Anda di halaman 1dari 10

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Definisi Diare
Menurut World Health Organization (WHO), penyakit diare adalah suatu
penyakit yang ditandai dengan perubahan bentuk dan konsistensi tinja yang lembek
sampai mencair dan bertambahnya frekuensi buang air besar yang lebih dari biasa,
yaitu 3 kali atau lebih dalam sehari yang mungkin dapat disertai dengan muntah atau
tinja yang berdarah. Penyakit ini paling sering dijumpai pada anak balita, terutama
pada 3 tahun pertama kehidupan, dimana seorang anak bisa mengalami 1-3 episode
diare berat (Simatupang, 2004).
Di Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI, diare diartikan sebagai buang air
besar yang tidak normal atau bentuk tinja yang encer dengan frekuensi lebih banyak
dari biasanya. Neonatus dinyatakan diare bila frekuensi buang air besar sudah lebih
dari 4 kali, sedangkan untuk bayi berumur lebih dari 1 bulan dan anak, frekuensinya
lebih dari 3 kali (Simatupang, 2004).

2.2.Jenis Diare
Menurut WHO (2005) diare dapat diklasifikasikan kepada:
1. Diare akut, yaitu diare yang berlangsung kurang dari 14 hari.
2. Disentri, yaitu diare yang disertai dengan darah.
3. Diare persisten, yaitu diare yang berlangsung lebih dari 14 hari.
4. Diare yang disertai dengan malnutrisi berat (Simatupang, 2004).
Menurut Ahlquist dan Camilleri (2005), diare dibagi menjadi akut apabila
kurang dari 2 minggu, persisten jika berlangsung selama 2-4 minggu, dan kronik jika

Universitas Sumatera Utara

berlangsung lebih dari 4 minggu. Lebih dari 90% penyebab diare akut adalah agen
penyebab infeksi dan akan disertai dengan muntah, demam dan nyeri pada abdomen.
10% lagi disebabkan oleh pengobatan, intoksikasi, iskemia dan kondisi lain. Berbeda
dengan diare akut, penyebab diare yang kronik lazim disebabkan oleh penyebab non
infeksi seperti allergi dan lain-lain.

2.3.Epidemiologi Diare
Menurut Departemen Kesehatan RI (2003), insidensi diare di Indonesia pada
tahun 2000 adalah 301 per 1000 penduduk untuk semua golongan umur dan 1,5
episode setiap tahunnya untuk golongan umur balita. Cause Specific Death Rate
(CSDR) diare golongan umur balita adalah sekitar 4 per 1000 balita. Kejadian diare
pada anak laki-laki hampir sama dengan anak perempuan. Penyakit ini ditularkan
secara fecal-oral melalui makanan dan minuman yang tercemar. Di negara yang
sedang berkembang, insiden yang tinggi dari penyakit diare merupakan kombinasi
dari sumber air yang tercemar, kekurangan protein dan kalori yang menyebabkan
turunnya daya tahan tubuh (Suharyono, 2003).

2.4.Etiologi dan Patogenesis Diare


2.4.1. Etiologi Diare
Lebih dari 90% kasus diare akut adalah disebabkan oleh agen infeksius
(Ahlquist dan Camilleri, 2005).
Diare dapat disebabkan oleh infeksi virus seperti Enterovirus (Virus ECHO,
Coxsackie, Poliomyelitis), Adenovirus, Rotavirus, Astrovirus dan lain-lain; infeksi
bakteri seperti Vibrio, E.Coli, Salmonella, Shigella, Campylobacter, Yersinia,
Aeromonas dan sebagainya; infeksi parasit seperti cacing (Ascaris, Trichiuris,

Universitas Sumatera Utara

Strongyloides), Protozoa (Entamoeba histolytica, Giardia lamblia, Trichomonas


hominis), jamur (Candida albicans) (Kliegman, 2006).
Diare dapat juga disebabkan oleh intoleransi laktosa, alergi protein susu sapi
namun tetap sebagian besar diare disebabkan oleh infeksi. Di Indonesia, penyebab
utama diare adalah Shigella, Salmonella, Campylobacter, E. Coli, dan Entamoeba
histolytica (Depkes RI, 2000).

2.4.2. Patogenesis Diare


Penyebab tersering diare pada anak adalah disebabkan oleh rotavirus. Virus
ini menyebabkan 40-60% dari kasus diare pada bayi dan anak (Simatupang, 2004).
Setelah terpapar dengan agen tertentu, virus akan masuk ke dalam tubuh bersama
dengan makanan dan minuman. Kemudian virus itu akan sampai ke sel-sel epitel usus
halus dan akan menyebabkan infeksi dan merusakkan sel-sel epitel tersebut. Sel-sel
epitel yang rusak akan digantikan oleh sel enterosit baru yang berbentuk kuboid atau
sel epitel gepeng yang belum matang sehingga fungsi sel-sel ini masih belum bagus.
Hal ini menyebabkan vili-vlli usus halus mengalami atrofi dan tidak dapat menyerap
cairan dan makanan dengan baik. Cairan dan makanan tadi akan terkumpul di usus
halus dan akan meningkatkan tekanan osmotik usus. Hal ini menyebabkan banyak
cairan ditarik ke dalam lumen usus dan akan menyebabkan terjadinya hiperperistaltik
usus. Cairan dan makanan yang tidak diserap tadi akan didorong keluar melalui anus
dan terjadilah diare (Kliegman, 2006).

2.5.Gejala Diare
Tanda-tanda awal dari penyakit diare adalah bayi dan anak menjadi gelisah
dan cengeng, suhu tubuh biasanya meningkat, nafsu makan berkurang atau tidak ada,
kemudian timbul diare. Tinja akan menjadi cair dan mungkin disertai dengan lendir

Universitas Sumatera Utara

ataupun darah. Warna tinja bisa lama-kelamaan berubah menjadi kehijau-hijauan


karena tercampur dengan empedu. Anus dan daerah sekitarnya lecet karena seringnya
defekasi dan tinja makin lama makin asam sebagai akibat banyaknya asam laktat
yang berasal darl laktosa yang tidak dapat diabsorbsi oleh usus selama diare. Gejala
muntah dapat terjadi sebelum atau sesudah diare dan dapat disebabkan oleh lambung
yang turut meradang atau akibat gangguan keseimbangan asam-basa dan elektrolit
(Kliegman, 2006).
Bila penderita telah kehilangan banyak cairan dan elektrolit, maka gejala
dehidrasi mulai tampak. Berat badan turun, turgor kulit berkurang, mata dan ubunubun besar menjadi cekung, selaput lendir bibir dan mulut serta kulit tampak kering
(Hasan dan Alatas, 1985). Menurut Kliegman, Marcdante dan Jenson (2006),
dinyatakan bahwa berdasarkan banyaknya kehilangan cairan dan elektrolit dari tubuh,
diare dapat dibagi menjadi :

Diare tanpa dehidrasi


Pada tingkat diare ini penderita tidak mengalami dehidrasi karena frekuensi
diare masih dalam batas toleransi dan belum ada tanda-tanda dehidrasi.

Diare dengan dehidrasi ringan (3%-5%)


Pada tingkat diare ini penderita mengalami diare 3 kali atau lebih, kadangkadang muntah, terasa haus, kencing sudah mulai berkurang, nafsu makan
menurun, aktifitas sudah mulai menurun, tekanan nadi masih normal atau
takikardia yang minimum dan pemeriksaan fisik dalam batas normal.

Diare dengan dehidrasi sedang (5%-10%)


Pada keadaan ini, penderita akan mengalami takikardi, kencing yang kurang
atau langsung tidak ada, irritabilitas atau lesu, mata dan ubun-ubun besar
menjadi cekung, turgor kulit berkurang, selaput lendir bibir dan mulut serta

Universitas Sumatera Utara

kulit tampak kering, air mata berkurang dan masa pengisian kapiler
memanjang ( 2 detik) dengan kulit yang dingin yang dingin d an pucat.

Diare dengan dehidrasi berat (10%-15%)


Pada keadaan ini, penderita sudah banyak kehilangan cairan dari tubuh dan
biasanya pada keadaan ini penderita mengalami takikardi dengan pulsasi yang
melemah, hipotensi dan tekanan nadi yang menyebar, tidak ada penghasilan
urin, mata dan ubun-ubun besar menjadi sangat cekung, tidak ada produksi air
mata, tidak mampu minum dan keadaannya mulai apatis, kesadarannya
menurun dan juga masa pengisian kapiler sangat memanjang
3 detik)
(
dengan kulit yang dingin dan pucat.

2.6.Faktor Resiko Diare pada Balita


2.6.1. Faktor Gizi
Sutoto (1992) menjelaskan bahwa interaksi diare dan gizi kurang merupakan
lingkaran setan. Diare menyebabkan kekurangan dan akan memperberat diare. Oleh
karena itu, pengobatan dengan makanan yang tepat dan cukup merupakan komponen
utama pengelolaan klinis diare dan juga pengelolaan di rumah.
Berat dan lamanya diare sangat dipengaruhi oleh status gizi panderita dan
diare yang diderita oleh anak dengan kekurangan gizi lebih berat jika dibandingkan
dengan anak yang status gizinya baik karena anak dengan status gizi kurang keluaran
cairan dan tinja lebih banyak sehingga anak akan menderita dehidrasi berat. Menurut
Suharyono (1986), bayi dan balita yang kekurangan gizi, sebagian besarnya
meninggal karena diare. Hal ini dapat disebabkan karena dehidrasi dan malnutrisi.

Universitas Sumatera Utara

2.6.2. Faktor Sosial Ekonomi


Faktor sosial ekonomi juga mempunyai pengaruh langsung terhadap faktorfaktor penyebab diare. Kebanyakan anak yang mudah menderita diare berasal dari
keluarga yang besar dengan daya beli yang rendah, kondisi rumah yang buruk, tidak
mempunyai sediaan air bersih yang memenuhi persyaratan kesehatan, pendidikan
orang tuanya yang rendah dan sikap serta kebiasaan yang tidak menguntungkan.
Karena itu edukasi dan perbaikan ekonomi sangat berperan dalam pencegahan dan
penanggulangan diare (Suharyono, 1991).

2.6.3. Faktor Pendidikan


Tingginya angka kesakitan dan kematian (morbiditas dan mortalitas) karena
diare di Indonesia disebabkan oleh faktor kesehatan lingkungan yang belum
memadai, keadaan gizi, kependudukan, pendidikan, keadaan sosial ekonomi dan
perilaku masyarakat yang secara langsung ataupun tidak langsung mempengaruhi
keadaan penyakit diare (Simatupang, 2004).
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Erial, B. et al, 1994, ditemukan
bahwa kelompok ibu dengan status pendidikan SLTP ke atas mempunyai
kemungkinan 1,6 kali memberikan cairan rehidrasi oral dengan baik pada balita
dibanding dengan kelompok ibu dengan status pendidikan SD ke bawah
(Simatupang, 2004).

2.6.4. Faktor Pekerjaan


Ayah dan ibu yang bekerja sebagai pegawai negeri atau swasta rata-rata
mempunyai pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan ayah dan ibu yang bekerja
sebagai buruh atau petani. Jenis pekerjaan umumnya berkaitan dengan tingkat
pendidikan dan pendapatan. Tetapi ibu yang bekerja harus membiarkan anaknya

Universitas Sumatera Utara

diasuh oleh orang lain, sehingga mempunyai resiko lebih besar untuk terpapar dengan
penyakit diare (Simatupang, 2004).

2.6.5. Faktor Umur Balita


Sebagian besar diare terjadi pada anak dibawah usia 2 tahun. Hasil analisa
lanjut SDKI (1995) didapatkan bahwa umur balita 12-24 bulan mempunyai resiko
terjadi diare 2,23 kali dibandingkan anak umur 25-59 bulan (Simatupang, 2004).

2.6.6. Faktor ASI


ASI eksklusif adalah pemberian air susu ibu bayi baru lahir sampai usia 6
bulan,

tanpa

diberikan

makanan

tambahan

lainnya.

Brotowasisto

(1997),

menyebutkan bahwa insiden diare meningkat pada saat anak untuk pertama kali
mengenal makanan tambahan dan makin lama makin meningkat. Pemberian ASI
penuh akan memberikan perlindungan diare 4 kali daripada bayi dengan ASI disertai
susu botol. Bayi dengan susu botol sahaja akan mempunyai resiko diare lebih besar
dan bahkan 30 kali lebih banyak daripada bayi dengan ASI penuh (Sutoto, 1992).

2.6.7. Faktor Jamban


Resiko kejadian diare lebih besar pada keluarga yang tidak mempunyai
fasilitas jamban keluarga dan penyediaan sarana jamban umum dapat menurunkan
resiko kemungkinan terjadinya diare. Berkaitan dengan personal hygiene dari
masyarakat yang ditunjang dengan situasi kebiasaan yang menimbulkan pencemaran
lingkungan sekitarnya dan terutama di daerah-daerah dimana air merupakan masalah
dan kebiasaan buang air besar yang tidak sehat (Simatupang, 2004).

Universitas Sumatera Utara

2.6.8. Faktor Sumber Air


Sumber air adalah tempat mendapatkan air yang digunakan. Air baku tersebut
sebelum digunakan adalah yang diolah dulu, namun ada pula yang langsung
digunakan oleh masyarakat. Kualitas air baku pada umumnya tergantung dari mana
sumber air tersebut didapat.
Ada beberapa macam sumber air misalnya : air hujan, air tanah (sumur gali,
sumur pompa), air permukaan (sungai, danau) dan mata air. Apabila kualitas air dari
sumber air tersebut telah memenuhi syarat kesehatan sesuai dengan peraturan yang
berlaku, dapat langsung dipergunakan tetapi apabila belum memenuhi syarat, harus
melalui proses pengolahan air terlebih dahulu.
Berdasarkan data survei demografi dan kesehatan tahun 1997, kelompok
anak-anak di bawah lima tahun yang keluarganya menggunakan sarana sumur gali
mempunyai resiko terkena diare 1,2 kali dibandingkan dengan kelompok anak yang
keluarganya menggunakan sumber sumur pompa (Simatupang, 2004).

2.7. Pencegahan dan Penanggulangan Diare


2.7.1. Pencegahan Diare
Diantara langkah-langkah yang dapat dilakukan oleh ibu balita, yang paling
penting adalah menjaga higenis perorangan dengan baik. Ini dapat dilakukan dengan
melaksanakan perilaku sehat, yaitu mencuci tangan dengan sabun sesudah membuang
tinja anak dan setelah buang air besar dan juga sebelum menyiapkan makanan kepada
anak. Ibu-ibu juga seharusnya melatih anak mereka sejak awal lagi tentang perilaku
cuci tangan terutama sebelum makan dan sesudah bermain. Ini dapat mencegah
terjadinya penularan kuman yang dapat menyebabkan diare.
Selain itu, ibu balita juga seharusnya mengamalkan pemberian ASI kepada
anak mereka sejak lahir sehingga 4-6 bulan pertama kehidupan. ASI mengandungi

Universitas Sumatera Utara

antibodi yang berguna untuk menjaga sistem kekebalan bayi agar tidak mudah
terkena infeksi. ASI juga kaya dengan zat-zat yang optimal untuk pertumbuhan anak.
Pemberian ASI sewaktu diare juga bisa mengurangi keparahan kejadian diare.
Berdasarkan banyak penelitian, keterjangkauan terhadap penggunaan sarana
air bersih sangat penting bagi mengurangkan resiko kejadian diare. Oleh karena itu,
masyarakat seharusnya memastikan air yang digunakan di rumah adalah benar-benar
bersih dan memenuhi syarat yaitu tidak mempunyai warna, bau dan juga rasa sebelum
digunakan untuk keperluan sehari-hari.

2.7.2. Penanggulangan Diare Berdasarkan Tingkat Dehidrasi (WHO, 2005)


A. Tanpa Dehidrasi
Pada anak-anak yang berumur bawah dari 2 tahun boleh diberikan larutan
oralit 50-100ml/kali dan untuk usia lebih dari 2 tahun diberikan larutan yang sama
dengan dosis 100-200ml/kali diare. Bagi mengelakkan dehidrasi ibu-ibu harus
meningkatkan pemberian minuman dan makanan dari biasa pada anak mereka. Selain
itu dapat juga diberikan zink (10-20mg/hari) sebagai makanan tambahan.
B. Dehidrasi Ringan
Pada keadaan ini diperlukan oralit secara oral bersama larutan kristaloid
Ringer Laktat ataupun Ringer Asetat dengan formula lengkap yang mengandung
glukosa dan elektrolit dan diberikan sebanyak mungkin sesuai dengan kemampuan
anak serta dianjurkan ibu untuk meneruskan pemberian ASI dan masih dapat
ditangani sendiri oleh keluarga di rumah. Berdasarkan WHO, larutan oralit
seharusnya mengandung 90mEq/L natrium, 20mEq/L kalium klorida dan 111mEq/L
glukosa.
C. Dehidrasi Sedang

Universitas Sumatera Utara

Pada keadaan ini memerlukan perhatian yang lebih khusus dan pemberian
oralit hendaknya dilakukan oleh petugas di sarana kesehatan dan penderita perlu
diawasi selama 3-4 jam. Bila penderita sudah lebih baik keadaannya, penderita dapat
dibawa pulang untuk dirawat di rumah dengan pemberian oralit. Dosis pemberian
oralit untuk umur kurang dari 1 tahun, setiap buang air besar diberikan 50-100ml,
untuk 3 jam pertama 300ml. Untuk anak umur 1-4 tahun setiap buang air besar
diberikan 100-200ml, untuk 3 jam pertama 600ml.
D. Dehidrasi berat
Pada keadaan ini pasien akan diberikan larutan hidrasi secara intravena
(intravenous hydration) dengan kadar 100ml/kgBB/3-6 jam. Dosis pemberian cairan
untuk umur kurang dari 1 tahun adalah 30ml/kgBB untuk 1 jam yang pertama dan
seterusnya diberikan 75ml/kgBB setiap 5 jam. Dosis pemberian cairan untuk anak 1-4
tahun adalah 30ml/kgBB untuk jam yang pertama dan seterusnya diberikan
70ml/kgBB setiap 2 jam.

2.8 Komplikasi
Komplikasi utama akibat penyakit gastroenteritis ini adalah dehidrasi dan
masalah kardiovaskular akibat hipovolemia dengan derajat berat. Apabila diare itu
disebabkan oleh Shigella, demam tinggi dan kejang bisa timbul. Abses pada saluran
usus juga dapat timbul akibat infeksi shigella dan salmonella terutama pada demam
tifoid yang dapat menyebabkan perforasi pada saluran usus. Hal ini sangat berbahaya
dan mengancam nyawa. Muntah yang berat dapat menyebabkan aspirasi dan robekan
pada esofagus (Kliegman, Marcdante, Jenson, Behrman, 2006).

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai