5.1.
Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi merupakan ukuran yang mencerminkan
10
5
0
-5
-10
19
76
19
78
19
80
19
82
19
84
198
6
19
88
19
90
19
92
19
94
19
96
199
8
20
00
20
02
20
04
19
74
-15
Tahun
Sumber: BPS, BI (1975-2004)
35
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi pada tahun 1980 tidak lain karena pada
periode 1973-1982 merupakan era boom minyak, yaitu harga minyak di pasar
internasional melambung tinggi. Indonesia sebagai salah satu negara pengekspor
minyak saat itu mendapat rejeki nomplok dari hasil ekspornya, sehingga
berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Namun situasi berubah pada
tahun 1983 ketika dunia mengalami resesi ekonomi, terjadi krisis minyak yaitu
harga minyak di pasar internasional merosot. Seiring dengan hal tersebut
penerimaan pemerintah dari minyak pun ikut menurun, sehingga memberikan
dampak yang buruk bagi pertumbuhan ekonomi, dimana pada periode 1983-1986
pertumbuhan ekonomi hanya mencapai 4,88 persen per tahun.
Setelah masa resesi yaitu pada periode 1987-1996 pertumbuhan ekonomi
kembali mengalami peningkatan yaitu dari 3,59 persen pada tahun 1987 menjadi
7,82 persen pada tahun 1996. Peningkatan tersebut terutama didorong oleh
kenaikan yang cukup besar dalam konsumsi dan investasi. Memasuki pertengahan
tahun 1997 Indonesia dihadapkan pada kondisi krisis moneter. Hal ini disebabkan
oleh kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam dunia perbankan nasional. Krisis
tersebut
melemahkan
perekonomian
yang
ditandai
dengan
merosotnya
kembali
mengalami
ekonomi
setelah
masa
krisis
36
2003 mendorong kemajuan pada perekonomian tahun 2004, dimana pada tahun
2004
pertumbuhan
ekonomi
meningkat
hingga
mencapai
5,13
persen.
Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi tersebut juga didukung oleh situasi
keamanan yang terkendali serta diimbangi pula oleh rendahnya laju inflasi.
5.2.
1975 hingga akhir periode tahun 2004 cenderung selalu mengalami peningkatan.
Peningkatan yang sangat tajam terjadi pada tahun 2001 dimana pengeluaran rutin
pemerintah riil mencapai hingga Rp 27.474,87 milyar. Peningkatan tersebut
disebabkan oleh kembali stabilnya laju inflasi hingga mencapai 12,55 persen pada
tahun 2001 setelah melewati angka 77,63 persen pada tahun 1998. Perkembangan
pengeluaran rutin pemerintah riil dapat dilihat pada Gambar 5.2.
Pengeluaran Rutin Pemerintah Riil
35200
Milyar Rp
30200
25200
20200
15200
10200
5200
19
74
19
76
19
78
19
80
19
82
19
84
19
86
19
88
19
90
19
92
19
94
19
96
19
98
20
00
20
02
20
04
200
Tahun
37
Gejolak nilai tukar rupiah terhadap dolar selama tahun 1998/1999 telah
memberikan dampak negatif pada operasional keuangan pemerintah secara
keseluruhan. Memburuknya kinerja perekonomian yang didorong oleh keadaan
politik yang belum stabil menyebabkan peningkatan pengeluaran pemerintah
melebihi peningkatan penerimaannya, sehingga keuangan pemerintah mengalami
defisit. Peningkatan pengeluaran pemerintah tersebut dilihat dalam bentuk
nominal. Akan tetapi secara riil, dengan memperhitungkan tingkat inflasi,
pengeluaran pemerintah mengalami penurunan.
Pada tahun 1998 pengeluaran rutin pemerintah riil turun hingga mencapai
Rp 1.345,50 milyar akibat inflasi yang sangat tinggi yaitu sebesar 77,63 persen.
Memasuki tahun 1999 pengeluaran rutin pemerintah riil mulai meningkat kembali
seiring dengan stabilnya laju inflasi dan upaya pemerintah untuk meningkatkan
kualitas pelayanan pemerintah kepada masyarakat karena pemerintah merasa
prihatin atas dampak krisis moneter yang memperburuk kehidupan sosial ekonomi
masyarakat.
Pada akhir periode penelitian tahun 2004 pengeluaran rutin pemerintah riil
mencapai sebesar Rp 15.222,02 milyar yang sebelumnya sempat turun sebesar Rp
9.542,37 milyar pada tahun 2003. Peningkatan pengeluaran rutin pemerintah
sebagian besar disebabkan oleh meningkatnya pos pembayaran cicilan dan bunga
utang.
38
5.3.
untuk membiayai proyek pembangunan baik fisik maupun non fisik. Selama
periode penelitian tahun 1975-2004 pengeluaran pembangunan pemerintah riil
cenderung
lebih
berfluktuasi.
Perkembangan
pengeluaran
pembangunan
Milyar Rp
5150
4150
3150
2150
1150
19
74
19
76
19
78
19
80
19
82
19
84
19
86
19
88
19
90
19
92
19
94
19
96
19
98
20
00
20
02
20
04
150
Tahun
39
5.4.
Investasi Swasta
Investasi swasta dialokasikan untuk penyediaan barang-barang modal yang
40
politik, sosial, dan keamanan. Situasi ini menyebabkan para investor tidak mau
mengambil resiko menanamkan modalnya, sehingga akumulasi modal yang
tersedia hanya sedikit.
Investasi Swasta Riil
25100.00
Milyar Rp
20100.00
15100.00
10100.00
5100.00
19
74
19
76
19
78
19
80
19
82
19
84
19
86
19
88
19
90
19
92
19
94
19
96
19
98
20
00
20
02
20
04
100.00
Tahun
41
5.5.
Pekerja
Seperti yang terlihat pada Gambar 5.5, perkembangan jumlah pekerja riil
11500
Milyar
9500
7500
5500
3500
19
74
19
76
19
78
19
80
19
82
19
84
19
86
19
88
19
90
19
92
19
94
19
96
19
98
20
00
20
02
20
04
1500
Tahun
42
5.6.
Inflasi
Laju inflasi yang dihitung berdasarkan pergerakan Indeks Harga
Konsumen (IHK) pada awal periode penelitian tahun 1975 tercatat sebesar 19,10
persen. Sampai dengan tahun 1996 laju inflasi Indonesia berada di bawah kisaran
12 persen. Namun pada bulan Juli tahun 1997 Indonesia dilanda krisis ekonomi
yang dipicu oleh jatuhnya mata uang bath Thailand. Jatuhnya mata uang bath
Thailand tersebut menyebabkan pasar modal Indonesia jatuh lebih dari 80 persen
dan nilai tukar rupiah terhadap dolar jatuh hingga 75 persen (Gie, 2004).
Perkembangan inflasi Indonesia dapat dilihat pada Gambar 5.5.
Terdepresiasinya nilai tukar rupiah terhadap dolar mendorong peningkatan
pada harga bahan bakar minyak (BBM) yang kemudian diikuti dengan
meningkatnya harga-harga barang dan jasa lainnya, sehingga inflasi pada tahun
1998 meningkat tajam sebesar 77,63 persen.
43
200
4
200
2
200
0
199
8
199
6
199
4
199
2
199
0
198
8
198
6
198
4
198
2
198
0
197
8
197
6
82
72
62
52
42
32
22
12
2
197
4
Persentase
Laju Inflasi
Tahun
Sumber: BPS, BI (1975-2004)
Bab ini akan menjelaskan tentang hasil dan pembahasan yang telah
diperoleh dalam penelitian. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini
adalah Error Correction Model (ECM). Langkah awal sebelum melakukan
estimasi ECM terlebih dahulu harus dilakukan uji akar unit untuk mengetahui
apakah data yang digunakan stasioner atau tidak. Setelah dilakukan pengujian
akar unit maka dilakukan pengujian kointegrasi Engel-Granger untuk melihat
hubungan jangka panjang diantara variabel-variabel yang tidak stasioner. Setelah
diperoleh persamaan jangka panjang, maka langkah selanjutnya adalah melakukan
estimasi ECM yang digunakan untuk melihat hubungan jangka pendek diantara
variabel-variabel yang stasioner, namun untuk mengetahui ada tidaknya masalahmasalah pelanggaran asumsi klasik yang muncul pada estimasi model jangka
pendek pertumbuhan ekonomi di Indonesia maka dilakukan uji kebaikan model,
yaitu uji autokorelasi, uji heteroskedastisitas, dan uji normalitas.
6.1.
untuk diketahui apakah data time series yang digunakan bersifat stasioner atau
non-stasioner. Untuk persamaan tunggal, uji akar-akar unit dilakukan dengan
menggunakan Augmented Dickey-Fuler (ADF) test. Hasil pengujian akar-akar
unit dapat dilihat pada Tabel 6.1.
45
Tabel 6.1. Uji Akar-akar Unit (Unit Root Test) pada Level
Variabel
Nilai ADF
Nilai Kritis Mackinnon
t-statistik
1%
5%
10 %
Pertumbuhan Ekonomi
-1,92
-2,65
-1,95
-1,61
Pengeluaran Rutin
Pemerintah
0,93
-2,65
-1,95
-1,61
Pengeluaran
Pembangunan
Pemerintah
0,55
-2,65
-1,95
-1,61
Investasi Swasta
0,64
-2,65
-1,95
-1,61
Pekerja
-0,14
-2,65
-1,95
-1,61
Inflasi
-3,46
-2,65
-1,95
-1,61
Ket
Stasioner
Tidak
stasioner
Tidak
stasioner
Tidak
stasioner
Tidak
stasioner
Stasioner
Sumber: Lampiran 2a
Dari Tabel 6.1 dapat dilihat bahwa hanya variabel pertumbuhan ekonomi
dan inflasi yang stasioner pada taraf 10 persen (taraf nyata yang digunakan).
Sedangkan variabel pengeluaran rutin pemerintah, pengeluaran pembangunan
pemerintah, investasi swasta, dan pekerja tidak stasioner baik pada taraf 1 persen,
5 persen maupun 10 persen. Hal ini terlihat dari nilai t-statistik ADF keempat
variabel tersebut yang lebih besar dari nilai kritis Mackinnon.
Oleh karena itu, sebagai konsekuensi dari tidak terpenuhinya asumsi
stasioneritas pada derajat nol atau I(0) maka langkah selanjutnya perlu dilakukan
pengujian derajat integrasi. Pengujian derajat integrasi sangat penting untuk
mengetahui apakah variabel-variabel yang digunakan tidak stasioner dan berapa
kali harus di-difference untuk menghasilkan variabel yang stasioner. Dari hasil
penelitian ini diperoleh bahwa variabel-variabel yang digunakan stasioner pada
first difference. Adapun hasil pengujian derajat integrasi dapat dilihat pada Tabel
6.2.
46
Tabel 6.2. Uji Akar-akar Unit (Unit Root Test) Pada First Difference
Variabel
Nilai ADF
Nilai Kritis Mackinnon
Ket
t-statistik
1%
5%
10 %
Pertumbuhan Ekonomi
-6,60
-3,69
-2,97
-2,62 Stasioner
Pengeluaran Rutin
Stasioner
Pemerintah
-6,22
-3,70
-2,98
-2,63
Pengeluaran
Stasioner
Pembangunan
Pemerintah
-5,95
-3,69
-2,97
-2,62
Investasi Swasta
-6,91
-3,70
-2,98
-2,63 Stasioner
Pekerja
-7,44
-3,70
-2,98
-2,63 Stasioner
Inflasi
-6,49
-3,70
-2,98
-2,63 Stasioner
Sumber: Lampiran 2b
Pada Tabel 6.2 dapat dilihat bahwa semua variabel, baik variabel
independen maupun dependen, stasioner pada derajat satu I(1) atau first
difference. Hal ini berarti bahwa hipotesis nol ditolak yang artinya semua variabel
stasioner pada taraf 10 persen, ditunjukkan oleh nilai t-statistik ADF yang lebih
kecil dari nilai kritis MacKinnon.
6.2.
Uji Kointegrasi
Tujuan dilakukannya uji kointegrasi yaitu untuk mengetahui ada tidaknya
hubungan jangka panjang diantara variabel-variabel yang diamati. Variabelvariabel tersebut dikatakan saling terkontegrasi jika ada kombinasi linear diantara
variabel-variabel yang tidak stasioner dan residual dari kombinasi tersebut harus
stasioner. Uji kointegrasi Engel-Granger digunakan untuk mengestimasi
hubungan jangka panjang antara pertumbuhan ekonomi, pengeluaran rutin
pemerintah, pengeluaran pembangunan pemerintah, investasi swasta, pekerja, dan
inflasi. Hasil uji kointegrasi dapat dilihat pada Tabel 6.3.
47
Tabel 6.3. Hasil Uji Akar Unit terhadap Residual Persamaan Regresi
Variabel
Nilai ADF
Nilai Kritis Mackinnon
Ket
t-statistik
1%
5%
10 %
U
-5,20
-2,65
-1,95
-1,61 Stasioner
Sumber: Lampiran 3a
Berdasarkan Tabel 6.3 dapat dilihat bahwa residual dari persamaan yang
digunakan berhasil menolak hipotesis nol atau dengan kata lain uji akar unit pada
residual U bersifat stasioner pada level atau I(0), sehingga dapat dikatakan bahwa
variabel-variabel yang digunakan cenderung menuju pada keseimbangan jangka
panjang walaupun pada tingkat level terdapat variabel yang tidak stasioner. Hal
ini terlihat dari nilai t-statistik ADF yang lebih kecil dari nilai kritis Mackinnon
10 persen. Selain itu, koefisien residual U sebesar 0,91 semakin menguatkan
bahwa diantara variabel-variabel yang digunakan terdapat kointegrasi (Lampiran
3a). Oleh karena terdapat kointegrasi diantara variabel-variabel dalam penelitian,
maka model jangka panjang pertumbuhan ekonomi yang diperoleh dapat dilihat
pada Tabel 6.4.
Tabel 6.4. Model Jangka Panjang
Variabel
Koefisien
C
-22,12
Pengeluaran Rutin
- 2,05
Pengeluaran Pembangunan
1,32
Investasi Swasta
0,29
Pekerja
3,93
Inflasi
- 0,23
R-squared
= 0,86
Prob(F-statistic)
= 0,00
Probabilitas
0,00
0,02
0,24
0,49
0,00
0,00
Sumber: Lampiran 3b
Ket
: dalam logaritma
48
pengeluaran
rutin
pemerintah
yang
bernilai
negatif
49
signifikan
terhadap
pertumbuhan
ekonomi
karena
adanya
pertumbuhan
ekonomi
sebesar
1,32
persen.
Pengeluaran
50
permintaan agregat akan bahan bangunan dan jasa yang berhubungan dengan
konstruksi. Permintaan agregat akan direspon dunia usaha dengan meningkatkan
produksi barang dan jasa. Kemudian peningkatan produksi barang dan jasa
tersebut akan meningkatkan output nasional yang selanjutnya akan mendorong
pertumbuhan ekonomi.
Hubungan yang positif antara investasi swasta dan pertumbuhan ekonomi
sebesar 0,29 mengindikasikan bahwa jika investasi swasta meningkat sebesar 1
persen
sebesar 0,29 persen. Namun dalam estimasi jangka panjang investasi swasta tidak
berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Kondisi perekonomian
Indonesia pada periode penelitian mengalami keterpurukan yaitu karena adanya
krisis ekonomi yang kemudian mendorong ketidakstabilan politik dan keamanan.
Semenjak itu iklim investasi menjadi tidak kondusif sehingga para investor
terutama investor asing lebih berhati-hati dalam menanamkan modalnya di
Indonesia. Hal ini mengakibatkan investasi yang seharusnya bisa lebih besar
terakumulasi menjadi berkurang.
Hubungan yang positif antara investasi swasta dan pertumbuhan ekonomi
menunjukkan bahwa adanya peningkatan investasi swasta berarti tersedia
akumulasi modal dalam jumlah yang lebih besar sehingga tersedia dana untuk
meningkatkan
mempengaruhi
pembangunan.
kapasitas
Selain
produksi
itu
yang
investasi
akan
tersebut
mendorong
juga
dapat
peningkatan
51
52
6.3.
Uji Autokorelasi
Berdasarkan hasil uji autokorelasi dengan menggunakan Breusch-Godfrey
Serial Correlation LM Test diketahui bahwa model jangka pendek yang diestimasi
terbebas dari masalah autokorelasi. Hal ini ditunjukkan oleh nilai probabilitas
Obs*R-squared sebesar 1,00 yang lebih besar dari taraf nyata 10 persen
(Lampiran 4a).
2.
Uji Heteroskedastisitas
Berdasarkan hasil uji heteroskedastisitas baik dengan menggunakan
Uji Normalitas
Uji normalitas dilakukan untuk memeriksa apakah error term mendekati
distribusi normal. Berdasarkan hasil uji normalitas diketahui bahwa error term
53
terdistribusi normal. Hal ini ditunjukkan oleh nilai probabilitas sebesar 0,98 yang
lebih besar dari taraf nyata 10 persen (Lampiran 4c).
6.3.2. Model Koreksi Kesalahan (ECM)
Model koreksi kesalahan atau ECM digunakan untuk melihat perilaku
jangka pendek dari persamaan regresi dengan mengestimasi dinamika error
correction term (U). Setelah diketahui bahwa model ECM terbebas dari masalah
pelanggaran asumsi OLS, maka model ECM dari penelitian ini dapat dilihat pada
Tabel 6.5.
Tabel 6.5. Model Jangka Pendek
Variabel
Pertumbuhan Ekonomi (-1)
Pertumbuhan Ekonomi (-2)
Pengeluaran Rutin
Pengeluaran Rutin (-2)
Pengeluaran Pembangunan
Pengeluaran Pembangunan (-1)
Investasi Swasta
Pekerja
Pekerja (-2)
Inflasi
Inflasi (-2)
U(-1)
R-squared
= 0,97
Durbin-Watson stat = 1,72
Koefisien
0,30
-0,27
3,55
-6,75
2,97
1,23
1,43
-6,97
8,17
-0,15
-0,10
-0,58
Probabilitas
0,01
0,08
0,08
0,00
0,09
0,03
0,00
0,01
0,00
0,00
0,01
0,01
Sumber : Lampiran 5
Ket
: dalam first difference
Hasil estimasi ECM menunjukkan nilai R-squared sebesar 0,97. Hal ini
berarti model pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek dapat dijelaskan oleh
variabel pengeluaran rutin pemerintah, pengeluaran pembangunan pemerintah,
investasi swasta, pekerja, dan inflasi sebesar 97 persen, sedangkan sisanya sebesar
3 persen dijelaskan oleh variabel lain di luar model.
54
55
kerja
(Lailatussholiha,
2005).
Kemudian
selanjutnya
akan
56
mengakibatkan
masyarakat
mengurangi
konsumsinya
sehingga
secara keseluruhan
berpengaruh positif
terhadap