Anda di halaman 1dari 23

TINJAUAN PUSTAKA

Autis
Pengertian dan Gejala
Autisme berasal dari kata Yunani autos yang berarti self (diri). Kata
autisme ini digunakan di dalam bidang psikiatri untuk menunjukkan gejala
menarik diri. Istilah autis pertama kali dikemukakan pada tahun 1943 oleh Leo
Kanner, seorang psikolog dari Universitas John Hopkins. Ia memakai istilah autis
yang secara sosial tidak mau bergaul dan tenggelam dengan kerutinan, anakanak yang harus berjuang keras untuk bisa menguasai bahasa lisan namun tak
jarang menyimpan bakat intelektual tinggi. Berdasarkan penelitian terkini, gejala
autis disebabkan beberapa faktor yaitu genetik, infeksi virus rubella atau
galovirus saat dalam kandungan, faktor makanan seperti makanan yang
mengandung gluten dan kasein, gangguan metabolik yang menyebabkan
kelainan pada sistem limbik (bagian otak yang mengatur emosi), kondisi ibu yang
merokok pada saat hamil, serta pencemaran terhadap logam berat terutama
timbal (Kanner L 2007 dalam Latifah 2004).
Sari ID (2009), berpendapat istilah autis berasal dari kata autos yang
berarti diri sendiri dan isme yang berarti aliran. Autisme berarti suatu paham yang
tertarik hanya pada dunia sendiri. Autis diduga akibat kerusakan saraf otak yang
bisa muncul karena beberapa faktor, di antaranya : genetik dan faktor
lingkungan. Menurut Sutadi (2003), secara sederhana masalah atau karakteristik
yang sering terdapat pada penyandang autis adalah sebagai berikut: (1)
Kurangnya kemampuan untuk berkomunikasi seperti bicara dan berbahasa. (2)
terjadi ketidaknormalan dalam hal menerima rangsang melalui panca indera
(pendengaran, penglihatan,perabaan dan lain-lain), (3) masalah gerak/motorik.
(4) kelemahan kognitif, (5) perilaku yang tidak biasa, dan (6) masalah fisik.
Menurut Yuliana & Emilia (2006), Autistic Spectrum Disorder (ASD)
adalah suatu kelompok gangguan perkembangan anak yang terdiri dari Attention
Deficit Disorder (ADD), Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) dan
Pervasive Developmental Disorder (PDD). PDD adalah diagnosis yang diberikan
kepada anak-anak apabila menunjukkan gejala autis tetapi masih memiliki sedikit
kemampuan untuk berbicara dan berkomunikasi. Seorang anak yang didiagnosis
dengan

ADD

memiliki

kesulitan

dalam

mempertahankan

kemampuan

memusatkan perhatiannya. Seorang anak hiperaktif dengan ADD dinamakan


ADHD. Keduanya dianggap sebagai bentuk ASD yang lebih ringan. Asperger 's

Syndrome adalah bentuk autis yang paling ringan karena mempakan anak-anak
yang cerdas. Mereka menggunakan dan mengerti perbendaharaan kata secara
khas, tetapi memiliki minat yang sangat sempit dan menunjukkan banyak
kekurangan dari segi sosial. Seorang anak dengan Asperger 's Syndrome bisa
sangat ahli mengenai masalah mesin cuci, tapi mesin cuci adalah satu-satunya
hal yang dibicarakan.
Gejala-gejala yang terlihat pada anak yang menderita autis adalah diare
atau sembelit yang susah diatur, sakit pada bagian perut, adanya gas dan
kembung, buang air besar yang berbau busuk dan bewarna lebih muda, dan
kesulitan tidur setiap malam

yang disebabkan oleh saluran usus yang

mengalami gangguan sepanjang malam akibat asam lambung naik dan


membakar esopaghus, yaitu tempat dilaluinya makanan menuju perut (Yuliana &
Emilia E 2006).
Menurut Acocella (1996) dalam Lubis MU. (2009), ada banyak tingkah
laku yang tercakup dalam autis dan ada 4 gejala yang selalu muncul, yaitu :
1.

Isolasi sosial

Banyak anak autis yang menarik diri dari segala kontak sosial kedalam
suatu keadaan yang disebut extreme autistic aloness. Hal ini akan semakin
terlihat pada anak yang lebih besar, dan ia akan bertingkah laku seakan-akan
orang lain tidak pernah ada.
2.

Kelemahan kognitif :

Anak autis sebagian besar ( 70%) mengalami retardasi mental (IQ <
70) tetapi anak autis sedikit lebih baik, contohnya dalam hal yang berkaitan
dengan kemampuan sensori motor. Terapi yang dijalankan anak autis
meningkatkan hubungan sosial mereka tapi tidak menunjukkan pengaruh apapun
pada retardasi mental yang dialami. Oleh karena itu, retardasi mental pada anak
autis, terutama sekali disebabkan oleh masalah kognitif dan bukan pengaruh
penarikan diri dari lingkungan sosial.
3.

Kekurangan dalam bahasa

Lebih dari setengah autis tidak dapat berbicara, yang lainnya hanya
mengoceh, merengek, menjerit atau menunjukkan ecolalia, yaitu menirukan apa
yang dikatakan orang lain. Beberapa anak autis mengulang potongan lagu, iklan
TV, atau potongan kata yang terdengar tanpa tujuan. Beberapa anak autis
menggunakan kata ganti dengan cara yang aneh. Menyebut diri mereka sendiri
sebagai orang kedua kamu atau orang ketiga dia. Intinya anak autis tidak

dapat berkomunikasi dua arah (resiprok) dan tidak dapat terlibat dalam
pembicaraan normal
4.

Tingkah laku stereotif

Anak autis sering melakukan gerakan yang berulang-ulang secara terusmenerus tanpa tujuan yang jelas. Seperti berputar-putar, berjingkat-jingkat dan
lain sebagainya. Gerakan yang dilakukan berulang-ulang ini disebabkan adanya
kerusakan fisik, misalnya adanya gangguan neurologis. Anak autis juga
mempunyai kebiasaan menarik-narik rambut dan menggigit jari. Walaupun sering
menangis kesakitan akibat perbuatan sendiri, dorongan untuk melakukan tingkah
laku yang aneh ini sangat kuat dalam diri mereka. Anak autis juga hanya tertarik
pada bagian-bagian tertentu dari sebuah objek, misalnya pada roda mainan
mobil-mobilan. Anak autis juga menyukai keadaan lingkungan dan kebiasaan
yang monoton.
Menurut Handojo (2003), deteksi dini autis pada anak yang dianjurkan
untuk diwaspadai oleh para orang tua adalah sebagai berikut :
1. Anak usia 30 bulan belum bisa bicara untuk komunikasi
2. Hiperaktif dan acuh kepada orang tua dan orang lain
3. Tidak bisa bermain dengan teman sebayanya
4. Ada perilaku aneh yang diulang-ulang
Jenis-jenis
Menurut Faisal Y (2003) dalam Hidayat (2004), autisme terdiri dari tiga
jenis yaitu persepsi, reaksi, dan yang timbul kemudian.
1. Autisme persepsi
Autisme persepsi merupakan autisme yang timbul sebelum lahir dengan
gejala adanya rangsangan dari luar baik kecil maupun kuat yang dapat
menimbulkan kecemasan.
2. Autisme reaktif
Autisme reaktif ditunjukkan dengan gejala berupa penderita membuat
gerakan-gerakan tertentu yang berulang-ulang dan kadang-kadang disertai
kejang dan dapat diamati pada anak usia 6-7 tahun. Anak memiliki sifat rapuh
dan mudah terpengaruh oleh dunia luar.
3. Autisme yang timbul kemudian
Jenis autisme ini diketahui setelah anak agak besar dan akan mengalami
kesulitan dalam mengubah perilakunya kerena sudah melekat atau ditambah
adanya pengalaman yang baru.

Sedangkan menurut Sari ID (2009), autis terbagi menjadi dua, yaitu


sebagai berikut :
1.

Autisme klasik.
Autis sejak lahir merupakan bawaan yang diturunkan dari orang tua ke

anak yang dilahirkan atau sering disebut autis yang disebabkan oleh genetika
(keturunan) (CDC 2000). Kerusakan saraf sudah terdapat sejak lahir, karena saat
hamil, ibu terinfeksi virus seperti rubella, atau terpapar logam berat berbahaya
seperti merkuri dan timbal yang berdampak mengacaukan proses pembentukan
sel-sel otak janin.
2.

Autisme regresif
Muncul saat anak berusia antara 12 sampai 24 bulan. Sebelumnya

perkembangan anak relatif normal, namun saat usia anak menginjak 2 tahun
kemampuan anak merosot. Anak tadinya sudah bisa membuat kalimat dua
sampai tiga kata berubah diam dan tidak lagi berbicara. Anak terlihat acuh dan
tidak mau melakukan kontak mata. Kalangan ahli menganggap autisme regresif
muncul karena anak terkontaminasi langsung faktor pemicu. Paparan logam
berat terutama merkuri dan timbal dari lingkungan merupakan faktor yang paling
disorot.
Klasifikasi Autis
Menurut Cohen & Bolton (1994) dalam Hadrian J (2008) autisme dapat
diklasifikasikan menjadi beberapa bagian berdasarkan gejalanya. Seringkali
pengklasifikasian disimpulkan setelah anak didiagnosa autis. Klasifikasi ini dapat
diberikan melalui Childhood Autism Rating Scale (CARS). Skala ini menilai
derajat kemampuan anak untuk berinteraksi dengan orang lain, melakukan
imitasi, memberi respon emosi, penggunaan tubuh dan objek, adaptasi terhadap
perubahan, memberikan respon visual, pendengaran, pengecap, penciuman dan
sentuhan. Selain itu, Childhood Autism Rating Scale juga menilai derajat
kemampuan anak dalam perilaku takut/gelisah melakukan komunikasi verbal dan
non verbal, aktivitas, konsistensi respon intelektual serta penampilan menyeluruh
Pengklasifikasiannya adalah sebagai berikut :
a). Autis ringan
Pada kondisi ini, anak autis masih menunjukkan adanya kontak mata
walaupun tidak berlangsung lama. Anak autis ini dapat memberikan sedikit
respon ketika dipanggil namanya, menunjukkan ekspresi-ekspresi muka, dan
dalam berkomunikasi secara dua arah meskipun terjadinya hanya sesekali.

Tindakan-tindakan

yang

dilakukan,

seperti memukulkan kepalanya

sendiri,

mengigit kuku, gerakan tangan yang steroetif dan sebagainya, masih bisa
dikendalikan dan dikontrol dengan mudah. Karena biasanya perilaku ini
dilakukan masih sesekali saja, sehingga masih bisa dengan mudah untuk
mengendalikannya.
b). Autis sedang
Pada kondisi ini, anak autis masih menunjukkan sedikit kontak mata,
namun tidak memberikan respon ketika namanya dipanggil. Tindakan agresif
atau hiperaktif, menyakiti diri sendiri, acuh, dan gangguan motorik yang
stereotipik cenderung

agak

sulit

untuk

dikendalikan

tetapi

masih

bisa

dikendalikan.
c). Autis berat
Anak autis yang berada pada kategori ini menunjukkan tindakan-tindakan
yang sangat tidak terkendali. Biasanya anak autis memukul-mukulkan kepalanya
ke tembok secara berulang-ulang dan terus-menerus tanpa henti. Ketika orang
tua berusaha mencegah, namun anak tidak memberikan respon dan tetap
melakukannya, bahkan dalam kondisi berada dipelukan orang tuanya, anak autis
tetap memukul-mukulkan kepalanya. Anak baru berhenti setelah merasa
kelelahan kemudian langsung tertidur. Kondisi yang lainnya yaitu, anak terus
berlarian didalam rumah sambil menabrakkan tubuhnya ke dinding tanpa henti
hingga larut malam, keringat sudah bercucuran di sekujur tubuhnya, anak
terlihat sudah sangat kelelahan dan tak berdaya. Tetapi masih terus berlari
sambil menangis. Seperti ingin berhenti, tapi tidak mampu karena semua diluar
kontrolnya. Hingga akhirnya anak terduduk dan tertidur kelelahan.
Etiologi dan Patofisiologi
Menurut Sari ID (2009), autis merupakan penyakit yang bersifat
multifaktor. Teori pengenai penyebab dari autis diantaranya adalah sebagai
berikut.
1.

Faktor genetika
Faktor genetik diperkirakan menjadi penyebab utama dari kelainan

autisme, walaupun bukti kongkrit masih sulit ditemukan. Hal tersebut diduga
karena adanya kelainan kromosom pada anak autisme, namun kelainan itu tidak
selalu berada pada kromosom yang sama. Penelitian masih terus dilakukan
sampai saat ini.

Jumlah anak berjenis kelamin laki-laki yang menderita autis lebih


banyak dibandingkan perempuan, hal ini diduga karena adanya gen atau
beberapa gen pada kromosom X yang terlibat dengan autis. Perempuan memiliki
dua kromosom X, sementara laki-laki hanya memiliki satu kromosom X.
Kegagalan fungsi pada gen yang terdapat di salah satu kromosom X pada anak
perempuan dapat digantikan oleh gen pada kromosom lainnya. Sementara pada
anak laki-laki tidak terdapat cadangan ketika kromosom X mengalami
keabnormalan. Sejumlah penelitian menyimpulkan bahwa gen pada kromosom X
bukanlah penyebab utama autis, namun suatu gen pada kromosom X yang
mempengaruhi interaksi sosial dapat mempunyai andil pada perilaku yang
berkaitan dengan autis (Wargasetia 2003).
2.

Kelainan anatomis otak


Kelainan anatomis otak ditemukan khususnya di lobus parietalis,

serebelum serta pada sistem limbiknya. Sebanyak 43% penyandang autisme


mempunyai kelainan di lobus parietalis otaknya, yang menyebabkan anak
tampak acuh terhadap lingkungannya. Kelainan juga ditemukan pada otak kecil
(serebelum), terutama pada lobus ke VI dan VII. Otak kecil bertanggung jawab
atas proses sensoris, daya ingat, berfikir, belajar berbahasa dan proses atensi
(perhatian). Jumlah sel Purkinye di otak kecil juga ditemukan sangat sedikit,
sehingga terjadi gangguan keseimbangan serotonin dan dopamin, menyebabkan
gangguan atau kekacauan lalu lintas impuls di otak. Kelainan khas juga
ditemukan di daerah sistem limbik yang disebut hipokampus dan amigdala.
Kelainan tersebut menyebabkan terjadinya gangguan fungsi kontrol terhadap
agresi dan emosi. Anak kurang dapat mengendalikan emosinya, sering terlalu
agresif atau sangat pasif. Amigdala juga bertanggung jawab terhadap berbagai
rangsang sensoris seperti pendengaran, penglihatan, penciuman, perabaan,
rasa dan rasa takut. Hipokampus bertanggung jawab terhadap fungsi belajar dan
daya ingat. Gangguan hipokampus menyebabkan kesulitan penyimpanan
informasi baru, perilaku diulang-ulang yang aneh dan hiperaktif.
3.

Disfungsi metabolik
Disfungsi

metabolik

terutama

berhubungan

dengan

kemampuan

memecah komponen asam amino phenolik. Amino phenolik banyak ditemukan di


berbagai

makanan

dan

dilaporkan

bahwa

komponen

utamanya

dapat

menyebabkan terjadinya gangguan tingkah laku pada pasien autis. Sebuah


publikasi dari Lembaga Psikiatri Biologi menemukan bahwa anak autis

mempunyai kapasitas rendah untuk menggunakan berbagai komponen sulfat


sehingga anak-anak tersebut tidak mampu memetabolisme komponen amino
phenolik. Komponen amino phenolik merupakan bahan baku pembentukan
neurotransmiter, jika komponen tersebut tidak dimetabolisme baik akan terjadi
akumulasi katekolamin yang toksik bagi saraf. Makanan yang mengandung
amino phenolik itu adalah : terigu (gandum), jagung, gula, coklat, pisang, dan
apel.
4.

Infeksi Kandidiasis
Strain Candida ditemukan di saluran pencernaan dalam jumlah sangat

banyak saat menggunakan antibiotik yang nantinya akan menyebabkan


terganggunya flora normal anak. Infeksi Candida albicans berat bisa dijumpai
pada anak yang banyak mengonsumsi makanan yang banyak mengandung
yeast dan karbohidrat, karena dengan adanya makanan tersebut Candida dapat
tumbuh subur. Makanan jenis ini dilaporkan menyebabkan anak menjadi autis.
Penelitian sebelumnya menemukan adanya hubungan antara beratnya infeksi
Candida albicans dengan gejala-gejala menyerupai autis, seperti gangguan
berbahasa, gangguan tingkah laku dan penurunan kontak mata. Tetapi Dr
Bernard Rimland, seorang peneliti terkemuka di bidang autis, mengatakan bahwa
sampai sekarang hubungan antara keduanya kemungkinannya masih sangat
kecil.
5.

Teori kelebihan opioid dan hubungan antara diet protein kasein dan
gluten.
Pencernaan anak autis terhadap kasein dan gluten tidak sempurna.

Kedua protein ini hanya terpecah sampai polipeptida. Polipeptida dari kedua
protein tersebut terserap ke dalam aliran darah dan menimbulkan efek morfin di
otak anak. Pori-pori yang tidak lazim kebanyakan ditemukan di membran saluran
cerna pasien autis, yang menyebabakan masuknya peptida ke dalam darah.
Hasil metabolisme gluten adalah protein gliadin. Gliadin akan berikatan dengan
reseptor opioid C dan D. Reseptor tersebut berhubungan dengan mood dan
tingkah laku. Diet sangat ketat bebas gluten dan kasein menurunkan kadar
peptida opioid serta dapat mempengaruhi gejala autis pada beberapa anak.
Sehingga, implementasi diet merupakan terobosan yang baik untuk memperoleh
kesembuhan pasien.
Teori lain yang masih kontroversial mengenai vaksinasi MMR yang
diberikan pada usia 15 bulan, juga teori penggunaan antibiotik, stres, merkuri

dan berbagai toksin yang ada di lingkungan. Akan tetapi, semua faktor tersebut
mungkin hanya merupakan pemicu, yang bisa terjadi pada anak yang sudah
mempunyai riwayat genetik. Teori yang berhubungan dengan diet sampai
sekarang masih ramai dibicarakan diantara berbagai teori tersebut.
Mekanisme Terjadinya Autis
1) Mekanisme Racun Logam Berat
Logam berat dapat berpengaruh buruk pada sistem saluran cerna,
sistem imun tubuh, sistem saraf, dan sistem endokrin. Logam berat mengubah
fungsi seluler dan sejumlah proses metabolisme dalam tubuh, termasuk yang
berhubungan dengan sistem saraf pusat dan sekitamya. Sebagian besar
kerusakan

yang

disebabkan

oleh

logam

berat

disebabkan

oleh

perkembangbiakan radikal bebas oksidan. Radikal bebas adalah molekul


yang secara energi keberadaannya tidak seimbang, yaitu terdiri dari elektron
yang tidak berpasangan yang mengambil elektron dari molekul lainnya.
Radikal bebas umumnya muncul bila molekul sel-sel bereaksi dengan
oksigen. Produksi radikal bebas yang berlebihan dapat terjadi apabila
seseorang

terpapar logam berat

atau

anak-anak memiliki defisiensi

antioksidan secara genetis. Radikal bebas akan dapat merusak jaringan di


seluruh tubuh, termasuk otak. Antioksidan seperti vitamin A, C, dan E
melindungi tubuh terhadap radikal bebas dan pada tingkat tertentu
memperbaiki kerusakan akibat radikal bebas (McCandless 2003).
2) Imun Tubuh dan Saluran Cerna Berinteraksi
Otak adalah bagian tubuh yang membutuhkan zat gizi penting.
Kebutuhan tersebut sangat bergantung pada interaksi kompleks antarasistem
imun, kelenjar endoktrin, dan saluran pencemaan. Imun tubuh adalah
pemimpin pertahanan tubuh menghadapi bakteri patogen, jamur, dan virus.
Sistem imun juga dapat membedakan antarmolekul asing (Foreign)
dan molekul tubuh sendiri (self) dan menggerakkan sel-sel dan antibodi untuk
menghadapi molekul asing. Sistem imun seharusnya bereaksi apabila ada
masalah, tetapi anak autis mempunyai sistem imun yang malfungsi. Seringkali
perubahan fungsi ini menyebabakan tubuh salah mengidentifikasi sel-sel
sendiri dan molekul asing. Malfungsi ini menyebabkan terjadinya peradangan
saluran cerna (McCandless 2003). Saluran cerna merupakan penghalang
penting antara patogen yang datang dari luar dan organ-organ dalam, dimana

sejumlah mekanisme imun terdapat pada ephitalium. Lapisan usus ini


bertugas memblokir patogen luar agar tidak melakukan perusakan.
3) Pertumbuhan Jamur yang Berlebih dapat Melukai Sistem Saluran Cerna
Pemberian antibiotik yang berlebihan mengakibatkan banyak bakteri
yang resisten terhadap antibiotik. Antibiotik bukan hanya membunuh patogen,
tetapi sekaligus membunuh bakteri-bakteri pelindung (probiotik) usus. Diare
kronis atau sembelit pada anak dapat menunjukkan gejala pertumbuhan jamur
yang berlebihan pada banyak individu. Pertumbuhan bakteri dan jamur yang
berlebihan dapat melukai sistem saluran cerna dan merupakan salah satu
penyebab spektrum autis (McCandless 2003).
4) Peningkatan Permeabilitas Mukosa Usus dan Malabsorpsi
Jamur memproduksi hasil sampingan yang beracun yang dapat
menyebabkan berbagai jenis penyakit pencernaan, terasuk sindrom iritasi
usus besar (irritable bowel syndrome), sembelit yang kronis atau diare (Walsh
2003 dalam Yuliana & Emilia E 2006). Salah satu racun hasil sampingan ini
adalah enzim yang membiarkan jamur tersebut menggali lubang di dinding
usus yang dapat mengakibatkan terjadinya keadaan leaky gut. Racun-racun
yang diproduksi oleh jamur ini benar-benar mengebor lubang-lubang pada
dinding usus dan meresap ke dalam aliran darah anak. Substansi racun ini
dapat melukai atau merusak sawar darah otak yang menyebabkan rusaknya
kesadaran, kemampuan kognitif, kemampuan bicara atau tingkah laku. Sawar
darah otak merupakan suatu dinding yang impermeabel. Sawar darah
berfungsi melindungi otak dari berbagai gangguan yang dapat menyebabkan
disfungsi otak.
Penyerapan protein yang tidak cukup atau tidak sesuai oleh usus
dapat menyebabkan kelainan sistem pencernaan. Sistem pencernaan yang
sehat akan mampu mencerna makanan yang kompleks dan memecahnya ke
dalam bentuk yang dapat diserap oleh sel-sel tubuh yang kemudian diubah
menjadi energi melalui metabolisme tubuh (McCandless 2003). Sewaktu
dicerna, banyak protein yang dipecah menjadi asam amino tunggal, yang
lainnya dibawa sebagai rantai yang sedikit lebih besar. Pada anak autis,
protein dan peptida yang tidak dapat dicema berasal dari casein dan gluten.
Peptida yang tidak bisa diterima tubuh dapat memasuki aliran darah dan
apabila terbawa ke otak akan memiliki efek seperti opioid (Shattock 2002
dalam Yuliana & Emilia E. 2004).

Lubang-lubang yang berukuran abnormal di antara dinding-dinding


lapisan sel usus akan membiarkan opioid dan zat-zat beracun lainnya
merembes memasuki aliran darah (Shattock 2002 dalam Yuliana & Emilia E.
2004). Racun-racun ini tidak seharusnya berada di tempat tersebut, maka
sistem imun mengenali substansi-substansi ini sebagai benda asing dan
membuat antibodi menentang mereka. Beberapa patogen usus yang masuk
dalam aliran darah, biasanya akan dihancurkan oleh munculnya reaksi imun.
Akan tetapi pecahan dinding sel patogen yang telah dihancurkan ini dapat
menyebabkan peradangan dan sampai tingkat tertentu dapat tersangkut di
lokasi-lokasi seluruh tubuh termasuk hati dan otak itu sendiri. Substansi racun
tersebut

dapat

merusak bahkan

melampaui kemampuan

hati untuk

membersihkan racun tersebut apabila terdapat dalam jumlah yang cukup


banyak. Penumpukan patogen tersebut dapat menimbulkan kehilangan
memori dan kebingungan.
Faktor Resiko Kejadian Autis
Penyebab autis secara pasti sampai saat ini belum diketahui. Para ahli
hanya meyakini disebabkan oleh multifaktor yang saling berkaitan satu sama
lain, seperti: faktor genetik, abnormalitas sistem pencernaan (gastro-intestinal),
polusi lingkungan, disfungsi imunologi, gangguan metabolisme (inborn error),
gangguan pada masa kehamilan/persalinan, abnormalitas susunan syaraf
pusat/struktur otak, dan abnormalitas biokimiawi. Adapun faktor-faktor resiko
yang diduga menjadi penyebab dari autis tersebut adalah sebagai berikut :
1. Tokoplasmosis
Tokoplasmosis yaitu suatu penyakit yang disebabkan oleh
protozoa tokoplasma gondii. Manusia dapat terinfeksi parasit ini melalui
makanan yang mengandung parasit. Ibu hamil yang mengalami
keguguran
Toplasmosis

berulang
ibu

dapat

dapat

dipastikan

menyebabkan

penyebabnya
abortus,

tokoplasma.

kematian

janin,

pertumbuhan janin terhambat, partus prematus dan kematian neonatal.


Bayi yang terkena biasanya berat badan lahirnya rendah, memperlihatkan
gejala

penyakit

neurologi

dengan

konvulasi,

hidrocefalus

atau

mikrocefalus dan kalsifikasi pada parenkim otak. Kalsifikasi pada


parenkim otak dapat menyebabkan pertumbuhan sel-sel otak dan
pembentukan cabang sel otak terhambat sehingga komunikasi antar sel

terganggu, sehingga di kemudian hari anak akan mengalami hambatan


dalam perkembangan otak.
2. Pendarahan antenatal
Pendarahan antenatal adalah kondisi dimana ibu hamil mengalami
perdarahan

yang

dapat

disebabkan

karena

gangguan

plasenta.

Gangguan pada plasenta akan menyebabkan terganggunya suplai


oksigen dan glukosa pada janin. Suplai yang tidak mencukupi akan
membuat perkembangan otak janin terganggu.
3. Hiperemesis gravidarum
Hiperemesis gravidarum adalah mual dan muntah yang sering
pada kehamilan trimester I yang menyebabkan keadaan umum menjadi
buruk.

Hiperemesis

gravidarum

dapat

menyebabkan

cadangan

karbohidrat dan lemak habis terpakai untuk keperluan energi, kekurangan


cairan

yang

diminum

dan

kekurangan

cairan

karena

muntah

menyebabkan dehidrasi, sehingga cairan ekstraselular dan plasma serta


natrium dan klorida dalam darah turun. Dehidrasi menyebabkan
hemokonsentrasi sehingga aliran darah ke jaringan berkurang demikian
pula aliran darah ke janin berkurang sehingga suplai oksigen dan glukosa
untuk otak janin berkurang.
4. Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR)
BBLR adalah suatu kejadian dimana berat badan bayi saat lahir
kurang dari 2500 gram. BBLR dapat disebabkan karena gizi yang kurang
saat dalam kandungan. Bayi BBLR dapat mengalami gangguan
metabolisme yaitu hipoglikemia dan hipoksia, keadaan ini dapat
menyebabkan terjadinya metabolisme anaerob sehingga otak mengalami
kerusakan pada periode perinatal.
5. Trauma lahir
Trauma lahir adalah trauma akibat pertolongan pada persalinan
misalnya trauma karena tindakan forsep dan vakum. Trauma lahir dapat
menyebabkan

perdarahan

intraserebral,

perdarahan

subarahnoid,

subdural hematon yang mengakibatkan gangguan otak baik secara


langsung maupun tidak langsung sehingga terjadi gangguan aliran darah.
6. Asfiksia
Asfiksia adalah keadaan bayi tidak dapat bernafas secara spontan
dan teratur setelah lahir. Asfiksi dapat terjadi selama kehamilan akibat

kondisi atau kehamilan yang diderita ibu seperti gizi yang buruk, penyakit
menahun seperti anemia, hipertensi, penyakit jantung. Asfiksi dapat
terjadi juga secara mendadak karena hal-hal yang diderita ibu selama
persalinan. Faktor-faktor yang timbul dalam persalinan bersifat lebih
mendadak dan hampir selalu mengakibatkan anoksia dan hipoksia janin
dan berkahir dengan asfiksia bayi.
7.

Kejang demam
Kejang demam adalah keadaan dimana bayi mengalami kejang
yang didahului oleh panas badan karena suatu penyakit infeksi yang
diderita bayi. Kejang demam menyebabkan peningkatan metabolisme
dalam tubuh, apabila berlangsung lama dapat menyebabkan kekurangan
glukosa, oksigen, dan berkurangnya aliran darah otak sehingga terjadi
gangguan sel. Apabila berlangsung lama dapat terjadi kerusakan neuron.

8. Mump, Measles, dan Rubella (MMR)


Vaksinasi MMR merupakan vaksin kombinasi yang terdiri dari
vaksin hidup yang dilemahkan, yaitu vaksin campak, rubella, dan
gondongan. Bahan pengawet vaksin menggunakan thimerasol, suatu
senyawa merkuri organik yang telah lama digunakan sebagai pengawet
dan stabilizer dalam vaksin. Efek kumulatif yang terjadi pada pemberian
berbagai macam vaksin yang mengandung thimerasol dalam waktu
singkat seperti pada program vaksinasi akan meningkatkan sensitivitas
yang tinggi pada beberapa anak terhadap merkuri. Akibat yang
ditimbulkan karena keracunan merkuri adalah demielinisasi dendrit otak.
Berdasarkan hasil penelitian Muhartomo H (2004) dengan melakukan
study case control diperoleh hasil bahwa perdarahan antenatal dan asfiksia
lahir terbukti sebagai faktor resiko autis.
Jenis-jenis Terapi
Terdapat beberapa terapi yang digunakan untuk penanganan anak autis
selain terapi biomedis yang bertujuan untuk memperbaiki metabolisme tubuh
melalui diet dan pemberian suplemen. Terapi-terapi tersebut diantaranya yaitu:
a. Terapi Wicara
Terapi untuk membantu anak autis melancarkan otot-otot mulut
sehingga membantu anak autis berbicara lebih baik (Suryana 2004).

b. Terapi Perilaku
Metode untuk membentuk perilaku positif pada anak autis, terapi
ini lebih dikenal dengan nama ABA (Applied Behavior Analysis) atau
metode Lovass (Handojo 2003).
c. Terapi Okupasi
Terapi untuk melatih motorik halus anak autis. Terapi okupasi
untuk membantu menguatkan, memperbaiki, koordinasi dan keterampilan
ototnya (Suryana 2004).
d. Terapi Bermain
Proses terapi psikologik pada anak, dimana alat permainan
menjadi sarana utama untuk mencapai tujuan (Sutadi 2003).
e. Terapi Sensory Integration
Pengorganisasian informasi melalui sensori-sensori (sentuhan,
gerakan, keseimbangan, penciuman, pengecapan, penglihatan dan
pendengaran) yang sangat berguna untuk menghasilkan respon yang
bermakna (Sutadi 2003).
f. Terapi Auditory Integration
Terapi untuk anak autis agar pendengarannya lebih sempurna
(Suryana 2004).
g. Terapi Pijat
Terapi pijat anak autis efektif memperlancar peredaran darah yang
berfungsi mendistribusikan oksigen, nutrisi, dan mengangkut racun tubuh
sehingga tidak mengendap dan menimbulkan penyakit. Fokus pemijatan
untuk anak autis terletak di beberapa titik di bagian kepala, seperti seperti
puncak kepala, tengkuk dibagian leher, pangkal tulang kepala dan area
sclap atau area puncak ke samping kepala bersambung kearah telinga.
Orangtua yang cukup aktif melakukan pemijatan dalam waktu satu
bulan memperlihatkan perkembangan anak yang cukup signifikan.
Terlebih lagi jika terapi pijat diberikan lebih dini kepada anak karena titik
meridian akupunkturnya masih mudah dibentuk sehingga aliran darah
tetap stabil. Level pemberian terapi pijat, disesuaikan dengan kondisi
anak. Satu seri akupuntur yaitu 10-12 kali dalam 1 minggu, tergantung
tingkat keparahan. Level autis terparah membutuhkan terapi sampai 3
seri (Hoedijono S 2011).

Karakteristik Sosial Ekonomi Keluarga


Besar Keluarga
Data besar keluarga berdasarkan BKKBN 1998 dikategorikan menjadi
tiga kelompok yaitu keluarga kecil yang terdiri dari empat orang, keluarga
sedang dengan jumlah anggota keluarga sebanyak lima sampai enam orang,
dan keluarga besar dengan jumlah anggota keluarga sebanyak tujuh orang.
Besar keluarga didefinisikan sebagai keseluruhan jumlah anggota keluarga yang
terdiri dari suami, istri, anak, dan anggota keluarga lainnya yang tinggal bersama.
Kejadian kurang energi protein berat sedikit dijumpai pada keluarga
yang memiliki anggota lebih kecil. Hal ini terjadi karena, jika besar keluarga
bertambah maka pangan untuk setiap anak berkurang dan banyak orang tua
tidak menyadari bahwa anak-anak yang sedang tumbuh memerlukan pangan
relatif lebih tinggi daripada golongan yang lebih tua (Suhardjo 2003).
Pendidikan
Tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap perubahan sikap dan
perilaku hidup sehat. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan
seseorang

atau

masyarakat

untuk

menyerap

informasi

dan

mengimplementasikannya dalam perilaku dan gaya hidup sehari-hari, khususnya


dalam hal kesehatan dan gizi (Fallah 2004 dalam WKNPG 2004).
Tingkat pendidikan orang tua mempunyai korelasi positif dengan cara
mendidik dan mengasuh anak. Tingkat pendidikan baik langsung maupun tidak
langsung akan mempengaruhi pola komunikasi antar anggota keluarga.
Pendidikan akan sangat mempengaruhi cara, pola, kerangka berpikir, persepsi,
pemahaman

dan

kepribadian

yang

nantinya

merupakan

bekal

dalam

berkomunikasi (Gunarsa & Gunarsa 1995).


Pendapatan
Keluarga yang berpenghasilan cukup atau tinggi lebih mudah dalam
menentukan pemilihan bahan pangan sesuai dengan syarat mutu yang baik.
Tingkat pendapatan merupakan faktor yang menentukan kualitas dan kuantitas
makanan yang dikonsumsi. Pendapatan yang tinggi akan meningkatkan daya
beli sehingga keluarga mampu membeli pangan dalam jumlah yang diperlukan
dan akhirnya berdampak positif terhadap status gizi.
Penurunan pendapatan terkait erat dengan penurunan tingkat ketahahan
pangan dan terjadinya masalah gizi kurang. Keterkaitan ketahanan pangan dan
ketidaktahanan pangan dapat dijelaskan dengan hukum Engel

dimana saat

terjadi

peningkatan

pendapatan,

konsumen

akan

membelanjakan

pendapatannya untuk pangan dengan alokasi semakin kecil. Sebaliknya bila


pendapatan menurun, alokasi yang dibelanjakan untuk pangan semakin
meningkat (Soekirman 2000).
Pengetahuan Gizi dan Akses Ibu terhadap Informasi Gizi dan Kesehatan
Pengetahuan umumnya datang dari pengalaman. Pengetahuan juga
dapat diperoleh dari informasi yang disampaikan oleh guru, orang tua, teman,
buku, dan surat kabar (Tjitarsa IB 1992). Pengetahuan didefinisikan secara
sederhana sebagai informasi yang disimpan dalam ingatan. Pengetahuan gizi
adalah pemahaman seseorang tentang ilmu gizi, zat gizi, serta interaksi antara
zat gizi terhadap status gizi dan kesehatan. Pengetahuan gizi yang baik dapat
menghindarkan seseorang dari konsumsi pangan yang salah dan buruk.
Menurut Notoatmodjo (2005), pengetahuan akan membuat seseorang
mengerti sesuatu hal dan mengubah kebiasaannya, sehingga meningkatkan
pengetahuan akan merubah kebiasaan seseorang mengenai sesuatu. Jika
peningkatan itu terjadi pada pengetahuan akan gizi, maka akan terjadi
perubahan kebiasaan terkait dengan gizi sehingga menjadi lebih baik.
Pengetahuan gizi merupakan pengetahuan tentang peranan makanan,
makanan yang aman untuk dimakan sehingga tidak menimbulkan penyakit dan
cara pengolahan makan yang baik agar zat gizi dalam makanan tidak hilang
serta bagaimana cara hidup sehat (Notoatmodjo 2003). Menurut Paterrson dan
Pietinen (2009), tingkat pengetahuan gizi seseorang berpengaruh terhadap sikap
dan perilaku dalam pemilihan makanan yang pada akhirnya akan berpengaruh
pada keadaan gizi yang bersangkutan.
Pengetahuan dapat diperoleh dari pendidikan formal maupun informal.
Pendidikan formal adalah jenis pendidikan yang diselenggarakan oleh sekolah
sesuai dengan kurikulum yang sudah ditetapkan dan terdapat jenjang kronologis
yang ketat untuk tingkatan umur populasi sasarannya. Pendidikan informal
adalah jenis pendidikan yang berlangsung seumur hidup yang mempelajari
seluruh aspek kehidupan (Pranadji 1989). Selain pengetahuan gizi, akses ibu
terhadap informasi dapat menjadi indikator kemampuan ibu untuk merawat anak
secara lebih baik. Berbagai informasi gizi dan kesehatan dapat diperoleh dengan
melihat atau mendengar sendiri, melalui alat-alat komunikasi seperti membaca
surat kabar/majalah, mendengarkan siaran radio, menyaksikan siaran televisi
atau melalui penyuluhan (Engle et al. 1997 dalam Milyawati 2008).

Satu hal yang meyakinkan tentang pentingnya pengetahuan gizi


didasarkan pada tiga kenyataan : (1) status gizi yang cukup adalah penting bagi
kesehatan dan kesejahteraan, (2) setiap orang akan cukup gizi jika makanan
yang dimakannya mampu menyediakan zat gizi yang diperlukan untuk tumbuh
optimal, pemeliharaan tubuh dan memenuhi kebutuhan energi, (3) ilmu gizi
memberikan

fakta-fakta

yang

perlu

sehingga

penduduk

dapat

belajar

menggunakan pangan dengan baik bagi perbaikan gizi (Suhardjo 2003).


Riyadi (1996), menyatakan bahwa beberapa faktor yang mempengaruhi
jumlah dan jenis makanan yang dikonsumsi adalah banyaknya informasi yang
dimiliki oleh seseorang mengenai kebutuhan tubuh akan zat gizi, kemampuan
seseorang untuk menerapkan pengetahuan gizi ke dalam pemilihan bahan
pangan, dan cara pemanfaatan pangan yang sesuai dengan keadaannya. Oleh
karena itu, pengetahuan gizi sangat erat kaitannya dengan baik buruknya
kualitas makanan yang dikonsumsi.
Penyuluhan pengetahuan gizi dapat dilakukan dengan menggunakan
instrumen berbentuk pertanyaan pilihan berganda (multiple choice test).
Instrumen ini merupakan bentuk tes objektif yang paling sering digunakan.
Multiple choice test dapat digunakan untuk mengukur berbagai aspek terkait di
dalam ranah kognitif. Oleh karena itu, bentuk tes ini sangat baik untuk
mengetahui dampak intervensi penyuluhan gizi yang berupa berubahnya
pengetahuan gizi seseorang. Penggunaan multiple choice test dapat dilakukan
untuk mengukur berbagai aspek yang meliputi pemahaman terhadap suatu
istilah, fakta yang spesifik, metode dan prosedur, penerapan suatu prinsip, dan
sebab akibat (Khomsan 2000).
Kategori pengetahuan gizi dapat dibagi pada tiga kelompok yaitu baik,
sedang, dan kurang. Cara pengkategoriaan dilakukan dengan menetapkan cut
off point dari skor yang telah dijadikan persen. Menurut Khomsan (2000), untuk
keseragaman maka digunakan cut off point sebagai berikut :
Tabel 1 Cut off point pengkategorian pengetahuan gizi
Kategori Pengetahuan Gizi
Skor
Baik
>80%
Sedang
60-80%
Kurang
< 60%

Kebiasaan Makan
Model analisis perilaku konsumsi pangan anak-anak yang dikembangkan
oleh Lund dan Burk (1969), mengatakan bahwa suatu konsumsi pangan terjadi
karena ada motivasi (needs, drives, desires) yang ditentukan oleh beragam
proses kognitif mencakup persepsi, memori, berpikir, memutuskan untuk
bertindak. Kebutuhan hidup manusia (termasuk anak-anak) pada dasarnya
mencakup tiga macam yaitu kebutuhan biologis, kebutuhan psikologis, dan
kebutuhan sosial. Selain ketiga macam kebutuhan tersebut, ada faktor lain yang
berkaitan langsung dengan kognitif dan tidak langsung dengan motivasi yaitu
pengetahuan dan kepercayaan anak-anak terhadap makanan dan sikap serta
penilaian anak terhadap makanan (Suhardjo 1989).
Lund dan Burk menyatakan bahwa ada dua faktor lingkungan yang
sangat berpengaruh terhadap pembentukan kebiasaan makan keluarga yaitu
lingkungan keluarga dan lingkungan sekolah. Empat variabel utama yang perlu
diperhatikan dari lingkungan keluarga mencakup pengetahuan dan kepercayaan
terhadap makanan serta sikap keluarga terhadap makanan. Kedua variabel
tersebut dipengaruhi oleh variabel primer sosial ekonomi seperti status ekonomi
keluarga. Sementara faktor utama yang berkaitan dengan lingkungan sekolah
yang dapat dianggap penting dalam menentukan pola kebiasaan makan anakanak adalah pengalaman dan pendidikan di sekolah serta pengetahuan dan
sikap terhadap makanan dari guru yang mengajarkan (Suhardjo 1989) .
Konsumsi Pangan
Konsumsi pangan meliputi informasi mengenai jenis pangan dan jumlah
pangan yang dimakan seseorang atau sekelompok orang (keluarga atau rumah
tangga) pada waktu tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa konsumsi pangan
dapat ditinjau dari aspek jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi. Pola
konsumsi

pangan

merupakan

susunan

jenis

pangan

yang

dikonsumsi

berdasarkan kriteria tertentu (Hardinsyah & Martianto 1992).


Makanan sangat penting untuk kelangsungan kehidupan, setiap
makanan yang dikonsumsi akan memberikan pengaruh pada status gizi dan
kesehatan. Makanan mengandung berbagai zat gizi yang penting yang
dibutuhkan

tubuh

untuk

kecukupan

energinya,

pertumbuhan,

dan

perkembangan, tingkah laku normal, terhindar dari berbagai macam penyakit,


dan untuk perbaikan jaringan tubuh. Konsumsi harian zat gizi yang penting

dipengaruhi oleh variasi makanan yang dikonsumsi dan jumlahnya (Marotz et al.
2004).
Cara

seseorang

atau

sekelompok orang memilih

pangan

dan

memakannya sebagai reaksi terhadap pengaruh-pengaruh fisiologik, psikologik,


budaya, dan sosial dikenal sebagai kebiasaan makan. Kebiasaan makan
kadang-kadang disebut pola makan, kebiasaan pangan, atau pola pangan
(Suhardjo 1989). Ibu merupakan pelaku utama dalam keluarga pada proses
pengambilan keputusan, terutama yang berhubungan dengan konsumsi pangan.
Latar belakang pendidikan, budaya dan status sosial ekonomi berpengaruh
sangat besar terhadap pola makan keluarga, apalagi jika keluarga tersebut
memiliki anak autis (Mashabi NA. & Tajudin NR. 2009).
Anak autis menderita gangguan kesehatan saluran cerna. Anak autis
biasanya hanya menyukai makanan yang sangat terbatas jenis dan nilai gizinya.
Anak yang menyukai sayuran dan makanan bergizi lainnyapun mungkin juga
tidak mendapatkan gizi yang cukup untuk kebutuhan otaknya karena
ketidakmampuan anak untuk mencerna, menyerap, dan atau memfungsikan zat
gizi yang masuk ke dalam tubuhnya dengan baik (McCandless 2003). Siklus
menu pada anak autis perlu diberikan agar anak tidak terlalu cepat atau peka
terhadap makanan tertentu.
Diet untuk Penderita Autis
Kunci kesembuhan anak autisme yang terbaik ada dua, yaitu intervensi
terapi perilaku dengan metode ABA (Applied Behaviour Analysis) dan intervensi
biomedis. ABA dipergunakan pertama kali dalam penanganan autisme oleh
Lovaas, sehingga disebut dengan metode Lovaas. Metode ini melatih anak
berkemampuan bahasa, sosial, akademis, dan kemampuan membantu diri
sendiri. Salah satu penyebab autis adalah gangguan metabolisme, maka
pengaturan konsumsi pangan merupakan hal yang penting untuk dilakukan
sebagai salah satu metode intervensi biomedis. Makanan juga berguna untuk
menghindari timbulnya penyimpangan metabolisme selain untuk proses tumbuh
kembang (Wirakusumah 2003 dalam Latifah 2004).
Anak autis mayoritas menderita gangguan kesehatan saluran cerna.
Penelitian menunjukkan bahwa 60-70% dari keseluruhan sistem imun manusia
terletak di saluran usus dan organ-organ pencernaan. Kenyataan ini membuat
saluran cerna sebagai organ sistem imun terbesar dalam tubuh manusia
(McCandless 2003). Pola makan pada anak terutama anak autis harus

mengandung jumlah zat gizi, terutama karbohidrat, protein dan kalsium yang
tinggi guna memenuhi kebutuhan fisiologik selama masa pertumbuhan dan
perkembangan.
Berdasarkan penelitian oleh Walsh dan Shaw dalam McCandless (2003),
anak autis umumnya kekurangan zinc, vitamin B6, GLA (Asam Gamma Linoleat),
serta metionin karena buruknya kualitas protein yang dikonsumsi. Biasanya
pilihan makanan anak autis sangat terbatas sehingga hampir semua anak
memiliki defisisensi vitamin dan mineral yang sudah berlangsung cukup lama.
Gangguan gizi lain yang sering ditemukan pada anak autis adalah kekurangan
zinc yang sering ditemui pada hampir 90% anak autis serta kekurangan
magnesium. Zinc diperlukan untuk perkembangan mukosa usus yang sehat,
pembentukan myelin, dan pengembangan sistem imun yang sempurna.
Magnesium memegang peranan penting dalam sistem enzim dan bertindak
sebagai katalisator reaksi yang berkaitan dengan metabolisme.
Diet

hipoalergenik

menyebutkan

beberapa

jenis

makanan

dapat

menyebabkan reaksi alergi pada anak autis, seperti gula, susu sapi, gandum,
coklat, telur, kacang, maupun ikan. Konsumsi gluten dan kasein perlu dihindari
kerena penyandang autis pada umumnya tidak tahan terhadap gluten dan kasein
(Wirakusumah 2003 dalam Latifah 2004).
Diet GFCF (Gluten Free Casein Free)
Gluten adalah protein yang bersifat khas yang terdapat pada tepung
terigu, dan dalam jumlah kecil dalam tepung serealia lainnya, gluten terdiri dari
dua komponen protein yaitu gliadin dan glutein. Sedangkan kasein adalah
protein kompleks pada susu yang mempunyai sifat khas yaitu dapat menggumpal
dan membentuk massa yang kompak (Mashabi NA & Tajudin NR. 2009).
McCandless (2003), menyatakan bahwa diet GFCF merupakan langkah
penting yang bisa dilakukan oleh orang tua tanpa terlebih dahulu melakukan tes
di laboratorium. Anak-anak yang melakukan diet ini biasanya memberikan respon
yang lebih baik daripada anak-anak yang belum melakukan diet GFCF.
Penyembuhan saluran cerna pada anak autis dapat dilakukan paling awal,
karena perut tidak akan bisa sehat jika makanan yang tidak tercerna dengan
benar tetap menyebabkan berlangsungnya peradangan saluran cerna.
Menurut Emilia dan Yuliana (2006), proses pola makan bebas gluten
dan kasein dimulai secara perlahan-lahan dengan cara sebagai berikut :

1. Menyingkirkan makanan yang mengganggu satu demi satu sambil

berangsur-angsur memperkenalkan makanan pengganti yang baru.


2. Membuat makanan dengan variasi dalam bahan dan pengolahan serta

menarik dalam penyajian


3. Gluten lebih lama hilang dari sistem pencernaan daripada kasein. Tes

urin menunjukkan bahwa kasein dapat hilang dari tubuh dalam tiga hari,
sedangkan

gluten

membutuhkan

waktu

berbulan-bulan.

Dengan

demikian, hindari konsumsi susu terlebih dahulu dan setelah beberapa


minggu hindari mengkonsusmsi produk susu atau hasil olahan susu.
Setelah itu baru menghindari produk dengan bahan dasar gandum
4. Menghindari produk kedelai kecuali tes hipersensitivitas makanan

menunjukkan bahwa anak tidak alergi terhadap kedelai.


5. Mematuhi pola makan bebas gluten dan kasein dan kedelai ketat, minimal

selam 6 bulan karena pemberian makanann yang mengandung gluten


dan kasein, meskipun dalam jumlah sedikit, dapat menyebabkan
kemunduran pada kesehatan anak.
6. Membiasakan diri untuk membaca label pada kemasan makanan atau

tandai makanan yang mengandung gluten dan kasein.


Saat ini, terdapat banyak tepung GFCF, yang dapat langsung digunakan
sebagai bahan baku makanan atau dibuat biskuit ataupun makanan lainnya yang
biasa dijual di pasaran. Selain itu berbagai produk bebas gluten dan kasein telah
banyak dijual baik berupa produk yang sudah jadi, antara lain berupa roti atau
tepung yang beraneka ragam jenisnya. Hal yang juga penting untuk diperhatikan
pada pemilihan makanan anak autis adalah tidak mengandung zat tambahan
seperti pewarna, pemanis atau pengawet (Sari ID. 2009).
Penilaian Konsumsi Pangan
Penilaian keadaan gizi masyarakat dapat dilakukan dengan dua cara,
yaitu penilaian secara langsung dan tidak langsung. Pengukuran secara tidak
langsung dapat dilakukan dengan mengetahui keadaan konsumsi pangan
seseorang. Metode penilaian konsumsi pangan dapat dilakukan baik pada
tingkat individu, keluarga, ataupun masyarakat. Survei konsumsi tingkat individu
dapat menggunakaan metode berikut, yaitu penimbangan (weighing method),
metode mengingat (recall method), riwayat makan (dietary history), frekuensi
pangan (food frequency), dan metode kombinasi (Kusharto & Saddiyah 2006).

Food Frequency Questinaires (FFQ)


FFQ merupakan kuesioner yang menggambarkan frekuensi contoh
dalam mengonsumsi beberapa jenis makanan dan minuman. Frekuensi
konsumsi makanan dilihat dalam satu hari, minggu, bulan, atau dalam satu
tahun. Kuesioner terdiri dari list jenis makanan dan minuman (Achadi EL 2007).
Jenis FFQ diantaranya adalah sebagai berikut :
a.) Simple or nonquantitative FFQ, tidak memberikan pilihan tentang
porsi yang biasa dikonsumsi sehingga menggunakan standar porsi
b.) semiquantitative FFQ, memberikan porsi yang dikonsumsi, misalnya
sepotong roti, secangkir kopi.
c.) quantitative FFQ, memberikan pilihan porsi yang biasa dikonsumsi
contoh, seperti kecil, sedang, atau besar.
Kelebihan FFQ yaitu :
1.

Dapat diisi sendiri oleh contoh

2.

Machine readable (dapat dibaca oleh mesin)

3.

Relatif murah untuk populasi yang besar

4.

Dapat digunakan untuk melihat hubungan antara diet dengan penyakit

5.

Data usual intake lebih representatif dibandingkan diet record beberapa


hari

Keterbatasan FFQ yaitu :


1.

Kemungkinan tidak menggambarkan usual food atau porsi yang dipilih


oleh contoh

2.

Tergantung pada kemampuan contoh untuk mendeskripsikan dietnya


Penggunaan metode frekuensi pangan bertujuan untuk memperoleh

data pangan secara kualitatif dan informasi deskripsi tentang pola konsumsi.
Metode ini umumnya tidak digunakan untuk data kualitatif pangan ataupun intake
konsumsi zat gizi. Namun, metode frekuensi pangan juga dapat digunakan untuk
menilai konsumsi pangan secara kuantitatif. Hal ini tergantung dari tujuan
penelitian, apakah hanya ingin menggali frekuensi penggunan pangan saja atau
juga dengan konsumsi zat gizinya. Metode ini memungkinkan kita dapat menilai
frekuensi penggunaan pangan atau kelompok pangan tertentu selama kurun
waktu spesifik dan sekaligus mengestimasi konsumsi zat gizinya. Kuesioner yang
digunakan mempunyai dua komponen utama, yaitu daftar pangan dan frekuensi
penggunaan pangan (Supariasa et al. 2001).

Food Record
Food record adalah catatan contoh tentang jenis dan jumlah makanan
atau minuman dalam suatu periode waktu, biasanya antara 1 sampai 7 hari.
Makanan dan minuman yang dikonsumsi dapat dijumlahkan dengan estimasi
menggunakan ukuran rumah tangga (estimated food record) atau menimbang
(weighted food record) (Achadi EL 2007). Kelebihan dari food record yaitu :
1.

Tidak tergantung pada memori

2.

Mendapatkan data asupan yang detail

3.

Mendapatkan data tentang eating habit

4.

Multiple day lebih representatif menggambarkan usual intake, valid


sampai lima hari

Keterbatasan food record yaitu :


1.

Membutuhkan kerjasama yang tinggi dari contoh

2.

Contoh harus dapat membaca dan menulis

3.

Dapat mengubah kebiasaan makan

4.

Analisis intensif dan mahal

5.

Membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mendapatkan data,


harus menimbang dan mencatat

6.

Respon rate dapat menjadi rendah karena memberikan beban


kepada contoh

Formulir yang telah didesain dan alat tulis diberikan dengan sedikit
penjelasan cara pengisian kepada contoh, dan pada waktu yang dijanjikan
peneliti datang mengambil sekaligus untuk konfirmasi dari hasil pencatatan.
Status Gizi
Status
sekelompok

gizi

orang

adalah
yang

keadaan

diakibatkan

kesehatan
oleh

tubuh

konsumsi,

seseorang

atau

penyerapan,

dan

penggunaan zat-zat makanan. Menurut Supariasa et al. (2001), penilaian status


gizi dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu penilaian status gizi secara
langsung dan tidak langsung. Penilaian status gizi secara langsung dibagi
menjadi empat penilaian yaitu antropometri, klinis, biokimia, dan biofisik.
Pengukuran status gizi yang paling sering digunakan yaitu berat badan (BB) dan
tinggi badan (TB) sebagai ukuran antropometri yang banyak diterapkan.
Menurut Riyadi (2001), BB/U dianggap tidak informatif bila tidak ada
informasi tentang TB/U. Data referensi BB/TB memiliki keuntungan karena tidak
memerlukan informasi tentang umur kronologis. Tetapi, hubungan BB/TB

berubah secara dramatis menurut umur selama remaja. Karena berbagai


keterbatasan, IMT/U direkomendasikan sebagai indikator terbaik untuk anak usia
sekolah dan remaja. Indikator ini memerlukan informasi tentang umur dan sudah
divalidasi sebagai indikator lemak tubuh total pada persentil atas. Indikator ini
sejalan dengan indikator-indikator yang direkomendasikan untuk orang dewasa.
Selain itu, data referensi yang bermutu tinggi juga sudah tersedia. Walaupun IMT
belum sepenuhnya divalidasi dengan indikator kekurusan atau gizi kurang pada
anak usia sekolah dan remaja. IMT merupakan indeks massa tubuh tunggal yang
dapat diterapkan untuk mengukur keadaan yang sangat kurang dan kelebihan
gizi (Riyadi 2001).
Keunggulan antropometri adalah prosedur sederhana, aman, dan bisa
untuk sampel yang besar, peralatan murah, mudah dibawa, tahan lama, akurat,
dan dapat mendeteksi atau menggambarkan riwayat gizi di masa lampau dan
juga dapat mengevaluasi perubahan status gizi pada periode tertentu.
Kelemahan antropometri seperti tidak sensitif, faktor di luar gizi dapat
menurunkan spesifikasi dan sensitivitas pengukuran antropometri dan lain-lain
(Supariasa et al. 2001).
Status gizi seseorang tidak selalu sama dari masa ke masa karena
merupakan interaksi dari berbagai faktor. Faktor yang secara langsung
mempengaruhi status gizi adalah konsumsi pangan dan status kesehatan.
Konsumsi pangan, salah satunya dipengaruhi oleh akses terhadap pangan.
Lebih lanjut, akses terhadap pangan ditentukan oleh tingkat pendapatan
seseorang (Riyadi 2001).
Menurut Owen et al. (2000), terdapat lima faktor yang dapat
mempengaruhi status gizi seseorang, yaitu faktor sosioekonomi, perilaku,
aktivitas fisik, pelayanan kesehatan, dan faktor genetik. Menurut kerangka pikir
UNICEF (1998) dalam WKNPG VII (2000), baik buruknya status gizi seseorang
disebabkan oleh beberapa faktor yang kemudian diklasifikasikan menjadi
penyebab langsung, tidak langsung, pokok masalah, dan akar masalah.
Konsumsi pangan serta adanya infeksi penyakit merupakan penyebab langsung
yang dapat mempengaruhi status gizi. Penyebab tidak langsung yang dapat
mempengaruhi status gizi seseorang dibagi menjadi 3 faktor, yaitu ketersediaan
akses pangan, pola asuh, serta pelayanan kesehatan.

Anda mungkin juga menyukai