Anda di halaman 1dari 20

Lab/SMF Ilmu Kesehatan Jiwa

Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman / RSJD Atma Husada Mahakam

Tutorial Kasus

Delirium

Oleh:

Bobby Faisyal Rahman

10100150XX

Hafied Himawan

09100150XX

Ira Damayanti

09100150XX

M. Rizky Bachtiar

10100150XX

Pembimbing
dr. Denny Jeffry Rotinsulu, Sp. KJ
LAB / SMF KESEHATAN JIWA
Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
RSJD Atma Husada Mahakam
2015

BAB I
PENDAHULUAN
Delirium merupakan kelainan neuropsikiatri yang ditandai dengan perubahan
tingkat kesadaran, disfungsi atensi, gangguan fungsi kognitif yang meliputi memory,
orientasi, dan bahasa, dan perubahan non-kognitif seperti psikomotor, persepsi,
afektif, siklus tidur, dan proses berpikir. Delirium timbul dari berbagai etiologi yang
mempengaruhi gejala klinis dan outcome diantaranya infeksi sekunder, gangguan
jatuh, tindak kekerasaan, dan menambah lamanya perawatan di rumah sakit, biaya,
dan kematian. Walaupun patofisiologi dari delirium belum sepenuhnya dimengerti,
sindroma

neuropsikiatri

menunjukkan

gangguan

mekanisme

kerja

sistem

neuritransmitter yang selanjutnya meluas ke seluruh jaringan saraf.


Pada intinya delirium merupakan gangguan kognitif, sementara kaitannya
dengan perubahan neurobahavior dan gejala atau tanda psikiatri adalah pertimbangan
yang kedua. Delirium telah banyak dejelaskan dari berbagai literatur sejak dahulu dan
telah banyak penamaaan diagnostiknya seperti status konfusional akut, disfungsi otak
akut, acute brain failure, sindroma otak organik akut, psikosis ICU, dan metabolik
encephalopathy. Terminologi delirium berasal dari bahasa latin de (artinya menjauh)
dan lira (artinya jalur) sehingga dapat diartikan bahwa delirium adalah orang yang
menjauh dari jalur yang lurus atau yang sudah digariskan.
Istilah encephalopathy sering digunakan dalam kondisi tertentu, atau kondisi
klinis yang diiringi dengan kejadian delirium dan memungkinkan kejadian kognitif
yang terjadi secara bersamaan antara delirium dan demensia. Sementara dalam
perjalanan penyakitnya, antara delirium dan demensia memiliki perbedaan yaitu
delirium yang terjadi secara akut dan reversibel sedangkan demensia berjalan secara
progresif dan kronis. Penggunaan istilah ini juga bisa untuk kejadian sindroma
encephalopathy sub akut dimana disfungsi kognitif kurang dominan dibandingkan
dengan gejala neuropsikiatrinya.

Menejemen delirium dimulai dengan intervensi non-farmakologi dan


pengobatan penyakit yang mendasarinya. Tidak ada pengobatan yang diakui untuk
kondisi delirium tekait psikosis dan agitasi, walaupun beberapa obat telah banyak
diteliti. Beberapa penelitian dan guidline mendukung penggunaan antipsikotik untuk
delirium terkait psikosis dan agitasi, dan penggunaan kombinasi antara obat psikotik
generasi petama dan kedua. Bukti lain juga menunjukkan antipsikotik dan
dexmedetomedine efektif dalam mencegah kejadian delirium pada pasien pasca bedah
dan pasien dengan alat bantu napas.
Penelitian tentang penanganan delirium dikemas dalam bentuk pencegahan
dan pengobatan untuk pasien pembedahan, penyakit yang kritis, dan pasien ICU,
yang terdiri dari intervensi non farmakologi dan farmakologi. Namun ukuran sampel
yang terlalu kecil, kriteria inklusi yang sempit, kontrol placebo yang kurang baik, dan
berbagai metodologi yang menyebabkan kesulitan dalam penelitian penanganan
delirium.
Beberapa obat telah diteliti dalam penanganan delirium diantaranya
antipsikotik, benzodiazepine, cholinesterase inhibitor dan obat pro-cholinergic
lainnya, ketamine, dan yang terbaru dexmedetomidine. Guidline dari numerous
subspecialty societies dan meta analisis terbaru merekomendasikan haloperidol dan
antipsikotik lainnya dalam penanganan delirium.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi
Delirium merupakan kelainan neuropsikiatri yang ditandai dengan perubahan
tingkat kesadaran, disfungsi atensi, gangguan fungsi kognitif yang meliputi memory,
orientasi, dan bahasa, dan perubahan non-kognitif seperti psikomotor, persepsi,
afektif, siklus tidur, dan proses berpikir.
2. Epidemiologi
Delirium mempunyai prevalensi yang tinggi yaitu berisiko terjadi pada 10 15 % pasien bedah umum, 25 45 % pasien kanker yang rawat inap, dan 80 90 %
pada pasien stadium akhir yang melakukan terapi paliatif. Insidensi delirium menjadi
lebih tinggi pada pasien yang dirawat di ICU. Lebih dari 80% pasien ICU yang
mendapat ventilasi mekanik juga berisiko mengalami delirium.
3. Etiologi
Delirium dapat disebabkan oleh banyak hal seperti metabolik, keracunan obat,
infeksi, vaskular, trauma, dan keadaan paska bedah. Brain imaging menjadi evaluasi
awal pada kasus delirium walaupun mayoritas episode delirium tidak selalu diikuti
oleh kcelainan struktural. Penyebab struktural delirium biasanya dikabarkan dari
riwayat trauma atau pemeriksaan neurologis fokal. Delirium banyak terjadi pada
pasien stroke rawat inap dan paling sering akibat dari kelainan metabolik ataupun
komplikasi infeksi. Biasanya stroke tidak menjadi penyebab langsung delirium.
Gangguan metabolisme seperti pada metabolisme sodium dan kalsium,
hipoalbuminemia,

hipoksemia,

hiperkapnea,

insufisiensi

ginjal

dan

hepar,

hiperglikemia dan hipoglikemia, keracunan obat maupun gejala putus obat, infeksi,
dan penyakit primer pada sistem syaraf pusat seperti stroke, kejang dan trauma kepala
dihubungkan dengan kejadian delirium.

Tabel 1. Penyebab delirium


Autoimun
Acute graft versus host disease
Autoimun ensefalopati (voltage-gated
potassium channel, NMDA receptor)
Vaskulitis sistem syaraf pusat
Hashimotos encephalopathy
Systemic lupus erythematosus
Jantung
Infark myocardial akut
Gagal jantung
Cerebrovascular
Stroke (iskemik, hemoragik)
Transient ischemic attack
Subarachnoid hemoragik
Hypertensive encephalopathy
Intoksikasi obat
Alkohol
Bath salts
Cannabinoids (marijuana, synthetic)
Gamma-hydroxybutyrate
Hallucinogens
Opioid
Psikostimulan
Sedatif-hipnotik (benzodiazepines,
barbiturates)
Drug withdrawal
Alkohol
Sedatif-hipnotik (benzodiazepines,
barbiturates)
Endokrin
Insufisiensi atau hipereksresi adrenal
Hypo- atau hiperthyroid
Hypo- atau hyperparathyroid
Panhipopituitari
Infeksi Intrakranial
Abses
Ensefalitis (HSV, arboviruses)
Human immunodeficiency virus
Meningitis (bacterial, viral, fungal)
Neurosyphilis

Metabolik
Asidosis or alkalosis
Anemia
Heparic failure
Hipercapnea
Hipoalbuminemia
Hipo- atau hiperkalsemia
Hipo- atau hiperglikemia
Hipo- atau hiperkalemia
Hipo- atau hipermagnesemia
Hipo- atau hipernatremia
Hipofosfatemia
Hipoksemia
Uremia
Other (carcinoid, porphyria, dll)
Neoplasma
Carcinomatous meningitis
Intraparenchymal brain tumor
Lymphomatous meningitis
Parenchymal metastasis
Paraneoplastic syndrome
Infeksi Sistemik
Bacteremia
Selulitis
Pneumonia
Sepsis
Infeksi saluran kemih
Trauma kepala
Diffuse axonal injury
Parenchymal contusion
Subdural hematoma
Lainnya
Radiasi sistem syaraf pusat
Disseminated intravascular coagulation,
thrombotic thrombocytopenic purpura
Malignant hyperthermia, neuroleptic
malignant syndrome, serotonin syndrome
Tahap post operasi
(cardiotomy, joint arthroplasty)
Kejang

Terapi untuk berbagai kelas, lewat mekanisme yang telah dimengerti maupun
belum dimengerti, juga dikaitkan dengan kejadian delirium. Pengobatan dengan
antimikroba seperti clerithromycin, fluoroquinolone (ciprofloxacin, penicillin,
cephalosporin, dan metronidazole), antikonvulsan (fenitoin, fenobarbital, asam
valproat), kortikostroid, obat anti parkinson (amantadine, levodopa), obat jantung
(digitalis, lidocain, quinidine, dan beta blocker), berbagai obat anti kanker (5fluoruracil, methotrexate, procarbazine, vincristine, interferon-, dan ifosfamide).
Analgetik opioid dan benzodiazepine menjadi penyebab utama terjadinya delirium
pada pasien bedah.
Intoksikasi obat akut disebabkan oleh penyalahgunaan obat bisa memicu
delirium (drug withdrawl delirium), biasanya berasal dari golongan obat hipnotik
sedatif (barbiturat, alkohol dan benzodiazepine) yang digunakan secara bebas.
Mekanisme

melalui

GABA-nergik

sehingga

terjadi

delirium

tremens-like

encephalopathy syndrome. Meskipun terdapat laporan kasus delirium terkait


penghentian tiba-tiba narkotik opioid (metadon), pada dasarnya agen ini tidak
menyebabkan withdrawl-delirium, dugaan opioid dapat menyebabkan delirium pada
penyalahangunaan opioid dan pasien paska bedah sebenarnya karena pasien memiliki
resiko lain dari penyebab delirium itu sendiri.
Tabel 2. Obat-obat penyebab delirium
Analgesik
Opioid
Salisilat
Antimikroba
Acyclovir, gancyclovir
Aminoglycosides
Amphotericin B
Antimalaria
Sefalosporin
Ethambutol
Interferon

Antiparkinson
Amantadine
Bromocriptine
Agonis dopamine
(ropinirole, pramipexole)
Levodopa
Obat jantung
Beta-blocker
Captopril
Clonidine
Digoksin

Isoniazid
Macrolides (clarithromycin)
Metronidazole
Quinolones (ciprofloxacin)
Rifampin
Sulfonamides
Vancomycin
Antikolinergik
Antihistamin (H1)
Antispasme
Atropine dan atropine-like drugs
Benztropine
Phenothiazines
Tricyclics (amitriptyline, doxepin, imipramine)
Trihexiphenidyl
Antikonvulsan
Phenobarbital
Phenytoin
Asam valproat
Anti inflamasi
Kortikosteroid
Nonsteroidal anti-inflammatory drugs
Antineoplasma
Asparaginase
Dacarbazine
Diphosphamide
5-Fluorouracil
Methotrexate
Procarbazine
Vinblastine
Vincristine

Lidocaine
Methyldopa
Procainamide
Quinidine
Tocainide
Sedatif-hipnotic
(intoksikasi atau withdrawal)
Barbiturates
Benzodiazepines
Stimulan
Amphetamines
Epinephrine, phenylephrine
Pseudoephedrine
Theophylline
Lainnya
Antihistamines (H2)
Baclofen (intoksikasi atau withdrawal)
Bromides
Disulfiram
Ergotamine
Lithium
Propylthiouracil
Quinacrine
Timolol (ophthalmic)

Kemudian dibuatlah protokol kegawatdaruratan delirium yang didukung oleh


pengobatan empiris pada delirium yang reversibel. Protokol darurat, termasuk tes
diagnostik yang tepat, pemberian oksigen tambahan, dekstrosa intravena, larutan
saline intravena, nalokson, dan penargetan thiamin pada masing-masing keadaan
hipoksemia, hipoglikemia, hipovolemia, intoksikasi opioid, dan encephalopathy
wernicke. Flumazine (benzodiazepine reverse agonist) kadang diberikan pada pasien
dengan dugaan keracunan benzodiazepine, namun laporan mengenai kejang-

terinduksi withdrawal benzodiazepin menyebabkan penggunaan agen ini digunakan


secara lebih berhati-hati.
4. Faktor Risiko dan Outcome
Faktor-faktor yang dapat dimodifikasi penting untuk diidentifikasi lebih lanjut
sebagai pencegahan dan manajemen yang tepat pada kasus delirium. Faktor risiko
seperti usia tua, gangguan kognitif dasar, riwayat penyakit medis, serta penggunaan
obat-obatan dapat memprediksi perkembangan delirium pada seseorang. Pasien
bedah, terutama pasien yang akan melakukan total joint replacement dan bypass pada
pasien jantung mempunyai risiko yang lebih tinggi untuk mengalami delirium. Selain
itu, delirium bersamaan dengan demensia atau gangguan kognitif lainnya lebih
resisten terhadap terapi yang diberikan.
Delirium mempunyai hubungan yang erat dengan peningkatan biaya
kesehatan, penurunan kualitas hidup, lama rawat inap pasien, peningkatan mortalitas,
serta gangguan kognitif menetap. Selain itu, kasus delirium di ICU berhubungan
dengan peningkatan penggunaan ventilator serta lama rawat inap di ICU dan
mengakibatkan peningkatan mortalitas pasien di ICU. Sehingga, semakin lama
penegakan diagnosis dan pemberian terapi pada pasien delirium semakin
meningkatkan mortalitas pasien di ICU.
5. Patofisiologi
Mekanisme terjadinya delirium masih belum banyak dipahami. Proses
inflamasi yang biasanya teraktivasi pada proses infeksi, metabolik, dan berbagai
proses terkait delirium. Beberapa percobaan terhadap hewan dan manusia didapatkan
bahwa terdapat perubahan mood, perilaku, dan daya kognitif yang buruk, diperantai
oleh mediator inflamasi seperti IL , IL-1, IL-6, TNF-. Berbagai penyakit-terkait
inflamasi sistemik diperkirakan berperan utama dalam berbagai sebab di etiologi
delirium.
Disfungsi neurotransmitter dilibatkan sebagai patofisiologi dari delirium.
Kacaunya fungsi neurotransmiter seperti dopamin dan serotonin, sepertinya menjadi
penyebab dalam diagnosis neuroleptic malignant syndome dan sindroma serotonin.

Defisiensi gamma amino butyric acid (GABA) dan hiperreaktivitas glutamat


dikaitkan dengan terjadinya encephalopahty sedative-hypnotic withdrawl. Sifat antikolinergik dari berbagai obat juga berperan dalam munculnya delirium. Narkotika
golongan opioid merangsang terjadinya delirium lewat mekanisme efek antikolinergis.
6. Gejala Klinis
Gejala delirium dapat dijabarkan dalam tiga domain inti diantaranya domain
kognitif (orientasi, atensi, memori jangka pendek, memori jangka panjang, dan
kemampuan visuospasial), domain pikiran (bahasa dan proses pikir), dan domain
sirkardian (siklus tidur bangun dan perilaku motorik). Sehingga dapat disimpulkan,
definisi delirium adalah gangguan atensi yang sering ditandai dengan penurunan
kesadaran atau kemampuan sensorik. Tingkat kesadaran pada pasien delirium dapat
bervariasi yaitu antara somnolen hingga sadar dengan gangguan konsentrasi yang
ringan.
Fungsi atensi yang baik di sini berarti seseorang mampu untuk tetap fokus,
mempertahankan, dan mengalihkan konsentrasi atau atensi sesuai dengan
lingkungannya. Manifestasi klinis gangguan atensi yang dapat diamati yaitu ketika
diberi pertanyaan oleh pemeriksa, pasien tampak kebingungan atau mudah dialihkan
konsentrasinya. Jika atensi dan konsentrasi terganggu, maka fungsi kognitif yang
lebih kompleks seperti bahasa, orientasi, memori, dan proses pikir juga akan
terganggu. Pada kasus delirium yang berat, gangguan atensi dapat menghalangi
penatalaksanaan yang adekuat pada domain kognitif yang lainnya.
Ketika atensi dan kesadaran berubah, maka kemampuan navigasi pasien
delirium pun akan terganggu. Observasi dari kejauhan justru dapat memberikan
petunjuk tentang fungsi kognitif pasien. Pasien delirium biasanya berpenampilan
acak-acakan, gelisah, dan berbicara dengan suara keras ketika berada di ruangan
sendiri.

Delirium dapat terjadi selama beberapa jam hingga hari. Pada kasus
ensefalopati subakut dapat terjadi selama beberapa hari hingga mingguan. Perubahan
kognitif dan perilaku pada delirium bersifat fluktuatif dan sesuai siklus diurnal.
Perubahan kemampuan motorik pada delirium dapat dibedakan menjadi dua
subtipe yaitu hiperaktif dan hipoaktif. Akan tetapi, perubahan motorik juga bersifat
fluktuatif sehingga terkadang pasien hiperaktif kemudian berubah menjadi hipoaktif.
Delirium tipe hiperaktif sering terjadi pada pasien yang mengalami intoksikasi obat
dan withdrawal. Dari studi yang ada menunjukkan bahwa delirium tipe hiperaktif
lebih responsif terhadap pengobatan farmakologi daripada tipe hipoaktif.
Gejala psikiatri dan neurobehavioral pada delirium bersifat berubah-ubah/
fluktuatif seperti agitasi, gelisah, ansietas, disforia, apati, withdrawal, halusinasi
maupun delusi. Pada delirium gejala psikiatri yang ada terjadi termasuk fenomena
sekunder dan didapatkan fungsi yang abnormal dari otak.
Walaupun kasus delirium mempunyai prevalensi yang tinggi serta
menyebabkan morbiditas dan mortalitas, delirium sering tidak terdeteksi oleh dokter.
Hal ini disebabkan karena perubahan perilaku pada pasien delirium mirip dengan
proses psikiatri primer. Delirium tipe hipoaktif sering didiagnosis depresi karena
adanya penurunan psikomotor, nafsu makan yang berkurang, dan pasien menjadi
senang menyendiri. Sedangkan gelisah dan ansietas pada pasien dengan penyakit
medis tertentu dianggap respon psikologi yang normal. Hal ini menyebabkan
penegakkan diagnosis dan pemberian tatalaksana tertunda bahkan tidak tepat.
Misalnya, pasien justru mendapatkan terapi antidepresan atau benzodiazepine yang
bersifat deliriogenik.
Halusinasi, ilusi, dan delusi tipe paranoid sering terjadi pada pasien delirium.
Sehingga dokter sering salah menginterpretasikan gejala yang ada sebagai gejala
psikosis. Maka, halusinasi maupun delusi pada lansia dan pasien dengan penyakit
medis tertentu dapat dipertimbangkan sebagai delirium atau demensia hingga dapat
dibuktikan diagnosis pastinya.

Episode delirium dapat berlangsung lebih lama dari yang diperkirakan. Selain
itu, delirium dapat menyebabkan gangguan fungsi kognitif jangka panjang terutama
pada pasien yang telah melewati masa kritis dan kasus sepsis ensefalopati.
7. Tatalaksana
7.1.
Intervensi Non-Farmakologis
Sebuah studi yang dilakukan Inouye et al meneliti protokol multidisiplin dalam
suatu intervensi nonfarmakolois untuk menurunkan insidensi, durasi, dan keparahan
delirium pada 852 pasien lansia yang masuk ke pelayanan kesehatan umum sebuah
rumah sakit akademik. Protokol tersebut terdiri atas intervensi global dan intervensi
khusus untuk pasien dengan faktor risiko spesifik. Intervensi tersebut yaitu mobilisasi
segera, pengurangan paparan bising dan pengaturan jadwal harian untuk mencegah
gangguan tidur, pengenalan dan penatalaksanaan awal dehidrasi, serta bantuan
komunikasi untuk pasien dengan gangguan penglihatan dan pendengaran. Indisensi
delirium pada kelompok intervensi 40% lebih rendah daripada kelompok kontrol.
Durasi delirium pada kelompok intevensi juga lebih rendah secara signifikan pada
kelompok intervensi. Zaubler et al mereplikasi hasil ini dan melaporkan penghematan
$841,000 dalam 9 bulan pada sebuah setting rumah sakit umum. Protokol ini
dipertimbangkan sebagai pelayanan standar dan telah dilaksanakan pada berbagai
institusi di berbagai penjuru negara (Amerika Serikat). Intervensi nonfarmakologis
yang serupa telah didesain dan diimplementasikan oleh Brown-based Geriatric
Medicine Program, dan menjadi dasar dari Close Observation Medical Unit (COMU)
serta protokol pelayanan lansia lain di rumah sakit Rhode Island dan rumah sakit
Miriam (L. McNicoll, komunikasi personal, Juli 2012).
7.2.

Intervensi Farmakologis Terapi Dan Prevensi

Antipsikotik generasi pertama seperti haloperidol merupakan pilihan utama


untuk terapi gejala neurobehaviour pada delirium. Obat ini bekerja melalui blokade
dopaminergik berdasarkan teori bahwa hiperaktivitas dopaminergik dan defisiensi
kolinergik berpengaruh pada onset dan keadaan delirium. Karena itu, inhibitor
kolinesterase juga telah dicoba untuk digunakan, namun menimbulkan outcome yang

beragam. Haloperidol memiliki efek samping hemodinamik yang minimal dan


merupakan terapi yang paling dianjurkan untuk agitasi terkait delirium. Haloperidol
dapat digunakan secara oral, intramuskular (IM), atau intravena (IV), memiliki
window terapi yang panjang, dan dapat dititrasi dalam rentang dosis yang luas mulai
0.5 mg sampai 10 mg perjam jika diperlukan, dengan onset kerja antara 30-60 menit
untuk rute pemberian IM dan IV. Puncak konsentrasi dalam serum didapatkan setelah
2-6 jam setelah pemberian oral. Terdapat sebuah case report yang melaporkan bahwa
pemberian haloperidol 500 mg perhari masih aman dan efektif. Haloperidol yang
diberikan secara IM dan IV sangat berguna pada pasien yang tidak kooperatif dan
pasien dengan penyakit berat di mana absorpsi gastrointestinal tidak berjalan baik.
Beberapa studi melaporkan bahwa pemberian haloperidol berhubungan dengan risiko
extrapyramidal symptom (EPS) yang rendah. Data terbaru menunjukkan bahwa selain
memiliki aktivitas antidopaminergik, haloperidol juga memperbaiki keadaan delirium
dengan mengurangi stres oksidatif dan inflamasi karena bersifat antagonis terhadap
interleukin-1 dan memblokade reseptor -1.
Terdapat beberapa literatur yang mendukung penggunaan antipsikosis generasi
kedua dalam terapi agitasi dan psikosis yang terkait delirium. Antipsikosis generasi
kedua yang digunakan saat ini adalah risperidone, quetiapine, olanzapine,
ziprasidone, dan aripiprazole. Kelebihan antipsikotik generasi kedua dibanding
haloperidol adalah risiko EPS yang relatif rendah, yang relevan pada pasien dengan
sindroma parkinson seperti demensia Lewy bodies dan Parkinsons disease idiopatik.
Quetiapin paling sedikit menyebabkan atau mengeksaserbasi EPS dan merupakan
pilihan utama terapi agitasi dan psikosis pada pasien parkinson. Tidak seperti
haloperidol, tidak ada antipsikosis generasi kedua yang tersedia dalam sediaan IV.
Olanzapine, ziprasidone, dan aripiprazole dapat diberikan dalam bentuk IM lepas
cepat dan diindikasikan ketika rute oral tidak memungkinkan atau haloperidol
dikontraindikasikan. Risperidone dan paliperidone tersedia dalam formulasi IM longacting yang digunakan dalam terapi psikosis kronis, namun tidak diindikasikan untuk
pasien delirium.

Food and Drug Association (FDA) mengeluarkan peringatan black box pada
April 2005 dan Juni 2008 mengenai penggunaan antipsikosis pada lansia. Peringatan
ini terkait dengan bukti meningkatnya kejadian serebrovaskular dan mortalitas pada
studi tentang terapi antipsikosis jangka panjang pada lansia yang merupakan pasien
nursing home. Relevansi hasil penelitian dan peringatan ini dalam penggunaan
antipsikosis jangka pendek pada pasien delirium belum jelas. Karena jumlah pasien
delirium dengan komorbid demensia cukup tinggi, maka peringatan ini perlu
mendapatkan perhatian ketika menimbang risiko dan keuntungan penggunaan
antipsikosis sebagai terapi delirium.
Haloperidol

dan

semua

antipsikosis

generasi

kedua

memiliki

risiko

perpanjangan kompleks QT yang merupakan prediktor utama torsade de pointes


(TdP), sebuah disritmia vertrikular maligna. Efek antipsikosis dan agen terapi lain
pada perpanjangan QT didokumentasikan pada www.torsades.org. Haloperidol dosis
rendah memiliki efek perpanjangan QT yang minimal. Thioridazone, ziprasidone, dan
haloperidol IV dosis tinggi memiliki efek perpanjangan QT yang paling signifikan di
antara berbagai antipsikosis. Walaupun derajat perpanjangan QT dan risiko absolut
TdP dari penggunaan obat ini relatif kecil, sebagian besar guideline memberikan
peringatan dalam penggunaan haloperidol IV pada pasien dengan faktor risiko
perpanjangan QT atau TdP. Absolute risk TdP atas penggunaan haloperidol IV adalah
sekitar 0.27%.
Dexmedetomidine merupakan analgesik, anxiolitik, dan agonis -2 kerja sentral
yang bersifat selektif tinggi dan sedatif, dan telah diteliti penggunaannya pada
prevensi delirium dan agitasi terkait delirium pada pasien ICU. Sebuah uji yang
membandingkan dexmedetomidine dengan benzodiazepine + opioid pada protokol
sedasi ICU telah menunjukkan efikasi, keamanan, dan efek samping yang dapat
ditoleransi. Tidak seperti sebagian besar sedatif yang digunakan di ICU,
dexmedetomidine tidak menyebabkan depresi napas, namun hipotensi dan bradikardi
dapat terjadi pada penggunaan dexmedetomidine dengan infus tetesan cepat.
Berbagai studi telah melaporkan penurunan kebutuhan opiat di ICU dan pasien post-

operative pada penggunaan sedasi dengan dexmedetomidine. Penurunan penggunaan


opioid kemungkinan berkontribusi pada penurunan insidensi delirium pada pasien
yang diterapi dengan dexmedetomidine. Dexmedetomidine juga memiliki aktivitas
kolinergik sedang yang tidak terlalu mempengaruhi siklus tidur-bangun.
Benzodiazepine berpotensi delirionergik. Kecuali pada kasus alkoholisme dan
withdrawal sedatif-hipnotik di mana benzodiazepine merupakan pilihan utama,
golongan ini bukan merupakan terapi first-line pada agitasi terkait delirium.
Penggunaan benzodiazepine adjunctive tepat pada kasus toxidromes dan sindroma
neuroleptik maligna, atau pada delirium dengan komplikasi katatonia atau EPS berat
yang tidak memungkinkan penggunaan antipsikosis.

BAB III
KESIMPULAN
Guideline berbagai penelitian dan para ahli mendukung penggunaaan
antipsikotik untuk penanganan delirium terkait psikosis dan agitasi. Anti psikotik
generasi pertama dan kedua terbukti efektif dan aman bisa digunakan dengan
kombinasi. Intervensi non farmakologi secara signifikan mengurangi insidensi,
durasi, dan keparahan dari delirium. Terdapat bukti yang berkembang bahwa
antipsikotik dan dexmedetomidine efektif dala mencegah delirium pada pasien pasca
bedah dan pasien dengan alat bantu napas.

DAFTAR PUSTAKA
1. Trzepacz PT, Meagher DJ. Delirium. In: Levenson JL, editor. American
Psychiatric Publishing Textbook of Psychosomatic Medicine. Washington, DC:
American Psychiatric Publishing. 2005;91-130.
2. Inouye SK. Delirium in older persons. N Engl J Med. 2006;34:1157-1165.
3. Witlox J, Eurelings LS, deJonghe JF, et al. Delirium in elderly patients and the
risk of postdischarge mortality, institution-alization, and dementia: a metaanalysis. JAMA. 2010;304(4): 443-451.
4. Robinson TN, Raeburn CD, Tran ZV, et al. Postoperative delirium in the elderly:
risk factors and outcomes. Ann Surg. 2009;249:173-178.
5. Siddiqi N, House AO, Holmes JD. Occurrence and outcome of delirium in
medical in-patients: a systematic literature review. Age and Ageing. 2006;35:350364.
6. Gonzalez M, Martinez G, Calderon J, et al. Impact of delirium on short-term
mortality in elderly patients: a prospective cohort study. Psychosomatics.
2009;50(3):234-238.
7. Leslie DL, Zhang Y, Holford TR, et al. Premature death associated with delirium
at 1-year follow-up. Arch Intern Med. 2005;165:1657-1662.
8. Leslie DL, Marcantonio ER, Zhang Y, et al. One-year health care costs associated
with delirium in the elderly population. Arch Intern Med. 2008;168:27-32.
9. Lamar CD, Hurley RA, Taber KH. Sepsis-associated encephalopathy: review of
the neuropsychiatric manifestations and cognitive outcome. J Neuropsychiatry
Clin Neurosci. 2011;23(3): 236-241.
10. Choi SH, Lee H, Chung TS, et al. Neural network functional connectivity during
and after an episode of delirium. Am J Psychiatry. 2012;169:498-507.

11. Maldonado JR. Delirium in the acute care setting: characteristics, diagnosis and
treatment. Crit Care Clin. 2008;24:657-722.
12. Breitbart W, Gibson C, Tremblay A. The delirium experience: delirium recall and
delirium-related distress in hospitalized patients with cancer, their
spouses/caregivers, and their nurses. Psychosomatics. 2002;43:183-194.
13. Iwashyna TJ, Ely EW, Smith DM, et al. Long-term cognitive impairment and
functional disability among survivors of severe sepsis. JAMA.
2010;304(16):1787-1794.
14. Girard TD, Jackson JC, Pandharipande PP, et al. Delirium as a predictor of longterm cognitive impairment in survivors of critical illness. Crit Care Med.
2010;38(7):1513-1520.
15. Barr J, Gilles L, Puntillo K, et al. Clinical practice guidelines for the management
of pain, agitation, and delirium in adult patients in the intensive care unit. Crit
Care Med. 2013;41: 263-306.
16. Ely EW, Shintani A, Truman B, et al. Delirium as a predictor of mortality in
mechanically ventilated patients in the intensive care unit. JAMA.
2004;291(14):1753-1762.
17. Minden SL, Carbone LA, Barsky A, et al. Predictors and outcomes of delirium.
Gen Hosp Psychiatry. 2005;27:209-214.
18. Pandharipande PP, Girard TD, Jackson JC, et al. Long-term cognitive impairment
after critical illness. N Engl J Med. 2013;369:1306-1316.
19. Trzepacz P, Breitbart W, Franklin J, et al. Practice guideline for the treatment of
patients with delirium. Am J Psychiatry. 1999;156(suppl):1-38.
20. Prakanrattana U, Prapaitrakool S. Efficacy of risperidone for prevention of
postoperative delirium in cardiac surgery. Anaesth Intensive Care. 2007;35:714719.
21. Larsen KA, Kelly SE, Stern TA, et al. Administration of olanzapine to prevent
postoperative delirium in elderly joint-replacement patients: a randomized,
controlled trial. Psychosomatics. 2010;51:409-418.
22. Teslyar P, Stock VM, Wilk CM, et al. Prophylaxis with antipsychotic medication
reduces the risk of post-operative delirium in elderly patients: a meta-analysis.
Psychosomatics. 2013;54: 124-131.
23. Heymann A, Radtke F, Schiemann A, et al. Delayed treatment of delirium
increases mortality rate in intensive care unit patients. The Journal of
International Medical Research. 2010;38: 1584-1595.
24. Franco JG, Trzepacz PT, Meagher DJ, et al. Three core domains of delirium
validated using exploratory and confirmatory factor analyses. Psychosomatics.
2013;54(3):227-238.
25. Misak C. ICU psychosis and patient autonomy: some thoughts from the inside.
Journal of Medicine and Philosophy. 2005;30:411-430.

26. Jones C, Griffiths RD, Humphris G, et al. Memory, delusions, and the
development of acute posttraumatic stress disorder-related symptoms after
intensive care. Crit Care Med. 2001;29:573-580.
27. Fong TG, Jones RN, Shi P, et al. Delirium accelerates cognitive decline in
Alzheimer disease. Neurology. 2009;72:1570-1575.
28. Raison CL, Demetrashvili M, Capuron L, et al. Neuropsychiatric effects of
interferon-alpha: recognition and management. CNS Drugs. 2005;19(2):105-123.
29. Dantzer R, OConnor JC, Freund GG, et al. From inflammation to sickness and
depression: when the immune system subjugates the brain. Nat Rev Neurosci.
2008;9:46-57.
30. Sutter R, Steven RD, Kaplan PW. Continuous electroencephalographic
monitoring in critically ill patients: indications, limitations, and strategies. Crit
Care Med. 2013;41:1124-1132.
31. American Psychiatric Association: Practice guideline for the treatment of patients
with delirium. Am J Psychiatry. 1999;156(5 suppl):120.
32. Barr J, Fraser GL, Puntillo K, et al. Clinical practice guidelines for the
management of pain, agitation, and delirium in adult patients in the intensive care
unit. Crit Care Med. 2013;41(1): 263-306.
33. Inouye SK, Bogardus ST, Charpentier PA, et al. A multicomponent intervention to
prevent delirium in hospitalized older patients. N Engl J Med. 1999;340(9):66976.
34. Zaubler TS, Murphy K, Rizzuto L, et al. Quality improvement and cost savings
with multicomponent delirium interventions: replication of the Hospital Elder
Life Program in a community hospital. Psychosomatics. 2013;54(3):219-26.
35. Maldonado JR. Delirium in the acute care setting: characteristics, diagnosis and
treatment. Crit Care Clin. 2008;24(4):657-722, vii.
36. Bledowski J, Trutia A. A review of pharmacologic management and prevention
strategies for delirium in the intensive care unit. Psychosomatics. 2012;53(3):20311.
37. Teslyar P, Stock VM, Wilk CM, Camsari U, Ehrenreich MJ, Himelhoch S.
Prophylaxis with antipsychotic medication reduces the risk of post-operative
delirium in elderly patients: a meta-analysis. Psychosomatics. 2013;54(2):124-31.
38. Lonergan E, Britton AM, Luxenberg J, Wyller T. Antipsychotics for delirium.
Cochrane Database Syst Rev. 2007;(2):CD005594.
39. Devlin JW, Skrobik Y. Antipsychotics for the prevention and treatment of
delirium in the intensive care unit: what is their role? Harv Rev Psychiatry.
2011;19(2):59-67.
40. Han CS, Kim YK. A double-blind trial of risperidone and haloperidol for the
treatment of delirium. Psychosomatics. 2004;45(4):297-301.

41. Prakanrattana U, Prapaitrakool S. Efficacy of risperidone for prevention of


postoperative delirium in cardiac surgery. Anaesth Intensive Care.
2007;35(5):714-9.
42. Devlin JW, Roberts RJ, Fong JJ, et al. Efficacy and safety of quetiapine in
critically ill patients with delirium: a prospective, multicenter, randomized,
double-blind, placebo-controlled pilot study. Crit Care Med. 2010;38(2):419-27.
43. Larsen KA, Kelly SE, Stern TA, et al. Administration of olanzapine to prevent
postoperative delirium in elderly joint-replacement patients: a randomized,
controlled trial. Psychosomatics. 2010;51(5):409-18.
44. http://www.fda.gov/Drugs/DrugSafety/PostmarketDrugSafetyInformationforPatie
ntsandProviders/ucm124830.htm. Accessed November 12, 2015.
45. Reade MC, OSullivan K, Bates S, Goldsmith D, Ainslie WR, Bellomo R.
Dexmedetomidine vs. haloperidol in delirious, agitated, intubated patients: a
randomized open-label trial. Crit Care. 2009;13(3):R75.
46. Pandharipande PP, Pun BT, Herr DL, et al. Effect of sedation with
dexmedetomidine vs lorazepam on acute brain dysfunction in mechanically
ventilated patients: the MENDS randomized controlled trial. JAMA.
2007;298(22):2644-53.
47. Maldonado JR, Wysong A, Van der starre PJ, Block T, Miller C, Reitz BA.
Dexmedetomidine and the reduction of postoperative delirium after cardiac
surgery. Psychosomatics. 2009;50(3): 206-17.
48. Shehabi Y, Grant P, Wolfenden H, et al. Prevalence of delirium with
dexmedetomidine compared with morphine based therapy after cardiac surgery: a
randomized controlled trial (DEXmedetomidine COmpared to MorphineDEXCOM Study). Anesthesiology. 2009;111(5):1075-84.
49. Dasta JF, Kane-Gill SL, Pencina M, et al. A cost-minimization analysis of
dexmedetomidine compared with midazolam for long-term sedation in the
intensive care unit. Crit Care Med. 2010;38(2):497-503.
50. Mayo-Smith MF, Beecher LH, Fischer TL, et al. Management of alcohol
withdrawal delirium. An evidence-based practice guideline. Arch Intern Med.
2004;164(13):1405-12.
51. Misak CJ. The critical care experience: a patients view. Am J Respir Crit Care
Med. 2004;170(4):3579.
52. Jones C, Griffiths RD, Humphris G, Skirrow PM. Memory, delusions, and the
development of acute posttraumatic stress disorder-related symptoms after
intensive care. Crit Care Med. 2001;29(3):573-80.
53. Girard TD, Pandharipande PP, Carson SS, et al. Feasibility, efficacy, and safety of
antipsychotics for intensive care unit delirium: the MIND randomized, placebocontrolled trial. Crit Care Med. 2010;38(2):428-37.

54. Page VJ, Ely EW, Gates S, et al. Effect of intravenous haloperidol on the duration
of delirium and coma in critically ill patients (Hope-ICU): a randomised, doubleblind, placebo-controlled trial. Lancet Respir Med. 2013;1(7):515-23.
55. van Eijk MM, Roes KC, Honing ML, et al. Effect of rivastigmine as an adjunct to
usual care with haloperidol on duration of delirium and mortality in critically ill
patients: a multicentre, double blind, placebo-controlled randomised trial. Lancet.
2010;376 (9755):1829-37.
56. Kalisvaart KJ, De jonghe JF, Bogaards MJ, et al. Haloperidol prophylaxis for
elderly hip-surgery patients at risk for delirium: a randomized placebo-controlled
study. J Am Geriatr Soc. 2005;53(10):1658-66.
57. Wang W, Li HL, Wang DX, et al. Haloperidol prophylaxis decreases delirium
incidence in elderly patients after noncardiac surgery: a randomized controlled
trial*. Crit Care Med. 2012;40(3):731-9.
58. Hudetz JA, Patterson KM, Iqbal Z, et al. Ketamine attenuates delirium after
cardiac surgery with cardiopulmonary bypass. J Cardiothorac Vasc Anesth.
2009;23(5):651-7.

Anda mungkin juga menyukai