Rasio
perbandingan wanita dan pria yang menderita miastenia gravis adalah 3 :
1.Pada wanita, penyakit ini tampak pada usia yang lebih muda, yaitu sekitar
20 tahun, sedangkan pada pria, penyakit ini sering terjadi pada usia 40 tahun.
Pada anak, prognosis sangat bervariasi tetapi relatif lebih baik daripada
orang

dewasa.

Secara

garis

besar,

pengobatan

Myastenia

gravis

berdasarkan 3 prinsip, yaitu: (1) Mempengaruhi transmisi neuromuskuler, (2)


Mempengaruhi proses imunologik, (3) Penyesuaian penderita terhadap
kelemahan otot.

30

Hernia Nukleus Pulposus (HNP) adalah suatu keadaan dimana terjadi


penonjolan pada diskus intervertebralis ke dalam kanalis vertebralis (protrusi
diskus) atau ruptur pada diskus vebrata yang diakibatakan oleh menonjolnya
nukleus pulposus yang menekan anulus fibrosus yang menyebabkan
kompresi pada syaraf, terutama banyak terjadi di daerah lumbal dan servikal
sehingga menimbulkan adanya gangguan neurologi (nyeri punggung) yang
didahului oleh perubahan degeneratif pada proses penuaan.
HNP dapat dibedakan menjadi 3 macam, yaitu hernia lumbosacralis,
hernia thoracalis, dan hernia cervicalis. Masing-masing hernia tersebut
memiliki gejala yang berbeda-beda, tergantung dari radix syaraf yang lesi.
Namun, gejala yang paling sering adalah ischialgia, nyeri biasanya bersifat
tajam, seperti terbakar, berdenyut, dan menjalar sampai bawah lutut.

3.2 Saran
Dalam penyelesaian makalah ini kami juga memberikan saran bagi
para pembaca dan mahasiswa yang akan melakukan pembuatan makalah
berikutnya :

Kombinasikan metode pembuatan makalah berikut

Pembahasan yang lebih mendalam

Pembahasan secara tepat dan benar


Beberapa poin di atas merupakan saran kami berikan, apabila ada
yang ingin melanjutkan penelitian terhadap makalah ini .
Demikianlah makalah ini disusun serta besar harapan nanti makalah ini
dapat berguna bagi pembaca khususnya

bagi mahasisiwa fakultas

kedokteran UISU dalam menambah wawasan dan ilmu pengetahuan. Kami


terima kritik dan saran demi kesempurnaan makalah kami.
31

DAFTAR PUSTAKA
-

Aminoff, MJ et al. 2005. Lange medical book : Clinical Neurology, Sixth

Edition, Mcgraw-Hill.
Benjamin, MA. 2009. Herniated Disk. UCSF Department of Orthopaedic
Surgery.URL: http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000442.ht

m
Chandrasoma, Parakrama, Clive R.Taylor. 2005. Ringkasan Patologi

Anatomi. Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, hal: 869-871


Djauzi S., Sundaru H., Mahdi D., Sukmana N. 2007. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen

Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Pp: 251-4


Mardjono Mahar dan Sidharta Priguna. 2004. Neurologi Klinis Dasar.

Dian Rakyat: Jakarta.


Sidharta Priguna. 2004. Neurologi Klinis dalam Praktek Umum. Dian
Rakyat:Jakarta

32

Anda mungkin juga menyukai