Anda di halaman 1dari 8

CRACK TIP OPENING DISPLACEMENT SEBAGAI ALTERNATIF INDIKATOR

KETAHANAN CAMPURAN BERASPAL TERHADAP TOP-DOWN CRACKING


Iman Haryanto
Dosen Program Diploma Teknik Sipil
Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada
Jalan Yacaranda, Sekip Unit IV, Bulaksumur, Kampus UGM, Yogyakarta
Phone 0274 7112 126
Email: ihbm2001@yahoo.com

Abstract
Top-down cracking (TDC) is crack initiated from top layer of wearing course. One of its characteristics is that
after TDC appears, the growth of TDC will be temporarily stopped, prior to ultimately extend to the bottom of
asphalt layer. The characteristic is similar with that of ductile fracture. Crack tip opening displacement (CTOD)
can be used to indicate delaying of ductile crack extension. The growth of ductile crack is slower as CTOD
increases. The present study aims to calculate CTOD of asphalt mixture and discusses the effect of aggregate
gradation on CTOD. Six types of aggregate gradations were prepared. CTOD were indirectly determined by
notched semi circular bending test. CTOD were obtained being 0.25 mm-1.55 mm (for specimens having short
notch depth), and 0.22 mm-3.35 mm (for specimens having long notch depth). As coarse aggregates (CA) ratio
increases, interlocking of coarse aggregates decreases. CTOD decreases with increasing CA ratio.
Kata-kata kunci: top-down cracking, retak liat, CTOD, lentur, rasio coarse aggregate

1 PENDAHULUAN
Retak lapisan aspal dapat berupa bottom-up cracking (BUC) atau top-down cracking
(TDC). Lapisan aspal yang mengalami retak merupakan celah masuknya air hujan ke
struktur jalan dan kemudian terperangkap di dalamnya. Air merusak ikatan butiran agregat
dan aspal. Akibat melemahnya ikatan agregat dan antara aspal, cepat atau lambat, butiranbutiran agregat mulai terlepas dan meninggalkan bekas lubang di permukaan lapisan aspal.
Keberadaan lubang-lubang tersebut menurunkan kualitas pelayanan, atau bahkan dapat
membahayakan para pengguna jalan tersebut.
BUC adalah retak yang bermula dari sisi bawah lapisan aspal. Menurut teori multi-lapis
elastis, regangan tarik maksimum terjadi pada sisi bawah lapisan aspal. Jika regangan tarik
maksimum melebihi kapasitas regangan tarik lapisan aspal, maka terjadi BUC. Untuk
mencegah BUC, para ahli jalan menyarankan konsep perpetual pavement. Menurut konsep ini,
ketebalan lapisan aspal harus memadai, sehingga regangan maksimum pada sisi bawah
lapisan aspal akibat beban lalulintas adalah 70 micro strain. Nilai regangan tersebut
merupakan endurance limit campuran beraspal (Carpenter dan Shen, 2006).
TDC adalah retak yang bermula dari permukaan lapisan aspal. Zamhari dkk. (1997)
melaporkan bahwa sebagian besar kasus-kasus retak lapisan aspal di Indonesia justru
termasuk tipe TDC, bukan BUC. Sayangnya, spesifikasi jalan di Indonesia tidak mengatur
metode penilaian ketahanan campuran beraspal terhadap TDC. Penyebab pasti TDC belum
disepakati oleh para ahli jalan, namun diduga berkaitan dengan penuaan aspal (ageing), serta
tegangan tarik dan atau tegangan geser pada permukaan lapis aspal akibat ban kendaraan berat
jenis radial. Oleh karena penyebabnya belum diketahui secara pasti, maka dapat dimaklumi
jika metode evaluasi TDC, sejauh yang penulis ketahui, pun belum disepakati. Di sisi lain,
lalulintas kendaraan berat pasti meningkat seiring perkembangan ekonomi dan dinamika iklim
di Indonesia cenderung mempermudah terjadinya TDC. Purnomo (2006) melaporkan bahwa

Simposium X FSTPT, Universitas Tarumanegara Jakarta, 24 November 2007

banyak konstruksi jalan di Indonesia mengalami keretakan dini hanya dalam waktu tiga tahun
semenjak dari selesainya tahap konstruksi. Kenyataan ini menyokong upaya pengembangan
metode uji atau indeks kinerja untuk menilai ketahanan campuran beraspal terhadap TDC di
Indonesia.
Rolt (2000) melaporkan bahwa setelah TDC timbul, TDC tidak serta merta merambat ke
sub-lapisan aspal di bawahnya. Ini berarti perambatan retak tertunda untuk sementara waktu.
Perilaku tersebut mirip dengan perilaku retak liat, seperti digambarkan oleh Okada dan Atluri
(1999), bahwa retak liat tidak akan merambat (meskipun pembebanan tetap berlangsung),
kecuali setelah nilai kritis untuk perambatan retak liat tercapai. Okada dan Atluri (1999)
menambahkan bahwa nilai kritis mencerminkan kekuatan nyata bahan tersebut terhadap
kerusakan retak liat. Hal tersebut memperkuat pendapat sebelumnya, bahwa lapisan aspal
dapat mengalami retak liat pada suhu normal pelayanan jalan (Sulaiman dan Stock, 1995).
Crack tip opening displacement (CTOD) adalah salah satu parameter yang dapat digunakan
untuk menyatakan kekuatan bahan terhadap perambatan retak liat (Hallet dan Newson, 2001).
Namun, sepengetahuan penulis, studi tentang CTOD campuran beraspal dan pengaruh agregat
gradasi terhadap CTOD belum dilakukan.
Studi ini bertujuan untuk mengukur CTOD campuran beraspal dan mempelajari
pengaruh agregat gradasi terhadap CTOD. Enam variasi gradasi agregat disiapkan untuk
pembuatan sejumlah benda uji. CTOD ditentukan secara tidak langsung menggunakan uji
lentur terhadap benda uji semi lingkaran bertakik. Dua jenis takikan, yang dibedakan
berdasarkan panjang takikan (a), digunakan dalam pengujian, yaitu takikan pendek (a1 = 15
mm) dan takikan panjang (a2 = 22.5 mm).
2 PENENTUAN CTOD SECARA TIDAK LANGSUNG MENGGUNAKAN UJI
LENTUR TERHADAP BENDA UJI SEMI LINGKARAN BERTAKIK
Uji lentur terhadap benda uji semi lingkaran bertakik dapat digunakan untuk
memperoleh CTOD. Gambar 1 berikut ini menjelaskan kinematika benda uji semi lingkaran
bertakik yang mengalami pembebanan lentur. CTOD digambarkan pada benda uji yang
mengalami deformasi.

Simposium X FSTPT, Universitas Tarumanegara Jakarta, 24 November 2007

Beban
q

R-a
R
a
a

S
(a) Benda uji semi lingkaran bertakik tidak dibebani

CTOD
(b) Benda uji semi lingkaran bertakik mengalami deformasi
karena pembebanan

Keterangan: R adalah jejari, S adalah bentang, q adalah defleksi. CTOD dan a sudah dijelaskan sebelumnya

Gambar 1 Kinematika benda uji semi lingkaran bertakik yang mengalami pembebanan
lentur
Nilai CTOD dapat didekati sebagai rasio J integral kritis (Jc) terhadap kekuatan leleh
(Fty) (Broek, 1989). Studi ini menggunakan kuat tarik benda uji semi lingkaran bertakik
(t,SCB) sebagai Fty. Persamaan 1 dan 2 digunakan untuk menghitung t,SCB dan Jc (Birgisson
dkk., 2005, Othman, 2006).
J
Jc
J Rb
= c
CTOD = c =
(1)
Fty t , SCB 4.8 Pmax
dimana, Pmax adalah beban maksimum pada uji lentur (N).
b adalah ketebalan benda uji (mm).
U U 1
J c = 1 2
b1 b2 a 2 a1

(2)

dimana, Jc adalah J integral kritis (kJ/m2).


U1, U2 adalah energi regangan (N.mm or 10-3 J) pada saat keruntuhan. Nilai-nilai
tersebut diperoleh dari kurva beban-defleksi untuk benda uji dengan panjang takikan
a1 (mm) dan a2 (mm). Energi regangan dihitung dari permulaan uji lentur sampai
dengan tercapainya Pmax.
b1, b2 : ketebalan benda uji dengan panjang takikan a1 (mm), a2 (mm).
3 PENGARUH PENGUNCIAN BUTIRAN AGREGAT TERHADAP PENUNDAAN
PERAMBATAN RETAK LIAT
Sifat saling kunci antar butiran-butiran stone, yang dalam studi ini didefinisikan sebagai
butiran tertahan saringan berukuran 2,36 mm, dapat menunda perambatan retak dalam
campuran beraspal (Mobasher dkk., 1999). Prasayarat bagi terjadinya penguncian yang kuat
adalah adanya kontak langsung antara butiran agregat kasar.
Metode Bailey membagi butiran agregat dalam campuran beraspal menjadi empat yaitu
stone, interceptors, pasir kasar dan pasir halus. Interceptors adalah butiran agregat yang
ukuran lebih kecil dari stone, tetapi terlalu besar untuk mengisi celah antara butiran-butiran
stone. Interceptors menghalangi butiran-butiran stone mencapai densest-packing. Metode
Bailey menggolongkan campuran beraspal menjadi tiga tipe, yaitu stone mastic asphalt
(SMA), campuran beraspal bergradasi kasar, dan campuran beraspal bergradasi halus. Metode

Simposium X FSTPT, Universitas Tarumanegara Jakarta, 24 November 2007

Bailey menggunakan rasio Bailey untuk merancang gradasi agregat untuk setiap tipe tersebut.
Ada tiga jenis rasio Bailey yaitu CA, FAc, dan FAf. CA adalah rasio agregat kasar, FAc adalah
the rasio pasir kasar, dan FAf adalah rasio pasir halus. Nilai-nilai rasio Bailey yang disarankan
oleh metode Bailey disebut kriteria Bailey. Kriteria rasio CA bertujuan untuk menjamin
kontak langsung antara butiran agregat kasar. Kriteria rasio FAc bertujuan untuk menjamin
tight packing pasir kasar, dan agar pasir kasar mengisi rongga antara butiran agregat kasar.
Kriteria rasio FAf bertujuan agar kadar pasir halus tidak berlebihan (Vavrik dkk., 2002).
Sementara itu, Van de Ven dkk. (2003) membagi campuran beraspal menjadi empat tipe
yaitu (real) stone skeleton, stone-sand skeleton, sand-stone skeleton dan (real) sand skeleton.
Stone skeleton memerlukan agregat kasar minimum 75% dari total berat agregat. (Sluer dkk.,
2000). Dalam campuran beraspal tipe stone-sand skeleton, butiran-butiran stone saling kontak,
dan celah di antara butiran-butiran stone diisi butiran pasir. Dalam campuran beraspal tipe
sand-stone skeleton, butiran-butiran pasir memisahkan butiran-butiran stone, sehingga
butiran-butiran stone tidak saling kontak.
4 KEGIATAN PENELITIAN
Enam gradasi agregat digunakan dalam penelitian ini. Agregat tersebut dirancang
mengikuti spesifikasi campuran beraspal lapis aus (LA) di Indonesia (Hustim dan Ramli,
2004 setelah Ditjen Bina Marga, 2002), kriteria Bailey (Vavrik dkk., 2002) dan konsep
aggregates skeleton (Van de Ven dkk., 2003). Studi ini menggunakan metode kepadatan
mutlak untuk menentukan kadar aspal optimum (KAO). Gambar 2 menggambarkan gradasi
agregat yang digunakan, kurva Fuller, daerah larangan, dan titik kontrol. Tabel 1
menunjukkan hasil perancangan campuran beraspal, dan beberapa sifat teknis yang dinilai
relevan dengan pembahasan yang disajikan dalam kajian ini. Gradasi 1 dan 6 berada sedikit di
luar titik kontrol. Keduanya dirancang sebagai tipe baru LA pada studi ini. Gradasi 6
mengandung kadar manufactured sand yang tinggi. Gradasi 6 terdiri dari 18% batu pecah,
73% screening, 5% pasir kasar, 2% pasir halus, dan 2% bahan pengisi. Setiap nomor
campuran beraspal berkorespondensi dengan nomor gradasi yang sama.
100

Gradasi 1

90

Lolos kumulatif (%)

80

Gradasi 2

70
60
50

Kurva Fuller

Daerah larangan

Gradasi 3

40

Gradasi 4

30
20
10
0
0.01

Gradasi 5

Titik kontrol
0.1

10

100

Ukuran saringan (mm)

Gradasi 6

Gambar 2 Gradasi agregat yang digunakan


Uji lentur terhadap benda uji semi lingkaran bertakik dilakukan pada suhu dan laju
deformasi masing-masing 30,0C dan 0,04 mm/detik. Benda uji disiapkan menggunakan
cetakan Marshall yang telah dimodifikasi. Untuk membuat benda uji, campuran beraspal lepas
4

Simposium X FSTPT, Universitas Tarumanegara Jakarta, 24 November 2007

dipadatkan sebanyak 150 kali pada permukaan atasnya. Benda uji campuran beraspal padat
tersebut kemudian dipotong menggunakan mesin. Gambar 3 menunjukkan cetakan Marshall
yang dimodifikasi dan konfigurasi uji lentur.
Tabel 1 Sifat-sifat teknis gradasi agregat dan hasil perancangan campuran beraspal
Campuran
beraspal
1
2
3
4
5

Nilai-nilai rasio Bailey


KAO
Keterangan
FAf
%
CA
FAc
0,40
0,61
0,61
5,34
Full SMA stone skeleton
0,48a
0,64a
0,38
5,83
Partial coarse graded stone-sand skeleton
0,61
0,50
0,36
5,31
Full coarse graded stone-sand skeleton
0,59
0,46
0,47
5,41
Full coarse graded sand-stone skeleton
0,63a
0,34
5,62
Partial coarse graded sand-stone skeleton
0,69a
FG CAb
FG FAcb
FG FAfb
6
0,44a
0,42
Not defined
5,37
Partial coarse graded sand-stone skeleton
a
Nilai rasio Bailey tidak memenuhi kriteria yang disarankan Vavrik dkk. (2002). b FG CA is rasio CA untuk gradasi agregat
halus, FG FAc adalah rasio FAc untuk gradasi agregat halus, FG FAf adalah rasio FAf untuk gradasi agregat halus (Vavrik
dkk., 2002).

(b) Konfigurasi uji lentur

(a) Cetakan Marshall yang dimodifikasi

Gambar 3 Cetakan Marshall yang dimodifikasi dan konfigurasi uji lentur


5 ANALISIS DATA DAN DISKUSI
Tabel 2 menyajikan CTOD enam campuran beraspal yang digunakan dalam studi ini.
Variasi CTOD yang diperoleh adalah 0,25 mm-1,55 mm (untuk a1), dan 0,22 mm-3,35 mm
(untuk a2). Gambar 4 menyajikan hubungan antara rasio CA dan CTOD. Hubungan tersebut
memiliki nilai-nilai R2 yang tinggi, yang mengindikasikan adanya korelasi kuat antara rasio
CA dan CTOD untuk campuran beraspal jenis SMA dan gradasi kasar, yaitu campuran
beraspal 1 sampai dengan 5. Hubungan tersebut menyajikan bahwa CTOD menurun dengan
membesarnya rasio CA. Tidak ada data campuran beraspal 6 pada gambar 4. Campuran
beraspal 6 termasuk campuran bergradasi halus. Metode Bailey tidak menggunakan rasio CA,
tetapi rasio FG CA, untuk menyatakan kualitas packing fraksi agregat kasar dalam campuran
beraspal.
Beban yang bekerja pada benda uji semi lingkaran bertakik menimbulkan defleksi pada
benda uji tersebut. Defleksi menimbulkan konsentrasi tegangan tarik di sekitar takikan. Ketika
tegangan tarik lebih besar dari kuat tarik benda uji maka timbul retakan pada interface antara
butiran-butiran agregat di sekitar takikan. Beban lanjutan yang bekerja membuka lebar
retakan, sebelum pada akhirnya retakan merambat ke arah verikal menjauhi takikan, yaitu di
sepanjang interface antar butiran-butiran agregat.

Simposium X FSTPT, Universitas Tarumanegara Jakarta, 24 November 2007

Tabel 2 Nilai-nilai CTOD


Uia

Kode

Ui
bi

bi

Rerata of

Ui
bi

Jc b

Pmax

CTODc

Rerata
CTOD

(J)
(mm)
(J/m)
(J/m)
(kJ/m2)
(N)
(mm)
(mm)
1Aa1
0,316
45,6
6,80
517
1,40
9,22
1.31
1Ba1
0,535
45,0
11,64
582
1,23
0,76
0,153
43,3
3,47
273
2,52
1Aa2
3,51
2.93
0,161
44,5
3,55
1Ba2
211
3,35
0,520
47,1
10,81
536
1,10
2Aa1
8,02
1.33
2Ba1
0,252
47,2
5,22
379
1,55
0,60
0,145
45,6
3,12
219
2,60
2Aa2
3,52
2.17
0,181
45,2
3,92
2Ba2
322
1,75
0,193
43,6
4,35
474
0,44
3Aa1
5,13
0.42
0,23
3Ba1
0,265
43,8
5,92
519
0,40
d
0,155
44,5
3,42
3,42
254
0,84
0.84
3Ba2
0,505
44,6
11,09
707
0,31
4Aa1
7,89
0.32
4Ba1
0,210
43,9
4,69
632
0,34
0,23
0,283
46,0
5,61
474
0,47
4Aa2
5,70
1.18
0,286
44,6
5,79
474
1,89
4Ba2
5Aa1
0,227
46,2
4,81
371
0,35
7,11
0.30
5Ba1
0,399
41,5
9,41
460
0,25
0,13
5Aa2
0,167
46,0
3,55
272
0,47
6,11
0.35
0,365
41,2
8,68
511
0,22
5Ba2
6Aa1
0,369
41,6
8,68
451
1,46
9,25
1.39
6Ba1
0,396
39,5
9,82
477
1,31
0,76
6Aa2
0,188
45,7
4,02
306
2,36
3,55
2.57
0,141
44,7
3,08
256
2,77
6Ba2
a
b
i adalah sebuah indeks yang merujuk panjang takikan. Persamaan (2) digunakan untuk menghitung Jc. c Persamaan (1)
digunakan untuk menghitung CTOD. Dalam menghitung CTOD, nilai R adalah 50 mm. d Pengujian benda uji berlabel 3Aa2
gagal. Komputer tidak merekam data beban-defleksi.

titik data untuk


panjang takikan 15
mm

4
3.5
R2 = 0.82

CTOD (mm)

titik data untuk


panjang takikan 22,5
mm

2.5
2
1.5
1

Linear (titik data


untuk panjang takikan
15 mm)

R2 = 0.80

0.5
0
0.3

0.4

0.5

0.6

0.7

0.8

Linear (titik data


untuk panjang takikan
22,5 mm)

rasio CA

Gambar 4 Hubungan antara rasio CA dan CTOD


Metode Bailey menggunakan rasio CA untuk mengevaluasi packing butiran-butiran
stone dalam SMA and campuran beraspal bergradasi kasar. Semakin besar rasio CA, jumlah
butiran-butiran interceptors dan atau butiran-butiran pasir dalam campuran beraspal
meningkat. Keduanya mengurangi atau bahkan menghilangkan sama sekali kontak antara
butiran-butiran stone (Vavrik dkk., 2002). Sebagai akibatnya, penguncian butiran agregat
menurun. Seperti telah dikutip dari Mobasher dkk. (1997) bahwa penguncian butiran-butiran
agregat dapat menghalangi atau menunda perambatan retak. Selama penundaan, energi
regangan tarik akibat defleksi tersalurkan untuk melebarkan retakan di sekitar takikan.

Simposium X FSTPT, Universitas Tarumanegara Jakarta, 24 November 2007

Semakin kuat penguncian butiran-butiran stone, semakin lama perambatan tertahan.


Akibatnya, retakan semakin lebar dan CTOD membesar. Sebaliknya, jika penguncian antara
butiran-butiran stone relatif lemah, perambatan retak relatif mudah terjadi. Efek utama energi
regangan tarik akibat defleksi adalah bertambahnya panjang retakan, dan bukan melebarnya
bukaan di sekitar takikan. Akibatnya, nilai CTOD relatif kecil.
Butiran-butiran manufactured sand umumnya bertekstur yang kasar. Kadar
manufactured sand dalam campuran beraspal 6 relatif tinggi, sehingga campuran berapal 6
memiliki luas permukaan butiran-butiran agregat relatif besar. Kombinasi antara luas
permukaan yang besar dan kekasaran tekstur nampaknya efektif untuk mengikat aspal, dan
kemudian memungkinkan campuran beraspal 6 memiliki adhesi yang kuat antara butiran
agregat dan aspal. Kekuatan adhesi tersebut dapat menunda perambatan retak dalam
campuran beraspal. Selama penundaan, energi regangan tarik akibat defleksi memperlebar
bukaan di sekitar takikan, sehingga CTOD campuran beraspal 6 relatif besar.
Studi ini mengevaluasi CTOD sebagai indikator ketahanan campuran beraspal terhadap
retak liat. CTOD dapat digunakan untuk mengevaluasi kecepatan perambatan retak liat dalam
campuran beraspal. CTOD besar berarti bahwa campuran beraspal dapat menunda perambatan
retak liat relatif lama. CTOD kecil mengindikasikan bahwa sekali retak timbul dalam
campuran beraspal, maka selanjutnya retak merambat dengan cepat.
6 KESIMPULAN
Beberapa hal yang dapat disimpulkan dari studi ini adalah sebagai berikut.
1. CTOD campuran beraspal dapat ditentukan secara tidak langsung menggunakan uji lentur
terhadap benda uji semi lingkaran bertakik. Rentang CTOD yang diperoleh adalah 0,25
mm-1,55 mm (untuk kelompok benda uji dengan panjang takikan 15 mm), dan 0,22 mm3,35 mm (untuk kelompok benda uji dengan panjang takikan 22,5 mm).
2. Rasio CA menggambarkan sifat saling kunci antara butiran-butiran stone dalam campuran
beraspal. Semakin besar rasio CA, jumlah butiran-butiran interceptors dan atau butiranbutiran pasir dalam campuran beraspal meningkat. Keduanya mengurangi atau bahkan
menghilangkan sama sekali kontak antara butiran-butiran stone. Jika penguncian butiran
agregat melemah, maka retak lebih mudah terjadi dan kemudian merambat dengan cepat.
Hasil studi menegaskan adanya korelasi yang kuat antara rasio CA dan CTOD. CTOD
menurun dengan meningkatnya rasio CA.
3. Kualitas penguncian antara butiran-butiran stone, seperti diindidikasikan oleh rasio CA,
nampaknya efektif untuk menunda perambatan retak. Kadar manufactured sand dalam
campuran beraspal 6 relatif tinggi memungkinkan campuran tersebut memiliki adhesi
yang kuat. Kekuatan adhesi tersebut nampaknya juga efektif untuk menunda perambatan
retak. Selama penundaan, energi regangan tarik akibat defleksi memperlebar retakan di
sekitar takikan. Dapat dilihat bahwa campuran beraspal 1 dan 6 memiliki CTOD yang
relatif besar dibandingkan dengan yang lainnya.
Studi ini belum mempertimbangkan dua faktor lain yang dapat menimbulkan TDC,
yaitu penuaan dan tegangan geser oleh beban lalulintas. Konfigurasi uji lentur tidak
mensimulasikan tegangan geser pada benda uji. Oleh karena itu, masih diperlukan penelitian
lanjutan, terutama berkaitan dengan kedua faktor tersebut, sebelum menetapkan CTOD
sebagai indek kinerja untuk ketahanan campuran beraspal terhadap TDC.

Simposium X FSTPT, Universitas Tarumanegara Jakarta, 24 November 2007

Ucapan Terima Kasih


Penulis berterima kasih kepada the Japanese MEXT yang memberikan penulis beasiswa S3 di Nagaoka
University of Technology (NUT); pembimbing penulis, Associate Professor Osamu Takahashi, Dr.Eng.; dan
kepala laboratorium jalan NUT, Professor Teruhiko Maruyama, Dr.Eng.

DAFTAR PUSTAKA
Baladi, G.Y., Schorsch M., Svasdisant T., 2003, Determining the Causes of Top-Down
Cracks in Bituminous Pavements, Pavement Research Center of Excellence,
Michigan State University: East Lansing, Michigan, USA.
Birgisson, B., Montepara, A., napier, J., Romeo, E., Tebaldi, G., 2005, Evaluartion of
aggregate size-dependent of asphalt mixtures in cracking behavior, XV Congress SIIV,
22nd-24th September, Bari, Italy.
Broek, D., 1989, The Practical Use of Fracture Mechanics, Kluwer Academic Publisher,
Netherland.
Carpenter, S.H., Shen, S., 2006, Fatigue Characteristics of Rich Bottom bases (RBB) for
Structural Design of Perpetual Pavement, International Conf. on Perpetual
Pavement, 13-15 September, The Ohio Research Institute for Transportation and the
Environment (ORITE), Columbus, Ohio, USA.
Ditjen Bina Marga DPU, Standar Nasional Indonesia Mengenai Perkerasan Jalan,
Jakarta, 2002.
Hallet, P.D., Newson, T.A., 2001, A Simple Fracture Mechanics Approach for Assessing
Ductile Crack Growth in Soil, Soil Science Society of America J., Vol. 65, The Soil
Science Society of America, Stanford University, pp. 10831088.
Hustim, M., Ramli, M.I., 2004, Studi Pengaruh Prosentase Pasir dalam Campuran Beraspal
terhadap Kinerja Campuran yang Dirancang dengan pendekatan Mutlak, 160.pdf - CD
ROM Simposium VII FSTPT, 11 September, Bandung, Indonesia.
Mobasher, B., Mamlouk, M.S., Lim, H.M., 1997, Evaluation of Crack Propagation
Properties of Asphalt Mixtures, J. of Transportation Engineering, Vol. 123, No. 5,
The American Society of Civil Engineering, pp. 405413.
Okada, H., Atluri, N., 1999, Further Studies on the Characteristics of the T* Integral: Plane
Stress Stable Crack Propagation In Ductile Materials, Computational Mechanics, Vol.
23, Springer-Verlag, Berlin Heidelberg, pp. 339-352.
Othman, A.M., 2006, Fracture Resistance of Modified Asphaltic Mixtures Exposed to HighTemperature Cyclic Aging, J. of Elastomers and Plastics, Vol. 38, No. 1, SAGE
Publications, UK, pp. 19-30.
Rolt, L., 2000, Top-Down Cracking: Myth or Reality?, Seminar on Innovative Road
Rehabilitation and Recycling Technologies, 24-26 Oktober, The World Bank
Regional, Amman, Jordan.
Sadd, M.A., Dai, Q. A., 2005, Comparison of micromechanical modeling asphalt materials
using finite elements and doublet mechanics. Mechanics of Materials, 37, 641-662.
Sluer, B.W., Wanders, G.W.J., Smith, H.J.J., Gouw, S., 2000, Crushed Stone Skeleton Mixes
in Interlayer a Weapon in the Battle Against Rutting?, 2nd Eurasphalt & Eurobitume
Congress, the Palau de Congressos, 20-22 September, Barcelona, Spanyol, pp. 530538.
Sulaiman, S.J., Stock, A.F., 1995, The Use of Fracture Mechanics for the Evaluation of
Asphalt Mixes, Journal of AAPT, Vol. 64, AAPT, pp. 500533.
Van de Ven, M.F.C., Voskuilen, J.L.M, Tolman, F., 2003, The Spatial Approach of Hot Mix
Asphalt, 6th RILEM Symposium PTBEM03, 14-16 April, Zurich, Switzerland.

Anda mungkin juga menyukai