73
74
75
76
77
2.
3.
4.
5.
6.
7.
78
no.1
79
k. Perpajakan
l. Penyelesaian perselisihan
m.Iuran tetap dan iuran eksplorasi, dan amdal
6. IUP Operasi Produksi wajib memuat ketentuan:
a. Nama perusahaan
b. Luas wilayah
c. Lokasi penambangan
d. Lokasi pengolahan dan pemurnian
e. Pengangkutan dan penjualan
f. Modal investasi
g. Jangka waktu berlakunya IUP
h. Jangka waktu tahap kegiatan
i. Penyelesaian masalah pertanahan
j. Lingkungan hidup termasuk reklamasi dan pasca
tambang
k. Dana jaminan reklamasi dan pascatambang
l. Perpanjangan IUP
m.Hak dan kewajiban pemegang IUP
n. Rencana pengembangan dan pemberdayaan masyarakat
di wilayah pertambangan
o. Perpajakan
p. Penerimaan Negara bukan pajak yang terdiri atas iuran
tetap dan iuran produksi
q. Penyelesaian perselisihan
r. Keselamatan dan kesehatan kerja
s. Konservasi mineral atau batubara
t. Pemanfaatan barang, jasa, dan teknologi dalam negeri
u. Penerapan
kaidah
keekonomian
dan
keteknikan
pertambangan yang baik
v. Pengembangan tenaga kerja Indonesia
w. Pengelolaan data mineral atau batubara, dan
x. Penguasaan, pengembangan, dan penerapan teknoloi
pertambangan minral dan batubara
7. IUP hanya diberikan untuk 1 (satu) jenis mineral atau
batubara
8. Pemegang IUP yang menemukan mineral lain di dalam WIUP
yang dikelolla diberikan prioritas untuk mengusahakannya
8.8. IUP EKSPLORASI
Dalam uraian yang berkaitan dengan IUP Eksplorasi dengan tegas
dinyatakan:
1. IUP Eksplorasi untuk pertambangan mineral logam dapat
diberikan dalam jangka waktu paling lama 8 (delapan) tahun
2. IUP Eksplorasi untuk pertambangan mineral bukan logam
80
81
82
83
a. Terutama
kepada
penduduk
setempat
baik
perseorangan maupun kelompok masyarakat dan/atau
koperasi
b. Dapat
melimpahkan
kewenangan
pelaksanaan
pemberian IPR kepada camat sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan
3. Untuk memperoleh IPR pemohon wajib menyampaikan surat
permohonan kepada bupati/walikota
4. Pemegang IPR berhak
a. Mendapat pembinaan dan pengawasan di bidang
keselamatan dan kesehatan kerja, lingkungan, teknis
pertambangan,
dan
manajemen
dari
pemerintah
dan/atau pemerintah daerah; dan
b. Mendapat bantuan modal sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan
5. Pemegang IPR wajib
a. Melakukan kegiatan penambangan paling lambat 3
(tiga) bulan setelah IPR diterbitkan
b. Mematuhi peraturan perundang-undangan di bidang
keselamatan dan kerja pertambangan, pengelolaan
lingkungan, dan memenuhi standar yang berlaku
c. Mengelola lingkungan hidup bersama pemerintah
daerah
d. Membayar iuran tetap dan iuran produksi
e. Menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan usaha
pertambangan rakyat secara berkala kepada pemberi
IPR
84
Menteri
c. Dapat
juga
menyatakan
tidak
berminat
untuk
mengusahakan mineral lain yang ditemukan tersebut
d. Jika tidak berminat pemegang IUPK wajib menjaga
mineral lain tersebut
e. IUPK mineral lain tersebut dapat diberikan kepada
pihak lain oleh Menteri
3. IUPK dapat diberikan kepada badan usaha yang berbadan
hokum Indonesia, baik berupa badan usaha milik Negara,
badan usaha milik daerah, maupun badan usaha swasta
4. Badan usaha milik Negara dan miik daerah mendapat
prioritas dalam mendapatkan IUPK
5. Badan usaha swasta untuk mendapatkan IUPK dilaksanakan
dengan cara lelang WIUPK
6. IUPK terdiri atas dua tahap:
a. IUPK Eksplorasi meliputi kegiatan penyelidikan umum,
eksplorasi, dan studi kelayakan
b. IUPK Operasi Produksi meliputi kegiatan konstruksi,
penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta
pengangkutan dan penjualan
7. Pemegang IUPK Eksplorasi dan IUPK Operasi Produksi dapat
melakukan sebagian atau seluruh kegiatan
8. Setiap pemegang IUPK Eksplorasi dijamin untuk memperoleh
IUPK Operasi Produksi
9. IUPK Operasi Produksi dapat diberikan kepada badan usaha
yang berbadan hokum Indonesia yang telah mempunyai data
hasil kajian studi kelayakan
10.
Untuk mendapatkan IUPK Eksplorasi pengusaha wajib
memenuhi syarat yang telah ditentukan
11.
Untuk mendapat IUPK Operasi Produksi pengusaha
wajib memenuhi syarat yang telah ditentukan
12.
IUPK tidak dapat digunakan selain yang dimaksud
dalam pemberian IUPK
8.13.
Khusus
85
b.
c.
d.
e.
Persyaratan operasional selanjutnya dapat dilihat pada UndangUndang Minerba No.4 tahun 2009, yang tercantum pada buku
Memahami
Pengelolaan
Bahan
Tambang
di
Indonesia
(Sukandarrumidi, 2009)-terbitan Yayasan Pustaka Nusatama,
Yogyakarta.
Catatan
PETI = Penambangan Tanpa Izin.
86
meengekspor bjih mineral sampai beberapa tahun ke depan atau hingga pabrik
pengolahan mulai beroperasi, perlu ada paying hokum. Namun, sampai kini belum
ada jalan keluar. Selain itu, pemerintah sedang mengkaji aturan pelaksanaan
peningkatan nilai tambah mineral. Hal ini menindaklanjuti putusan Mahkamah
Agung yang memerintahkan Mentri ESDM mencabut Peraturan Menteri ESDM No.7
Tahun 2012 tentang peningkatan nilai tambah Mineral melalui kegiatan Pengolahan
dan Pemurnia Mineral. Putusan itu atas permohonan pengusaha petambangan
bauksit di Kalimantan Tengah, Alias Wello. Direktur Jenderal Mineral dan Batubara
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, R Sukhyar, Senin (23 Desember
2013) malam di Jakarta menegaskan pemerintah tetap akan melaksanakan
pelarangan ekspor bijih mineral sesuai dengan amanat UU Minerba. Hal ini juga
telah disepakati para pengusaha pemegang izin usaha pertambangan (IUP) operasi
produksi mineral. Pemerintah tak mungkin melepaskan ekspor bijih mineral pada
tahun 2014 karena ini akan merusak tatanan. Pemerintah berkomtmen untuk
melaksanakan UU,
apalagi para pengusaha telah sepakat melaksanakan
pengolahan dan pemurnian di dalam negeri. Sukhyar menjelaskan, setelah
pembatalan Peraturan Menteri ESDM No.7/2012 oleh Mahkamah Agung, pemerintah
memanggil para pengusaha pertambangan. Hasilnya, pemerintah dan pelaku usaha
sepakat, kewajiban pegolahan dan pemurnian bijih mineral dijalankan pada 12
Januari 2014 sesuai dengan amanat UU Minera, Jadi jadwalnya tidak dipercepat
sebagaimana
tercantum
dalam
Peraturan
Menteri
ESDM
No.12/2012.
Pemberlakukan kewajiban pengolahan dan pemurnian disepakai berlaku efektif
pada tahun 2014. Ada 213 pengusaha pemegang IUP yang telah menadatangani
kesepakatan itu dalam pakta integritas, kata Sukhyar. Terkait PT Freeport Indonesia
dan PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) Sukhyar menyatakan, Kementerian ESDM
telah menegaskan bahwa kedua perusahaan pemegang kontrak karya itu tetap
dapat memproduksi sesuai kapasitas pengolahan pabrik di dalam negeri. Ini berarti
pihak Freeport akan Indonesia akan memproduksi 30% dari kapasitas saat ini dan
NNT akan memproduksi 25% dari kapasitas, serta hasil produksinya akan diolah PT
Smelting Gresik. Saat ini beberapa pabrik pengolahan atau smelter telah dalam
hatap uji coba operasi, sebagian lagi telah mulai beroperasi, kata Sukhyar. Secara
jangka panjang, jika pemerintah member toleransi ekspor bijih mineral sampai
beberapa tahun ke depan, hal itu dinilai merugikan Negara. Itu karena menjual bijih
mineral sama saja tak member nilai tambah baik secara ekonomi maupun
peningkatan sumber daya manusia dan tak ada efek domino dari keberadaan
industry itu. Di akui, UU Mineba semenjak awal memang memiliki sejumlah
kelemahan mendasar terutama berkaitan aspek-aspek dan detailnya. Akibatnya,
aturn perundang-undangan itu akhirnya tidak cukup implementatif. Banyak hal yang
semangatnya bagus, seperti halnya pelimpahan kewenangan pengusahaan
tambang ke daerah, renegosiasi kontrak ataupun kewajiban pengolahan hasil
tambang mentah di dalam negeri tidak dapat diterapkan dengan baik sebab kajian
akademis yang mendasarinya lemah. Selai itu, peraturan=peraturan pelaksananya
pun lambat dikeluarkan dan juga lemah dalam hal teknis ataupun detailmnya. Jadi
tidak mengherankan apabila penerapan aturan larangan kespor bahan mentah hasil
87
tambang pun kemungkinan akan dilonggarkan, ujar Pri gung. Dalam hal ini
pemerintah sendiri belum siap secara tegas menerapkan larangan ekspor bahan
mentah itu, baik secara regulasi, detail yang menyangkut hal eknis maupun kajian
dampak ekonomi, social dan politiknya (Anonim, 2013. Pemerintah memastikan
larangan ekspor mineral mentah. Komas 24 Desember 2014).
Tarik ulur pengendalian ekspor mineral mentah.
1
12 Januari 2009. UU No.4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Menetapkan kebijakan pengendalian produksi dan ekspor mineral dan/atau
batubara. Demi mengutamakan kepentingan dalam negeri.
2
1 Januari 2010. PP No.23/2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha
Pertambangan Mineral dan Batubara. Pemegang IUP operasi produksi dan
IUPK operasi produsi dapat mengekspor seteah kebutuhan dalam negeri
terpenuhi (Pasal 84).
3
4 Mei 2012. Permen ESDM No.7/2012. Tentang penigkatan nilai tambah
mineral melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral: Mengatur
kewajiban pengolahan dan pemurnian mineral di dalam negeri paling lambat
tanggal 12 Janurai 2014.
4
16 Mei 2012. Peraturan ESDM No12/2012 tentang perubahan atas Permen
ESDM No.7/212. Menambah aturan tatacara ekspor dan pemberian
rekmendasi oleh Menteri (Pasal 21A dan Pasal 25A).
5
12 September 2013. Putusan MA No.09P/HUM/2012. Permohonan Hak uji
Materi terhadap Permen ESDM No.7/2012 mengenai kerjasama (Pasal 8),
saham (Pasal 9), konsultasi (Pasal 10) dan aturan peralihan )Pasal 21).
6
6 Agustus 2013. Terbit Permen ESDM No.20/2013 tentang Perbahan Kedua
atas Permen ESDM No.7/2012. Pengharuskan perusahaan IUP dan IUPK yang
tidak ekonomis untuk melakukan sendri kegiatan pengolahan unuk
bekerjasama dengan pihak lain setelah mendapatkan prsetujuan dari menteri
atau kepala daerah (Pasal 8). Menghapuskan aturan kemitraan melalui saham
(Pasal 9), tatacara knsultasi (Pasal 10) dan ketentuan peralihn (Pasal 21).
(2). Larangan eskpor mineral mentah
Rencana pemerintah memberlakukan larangan ekspor segala jenis mineral
mentah mulai 12 Janurai 2014 ditanggapi dengan sikap pro dan kontra
dari sejumlah kalangan berbeda. Program hilirisasi tambang ini
merupakan amanat UU No.4/2009 tentang Pertambangan Mneral dan
Batubara (Minerba) dan
Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya
Mineral (ESDM) No.7/2012 tentang Peningkatan Nilai Tambah Minerall
melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral. UU dan Permen itu
memaksa semua perusahaan tambang mendirikan pabrik pengolahan
sendiri,apakah berupa pabrik peleburan ataupun pengolahan sendiri atau
member kesempatan bagi investor lain mendirikan pabrik pengolahan
seperti itu. Padah sifat dan hakekat antara satu dan lain jenis hasil
tambang sangat berbea. Kaena tidak dirancang dengan perhitungan
ekonomis, melawan struktur
pasar internasional, dan terbatasnya
88
kapasitas pabrik pengolahan di dalam negeri yang dapat mengolah hasil
tambang, kedua aturan itu macam macan ompong belaka. Kedua aturan
itu ukan dibuat ahli ekonomi pertambangan yang baiki.
Terlambat tanpa koodinasi
Tidak jelas apakah Kementerian ESDM mengoordinasikan kebijakan larang
ekspor itu dengan mitrakerjanya di kementerian dan instansi lain, seperti
Kemeterian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri serta Bank Indonesia.
Mereka yang menentang melihat, dalam ekonomi yang sulit dewasa ini,
larangan eksport mineral mentah akan makin menurunkan penerimaan
Negara dari royalty dan berbagai jenis pajak yang mengganggu APBN.
Daerah produksi hasil tambang yang tadinya kayaraya kini sudah mulai
megap-megap
karena
penurunan
penerimaannya
dari
setor
pertambangan. Nilai tukar rupah terus akan melemah karena
berkurangnya penerimaan devisa ekspor. Kiriman TK pemasukan modal
asing jangka pemdek. Selain itu tanpa adanya
larangan eksport
perusahaan tambang dan perkebunanpun, kita sudah menderita akibat
dari penurunan tingkat harga komoditas primer di pasar internasional
yang sangat drastic sekitar 4% sejak akhir 2011. Larangan ekspor akan
membuat harga kmoditas primer sudah semakin rendag di pasar dalam
negeri. Laranagn ekspor dikhawatirkan juga akan membuuatcitra
Indonesia sebagai pemasok tak dapat diandalkan sehingga merangsang
pembeli beralih kenegara pebghasil lainnya, seperti Australia, Papua
Niugini, New Calidonia, Mongolia, Rusia atau Negara-negara di Amerika
Latin dan Afrika. Sering berubahnya aturan menyebabkan tak adanya
kepastian usaha bagi investasi di sector pertambangan yang beroperasi
dalam jangka panjang. Aturan hilirisasi hasil tambang di atas dibuat pada
saat puncak kenaikan tingkat harga komoditas primer terjadi termasuk
hasil
pertambangan,
selama
2000-2011.
Namun,
kebijakan
itu
diimplementasikan pada saat yang salah, yakni setelah harga meluncur
turun secara drastic mulai akhir 2011. Selama 2008-2011 saja, eksport
konsentrat nikel naik 11 kali lipat, nilai eksport bauksit 5 kali lipat dan
nilai ekspor nikel 8 kali lipat. Hal yang sama terjadi juga pada komoditas
pertanian, seperti minyak kelapa sawit, cokelat dan karet. Kedua aturan
itu dibuat berdasarkan asumsi bahwa tingkat harga hasil tambang akan
terus meningkat 1% setahun dan biaya pendirian pabrik pengolahan naik
2%. Karena dirangsang tingkat keuntungan yang tinggi, tadinya banyak
investor yang tertarik berinvestasi di sekror pertambangan dan
perkebunan para masa boom tersebut. Teknologi yang diperlukan untuk
pertambangan batubara juga sangat sederhana seperti penggalian
gunung kapur di Purwakarta atau pasir lava letusan Gunung Merapi di Kali
Code, Yogyakarta yang cukup bermodalkan sekop, pacul dan otot.
Penyebab
boom
komoditas
primer
selama
ini
ialah
adanya
perumbuhanekonomi yang sangat tinggi, rata-rata 9-10% setahun di China
sejak Deng Xiaping meliberakan ekonominya pada 1987 dan India
89
melakukan hal yang sama mulai 1982. Modernsasi, mekanisasi, dan
motorisasi ataupun pembangunan infrastruktur yang tumbuh pesat di
kedua Negara memerlukan sumber energy serta segala macam jenis hasil
tambang. Rakyatnya yang semakin makmur menuntut kualitas makanan
yang leh bai, termasuk minyak goring dan hasil laut dari Indonesia. Motor
penggerak pertumbhan ekonomi China adalah investasi dan ekspor yang
tinggi. India mempromosikan jasa-jasa berbasis computer. Kedua Negara
sosialis itu, yang tadinya sangat anti pada mobil asing kini justru
mengundangnya ikut menciptakan lapangan kerja didalam negerinya
sendiri, melakkan transfer teknologi dan membuka pasar ekspor.
Penrunan komoditas primer terjadi pada saat yang bersamaan dengan
peningkatan
tingkat suku bunga pinjaman di pasar dunia akibat
dimulainya pengurangan pembelian obligasi pemerintah dan surat
berharga lainnya oleh bank sentral Amerika Serikat. Suntikan likuiditas
melalui pembelian besar-besaran itu dikenal sebagai the quantitative
easing (QE) yang teah menurunkan tingkat suku bunga hingga mendekati
nol guna merangsang pengeluaran konsumsi dan investasi sector swasta.
Kombinasi kenaikan tingkat suku bunga dan penurunan harga komoditas
primer yang merupakan produknya akan menimbulkan masalah likuiditas,
solvabilitas ataupun kebangkrutan bagi perusahaan pertambangan dan
perkebunan yangbanyak meminjam di luar negeri.
Apa yang diperlukan ?
Pabrik pengolahan atau peleburan hasil tambang bersifat padat modal dan
padat energy sehingga memerlukan investasi modal skala besar. Agar
efisien, kapasitas pabrik itu harus besar dan memenuhi skala ekonomi
minimal tertentu. Tenaga yang diperlukan pun adalah yang memiliki
pendidikan serta ketrampilan tinggi. Selain itu, diperlukan infrastruktur
yang baik, berupa transportasi darat dari tam ang hingga pelabuhan laut,
telekomunikasi serta pengelolaan limbah agar tak mencemarkan
lingkungan hidup. Pertanyaan, apakah investasi modal besar itu akan
member nilai tambah memadai ?. Semua persyaratan tersebut diatas tak
bisa dipenuhi dewasa ini. Kita tak punya modal besar, keahlian teknologi
maupun manajemen mendirikan dan mengelola pabrik peleburan besar. PT
Inalum membangun semua keperluannya, pembangkit tenaga listrik, jalan
raya, pelabuhan, hingga kota baru lengkap dengan rumah dan fasilitas
social karyawan. Bekerjasama dengan investor luar, PT Antam hanya
mampu membangun beberapa pabrik peleburan hasil tambang skala kecil
yangdigerakkan pembangkit
tenaga listrik yang mahal. Perhatikan
tenaga-tenaga teknisi yang bekerja di sector pertambangan kita. Karena
kurangnya teknisi Indonesia, teknisi di sector minyak pada umumnya
berasal dari Texas dan Oklahoma Negara pnghasil migas AS. Tenaga
teknis dipertambangan non migas, mulai
Freeport di Papua hingga
pertambangan emas Martabe di Batangtortu, Sumatera Utara didominasi
warga Australia. Karena kurangnya pendidikan dan ketrampilan pada
90
uumnya sehingga tenaga lkal berupa sopir dan satpam. PLN belum mampu
memanfaatkan tenaga air dan panas bumi untuk pembangkit tenaga
listrik seperti itu memang mahal tetapi baya operasinya sangat rendah.
Itu sebabnya perusahaan raksasa Jepang mau membangun tenaga listrik
dengan memanfaatkan Air Terjun Sigura-gura di Sungai Asahan untuk
mlebur biji bauksit yang diimpornya, terutama dari Amerika Latin dan
Australia. Hasil olahan dari parbrik itu terutama diekspor ke pasar dunia.
Proyek yang persisi sama dengan Inalum ada di Brasil yang memanfaatkan
tenaga listrik dari Air terjun Itaipu. Selama 30 tahun usia PT Inalum PLN
tak mampu memasang generator listrik yang berdampingan dengan milik
PT Inalum untuk memanfaatkan kapasitas air terjun yang masih ada.
Untuk mengelola PT Inalum, diperlukan ahli teknik prima, manajer yang
baik ataupun ahli perdagangan internasional bijih bauksit dan hasil
olahannya. Ini yang kita ta unya. Tidak semua hasil tambang sama dengan
bauksit yang lokasi penambangannya jauh dengan lokasi pngelohannya
dan juga berjauhan dengan tempat pemasarannya atau pemanfaatnnya.
Tempat yangberjauhan itu memerlukan biaya transportasi mahal. Ada
beberapa hasil tambang yang lebih ekonomis diolah di dekat tempat
penambangannya dan ada pula yang lebih rah bila diproses di daerah
pemasarannya. Dengan menggunakan listrik dengan tenaga air yang
murah diberbagai pelosok negerinya, China telah mampu membangun
beberapa pabrik peleburan hasil tambang antara lain untuk menglah biji
tembaga dari Indonesia. Dari segi ini, UU dan Permen Minerba di atas
akan melawan hokum ekonomi yang telah menentukan lokasi industry
pengolahan dan pemrosesan bijih pertambangan dunia yang sudah ada
dan memaksanya pindah ke Indonesia. Apa kuasa kita sehingga data
memaksakan relokasi seperti itu ?. Karena takada program pemerintah
yang jelas, juga tak ada keterkaitan ke depan atau kebelakang industry
tambang dan perkebunan di Indonesia. Perkebunan sawit (termasuk PTP)
ttap mengekspor minyak sawit mentah ke Malaysia untuk diolah lebih
lanjut untuk memperoleh nilai tambah lebih tinggi. Indonesia merupakan
pasar perme coklat buatan Malaysia yangbahan mentahnya berasal dari
Sulawesi, Kalimanta dan Sumatera Singapura memiliki refenary yang
menglah minyak mentah Indonesai dan mengekspor minyak olahan
kembali ke Indonesia. Sembawang, BUMN Negara itu merupakan
merupakan pemasok rigs miyak bumi lat mulai dari Norwegia dekat Kutub
Utara hingga Brasil dekat Kutub Selatan. Sama dengan pada saat era Ibnu
Sutowo di masa lalu, Pertamina sekarang ini lebih tertarik membangun
real estate berupa gedung 100 tingkat dan bukan refinaery ataupun
proyek lain yang berkaitan dengan migas ( Anwar Nasution, 2014.
Larangan ekspor mineral mentah, Kompas 10 Januari 2014).
(3). SEkali lagi menyoal UU Minerba
91
Asosiasi Pengusaha MineralIndonesia (Apemindo) menolak pelarangan
ekspor mineral mentah (Kopas, 28/12/2013). PemerintahBambang Susilo
Yudhoyano menanggapi dengan berencana melonggarkan aturan tersebut.
Tindakan ini menguang ceriera lama satu decade lalu saat pebisnis
pertambangan berhasil mendekte Indonesia membuka hamper 1 juta
hektar hutanlndungnya menjadi kawasan tambang. Menjelang Pemilu
2004, petambang berhasil membuat DPR di Senayan mengamandemen
pasal Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang
melarang pertambangan terbuka di hutan lindung. Akibatnya, hamper 1
juta hutan lindung bisa dialihfungsikan menjadi kawasan tambang dengan
harga sewa lebih murah daripada sepotong pisang goring yakni hanya Rp
300 per meter persegi.
Sektor pertambangan bagaimakan panglima yang mendikte arah
pembanguan. Jika sector keruk ini masuk ke sebuah wilayah, fungsi lain
hanya mendapat sisanya. Di kawasan-kawasan kaya bahan tambang dan
migas, rencana tataruang wilayah (RTRW) yang semestinya menjadi
panduan pembangunan sebuah kawasan, tak berlaku lagi bagi para
pebisnis tambang. Tengok saja, misalnya, Jawa Tiur. Menurut Yuliani
(2008) sekitar 40% wilayah Jawa Timur dikuasai oleh 32 blok minyak,
separuhnya di wilayah Sidoharjo. Padahl, Sidoarjo adalah kawasan padat
huni dan masuk dalam kelompok kota metropolitan. Celakanya,
peruntukan industry migas justru tak diatur dalam RTRW. Akibatnya, saat
delapan tahun lal Lapindo Brantas lalai memasang casing bor, terjadi
luberan lumpur panas yang merendam 12 desa dan menggusur puluhan
ribu orang. Negaralah yang pontang-panting merogoh anggarannya
mengurus para korban semburan lumpur Lapindo. Pun di Samarinda,
konsesi tambang batubara menguasai hamper dua pertiga luasan ibukota
Kaliantan Timur. Akibatnya, luas ruang terbuka hijau yang tersisa tak
sampai 1% dan lebih dari 150 lubang tambang belum direklamasi. Banjir
iperkotaan jiga makin menggila. Dulunya hanya setahun, atau lima tahun
sekali terjadi banjir besar. Kini sepanjang periode 2007-2009 telah terjadi
sebanyak 126 kali banjir. Siuasi Samarinda membahayakan warga, bahkan
membuat Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) kota tekor.
Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari pertambangan batubara
lebih rendah dibandingkan dengan biaya penanggulangan banjir akibat
pengerukan batubara. Pada periode 006-2010, rata-rata penerimaan
dana bagi hasil (DBH) pertambangan umum Samarinda Rp 22,3 miliar per
tahun. Sementara biaya penanggulangan ajir pada periode 2008-2010
mencapai Rp 1o7,9 miliar dan meningkat hingga Rp 602 miliar tiga tahun
berikutnya. Tak termasuk biaya rehabilitasi akibat kerusakan jalan umm
karena transportasi batubara, jugabiaya yang ditanggung wargasekitar
tambang saat lahan pertanian, hutan dan sumber-sumber air dihantam
bajir pada musim hujan dan krisis air saat kemarau sejak tambang masuk
dsa mereka.
92
Model pengurusan pertambangan yang keruk cepat jual murah sejak Orde
Baru terbukti mempercepat eksploitasi bahan dan merusak ruang hidup
warga. Alih-alih menseahterakan rakat, senyatanya Negara yang
mensubsidi pebisnis tambang. Orde Reformasi juga tak membaea angin
perubahan lebih baik. Sistem pemerintahan yang korup menjadi muara
para politikus dan pebisnis berkuasa di pemerintahan dan gedung wakil
rakyat. Di tangan mereka Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
ppertambangan Mineral danBatubara (Minera) dan Undang-Undang No,32
Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup
hanyalah pasal-pasal karet, yang bebas tafsir dan diterapkan untuk
memperlas penjarahan kekayaan alam. Tak heran jika lma tahun sejal UU
Minerba berlaku, pengurusan soal sector hulu makin amburadul. Luasan
dan tumpang tindih izin tambang makin tak terkontrol. Hingga tahun
2011, sedikitya 8.000 izin dikeluarkan pemerintah dan 75%nya tumpang
tindih. Menurut jaringan advokasi tambang (Jatam) pada tahun 2013 izin
yang dikeluarkan lebih dari11.00 izin, Anehnya dalam empat tahun
teakhir, sector yang diagng-agngkan akan membawa kesejahteraan ini
rata-rata berkontribusi angka PDB hanya 11,30 %, lbih kecil dibandingkan
dengan sector berkelanjutan yang penyerapan tenaga kerjanya juga lebih
besar, seperti pertanian, perkebunan, peternakan dan kehutanan serta
perikanan mencapai 14,85%. Kini pemerintah mendrong pembukaan
pabrik peleburan (smelter) di sektor hilir. Master Pla Percepatan
Pertumbuhan Ekonomi Indonesia (MP3EI) menyebutkan akan membangun
lebih dai 150 smelter di seluruh Indonesia. Tak terbayang krisis ekologi
dan social yang bakal terjadi di tengah pengurusan sector hulu yang
amburadul. Larangan ekspor
bahan mentah bisa memicu praktik
penyelundupan seperti yang terjadi pada timah Bangka Belitung dan
perdagangan merkuri. Belum lagi dampak dapak berupa 9.500 ton limbah
ponsel (cellphone) per tahun yang dihasilkan Indonesia sejak menjadi
penguna posel urutan kelima dunia. Senyatanya dari hulu hingga hilir
pengelolaan bahan tambang, Indonesia tak beranjak dari pelayan Negaranegara
industry,
penyedia
bahan
mentah
dan
pasar
raksasa.
Memperdebatkan dimana bahan tambang digali, diolah dan dikemas
menjadi barang-barang tidak lagi relevan, sebab pemilik modal dan pasar
yang menentukan harganya. Hasil perteuan Organisasi Perdagangan
Dunia (WTO) di Bali, Desember 2013 mmberikan pesan yang jelas,
ditengah rezim perdagangan global kini, semua itu bisa diatur dengan
system kuota dan tariff yang kemudian diembel-embeli make in the world.
Jangan dibiarkan kepentingan pebisnis tambang terus menerus mendekte
keputusan bangsa ini memilih ekonominya lebih berkelajuta dan
berdaulat. Strategi Indonesia untuk segera lepas dari ketergantungan
ekonomi ekstraksi bahan tambang mestinya segera dirumuskan. Jika
tidak, sejatinya pebisnis tambanglah panglima di negeri ii (Siti Muaminah-
93
Badan Pengurus Jatam, 2014. Berhenti melayani panglima. Kompas 10
Januari 2014).
(4). Jangan ada kompromi
Pemerintah diminta untuk tidak berkompromi dalam menjalankan
kebijakan larangan eksor bahan mentah mineral pada 12 Januari 2014.
Dengan mencari celah regulasi melalui revisi batas minimum kadar
mineral olahan, hal ini menunjukkan lemahnya posisi tawar pemerintah.
Perintah Undang-Undang harus dilaksanakan, kata Direktur Eksekutif
Lembaga Kajian Sumber Daya Alam Indonesia, Marwan Batubara dalam
jumpa Pers, Kamis (9 Januari 2014) di Jakarta. Sesuai amanat Undangundang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba)
pengolahan dan emurnian mineral dijalankanmulai 12 Januari 2014.
Marwan menilai, pelanggaran eksor tampaknya tetap diberikan melalui
regulasi baru yang akan terbit. Hal ini dilakukan melalui berbagai dalih
dan revisi criteria kadar mineral yang dianggap telah memiliki nilai
tambah. Ketua Kelompok Kerja Kebijakan Pertambangan Perhipunan Ahli
Pertambangan Indonesia Budi Santosa menyatakan, pemerintah dan
pengusaha diminta utuk tidak mencari celah regulasi dengan
memainkanbatas minimum kadar mineral olahan. Ini berarti pemerintah
kalah dalam posisi tawar dengan pengusaha tambang, ujarnya.
Sebelumnya, Direktorat Jendral Mieral dan Batubara Kementerian Energi
dan Suber Daya Mineral (ESDM) serta pelku usaha pertambangan, Rabu (8
Januari 2014) di Jakarta, sepakat merevisi batas minimum kadar mineral
olahan beberapa jenis mineral tertentu. Kadar konsentrat untuk tembaga
disepakai 15%, sedangkan nikel pig iron diturunkan dari 6% menjadi 4%
dan pasir besi 58%. Sementara baksit tetap diwajibkan dioleh menjadi
chemical grade alumina karena tidak ada produk antara. Gubernur Syahrul
Yasin Limpo tahun ini menargetkan kesekatan dengan dua investor baru
untuk membangun pabrik peleburan bijih (smelter) nikel. Dua investor
baru itu direncanakan berlokasi di Kabupaten Bantaeng dan Kabupaten
Luwu Timur. Dihunungi secara terpisah Bupati Banteng Nurdin Abdullah
berharap pemerintah pusat konsisten menjalankan aturan pelarangan
ekspor bijih mineral itu. Jangan sampai )aturan) dilonggarkan lagi,
katanya. Saat ini Bantaeng telah menerima tujuh investasi pembangunan
smelter nikel dan mangaan dengan total nilai investasi Rp 36 triliun. Di
Jakrta, massa Knfederasi Serikat Pekerja Seluruh ndonesia (KSPSI)
berpakaian adat Papua berunjuk rasa ke GedungKementerian ESDM.
Mereka merupakan karyawan Freeport Indonesia yang khawatir terkena
PHK begiu kegiatan produksi terhenti akibat kebijakan wajib membangun
smelter. Presiden KSPSI Ani Gani Nena Wea mengatakan KSPSI
mendukung pelaksanaan UU Mnerba tetapi pemerintah harus menciptakan
antisipasi PHK (Anonim, 2014. Jangan ada kopromi. Kompas 10 Januari
2014).
Catatan kerja