Anda di halaman 1dari 22

72

BAB 8. UNDANG-UNDANG MINERBA


Undang-Undang Minerba No.4.
tahun 2009, ini menggantikan
Peraturan Pemerintah No.27 Tahun 1980. UU No.4 tahun 2009
tentang Minerba (Mineral dan Batubara) tampak lebih detail, namun
untuk implementasinya masih diperlukan aturan-aturan yang lain.
Sebelum anda berbisnis dalam bidang pertambangan, anda sangat
disarankan untuk mencermati betul isi dari Undang-Undang ini.
Kisi-kisi yang perlu diketahui lebih awal tentang Undang-Undang ini
antara lain:
8.1. BATASAN-BATASAN
Dalam uraian batasan-batasan telah dengan tegas dinyatakan:
1. Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan
kegiatan
dalam
rangka
penelitian,
pengelolaan
dan
pengusahaan
mineral
atau
batubara
yang
meliputi
penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi,
penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan
dan penjualan, serta kegiatan pascatambang
2. Mineral adalah senyawa anorganik yang terbentuk di alam,
yang memiliki sifat fisik dan kimia tertentu serta susunan
kristal teratur atau gabungannya yang membentuk batuan,
baik dalam bentuk lepas atau padu
3. Batubara adalah endapan senyawa organik karbonan yang
terbentuk secara alamiah dari sisa tumbuh-tumbuhan
4. Pertambangan mineral adalah pertambangan kumpulan
mineral berupa bijih atau batuan, di luar panas bumi, minyak
dan gas bumi, serta air tanah
5. Pertambangan batubara adalah pertambangan endapan
karbon yang terdapat di dalam bumi, termasuk bitumen
padat, gambut, dan aspal
6. Usaha pertambangan adalah kegiatan dalam rangka
pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi tahapan
kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan,
konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian,
pengangkutan dan penjualan, serta pascatambang
7. Izin
Usaha
Pertambangan
(IUP)
adalah
izn
untuk
melaksanakan usaha pertambangan
8. IUP Eksplorasi adalah izin usaha yang diberikan untuk
melakukan kegiatan tahapan kegiatan penyelidikan umum,
eksplorasi dan studi kelayakan
9. IUP Operasi Produksi adalah izin usaha yang diberikan
setelah selesai pelaksanaan IUP Eksplorasi untuk melakukan

73

tahapan kegiatan Operasi Produksi


10.
Izin Pertambangan Rakyat (IUPR) adalah Izin untuk
melaksanakan
usaha
pertambangan
dalam
wilayah
pertambangan rakyat dengan luas wilayah dan investasi
terbatas
11.
Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) adalah izin
untuk melaksanakan usaha pertambangan di wilayah izin
usaha pertambangan khusus
12.
IUPK Eksplorasi adalah izin usaha yang diberikan untuk
melakukan tahapan kegiatan kegiatan penyelidikan umum,
eksplorasi, dan studi kelayakan di wilayah izin usaha
pertambangan khusus
13.
IUPK Operasi Produksi adalah izin usaha yang diberikan
setelah selesai pelaksanaa Eksplorasi untuk melakukan
tahapan kegiatan operasi produksi di wilayah izin usaha
pertambangan khusus
14.
Penyelidikan
umum
adalah
tahapan
kegiatan
pertambangan untuk mengetahui kondisi geologi regional
dan indikasi adanya mineralisasi
15.
Eksplorasi
adalah
tahapan
kegiatan
usaha
pertambangan untuk memperoleh informasi secara terperinci
dan teliti tentang lokasi, bentuk, dimensi, sebaran, kualitas
dan sumber daya terukur dari bahan galian, serta informasi
mengenai lingkungan social dan lingkungan hidup
16.
Studi kelayakan adalah tahapan kegiatan usaha
pertambangan untuk memperoleh informasi secara rinci
seluruh aspek yang berkaitan untuk menentukan kelayakan
ekonomi dan teknis usaha pertambangan termasuk analisis
mengenai
dampak
lingkungan
serta
perencanaan
pascatambang
17.
Operasi Produksi adalah tahapan kegiatan usaha
pertambangan yang meliputi konstruksi, penambangan,
pengolahan, pemurnian, termasuk penjualan serta sarana
pengendalian dampak lingkungan sesuai dengan hasil studi
kelayakan.
18.
Konstruksi adalah kegiatan usaha pertambangan untuk
melakukan pembangunan seluruh fasilitas operasi produksi,
termasuk pengendalian dampak lingkungan
19.
Penambangan
adalah
bagian
kegiatan
usaha
pertambangan
untuk
memproduksi
mineral
dan/atau
batubara dan mineral ikutannya.
20.
Pengolahan dan pemurnian adalah kegiatan usaha
pertambangan untuk meningkatkan mutu mineral dan/atau
batubara dari daerah tambang dan/atau tempat pengolahan
dan memperoleh mineral ikutan
21.
Pengangkutan adalah kegiatan usaha pertambangan

74

untuk memindahkan mineral dan/atau batubara dari daerah


tambang dan/atau tempat pengolahan dan pemurnian sampai
tempat penyerahan
22.
Penjualan adalah kegiatan usaha pertambangan untuk
menjual hasil pertambangan mineral atau batubara
23.
Badan Usaha adalah setiap badan hokum yang bergerak
di bidang pertambangan yang didirikan berdasarkan hukum
Indonesia dan berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia
24.
Jasa Pertambangan adalah jasa penunjang yang
berkaitan dengan kegiatan usaha pertambangan
25.
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) adalah
kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha
dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup
yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang
penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan
26.
Reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan sepanjang
tahapan usaha pertambangan untuk menata, memulihkan
dan memperbaiki kualitas lingkungan dan ekosistem agar
dapat berfungsi kembali sesuai peruntukannya
27.
Kegiatan pascatambang yang selanjutnya disebut
pascatambang adalah kegiatan terencana, sistematis, yang
berlanjut setelah akhir sebagian atau seluruh kaegiatan
usaha pertambangan untuk memulihkan fungsi lingkungan
alam dan fungsi sosial menurut kondisi lokal di seluruh
wilayah penambangan
28.
Pemberdayaan
masyarakat
adalah
usaha
untuk
meningkatkan
kemampuan
masyarakat,
baik
secara
individual maupun kolektif, agar menjadi lebih baik tingkat
kehidupannya.
29.
Wilayah Pertambangan (WP) adalah wilayah yang
memiliki potensi mineral dan/atau batubara dan tidak terikat
dengan batasan administrasi pemerintahan yang merupakan
bagian dari tata ruang nasional.
30.
Wilayah Usaha Pertambangan (WUP) adalah bagian dari
WP yang memiliki ketersediaan data, potensi, dan/atau
informasi geologi.
31.
Wilayah Izin Usaha Petambangan (WIUP)
adalah
wilayah yang diberikan kepada pemegang IUP.
32.
Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) adalah bagian
dari WP tempat melakukan kegiatan Usaha Pertambangan
Rakyat.
33.
Wilayah Pencadagangan Negara (WPN) adalah bagian
dari WP yang dicadangkan untuk kepentingan strategis
nasional
34.
Wilayah Usaha Pertambangan Khusus (WUPK) adalah

75

bagian dari WPN yang dapat diusahakan


35.
Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus dalam WUPK
(WIUPK) adalah wilayah yang diberikan kepada pemegang
IUPK
36.
Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah
adalah Presiden RI sebagaimana dimaksud dalam UUD
Negara Republik Indonesia 1945
37.
Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati atau
walikota,
dan
perangkat
daerah
sebagai
unsur
penyelenggaraan pemerintah daerah
38.
Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan dibidang pertambangan mineral dan batubara

8.2. WILAYAH PERTAMBANGAN


Dalam uraian yang berkaitan dengan Wilayah Pertambangan dengan
tegas dinyatakan:
1. Wilayah Pertambangan (WP) sebagai bagian dari tata ruang
nasional merupakan landasan bagi penetapan kegiatan
pertambangan
2. Penetapan WP ditetapkan oleh Pemerintah
setelah
berkoordinasi dengan pemerintah daerah dan berkonsultasi
dengan DPR
3. WP terdiri atas Wilayah Usaha Pertambangan (WUP), Wilayah
Pertambangan Rakyat (WPR) , dan Wilayah Pencadangan
Negara (WPN) .

8.3. WILAYAH USAHA PERTAMBANGAN


Dalam uraian yang berkaitan dengan Wilayah Usaha Pertambangan
dengan tegas dinyatakan:
1. Penetapan Wilayah Usaha Pertambangan (WUP) dilakukan
oleh Pemerintah setelah berkoordinasi dengan pemerintah
daerah dan disampaikan secara tertulis kepada DPR
2. Pemberian WUP dapat dilimpahkan sebagian kewenangannya
dalam penetapan WUP kepada pemerintah propinsi sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan
3. Luas dan batasan WUP mineral logam dan batubara
ditetapkan
oleh
Pemerintah
berkoordinasi
dengan
pemerintah daerah berdasarkan kriteria yang dimiliki oleh
Pemerintah
4. Satu WUP terdiri atas 1 (satu) atau beberapa Wilayah Izin

76

Usaha Pertambangan (WIUP) yang berada pada lintas wilayah


propinsi, lintas`wilayah kabupaten/kota, dan/atau dalam 1
(satu) wilayah kabupaten/kota.
5. Luas dan batas WIUP mineral logam dan batubara ditetapkan
oleh Pemerintah berkoordinasi dengan pemerintah daerah
berdasarkan criteria yang dimiliki oleh Pemerintah.
6. Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara penetapan batas
dan luas WIUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 (dalam
hal ini nomor 5) diatur dengan peraturan pemerintah.
8.4. WILAYAH PERTAMBANGAN RAKYAT
Dalam uraian yang berkaitan dengan Wilayah
Pertambangan
Rakyat dengan tegas dinyatakan:
1. Kegiatan penambangan rakyat dilaksanakan dalam suatu
Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR)
2. WPR sebagaimana dimkasud dalam Pasal 20 (dalam hal ini
no.1) ditetapkan oleh bupati/walikota setelah berkonsultasi
dengan DPR Daerah kabupaten/kota
3. Kriteria untuk menetapkan WPR adalah sebagai berikut:
a. Mempunyai/atau di antara tepi dan tepi sungai
b. Mempunyai cadangan primer logam atau batubara
dengan kedalaman maksimal 25 (duapuluh lima) meter.
c. Endapan teras, dataran banjir, dan endapan sungai
purba
d. Luas maksimal wilayah pertambangan rakyat adalah 25
(duapuluh lima) hektare.
e. Menyebutkan jenis komoditas yang akan ditambang
dan/atau
f. Merupakan wilayah atau tempat kegiatan tambang
rakyat yang sudah dikerjakan sekurang-kurangnya 15
(lima belas tahun)
g. Wilayah atau tempat kegiatan tambang rakyat yang
sudah dikerjakan tetapi belum ditetapkan sebagai WPR
diprioritaskan untuk ditetapkan sebagai WPR

8.5. WILAYAH PENCADANGAN NEGARA


Dalam uraian yang berkaitan dengan Wilayah
Pertambangan
Rakyat dengan tegas dinyatakan:
1. Untuk kepentingan strategis nasional, Pemerintah dengan
persetujuan DPR RI dan dengan memperhatikan aspirasi
daerah menetapkan Wilayah Pencadangan Negara (WPN)

77

2.
3.
4.

5.

6.

7.

sebagai daerah yang dicadangkan untuk komoditas tertentu


dan daerah konservasi dalam rangka menjaga keseimbangan
ekosistem dan lingkungan.
WPN yang ditetapkan untuk komoditas tertentu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1)[dalam hal ini no.1] dapat diusahakan
sebagian luas`wilayahnya dengan persetujuan DPR RI.
WPN yang ditetapkan untuk konsentrasi sebagaimana
dimaksud pada no1 tersebut di atas ditentukan batasan
waktu dengan persetujuan DPR RI
Wilayah yang akan diusahakan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2)[dalam hal ini no.2] dan ayat (3)[dalam hal ini no.3]
berubah statusnya menjadi Wilayah Usaha Pertambangan
Khusus (WUPK)
Perubahan status WPN sebagaimana dimkasud dalam Pasal
17 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) [dalam hal ini no.4] menjadi
WUPK dapat dilakukan dengan mempertimbangkan:
a. Pemenuhan bahan baku industri dan energi dalam
negeri.
b. Sumber devisa Negara
c. Kondisi wilayah didasarkan pada keterbatasan sarana
dan prasarana
d. Berpotensi
untuk
dikembangkan
sebagai
pusat
pertumbuhan ekonomi
e. Daya dukung lingkungan; dan/atau
f. Penggunaan teknologi tinggi dan modal investasi yang
besar
Satu WUPK terdiri atas 1 (satu) atau beberapa Wilayah Izin
Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) yang berada pada
lintas wilayah propinsi, lintas wilayah kabupaten/kota,
dan/atau dalam 1 (satu) wilayah kabupaten/kota
Luas WIUPK mineral logam dan batubara ditetapkan oleh
pemerntah
berkoordinasi
dengan
pemerintah
daerah
berdasarkan kriteria dan informasi yang dimiliki oleh
pemerntah

8.6. USAHA PERTAMBANGAN


Dalam uraian yang berkaitan dengan Usaha Pertambangan dengan
tegas dinyatakan:
1. Usaha pertambangan dikelompokkan atas:
a. Pertambangan mineral, dan
b. Pertambangan batubara
2. Pertambangan mineral dibagi menjadi:
a. Pertambangan mineral radioaktif
b. Pertambangan mineral logam

78

c. Pertambangan mineral bukan logam, dan


d. Pertambangan batuan
3. Usaha pertambangan sebagaimana dimaksud dalam
dilaksanakan dalam bentuk
a. IUP
b. IPR, dan
c. IUPK

no.1

8.7. IZIN USAHA PERTAMBANGAN


Dalam uraian yang berkaitan dengan Izin Usaha Pertambangan
(IUP) dengan tegas dinyatakan:
1. Izin Usaha Pertambangan (IUP) terdiri atas dua tahap:
a. IUP Eksplorasi meliputi kegiatan penyelidikan umum;
eksplorasi; dan studi kelayakan
b. IUP Operasi Produksi meliputi kegiatan konstruksi,
penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta
pengangkutan dan penjualan
2. Pemegang IUP Eksplorasi dan pemegang IUP Operasi
Produksi dapat melakkan sebagian atau seluruh kegiatan
sebagimana dimaksud pada no.1
3. IUP diberikan oleh
a. Bupati/walikota apabila IUP berada di dalam satu
wilayah kabupaten/kota;
b. Gubernur
apabila
WIUP
berada
pada
lintas
kabupaten /kota dalam 1 (satu) propinsi
c. Menteri apabila WIUP berada pada lintas propinsi
setelah mendapatkan rekomendasi dari gubernur dan
bupati/walikota setempat
4. IUP diberikan kepada
a. Badan usaha
b. Koperasi, dan
c. Perseorangan
5. IUP Eksplorasi wajib memuat ketentuan sekurang-kurangnya
a. Nama perusahaan
b. Lokasi dan luas wilayah
c. Rencana umum tata ruang
d. Jaminan kesungguhan
e. Modal investasi
f. Perpanjangan waktu tahap kegiatan
g. Hak dan kewajiban pemegang IUP
h. Jangka waktu berlakunya tahap kegiatan
i. Jenis usaha kegiatan
j. Rencana pengembangan dan pemberdayaan masyarakat
di sekitar wilayah pertambangan

79

k. Perpajakan
l. Penyelesaian perselisihan
m.Iuran tetap dan iuran eksplorasi, dan amdal
6. IUP Operasi Produksi wajib memuat ketentuan:
a. Nama perusahaan
b. Luas wilayah
c. Lokasi penambangan
d. Lokasi pengolahan dan pemurnian
e. Pengangkutan dan penjualan
f. Modal investasi
g. Jangka waktu berlakunya IUP
h. Jangka waktu tahap kegiatan
i. Penyelesaian masalah pertanahan
j. Lingkungan hidup termasuk reklamasi dan pasca
tambang
k. Dana jaminan reklamasi dan pascatambang
l. Perpanjangan IUP
m.Hak dan kewajiban pemegang IUP
n. Rencana pengembangan dan pemberdayaan masyarakat
di wilayah pertambangan
o. Perpajakan
p. Penerimaan Negara bukan pajak yang terdiri atas iuran
tetap dan iuran produksi
q. Penyelesaian perselisihan
r. Keselamatan dan kesehatan kerja
s. Konservasi mineral atau batubara
t. Pemanfaatan barang, jasa, dan teknologi dalam negeri
u. Penerapan
kaidah
keekonomian
dan
keteknikan
pertambangan yang baik
v. Pengembangan tenaga kerja Indonesia
w. Pengelolaan data mineral atau batubara, dan
x. Penguasaan, pengembangan, dan penerapan teknoloi
pertambangan minral dan batubara
7. IUP hanya diberikan untuk 1 (satu) jenis mineral atau
batubara
8. Pemegang IUP yang menemukan mineral lain di dalam WIUP
yang dikelolla diberikan prioritas untuk mengusahakannya
8.8. IUP EKSPLORASI
Dalam uraian yang berkaitan dengan IUP Eksplorasi dengan tegas
dinyatakan:
1. IUP Eksplorasi untuk pertambangan mineral logam dapat
diberikan dalam jangka waktu paling lama 8 (delapan) tahun
2. IUP Eksplorasi untuk pertambangan mineral bukan logam

80

dapat diberikan paling lama dalam jangka waktu 3 (tahun)


dan mineral logam jenis tertentu dapat diberikan dalam
jangka waktu paling lama 7 (tujuh) tahun
3. IUP Eksplorasi untuk pertambangan batuan dapat diberikan
dalam jangka waktu paling lama 3 (tida) tahun
4. IUP Eksplorasi untuk pertambangan batubara dapat diberikan
dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) tahun
5. Dalam hal kegiatan eksplorasi dan kegiatan studi kelayakan,
pemegang IUP Eksplorasi yang mendapatkan mineral atau
batubara yang tergali wajib melaporkan kepada pemberi IUP
8.9. IUP OPERASI PRODUKSI
Dalam uraian yang berkaitan dengan IUP Operasi Produksi dengan
tegas dinyatakan:
1. Setiap pemegang IUP Eksplorasi dijamin untuk mendapatkan
IUP Operasi
Produksi sebagai kelanjutan kegiatan usaha
pertambangannya
2. IUP Operasi Produksi dapat diberikan kepada badan usaha,
koperasi, atau perseorangan atas hasil pelelangan IUP
mineral logam atau batubara yang telah mempunyai data
hasil kajian studi kelayakan.
3. IUP Operasi Produksi untuk mineral:
a. Logam dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama
20 (duapuluh) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua)
kali masing-masing 10 (sepuluh) tahun
b. Bukan logam dapat diberikan dalam jangka waktu
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan dapat diperpanjang
2 (dua) kali masing-masing 5 (lima) tahun.
c. Bukan logam jenis tertentu dapat diberikan dalam
jangka waktu paling lama 20 (duapuluh) tahun dan
dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 10
(sepuluh) tahun
d. Batuan dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama
5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali
masing-masing 5 (lima) tahun
e. Batuan dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama
5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali
masing-masing 5 (lima) tahun
f. Batubara dapat diberikan dalam jangka waktu paling
lama 20 (duapuluh) tahun dan dapat diperpanjang 2
(dua) kali masing-masing 10 (sepuluh) tahun
4. IUP Operasi Produksi diberikan oleh:
a. Bupati/walikota apabila lokasi penambangan, lokasi
pengolahan dan pemurnian, serta pelabuhan berada di

81

dalam satu wilayah kabupaten/kota


b. Gubernur
apabila
lokasi
penambangan,
lokasi
pengolahan dan pemurnian, serta pelabuhan berada di
dalam satu wilayah kabupaten/kota yang berbeda
c. Menteri apabila lokasi penambangan, lokasi pengolahan
dan pemurnian, serta pelabuhan berada di dalam satu
wilayah propinsi yang berbeda
8.10. PERTAMBANGAN MINERAL
Dalam uraian yang berkaitan dengan Pertambangan
Mineral
dengan tegas dinyatakan:
1. Pertambangan Mineral Radioaktif
a. Ditetapkan oleh pemerintah dan pengusahaannya
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan
2. Pertambangan Mineral logam
a. Diberikan
kepada
badan
usaha,
koperasi
dan
perseorangan dengan cara lelang
b. Pemegang IUP Eksplorasi mineral logam diberi WIUP
dengan luas paling sedikit 5.000 (lima ribu) hektare dan
paling banyak 100.000 (seratus ribu) hektare
c. Wilayah yang telah diberikan IUP Eksplorasi mineral
logam dapat diberikan IUP kepada pihak lain untuk
mengusahakan mineral lain yang keterdapatannya
berbeda
d. Pemberian IUP sebagaimana tersebut pada c, dilakukan
setelah mempertimbangkan pendapat dari pemegang
IUP pertama
e. Pemegang IUP Operasi Produksi mineral logam, diberi
WIUP dengan luas paling banyak 25.000 (dua puluh lima
ribu) hektare
3. Pertambangan Mineral bukan logam
a. WIUP mineral bukan logam diberikan kepada badan
usaha, koperasi, dan perseorangan dengan cara lelang
b. Pemegang IUP mineral bukan logam diberi WIUP dengan
luas paling sedikit 500 (lima ratus) hektare dan paling
paling banyak 25.000 (duapuluh lima ribu) hektare
c. Pada wilayah yang telah diberikan IUP Eksplorasi minral
bukan logam dapat diberikan IUP kepada pihak lain
untuk
mengusahakan
mineral
yang
lain
yang
keterdapatannya berbeda
d. Pemberian IUP seperti tersebut pada b, diberikan
sesudah mendapat pertimbangan pendapat dari pegang
IUP pertama.
e. Pemegang IUP Operai Produksi mineral bukan logam

82

diberi WIUP dengan luas paling banyak 5.000 (lima ribu)


hektare
4. Pertambangan Batuan
a. WIUP batuan diberikan kepada badan usaha, koperasi,
dan perseorangan dengan cara lelang
b. Pegang IUP Eksplorasi batuan diberi IUP dengan luas
paling sedikit 5 (lima) hektare dan paling banyak 5.000
(lima ribu) hektare
c. .Pada wilayah yang telah diberikan IUP Eksplorasi
batuan dapat diberikan IUP kepada pihak lain untuk
mengusahakan mineral yang lain yang keterdapatannya
berbeda
d. Pemberian IUP sebagaimana tersebut pada huruf c,
dilakukan
setelah
mempertimbangkan
pendapat
pemegang IUP pertama
e. Pemegang IUP Operasi Produksi batuan diberi WIUP
dengan luas paling banyak 1.000 (seribu) hektare.
5. Pertambangan Batubara
a. WIUP batuan diberikan kepada badan usaha, koperasi,
dan perseorangan dengan cara lelang
b. Pegang IUP Eksplorasi batuan diberi IUP dengan luas
paling sedikit 5.000 (limaribu) hektare dan paling
banyak 50.000 (lima puluh ribu) hektare
c. .Pada wilayah yang telah diberikan IUP Eksplorasi
batuan dapat diberikan IUP kepada pihak lain untuk
mengusahakan mineral yang lain yang keterdapatannya
berbeda
d. Pemberian IUP sebagaimana tersebut pada huruf c,
dilakukan
setelah
mempertimbangkan
pendapat
pemegang IUP pertama
e. Pemegang IUP Operasi Produksi batuan diberi WIUP
dengan luas paling banyak 15.000 (lima belas ribu)
hektare.
8.11. IZIN PERTAMBANGAN RAKYAT
Dalam uraian yang berkaitan dengan Izin Pertambangan Rakyat
dengan tegas dinyatakan:
1. Kegiatan pertambangan rakyat
dikelompokkan sebagai
berikut:
a. Pertambangan mineral logam
b. Pertambangan mineral bukan logam
c. Pertambangan batuan, dan/atau
d. Pertambangan batubara
2. Bupati/walikota memberikan IPR:

83

a. Terutama
kepada
penduduk
setempat
baik
perseorangan maupun kelompok masyarakat dan/atau
koperasi
b. Dapat
melimpahkan
kewenangan
pelaksanaan
pemberian IPR kepada camat sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan
3. Untuk memperoleh IPR pemohon wajib menyampaikan surat
permohonan kepada bupati/walikota
4. Pemegang IPR berhak
a. Mendapat pembinaan dan pengawasan di bidang
keselamatan dan kesehatan kerja, lingkungan, teknis
pertambangan,
dan
manajemen
dari
pemerintah
dan/atau pemerintah daerah; dan
b. Mendapat bantuan modal sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan
5. Pemegang IPR wajib
a. Melakukan kegiatan penambangan paling lambat 3
(tiga) bulan setelah IPR diterbitkan
b. Mematuhi peraturan perundang-undangan di bidang
keselamatan dan kerja pertambangan, pengelolaan
lingkungan, dan memenuhi standar yang berlaku
c. Mengelola lingkungan hidup bersama pemerintah
daerah
d. Membayar iuran tetap dan iuran produksi
e. Menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan usaha
pertambangan rakyat secara berkala kepada pemberi
IPR

8.12. IZIN USAHA PERTAMBANGAN KHUSUS


Dalam uraian yang berkaitan dengan Izin Pertambangan
Khusus
dengan tegas dinyatakan:
1. Izin Usaha Pertambang Khusus (IUPK)
a. Diberikan
oleh
Menteri
dengan
memperhatikan
kepentingan daerah
b. Diberikan untuk 1 (satu) jenis meneral logam atau
batubara
dalam
1
(satu)
Wilayah
Izin
Usaha
Pertambangan Khusus (WIUPK)
2. Pemegang IUPK
a. Yang menemukan mineral lain di dalam WIUPK yang
dikelolla diberikan prioritas untuk mengusahakannya
b. Untuk melaksanakan seperti tersebut pada a, wajib
mengajukan mengajukan permohonan IUPK baru kepada

84

Menteri
c. Dapat
juga
menyatakan
tidak
berminat
untuk
mengusahakan mineral lain yang ditemukan tersebut
d. Jika tidak berminat pemegang IUPK wajib menjaga
mineral lain tersebut
e. IUPK mineral lain tersebut dapat diberikan kepada
pihak lain oleh Menteri
3. IUPK dapat diberikan kepada badan usaha yang berbadan
hokum Indonesia, baik berupa badan usaha milik Negara,
badan usaha milik daerah, maupun badan usaha swasta
4. Badan usaha milik Negara dan miik daerah mendapat
prioritas dalam mendapatkan IUPK
5. Badan usaha swasta untuk mendapatkan IUPK dilaksanakan
dengan cara lelang WIUPK
6. IUPK terdiri atas dua tahap:
a. IUPK Eksplorasi meliputi kegiatan penyelidikan umum,
eksplorasi, dan studi kelayakan
b. IUPK Operasi Produksi meliputi kegiatan konstruksi,
penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta
pengangkutan dan penjualan
7. Pemegang IUPK Eksplorasi dan IUPK Operasi Produksi dapat
melakukan sebagian atau seluruh kegiatan
8. Setiap pemegang IUPK Eksplorasi dijamin untuk memperoleh
IUPK Operasi Produksi
9. IUPK Operasi Produksi dapat diberikan kepada badan usaha
yang berbadan hokum Indonesia yang telah mempunyai data
hasil kajian studi kelayakan
10.
Untuk mendapatkan IUPK Eksplorasi pengusaha wajib
memenuhi syarat yang telah ditentukan
11.
Untuk mendapat IUPK Operasi Produksi pengusaha
wajib memenuhi syarat yang telah ditentukan
12.
IUPK tidak dapat digunakan selain yang dimaksud
dalam pemberian IUPK
8.13.

LUAS WILAYAH DAN JANGKA WAKTU

Dalam uraian yang berkaitan dengan Izin Pertambangan


dengan tegas dinyatakan:

Khusus

1. Persyaratan luas wilayah dan jangka waktu ssuai dengan


kelompok usaha pertambangan yang berlaku bagi pemegang
IUPK meliputi:
a. Luas
1
(satu)
IUPK
untuk
tahap
Eksplorasi

85

b.
c.
d.
e.

pertambangan mineral logam diberikan dengan luas


paling banyak 100.000 (seratus ribu) hektare.
Luas 1 (satu) IUPK untuk tahap Operasi Produksi
mineral logam diberikan dengan luas paling banyak
25.000 (dua puluh lima ribu) hektare.
Luas
1
(satu)
IUPK
untuk
tahap
Eksplorasi
pertambangan batubara diberikan dengan luas paling
banyak 50.000 (lima puluh ribu) hektare.
Luas 1 (satu) IUPK untuk tahap Operasi Produksi
batubara diberikan dengan luas paling banyak 15.000
(lima belas ribu) hektare.
Jangka waktu untuk IUPK
i. Eksplorasi pertambangan mineral logam dapat
diberikan paling lama 6 (enam) tahun
ii. Eksplorasi
pertambangan
batubara
dapat
diberikan paling lama 7 (tujuh) tahun
iii. Operasi Produksi mineral logam atau batubara
dapat diberikan paling lama 20 (duapuluh) tahun
dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masingmasing 10 (sepuluh) tahun.

Persyaratan operasional selanjutnya dapat dilihat pada UndangUndang Minerba No.4 tahun 2009, yang tercantum pada buku
Memahami
Pengelolaan
Bahan
Tambang
di
Indonesia
(Sukandarrumidi, 2009)-terbitan Yayasan Pustaka Nusatama,
Yogyakarta.
Catatan
PETI = Penambangan Tanpa Izin.

Beberapa catatan yang perlu diperhatikan.


(1). Pemerintah memastikan larangan ekspor mineral mentah
Pemerintah memasikan tetap konsisten melarang ekspor mineral mentah pada 12
Januari 2014. Pelarangan itu merupakan langkah untuk meningkatkan nilai tamah
mineral. Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Susilo Siswoutomo
di
Jakarta, Senin (23 Desember 2013) menegaskan bahwa pemerintah
berkomitmen menjalankan amanah UU No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mneral dan Batubara (Minerba) secara konsekuen. Untuk itu kewajiban pengolahan
dan pemurnian bijih mineral akan tetap dijalankan. Melihat perkembangan situasi
industry pertambangan saat ini, pemerintah mengevaluasi persiapan implementasi
kebijakan itu. Hal tersebut karena sebagian perusahaan pertambangan terancam
berhenti beroperasi jika kebijakan itu diterapkan karea belum ada pabrik
pengolahan di dalam negeri yang bisa menyerap hasil tambang mereka. Saat ini
kami sedang membahas masalah ini antar kementerian. Bagaimana mekanimesnya
agar tidak melanggar hokum, ujarnya. Jika perusahaan pertambangan diijinkan

86
meengekspor bjih mineral sampai beberapa tahun ke depan atau hingga pabrik
pengolahan mulai beroperasi, perlu ada paying hokum. Namun, sampai kini belum
ada jalan keluar. Selain itu, pemerintah sedang mengkaji aturan pelaksanaan
peningkatan nilai tambah mineral. Hal ini menindaklanjuti putusan Mahkamah
Agung yang memerintahkan Mentri ESDM mencabut Peraturan Menteri ESDM No.7
Tahun 2012 tentang peningkatan nilai tambah Mineral melalui kegiatan Pengolahan
dan Pemurnia Mineral. Putusan itu atas permohonan pengusaha petambangan
bauksit di Kalimantan Tengah, Alias Wello. Direktur Jenderal Mineral dan Batubara
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, R Sukhyar, Senin (23 Desember
2013) malam di Jakarta menegaskan pemerintah tetap akan melaksanakan
pelarangan ekspor bijih mineral sesuai dengan amanat UU Minerba. Hal ini juga
telah disepakati para pengusaha pemegang izin usaha pertambangan (IUP) operasi
produksi mineral. Pemerintah tak mungkin melepaskan ekspor bijih mineral pada
tahun 2014 karena ini akan merusak tatanan. Pemerintah berkomtmen untuk
melaksanakan UU,
apalagi para pengusaha telah sepakat melaksanakan
pengolahan dan pemurnian di dalam negeri. Sukhyar menjelaskan, setelah
pembatalan Peraturan Menteri ESDM No.7/2012 oleh Mahkamah Agung, pemerintah
memanggil para pengusaha pertambangan. Hasilnya, pemerintah dan pelaku usaha
sepakat, kewajiban pegolahan dan pemurnian bijih mineral dijalankan pada 12
Januari 2014 sesuai dengan amanat UU Minera, Jadi jadwalnya tidak dipercepat
sebagaimana
tercantum
dalam
Peraturan
Menteri
ESDM
No.12/2012.
Pemberlakukan kewajiban pengolahan dan pemurnian disepakai berlaku efektif
pada tahun 2014. Ada 213 pengusaha pemegang IUP yang telah menadatangani
kesepakatan itu dalam pakta integritas, kata Sukhyar. Terkait PT Freeport Indonesia
dan PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) Sukhyar menyatakan, Kementerian ESDM
telah menegaskan bahwa kedua perusahaan pemegang kontrak karya itu tetap
dapat memproduksi sesuai kapasitas pengolahan pabrik di dalam negeri. Ini berarti
pihak Freeport akan Indonesia akan memproduksi 30% dari kapasitas saat ini dan
NNT akan memproduksi 25% dari kapasitas, serta hasil produksinya akan diolah PT
Smelting Gresik. Saat ini beberapa pabrik pengolahan atau smelter telah dalam
hatap uji coba operasi, sebagian lagi telah mulai beroperasi, kata Sukhyar. Secara
jangka panjang, jika pemerintah member toleransi ekspor bijih mineral sampai
beberapa tahun ke depan, hal itu dinilai merugikan Negara. Itu karena menjual bijih
mineral sama saja tak member nilai tambah baik secara ekonomi maupun
peningkatan sumber daya manusia dan tak ada efek domino dari keberadaan
industry itu. Di akui, UU Mineba semenjak awal memang memiliki sejumlah
kelemahan mendasar terutama berkaitan aspek-aspek dan detailnya. Akibatnya,
aturn perundang-undangan itu akhirnya tidak cukup implementatif. Banyak hal yang
semangatnya bagus, seperti halnya pelimpahan kewenangan pengusahaan
tambang ke daerah, renegosiasi kontrak ataupun kewajiban pengolahan hasil
tambang mentah di dalam negeri tidak dapat diterapkan dengan baik sebab kajian
akademis yang mendasarinya lemah. Selai itu, peraturan=peraturan pelaksananya
pun lambat dikeluarkan dan juga lemah dalam hal teknis ataupun detailmnya. Jadi
tidak mengherankan apabila penerapan aturan larangan kespor bahan mentah hasil

87
tambang pun kemungkinan akan dilonggarkan, ujar Pri gung. Dalam hal ini
pemerintah sendiri belum siap secara tegas menerapkan larangan ekspor bahan
mentah itu, baik secara regulasi, detail yang menyangkut hal eknis maupun kajian
dampak ekonomi, social dan politiknya (Anonim, 2013. Pemerintah memastikan
larangan ekspor mineral mentah. Komas 24 Desember 2014).
Tarik ulur pengendalian ekspor mineral mentah.
1
12 Januari 2009. UU No.4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Menetapkan kebijakan pengendalian produksi dan ekspor mineral dan/atau
batubara. Demi mengutamakan kepentingan dalam negeri.
2
1 Januari 2010. PP No.23/2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha
Pertambangan Mineral dan Batubara. Pemegang IUP operasi produksi dan
IUPK operasi produsi dapat mengekspor seteah kebutuhan dalam negeri
terpenuhi (Pasal 84).
3
4 Mei 2012. Permen ESDM No.7/2012. Tentang penigkatan nilai tambah
mineral melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral: Mengatur
kewajiban pengolahan dan pemurnian mineral di dalam negeri paling lambat
tanggal 12 Janurai 2014.
4
16 Mei 2012. Peraturan ESDM No12/2012 tentang perubahan atas Permen
ESDM No.7/212. Menambah aturan tatacara ekspor dan pemberian
rekmendasi oleh Menteri (Pasal 21A dan Pasal 25A).
5
12 September 2013. Putusan MA No.09P/HUM/2012. Permohonan Hak uji
Materi terhadap Permen ESDM No.7/2012 mengenai kerjasama (Pasal 8),
saham (Pasal 9), konsultasi (Pasal 10) dan aturan peralihan )Pasal 21).
6
6 Agustus 2013. Terbit Permen ESDM No.20/2013 tentang Perbahan Kedua
atas Permen ESDM No.7/2012. Pengharuskan perusahaan IUP dan IUPK yang
tidak ekonomis untuk melakukan sendri kegiatan pengolahan unuk
bekerjasama dengan pihak lain setelah mendapatkan prsetujuan dari menteri
atau kepala daerah (Pasal 8). Menghapuskan aturan kemitraan melalui saham
(Pasal 9), tatacara knsultasi (Pasal 10) dan ketentuan peralihn (Pasal 21).
(2). Larangan eskpor mineral mentah
Rencana pemerintah memberlakukan larangan ekspor segala jenis mineral
mentah mulai 12 Janurai 2014 ditanggapi dengan sikap pro dan kontra
dari sejumlah kalangan berbeda. Program hilirisasi tambang ini
merupakan amanat UU No.4/2009 tentang Pertambangan Mneral dan
Batubara (Minerba) dan
Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya
Mineral (ESDM) No.7/2012 tentang Peningkatan Nilai Tambah Minerall
melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral. UU dan Permen itu
memaksa semua perusahaan tambang mendirikan pabrik pengolahan
sendiri,apakah berupa pabrik peleburan ataupun pengolahan sendiri atau
member kesempatan bagi investor lain mendirikan pabrik pengolahan
seperti itu. Padah sifat dan hakekat antara satu dan lain jenis hasil
tambang sangat berbea. Kaena tidak dirancang dengan perhitungan
ekonomis, melawan struktur
pasar internasional, dan terbatasnya

88
kapasitas pabrik pengolahan di dalam negeri yang dapat mengolah hasil
tambang, kedua aturan itu macam macan ompong belaka. Kedua aturan
itu ukan dibuat ahli ekonomi pertambangan yang baiki.
Terlambat tanpa koodinasi
Tidak jelas apakah Kementerian ESDM mengoordinasikan kebijakan larang
ekspor itu dengan mitrakerjanya di kementerian dan instansi lain, seperti
Kemeterian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri serta Bank Indonesia.
Mereka yang menentang melihat, dalam ekonomi yang sulit dewasa ini,
larangan eksport mineral mentah akan makin menurunkan penerimaan
Negara dari royalty dan berbagai jenis pajak yang mengganggu APBN.
Daerah produksi hasil tambang yang tadinya kayaraya kini sudah mulai
megap-megap
karena
penurunan
penerimaannya
dari
setor
pertambangan. Nilai tukar rupah terus akan melemah karena
berkurangnya penerimaan devisa ekspor. Kiriman TK pemasukan modal
asing jangka pemdek. Selain itu tanpa adanya
larangan eksport
perusahaan tambang dan perkebunanpun, kita sudah menderita akibat
dari penurunan tingkat harga komoditas primer di pasar internasional
yang sangat drastic sekitar 4% sejak akhir 2011. Larangan ekspor akan
membuat harga kmoditas primer sudah semakin rendag di pasar dalam
negeri. Laranagn ekspor dikhawatirkan juga akan membuuatcitra
Indonesia sebagai pemasok tak dapat diandalkan sehingga merangsang
pembeli beralih kenegara pebghasil lainnya, seperti Australia, Papua
Niugini, New Calidonia, Mongolia, Rusia atau Negara-negara di Amerika
Latin dan Afrika. Sering berubahnya aturan menyebabkan tak adanya
kepastian usaha bagi investasi di sector pertambangan yang beroperasi
dalam jangka panjang. Aturan hilirisasi hasil tambang di atas dibuat pada
saat puncak kenaikan tingkat harga komoditas primer terjadi termasuk
hasil
pertambangan,
selama
2000-2011.
Namun,
kebijakan
itu
diimplementasikan pada saat yang salah, yakni setelah harga meluncur
turun secara drastic mulai akhir 2011. Selama 2008-2011 saja, eksport
konsentrat nikel naik 11 kali lipat, nilai eksport bauksit 5 kali lipat dan
nilai ekspor nikel 8 kali lipat. Hal yang sama terjadi juga pada komoditas
pertanian, seperti minyak kelapa sawit, cokelat dan karet. Kedua aturan
itu dibuat berdasarkan asumsi bahwa tingkat harga hasil tambang akan
terus meningkat 1% setahun dan biaya pendirian pabrik pengolahan naik
2%. Karena dirangsang tingkat keuntungan yang tinggi, tadinya banyak
investor yang tertarik berinvestasi di sekror pertambangan dan
perkebunan para masa boom tersebut. Teknologi yang diperlukan untuk
pertambangan batubara juga sangat sederhana seperti penggalian
gunung kapur di Purwakarta atau pasir lava letusan Gunung Merapi di Kali
Code, Yogyakarta yang cukup bermodalkan sekop, pacul dan otot.
Penyebab
boom
komoditas
primer
selama
ini
ialah
adanya
perumbuhanekonomi yang sangat tinggi, rata-rata 9-10% setahun di China
sejak Deng Xiaping meliberakan ekonominya pada 1987 dan India

89
melakukan hal yang sama mulai 1982. Modernsasi, mekanisasi, dan
motorisasi ataupun pembangunan infrastruktur yang tumbuh pesat di
kedua Negara memerlukan sumber energy serta segala macam jenis hasil
tambang. Rakyatnya yang semakin makmur menuntut kualitas makanan
yang leh bai, termasuk minyak goring dan hasil laut dari Indonesia. Motor
penggerak pertumbhan ekonomi China adalah investasi dan ekspor yang
tinggi. India mempromosikan jasa-jasa berbasis computer. Kedua Negara
sosialis itu, yang tadinya sangat anti pada mobil asing kini justru
mengundangnya ikut menciptakan lapangan kerja didalam negerinya
sendiri, melakkan transfer teknologi dan membuka pasar ekspor.
Penrunan komoditas primer terjadi pada saat yang bersamaan dengan
peningkatan
tingkat suku bunga pinjaman di pasar dunia akibat
dimulainya pengurangan pembelian obligasi pemerintah dan surat
berharga lainnya oleh bank sentral Amerika Serikat. Suntikan likuiditas
melalui pembelian besar-besaran itu dikenal sebagai the quantitative
easing (QE) yang teah menurunkan tingkat suku bunga hingga mendekati
nol guna merangsang pengeluaran konsumsi dan investasi sector swasta.
Kombinasi kenaikan tingkat suku bunga dan penurunan harga komoditas
primer yang merupakan produknya akan menimbulkan masalah likuiditas,
solvabilitas ataupun kebangkrutan bagi perusahaan pertambangan dan
perkebunan yangbanyak meminjam di luar negeri.
Apa yang diperlukan ?
Pabrik pengolahan atau peleburan hasil tambang bersifat padat modal dan
padat energy sehingga memerlukan investasi modal skala besar. Agar
efisien, kapasitas pabrik itu harus besar dan memenuhi skala ekonomi
minimal tertentu. Tenaga yang diperlukan pun adalah yang memiliki
pendidikan serta ketrampilan tinggi. Selain itu, diperlukan infrastruktur
yang baik, berupa transportasi darat dari tam ang hingga pelabuhan laut,
telekomunikasi serta pengelolaan limbah agar tak mencemarkan
lingkungan hidup. Pertanyaan, apakah investasi modal besar itu akan
member nilai tambah memadai ?. Semua persyaratan tersebut diatas tak
bisa dipenuhi dewasa ini. Kita tak punya modal besar, keahlian teknologi
maupun manajemen mendirikan dan mengelola pabrik peleburan besar. PT
Inalum membangun semua keperluannya, pembangkit tenaga listrik, jalan
raya, pelabuhan, hingga kota baru lengkap dengan rumah dan fasilitas
social karyawan. Bekerjasama dengan investor luar, PT Antam hanya
mampu membangun beberapa pabrik peleburan hasil tambang skala kecil
yangdigerakkan pembangkit
tenaga listrik yang mahal. Perhatikan
tenaga-tenaga teknisi yang bekerja di sector pertambangan kita. Karena
kurangnya teknisi Indonesia, teknisi di sector minyak pada umumnya
berasal dari Texas dan Oklahoma Negara pnghasil migas AS. Tenaga
teknis dipertambangan non migas, mulai
Freeport di Papua hingga
pertambangan emas Martabe di Batangtortu, Sumatera Utara didominasi
warga Australia. Karena kurangnya pendidikan dan ketrampilan pada

90
uumnya sehingga tenaga lkal berupa sopir dan satpam. PLN belum mampu
memanfaatkan tenaga air dan panas bumi untuk pembangkit tenaga
listrik seperti itu memang mahal tetapi baya operasinya sangat rendah.
Itu sebabnya perusahaan raksasa Jepang mau membangun tenaga listrik
dengan memanfaatkan Air Terjun Sigura-gura di Sungai Asahan untuk
mlebur biji bauksit yang diimpornya, terutama dari Amerika Latin dan
Australia. Hasil olahan dari parbrik itu terutama diekspor ke pasar dunia.
Proyek yang persisi sama dengan Inalum ada di Brasil yang memanfaatkan
tenaga listrik dari Air terjun Itaipu. Selama 30 tahun usia PT Inalum PLN
tak mampu memasang generator listrik yang berdampingan dengan milik
PT Inalum untuk memanfaatkan kapasitas air terjun yang masih ada.
Untuk mengelola PT Inalum, diperlukan ahli teknik prima, manajer yang
baik ataupun ahli perdagangan internasional bijih bauksit dan hasil
olahannya. Ini yang kita ta unya. Tidak semua hasil tambang sama dengan
bauksit yang lokasi penambangannya jauh dengan lokasi pngelohannya
dan juga berjauhan dengan tempat pemasarannya atau pemanfaatnnya.
Tempat yangberjauhan itu memerlukan biaya transportasi mahal. Ada
beberapa hasil tambang yang lebih ekonomis diolah di dekat tempat
penambangannya dan ada pula yang lebih rah bila diproses di daerah
pemasarannya. Dengan menggunakan listrik dengan tenaga air yang
murah diberbagai pelosok negerinya, China telah mampu membangun
beberapa pabrik peleburan hasil tambang antara lain untuk menglah biji
tembaga dari Indonesia. Dari segi ini, UU dan Permen Minerba di atas
akan melawan hokum ekonomi yang telah menentukan lokasi industry
pengolahan dan pemrosesan bijih pertambangan dunia yang sudah ada
dan memaksanya pindah ke Indonesia. Apa kuasa kita sehingga data
memaksakan relokasi seperti itu ?. Karena takada program pemerintah
yang jelas, juga tak ada keterkaitan ke depan atau kebelakang industry
tambang dan perkebunan di Indonesia. Perkebunan sawit (termasuk PTP)
ttap mengekspor minyak sawit mentah ke Malaysia untuk diolah lebih
lanjut untuk memperoleh nilai tambah lebih tinggi. Indonesia merupakan
pasar perme coklat buatan Malaysia yangbahan mentahnya berasal dari
Sulawesi, Kalimanta dan Sumatera Singapura memiliki refenary yang
menglah minyak mentah Indonesai dan mengekspor minyak olahan
kembali ke Indonesia. Sembawang, BUMN Negara itu merupakan
merupakan pemasok rigs miyak bumi lat mulai dari Norwegia dekat Kutub
Utara hingga Brasil dekat Kutub Selatan. Sama dengan pada saat era Ibnu
Sutowo di masa lalu, Pertamina sekarang ini lebih tertarik membangun
real estate berupa gedung 100 tingkat dan bukan refinaery ataupun
proyek lain yang berkaitan dengan migas ( Anwar Nasution, 2014.
Larangan ekspor mineral mentah, Kompas 10 Januari 2014).
(3). SEkali lagi menyoal UU Minerba

91
Asosiasi Pengusaha MineralIndonesia (Apemindo) menolak pelarangan
ekspor mineral mentah (Kopas, 28/12/2013). PemerintahBambang Susilo
Yudhoyano menanggapi dengan berencana melonggarkan aturan tersebut.
Tindakan ini menguang ceriera lama satu decade lalu saat pebisnis
pertambangan berhasil mendekte Indonesia membuka hamper 1 juta
hektar hutanlndungnya menjadi kawasan tambang. Menjelang Pemilu
2004, petambang berhasil membuat DPR di Senayan mengamandemen
pasal Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang
melarang pertambangan terbuka di hutan lindung. Akibatnya, hamper 1
juta hutan lindung bisa dialihfungsikan menjadi kawasan tambang dengan
harga sewa lebih murah daripada sepotong pisang goring yakni hanya Rp
300 per meter persegi.
Sektor pertambangan bagaimakan panglima yang mendikte arah
pembanguan. Jika sector keruk ini masuk ke sebuah wilayah, fungsi lain
hanya mendapat sisanya. Di kawasan-kawasan kaya bahan tambang dan
migas, rencana tataruang wilayah (RTRW) yang semestinya menjadi
panduan pembangunan sebuah kawasan, tak berlaku lagi bagi para
pebisnis tambang. Tengok saja, misalnya, Jawa Tiur. Menurut Yuliani
(2008) sekitar 40% wilayah Jawa Timur dikuasai oleh 32 blok minyak,
separuhnya di wilayah Sidoharjo. Padahl, Sidoarjo adalah kawasan padat
huni dan masuk dalam kelompok kota metropolitan. Celakanya,
peruntukan industry migas justru tak diatur dalam RTRW. Akibatnya, saat
delapan tahun lal Lapindo Brantas lalai memasang casing bor, terjadi
luberan lumpur panas yang merendam 12 desa dan menggusur puluhan
ribu orang. Negaralah yang pontang-panting merogoh anggarannya
mengurus para korban semburan lumpur Lapindo. Pun di Samarinda,
konsesi tambang batubara menguasai hamper dua pertiga luasan ibukota
Kaliantan Timur. Akibatnya, luas ruang terbuka hijau yang tersisa tak
sampai 1% dan lebih dari 150 lubang tambang belum direklamasi. Banjir
iperkotaan jiga makin menggila. Dulunya hanya setahun, atau lima tahun
sekali terjadi banjir besar. Kini sepanjang periode 2007-2009 telah terjadi
sebanyak 126 kali banjir. Siuasi Samarinda membahayakan warga, bahkan
membuat Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) kota tekor.
Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari pertambangan batubara
lebih rendah dibandingkan dengan biaya penanggulangan banjir akibat
pengerukan batubara. Pada periode 006-2010, rata-rata penerimaan
dana bagi hasil (DBH) pertambangan umum Samarinda Rp 22,3 miliar per
tahun. Sementara biaya penanggulangan ajir pada periode 2008-2010
mencapai Rp 1o7,9 miliar dan meningkat hingga Rp 602 miliar tiga tahun
berikutnya. Tak termasuk biaya rehabilitasi akibat kerusakan jalan umm
karena transportasi batubara, jugabiaya yang ditanggung wargasekitar
tambang saat lahan pertanian, hutan dan sumber-sumber air dihantam
bajir pada musim hujan dan krisis air saat kemarau sejak tambang masuk
dsa mereka.

92
Model pengurusan pertambangan yang keruk cepat jual murah sejak Orde
Baru terbukti mempercepat eksploitasi bahan dan merusak ruang hidup
warga. Alih-alih menseahterakan rakat, senyatanya Negara yang
mensubsidi pebisnis tambang. Orde Reformasi juga tak membaea angin
perubahan lebih baik. Sistem pemerintahan yang korup menjadi muara
para politikus dan pebisnis berkuasa di pemerintahan dan gedung wakil
rakyat. Di tangan mereka Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
ppertambangan Mineral danBatubara (Minera) dan Undang-Undang No,32
Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup
hanyalah pasal-pasal karet, yang bebas tafsir dan diterapkan untuk
memperlas penjarahan kekayaan alam. Tak heran jika lma tahun sejal UU
Minerba berlaku, pengurusan soal sector hulu makin amburadul. Luasan
dan tumpang tindih izin tambang makin tak terkontrol. Hingga tahun
2011, sedikitya 8.000 izin dikeluarkan pemerintah dan 75%nya tumpang
tindih. Menurut jaringan advokasi tambang (Jatam) pada tahun 2013 izin
yang dikeluarkan lebih dari11.00 izin, Anehnya dalam empat tahun
teakhir, sector yang diagng-agngkan akan membawa kesejahteraan ini
rata-rata berkontribusi angka PDB hanya 11,30 %, lbih kecil dibandingkan
dengan sector berkelanjutan yang penyerapan tenaga kerjanya juga lebih
besar, seperti pertanian, perkebunan, peternakan dan kehutanan serta
perikanan mencapai 14,85%. Kini pemerintah mendrong pembukaan
pabrik peleburan (smelter) di sektor hilir. Master Pla Percepatan
Pertumbuhan Ekonomi Indonesia (MP3EI) menyebutkan akan membangun
lebih dai 150 smelter di seluruh Indonesia. Tak terbayang krisis ekologi
dan social yang bakal terjadi di tengah pengurusan sector hulu yang
amburadul. Larangan ekspor
bahan mentah bisa memicu praktik
penyelundupan seperti yang terjadi pada timah Bangka Belitung dan
perdagangan merkuri. Belum lagi dampak dapak berupa 9.500 ton limbah
ponsel (cellphone) per tahun yang dihasilkan Indonesia sejak menjadi
penguna posel urutan kelima dunia. Senyatanya dari hulu hingga hilir
pengelolaan bahan tambang, Indonesia tak beranjak dari pelayan Negaranegara
industry,
penyedia
bahan
mentah
dan
pasar
raksasa.
Memperdebatkan dimana bahan tambang digali, diolah dan dikemas
menjadi barang-barang tidak lagi relevan, sebab pemilik modal dan pasar
yang menentukan harganya. Hasil perteuan Organisasi Perdagangan
Dunia (WTO) di Bali, Desember 2013 mmberikan pesan yang jelas,
ditengah rezim perdagangan global kini, semua itu bisa diatur dengan
system kuota dan tariff yang kemudian diembel-embeli make in the world.
Jangan dibiarkan kepentingan pebisnis tambang terus menerus mendekte
keputusan bangsa ini memilih ekonominya lebih berkelajuta dan
berdaulat. Strategi Indonesia untuk segera lepas dari ketergantungan
ekonomi ekstraksi bahan tambang mestinya segera dirumuskan. Jika
tidak, sejatinya pebisnis tambanglah panglima di negeri ii (Siti Muaminah-

93
Badan Pengurus Jatam, 2014. Berhenti melayani panglima. Kompas 10
Januari 2014).
(4). Jangan ada kompromi
Pemerintah diminta untuk tidak berkompromi dalam menjalankan
kebijakan larangan eksor bahan mentah mineral pada 12 Januari 2014.
Dengan mencari celah regulasi melalui revisi batas minimum kadar
mineral olahan, hal ini menunjukkan lemahnya posisi tawar pemerintah.
Perintah Undang-Undang harus dilaksanakan, kata Direktur Eksekutif
Lembaga Kajian Sumber Daya Alam Indonesia, Marwan Batubara dalam
jumpa Pers, Kamis (9 Januari 2014) di Jakarta. Sesuai amanat Undangundang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba)
pengolahan dan emurnian mineral dijalankanmulai 12 Januari 2014.
Marwan menilai, pelanggaran eksor tampaknya tetap diberikan melalui
regulasi baru yang akan terbit. Hal ini dilakukan melalui berbagai dalih
dan revisi criteria kadar mineral yang dianggap telah memiliki nilai
tambah. Ketua Kelompok Kerja Kebijakan Pertambangan Perhipunan Ahli
Pertambangan Indonesia Budi Santosa menyatakan, pemerintah dan
pengusaha diminta utuk tidak mencari celah regulasi dengan
memainkanbatas minimum kadar mineral olahan. Ini berarti pemerintah
kalah dalam posisi tawar dengan pengusaha tambang, ujarnya.
Sebelumnya, Direktorat Jendral Mieral dan Batubara Kementerian Energi
dan Suber Daya Mineral (ESDM) serta pelku usaha pertambangan, Rabu (8
Januari 2014) di Jakarta, sepakat merevisi batas minimum kadar mineral
olahan beberapa jenis mineral tertentu. Kadar konsentrat untuk tembaga
disepakai 15%, sedangkan nikel pig iron diturunkan dari 6% menjadi 4%
dan pasir besi 58%. Sementara baksit tetap diwajibkan dioleh menjadi
chemical grade alumina karena tidak ada produk antara. Gubernur Syahrul
Yasin Limpo tahun ini menargetkan kesekatan dengan dua investor baru
untuk membangun pabrik peleburan bijih (smelter) nikel. Dua investor
baru itu direncanakan berlokasi di Kabupaten Bantaeng dan Kabupaten
Luwu Timur. Dihunungi secara terpisah Bupati Banteng Nurdin Abdullah
berharap pemerintah pusat konsisten menjalankan aturan pelarangan
ekspor bijih mineral itu. Jangan sampai )aturan) dilonggarkan lagi,
katanya. Saat ini Bantaeng telah menerima tujuh investasi pembangunan
smelter nikel dan mangaan dengan total nilai investasi Rp 36 triliun. Di
Jakrta, massa Knfederasi Serikat Pekerja Seluruh ndonesia (KSPSI)
berpakaian adat Papua berunjuk rasa ke GedungKementerian ESDM.
Mereka merupakan karyawan Freeport Indonesia yang khawatir terkena
PHK begiu kegiatan produksi terhenti akibat kebijakan wajib membangun
smelter. Presiden KSPSI Ani Gani Nena Wea mengatakan KSPSI
mendukung pelaksanaan UU Mnerba tetapi pemerintah harus menciptakan
antisipasi PHK (Anonim, 2014. Jangan ada kopromi. Kompas 10 Januari
2014).

Catatan kerja

Anda mungkin juga menyukai