kesadaran
karena
induksi anestesi
berhubungan dengan
hilangnya
pengendalian jalan nafas dan refleks-refleks proteksi jalan nafas. LMA telah digunakan secara
luas untuk mengisi celah antara intubasi ET dan pemakaian face mask. LMA di insersi secara
blind ke dalam pharing dan membentuk suatu sekat bertekanan rendah sekeliling pintu masuk
laring ( 2 )
Dibawah ini tabel 2 keuntungan dan kerugian pemakaian LMA jika dibandingkan dengan
ventilasi facemask atau intubasi ET ( 3 ) :
. Gambar 1
Dibawah ini tabel 3 dengan berbagai ukuran LMA dengan volume cuff yang berbeda yang
tersedia untuk pasien-pasien ukuran berbeda ( 3 )
Classic LMA : Merupakan suatu peralatan yang digunakan pada airway management
yang dapat digunakan ulang dan digunakan sebagai alternatif baik itu untuk ventilasi
facemask maupun intubasi ET
2.
Fastrach LMA : LMA Fastrach terdiri dari sutu tube stainless steel yang melengkung
( diameter internal 13 mm ) yang dilapisi dengan silicone, connector 15 mm, handle, cuff,
dan suatu batang pengangkat epiglotis. Perbedaan utama antara LMA clasic dan LMA
Fastrach yaitu pada tube baja, handle dan batang pengangkat epiglottic ( 4 )
3.
4.
Flexible LMA : Bentuk dan ukuran mask nya hampir menyerupai cLMA, dengan airway
tube terdapat gulungan kawat yang menyebabkan fleksibilitasnya meningkat yang
memungkinkan posisi proximal end menjauhi lapang bedah tanpa menyebabkan
pergeseran mask. Berguna pada pembedahan kepala dan leher, maxillo facial dan THT.
Pada suatu penelitian, ProSeal LMA juga dapat digunakan dalam jangka waktu panjang
( 40 jam ) tanpa menyebabkan tekanan yang berlebihan dan kerusakan mukosa hypopharing.
Laporan terakhir, satu kasus injury nervus lingual telah dilaporkan saat pemakaian ProSeal LMA
( 6 )
. Sementara juga dilaporkan terjadi hypoglossal palsies oleh karena pemakaian clasic LMA
( 6,7 )
. Meskipun begitu komplikasi tadi sangat jarang terjadi, frekwensi injury pada nervus
cranialis dapat dikurangi dengan cara menghindari trauma saat dilakukan insersi, menggunakan
ukuran yang sesuai dan meminimalisir volume cuff
( 6 )
jalan nafas kurang dari 20 cmH2O selama inflasi paru dan untuk menggunakan volume tidal
yang kecil ( 6 10 ml/kgBB ).
Ketika ProSeal LMA digunakan untuk periode memanjang, fungsi respirasi harus
dimonitor secara ketat dan tekanan intracuff harus diperiksa secara periodik dan dipertahankan
lebih rendah dari 60 cmH2O. Akhirnya resiko terjadinya inflasi lambung harus secara aktif
disingkirkan dengan mendengarkan daerah leher dan abdomen dengan menggunakan stetoskop ( 8
)
4.2. Kontraindikasi ( 4 ) :
a. Pasien-pasien dengan resiko aspirasi isi lambung ( penggunaan pada emergency adalah
pengecualian ).
b. Pasien-pasien dengan penurunan compliance sistem pernafasan, karena seal yang
bertekanan rendah pada cuff LMA akan mengalami kebocoran pada tekanan inspirasi
tinggi dan akan terjadi pengembangan lambung. Tekanan inspirasi puncak harus dijaga
kurang dari 20 cm H2O untuk meminimalisir kebocoron cuff dan pengembangan
lambung.
c. Pasien-pasien yang membutuhkan dukungan ventilasi mekanik jangka waktu lama.
d. Pasien-pasien dengan reflex jalan nafas atas yang intack karena insersi dapat memicu
terjadinya laryngospasme.
lokal bersifat topikal ke oropharing. Untuk memperbaiki insersi mask, sebelum induksi dapat
diberikan opioid beronset cepat ( seperti fentanyl atau alfentanyl ). Jika diperlukan, cLMA dapat
di insersi dibawah anestesi topikal.
Insersi dilakukan dengan posisi seperti akan dilakukan laryngoscopy ( Sniffing Position )
dan akan lebih mudah jika dilakukan jaw thrust oleh asisten selama dilakukan insersi. Cuff
cLMA harus secara penuh di deflasi dan permukaan posterior diberikan lubrikasi dengan
lubrikasi berbasis air sebelum dilakukan insersi.
Meskipun metode standar meliputi deflasi total cuff, beberapa klinisi lebih menyukai
insersi LMA dengan cuff setengah mengembang. Tehnik ini akan menurunkan resiko terjadinya
nyeri tenggorokan dan perdarahan mukosa pharing ( 9 )
Dokter anestesi berdiri dibelakang pasien yang berbaring supine dengan satu tangan menstabilisasi kepala dan leher pasien, sementara tangan yang lain memegang cLMA. Tindakan ini
terbaik dilakukan dengan cara menaruh tangan dibawah occiput pasien dan dilakukan ekstensi
ringan pada tulang belakang leher bagian atas. cLMA dipegang seperti memegang pensil pada
perbatasan mask dan tube. Rute insersi cLMA harus menyerupai rute masuknya makanan.
Selama insersi, cLMA dimajukan ke arah posterior sepanjang palatum durum kemudian
dilanjutkan mengikuti aspek posterior-superior dari jalan nafas. Saat cLMA berhenti selama
insersi, ujungnya telah mencapai cricopharyngeus ( sfingter esofagus bagian atas ) dan harusnya
sudah berada pada posisi yang tepat. Insersi harus dilakukan dengan satu gerakan yang lembut
untuk meyakinkan titik akhir ter-identifikasi ( 5 )
Cuff harus di inflasi sebelum dilakukan koneksi dengan sirkuit pernafasan. Lima tes sederhana
dapat dilakukan untuk meyakinkan ketepatan posisi cLMA ( 5 ):
1. End point yang jelas dirasakan selama insersi.
2. Posisi cLMA menjadi naik keluar sedikit dari mulut saat cuff di inflasi.
3. Leher bagian depan tampak mengelembung sedikit selama cuff di inflasi.
4. Garis hitam di belakang cLMA tetap digaris tengah.
5. Cuff cLMA tidak tampak dimulut.
Jumlah udara yang direkomendasikan untuk inflasi cuff tergantung dari pembuat LMA
yang bervariasi sesuai dengan ukuran cLMA. Penting untuk dicatat bahwa volume yang
direkomendasikan adalah volume yang maksimum.Biasanya tidak lebih dari setengah volume ini
yang dibutuhkan. Volume ini dibutuhkan untuk mencapai sekat bertekanan rendah dengan jalan
nafas. Tekanan didalam cuff tidak boleh melebihi 60 cmH2O. Inflasi yang berlebihan akan
meningkatkan resiko komplikasi pharyngolaryngeal, termasuk cedera syaraf ( glossopharyngeal,
hypoglossal, lingual dan laryngeal recuren ) dan biasanya menyebabkan obstruksi jalan nafas ( 5 )
Setelah cLMA di insersikan, pergerakan kepala dan leher akan membuat perbedaan kecil
terhadap posisi cLMA dan dapat menyebabkan perubahan pada tekanan intra cuff dan sekat jalan
nafas. N2O jika digunakan akan berdifusi kedalam cuff cLMA sampai tekanan partial intracuff
sama dengan tekanan campuran gas anestesi. Hal ini akan menyebabkan peningkatan tekanan
didalam cuff pada 30 menit pertama sejak pemberian N2O. Tekanan cuff yang berlebihan dapat
dihindari dengan mem-palpasi secara intermiten pada pilot ballon ( 5 )
Setelah insersi, patensi jalan nafas harus di test dengan cara mem-bagging dengan
lembut. Yang perlu diingat, cuff cLMA menghasilkan sekat bertekanan rendah sekitar laryng dan
tekanan jalan nafas diatas sekat ini akan menyebabkan kebocoran gas anestesi dari jalan nafas.
Dengan lembut, ventilasi tangan akan menyebabkan naiknya dinding dada tanpa adanya suara
ribut pada jalan nafas atau kebocoran udara yang dapat terdengar. Saturasi oksigen harus stabil.
Jika kantung reservoir tidak terisi ulang kembali seperti normalnya, ini mengindikasikan adanya
kebocoran yang besar atau obstruksi jalan nafas yang partial, jika kedua hal tadi terjadi maka
cLMA harus dipindahkan dan di insersi ulang.
Pemakaian LMA sendiri dapat juga menimbulkan obstruksi
( 10 )
suatu algoritme untuk memfasilitasi diagnosis dan penatalaksanaan obstruksi jalan nafas dengan
LMA :
Gambar 5. Algoritma LMA
cLMA harus diamankan dengan pita perekat untuk mencegah terjadinya migrasi keluar.
Saat dihubungkan dengan sirkuit anestesi, yakinkan berat sirkuit tadi tidak menarik cLMA yang
dapat menyebabkan pergeseran.
Sebelum LMA difiksasi dengan plaster, sangat penting mengecek dengan capnograf,
auskultasi, dan melihat gerakan udara bahwa cuf telah pada posisi yang tepat dan tidak
menimbulkan obstruksi dari kesalahan tempat menurun pada epiglotis. Karena keterbatasan
kemampuan LMA untuk menutupi laring dan penggunaan elektif alat ini di kontraindikasikan
dengan beberapa kondisi dengan peningkatan resiko aspirasi. Pada pasien tanpa faktor
predisposisi, resiko regurgitasi faring rendah.
jalan nafas selama pergerakan. Saat pengembalian posisi telah dilakukan, sambungkan kembali
ke sirkuit anestesi dan periksa ulang jalan nafas ( 5 )
13
dimana insidensi
ini mirip dengan kisaran yang pernah dilaporkan yaitu antara 21,4 % - 30 % ( Wakeling et al ),
28,5 % ( Dingley et al ) dan sampai 42 % ( 10 )
Clasic LMA mempunyai insidensi kejadian batuk dan komplikasi jalan nafas yang lebih
kecil dibandingkan dengan ET
( 10)
( 11,12 )
, sehingga jika
dilakukan ventilasi kendali pada paru, akan menimbulkan masalah. Peningkatan tekanan pada
jalan nafas akan berhubungan dengan meningkatnya kebocoran gas dan inflasi lambung
( 11 )
Lebih lanjut lagi, clasic LMA tidak memberikan perlindungan pada kasus regurgitasi isi
lambung. Proseal LMA berhubungan dengan kurangnya stimulasi respirasi dibandingkan ET
selama situasi emergensi pembiusan ( 12,13 )
ProSeal LMA juga mempunyai keuntungan dibandingkan clasic LMA selama ventilasi
kendali ; sekat pada ProSeal LMA meningkat sampai dengan 50 % dibandingkan clasic LMA
sehingga memperbaiki ventilasi dengan mengurangi kebocoran dari jalan nafas
( 10 )
. Sebagai
tambahan drain tube pada ProSeal LMA akan meminimalisir inflasi lambung dan dapat menjadi
rute untuk regurgitasi isi lambung jika hal ini terjadi ( 10 )
Kesimpulan :
1. Seorang dokter anestesi adalah orang yang paling mengerti dalam penatalaksanaan jalan
nafas. Kesulitan terbesar dari seorang dokter anestesi adalah bila jalan nafas tidak dapat
diamankan.
2. Laringeal mask airway ( LMA ) adalah alat supra glotis airway, didesain untuk
memberikan dan menjamin tertutupnya bagian dalam laring untuk ventilasi spontan dan
memungkinkan ventilasi kendali pada mode level (< 15 cm H2O) tekanan positif
3. LMA dapat dibagi menjadi 3 : Clasic LMA, Fastrach LMA, Proseal LMA, Flexible
LMA dengan spesifikasinya masing-masing.
4. Pemasangan LMA tetap membutuhkan pemilihan kasus yang selektif. Dengan
memperhatikan indikasi dan kontraindikasi.
5. Untuk insersi LMA membutuhkan kedalaman anestesi yang adekuat
6. Diperlukan suatu optimalisasi dalam hal ketepatan penempatan.
7. Digunakan ventilasi bertekanan rendah setelah dilakukan insersi dan pasien dapat di
ektubasi dalam keadaan sadar penuh.
-oOo-
DAFTAR PUSTAKA
1. Thomas J Gal. Airway Management in Millers Anesthesia, Chapter 42, . Elsivier : 2005 :
page 1617.
2. Verghese C, Brimacombe JR. Survey of Laryngeal mask airway usage in 11910 patients :
safety and efficacy for conventional and nonconventional usage. Anesth Analg 1996 ; 82 :
129 133
3. Edward Morgan et al. Clinical Anesthesiology. Fourth Edition. McGraw-Hill Companies.
2006 : 98.
4. Peter F Dunn. Clinical Anesthesia Procedures of the Massachusetts General Hospital.
Lippincot Williams & Wilkins. 2007 : 213 -217
5. Tim Cook, Ben Walton. The Laryngeal Mask Airway. In : Update in Anaesthesia : 32 - 42
6. Cook TM, Lee G, Nolan JP. The ProSeal laryngeal mask airway ; a review of the
literature. Can j Anesth 2005 ; 52 : 739 760
7. Brimacombe J, Clarke G, Keller C. Lingual nerve injury associated with the ProSeal
laryngeal mask airway : a case report and review of the literature. Br J Anaesth 2005 ; 95
: 420 423
8. Brimacombe J, Keller C, Kurian S, Myles J. Reliability of epigastric auscultation to
detect gastric insufflation. Br J Anaesth 2002 ; 88 ( 1 ) : 127 129
9. Turan et al. Comparison of the laryngeal mask ( LMA ) and laryngeal tube ( LT ) with the
new perilaryngeal airway ( CobraPLA ) in short surgical procedures. EJA 2006 ; 23 :
234 238
10. Brimacombe J. The advantage of the LMA over the tracheal tube or face mask : a meta
analysis. Can J Anaest 1995 ; 42 : 1017 1023
11. Devitt JH, Wenstone R, Noel AG, ODonnell MP. The laryngeal mask airway and
positive-pressure ventilation. Anesthesiology 1994 ; 80 : 550 555
12. El-Ganzouri A, Avramov MN, Budac S, Moric M, Tuman KJ. Proseal laryngeal mask
airway versus endotracheal tube : ease of insertion, hemodynamic response and
emergence characteristic. Anesthesiology 2003 ; 99 : A571
13. Laxton CH, Kipling R. Lingual nerve paralysis following the use of the laryngeal mask
airway. Anaesthesia 1996 ; 51 ( 9 ) : 869 870