Anda di halaman 1dari 9

LAPORAN PENDAHULUAN

MENINGIOMA

A. Pengertian
Meningioma merupakan tumor jinak ekstra-aksial atau tumor yang terjadi
di luar jaringan parenkim otak yaitu berasal dari meninges otak. Meningioma
tumbuh dari sel-sel arachnoid cap dengan pertumbuhan yang lambat (Al-Hadidy,
2007).
B. Etiologi
Faktor-faktor terpenting sebagai penyebab meningioma adalah :
1. Trauma
2. Kehamilan
3. Virus
4. Radiasi
C. Manifestasi Klinis
Menurut lokasi tumor:
1. Lobus Frontalis
Gangguan mental / gangguan kepribadian ringan: depresi, bingung, tingkah laku
aneh, sulit memberi argumentasi/menilai benar atau tidak, hemipresis, ataksia,
2.
3.
4.
5.
6.

dan gangguan bicara.


Kortekpresentalis Posterior
Kelemahan/kelumpuhan pada otot-otot wajah, lidah dan jari
Lobus parasentralis
Kelemahan/kelumpuhan pada ekstremitas bawah
Lobus Oksipitalis
Kejang, gangguan penglihatan
Lobus Temporalis
Tinnitus, halusinasi pendengaran, afasiasensorik, kelumpuhan otot wajah
Lobus Parietalis
Hilang fungsi sensorik, kortikalis, gangguan lokasi sensorik, gangguan

penglihatan.
7. Cerebellum
Papiloedema, nyeri kepala, gangguan motorik, hipotonia, hiperekstremitassendi
Tanda dan Gejala Umum:
1. Nyeri kepala berat pada pagi hari, semakib bertambah bila batuk atau
membungkuk

2. Kejang
3. Tanda-tanda peningkatan tekanan intra cranial: pandangan kabur, mual, muntah,
penurunan fungsi pendengaran, perubahan tanda-tanda vital, afasia.
4. Perubahan kepribadian
5. Gangguan memori
6. Gangguan alam perasaan
D. Patofisiologi
Patofisiologi terjadinya meningioma sampai saat ini masih belum jelas.
Kaskade eikosanoid diduga memainkan peranan dalam tumorogenesis dan
perkembangan edema peritumoral. Dari lokalisasinya Sebagian besar meningioma
terletak di daerah supratentorial. Insidens ini meningkat terutama ada daerah yang
mengandung granulatio Pacchioni. Lokalisasi terbanyak pada daerah parasagital
dan yang paling sedikit pada fossa posterior.
Tumor otak menyebabkan timbulnya ganguan neurologik progresif. Gejalagejalanya timbul dalam rangkaian kesatuan sehingga menekankan pentingnya
anamnesis dalam pemeriksaan penderita. Gejala-gejala sebaiknya dibicarakan
dalam suatu perspektif waktu. Gangguan neurologik pada tumor otak biasanya
dianggap disebabkan oleh dua faktor : gangguan fokal akibat tumor dan kenaikan
tekanan intra kranial. Gangguan fokal terjadi apabila terdapat penekanan pada
jaringan otak, dan infiltrasi atau infasi langsung pada parenkim otak dengan
kerusakan jaringan neural. Disfungsi terbesar terjadi pada tumor infiltratif yang
tumbuh paling cepat (glioblastoma multiforma).
Perubahan suplai darah akibat tekanan tumor yang bertumbuh menyebabkan
nekrosis jaringan otak. Gangguan suplai darah arteri pada umumnya bermanifestasi
sebagai hilangnya fungsi secara akut dan mungkin dapat dikacaukan dengan
gangguan serebrovaskuler primer. Serangan kejang sebagai manifestasi perubahan
kepekaan neuron dihubungkan dengan kompresi, infasi, dan perubahan suplai
darah kejaringan otak. Bebrapa tumor membentuk kista yang juga menekan
parenkim otak sekitarnya sehingga memperberat gangguan neurologis fokal.
Meningioma juga berhubungan dengan hormon seks dan seperti halnya faktor
etiologi lainnya mekanisme hormon sex hingga memicu meningioma hingga saat
ini masih menjadi perdebatan. Pada sekitar 2/3 kasus meningioma ditemukan
reseptor progesterone. Tidak hanya progesteron, reseptor hormon lain juga
ditemukan pada tumor ini termasuk estrogen, androgen, dopamine, dan reseptor
untuk platelet derived growth factor. Beberapa reseptor hormon sex diekspressikan

oleh meningioma. Dengan teknik imunohistokimia yang spesifik dan teknik biologi
molekuler diketahui bahwa estrogen diekspresikan dalam konsentrasi yang rendah.
Reseptor progesteron dapat ditemukan dalam sitosol dari meningioma. Reseptor
somatostatin juga ditemukan konsisten pada meningioma.
Pada meningioma multiple, reseptor progesteron lebih tinggi dibandingkan
pada meningioma soliter. Reseptor progesteron yang ditemukan pada meningioma
sama dengan yang ditemukan pada karsinoma mammae. Jacobs dkk (10)
melaporkan meningioma secara bermakna tidak berhubungan dengan karsinoma
mammae, tapi beberapa penelitian lainnya melaporkan

hubungan karsinoma

mammae dengan meningioma.


Meningioma merupakan tumor otak yang pertumbuhannya lambat dan tidak
menginvasi otak maupun medulla spinalis. Stimulus hormon merupakan faktor
yang penting dalam pertumbuhan meningioma. Pertumbuhan meningioma dapat
menjadi cepat selama periode peningkatan hormon, fase luteal pada siklus
menstruasi dan kehamilan.
E. Komplikasi
a. Edema serebral
b. Perdarahan subdural, epidural, dan intracerebral
c. Syok hipovolemik
d. Hydrocephalus
e. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit
f. Gangguan perfusi jaringan sehubungan dengan tromboplebitis
F. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan diagnostik yang diperlukan pada klien dengan post craniotomy
meliputi hal-hal yang dibawah ini:
a. Pemeriksaan tengkorak dengan sinar X, CT scan atau MRI dapat dengan cermat
mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan ventrikuler, dan
perubahan jaringan otak. Untuk mengetahui adanya infark/iskemia jangan
dilakukan pada 24-72 jam setelah injuri.
b. Angiografi serebral
Menunjukkan anomaly sirkulasi cerebral, seperti: perubahan jaringan otak
sekunder menjadi oedema, perdarahan, trauma.
c. EEG berkala
Electroencephalogram (EEG) adalah suatu test untuk mendeteksi kelainan
aktivitas elektrik otak.
d. Foto rontgen, mendeteksi perdarahan struktur tulang (fraktur) perubahan struktur
garis (perdarahan/edema), fragmen tulang.

e. PET (Post Emission Tomograph), mendeteksi perubahan aktivitas metabolism


otak
f. Kadar Elektrolit, untuk mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagai peningkatan
tekanan intracranial
g. Skrining toksikologi, untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan
penurunan kesadaran.
h. Analisa Gas Darah
Adalah suatu test diagnostic untuk menentukan status respirasi. Status respirsi
dapat digambarkan melalui pemeriksaan AGD ini adalah oksigenasi dan status
asam basa.
G. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada meningioma dapat berupa embolisasi, pembedahan,
radiosurgery, dan radiasi. Terdapat dua tujuan utama dari pembedahan yaitu paliatif
dan reseksi tumor. Pembedahan merupakan terapi utama pada penatalaksanaan
semua jenis meningioma. Tujuan dari reseksi meningioma adalah menentukan
diagnosis definitif, mengurangi efek massa, dan meringankan gejala-gejala. Reseksi
harus dilakukan sebersih mungkin agar memberikan hasil yang lebih baik.
Sebaiknya reseksi yang dilakukan meliputi jaringan tumor, batas duramater sekitar
tumor, dan tulang kranium apabila terlibat. Reseksi tumor pada skull base sering kali
subtotal karena lokasi dan perlekatan dengan pembuluh darah (Modha & Gutin,
2005).
Angiografi preoperatif dapat menggambarkan suplai pembuluh darah
terhadap tumor dan memperlihatkan pembungkusan pembuluh darah. Selain itu,
angiografi dapat memfasilitasi embolisasi preoperatif. Beberapa jenis meningioma
terutama malignan umumnya memiliki vaskularisasi yang tinggi, sehingga
embolisasi preoperatif mempermudah tindakan reseksi tumor. Hal ini disebabkan
oleh berkurangnya darah yang hilang secara signifikan saat reseksi. Embolisasi
preoperatif dilakukan pada tumor yang berukuran kurang dari 6 cm dan dengan
pertimbangan keuntungan dibandingkan dengan resiko dari embolisasi (Dowd,
2003; Levacic et al; 2012).
H. Pengkajian Primer
1. Airway
Perlu dikaji apakah ada sumbatan/benda asing, massa leher, tonsil yang
membesar yang dapat menghambat jalan napas pasien.
2. Breathing

Kaji apakah terjadi perubahan pola nafas, adanya bunyi napas tambahan, stridor,
tersedak, ronkhi, mengi, positif.
3. Circulation
Pantau adanya perubahan tekanan darah atau perubahan frekuensi jantung dan
klasifikasi perdarahan yang terjadi.
4. Disability
Yang dikaji adalah tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil. Dalam mengkaji
dapat menggunakan GCS maupun AVPU. Biasanya pasien mengalami
kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo, sirkope,
tinitus, kehilangan pendengaran, baal pada ekstremitas. perubahan dalam
penglihatan, gangguan pengecapan dan juga penciuman. Selain itu juga
kehilangan penginderaan seperti pengecapan, penciuman, pendengaran, sangat
sensitif terhadap sentuhan dan getaran, kehilangan sensasi sebagian tubuh,
kesulitan dalam menentukan posisi tubuh
5. Exposure
Kaji adanya jejas atau luka lain di seluruh tubuh pasien, ukur suhu tubuh pasien.
I. Pengkajian Sekunder
1. Pemeriksaan Fisik Head to Toe
Periksa adanya lesi, perdarahan, laserasi, memar, maupun hematom. Observasi
adanya gigi yang tanggal maupun gigi palsu. Cek adanya fraktur pada daerah
servikal, dada, pelvis, tulang belakang, dan ekstremitas.
2. Aktivitas / istirahat
Dikaji apakah pasien mengalami gangguan/keluhan dalam melakukan
aktivitasnya saat menderita suatu penyakit (dalam hal ini adalah setelah
didiagnosa mengalami alergi) atau saat menjalani perawatan di RS.
3. Sirkulasi
Riwayat penyakit jantung, polisitemia, hipotensi postural, hipertensi arterial,
frekuensi nadi yang bervariasi, disritmia, perubahan irama EKG, Bruits pada
arteri karotis, femoralis, iliaka yang abnormal
4. Integritas Ego
Perasaan tidak berdaya, putus asa, emosi yang labil, kesulitan untuk
mengekspresikan diri
5. Eliminasi
Perubahan pola berkemih seperti inkontinensia urin, anuria, distensi abdomen,
bising usus
6. Makanan/cairan
Kemampuan untuk makan/menelan, perubahan nafsu makan, mual muntah,
kehilangan sensasi pada lidah, pipi, tenggorokan, disfagia, adanya riwayat DM,
penngkatan lemak dalam darah, obesitas.

7. Neurosensori
Lima area pengkajian neurologik yaitu:
a. Fungsi serebral meliputi status mental, fungsi intelektual, daya pikir, status
emosional, persepsi, kemampuan motorik, kemampuan bahasa.
b. Fungsi syaraf cranial meliputi nervus cranial I sampai XII
c. Fungsi sensori meliputi sensasi taktil, sensasi nyeri dan suhu, vibrasi dan
propiosepsi, merasakan posisi, dan integrasi sensasi
d. Fungsi motorik meliputi ukuran otot, tonus otot, kekuatan otot,
keseimbangan dan koordinasi
e. Fungsi Refleks meliputi refleks brakoiradialis, patella, ankle, kontraksi
abdominal, dan babinski.
8. Nyeri / kenyamanan
Dikaji kondisi pasien yang berhubungan dengan gejala-gejala penyakitnya,
misalnya pasien merasa nyeri di perut bagian kanan atas (dikaji dengan PQRST :
faktor penyebabnya, kualitas/kuantitasnya, lokasi, lamanya dan skala nyeri)
9. Keamanan
Dikaji apakah pasien merasa cemas akan setiap tindakan keperawatan yang
diberikan kepadanya, dan apakah pasien merasa lebih aman saat ditemani
keluarganya selama di RS
10. Interaksi social
Masalah bicara, ketidakmampuan dalam berkomunikasi
J. Diagnosa Keperawatan yang Sering Muncul
1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan gangguan integritas jaringan
otak, hipoksemia (dampak dari anestesi), edema cerebral, area pembedahan di
sekitar medulla oblongata atau pons.
2. Gangguan perfusi jaringan cerebral berhubungan dengan edema jaringan
cerebral, penurunan perfusi sistemik atau hilangnya perfusi cerebral karena
embolus atau sumbatan aliran darah cerebral.
3. Gangguan rasa nyaman: nyeri berhubungan dengan tekanan intra cranial
4. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan, kerusakan
neuromuskular (akibat perdarahan otak)

K. Rencana Keperawatan
DIAGNOSA
KEPERAWATAN

TUJUAN DAN
KRITERIA HASIL

1.

Ketidakefektifan pola
nafas
berhubungan
dengan
gangguan
integritas
jaringan
otak,
hipoksemia
(dampak
dari
anestesi),
edema
cerebral,
area
pembedahan di sekitar
medulla
oblongata
atau pons.

Setelah
dilakukan
tindakan
keperawatan
selama 3 x 24 jam, pola
nafas
dapat
efektif
dengan kriteria hasil:
1. Oksigenasi
yang
adekuat
dapat
dipertahankan
2. Menunjukkan jalan
nafas yang paten
(irama dan frekuensi
dalam
rentang
normal:
18-25
x/menit tanpa ada
suara
nafas
tambahan)
3. Tanda-tanda
vital
dalam
rentang
normal:
TD: 120/80 - 130/90
mmHg
HR: 60-100 x/menit
RR: 18-25 x/menit
t: 36-37 oC

1. Kaji
frekuensi,
kedalaman,
keteraturan pernafasan dan ekspansi
dada
2. Kaji bunyi nafas setiap 2-4 jam
3. Evaluasi
nilai
AGD
sesuai
kebutuhan
4. Gunakan oksimetri yang tersedia
untukmemantau saturasi oksigen
dan pantau CO2
5. Pertahankan hiperventilasi jika
diperlukan ventilator mekanik
6. Waspada terhadap dampak obatobat depresan
7. Lakukan suction sesuai kebutuhan,
berikan hiperventilasi sebelum
prosedur dilakukan

2.

Gangguan
perfusi
jaringan
cerebral
berhubungan dengan
edema
jaringan
cerebral, penurunan
perfusi sistemik atau
hilangnya
perfusi
cerebral
karena
embolus
atau
sumbatan aliran darah
cerebral.

Setelah
dilakukan
tindakan
keperawatan
selama 3 x 24 jam,
gangguan
perfusi
jaringan cerebral dapat
teratasi dengan kriteria
hasil:
1. Tingkat kesadaran
meningkat (GCS >
9)
2. Tidak ada tandatanda peningkatan
tekanan itrakranial
( 15 mmHg)
3. Tekanan
darah
dalam
rentang
normal (120/80
130/90 mmHg)

1. Ukur TIK dengan akurat dan pantau


hasil pengukuran secara kontinyu
2. Tinggikan bagian kepala tempat
tidur 15o - 30o sepanjang waktu
3. Gunakan
sistem
pengkajian
neurologi secara konsisten, misal
skala koma Glasglow
4. Evaluasi hal-hal berikut setiap 1 jam:
a. Tingkat kesadaran
b. Ukuran pupil, reaksi pupil
terhadap cahaya
c. Kesamaan pupil
d. Gerakan ekstremitas
e. Beri sedikit stimlasi untuk
mendapatkan reaksi pasien
f. Kesesuaian
respon
pasien
terhadap
lingkunagan
atau
stimulasi

NO.

INTERVENSI KEPERAWATAN

5.
6.

7.
8.
4.

5.

Gangguan
rasa
nyaman:
nyeri
berhubungan dengan
tindakan
invasif
(craniotomy) dan luka
insisi yang buruk

Gangguan mobilitas
fisik
berhubungan
dengan
kelemahan,
kerusakan
neuromuskular (akibat
perdarahan otak)

Setelah
dilakukan
tindakan
keperawatan
selama 3 x 24 jam, nyeri
dapat teratasi dengan
kriteria hasil:
1. Klien tidak gelisah
2. Secara
subyektif
melaporkan
nyeri
berkurang
3. Dapat
mengidentifikasi
aktivitas yang dapat
menurunkan skala
nyeri
Setelah
dilakukan
tindakan
keperawatan
selama 3 x 24 jam,
gangguan mobilitas fisik
dapat teratasi dengan
kriteria hasil:
1. Mempertahankan
posisi yang optimal
2. Mempertahankan
kekuatan dan fungsi
bagian tubuh yang
sakit

1.
2.

3.
4.

g. Ada tidaknya refleks refleks


h. Semua gerakan involunter seperti
kejang, kedutan atau fungsi
motorik asimetris
i. Tekanan darah
j. Frekuensi dan irama jantung
k. Frekuensi dan irama pernafasan
l. Parameter hemodinamik
Hindari
peningkatan
tekanan
intrathoraks, batuk, muntah dan
valsava manuver
Jika
ventilasi
dikontrol
oleh
ventilator mekanik, pertahankan
PCO2 yang rendah (18-25) untuk
mencegah vasodolatasi cerebral
Berikan obat kontikosteroid sesuai
instruksi dokter
Beri diuretik yang menurunkan
volume jaringan (seperti manitol)
sesuai instruksi dokter
Jelaskan dan bantu klien dengan
tindakan
pereda
nyeri
nonfarmakologi dan invasif
Ajarkan teknik relaksasi: teknikteknik
untuk
menurunkan
ketegangan otot rangka, yang dapat
menurunkan intensitas nyeri dan
tingkatkan relaksasi masase
Anjurkan istirahat bila terasa nyeri
dan berikan posisi yang nyaman
Kolaborasi pemberian analgesik

1. Kaji derajat imobilisasi pasien


2. Ubah posisi pasien secara teratur
3. Bantu pasien untuk melakukan
latihan rentang gerak
4. Sokong kepala dan badan

DAFTAR PUSTAKA
Batticaca, Fransisca B. 2008. Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan
Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika
Carpenito, Lynda Juall. 2000. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. Jakarta: EGC
Harsono. 1996. Buku Ajar Neurologi Klinis, Edisi: Pertama. Jakarta: EGC
Harsono. 2000. Kapita Selekta Neurologi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Herdman, T. Heather. 2011. NANDA International : Diagnosa Keperawatan ; Definisi
dan Klasifikasi 2012 2014. Jakarta: EGC
Mardjono, M. & Sidharta, P. 2003. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universtas Indonesia
Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta: Salemba Medika
Nurarif, H.A. & Kusuma, H. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC. Yogyakarta: Media Action
Publishing
Pierce dan Borley. 2006. Ilmu Bedah, Edisi 3. Jakarta: Penerbit Erlangga
Price, Sylvia A. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses Proses Penyakit, Edisi: 6
Volume 2. Jakarta: EGC
Reeves, C. J. 2001. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Salemba Medika
Smeltzer, S.C. 2010. Buku Ajar Medikal Bedah Brunner-Suddarth Edisi 8. Jakarta: EGC
Weiner, Howard L. 2001. Buku Saku Neurolologi. Jakarta: EGC
Widagdo, Wahyu. 2008. Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta: Trans Info Media

Anda mungkin juga menyukai