Tifoid
Tifoid
Uji Widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi
(aglutinin). Aglutinin yang spesifik terhadap Salmonella typhi terdapat
dalam serum penderita demam tifoid, pada orang yang pernah tertular
Salmonella typhi dan pada orang yang pernah mendapatkan vaksin
demam tifoid.
Antigen yang digunakan pada uij Widal adalah suspensi Salmonella typhi
yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Tujuan dari uji Widal
adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita yang
diduga menderita demam tifoid.
Dari ketiga aglutinin (aglutinin O, H, dan Vi), hanya aglutinin O dan H yang
ditentukan titernya untuk diagnosis. Semakin tinggi titer aglutininnya,
semakin besar pula kemungkinan didiagnosis sebagai penderita demam
tifoid. Pada infeksi yang aktif, titer aglutinin akan meningkat pada
pemeriksaan ulang yang dilakukan selang waktu paling sedikit 5 hari.
Peningkatan titer aglutinin empat kali lipat selama 2 sampai 3 minggu
memastikan diagnosis demam tifoid.
Interpretasi hasil uji Widal adalah sebagai berikut :
a) Titer O yang tinggi ( > 160) menunjukkan adanya infeksi akut
b) Titer H yang tinggi ( >160) menunjukkan telah mendapat imunisasi
atau pernah menderita infeksi
c) Titer antibodi yang tinggi terhadap antigen Vi terjadi pada carrier.
Beberapa faktor yang mempengaruhi uji Widal antara lain :
1. Faktor-faktor yang berhubungan dengan Penderita
Keadaan umum gizi penderita
Gizi buruk dapat menghambat pembentukan antibodi.
Waktu pemeriksaan selama perjalanan penyakit
Aglutinin baru dijumpai dalam darah setelah penderita mengalami
sakit selama satu minggu dan mencapai puncaknya pada minggu
kelima atau keenam sakit.
Pengobatan dini dengan antibiotik
Pemberian antibiotik dengan obat antimikroba dapat menghambat
pembentukan antibodi.
Penyakit-penyakit tertentu
Pada beberapa penyakit yang menyertai demam tifoid tidak terjadi
pembentukan antibodi, misalnya pada penderita leukemia dan
karsinoma lanjut.
Pemakaian
obat
imunosupresif
atau
kortikosteroid
dapat
menghambat pembentukan antibodi.
Vaksinasi
Pada orang yang divaksinasi demam tifoid, titer aglutinin O dan H
meningkat. Aglutinin O biasanya menghilang setelah 6 bulan
sampai 1 tahun, sedangkan titer aglutinin H menurun perlahanlahan selama 1 atau 2 tahun. Oleh karena itu titer aglutinin H pada
seseorang yang pernah divaksinasi kurang mempunyai nilai
diagnostik.
Infeksi klinis atau subklinis oleh Salmonella sebelumnya
Keadaan ini dapat menyebabkan uji Widal positif, walaupun titer
aglutininnya rendah. Di daerah endemik demam tifoid dapat
dijumpai aglutinin pada orang-orang yang sehat.
2. Faktor-faktor teknis
Aglutinasi silang
Karena beberapa spesies Salmonella dapat mengandung antigen O
dan H yang sama, maka reaksi aglutinasi pada satu spesies dapat
Prognosis Tetanus
Prognosis tetanus ditentuak oleh masa inkubasi, period of onset, jenis luka, dan
keadaan status imunitas pasien. Makin pendek masa indubasi makin buruk
prognosis. Letak, jenis luka dan luas kerusakan jaringan turut memegang peran
dalam menentukan prognosis. Sedangkan apabila kita menjumpai tetanus
neonatorum harus dianggap sebagai tetanus berat, oleh karena mempunyai
prognosis buruk.
Pencegahan tetanus
1. Perawatan luka
Perawatan luka harus segera dilakukan terutama pada luka tusuk, luka
kotor, atau luka yang diduga tercemar dengan spora tetanus. Terutama
perawatan luka guna mencegah timbulnya jaringan anaerob.
2. ATS Profilaksis
Profilaksis ATS hanya efektif pada luka baru (kurang dari 6 jam) dan harus
segera dilanjutkan dengan imunisasi aktif
3. Imunisasi aktif
Imunisasi aktif yang diberikan yaitu DPT, DT, atau toksoid tetanus. Jenisa
imunisasi tergantung dari golongan umur dan jenis kelamin. Toksoid
tetanus diberikan pada setiap wanita usia subur, gadis mulai umur 12
tahun, dan ibu hamil. Vaksin DPT diberikan sebagai imunisasi dasar,
diulang setahun setelah DPT III dan tiga tahun kemudian. DPT/DT
diberikan setelah pasien sembuh dilanjutkan imunisasi ulangan diberikan
sesuai jadwal, oleh karena tetanus tidak menimbulkan kekebalan yang
berlangsung lama sehingga harus dilanjutkan dengan imunisasi aktif.
4. Kebersihan pada waktu persalinan
Di Indonesia dikenal dengan program eliminasi tetanus neonatorum 3
bersih yaitu minimal bersih tangan, alas tempat bersalin, dan alat
pemotng tali pusat. Terutama alas tempat tidur, alat pemotong tali pusat
dan cara perawatan tali pusat, sebelum dan sesudah punting tali pusat
tanggal (sekitar 87,3% kasus neonatorum berasal dari persalinan yang
ditolong oleh tenaga non medis).
Yang diperhatiksan selama merawat pasien tetanus
Komplikasi
- Obstruksi jalan nafas, disebabkan oleh tertutupnya jalan nafas oleh
membrane difteri atau oleh karena edema pada tonsil, faring, daerah
submandibular dan servikal.
- Dampak toksin, dapat bermanifestasi pada jantung berupa miokarditis
yang daapat terjadi pada pasien difteri ringan maupun berat daan
biasanya terjadi pada pasien yang terlambat mendapatkan pengobatan
antitoksin. Pada umumnya penyulit miokarditis ini terjadi pada minggu ke
2 tetapi bias lebih dini pada minggu pertama atau lebih lambat pada
minggu ke-6. Manifestasi miokarditis dapat berupa takikardia, suara
jantung redup, terdengar bising jantung, atau aritmia. Bias juga terjadi
gagal jantung. Kelainan pemeriksaan EKG dapat berupa elevasi segmen
ST, perpanjangan interval PR, dan heart block.
- Penyulit pada saraf biasanya terjadi lambat, bilateral, terutama mengenai
saraf motorik dan sembuh sempurna. Bila terjadi kelumpuhan pada
palatum molle pada minggu ke-3, suara menjadi sengau, terjadi
regurgitasi nasal, kesukaran menelan.
- Paralisis otot mata biasanya terjadi pada minggu ke-5, meskipun dapat
terjadi antara minggu ke-5 dan ke-7.
- Paralisis ekstremitas bersifat bilateral dan simetris disertai hilangnya deep
tendon reflexes, peningkatan kadar protein dalam LCS.
- Paralisis diafragma dapat terjadi pada minggu ke-5 dan ke-7 sebagai
akibat neuritis saraf frenikus. Hal ini dapat menyebabkan kematian apabila
tidak dibantu dengan ventilator mekanik.
- Bila terjadi kelumpuhan pada pusat vasomotor maka dapat terjadi
hipotensi dan gagal jantung
Inuisasi pada difteri dan tetanus