Anda di halaman 1dari 5

2.

7 Penegakan Diagnosa1
Epilepsi dapat ditegakkan setelah pasien mengalami dua atau lebih kejang yang tidak dipicu.
Diagnosis pasti dapat ditegakkan hanya jika kejang terjadi selama perekaman EEG atau jika
muatan listrik dapat dihubungkan dengan tanda dan gejala pasien. Oleh karena itu, diagnosis
kejang tetap yang paling utama. Diagnosis epilepsi merupakan masalah tersendiri karena
membuat diagnosis epilepsi secara rutin memerlukan pengetahuan klinis dan keterampilan yang
khusus. Pada kebanyakan pasien epilepsi, diagnosis dapat dibuat dengan mengetahui secara
lengkap riwayat penyakit, pemeriksaan fisik dan neurologi, pemeriksaan elektroensefalografi,
dan pencitraan otak.
1. Anamnesis
Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci, dan menyeluruh karena
pemeriksa hampir tidak pernah menyaksikan serangan yang dialami penderita.
Anamnesis dapat berupa autoanamnesis maupun aloanamnesis, meliputi:
a. Pola atau bentuk serangan
b. Lama serangan
c. Gejala sebelum, selama, dan sesudah serangan
d. Frekuensi serangan
e. Faktor pencetus
f. Ada tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang
g.Usia saat serangan pertama
h. Riwayat kehamilan, persalinan, dan perkembangan
i. Riwayat penyakit, penyebab, dan terapi sebelumnya
j. Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga
2. Pemeriksaan fisik dan neurologi
Melihat adanya tanda-tanda infeksi, seperti demam, infeksi telinga, tanda
meningeal, atau bukti adanya trauma kepala. Pemeriksaan fisik harus menepis sebabsebab terjadinya serangan dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai
pegangan. Pada anak-anak, pemeriksa harus memperhatikan adanya keterlambatan
perkembangan, organomegali, perbedaan ukuran antara anggota tubuh yang dapat
menunjukkan awal gangguan pertumubuhan otak unilateral. Pemeriksaan neurologis
lengkap dan rinci adalah penting, khususnya untuk mencari tanda-tanda fokal atau lateral.
3. Pemeriksaan penunjang
a. Elektroensefalografi (EEG)

Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan
pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk menegakkan diagnosis
epilepsi dan tipe kejang lainnya yang tepat dan bahkan sindrom epilepsi. EEG juga dapat
membantu pemilihan obat anti epilepsi dan prediksi prognosis pasien. Adanya kelainan
fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di otak, sedangkan
adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik
atau metabolik. Pemeriksaan EEG rutin sebaiknya dilakukan perekaman pada waktu
sadar dalam keadaan istirahat dan pada waktu tidur. Gambaran EEG pasien epilepsi
menunjukkan gambaran epileptiform, misalnya gelombang tajam (spike), paku-ombak,
paku majemuk, dan gelombang lambat yang timbul secara paroksismal.
b. Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah pencitraan otak (neuroimaging) bertujuan
untuk melihat struktur otak dengan melengkapi data EEG. Pada pencitraan struktural, MRI
merupakan pilihan utama, lebih unggul dibandingkan CT scan, karena MRI dapat
mendeteksi dan menggambarkan lesi epileptogenik. Pencitraan fungsional seperti Single
Photon Emission Computerised Tomography (SPECT), Positron Emission Tomography
(PET), dan MRI fungsional digunakan lebih lanjut untuk menentukan lokasi lesi
epileptogenik sebelum pembedahan jika pencitraan struktural meragukan. MRI fungsional
juga dapat membantu menentukan lokasi area fungsional spesifik sebelum pembedahan

2.8 Diagnosa Banding1


1. Bangkitan Psychogenik
2. Gerak lnvolunter (Tics, headnodding, paroxysmalchoreoathethosisl dystonia, benign sleep
myoclonus, paroxysmal torticolis, startle response, jitterness, dll.)
3. Hilangnya tonus atau kesadaran (sinkop, drop attacks, TIA, TGA, narkolepsi, attention
deficit)

4. Gangguan respirasi (apnea, breath holding, hiperventilasi)


5. Gangguan perilaku (night terrors, sleepwalking, nightmares, confusion, sindroma psikotik
akut)
6. Gangguan persepsi (vertigo, nyeri kepala, nyeri abdomen)
7. Keadaan episbdik dari penyakit tertentu (tetralogy speels, hydrocephalic spells, cardiac
arrhythmia, hipoglikemi, hipokalsemi, periodic paralysis, migren, dll)

2.9 Penatalaksanaan2
Penatalaksanaan dalam epilepsi, secara umum ada 2 hal yaitu :
1. Tatalaksana fase akut (saat kejang)
Tujuan pengelolaan pada fase akut adalah mempertahankan oksigenasi otak yang
adekuat, mengakhiri kejang sesegera mungkin, mencegah kejang berulang, dan mencari
faktor penyebab. Serangan kejang umumnya berlangsung singkat dan berhenti sendiri.
Pengelolaan pertama untuk serangan kejang dapat diberikan diazepam per rektal dengan
dosis 5 mg bila berat badan anak < 10 kg atau 10 mg bila berat badan anak > 10 kg. Jika
kejang masih belum berhenti, dapat diulang setelah selang waktu 5 menit dengan dosis
dan obat yang sama. Jika setelah dua kali pemberian diazepam per rektal masih belum
berhenti, maka penderita dianjurkan untuk dibawa ke rumah sakit.
2. Pengobatan epilepsi
Tujuan utama pengobatan epilepsi adalah membuat penderita epilepsi terbebas
dari serangan epilepsinya. Serangan kejang yang berlangsung mengakibatkan kerusakan
sampai kematian sejumlah sel-sel otak. Apabila kejang terjadi terus menerus maka
kerusakan sel-sel otak akan semakin meluas dan mengakibatkan menurunnya
kemampuan intelegensi penderita. Karena itu, upaya terbaik untuk mengatasi kejang
harus dilakukan terapi sedini dan seagresif mungkin. Pengobatan epilepsi dikatakan
berhasil dan penderita dinyatakan sembuh apabila serangan epilepsi dapat dicegah atau
dikontrol dengan obatobatan sampai pasien tersebut 2 tahun bebas kejang. Secara umum
ada tiga terapi epilepsi, yaitu :

a. Terapi medikamentosa
Merupakan terapi lini pertama yang dipilih dalam menangani penderita
epilepsi yang baru terdiagnosa. Jenis obat anti epilepsi (OAE) baku yang biasa
diberikan di Indonesia adalah obat golongan fenitoin, karbamazepin,
fenobarbital, dan asam valproat. Obat-obat tersebut harus diminum secara
teratur agar dapat mencegah serangan epilepsi secara efektif. Walaupun
serangan epilepsi sudah teratasi, penggunaan OAE harus tetap diteruskan
kecuali ditemukan tanda-tanda efek samping yang berat maupun tanda-tanda
keracunan obat. Prinsip pemberian obat dimulai dengan obat tunggal dan
menggunakan dosis terendah yang dapat mengatasi kejang.29
b. Terapi bedah
Merupakan tindakan operasi yang dilakukan dengan memotong bagian
yang menjadi fokus infeksi yaitu jaringan otak 24 yang menjadi sumber
serangan. Diindikasikan terutama untuk penderita epilepsi yang kebal
terhadap pengobatan. Berikut ini merupakan jenis bedah epilepsi berdasarkan
letak fokus infeksi :30
a. Lobektomi temporal
b. Eksisi korteks ekstratemporal
c. Hemisferektomi
d. Callostomi
c. Terapi nutrisi
Pemberian terapi nutrisi dapat diberikan pada anak dengan kejang berat
yang kurang dapat dikendalikan dengan obat antikonvulsan dan dinilai dapat
mengurangi toksisitas dari obat. Terapi nutrisi berupa diet ketogenik
dianjurkan pada anak penderita epilepsi. Walaupun mekanisme kerja diet
ketogenik dalam menghambat kejang masih belum diketahui secara pasti,
tetapi ketosis yang stabil dan menetap dapat mengendalikan dan mengontrol
terjadinya kejang. Hasil terbaik dijumpai pada anak prasekolah karena anakanak mendapat pengawasan yang lebih ketat dari orang tua di mana efektivitas
diet berkaitan dengan derajat kepatuhan. Kebutuhan makanan yang diberikan
adalah makanan tinggi lemak. Rasio kebutuhan berat lemak terhadap
kombinasi karbohidrat dan protein adalah 4:1. Kebutuhan kalori harian
diperkirakan sebesar 75 80 kkal/kg. Untuk pengendalian 25 kejang yang
optimal tetap diperlukan kombinasi diet dan obat antiepilepsi

2.10 Prognosis3
Prognosis epilepsi tergantung pada beberapa hal, diantaranya jenis epilepsi, faktor
penyebab, saat pengobatan dimulai, dan ketaatan minum obat. Prognosis epilepsi cukup
menggembirakan. Pada 50-70% penderita epilepsi serangan dapat dicegah dengan obat-obat,
sedangkan sekitar 50% pada suatu waktu akan dapat berhenti minum obat.
Prognosis epilepsi dihubungkan dengan terjadinya remisi serangan baik dengan
pengobatan maupun status psikososial, dan status neurologis penderita. Batasan remisi epilepsi
yang sering dipakai adalah 2 tahun bebas serangan (kejang) dengan terapi. Pada pasien yang
telah mengalami remisi 2 tahun harus dipertimbangkan untuk penurunan dosis dan penghentian
obat secara berkala.Batasan lain yang dipakai untuk menggambarkan remisi adalah bebas
serangan (remisi terminal) minimal 6 bulan dalam terapi OAE. Setelah tercapai bebas serangan
selama >6 bulan atau >2 tahun dengan terapi, maka perlu dipikirkan untuk menurunkan dosis
secara berkala sampai kemudian obat dihentikan, perlu mempertimbangkan risiko terjadinya
relaps setelah penghentian obat.
Berbagai faktor prediktor yang meningkatkan risiko terjadinya relaps adalah usia awitan
pada remaja / dewasa, jenis epilepsi sekunder, dan adanya gambaran abnormalitas EEG.
Berbagai penelitian memperlihatkan bahwa penderita epilepsi memiliki risiko kematian yang
lebih tinggi dibanding populasi normal. Risiko kematian yang paling tinggi adalah pada
penderita epilepsi yang disertai defisit neurologi akibat penyakit kongenital. Kematian pada
penderita epilepsi anak-anak paling sering disebabkan oleh penyakit susunan saraf pusat yang
mendasari timbulnya bangkitan epilepsi

Anda mungkin juga menyukai