Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN PRAKTIKUM EKOLOGI

INVENTORY SUBDAERAH ALIRAN SUNGAI PELUS


DI KABUPATEN BANYUMAS

Kelompok
Lokasi
Dosen Pendamping
Assisten

:7
: Pelus IV (Pagi)
: Dra. Errie Kolya Nasution. M.Si
: Leader Alfason

Rizky Fajar Azkiya

B1J014030

Uho Baihaqi

B1J014031

Rizkita Andini

B1J014032

Nitami Sugiyati

B1J014034

Okgrista Zanatul Mawa

B1J014035

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS BIOLOGI
PURWOKERTO
2015

Daftar Isi
Hal
Daftar isi
Pendahuluan
Materi dan Metode
Hasil dan Pembahasan
ACARA 1. EKOSISTEM
a

b
c

Tipe pemanfaatan lahan


Pemodelan interaksi antara factor abiotik dan abiotik
Deskripsi komponen penyusun ekosistem

ACARA 2. KOMUNITAS
a
b
c

Kekayaan species
Kelimpahan atau kepadatan species
Dominansi

ACARA 3. POPULASI
a
b

Struktur populasi
Piramida populasi berdasarkan ukuran

ACARA 4. FAKTOR LINGKUNGAN


ACARA 5. DISTRIBUSI ORGANISME
Daftar Pustaka

I.

PENDAHULUAN

Praktikum ekologi yang dilakukan adalah dengan mengamati ekologi


sungai di kabupaten Banyumas beserta daratan disekitar sungai tersebut. Pada
pembahasan kali ini sungai yang dijadikan sebagai objek pengamatan adalah
sungai Pelus bagian tengah yang berlokasi di desa Arca winangun kabupaten
Banyumas. Kondisi ekologi yang diamati meliputi aspek ekosistem, komunitas,
populasi, faktor lingkungan dan distribusi organisme.
Ekologi didefinisikan sebagai ilmu tentang interaksi antara organismeorganisme dan lingkungannya. Lingkungan disini mempunyai arti luas mencakup
semua hal di luar organisme yang bersangkutan. Tidak saja termasuk cahaya,
suhu, curah hujan, kelembaban, dan topografi, tetapi juga parasit, predator, dan
kompetitor. Ekosistem adalah kumpulan dari komunitas beserta faktor biotik
(tumbuhan, hewan dan manusia) dan abiotik (suhu, iklim, senyawa-senyawa
organik dan anorganik). Menurut Undang-Undang Lingkungan Hidup (UULH)
tahun 1982 ekosistem adalah tatanan kesatuan secara utuh menyeluruh antara
segenap unsur lingkungan hidup yang saling mempengaruhi. Ekosistem
merupakan tingkat yang lebih tinggi dari komunitas atau merupakan kesatuan dari
suatu komunitas dengan lingkungannya di mana terjadi hubungan antar keduanya
(Irwan, 1992).
Ekosistem dapat juga dikatakan interaksi antara populasi-populasi
penyusun komunitas dengan faktor abiotik yang mempengaruhi. Berdasarkan
pengertian tersebut, suatu sistem terdiri dari komponen komponen yang bekerja
secara teratur sebagai suatu kesatuan. Ekosistem terbentuk oleh komponen hidup
(biotik) dan tak hidup (abiotik) yang berinteraksi membentuk suatu kesatuan yang
teratur. Keteraturan itu terjadi karena adanya arus materi dan energi, yang
terkendali oleh arus informasi antara komponen dalam ekosistem. Masing-masing
komponen mempunyai fungsi (relung). Selama masing-masing komponen tetap
melakukan fungsinya dan bekerjasama dengan baik, keteraturan ekosistem tetap
terjaga (Riberu, 2002).
Salah satu contoh ekosistem adalah sungai. Sungai merupakan badan air
yang mengalir ke satu arah. Aliran air dan gelombang secara konstan memberikan

oksigen pada air. Suhu air bervariasi sesuai dengan ketinggian. Sungai memiliki
banyak manfaat untuk aktivitas manusia dan tempat hidup organisme air tawar.
Pertumbuhan organisme di sungai sangat dipengaruhi oleh temperatur, pH,
kualitas air, dan kecepatan arus. Kualitas air dalam hal ini mencakup zat terlarut
dalam air yang mengindikasikan terjadinya pencemaran air yang akan
mempengaruhi pemanfaatan air untuk kehidupan manusia dalam bidang pertanian,
industri, rekreasi dan sebagainya.
Wilayah kanan-kiri sungai (riparian) merupakan habitat margasatwa
dengan keanekaragaman hayati yang tinggi, yang seringkali berfungsi sebagai
koridor, yakni daerah yang dijadikan sebagai tempat perlintasan aneka jenis fauna
akuatik maupun terestrial, yang menghubungkan satu wilayah dengan wilayah
lainnya. Vegetasi di kanan-kiri sungai memiliki karakter yang khas, yang sering
memperlihatkan pengaruh dan interaksi dengan lingkungan perairan yang
dinamis. Banyak dari jenis tumbuhan di wilayah riparian ini yang memencar
dengan mengandalkan aliran air atau pergerakan ikan. Dari segi ekologi,
fenomena ini penting sebagai salah satu mekanisme aliran energi ke dalam
ekosistem perairan, melalui jatuhan ranting, daun dan terutama buah tetumbuhan
ke air, yang akan menjadi sumber makanan bagi hewan-hewan akuatik.
Komposisi komunitas hewan juga berbeda antara sungai, anak sungai, dan
hilir. Air sungai yang mengalir deras tidak mendukung keberadaan komunitas
plankton untuk berdiam diri, karena akan terbawa arus. Hal ini karena adanya
karakter sungai meliputi kecepatan arus, faktor makanan yang tersedia bagi
organisme, struktur tanah sekitar daerah aliran sungai, keasaman tanah, dan
struktur batuan.
Pertumbuhan organisme baik organisme akuatik maupun terstrial sangat
dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungannya. Faktor lingkungan yang dapat
berpengaruh diantaranya yaitu temperatur, pH, substrat tempat organisme tersebut
hidup, kualitas air, dan kecepatan arus. Kualitas air dalam hal ini mencakup
keadaan fisik, kimia, dan biologi yang dapat mempengaruhi ketersediaan air untuk
kehidupan manusia, pertanian, industri, rekreasi dan pemanfaatan air lainnya.
Karakteristik fisik terpenting yang dapat mempengaruhi kualitas air, dan dengan

demikian, berpengaruh terhadap ketersediaan air untuk berbagai pemanfaatan


adalah konsentrasi sedimen dan suhu air.
II. MATERI DAN METODE
A. Materi
Alat yang digunakan pada prakikum ini adalah thermometer 2 buah (udara
dan air), patok 2 set (moluska dan bambu), botol kosong 1 buah (untuk kecepatan
arus dan sampel air), tali rafia 2 utas ( untuk kecepatan arus, kuadrat 0,5 x 0,5 m
dan 10 x 10 m), kantong plastik untuk sampel tanah, toples untuk sampel molusca,
kertas pH dan soil tester, meteran, sekop, dan kamera, komputer dan jaringan
internet.
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah sampel moluska,
sampel bambu, sampel air, dan sampel tanah.

B. Metode
1. Ekosistem

Diamati tipe pemanfaatan lahan dan aktivitas di daerah sekitar sungai.

Dibuat model interaksi faktor abiotik dan biotik (diperlukan data tentang
benda abiotik dan biotik yang dapat ditemukan di lokasi pengamatan)

Dibuat skema hubungan antara komponen biotik dan abiotik.

Data yang diperoleh, ditentukan peranan (fungsi ekologis) dari organisme


tersebut.

2. Komunitas

Pengambilan sampel moluska dan air


1. sampel diambil dengan metode kuadrat
2. dibuat kuadrat dengan menggunakan 4 patok dengan jarak 0,5 x 0,5 m
3. diplih lokasi yang menjadi habitat moluska dengan meletakan kuadrat
tersebut.
4. Dikumpulkan moluska yang ada dalam kuadrat, dimasukan dalam
kantong plastic.

5. Diamati bentuk cangkang, warna, arah lingkarannya, dan diberi kode


6. Diidentifikasi dan dihitung di Laboratorium.

Pengambilan sampel bambu sebagai tumbuhan tepian atau riparian


1. Sampel diambil dengan metode kuadrat
2. dibuat kuadrat dengan menggunakan 4 patok dengan jarak 10 x 10 m
3. diplih lokasi yang menjadi habitat bambu, dibentangkan pada kawasan
bambu tersebut.
4. Diamati daun pelepah.
percabangan, dan durinya.

Warna

buluh,

buliran,

perbungaan,

5. Diambil foto pada masing-masing bagian tersebut dan beberapa contoh


bagian bambu untuk diidentifikasi di Laboratorium
6. Dihitung jumlah batang bambu yang terdapat pada kuadrat.
3. Populasi

Populasi moluska dan bambu dideskripsikan dengan membuat piramida


ukuran dari spesies yang dominan.

Individu dari setiap spesies yang dominan pada lokasi tersebut dilakukan
pengukuran pada sampel moluska (panjang dan bobotnya), pada sampel
bambu (tinggi dan diameter).

Pengukuran moluska dilakukan di Laboratorium, sedangkan pengukuran


bambu dilakukan di lapangan.

Dikelompokan moluska dan bambu berdasarkan ukurannya.

Dibuat empat piramida populasi berdasrkan ukuran (panjang, bobot, tinggi


dan diameter) dari data diatas.

4. Faktor Lingkungan

Mengukur kondisi lingkungan dengan parameter lingkungan seperti:


temperatur udara, air, kecepatan arus, tipe substrat, dan pH air pada
ekosistem perairan, temperatur udara dan pH tanah pada ekosistem
daratan.

Termometer air raksa digantungkan pada salah satu ranting pohon dekat
dengan sungai, dibiarkan beberapa menit, diamati suhu yang tertera dan

bila telah stabil dicatat. Suhu yang diperoleh tersebut adalah temperatur
udara.

Termometer air raksa dicelupkan ke perairan, dibiarkan beberapa menit,


diamatai suhu yang tertera dan bila telah stabil dicatat. Suhu yang
diperoleh tersebut adalah temperatur air.

Untuk mengukur kecepatan arus air sungai disiapkan botol plastik, tali
rafia sepanjang 10 meter dan stopwatch. Botol plastik diisi dengan air
setengah botol atau sekitar 250 ml, botol tersebut dilempar ke badan
sungai tepat tegak lurus dengan posisi berdiri, bertepatan dengan jatuhnya
botol ke sungai mulai dihitung waktu tempuh sepanjang 10 meter.
Perlakuan tersebut dilakukan sampai 3 kali ulangan.

Substrat dasar sungai diamati (batu, pasir, lumpur) dan diperkiran jenis
substrat yang dominan.

Menentukan tipe tanah daratan dekat sungai.

Diambil sampel air sungai sebanyak 250 ml dan tanah sebanyak 250 gr
yang kemudian diukur pH nya di laboratorium.

5. Distribusi Organismedan Faktor Lingkungannya

Dibuat tabel kehadiran spesies yang ditemukan di sungai (sungai Pelus 2,4
dan 6).

III. HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Hasil
a. Pemodelan interaksi antara faktor abiotik dan biotik
No
1

Abiotik

Biotik

(benda Mati)

(benda hidup)

Lokasi
Batu

2SungaiAir
:
Sungai Pelus
3
Lumpur
No lokasi:
44
Plastic

Tipe pemanfaatan
Ikan
lahan
Molusca
Pemukiman,
kebun,
irigasi
Kepiting

Tabel 1. Tipe
Pemanfaatan Lahan
Aktivitas masyarakat

MCK, memancing, dan berkebun

Laba laba air

Waktu :
5
Pasir
07.30-09.30

Kupu kupu

Burung

Rumput

Semut

919

Lumut
Kelapa

20
10

Kopi
Bambu

21
11

Papaya
Pisang

22
12

Albasia
Singkong

23
13
24
14
25
15

Kolang kaling
Randu
Jambu biji
Sukun
Pinang
Petai cina

16

Mengkudu

17

Manga

18

Nangka

Tabel
2.
Komponen
abiotik dan biotik

26

Waru

27

Ulat

28

Belalang

29

Lalat

30

Cacing

31

Manusia

b. Komponen penyusun ekosistem


Tabel 3. Komponen penyusun ekosistem
No.
Komponen penyusun
1.
Produsen
2.

Makro Konsumen tingkat I

3.

Makro konsumen tingkat II

6.

Dekomposer

Organisme
Tumbuh-tumbuhan
Moluska
Kupu kupu
Nyamuk
Lebah
Laba laba
Ikan
Burung
Manusia
Ayam
Cacing
Semut

Tabel 4a. Kekayaan spesies dan kelimpahan moluska


No.
Nama spesies
Jumlah (individu)
1.
Sulcospira sulcospira
37
2.
Sulcospira testudinania
9
3.
Oreobasus
27
4.
Sulcospira, sp.
32
Tabel 4b. Kekayaan spesies dan kepadatan bambu
No.
Nama spesies
Jumlah (individu)

1.

Bambusa balcooa

13

Tabel.5 Populasi yang dominan (yang hadir dalam jumlah terbanyak)


Lokasi
Spesies yang dominan
Moluska yang dominan Sulcospira sulcospira,
Sungai Pelus IV Pagi
dengan kelimpahan 37 individu/250 cm
Bambu yang dominan Bambusa balcoa, dengan
kelimpahan : 13 individu/100 meter

Tabel 6a. Ukuran Bambu


Diamater Batang
No.
Bambu (cm)
1.
9,54
2.
7
3.
9,08
4.
9,2
5.
11,6
6.
9,2
7.
9,8
8.
10
9.
7,6
10.
9,8
11.
9,8
12.
9,54
13.
10,5
Tabel 6b. Ukuran Moluska

Tabel 7a. Struktur Populasi Moluska


Panjang

Jumlah individu

0,5 cm sampai dengan 1,5 cm

60

1,6 cm sampai dengan 2,0 cm

35

2,1 cm sampai dengan 2,5 cm

11

Jumlah

106

Tabel 7b. Struktur Populasi Bambu


Diameter

Jumlah Individu

7 cm sampai dengan 9, 78 cm

9,79 cm sampai dengan 10,71 cm

10,72 cm sampai dengan 1,64 cm

Jumlah

13

Gambar 2. Piramida populasi moluska atau bamboo berdasarkan ukuran


Piramida Populasi bambu (Bambusa balcooa)
(10,72-11,64) cm
(9,79-10,71) cm
(7,0-9,78) cm
3,5

2,5

0,5 0

0,5

2,5

1,5 0

1,5

2,5

0,5 0

0,5

2,5

3,5

Piramida Populasi moluska Sulcospira Sulcospira


(2,1-2,5) cm
(1,6-2,0) cm
(0-1,5) cm
11,5

11,5

Piramida Populasi Sulcospira sp.


(10,72-11,64) cm
(9,79-10,71) cm
(7,0-9,78) cm
3,5

3,5

Piramida Populasi Sulcospira testudinaria


(10,72-11,64) cm
(9,79-10,71) cm
(7,0-9,78) cm
2

1,5

1,5

Piramida Populasi Oreobasus


(2,1-2,5) cm
(1,6-2) cm
(0-1,5) cm
6

4,5

3 0

Tabel 8. Kondisi Lingkungan


a. Kondisi Perairan
Parameter

Hulu

Tengah

Hilir

Lingkungan
Temperatur udara
Temperatur air
Arus
Substrat yang

25
23
28 m/s
Batu

27 0C
2760C
0,04 m/s
Lumpur

27 0C
25 0C
10 m/ 9s
Batu kecil

dominan
Ph

b. Kondisi Daratan
Parameter
Lingkungan
Temperatur udara
Tipe tanah
pH

Hulu
26
Batu
8

Tengah
270C
pasir
6,8

Hilir
270C
Pasir
4,8

4,5

Tabel 9. Distribusi longitudinal moluska


Spesies
Sulcospira sulcospira
Sulcospira testudinaria
Oreobasus
Sulcospira
Varicella
Elimia
Pseudotryonia brevissinus
Melanades turiculla

Hulu
+
+
+

Tabel 10. Distribusi Longitudinal Bambu


Spesies
Hulu
Bambusa balcooa
Gigantochloa atter
Bambusa arundinaceae
+
Bambusa maculata
+

Tengah
+
+
+
+
-

Hilir
+
-

Tengah
+
-

Hilir
+
-

B. Pembahasan
Sebagian besar penduduk terutama yang ada di sepanjang DAS masih
menggunakan Sungai Pelus untuk berbagai keperluan seperti MCK, pertanian,
perkebunan,

perikanan,dan

berbagai

aktivitas

antropogenik.

Hal

ini

memungkinkan terjadinya perubahan kualitas perairan yang selanjutnya akan


berdampak pada kehidupan biota air salah satunya perubahan pola struktur
komunitas moluska misalnya perubahan jumlah komposisi, kelimpahan dan
keanekaragamannya.
Sungai adalah perairan umum yang airnya mengalir terus menerus pada
arah tertentu, berasal dari air tanah, air permukaan yang diakhiri bermuara ke laut.
Sungai sebagai perairan umum yang berlokasi di darat dan merupakan suatu
ekosistem terbuka yang berhubungan erat dengan sistem-sistem terestrial dan
lentik. Ciri-ciri umum daerah aliran sungai adalah semakin ke hulu daerahnya
pada umumnya mempunyai tofograpi makin bergelombang sampai bergununggunung. Sungai adalah lingkungan alam yang banyak dihuni oleh organisme
(Odum, 1992).
Menurut Soemarwoto (1980), Pada habitat air mengalir ini, perubahanperubahan yang terjadi akan lebih nampak pada bagian atas dari aliran air karena
adanya kemiringan, volume air atau komposisi kimia yang berubah. Arus
mempunyai arti penting untuk pergerakan ikan. Arus yang searah dari hulu sangat
penting untuk pergerakan ikan atau bahkan menyebabkakn ikan-ikan bergerak
aktif melawann arus, kea rah muara pergerakan ikan dapat berlangsung dengan
pasif maupun mengapung (Wotton, 1992), Sungai merupakan salah satu perairan
darat yang mengalir. Berdaasrkan letak dan kondisi lingkungannya dibagi menjadi
tiga bagian :

Hulu sungai, terletak di daerah yang dataran tinggi, menglir melalui bagian
yang curam, dangkal, berbatu, arus deras, volume air kecil, kandungan
oksigen telarut tinggi, suhu yang rendah, dan warna air jernih.

Hilir sungai, terletak didaratan yang rendah, dengan arus yang tidak begitu
kuat dan volume air yang besar, kecepatan fotosintesis yang tinggi dan
banyak bertumpuk pupuk organic.

Muara sungai letaknya hampir mencapai laut atau pertemuan sungaisungai lain, arus air sangat lambat dengan volume yang lebih besar,
banyak mengandung bahan terlarut, Lumpur dari hilir membentik delta
dan warna air sangat keruh .
Sungai Pelus memiliki peran penting bagi organisme konsumer tingkat

rendah maupun konsumer tingkat tinggi seperti manusia. Daerah sekitar sungai
Pelus banyak dimanfaatkan sebagai pemukiman. Aktivitas yang banyak dilakukan
disana adalah memancing, berkebun, dan MCK. Dari hasil studi lapangan yang
telah dilakukan di daratan sekitar sungai Pelus, komponen abiotik yang ada adalah
batu, air, lumpur, plastic, pasir, udara. Udara penting sebagai penyedia unsur
anorganik dan organic seperti karbon dioksida, nitrogen, oksigen. Sedangkan
tanah memiliki unsure hara yang tinggi. Berdasarkan hasil pengukuran terhadap
pH (keasaman) tanah, tanah daratan di sekitar sungai Pelus memiliki pH sekitar
6,8 dengan tipe tanah pasir. Komponen biotik yang ditemukan adalah ikan,
molusca, kepiting, laba-laba air, kupu-kupu, burung, semut, lumut, rumput,
bambu, pisang, singkong, randu, sukun, pete cina, mengkudu, mangga, nangka,
kelapa, kopi, papaya, abasia, jambu biji, pinang, waru, ulet, belalang, lalat. Bambu
merupakan populasi yang paling banyak hidup didaerah sekitar sungai.
Suatu ekosistem yang kompleks terjadi interaksi antara individu sejenis
maupun beda spesies. Interaksi ini dapat berupa pola makan-memakan atau
disebut rantai makanan, atau dapat berupa interaksi persaingan dalam
memperebutkan makanan. Rantai makanan merupakan roses perpindahan energi
makanan dari sumber daya tumbuhan melalui seri organisme atau melalui jalur
makan-memakan (Heddy & Kurniati, 1997).

Jaringan perpindahan energi yang lebih kompleks sering disebut sebagai


jaring makanan. Tumbuhan, fitoplankton dalam suatu ekosistem perairan
menempati sebagai produsen, yang kemudian akan dimanfaatkan energinya oleh
mikrokonsumen seperti zooplankton ataupun makrokonsumen seperti ikan dan
manusia.
Di alam terdapat bermacam-macam komunitas yang secara garis besar
dapat dibagi dalam dua bagian yaitu:
1

Komunitas akuatik, misalnya yang terdapat di laut, danau, sungai, parit


atau kolam.

Komunitas terrestrial, yaitu kelompok organisme yang terdapat di


pekarangan, hutan, padang rumput, padang pasir, dll.

Menurut Heddy (1989), perbedaan pokok antara ekosistem darat dan airterletak
pada ukuran tumbuhan hijau, di mana autotrof daratan cenderung lebihsedikit,
akan tetapi ukurannya lebih besar. Perbedaan antara habitat daratan danair adalah
sebagai berikut:
1. Habitat daratan, kelembaban merupakan faktor pembatas, organismedaratan
selalu dihadapkan pada masalah kekeringan. Evaporasi dantranspirasi
merupakan proses yang unik dari kehilangan energi padaingkungan daratan.
2. Variasi suhu dan suhu ekstrem lebih banyak di udara daripada media air.
3. Sirkulasi udara yang cepat di permukaan bumi akan menghasilkan isicampuran O2 dan CO2 yang tetap.
4. Meskipun tanah sebagai penyangga yang padat bukan udara, kerangkayang
kuat telah berkembang di tanah yaitu tanaman dan binatang yangakhir-akhir ini
mempunyai arti khusus bagi perkembangan.
5. Tanah tidak seperti lautan yang selalu berhubungan dimana tanah
sebagai barier geografi terpenting dala gerak bebasnya.
6. Sebagai substrat alam, meskipun yang terpenting adalah di air. Namun,yang
paling khusus adalah dalam lingkngan daratan. Tanah adalah sumberterbesar
dari bermacam-macam nutrisi nitrit, fosfor, dan sebagainya) yangmerupakan
perkembangan besar dari subsistem ekologi.

Menurut Gardner, Pearce dan Mitchell (1991), pertumbuhan tanaman dan


produksi bambu dipengaruhi oleh dua factor, yaitu factor genetic dan factor
lingkungan tempat tumbuhnya. Untuk memperoleh sifat genetic yang baik dapat
dilakukan melalui pembiakkan secara vegetative, salah satunya adalah
menggunakan stek batang atau umbi. Sedangkan factor lingkungan yang
kemungkinan berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman antara
lain jarak tanam bambu.

Berikut klasifikasi bambu yang dijumpai pada bantaran Sungai Pelus.


Klasifikasi :
Kingdom

: Plantae

Phylum

: Tracheophyta

Class

: Spermatopsida

Ordo

: Poales

Famili

: Gramineae

Genus

: Bambusa

Spesies

: Bambusa bacooa

Deskripsi :
Bambusa balcooa adalah adat ke India Utara-Timur (termasuk Himalaya
timur), NEPAL dan BANGLADESH mana ia sering dibudidayakan. Bambusa
balcooa juga dibudidayakan di banyak negara lain dari Tenggara dan Asia Timur,
dan di Afrika tropis dan Australia. Batang dari Bambusa Balcooa yang rata-rata
antara 12-22 m dan 6-15 cm. Batang yang keabu-abuan hijau dan tebal
berdinding, di mana diameter rongga adalah sekitar sepertiga dari yang dari
batang tersebut. Node menebal dengan cincin keputihan di atas, dan memiliki
rambut-rambut kecil pendek di bawah ini. Ruas batang yang rata-rata antara 20
cm dan 40 cm panjang.
Bambusa balcooa memiliki tunas kehitaman-hijau dengan warna kuning.
Selubung batang coklat atau oranye diwarnai, ditutupi dengan rambut jarang

coklat gelap. Beberapa cabang bergerombol dengan 1-3 lebih besar cabang
dominan. Cabang biasanya terjadi dari tengah batang ke atas. Cabang dari node
yang lebih rendah berdaun dan keras, dan kadang-kadang duri-seperti. Daun
sempit dan rata-rata panjang 15-30 cm dan 25-50 mm luas, dapat berbunga dan
biji

biasanya terjadi setiap 35-45 tahun.Bambusa balcooa tumbuh hingga

ketinggian 700 m di iklim muson tropis dengan curah hujan tahunan 2.500 - 3.000
mm. Tumbuh pada setiap jenis tanah tapi lebih suka tanah bertekstur berat dengan
drainase yang baik dan pH rendah sekitar 5,5. Produksi tahunan 1200-1700 batang
/ ha dilaporkan dari Bangladesh.Sifat mekanisnya yaitu Kuat tekan berkisar 39,450,6 N / mm2 di hijau dan 51,0-57,3 N / mm2 dalam kondisi kering udara.
Modulus pecah bervariasi antara 85,0-62,4 N / mm2 di hijau dan 92,6-69,6 N /
mm2 dalam kondisi kering udara. Modulus elastisitas 7,2-10,3 kN / mm2 hijau,
9,3-12,7 kN / mm2 dalam kondisi kering udara (Kabir et al. 1991).
Tanaman bambu dijumpai tumbuh mulai dari dataran rendah sampai
dataran tinggi 100 2200 m di atas permukaan laut. Walaupun demikian tidak
semua jenis bambu dapat tumbuh dengan baik pada semua ketinggian tempat,
namun pada tempat-tempat yang lembab atau pada tempat yang kondisi curah
hujannya tinggi dapat mencapai pertumbuhan terbaik, seperti ditepi sungai,
ditebing-tebing yang curam (Soendjoto, 1997).
Berdasarkan hasil pengamatan sungai pelus pada pos 2 (hulu) ditemukan
populasi Bambusa arundinaceae dan Bambusa maculata. Pada pos 4 (tengah)
ditemukan populasi Bambusa balcooa. Pada pos 7 (hilir) ditemukan populasi
Gigantochlia atter.
Umumnya tanaman bambu dapat tumbuh dengan baik dan tersebar
dimana-mana, walaupun dalam pertumbuhannya dapat dipengaruhi oleh keadaan
iklim. Unsur-unsur iklim meliputi sinar matahari, suhu, curah hujan dan
kelembaban. Tempat yang disukai tanaman bambu adalah lahan yang terbuka
dimana sinar matahari dapat langsung memasuki celah-celah rumpun sehingga
proses fotosintesis dapat berjalan lancer. Type iklim mulai dari A, B, C, D sampai
E (mulai dari iklim basah sampai kering), semakin basah type iklim makin banyak
jenis bambu yang dapat tumbuh. Ini disebabkan karena tanaman bambu termasuk
tanaman yang banyak membutuhkan air yaitu curah hujan minimal 1020

mm/tahun dan kelembaban minimum 76%.Jenis tanah di lokasi praktek mulai dari
tanah berat sampai ringan dan mulai dari tanah subur sampai kurang subur. Sifat
fisik tanah pada lokasi praktikum dengan pH 7 dengan suhu 27C (Anonim,
2010).
Produsen sebagai makhluk hidup yang dapat menghasilkan makananya
sendiri,dengan cara mengubah zat anorganik untuk menghasilkan zat organik yang
dapatdigunakan individu itu sendiri. Produsen yang berperan dalam ekosistem
tersebutadalah bambu, rumput, tumbuhan paku, pohon pisang dan lumut.
Makrokonsumer tingkat I adalah konsumen yang memanfaatkan energi dari
produsen.Konsumen ini bersifat herbivora. Konsumen tersebut meliputi capung,
ulat,moluska, crustacea, anggang-anggang, nyamuk, lebah, lalat, semut, kupukupu.Makro konsumer tingkat II adalah konsumen yang memakan konsumen
tingkat Idan mereka bersifat herbivora. Makro konsumer tingkat II di area ini
meliputi,ikan, laba-laba, Manusia. Dekomposer merupakan konsumen yang dapat
merubahzat organik dan anorganik. Dalam aliran Sungai Pelus dekomposer yang
ada yaitu jamur, mikroorganisme, cacing.
Menurut

Odum

(1994),

penggolongan

organisme

dalam

air

dapat berdasarkan pada:


1. Berdasarkan aliran energy Organisme dibagi menjadi autotrof (tumbuhan), dan
fagotrof(makrokonsumen), yaitu karnivora predator, parasit, dan saprotrof atau
organisme yang hidup pada substrat sisa-sisa organisme.
2. Berdasarkan kebiasaan hidup, organisme dibedakan sebagai berikut.
a. Plankton, terdiri atas fitoplankton dan zooplankton, biasanya melayanglayang(bergerak pasif) mengikuti gerak aliran air.
b. Nekton; Hewan yang aktif berenang dalam air, misalnya ikan.
c. Neuston; Organisme yang mengapung atau berenang di permukaan air
atau bertempat pada permukaan air, misalnya serangga air.
d. Perifiton; Merupakan tumbuhan atau hewan yang melekat/bergantung pada
tumbuhanatau benda lain, misalnya keong.

e. Bentos; Hewan dan tumbuhan yang hidup di dasar atau hidup pada
endapan.Bentos dapat sessil (melekat) atau bergerak bebas, misalnya cacing dan
remis.
Adaptasi yang dilakukan oleh organisme air tawar dengan cara
sebagai berikut:
1. Adaptasi tumbuhan, tumbuhan yang hidup di air tawar biasanya bersel
satu dan dinding selnyakuat seperti beberapa alga biru dan alga hijau.Tumbuhan
tingkat tinggi, sepertiteratai (Nymphaea gigantea), mempunyai akar jangkar (akar
sulur). Tumbuhan rendah yang hidup di habitat air, tekanan osmosisnya sama
dengantekanan osmosis lingkungan atau isotonis.
2. Adaptasi hewan Ekosistem air tawar dihuni oleh nekton. Nekton
merupakan hewan yang bergerak aktif dengan menggunakan otot yang kuat.
Hewan tingkat tinggi di ekosistem air tawar, misalnya ikan. Mekanisme ikan
dalam
mengatasi perbedaan tekanan osmosis adalah dengan melakukan osmoregulasi unt
ukmemelihara keseimbangan air dalam tubuhnya melalui sistem ekskresi,insang,
dan pencernaan.
Moluska berasal dari bahasa Romawi, molis yang berarti lunak yang
hidup sejak periode Cambrian,terdapat lebih dari 100 ribu spesies hidup dan 35
ribu spesies fosil, kebanyakan dijumpai di laut dangkal, beberapa pada kedalaman
7000m, beberapa di air payau, air tawar, dan darat (Pennak, 1978). Menurut
Hyman (1967), filum moluskaditandai oleh tubuh yang lunak, yang tidak terbagi
dalam segmen-segmen yang biasanya dilindungi oleh satu atau lebih keping
cangkang.
Moluska merupakan organisme akuatik yang hidup di dasar perairan
dengan pergerakan relatif lambat yang sangat dipengaruhi oleh substrat dasar serta
kualitas perairan. Moluska berperan penting dalam proses mineralisasi dan
pendaur-ulangan bahan organik maupun sebagai salah satu sumber makanan bagi
organisme konsumen yang lebih tinggi. Penurunan komposisi, kelimpahan dan
keanekaragaman dari moluska biasanya merupakan indikator adanya gangguan
ekologi yang terjadi pada sungai tersebut (Mason,1981). Salah satu organisme
yang terdapat di Sungai Pelus adalah moluska.

Ciri-ciri Moluska adalah :


- Merupakan hewan multiselular yang tidak mempunyai tulang belakang.
- Habitatnya di ait maupun darat
- Merupakan hewan triploblastik selomata.
- Struktur tubuhnya simetri bilateral.
- Tubuh terdiri dari kaki, massa viseral, dan mantel.
- Memiliki sistem syaraf berupa cincin syaraf
- Organ ekskresi berupa nefridia
- Memiliki radula (lidah bergigi)
- Hidup secara heterotroph
Salah satu kelas yang di Moluska adalah Gastropoda. Gastropoda
termasuk hewan yang sangat berhasil menyesuaikan diri untuk di beberapa tempat
dan cuaca.Distribusi penyebaran gastropoda air tawar ini umumnya meliputi
daerahyang sangat luas, mulai dari dataran rendah sampai dataran tinggi yang
mempunyai ketinggian 2.000 m dpl (Benthem, 1953). Spesies moluska yang
dominan di Sungai Pelus yaitu Sulcospira sulcospira.

Klasifikasi menurut Encyclopedia of life (2013) yaitu:


Kingdom

: Animalia

Filum

: Mollusca

Klas

: Gastropoda

Ordo

: Sorbeoconcha

Famili

: Pachyhilidae

Genus

: Sulcospira

Spesies

: Sulcospira sulcospira
Moluska mempunyai bentuk tubuh yang beranekaragam. Berdasarkan

bentuk tubuh, jumlah serta keping cangkang filum moluska terbagi ke dalam 7
kelas yaitu: Aplacophora, Monoplacophora, Polyplacophora, Gastrophoda,
Bivalvia, Scaphopoda, dan Cephalopoda. Filum moluska merupakan anggota
yang terbanyak kedua setelah filum Arthropoda. Terdapat lebih dari 60.000
spesies hidup dan 15.000 spesies fosil (Brusca & Brusca, 1990).

Arus adalah faktor pembatas utama pada aliran deras, tetapi dasar yang
keras terutama bila terdiri dari batu, dapat menyediakan permukaan yang cocok
untuk organism (flora dan fauna) untuk menempel atau melekat. Dasar di air
tenang yang lunak dan terus-menerus berubah umumnya membatasi organisme
bentik yang lebih kecil sampai bentuk penggali, tetapi bila kedalaman lebih besar
lagi, lebih sesuai untuk plankton, neuston dan plankton. Komposisi jenis dari
komunitas air deras sewajarnya 100% berbeda dari zona perairan yang tenang
seperti kolam dan danau (Odum, 1988).
Sungai yang dijumpai dihampir semua tempat pada mulanya, sebelum
mendapat gangguan manusia, mempunyai kualitas air yang bersifat alamiah.
Debu, mineral-mineral atmosfer dan berbagai macam gas banyak yang terlarut
dalam air hujan yang pada gilirannya akan menentukan status kualitas air alamiah
badan air atau sungai tersebut (Wirakusumah, 2003).
Diantara karakteristik fisik perairan (alamiah) yang dianggap penting
adalah konsentrasi larutan sedimen, suhu air, dan tingkat oksigen terlarut dalam
suatu sistem aliran air. Larutan sedimen yang sebagian besar terdiri atas larutan
lumpur dan bebrapa bentuk koloida-koloida dari berbagai material inilah yang
seringkali mempengaruhi kualitas air dalam kaitannya dengan pemanfaatan
sumberdaya air untuk kehidupan manusia dan organisme akuatik lainnya.
Meningkatnya suhu perairan yang dapat diklasifikasikan sebagai pencemar
perairan dapat mempengaruhi kehidupan organisme akuatik secara langsung atau
tidak langsung. Sementara itu, oksigen terlarut dalam perairan dapat dimanfaatkan
untuk indikator atau sebagai indeks sanitasi kualitas air (Soeriaatmadja, 1977).
Muatan sedimen. Kualitas fisik perairan sebagian besar ditentukan oleh
jumlah konsentrasi sedimen yang terdapat dalam perairan tersebut. Muatan
sedimen total yang terdapat dalam aliran air terediri atas sedimen merayap
(bedload) dan sedimen melayang (suspended sediment). Untuk suatu sistem
daerah aliran air, terutama yang terletak di hulu, jumlah muatan sedimen yang
terlarut dalam aliran air mempunyai pengaruh yang menentukan terhadap kualitas
air di tempat tersebut. Pengaruh tersebut diwujudkan dalam bentuk pengaruh
muatan sedimen pada besar kecilnya dan kedalaman cahaya matahari yang masuk
ke dalam aliran air. Muatan sedimen dalam suatu perairan diukur melalui tingkat

kekeruhan yang terjadi di aliran air tersebut. Pada tingkat kekeruhan tertentu,
cahaya matahari yang masuk ke dalam badan air berkurang sehingga menghambat
proses fotosintesis jenis vegetasi yang tumbuh di dalam perairan. Cahaya matahari
yang dapat masuk ke dalam badan air juga berguna untuk kehidupan organjisme
akuatik, terutama dalam mempertahankan suhu perairan tersebut pada tingkat
yang memungkinkan untuk menunjang kehidupan organisme tersebut. Muatan
sedimen dalam aliran air juga membawa serta unsur hara (nutrisi) dan logam berat
yang akan mempengaruhi pemanfaatan sumber daya air (Thohir, 1991).
Muatan sedimen dapat dibedakan menjadi dua yaitu muatan sedimen
organik dan muatan sedimen non-organik. Muatan sedimen organik terdiri atas
unsur-unsur yang berasal dari flora (vegetasi) dan fauna (hewan) yang seringkali
terangkut dalam aliaran air pada periode aliran besar (debit besar sebelum tercapai
debit puncak). Muatan sedimen non-organik meliputi unsur-unsur pasir, lumpur,
dan koloida-koloida dari berbagai mineral yang pada tempat dan waktu tertentu
dapat mengendap di dasar perairan (Asdak, 1995).
Sedimen melayang (suspended material) dalam perairan sungai alamiah dapat
dibedaklan menjadi dua tipe:
Sedimen non-organik, terutama terdiri atas pasir, debu, dan koloida-koloida
yang berasal dari permukaan tanah daerah tangkapan air dan dari dasar
saluran-saluran air di tempat tersebut.
Sedimen organik, terdiri atas unsur-unsur tanaman dan hewan baik yang hidup
atau mati yang terlarut dalam aliran air sungai. Sedimen-sedimen organik
dapat juga teruraikan (decomposed) oleh biota yang hidup dalam perairan
tersebut antara lain serangga dan vegetasi perairan lainnya, bakteri, jamur dan
ganggang menjadi bentuk lain dari unsur-unsur organik (Hewlett, 1982).
Sedimen non-organik yang banyak dijumpai pada sungai Pelus sebagai subdtrat
yang dominan adalah pada bagian hulu substrat yang dominan adalah bebatuan,
pada bagian tengah substrat yang dominan adalah pasir, kerikil, dan bebatuan,
pada bagian hilir substrat yang dominan adalah pasir dan batuan.
Sedimen terlarut (dissolved material) dalam perairan sungai alamiah dapat
dibedakan menjadi dua tipe:

Larutan non-organik, termasuk unsur-unsur mineral dan gas. Meskipun unsurunsur mineral mendominasi larutan non-organik ternyata beberapa jenis gas ,
terutama oksigen dan karbon dioksida memegang peranan yang lebih penting
untuk keberlanjutan kehidupan flora dan fauna akuatis serta menentukan
kualitas air.
Larutan organik, meliputi bermacam-macam unsur organik yang bersifat
komplek

sebagai

hasil

proses-proses

fotosintesis,

metabolisme,

dan

dekomposisi jaringan-jaringan tanaman dan hewan yang hidup di perairan.


Beberapa unsur organik tersebut ditemukan dalam kadaan tidak stabil, sebaian
lainnya diserap oleh organisme akuatis untuk menghasilkan sedimen organik
lain, dan banyak di antara komponen-komponen organik tersebut yang
berfungsi sebagai unsur hara makanan dan bentuk sumber energi lainnya bagi
flora dan fauna yang hidup di perairan bagian hilir (Asdak, 1995).
Arus air. Kandungan sedimen dalam air mempengaruhi kecepatan arus air,
jika sedimen yang terdapat dalam air lebih banyak maka arus air akan semakin
lambat, jika kandungan sedimennya sedikit maka arus air akan semakin cepat.
Arus air pada sungai Pelus bagian hulu kecepatan arusnya adalah 28 m/s, pada
bagian tengah 0,04 m/s, sedangkan pada bagian hilir arus airnya adalah 10 meter/
19 detik. Hal ini berarti kandungan sedimen pada bagian tengah lebih besar
daripada dibagian hulu dan hilir. Bagian hulu memilki kandungan sedimen yang
relatif lebih sedikit, karena sedimen yang ada terbawa lairan air sampai ke tengah
dan menurun jumlahnya jika sudah sampai ke bagian hilir (Leksono, 2007).
Temperatur air. Suhu di dalam air dapat menjadi faktor penentu atau
pengendali kehidupan flora dan fauna akuatis, terutama suhu di dalam air yang
telah melampaui ambang batas (terlalu hangat atau terlalu dingin) bagi kehidupan
flora dan fauna akuatis tersebut. Jenis, jumlah dan keberadaan flora dan fauna
akuatis seringkali berubah dengan adanya perubahan suhu air, terutama oleh
adanya kenaikan suhu di dalam air. Secara umum, kenaikan suhu perairan akan
mengakibatkan kenaikan aktivitas biologis dan pada gilirannya memerlukan lebih
banyak oksigen di dalam perairan tersebut. Kenaikan suhu suatu perairan alamiah
umumnya disebabkan oleh aktivitas penebangan vegetasi di sepanjang tebing
aliran air tersebut. Dengan adanya penebangan atau pembukaan vegetasi di
sepanjang tebing aliran tersebut mengakibatkan lebih banyak cahaya matahari

yang dapat menembus ke permukaan aliran air tersebut dan pada akhirnya akan
meningkatkan suhu di dalam air (Asdak, 1995).
Suhu air atau temperatur air di sungai Pelus pada bagian hulu adalah
sebesar 23 0C, pada bagian tengah 26 0C dan hilir temperatur airnya mencapai 25
0

C. Nilai temperatur air tersebut masih dalam batas normal, tidak terlalu dingin

dan tidak terlalu hangat atau panas sehingga flora dan fauna organisme akuatis
dapat tumbuh dengan optimal. Nilai temperatur udara di sekitar sungai pada
bagian hulu temperatur udaranya adalah 270C, pada bagian tengah sebesar 26 0C,
dan pada bagian hilir sebesar 31 0C. Temperatur udara tersebut masih dalam batas
normal. Jika temperatur udaranya terlalu dingin atau terlalu panas maka hal
tersebut tidak bagus untuk kehidupan ikan organisme akuatik lainnya.
pH air. pH

air biasanya dimanfaatkaan untuk menentukan indeks

pencemaran dengan melihat tingkat keasaman atau kebasaan air yang diuji,
terutama oksidasi sulfur dan nitrogen pada proses pengasaman dan oksidasi
kalsium dan magnesium pada proses pembasaan. Besarnya angka pH dalam suatu
perairan dapat dijadikan indikator adanya keseimbangan unsur-unsur kimia dan
dapat mempengaruhi ketersediaan dan unsur hara yang sangat bermanfaat bagi
kehidupan vegetasi akuatik. pH air juga mempunyai peranan penting bagi
kehidupan ikan dan fauna lain yang hidup di perairan tersebut. Umumnya,
perairan dengan tingkat pH lebih kecil daripada 4,8 dan lebih besar daripada 9,2
sudah dianggap tercemar (Brook et al., 1989).
Bagi kebanyakan ikan yang hidup di perairan tawar, angka pH yang
dianggap sesuai untuk kehidupan ikan-ikan tersebut adalah berkisar anatara 6,0
hingga 8,4. Apabila pH air telah turun jauh dibawah angka 6,0 ikan dan organisme
akuatik lainnya menjadi terganggu kehidupannya. Pada angka pH lebih kecil dari
4,5 keadaan kualitas air telah menjadi kritis dan tidak mampu lagi mendukung
kehidupan ikan. Sementara itu, untuk kebanyakan jenis ganggang tidak dapat
hidup di perairan dengan pH lebih besar daripada 8,5 (Asdak, 1995).
pH air di sungai Pelus dari bagian hulu, tengah, dan hilir mempunyai nilai
pH yaitu 8,0; 7,0; 6,0; Hal ini berarti sungai Pelus masih bagus kualitas airnya dan
pH tersebut merupak pH yang masih toleran untuk kehidupan ikan dan organisme
akuatik lainnya.

Kondisi daratan disekitar aliran sungai banayk ditumbuhi pepehonan dan


tanah yang ada dimanfaatkan sebagai lahan pemukiman dan lahan perkebunan.
Tanah pada lahan tersebut merupakan tanah serasah ada juga yang berupa pasir,
pH tanah normal yaitu 7,0. Bagian hulu dan tengah pH sebesar 6,9 dan 6,8
sehingga tanah tersebut sangat cocok untuk lahan perkebunan, sedangkan pada
hilir nilai pH tanah menunjukan nilai 4,8 sehingga disimpulkan tanah tersebut
telah tercemar dan tidak cocok untuk bertanam, sebab pH tanahnya jauh dari pH
normal. Temperatur udara dibagian daratan adalah sebesar 260C pada bagian hulu
dan 27 0C pada bagian tengah dan hilir. Nilai temperatur ini masih dalam batas
normal untuk pertumbuhan organisme yang ada di dalamnya (Dwidjoseputro,
1991).
Tanaman bambu tersebar luas di daerah beriklim tropis, sub tropis dan
sedang (Sutiyono, et al., 1992). Penyebaran bambu berdasarkan garis lintang yaitu
antara 40o LU/LS dengan penyebaran bambu tipe monopodial 30-38o LU/LS dan
bambu tipe simpodial 250 LU/LS (Uchimura, 1981).
Penyebaran bambu yang luas ini sangat dipengaruhi oleh faktor iklim
antara lain suhu, curah hujan, kelembaban yang berkaitan satu dengan yang lain
(Sutiyono, et al., 1992). Menurut Huberman (1959) daerah yang memiliki curah
hujan tahunanan minimal 1020 mm dan kelembaban udara minimal 80% dengan
suhu optimum antara 8,8-360C merupakan daerah yang cocok untuk pertumbuhan
bambu. Bambu dapat tumbuh baik di berbagai jenis tanah, kecuali tanah yang
berada di dekat pantai. Pada tanah tersebut, bambu dapat tumbuh tetapi
pertumbuhannya lambat dan buluh kecil. Umumnya bambu dapat tumbuh di
tempat dengan ketinggian 1-1200 m dpl dengan keadaan pH tanah antara 5,0-6,5
(Alrasyid, 1990). Verhoef (1957) menyatakan bahwa berbagai keadaan tanah
dapat ditumbuhi oleh bambu mulai dari tanah ringan sampai tanah berat, tanah
kering sampai tanah becek dan dari tanah yang subur sampai ke tanah yang
kurang subur.
Berdasarkan data moluska yang diperoleh, pada daerah hulu ditemukan 3
spesies yaitu Elimia sp, Pseudotryonia brevissinus, Melanades turiculla. Jumlah

spesies pada daerah tengah ditemukan 4 spesies yang berbeda, diantaranya


Sulcospira sulcospira, Sulcospira tertudinaria, Oreobasus sp, Sulcospira sp.
Sedangkan jumlah spesies pada daerah hilir ditemukan 1 spesies yang berbeda
yaitu, Varicella sp.
Adanya perbedaan jumlah komposisi taksa moluska pada Sungai Pelus
dapat disebabkan karena adanya perbedaan pengaruh bahan organik dan adanya
perubahan kondisi lingkungan, khususnya substrat sebagai akibat dari kegiatan
antropogenik dan industri yang menimbulkan tekanan lingkungan terhadap jenis
moluska tertentu. Komposisi taksa pada tingkat genus yang hanya berkisar antara
5 - 6 jenis, menandakan bahwa tingkat keanekaragaman taksa ini tergolong
rendah. Sedikitnya jumlah taksa yang ditemukan juga tidak dapat menunjukkan
bahwa perairan tersebut tercemar. Ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi
kondisi suatu lingkungan, misalnya fungsi aliran energi. Menurut Odum (1971),
penilaian tercemar atau tidaknya suatu ekosistem tidak mudah terdeteksi dari
hubungan antara keanekaragaman dan kestabilan komunitasnya. Sistem yang
stabil, dalam pengertian tahan terhadap gangguan atau bahan pencemar bisa saja
memiliki keanekaragaman yang rendah atau tinggi, hal ini tergantung dari fungsi
aliran energi yang terdapat pada perairan tersebut.
KESIMPULAN

Berdasarkan hasil dan pembahasan yang dipaparkan s


ebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1

Macam-macam komunitas yang terdapat di alam secara garis besar dapat


dibagi menjadi dua bagian yaitu komunitas akuatik dan terrestrial.

Faktor-faktor yang mempengaruhi distribusi moluska dan distribusi bambu


antara lain: gas terlarut, kejernihan, arus air, suhu, penetrasi cahaya, pH,
substrat dan polinasi.

Faktor lingkungan yang penting untuk daratan yaitu cahaya, temperatur


dan air, sedangkan cahaya, temperatur dan kadar garam merupakan faktor
tiga besar untuk perairan.

Perpindahan energi akan terjadi melalui proses makan-memakan atau


disebut rantai makanan yang kemudian bergabung membentuk jaringjaring makanan.

Dalam satu ekosistem, terdapat variasi komponen abiotik dan biotic yang
menempati suatu zona berbeda pada sungai.

Sungai Pelus sebagai daerah aliran sungai yang memiliki potensi besar
bagi

kesejahteraan

masyarakat

senantiasa

harus

selalu

dijaga

kelestariannya dari usaha pencemaran.

DAFTAR PUSTAKA
Alrasyid, H dan A. Widiart i,1990. Pengaruh Penggunaan Hormon IBA terhadap
persentase hidup stek Khaya anthoteca.
Asdak, C. 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.
Benthem, J.W.S.S. van. (1953). Systematic studies on the non-marine mollusca of
the Indo-Australian archipelago IV. Critical revision of the freshwater
bivalves of Java. Treubia 2, 19-73.

Brooks, K. N., P. F. Ffolliott, H. M. Gregersen, dan J. L. Thames. 1989.


Hydrology and the Management of Watershed. Ohio University Press,
Columbus, USA.
Brusca, R. C and G. J. Brusca. 1990. Invertebrates. Sinaver Associates, Inc.
Publishers Sunderland.
Buletin Penelitian Hutan No.523. Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehut
anan. Bogor. P.1-22.
Dwidjoseputro, D. 1991. Ekologi Manusia dengan Lingkungannya. Erlangga,
Jakarta.
Heddy, S. 1989. Hormon Tumbuhan. CV Rajawali, Jakarta.
Hewlett, J. D. 1982. Principles of Forest Hydrology. The University of Georgia
Press. Athens, USA.
Hyman, L.H. 1967. The Invertebrates. Vol.6. Mc-Grawhill Book Company. New
York.
Leksono, A. S. 2007. Ekologi Pendekatan Deskriptif dan Kuantitatif. Bayumedia
Publishing, Malang.
Mason, C.F. 1981. Biology of Freshwater Pollution. Longman Inc. New York. 250
hal.
Massachusetts Wirakusumah.2003. Dasar-Dasar Ekologi. Iniversitas Indonesia
Press.Jakarta.
Odum, E.P. 1971. Fundamental of Ecology. 3rd Edition W. B. Saunders Co.
Philadelphia. 546 p.
Odum, E.P. 1994. Dasar-dasar Eokologi. Edisi ke3 . Gajah Mada University
Press. Yogjakarta.
Odum, T. Howard.1992. Ekologi System. Yogyakarta : Gajah Mada University
Press. Rajawali.
Odum,E.P. 1988. Fundamental of Ecology. 3rd Edition by W.B. Saunders CO.
Philadelphia, Topan company Ltd. Tokyo.
Pennak, RW. 1978. Freshwater Invertebrates of the United States. New York: A
Willey Interscience Publications John Willey and Sons.
Riberu, P. 2002. Pembelajaran Ekologi. Jurnal Pendidikan Penabur, Vol 1 (1) :
125-127.
Soemarwoto, Idjah, dkk. 1980. BIOLOGI UMUM II. Jakarta : PT Gramedia.

Soendjoto, M.A. 1997. Prosiding Ekspose Hasil Penelitian dan Uji Coba Balai
Teknologi Reboisasi Banjar Baru. Upaya Peningkatan Mutu dan
Produktifitas Hutan Menuju Pengelolaan Hutan Lestari. BTR
Banjarbaru, Kal Sel.
Soeriaatmadja, R. E. 1977. Ilmu Lingkungan. ITB, Bandung.
Thohir, K. A. 1991. Butir-Butir Tata Lingkungan. Rineka Cipta, Jakarta.
Verhoef, L. 1957. Tanaman bambu di Jawa. Lembaga Pusat Penilitian Kehutanan.
Bogor. 25 hal.
Wootten, R.J., 1992. Fish Ecology. Departemen of Biological Science, University
callage of Walles Aberystwyth, Blackie and Sones, New York.

Anda mungkin juga menyukai