Anda di halaman 1dari 23

V.

PERKEMBANGAN PERTUMBUHAN EKONOMI, PENGELUARAN


PEMERINTAH, INVESTASI SWASTA, PEKERJA, DAN INLASI

5.1.

Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi merupakan ukuran yang mencerminkan

keberhasilan suatu negara. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tersebut dicirikan


dengan meningkatnya output disertai dengan tingkat pertumbuhan yang cepat.
Selama periode 1975-2004 pertumbuhan ekonomi tertinggi dicapai pada tahun
1980 yaitu sebesar 9,88 persen. Kemudian pertumbuhan ekonomi terendah terjadi
pada tahun 1998 yaitu mencapai 13,13 persen, hal ini dikarenakan adanya krisis
moneter pada bulan Juli 1997 yang mempengaruhi kondisi perekonomian
Indonesia. Perkembangan pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat dilihat pada
Gambar 5.1.
Pertumbuhan Ekonomi
15
Persentase

10
5
0
-5
-10
19
76
19
78
19
80
19
82
19
84
198
6
19
88
19
90
19
92
19
94
19
96
199
8
20
00
20
02
20
04

19
74

-15

Tahun
Sumber: BPS, BI (1975-2004)

Gambar 5.1. Pertumbuhan Ekonomi

35

Pertumbuhan ekonomi yang tinggi pada tahun 1980 tidak lain karena pada
periode 1973-1982 merupakan era boom minyak, yaitu harga minyak di pasar
internasional melambung tinggi. Indonesia sebagai salah satu negara pengekspor
minyak saat itu mendapat rejeki nomplok dari hasil ekspornya, sehingga
berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Namun situasi berubah pada
tahun 1983 ketika dunia mengalami resesi ekonomi, terjadi krisis minyak yaitu
harga minyak di pasar internasional merosot. Seiring dengan hal tersebut
penerimaan pemerintah dari minyak pun ikut menurun, sehingga memberikan
dampak yang buruk bagi pertumbuhan ekonomi, dimana pada periode 1983-1986
pertumbuhan ekonomi hanya mencapai 4,88 persen per tahun.
Setelah masa resesi yaitu pada periode 1987-1996 pertumbuhan ekonomi
kembali mengalami peningkatan yaitu dari 3,59 persen pada tahun 1987 menjadi
7,82 persen pada tahun 1996. Peningkatan tersebut terutama didorong oleh
kenaikan yang cukup besar dalam konsumsi dan investasi. Memasuki pertengahan
tahun 1997 Indonesia dihadapkan pada kondisi krisis moneter. Hal ini disebabkan
oleh kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam dunia perbankan nasional. Krisis
tersebut

melemahkan

perekonomian

yang

ditandai

dengan

merosotnya

kembali

mengalami

pertumbuhan ekonomi hingga mencapai 13,13 persen.


Pertumbuhan

ekonomi

setelah

masa

krisis

peningkatan. Seiring dengan meningkatnya perekonomian global, perekonomian


Indonesia juga menunjukkan perkembangan yang baik. Kinerja ekonomi selama
tahun 2002 tumbuh sebesar 4,38 persen dan pada tahun 2003 kembali meningkat
menjadi 4,88 persen. Kondisi ekonomi yang cukup stabil selama tahun 2002 dan

36

2003 mendorong kemajuan pada perekonomian tahun 2004, dimana pada tahun
2004

pertumbuhan

ekonomi

meningkat

hingga

mencapai

5,13

persen.

Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi tersebut juga didukung oleh situasi
keamanan yang terkendali serta diimbangi pula oleh rendahnya laju inflasi.

5.2.

Pengeluaran Rutin Pemerintah


Pengeluaran rutin pemerintah riil dari periode awal penelitian yaitu tahun

1975 hingga akhir periode tahun 2004 cenderung selalu mengalami peningkatan.
Peningkatan yang sangat tajam terjadi pada tahun 2001 dimana pengeluaran rutin
pemerintah riil mencapai hingga Rp 27.474,87 milyar. Peningkatan tersebut
disebabkan oleh kembali stabilnya laju inflasi hingga mencapai 12,55 persen pada
tahun 2001 setelah melewati angka 77,63 persen pada tahun 1998. Perkembangan
pengeluaran rutin pemerintah riil dapat dilihat pada Gambar 5.2.
Pengeluaran Rutin Pemerintah Riil
35200

Milyar Rp

30200
25200
20200
15200
10200
5200
19
74
19
76
19
78
19
80
19
82
19
84
19
86
19
88
19
90
19
92
19
94
19
96
19
98
20
00
20
02
20
04

200

Tahun

Sumber: BPS (1975-2004), diolah

Gambar 5.2. Perkembangan Pengeluaran Rutin Pemerintah Riil (2002=100)

37

Gejolak nilai tukar rupiah terhadap dolar selama tahun 1998/1999 telah
memberikan dampak negatif pada operasional keuangan pemerintah secara
keseluruhan. Memburuknya kinerja perekonomian yang didorong oleh keadaan
politik yang belum stabil menyebabkan peningkatan pengeluaran pemerintah
melebihi peningkatan penerimaannya, sehingga keuangan pemerintah mengalami
defisit. Peningkatan pengeluaran pemerintah tersebut dilihat dalam bentuk
nominal. Akan tetapi secara riil, dengan memperhitungkan tingkat inflasi,
pengeluaran pemerintah mengalami penurunan.
Pada tahun 1998 pengeluaran rutin pemerintah riil turun hingga mencapai
Rp 1.345,50 milyar akibat inflasi yang sangat tinggi yaitu sebesar 77,63 persen.
Memasuki tahun 1999 pengeluaran rutin pemerintah riil mulai meningkat kembali
seiring dengan stabilnya laju inflasi dan upaya pemerintah untuk meningkatkan
kualitas pelayanan pemerintah kepada masyarakat karena pemerintah merasa
prihatin atas dampak krisis moneter yang memperburuk kehidupan sosial ekonomi
masyarakat.
Pada akhir periode penelitian tahun 2004 pengeluaran rutin pemerintah riil
mencapai sebesar Rp 15.222,02 milyar yang sebelumnya sempat turun sebesar Rp
9.542,37 milyar pada tahun 2003. Peningkatan pengeluaran rutin pemerintah
sebagian besar disebabkan oleh meningkatnya pos pembayaran cicilan dan bunga
utang.

38

5.3.

Pengeluaran Pembangunan Pemerintah


Pengeluaran pembangunan merupakan pengeluaran negara yang digunakan

untuk membiayai proyek pembangunan baik fisik maupun non fisik. Selama
periode penelitian tahun 1975-2004 pengeluaran pembangunan pemerintah riil
cenderung

lebih

berfluktuasi.

Perkembangan

pengeluaran

pembangunan

pemerintah riil dapat dilihat pada Gambar 5.3.


Pengeluaran Pembangunan Pemerintah Riil
6150

Milyar Rp

5150
4150
3150
2150
1150

19
74
19
76
19
78
19
80
19
82
19
84
19
86
19
88
19
90
19
92
19
94
19
96
19
98
20
00
20
02
20
04

150

Tahun

Sumber: BPS (1975-2004), diolah

Gambar 5.3. Perkembangan Pengeluaran Pembangunan Pemerintah Riil


(2002=100)
Inflasi yang tinggi pada tahun 1998 hingga mencapai 77,63 persen
menyebabkan secara riil pengeluaran pembangunan pemerintah mengalami
penurunan yang tajam. Seiring dengan turunnya laju inflasi maka pengeluaran
pembangunan pemerintah riil ikut membaik, ditandai dengan peningkatannya
sebesar Rp 908,27 milyar pada tahun 1999, padahal sebelumnya hanya mencapai
Rp 535,45 milyar.

39

Kondisi perekonomian yang buruk pasca krisis dan setelah krisis


mendorong pemerintah untuk melaksanakan kebijakan yaitu mengalokasikan
pengeluaran pembangunan pada program proyek prasarana sosial dan program
pemulihan kegiatan perekonomian nasional (Statistik Indonesia, 2000). Dengan
demikian sejak tahun 1999 sampai dengan akhir periode penelitian tahun 2004
pengeluaran pembangunan pemerintah riil cenderung mengalami peningkatan.
Meskipun pada tahun 2003 pengeluaran tersebut mengalami penurunan, namun
penurunannya tidak setajam pada tahun 1998.

5.4.

Investasi Swasta
Investasi swasta dialokasikan untuk penyediaan barang-barang modal yang

dapat meningkatkan kapasitas produksi, yang kemudian pada gilirannya dapat


meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Investasi swasta dalam penelitian ini
mencakup Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan Penanaman Modal Luar
Negeri (PMLN). Perkembangan investasi swasta riil dapat dilihat pada Gambar
5.4.
Pada periode awal penelitian tahun 1975 investasi swasta riil mencapai
sebesar Rp 4.345,25 milyar. Pada periode selanjutnya perkembangan investasi
swasta riil cenderung berfluktuasi. Pada tahun 1997 investasi swasta meningkat
tajam sebesar Rp 24.128,04 milyar. Namun pada tahun 1998 investasi tersebut
menurun drastis hingga mencapai angka Rp 1.129,33 milyar. Hal ini disebabkan
oleh tingginya tingkat inflasi pada tahun 1998, serta kondisi perekonomian yang
tidak stabil. Ketidakstabilan perekonomian tersebut diikuti oleh ketidakstabilan

40

politik, sosial, dan keamanan. Situasi ini menyebabkan para investor tidak mau
mengambil resiko menanamkan modalnya, sehingga akumulasi modal yang
tersedia hanya sedikit.
Investasi Swasta Riil

25100.00

Milyar Rp

20100.00
15100.00
10100.00
5100.00

19
74
19
76
19
78
19
80
19
82
19
84
19
86
19
88
19
90
19
92
19
94
19
96
19
98
20
00
20
02
20
04

100.00

Tahun

Sumber: BPS (1975-2004), diolah

Gambar 5.4. Perkembangan Investasi Swasta Riil (2002=100)


Setelah melewati masa krisis, investasi swasta riil mulai meningkat
kembali. Hal ini dikarenakan pemerintah melakukan kebijakan yang dapat
menarik minat investor untuk menanamkan modalnya kembali, terutama untuk
investor asing. Karena semenjak iklim investasi di Indonesia tidak kondusif,
banyak investor asing yang berhati-hati dan sangat selektif untuk menanamkan
modalnya di Indonesia.
Pada tahun 2002 hingga tahun 2004 investasi swasta riil mulai menurun
kembali namun penurunannya tidak setajam pada tahun 1998. Pada akhir 2004
investasi swasta riil mencapai sebesar Rp 8.535,66 milyar.

41

5.5.

Pekerja
Seperti yang terlihat pada Gambar 5.5, perkembangan jumlah pekerja riil

selama periode 1975-2004 sangat berfluktuasi. Perkembangan jumlah pekerja riil


tersebut tidak terlepas dari pengaruh inflasi. Ketika inflasi rendah jumlah
pengangguran meningkat sehingga jumlah pekerja menurun, demikian pula
sebaliknya. Dengan kata lain terjadi trade off antara inflasi dan pengangguran
(Mankiw, 2000).
Pekerja Riil

11500
Milyar

9500
7500
5500
3500

19
74
19
76
19
78
19
80
19
82
19
84
19
86
19
88
19
90
19
92
19
94
19
96
19
98
20
00
20
02
20
04

1500

Tahun

Sumber: BPS (1975-2004), diolah

Gambar 5.5. Perkembangan Pekerja Riil (2002=100)


Namun keadaan yang sangat jauh berbeda adalah pada tahun 1998 yaitu
ketika terjadi peningkatan inflasi hingga 77,63 persen maka jumlah pekerja riil
menurun hingga mencapai 69,70 persen, yaitu dari sebanyak 9.649,23 milyar
pekerja pada tahun 1997 menjadi 2.923,17 milyar pekerja pada tahun 1998. Hal ini
dikarenakan inflasi yang tinggi memicu biaya operasional perusahaan mengalami

42

peningkatan sehingga mendorong banyak perusahaan untuk melakukan pemutusan


hubungan kerja (PHK) para karyawan.
Seiring dengan menurunnya tingkat inflasi, biaya operasional perusahaan
kembali stabil. Perusahaan memerlukan pekerja untuk meningkatkan output yang
akan memberikan tingkat pengembalian yang lebih besar, hal ini berarti terjadi
peningkatan permintaan tenaga kerja sehingga jumlah pekerja kembali meningkat.
Pada tahun 2003 jumlah pekerja mengalami penurunan, namun pada tahun 2004
meningkat kembali hingga mencapai 5.998,08 milyar pekerja.

5.6.

Inflasi
Laju inflasi yang dihitung berdasarkan pergerakan Indeks Harga

Konsumen (IHK) pada awal periode penelitian tahun 1975 tercatat sebesar 19,10
persen. Sampai dengan tahun 1996 laju inflasi Indonesia berada di bawah kisaran
12 persen. Namun pada bulan Juli tahun 1997 Indonesia dilanda krisis ekonomi
yang dipicu oleh jatuhnya mata uang bath Thailand. Jatuhnya mata uang bath
Thailand tersebut menyebabkan pasar modal Indonesia jatuh lebih dari 80 persen
dan nilai tukar rupiah terhadap dolar jatuh hingga 75 persen (Gie, 2004).
Perkembangan inflasi Indonesia dapat dilihat pada Gambar 5.5.
Terdepresiasinya nilai tukar rupiah terhadap dolar mendorong peningkatan
pada harga bahan bakar minyak (BBM) yang kemudian diikuti dengan
meningkatnya harga-harga barang dan jasa lainnya, sehingga inflasi pada tahun
1998 meningkat tajam sebesar 77,63 persen.

43

200
4

200
2

200
0

199
8

199
6

199
4

199
2

199
0

198
8

198
6

198
4

198
2

198
0

197
8

197
6

82
72
62
52
42
32
22
12
2
197
4

Persentase

Laju Inflasi

Tahun
Sumber: BPS, BI (1975-2004)

Gambar 5.6. Perkembangan Inflasi


Inflasi yang sangat tinggi pada tahun 1998 mendorong pemerintah untuk
melakukan serangkaian kebijakan yang dapat menekan atau menurunkan tingkat
inflasi itu sendiri. Memasuki awal 1999 inflasi mulai stabil kembali hingga
mencapai satu digit yaitu sebesar 2,01 persen. Kemudian pada akhir periode
penelitian tahun 2004 inflasi tercatat sebesar 6,40 persen. Angka tersebut lebih
tinggi dari laju inflasi pada tahun 2003 sebesar 5,06 persen, namun masih berada
dalam kisaran yang ditargetkan oleh otoritas moneter. Meningkatnya laju inflasi
pada tahun 2004 selain karena meningkatnya permintaan dalam negeri, juga
karena adanya tekanan dari harga minyak internasional yang terus meningkat
sehingga berpengaruh langsung terhadap penggunaan bahan baku impor dan biaya
transportasi (Laporan Perekonomian Indonesia, 2004).

VI. PENGARUH PENGELUARAN PEMERINTAH, INVESTASI SWASTA,


PEKERJA, DAN INFLASI TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DI
INDONESIA

Bab ini akan menjelaskan tentang hasil dan pembahasan yang telah
diperoleh dalam penelitian. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini
adalah Error Correction Model (ECM). Langkah awal sebelum melakukan
estimasi ECM terlebih dahulu harus dilakukan uji akar unit untuk mengetahui
apakah data yang digunakan stasioner atau tidak. Setelah dilakukan pengujian
akar unit maka dilakukan pengujian kointegrasi Engel-Granger untuk melihat
hubungan jangka panjang diantara variabel-variabel yang tidak stasioner. Setelah
diperoleh persamaan jangka panjang, maka langkah selanjutnya adalah melakukan
estimasi ECM yang digunakan untuk melihat hubungan jangka pendek diantara
variabel-variabel yang stasioner, namun untuk mengetahui ada tidaknya masalahmasalah pelanggaran asumsi klasik yang muncul pada estimasi model jangka
pendek pertumbuhan ekonomi di Indonesia maka dilakukan uji kebaikan model,
yaitu uji autokorelasi, uji heteroskedastisitas, dan uji normalitas.

6.1.

Hasil Pengujian Akar-akar Unit


Sebelum melakukan serangkaian proses terhadap model, sangat penting

untuk diketahui apakah data time series yang digunakan bersifat stasioner atau
non-stasioner. Untuk persamaan tunggal, uji akar-akar unit dilakukan dengan
menggunakan Augmented Dickey-Fuler (ADF) test. Hasil pengujian akar-akar
unit dapat dilihat pada Tabel 6.1.

45

Tabel 6.1. Uji Akar-akar Unit (Unit Root Test) pada Level
Variabel
Nilai ADF
Nilai Kritis Mackinnon
t-statistik
1%
5%
10 %
Pertumbuhan Ekonomi
-1,92
-2,65
-1,95
-1,61
Pengeluaran Rutin
Pemerintah
0,93
-2,65
-1,95
-1,61
Pengeluaran
Pembangunan
Pemerintah
0,55
-2,65
-1,95
-1,61
Investasi Swasta
0,64
-2,65
-1,95
-1,61
Pekerja
-0,14
-2,65
-1,95
-1,61
Inflasi
-3,46
-2,65
-1,95
-1,61

Ket

Stasioner
Tidak
stasioner
Tidak
stasioner
Tidak
stasioner
Tidak
stasioner
Stasioner

Sumber: Lampiran 2a

Dari Tabel 6.1 dapat dilihat bahwa hanya variabel pertumbuhan ekonomi
dan inflasi yang stasioner pada taraf 10 persen (taraf nyata yang digunakan).
Sedangkan variabel pengeluaran rutin pemerintah, pengeluaran pembangunan
pemerintah, investasi swasta, dan pekerja tidak stasioner baik pada taraf 1 persen,
5 persen maupun 10 persen. Hal ini terlihat dari nilai t-statistik ADF keempat
variabel tersebut yang lebih besar dari nilai kritis Mackinnon.
Oleh karena itu, sebagai konsekuensi dari tidak terpenuhinya asumsi
stasioneritas pada derajat nol atau I(0) maka langkah selanjutnya perlu dilakukan
pengujian derajat integrasi. Pengujian derajat integrasi sangat penting untuk
mengetahui apakah variabel-variabel yang digunakan tidak stasioner dan berapa
kali harus di-difference untuk menghasilkan variabel yang stasioner. Dari hasil
penelitian ini diperoleh bahwa variabel-variabel yang digunakan stasioner pada
first difference. Adapun hasil pengujian derajat integrasi dapat dilihat pada Tabel
6.2.

46

Tabel 6.2. Uji Akar-akar Unit (Unit Root Test) Pada First Difference
Variabel
Nilai ADF
Nilai Kritis Mackinnon
Ket
t-statistik
1%
5%
10 %
Pertumbuhan Ekonomi
-6,60
-3,69
-2,97
-2,62 Stasioner
Pengeluaran Rutin
Stasioner
Pemerintah
-6,22
-3,70
-2,98
-2,63
Pengeluaran
Stasioner
Pembangunan
Pemerintah
-5,95
-3,69
-2,97
-2,62
Investasi Swasta
-6,91
-3,70
-2,98
-2,63 Stasioner
Pekerja
-7,44
-3,70
-2,98
-2,63 Stasioner
Inflasi
-6,49
-3,70
-2,98
-2,63 Stasioner
Sumber: Lampiran 2b

Pada Tabel 6.2 dapat dilihat bahwa semua variabel, baik variabel
independen maupun dependen, stasioner pada derajat satu I(1) atau first
difference. Hal ini berarti bahwa hipotesis nol ditolak yang artinya semua variabel
stasioner pada taraf 10 persen, ditunjukkan oleh nilai t-statistik ADF yang lebih
kecil dari nilai kritis MacKinnon.

6.2.

Uji Kointegrasi
Tujuan dilakukannya uji kointegrasi yaitu untuk mengetahui ada tidaknya

hubungan jangka panjang diantara variabel-variabel yang diamati. Variabelvariabel tersebut dikatakan saling terkontegrasi jika ada kombinasi linear diantara
variabel-variabel yang tidak stasioner dan residual dari kombinasi tersebut harus
stasioner. Uji kointegrasi Engel-Granger digunakan untuk mengestimasi
hubungan jangka panjang antara pertumbuhan ekonomi, pengeluaran rutin
pemerintah, pengeluaran pembangunan pemerintah, investasi swasta, pekerja, dan
inflasi. Hasil uji kointegrasi dapat dilihat pada Tabel 6.3.

47

Tabel 6.3. Hasil Uji Akar Unit terhadap Residual Persamaan Regresi
Variabel
Nilai ADF
Nilai Kritis Mackinnon
Ket
t-statistik
1%
5%
10 %
U
-5,20
-2,65
-1,95
-1,61 Stasioner
Sumber: Lampiran 3a

Berdasarkan Tabel 6.3 dapat dilihat bahwa residual dari persamaan yang
digunakan berhasil menolak hipotesis nol atau dengan kata lain uji akar unit pada
residual U bersifat stasioner pada level atau I(0), sehingga dapat dikatakan bahwa
variabel-variabel yang digunakan cenderung menuju pada keseimbangan jangka
panjang walaupun pada tingkat level terdapat variabel yang tidak stasioner. Hal
ini terlihat dari nilai t-statistik ADF yang lebih kecil dari nilai kritis Mackinnon
10 persen. Selain itu, koefisien residual U sebesar 0,91 semakin menguatkan
bahwa diantara variabel-variabel yang digunakan terdapat kointegrasi (Lampiran
3a). Oleh karena terdapat kointegrasi diantara variabel-variabel dalam penelitian,
maka model jangka panjang pertumbuhan ekonomi yang diperoleh dapat dilihat
pada Tabel 6.4.
Tabel 6.4. Model Jangka Panjang
Variabel
Koefisien
C
-22,12
Pengeluaran Rutin
- 2,05
Pengeluaran Pembangunan
1,32
Investasi Swasta
0,29
Pekerja
3,93
Inflasi
- 0,23
R-squared
= 0,86
Prob(F-statistic)
= 0,00

Probabilitas
0,00
0,02
0,24
0,49
0,00
0,00

Sumber: Lampiran 3b
Ket
: dalam logaritma

Hasil estimasi jangka panjang menunjukkan nilai R-squared sebesar 0,86.


Hal ini berarti model pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang dapat

48

dijelaskan oleh variabel pengeluaran rutin pemerintah, pengeluaran pembangunan


pemerintah, investasi swasta, pekerja, dan inflasi sebesar 86 persen. Sedangkan
sisanya sebesar 14 persen dijelaskan oleh variabel lain diluar model. Pada
persamaan jangka panjang mempunyai probabilitas F-statistik yang lebih kecil
dari taraf yang digunakan yaitu 10 persen, sehingga seluruh variabel eksogen
berpengaruh signifikan terhadap variabel endogen secara bersamaan atau serentak.
Berdasarkan model jangka panjang tersebut dapat diketahui bahwa semua
variabel penelitian memiliki arah yang benar sesuai dengan hipotesis yang
diajukan. Pada pengujian signifikasi secara statistik (t-hitung) diperoleh bahwa
variabel pengeluaran rutin pemerintah, pekerja, dan inflasi memberikan pengaruh
yang signifikan secara individu terhadap pertumbuhan ekonomi pada taraf 10
persen. Di sisi lain, variabel pengeluaran pembangunan dan investasi swasta tidak
memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi baik pada
taraf 1 persen, 5 persen maupun 10 persen, tetapi memberikan arah yang sesuai
dengan hipotesis yang telah diajukan.
Koefisien

pengeluaran

rutin

pemerintah

yang

bernilai

negatif

menunjukkan bahwa apabila pengeluaran rutin pemerintah meningkat sebesar 1


persen maka akan menurunkan atau menghambat pertumbuhan ekonomi sebesar
2,05 persen. Hal ini dikarenakan pengeluaran rutin pemerintah lebih bersifat
konsumtif dan tidak produktif serta sebagian besar bersifat kontraktif seperti
pengeluaran untuk pembayaran cicilan dan bunga utang. Dengan meningkatnya
pembayaran cicilan dan bunga utang menyebabkan dana yang semula dianggarkan
untuk keperluan investasi domestik digunakan untuk menutupinya, sehingga

49

investasi domestik menurun. Penurunan investasi tersebut pada akhirnya akan


menurunkan pertumbuhan ekonomi.
Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Kweka dan Morissey
(2000), investasi publik (pengeluaran pembangunan pemerintah) dapat tidak
berpengaruh

signifikan

terhadap

pertumbuhan

ekonomi

karena

adanya

ketidakefisienan dalam pelaksanaannya. Dalam penelitian ini diindikasikan bahwa


penyebab tidak signifikannya pengeluaran pembangunan adalah karena terjadi
kebocoran dalam APBN, khususnya dalam pembiayaan pembangunan, sehingga
mengakibatkan pengeluaran pembangunan yang dilakukan tidak sebesar nilai
dana yang dianggarkan untuk realisasi pembangunan.
Selain itu juga karena pada periode penelitian terjadi guncangan bencana
alam yaitu gempa bumi dan gelombang tsunami yang melumpuhkan propinsi
Aceh Darussalam dan sebagian Sumatera Utara, sehingga diperlukan peran
pemerintah yang besar yaitu dengan mengalokasikan anggaran pembangunan
untuk memperbaiki kerusakan-kerusakan yang terjadi dan untuk membangun
daerah tersebut kembali.
Pengeluaran pembangunan pemerintah berpengaruh positif terhadap
pertumbuhan ekonomi pada jangka panjang. Hal ini menunjukkan bahwa bila
pengeluaran pembangunan pemerintah meningkat sebesar 1 persen maka akan
mendorong

pertumbuhan

ekonomi

sebesar

1,32

persen.

Pengeluaran

pembangunan pemerintah merupakan pengeluaran yang digunakan untuk


investasi, salah satunya adalah investasi fisik seperti pembangunan prasarana jalan
dan gedung sekolah. Adanya pembangunan tersebut akan meningkatkan

50

permintaan agregat akan bahan bangunan dan jasa yang berhubungan dengan
konstruksi. Permintaan agregat akan direspon dunia usaha dengan meningkatkan
produksi barang dan jasa. Kemudian peningkatan produksi barang dan jasa
tersebut akan meningkatkan output nasional yang selanjutnya akan mendorong
pertumbuhan ekonomi.
Hubungan yang positif antara investasi swasta dan pertumbuhan ekonomi
sebesar 0,29 mengindikasikan bahwa jika investasi swasta meningkat sebesar 1
persen

maka akan mengakibatkan peningkatan pada pertumbuhan ekonomi

sebesar 0,29 persen. Namun dalam estimasi jangka panjang investasi swasta tidak
berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Kondisi perekonomian
Indonesia pada periode penelitian mengalami keterpurukan yaitu karena adanya
krisis ekonomi yang kemudian mendorong ketidakstabilan politik dan keamanan.
Semenjak itu iklim investasi menjadi tidak kondusif sehingga para investor
terutama investor asing lebih berhati-hati dalam menanamkan modalnya di
Indonesia. Hal ini mengakibatkan investasi yang seharusnya bisa lebih besar
terakumulasi menjadi berkurang.
Hubungan yang positif antara investasi swasta dan pertumbuhan ekonomi
menunjukkan bahwa adanya peningkatan investasi swasta berarti tersedia
akumulasi modal dalam jumlah yang lebih besar sehingga tersedia dana untuk
meningkatkan
mempengaruhi

pembangunan.
kapasitas

Selain

produksi

itu
yang

investasi
akan

tersebut

mendorong

juga

dapat

peningkatan

produktivitas untuk menghasilkan output sehingga pada akhirnya akan


meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

51

Pekerja mempunyai pengaruh yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi


sebesar 3,93. Hal ini berarti jika terjadi peningkatan jumlah pekerja sebesar 1
persen maka akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 3,93 persen.
Semakin meningkatnya jumlah pekerja maka dapat meningkatkan jumlah output
barang dan jasa, dengan asumsi dalam jangka panjang modal adalah fleksibel.
Dengan adanya peningkatan output barang dan jasa yang dihasilkan maka output
nasional akan meningkat, dan selanjutnya akan mendorong pertumbuhan
ekonomi.
Rata-rata inflasi dari tahun 1975 sampai dengan tahun 2004 adalah 12,20
persen per tahun. Jika inflasi meningkat dari 12,20 persen menjadi 12,32 persen
maka pertumbuhan ekonomi akan menurun sebesar 0,23 persen. Kenaikan inflasi
dalam jangka panjang akan menghambat investasi karena mempersulit harapanharapan rasional yang pada akhirnya menghambat pertumbuhan ekonomi. Inflasi
yang tinggi bagi produsen dirasakan sebagai kenaikan harga barang-barang input
produksi. Keterbatasan biaya produksi memaksa produsen mengurangi produksi,
dengan kata lain penawaran mengalami penurunan. Penurunan penawaran
mengakibatkan penurunan pada output riil. Selain itu inflasi yang tinggi pada
jangka panjang akan menurunkan kesejahteraan masyarakat yang pada akhirnya
akan menurunkan daya beli masyarakat. Hal tersebut mencerminkan penurunan
kegiatan perekonomian atau dengan kata lain menghambat pertumbuhan ekonomi.

52

6.3.

Pendekatan Koreksi Kesalahan

6.3.1. Uji Kebaikan Model ECM


Untuk menunjukkan bahwa model jangka pendek yang diperoleh pada
penelitian ini terbebas dari masalah pelanggaran asumsi OLS, maka dilakukan uji
kebaikan. Adapun hasil uji kebaikan model ECM pada penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1.

Uji Autokorelasi
Berdasarkan hasil uji autokorelasi dengan menggunakan Breusch-Godfrey

Serial Correlation LM Test diketahui bahwa model jangka pendek yang diestimasi
terbebas dari masalah autokorelasi. Hal ini ditunjukkan oleh nilai probabilitas
Obs*R-squared sebesar 1,00 yang lebih besar dari taraf nyata 10 persen
(Lampiran 4a).
2.

Uji Heteroskedastisitas
Berdasarkan hasil uji heteroskedastisitas baik dengan menggunakan

ARCH-Test maupun White Heteroskedasticity-Test, diperoleh bahwa model


jangka pendek yang diestimasi terbebas dari masalah heteroskedastisitas. Hal ini
ditunjukkan oleh nilai probabilitas Obs*R-squared sebesar 0,32 pada ARCH-Test
dan 0,33 pada White Heteroskedasticity-Test yang lebih besar dari taraf nyata 10
persen (Lampiran 4b).
3.

Uji Normalitas
Uji normalitas dilakukan untuk memeriksa apakah error term mendekati

distribusi normal. Berdasarkan hasil uji normalitas diketahui bahwa error term

53

terdistribusi normal. Hal ini ditunjukkan oleh nilai probabilitas sebesar 0,98 yang
lebih besar dari taraf nyata 10 persen (Lampiran 4c).
6.3.2. Model Koreksi Kesalahan (ECM)
Model koreksi kesalahan atau ECM digunakan untuk melihat perilaku
jangka pendek dari persamaan regresi dengan mengestimasi dinamika error
correction term (U). Setelah diketahui bahwa model ECM terbebas dari masalah
pelanggaran asumsi OLS, maka model ECM dari penelitian ini dapat dilihat pada
Tabel 6.5.
Tabel 6.5. Model Jangka Pendek
Variabel
Pertumbuhan Ekonomi (-1)
Pertumbuhan Ekonomi (-2)
Pengeluaran Rutin
Pengeluaran Rutin (-2)
Pengeluaran Pembangunan
Pengeluaran Pembangunan (-1)
Investasi Swasta
Pekerja
Pekerja (-2)
Inflasi
Inflasi (-2)
U(-1)
R-squared
= 0,97
Durbin-Watson stat = 1,72

Koefisien
0,30
-0,27
3,55
-6,75
2,97
1,23
1,43
-6,97
8,17
-0,15
-0,10
-0,58

Probabilitas
0,01
0,08
0,08
0,00
0,09
0,03
0,00
0,01
0,00
0,00
0,01
0,01

Sumber : Lampiran 5
Ket
: dalam first difference

Hasil estimasi ECM menunjukkan nilai R-squared sebesar 0,97. Hal ini
berarti model pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek dapat dijelaskan oleh
variabel pengeluaran rutin pemerintah, pengeluaran pembangunan pemerintah,
investasi swasta, pekerja, dan inflasi sebesar 97 persen, sedangkan sisanya sebesar
3 persen dijelaskan oleh variabel lain di luar model.

54

Berdasarkan hasil estimasi model jangka pendek diketahui bahwa variabel


pengeluaran rutin pemerintah, pengeluaran pembangunan pemerintah, investasi
swasta, pekerja dan inflasi signifikan atau berpengaruh nyata terhadap
pertumbuhan ekonomi pada taraf 10 persen serta memiliki arah yang benar sesuai
dengan hipotesis awal yang diajukan. Namun variabel yang diduga berpengaruh
terhadap pertumbuhan ekonomi yaitu variabel dummy krisis ekonomi tidak
signifikan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek.
Adapun interpretasi dari hasil estimasi tersebut yaitu secara keseluruhan
pengeluaran rutin pemerintah berpengaruh negatif dan signifikan terhadap
pertumbuhan ekonomi pada jangka pendek. Seperti telah dijelaskan sebelumnya
bahwa pengeluaran rutin bersifat tidak produktif dan tidak mengarah kepada
investasi. Salah satu komponen dalam pengeluaran rutin adalah pengeluaran
subsidi. Dalam jangka pendek pengeluaran subsidi akan mendorong terjadinya
distorsi pasar yang dapat menimbulkan inefisiensi dalam perekonomian (Sutriono,
2006). Adanya subsidi dari pemerintah akan menurunkan minat investor
menanamkan modal karena takut kalah bersaing dengan sektor usaha yang
disubsidi oleh pemerintah. Dengan menurunnya investasi tersebut berarti terjadi
penurunan akumulasi modal untuk pembangunan yang pada akhirnya akan
berdampak pada penurunan pertumbuhan ekonomi.
Koefisien pengeluaran pembangunan pemerintah secara keseluruhan
bernilai positif terhadap pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek. Pengeluaran
pembangunan merupakan pengeluaran pemerintah dalam bentuk investasi.
Investasi pemerintah dalam jangka pendek akan mendorong peningkatan

55

permintaan agregat dan akan berpengaruh terhadap output. Misalnya pengeluaran


pembangunan sarana pendidikan yaitu pembangunan gedung sekolah dasar.
Adanya pembangunan gedung sekolah akan meningkatkan permintaan barang
yang berhubungan dengan konstruksi, peralatan atau perlengkapan pendidikan,
serta jasa yang terkait dengan pendidikan yang diselenggarakan. Hal ini akan
mendorong produsen untuk meningkatkan produksi barang dan jasa, sehingga
output meningkat dan selanjutnya mendorong pertumbuhan ekonomi.
Dalam jangka pendek investasi swasta berpengaruh positif terhadap
pertumbuhan ekonomi. Menurut Samuelson dan Nordhaus, efek jangka pendek
yang ditimbulkan bila terjadi perubahan besar pada investasi akan mempengaruhi
permintaan agregat, yang pada akhirnya berakibat juga pada output dan
kesempatan

kerja

(Lailatussholiha,

2005).

Kemudian

selanjutnya

akan

berpengaruh terhadap peningkatan output nasional atau pertumbuhan ekonomi.


Secara keseluruhan pekerja berpengaruh positif terhadap pertumbuhan
ekonomi pada jangka pendek. Dalam jangka pendek perusahaan tidak dapat
menambah output kecuali dengan menambah penggunaan tenaga kerja (Bellante
dan Jackson, 1983). Dalam perekonomian agregat berlaku asumsi constant return
to scale atau tingkat pengembalian skala yang konstan, maka dengan adanya
tambahan jumlah pekerja dalam jangka pendek akan mendorong peningkatan
output barang dan jasa, yang selanjutnya akan mendorong peningkatan output
nasional, kemudian pada akhirnya akan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Dalam jangka pendek secara keseluruhan inflasi mempunyai pengaruh
yang negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Fenomena ekonomi yang terjadi di

56

masyarakat adalah ketika pemerintah mengumumkan akan ada kenaikan harga,


maka dampak psikologis masyarakat langsung timbul. Sebelum pemerintah
mengumumkan secara resmi kenaikan harga (misal harga BBM), ekspektasi
masyarakat terhadap kenaikan harga barang-barang lain (harga umum) biasanya
sudah melambung tinggi, terutama ekspektasi harga yang dilakukan oleh para
pedagang. Efek yang timbul pada jangka pendek adalah harga-harga atau inflasi
melambung tinggi pada awal-awal diterapkannya kebijakan kenaikan harga. Efek
tersebut

mengakibatkan

masyarakat

mengurangi

konsumsinya

sehingga

mendorong penurunan konsumsi secara agregat. Penurunan konsumsi secara


agregat pada selanjutnya akan menghambat pertumbuhan ekonomi
Berdasarkan hasil estimasi jangka pendek diperoleh bahwa lag
pertumbuhan ekonomi

secara keseluruhan

berpengaruh positif

terhadap

pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Koefisien lag pertumbuhan ekonomi sebesar


0,03 berarti apabila pertumbuhan ekonomi pada periode sebelumnya meningkat
sebesar 1 persen maka pertumbuhan ekonomi akan meningkat sebesar 0,03
persen.
Nilai koefisien error correction term (U) sebesar 0,58 menunjukkan
bahwa disekuilibrium periode sebelumnya terkoreksi pada periode sekarang
sebesar 0,58 persen. Error correction term menunjukkan seberapa cepat
ekuilibrium tercapai kembali ke keseimbangan jangka panjang.

Anda mungkin juga menyukai