Anda di halaman 1dari 8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
A. Virus Sebagai Agen Infeksius
Agen infeksi digolongkan menjadi 1) prion, 2) virus, 3) bakteriofaga, plasmid, dan transposon, 4)
bakteri, 5) klamidia, rickettsia dan mikoplasma, 6) fungus, 7) parasit protozoa, 8) cacing, dan 9)
ektoparasit seperti serangga atau arachnida (Samuelson, 2008).
Kriteria dasar penggolongan virus adalah berdasarkan:
Jenis asam nukleat, RNA atau DNA.
Simetri kapsid.
Ada/tidaknya selubung.
Banyaknya kapsomer untuk virus ikosahedral atau diameter nukleokapsid untuk virus helikoidal
(Syahrurachman, 1994).
B. Patogenesis Infeksi Virus
Kembang biak virus dalam sel
Pertama, virus menempel pada reseptor yang terdapat pada permukaan sel. Ada tidaknya reseptor
pada sel tertentu ditentukan oleh faktor genetik, tingkat diferensiasi sel dan lingkungan sel. Setelah
menempel pada reseptor, kemudian virus atau genomnya masuk ke dalam sel. Selanjutnya, dengan
bantuan organel-organel sel, virus merakit komponennya, setelah selesai dirakit dilepaskan. Proses
replikasi ini terjadi pada sitoplasma, inti atau membran sel, sesuai jenis virusnya.
Secara umum, interaksi sel dan virus dapat diringkas dan digolongkan sebagai berikut: (i) virus yang
akibat efek sitosoidal atau toksiknya menimbulkan banyak kematian sel, (ii) virus yang proses
kembangbiaknya tidak menimbulkan kematian sel langsung tetapi hanya menimbulkan kelainan
kecil, (iii) virus yang mengubah tumbuh kembang sel sehingga tumbuh kembang sel berlebihan.
Port dentre virus
Saluran pernafasan
Saluran pencernaan
Kulit dan mukosa genitalia
Plasenta
Penyebaran virus
Ada dua penyebaran virus, yaitu (i) penyebaran dekat sehingga infeksi terlokalisir, dan (ii)
penyebaran jauh. Pada penyebaran dekat, virus menginfeksi sel tetangga melalui ruang antar sel
atau kontak langsung antar sel, atau melalui aliran sekret/ekskret dalam rongga badan. Pada

penyebaran jauh, proses infeksi biasanya melalui beberapa tahap. Setelah melewati central focus
virus menyebar mencapai organ sasaran.
Tanggap kebal terhadap infeksi virus
Mekanisme tanggap kebal melibatkan banyak komponen, yang perannya dipengaruhi oleh jenis
virus, port dentre, organ sasaran, faktor-faktor fisiologis, umur, dan faktor genetik hospes.
Tanggap kebal humoral biasanya didahului oleh naiknya titer IgM diikuti IgG dan IgA. Dari berbagai
antibodi yang terbentuk, beberapa mampu menetralisir infektivitas virus, dengan mekanisme yang
dibagi menjadi tiga, yaitu (i) menghambat perlekatan virus pada sel, (ii) melisiskan virus, dan (iii)
menimbulkan ketidakmampuan virus melepaskan genomnya dari sel. Namun, antibodi juga ada
yang merugikan, seperti enhancing antibodyyang justru membantu proses infeksi.
Infeksi virus juga merangsang tanggap kebal seluler. Sel-sel yang terangsang akan melisiskan sel
terinfeksi dengan cara mengikat antigen virus yang terpapar di membran plasma, sehingga lisisnya
sel dapat memutus rantai replikasi dan infeksi.
Faktor tak spesifik
Faktor tak spesifik yang berperan dalam patogenesis infeksi viral diantaranya adalah fagositosis,
umur, rudapaksa, genetik, hormon, gizi, suhu tubuh, stress, interferon, dan reaksi radang.
Kegagalan tanggap kebal
Beberapa jenis virus menyerang sel-sel yang berperan dalam proses tanggap kebal, sehingga
mekanisme tanggap kebal gagal. Sebab lain kegagalan tanggap kebal terhadap infeksi virus adalah
terjadinya imunotoleransi akibat beban antigen yang masif.
Imunopatologi
Berat ringannya gejala penyakit infeksi viral tergantung banyak faktor, diantaranya proses tanggap
kebal, reaksi hipersensitivitas, reaksi radang, dan gejala kerusakan jaringan.
Jenis infeksi
Infeksi virus pada hospes dapat terjadi dalam berbagai pola, tergantung pada jenis virus dan
hospesnya. Secara klinis, infeksi virus dapat bermanifestasi (apparent infection) atau tidak
(inapparent infection). Menurut lamanya gejala, infeksi virus dapat bersifat akut atau kronik.
Kemungkinan infeksi virus dan hubungan kliniknya:
No

Kemungkinan Infeksi

Contoh

Infeksi produktif dengan gejala klinis akut

Cacar, influenza, demam berdarah dengue

Infeksi akut dan penyakit akut dilanjutkan dengan Herpes labialis oleh virus Herpes simplex.
infeksi persisten dengan serangan-serangan klinis
akut intermitten dan infeksi laten pada masa antar

serangan.
3

Infeksi persisten produktif ialah dengan gejala klinis Hepatitis B kronik persisten.
kronik.

Infeksi persisten laten disertai transformasi sel atau Servisitis uteri (disertai transformasi)
tidak dengan GK akhir berupa keganasan.
Penyakit Kuru, sindroma Creutzfeldt-Jacob dan
leukoenselopati multifocal progresif (tidak
disertai transformasi).

Sifat penyakit
Setelah proses infeksi berhasil, penyakit yang ditimbulkannya dapat menimbulkan gejala klinis atau
tidak. Sifat penyakit yang penting diantaranya masa inkubasi, penularan, masa penularan, dan
insiden subklinik. (Syahrurachman, 1994)
C. Dasar Diagnosis Virologi
Sindrom klinik umum yang disebabkan karena infeksi virus:
1

Eksantemata dan demam berdarah

Penyakit virus pada saluran pernafasan

Infeksi virus pada system saraf

Meningitis viral (aseptik)

Ensefalitis letargika (ensefalitis dari Von Economo)

Neuromiastenia epidemic (ensefalomielitis mialgik benigna)

Ensefalomielitis pasca-infeksi dan pasca-vaksinasi (ensefalomielitis akut disseminated)

Penyakit degenerative pada system saraf pusat

Penyakit virus pada mata (konjungtivitis viral)

10

Penyakit virus pada hati (hepatitis viral)

11

Gastroenteritis viral

12

Infeksi genitourinarius

13

Miokardiopati

14

Infeksi virus neonatal

(Sardjito, 1994).
D. Penatalaksanaan
Terdapat tiga cara pendekatan untuk melakukan pencegahan dan pengobatan penyakit viral yaitu:
kemoterapi, imunisasi, dan pemakaian zat-zat yang menginduksi pembentukan interferon atau
mekanisme pertahanan tubuh (Syahrurachman, 1994).
E. Dengue Fever dan Dengue Hemorrhagic Fever
Etiologi
Dengue fever (Demam Dengue) dan Dengue Hemorrhagic Fever (Demam Berdarah Dengue)
disebabkan oleh virus dengue, yang termasuk dalam famili Flaviviridae dari genus Flavivirus.
Terdapat 4 serotip virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4.
Jalur Infeksi dan Penularan
Penularan infeksi virus dengue terjadi melalui vektor nyamuk genus Aedes (terutama A.
aegypti dan A. albopictus). Peningkatan kasus setiap tahunnya berkaitan dengan sanitasi
lingkungan dengan tersedianya tempat perindukan bagi nyamuk betina yaitu bejana yang berisi air
jernih (bak mandi, kaleng bekas, dan tempat penampungan air lainnya).
Beberapa faktor yang berkaitan dengan peningkatan transmisi virus dengue yaitu 1) vektor:
perkembangbiakan vektor, kebiasaan menggigit, kepadata vektor di lingkungan, transportasi vektor
dari satu tempat ke tempat lain; 2) pejamu: terdapatnya penderita di lingkungan/keluarga, mobilisasi
dan paparan terhadap nyamuk, usia, dan jenis kelamin; 3) lingkungan: curah hujan, suhu, sanitasi,
dan kepadatan penduduk (Suhendro et.al, 2007).
Patogenesis dan Patofisiologi
Perubahan pokok patofisiologi yang terjadi pada DBD atau DSS adalah 1) vaskulopati, 2)
trombopati, 3) koagulopati, dan 4) perubahan imunologi humoral dan seluler. Diperkirakan
perubahan patofisiologi tersebut disebabkan oleh tidak hanya satu faktor tetapi disebabkan oleh
multifaktorial.
Pada perubahan vaskuler terjadi kerapuhan pembuluh darah dan kenaikan permeabilitas kapiler.
Trombosit pada fase awal penyakit akan terjadi gangguan fungsi, kemudian menyusul
trombositopenia, gangguan agregasi, penurunan betathromboglobulin, kenaikan PF4 dan umurnya
memendek. Koagulopati yang terjadi berupa penurunan sejumlah faktor koagulasi, dan terjadi pula
koagulasi intravaskuler. Perubahan imunologi seluler dan humoral antara lain munculnya
leukopenia, aneosinofilia, limfosit plasma biru, penurunan limfosit T dan kenaikan limfosit-B,
peningkatan imunoglobulin dan komplek imun.
Saat ini terdapat banyak teori patogenesis DBD yang menunjukkan belum jelas patogenesis yang
sesungguhnya. Patogenesis tersebut antara lain infeksi sekunder yang berturutan dengan tipe virus

yang lain, yang ada hubungannya dengan ADE, IgM dan makrofag, teori virulensi virus, teori
trombosit-endotel, dan teori mediator. Tidak satupun teori patogenesis itu dapat menjelaskan
terjadinya DI-1F secara tuntas. Diharapkan penelitian biologi molekuler dapat membantu men
jelaskan patogenesis DBD (Sutaryo, 1992).
Berdasarkan kriteria WHO 1997 diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal dibawah ini dipenuhi:

Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari, biasanya bifasik

Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut:

Uji bendung positif

Petekie, ekimosis, atau purpura

Perdarahan mukosa (tersering epistaksis atau perdarahan gusi), atau perdarahan dari
tempat lain

Hematemesis atau melena

Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/l

Terdapat minimal salah satu tanda kebocoran plasma (plasma leakage) sebagai berikut:

Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai dengan umur dan jenis
kelamin

Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan dengan nilai
hematokrit sebelumnya

Tanda kebocoran plasma seperti: efusi pleura, asites, atau hipoproteinemia

Dari keterangan diatas, terlihat bahwa perbedaan utama antara DD dan DBD adalah pada DBD
ditemukan adanya kebocoran plasma, sedangkan pada DD tidak (Suhendro et.al, 2007).
Staging dan Penatalaksanaan
Tidak ada terapi yang spesifik untuk demam dengue, prinsip utama adalah terapi suportif. Protokol
penatalaksanaan DBD pada pasien dewasa yang telah ditetapkan oleh PAPDI adalah berdasarkan
kriteria (i) penatalaksanaan yang tepat dengan rancangan tindakan yang dibuat sesuai atas indikasi,
(ii) praktis dalam pelaksanaannya, dan (iii) mempertimbangkan cost-effectiveness, yang terbagi atas
5 kategori:
No

Protokol

Keterangan

Penanganan tersangka (probable) DBD Petunjuk dalam pertolongan pertama penderita DBD atau
dewasa tanpa syok
diduga DBD di IGD, juga untuk memutuskan indikasi rawat.

Pemberian cairan pada tersangka DBD Untuk pasien tersangka DBD tanpa perdarahan spontan
dewasa di ruang rawat
dan massif dan tanpa syok.

Penatalaksanaan
DBD
peningkatan hematokrit >20%

Penatalaksanaan perdarahan spontan Diberikan cairan, heparin atau transfusi sesuai indikasi
pada DBD dewasa

Tatalaksana sindrom syok dengue pada Mengatasi


renjatan
orang dewasa
intravaskular.

dengan Peningkatan Ht 20% menunjukkan tubuh mengalami defisit


cairan sebesar 5%.

dengan

menggantikan

(Suhendro et.al, 2007).


BAB III
PEMBAHASAN
Demam tinggi pada pasien terjadi akibat adanya rangsangan terhadap metabolisme asam
arachidonat oleh pirogen endogen (IL-1) yang dirangsang oleh pirogen eksogen yang ada pada
agen infeksius, dalam hal ini virus. Agen infeksius ini mengacaukan set point suhu pada
hipotalamus, sehingga tubuh berusaha untuk mencapai set point palsu tersebut dengan
mekanisme demam.
Nyeri kepala pada pasien terjadi akibat rilis mediator proinflamasi sebagai mekanisme respon imun
terhadap agen infeksius. Mediator proinflamasi ini kemudian menekan ujung-ujung saraf sehingga
kemudian disampaikan sebagai rasa nyeri pada otak. Hal inilah yang menyebabkan penderita
merasakan nyeri kepala.
Mual terjadi akibat timbulnya rangsangan terhadap pusat mual, sehingga kemudian menimbulkan
gerakan antiperistaltik sehingga terjadi gerakan muntah, yang sebelumnya diawali dengan rasa
mual. Intinya, dalam kasus ini, kerusakan traktus gastrointestinal adalah penyebab rilis berbagai
mediator proinflamasi yang akan menimbulkan rangsangan tersebut.
PGE2 sebagai produk metabolisme asam arakidonat menyebabkan rasa nyeri karena menaikkan
kepekaan nosiseptor, fenomena ini disebut sentral sensitisasi. Tinggi rendahnya kadar PGE2
mempunyai korelasi dengan berat ringannya mialgia. Kadar PGE2 yang menurun menyebabkan
mialgia berkurang (Tamtomo, 2007). Jadi, mialgia terjadi sebagai salah satu efek dari peningkatan
kadar PGE2 pada proses demam.
Nafsu makan pasien berkurang, karena salah satu mediator inflamasi, yaitu serotonin, yang
dilepaskan pada proses radang, yaitu iritasi mukosa, mempunyai mekanisme menekan nafsu makan
dengan menekan pusat pengatur rasa kenyang dan rasa lapar di hipotalamus.

cairan

Badan pasien terasa lemas, karena pasien tidak mendapatkan makanan yang ada sebagai sumber
energi akibat kurangnya asupan nutrisi karena pasien merasa mual dan nafsu makan berkurang.
Bintik kemerahan yang timbul pada pasien terjadi akibat gangguan hemostasis primer sebagai
konsekuensi dari keadaan trombositopenia. Trombositopenia sendiri yang terjadi pada kasus DD
dan DBD timbul akibat supresi sumsum tulang dan destruksi serta pemendekan masa hidup eritrosit
oleh virus dengue. Kapiler yang sering mengalami ruptur dalam keadaan normal mudah diperbaiki,
namun dalam keadaan trombositopenia, kapiler tersebut tidak dapat diperbaiki dengan cepat,
sehingga timbul bintik kemerahan, atau petechie. Selain itu, bintik kemerahan juga dapat timbul
akibat permeabilitas kapiler yang meningkat.
Tidak terjadinya batuk dan pilek dapat menjadi satu jalan untuk mempertimbangkan diagnosis
banding. Hal ini dapat terjadi karena disamping manifestasi klinis virus tidak mengarah ke traktus
respiratorik, mungkin juga karena port dentre virus memang bukan di saluran pernafasan.
Pasien tetap demam walaupun sudah minum obat parasetamol. Hal ini terjadi karena parasetamol
hanya menurunkan demam, dengan mekanisme menyerupai antagonis PGE2. Jika virus tetap
memproduksi pirogen, maka jika pemberian parasetamol dihentikan suhu tubuh akan naik kembali.
Interpretasi hasil lab. Takikardi terjadi akibat kompensasi tubuh karena terjadinya vasokontriksi
pasca rilis mediator inflamasi. Pasien mengalami leukopenia akibat sifat virus dengue yang dapat
membuat perubahan imunologi seluler, sehingga pada fase akut terjadi leukopenia. Pasien
mengalami trombositopenia, tetapi hematokrit masih termasuk normal, sehingga pasien
dikategorikan menderita DD.
Berdasarkan teori tentang daur hidup serta epidemiologi penyakit Demam Berdarah Dengue,
adanyatetangga penderita yang meninggal akibat DBD menunjukkan bahwa penderita mendapatkan
risiko penularan DBD dari lingkungannya, karena vektor, yaitu nyamuk Aedes sp., hanya dapat
terbang dalam jarak 100 meter. Jika nyamuk tersebut setelah menggigit anak usia 3 tahun yang
merupakan tetangga pasien, kemudian menggigit pasien, maka pasien tersebut kemudian tertular
virus dengue.
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Pasien menderita Demam Dengue, karena hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa pasien tidak
mengalami kebocoran plasma.
B. SARAN
Sebaiknya pasien segera diberikan penanganan terapi suportif untuk memperbaiki keadaan umum
sesuai dengan derajat infeksinya.
Sesuai dengan derajat penyakit infeksi virus dengue, pasien berada pada derajat II, sehingga
penatalaksanaan yang paling baik adalah terapi pemberian cairan infus kristaloid.
DAFTAR PUSTAKA

Samuelson, John. 2008. Patologi Umum Penyakit Infeksi dalam Brooks, G.F., Butel, Janet S.,
Morse, S.A.Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.
Sardjito, R. 1994. Sindrom Klinik Umum Infeksi Virus dalam Staf Pengajar FKUI. Buku Ajar
Mikrobiologi Kedokteran Edisi Revisi. Jakarta: Binarupa Aksara.
Suhendro. Nainggolan, Leonard. Chen, Khie. Pohan, Herdiman T. dalam Sudoyo, Aru W. Setiyohadi,
Bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata K, Marcellus. Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I
Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Sutaryo. 1992. Patogenesis dan Patofisiologi Demam Berdarah Dengue dalam Cermin Dunia
KedokteranEdisi
Khusus
Nomor
81
Tahun
1992.
Diakses
di http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/11_PatogenesisdanpatofisiologiDBD81.pdf/11_Patogenesisda
npatofisiologiDBD81.pdf pada 28 Mei 2009, 00:51.
Syahrurachman, Agus. 1994. Penggolongan Virus dalam
Syahrurachman, Agus. 1994. Patogenesis Infeksi Virus dalam Staf Pengajar FKUI. Buku Ajar
Mikrobiologi Kedokteran Edisi Revisi. Jakarta: Binarupa Aksara.

Tamtomo, Didik Gunawan. 2007. Kajian Biologi Molekuler Pengobatan Tradisional


Kerokan
pada
Penanggulangan
Mialgia.
Diakses
di http://www.adln.lib.unair.ac.id/go.php?id=gdlhub-gdl-s1-2007-tamtomodid5409&width=300&PHPSESSID=a1c47e79ff04b4d0ce4ddfd4ef1f7acb pada 28 Mei
2009, 00:49

Anda mungkin juga menyukai