Crack Tip Opening Displacement SBG Alternatif Indikator K
Crack Tip Opening Displacement SBG Alternatif Indikator K
Abstract
Top-down cracking (TDC) is crack initiated from top layer of wearing course. One of its characteristics is that
after TDC appears, the growth of TDC will be temporarily stopped, prior to ultimately extend to the bottom of
asphalt layer. The characteristic is similar with that of ductile fracture. Crack tip opening displacement (CTOD)
can be used to indicate delaying of ductile crack extension. The growth of ductile crack is slower as CTOD
increases. The present study aims to calculate CTOD of asphalt mixture and discusses the effect of aggregate
gradation on CTOD. Six types of aggregate gradations were prepared. CTOD were indirectly determined by
notched semi circular bending test. CTOD were obtained being 0.25 mm-1.55 mm (for specimens having short
notch depth), and 0.22 mm-3.35 mm (for specimens having long notch depth). As coarse aggregates (CA) ratio
increases, interlocking of coarse aggregates decreases. CTOD decreases with increasing CA ratio.
Kata-kata kunci: top-down cracking, retak liat, CTOD, lentur, rasio coarse aggregate
1 PENDAHULUAN
Retak lapisan aspal dapat berupa bottom-up cracking (BUC) atau top-down cracking
(TDC). Lapisan aspal yang mengalami retak merupakan celah masuknya air hujan ke
struktur jalan dan kemudian terperangkap di dalamnya. Air merusak ikatan butiran agregat
dan aspal. Akibat melemahnya ikatan agregat dan antara aspal, cepat atau lambat, butiranbutiran agregat mulai terlepas dan meninggalkan bekas lubang di permukaan lapisan aspal.
Keberadaan lubang-lubang tersebut menurunkan kualitas pelayanan, atau bahkan dapat
membahayakan para pengguna jalan tersebut.
BUC adalah retak yang bermula dari sisi bawah lapisan aspal. Menurut teori multi-lapis
elastis, regangan tarik maksimum terjadi pada sisi bawah lapisan aspal. Jika regangan tarik
maksimum melebihi kapasitas regangan tarik lapisan aspal, maka terjadi BUC. Untuk
mencegah BUC, para ahli jalan menyarankan konsep perpetual pavement. Menurut konsep ini,
ketebalan lapisan aspal harus memadai, sehingga regangan maksimum pada sisi bawah
lapisan aspal akibat beban lalulintas adalah 70 micro strain. Nilai regangan tersebut
merupakan endurance limit campuran beraspal (Carpenter dan Shen, 2006).
TDC adalah retak yang bermula dari permukaan lapisan aspal. Zamhari dkk. (1997)
melaporkan bahwa sebagian besar kasus-kasus retak lapisan aspal di Indonesia justru
termasuk tipe TDC, bukan BUC. Sayangnya, spesifikasi jalan di Indonesia tidak mengatur
metode penilaian ketahanan campuran beraspal terhadap TDC. Penyebab pasti TDC belum
disepakati oleh para ahli jalan, namun diduga berkaitan dengan penuaan aspal (ageing), serta
tegangan tarik dan atau tegangan geser pada permukaan lapis aspal akibat ban kendaraan berat
jenis radial. Oleh karena penyebabnya belum diketahui secara pasti, maka dapat dimaklumi
jika metode evaluasi TDC, sejauh yang penulis ketahui, pun belum disepakati. Di sisi lain,
lalulintas kendaraan berat pasti meningkat seiring perkembangan ekonomi dan dinamika iklim
di Indonesia cenderung mempermudah terjadinya TDC. Purnomo (2006) melaporkan bahwa
banyak konstruksi jalan di Indonesia mengalami keretakan dini hanya dalam waktu tiga tahun
semenjak dari selesainya tahap konstruksi. Kenyataan ini menyokong upaya pengembangan
metode uji atau indeks kinerja untuk menilai ketahanan campuran beraspal terhadap TDC di
Indonesia.
Rolt (2000) melaporkan bahwa setelah TDC timbul, TDC tidak serta merta merambat ke
sub-lapisan aspal di bawahnya. Ini berarti perambatan retak tertunda untuk sementara waktu.
Perilaku tersebut mirip dengan perilaku retak liat, seperti digambarkan oleh Okada dan Atluri
(1999), bahwa retak liat tidak akan merambat (meskipun pembebanan tetap berlangsung),
kecuali setelah nilai kritis untuk perambatan retak liat tercapai. Okada dan Atluri (1999)
menambahkan bahwa nilai kritis mencerminkan kekuatan nyata bahan tersebut terhadap
kerusakan retak liat. Hal tersebut memperkuat pendapat sebelumnya, bahwa lapisan aspal
dapat mengalami retak liat pada suhu normal pelayanan jalan (Sulaiman dan Stock, 1995).
Crack tip opening displacement (CTOD) adalah salah satu parameter yang dapat digunakan
untuk menyatakan kekuatan bahan terhadap perambatan retak liat (Hallet dan Newson, 2001).
Namun, sepengetahuan penulis, studi tentang CTOD campuran beraspal dan pengaruh agregat
gradasi terhadap CTOD belum dilakukan.
Studi ini bertujuan untuk mengukur CTOD campuran beraspal dan mempelajari
pengaruh agregat gradasi terhadap CTOD. Enam variasi gradasi agregat disiapkan untuk
pembuatan sejumlah benda uji. CTOD ditentukan secara tidak langsung menggunakan uji
lentur terhadap benda uji semi lingkaran bertakik. Dua jenis takikan, yang dibedakan
berdasarkan panjang takikan (a), digunakan dalam pengujian, yaitu takikan pendek (a1 = 15
mm) dan takikan panjang (a2 = 22.5 mm).
2 PENENTUAN CTOD SECARA TIDAK LANGSUNG MENGGUNAKAN UJI
LENTUR TERHADAP BENDA UJI SEMI LINGKARAN BERTAKIK
Uji lentur terhadap benda uji semi lingkaran bertakik dapat digunakan untuk
memperoleh CTOD. Gambar 1 berikut ini menjelaskan kinematika benda uji semi lingkaran
bertakik yang mengalami pembebanan lentur. CTOD digambarkan pada benda uji yang
mengalami deformasi.
Beban
q
R-a
R
a
a
S
(a) Benda uji semi lingkaran bertakik tidak dibebani
CTOD
(b) Benda uji semi lingkaran bertakik mengalami deformasi
karena pembebanan
Keterangan: R adalah jejari, S adalah bentang, q adalah defleksi. CTOD dan a sudah dijelaskan sebelumnya
Gambar 1 Kinematika benda uji semi lingkaran bertakik yang mengalami pembebanan
lentur
Nilai CTOD dapat didekati sebagai rasio J integral kritis (Jc) terhadap kekuatan leleh
(Fty) (Broek, 1989). Studi ini menggunakan kuat tarik benda uji semi lingkaran bertakik
(t,SCB) sebagai Fty. Persamaan 1 dan 2 digunakan untuk menghitung t,SCB dan Jc (Birgisson
dkk., 2005, Othman, 2006).
J
Jc
J Rb
= c
CTOD = c =
(1)
Fty t , SCB 4.8 Pmax
dimana, Pmax adalah beban maksimum pada uji lentur (N).
b adalah ketebalan benda uji (mm).
U U 1
J c = 1 2
b1 b2 a 2 a1
(2)
Bailey menggunakan rasio Bailey untuk merancang gradasi agregat untuk setiap tipe tersebut.
Ada tiga jenis rasio Bailey yaitu CA, FAc, dan FAf. CA adalah rasio agregat kasar, FAc adalah
the rasio pasir kasar, dan FAf adalah rasio pasir halus. Nilai-nilai rasio Bailey yang disarankan
oleh metode Bailey disebut kriteria Bailey. Kriteria rasio CA bertujuan untuk menjamin
kontak langsung antara butiran agregat kasar. Kriteria rasio FAc bertujuan untuk menjamin
tight packing pasir kasar, dan agar pasir kasar mengisi rongga antara butiran agregat kasar.
Kriteria rasio FAf bertujuan agar kadar pasir halus tidak berlebihan (Vavrik dkk., 2002).
Sementara itu, Van de Ven dkk. (2003) membagi campuran beraspal menjadi empat tipe
yaitu (real) stone skeleton, stone-sand skeleton, sand-stone skeleton dan (real) sand skeleton.
Stone skeleton memerlukan agregat kasar minimum 75% dari total berat agregat. (Sluer dkk.,
2000). Dalam campuran beraspal tipe stone-sand skeleton, butiran-butiran stone saling kontak,
dan celah di antara butiran-butiran stone diisi butiran pasir. Dalam campuran beraspal tipe
sand-stone skeleton, butiran-butiran pasir memisahkan butiran-butiran stone, sehingga
butiran-butiran stone tidak saling kontak.
4 KEGIATAN PENELITIAN
Enam gradasi agregat digunakan dalam penelitian ini. Agregat tersebut dirancang
mengikuti spesifikasi campuran beraspal lapis aus (LA) di Indonesia (Hustim dan Ramli,
2004 setelah Ditjen Bina Marga, 2002), kriteria Bailey (Vavrik dkk., 2002) dan konsep
aggregates skeleton (Van de Ven dkk., 2003). Studi ini menggunakan metode kepadatan
mutlak untuk menentukan kadar aspal optimum (KAO). Gambar 2 menggambarkan gradasi
agregat yang digunakan, kurva Fuller, daerah larangan, dan titik kontrol. Tabel 1
menunjukkan hasil perancangan campuran beraspal, dan beberapa sifat teknis yang dinilai
relevan dengan pembahasan yang disajikan dalam kajian ini. Gradasi 1 dan 6 berada sedikit di
luar titik kontrol. Keduanya dirancang sebagai tipe baru LA pada studi ini. Gradasi 6
mengandung kadar manufactured sand yang tinggi. Gradasi 6 terdiri dari 18% batu pecah,
73% screening, 5% pasir kasar, 2% pasir halus, dan 2% bahan pengisi. Setiap nomor
campuran beraspal berkorespondensi dengan nomor gradasi yang sama.
100
Gradasi 1
90
80
Gradasi 2
70
60
50
Kurva Fuller
Daerah larangan
Gradasi 3
40
Gradasi 4
30
20
10
0
0.01
Gradasi 5
Titik kontrol
0.1
10
100
Gradasi 6
dipadatkan sebanyak 150 kali pada permukaan atasnya. Benda uji campuran beraspal padat
tersebut kemudian dipotong menggunakan mesin. Gambar 3 menunjukkan cetakan Marshall
yang dimodifikasi dan konfigurasi uji lentur.
Tabel 1 Sifat-sifat teknis gradasi agregat dan hasil perancangan campuran beraspal
Campuran
beraspal
1
2
3
4
5
Kode
Ui
bi
bi
Rerata of
Ui
bi
Jc b
Pmax
CTODc
Rerata
CTOD
(J)
(mm)
(J/m)
(J/m)
(kJ/m2)
(N)
(mm)
(mm)
1Aa1
0,316
45,6
6,80
517
1,40
9,22
1.31
1Ba1
0,535
45,0
11,64
582
1,23
0,76
0,153
43,3
3,47
273
2,52
1Aa2
3,51
2.93
0,161
44,5
3,55
1Ba2
211
3,35
0,520
47,1
10,81
536
1,10
2Aa1
8,02
1.33
2Ba1
0,252
47,2
5,22
379
1,55
0,60
0,145
45,6
3,12
219
2,60
2Aa2
3,52
2.17
0,181
45,2
3,92
2Ba2
322
1,75
0,193
43,6
4,35
474
0,44
3Aa1
5,13
0.42
0,23
3Ba1
0,265
43,8
5,92
519
0,40
d
0,155
44,5
3,42
3,42
254
0,84
0.84
3Ba2
0,505
44,6
11,09
707
0,31
4Aa1
7,89
0.32
4Ba1
0,210
43,9
4,69
632
0,34
0,23
0,283
46,0
5,61
474
0,47
4Aa2
5,70
1.18
0,286
44,6
5,79
474
1,89
4Ba2
5Aa1
0,227
46,2
4,81
371
0,35
7,11
0.30
5Ba1
0,399
41,5
9,41
460
0,25
0,13
5Aa2
0,167
46,0
3,55
272
0,47
6,11
0.35
0,365
41,2
8,68
511
0,22
5Ba2
6Aa1
0,369
41,6
8,68
451
1,46
9,25
1.39
6Ba1
0,396
39,5
9,82
477
1,31
0,76
6Aa2
0,188
45,7
4,02
306
2,36
3,55
2.57
0,141
44,7
3,08
256
2,77
6Ba2
a
b
i adalah sebuah indeks yang merujuk panjang takikan. Persamaan (2) digunakan untuk menghitung Jc. c Persamaan (1)
digunakan untuk menghitung CTOD. Dalam menghitung CTOD, nilai R adalah 50 mm. d Pengujian benda uji berlabel 3Aa2
gagal. Komputer tidak merekam data beban-defleksi.
4
3.5
R2 = 0.82
CTOD (mm)
2.5
2
1.5
1
R2 = 0.80
0.5
0
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
rasio CA
DAFTAR PUSTAKA
Baladi, G.Y., Schorsch M., Svasdisant T., 2003, Determining the Causes of Top-Down
Cracks in Bituminous Pavements, Pavement Research Center of Excellence,
Michigan State University: East Lansing, Michigan, USA.
Birgisson, B., Montepara, A., napier, J., Romeo, E., Tebaldi, G., 2005, Evaluartion of
aggregate size-dependent of asphalt mixtures in cracking behavior, XV Congress SIIV,
22nd-24th September, Bari, Italy.
Broek, D., 1989, The Practical Use of Fracture Mechanics, Kluwer Academic Publisher,
Netherland.
Carpenter, S.H., Shen, S., 2006, Fatigue Characteristics of Rich Bottom bases (RBB) for
Structural Design of Perpetual Pavement, International Conf. on Perpetual
Pavement, 13-15 September, The Ohio Research Institute for Transportation and the
Environment (ORITE), Columbus, Ohio, USA.
Ditjen Bina Marga DPU, Standar Nasional Indonesia Mengenai Perkerasan Jalan,
Jakarta, 2002.
Hallet, P.D., Newson, T.A., 2001, A Simple Fracture Mechanics Approach for Assessing
Ductile Crack Growth in Soil, Soil Science Society of America J., Vol. 65, The Soil
Science Society of America, Stanford University, pp. 10831088.
Hustim, M., Ramli, M.I., 2004, Studi Pengaruh Prosentase Pasir dalam Campuran Beraspal
terhadap Kinerja Campuran yang Dirancang dengan pendekatan Mutlak, 160.pdf - CD
ROM Simposium VII FSTPT, 11 September, Bandung, Indonesia.
Mobasher, B., Mamlouk, M.S., Lim, H.M., 1997, Evaluation of Crack Propagation
Properties of Asphalt Mixtures, J. of Transportation Engineering, Vol. 123, No. 5,
The American Society of Civil Engineering, pp. 405413.
Okada, H., Atluri, N., 1999, Further Studies on the Characteristics of the T* Integral: Plane
Stress Stable Crack Propagation In Ductile Materials, Computational Mechanics, Vol.
23, Springer-Verlag, Berlin Heidelberg, pp. 339-352.
Othman, A.M., 2006, Fracture Resistance of Modified Asphaltic Mixtures Exposed to HighTemperature Cyclic Aging, J. of Elastomers and Plastics, Vol. 38, No. 1, SAGE
Publications, UK, pp. 19-30.
Rolt, L., 2000, Top-Down Cracking: Myth or Reality?, Seminar on Innovative Road
Rehabilitation and Recycling Technologies, 24-26 Oktober, The World Bank
Regional, Amman, Jordan.
Sadd, M.A., Dai, Q. A., 2005, Comparison of micromechanical modeling asphalt materials
using finite elements and doublet mechanics. Mechanics of Materials, 37, 641-662.
Sluer, B.W., Wanders, G.W.J., Smith, H.J.J., Gouw, S., 2000, Crushed Stone Skeleton Mixes
in Interlayer a Weapon in the Battle Against Rutting?, 2nd Eurasphalt & Eurobitume
Congress, the Palau de Congressos, 20-22 September, Barcelona, Spanyol, pp. 530538.
Sulaiman, S.J., Stock, A.F., 1995, The Use of Fracture Mechanics for the Evaluation of
Asphalt Mixes, Journal of AAPT, Vol. 64, AAPT, pp. 500533.
Van de Ven, M.F.C., Voskuilen, J.L.M, Tolman, F., 2003, The Spatial Approach of Hot Mix
Asphalt, 6th RILEM Symposium PTBEM03, 14-16 April, Zurich, Switzerland.