Anda di halaman 1dari 8

Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typoid fever yang

merupakan penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang disebabkan oleh


Salmonella typhii. Beberapa terminologi lain yang erat kaitannya adalah demam
paratifoid dan demam enterik. Demam paratifoid secara patologis dan klinis
menyerupai demam tifoid, namun gejala yang dialami penderita biasanya lebih
ringan, disebabkan oleh spesies Salmonella enteritidis dengan 3 serotipe
paratyphii A, paratyphii B, dan paratyphii C.
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi yang dijumpai secara luas di daerah
tropis terutama di daerah dengan kualitas sumber air yang tidak memadai
dengan standar hygiene dan sanitasi yang rendah. Beberapa hal yang
mempercepat terjadinya penyebaran demam tifoid adalah urbanisasi, kepadatan
penduduk, sumber air minum dan standart hygiene industri pengolahan
makanan yang masih rendah
Etiologi
Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi dari Genus Salmonella.
Bakteri ini berbentuk batang, gram negatip, tidak membentuk spora, motil,
berkapsul, mempunyai flagella (bergerak dengan rambut getar) dan bersifat
anaerob fakultatif. Bakteri ini dapat hidup sampai beberapa minggu di alam
bebas seperti di dalam air, es, sampah, debu, atau kotoran yang kering maupun
pada pakaian. Bakteri ini dapat mati dengan pemanasan (suhu 60 0C) selama 15
20 menit, pasteurisasi, pendidihan dan khlorinisasi.
Salmonella typhi mempunyai 3 macam antigen, yaitu:
Antigen oligosakarida O (Antigen somatik), yaitu terletak pada lapisan luar
dari tubuh kuman. Pada lapis luar dari dinding sel terdapat struktur kimia
lipopolisakarida atau disebut juga endotoksin. Antigen ini tahan terhadap
panas dan alkohol tetapi tidak tahan terhadap formaldehid.
Antigen protein H (Antigen Flagella), yang terletak pada flagella, fimbriae
atau pili dari kuman. Antigen ini mempunyai struktur kimia suatu protein
dan tahan terhadap formaldehid tetapi tidak tahan terhadap panas dan
alkohol.
Antigen polisakarida Vi yang terletak pada kapsul (envelope) dari kuman
yang dapat melindungi kuman terhadap fagositosis.
Ketiga macam antigen tersebut di atas di dalam tubuh penderita akan
menimbulkan pula pembentukan 3 macam antibodi yang lazim disebut aglutinin.
Patogenesis
Manusia adalah sebagai reservoir bagi kuman Salmonella thypi. Terjadinya
penularan Salmonella thypi sebagian besar melalui makanan/minuman yang
tercemar oleh kuman yang berasal dari penderita atau carrier yang biasanya
keluar bersama
dengan tinja atau urine. Dapat juga terjadi trasmisi
transplasental dari seorang ibu hamil yang berada dalam bakterimia kepada
bayinya
Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi masuk kedalam tubuh manusia
melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan
oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus dan berkembang
biak.
Jumlah kuman yang dapat menimbulkan infeksi adalah sebanyak 10 5 109
kuman yang tertelan melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi.
Semakin besar jumlah Salmonella thypi yang tertelan, maka semakin pendek
masa inkubasi penyakit demam tifoid
Bila respon imunitas humoral mukosa IgA usus kurang baik maka kuman akan
menembus sel-sel epitel terutama sel M dan selanjutnya ke lamina propia. Di
lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit
terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam
makrofag dan selanjutnya dibawa ke plaque Peyeri ileum distal dan kemudian ke

kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman


yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah
(mengakibatkan bakterimia pertama yang asimtomatik) dan menyebar ke
seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ
ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar
sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi
yang mengakibatkan bakterimia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda
dan gejala penyakit infeksi sistemik, seperti demam, malaise, mialgia, sakit
kepala dan sakit perut. Dengan cara ini kuman dapat mencapai organ manapun,
tetapi organ-organ yang disukai oleh kuman ini adalah hati, limpa, sumsum,
tulang, kantung empedu, dan plaque Payeri ileum terminal.
Endotoksin dari Salmonella typhii dapat menstimulasi makrofag dalam hati,
limpa, folikel limfoma usus halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk
memproduksi sitokin dan mediator-mediator lain.produk dari makrofag inilah
yang dapat menimbulkan nekrosis sel, ketidakstabilan system vaskuler, demam,
depresi sumsum tulang, kelainan darah, dan menstimulasi system imunologis.
Manifestasi Klinis
Gejala klinis demam tifoid pada anak biasanya lebih ringan jika dibanding
dengan penderita dewasa. Masa inkubasi rata-rata 10 14 hari. Setelah masa
inkubasi maka ditemukan gejala prodromal, yaitu perasaan tidak enak badan,
lesu, nyeri kepala, pusing dan tidak bersemangat.
Kemudian menyusul gejala klinis yang khas ditemukan (Trias Tifoid), yaitu :
a. Demam
Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu. Bersifat febris
remiten dan suhu tidak berapa tinggi. Selama minggu pertama, suhu tubuh
berangsur-angsur meningkat setiap hari, biasanya menurun pada pagi hari dan
meningkat lagi pada sore dan malam hari. Dalam minggu kedua, penderita terus
berada dalam keadaan demam. Dalam minggu ketiga suhu tubuh beraangsurangsur turun dan normal kembali pada akhir minggu ketiga. Tampilan demam
pada kasus demam tifoid mempunyai istilah khusus yaitu step ladder
temperature chart yang ditandai dengan demam timbul insisious kemudian naik
secara bertahap setiap harinya dan mencapai titik tertinggi pada akhir minggu
pertama, setelah itu demam akan bertahan tinggi dan pada minggu keempat
turun perlahan secara lisis kecuali bila terjadi komplikasi seperti kolesistitis,
abses jaringan lunak, maka demam akan menetap.
b. Ganguan pada saluran pencernaan
Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap. Bibir kering dan pecah-pecah
(ragaden) . Lidah ditutupi selaput putih kotor (coated tongue), ujung dan tepinya
kemerahan, jarang disertai tremor. Pada abdomen mungkin ditemukan keadaan
perut kembung (meteorismus). Hati dan limpa membesar disertai nyeri pada
perabaan. Biasanya didapatkan konstipasi, akan tetapi mungkin pula normal
bahkan dapat terjadi diare.
c. Gangguan kesadaran
Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak berapa dalam, yaitu
apatis sampai somnolen. Jarang terjadi sopor, koma atau gelisah.
Gejala-gejala lain yang mungkin ditemui:
- Rose spot; suatu ruam makulopapuler dengan ukuran 2-4 m pada
abdomen, dada, ekstremitas dan punggung
- Bronkhitis
- Hepato dan splenomegali
- Bradikardi relatif jarang ditemui pada anak
Diagnosis Serologik
1. Uji Widal

Uji Widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi
(aglutinin). Aglutinin yang spesifik terhadap Salmonella typhi terdapat
dalam serum penderita demam tifoid, pada orang yang pernah tertular
Salmonella typhi dan pada orang yang pernah mendapatkan vaksin
demam tifoid.
Antigen yang digunakan pada uij Widal adalah suspensi Salmonella typhi
yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Tujuan dari uji Widal
adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita yang
diduga menderita demam tifoid.
Dari ketiga aglutinin (aglutinin O, H, dan Vi), hanya aglutinin O dan H yang
ditentukan titernya untuk diagnosis. Semakin tinggi titer aglutininnya,
semakin besar pula kemungkinan didiagnosis sebagai penderita demam
tifoid. Pada infeksi yang aktif, titer aglutinin akan meningkat pada
pemeriksaan ulang yang dilakukan selang waktu paling sedikit 5 hari.
Peningkatan titer aglutinin empat kali lipat selama 2 sampai 3 minggu
memastikan diagnosis demam tifoid.
Interpretasi hasil uji Widal adalah sebagai berikut :
a) Titer O yang tinggi ( > 160) menunjukkan adanya infeksi akut
b) Titer H yang tinggi ( >160) menunjukkan telah mendapat imunisasi
atau pernah menderita infeksi
c) Titer antibodi yang tinggi terhadap antigen Vi terjadi pada carrier.
Beberapa faktor yang mempengaruhi uji Widal antara lain :
1. Faktor-faktor yang berhubungan dengan Penderita
Keadaan umum gizi penderita
Gizi buruk dapat menghambat pembentukan antibodi.
Waktu pemeriksaan selama perjalanan penyakit
Aglutinin baru dijumpai dalam darah setelah penderita mengalami
sakit selama satu minggu dan mencapai puncaknya pada minggu
kelima atau keenam sakit.
Pengobatan dini dengan antibiotik
Pemberian antibiotik dengan obat antimikroba dapat menghambat
pembentukan antibodi.
Penyakit-penyakit tertentu
Pada beberapa penyakit yang menyertai demam tifoid tidak terjadi
pembentukan antibodi, misalnya pada penderita leukemia dan
karsinoma lanjut.
Pemakaian
obat
imunosupresif
atau
kortikosteroid
dapat
menghambat pembentukan antibodi.
Vaksinasi
Pada orang yang divaksinasi demam tifoid, titer aglutinin O dan H
meningkat. Aglutinin O biasanya menghilang setelah 6 bulan
sampai 1 tahun, sedangkan titer aglutinin H menurun perlahanlahan selama 1 atau 2 tahun. Oleh karena itu titer aglutinin H pada
seseorang yang pernah divaksinasi kurang mempunyai nilai
diagnostik.
Infeksi klinis atau subklinis oleh Salmonella sebelumnya
Keadaan ini dapat menyebabkan uji Widal positif, walaupun titer
aglutininnya rendah. Di daerah endemik demam tifoid dapat
dijumpai aglutinin pada orang-orang yang sehat.
2. Faktor-faktor teknis
Aglutinasi silang
Karena beberapa spesies Salmonella dapat mengandung antigen O
dan H yang sama, maka reaksi aglutinasi pada satu spesies dapat

juga menimbulkan reaksi aglutinasi pada spesies lain. Oleh karena


itu spesies Salmonella penyebab infeksi tidak dapat ditentukan
dengan uji widal.
Konsentrasi suspensi antigen
Konsentrasi suspensi antigen yang digunakan pada uji widal akan
mempengaruhi hasilnya.
Strain salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen
Daya aglutinasi suspensi antigen dari strain salmonella setempat lebih
baik daripada suspensi antigen dari strain lain.
2. Tes TUBEX
Tes TUBEX merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang
sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan
partikel yang berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas
ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik
yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat
dalam diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi
IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam waktu beberapa menit.
3. Metode Enzyme Immunoassay (EIA) DOT
Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik
IgM dan IgG terhadap antigen OMP 50 kD S. typhi. Deteksi terhadap IgM
menunjukkan fase awal infeksi pada demam tifoid akut sedangkan deteksi
terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid pada fase pertengahan
infeksi. Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam
tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi
tidak dapat membedakan antara kasus akut, konvalesen dan reinfeksi.
Pada metode Typhidot-M yang merupakan modifikasi dari metode
Typhidot telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga
menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan
antigen terhadap Ig M spesifik.
4. Metode Enzyme Linked Immunoabsorbent Assay (ELISA)
Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak
antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9, antibodi IgG terhadap
antigen flagella d (Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi S. typhi. Uji ELISA
yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya antigen S. typhi dalam
spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA.
5. Dipstik
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda
dimana dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S.
typhi dengan menggunakan membran nitroselulosa yang mengandung
antigen S. typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-human
immobilized sebagai reagen kontrol. Pemeriksaan ini menggunakan
komponen yang sudah distabilkan, tidak memerlukan alat yang spesifik
dan dapat digunakan di tempat yang tidak mempunyai fasilitas
laboratorium yang lengkap. 4,20
6. Pemeriksaan Molekuler
Metode lain untuk identifikasi bakteri S. typhi yang akurat adalah
mendeteksi DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri S. typhi dalam darah
dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi DNA dengan cara
polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi yang
spesifik untuk S. typhi.
Komplikasi
Komplikasi demam tifoid dapat dibagi atas dua bagian, yaitu :
1. Komplikasi Intestinal
a. Perdarahan Usus

Sekitar 25% penderita demam tifoid dapat mengalami perdarahan minor


yang tidak membutuhkan tranfusi darah. Perdarahan hebat dapat terjadi
hingga penderita mengalami syok. Secara klinis perdarahan akut darurat
bedah ditegakkan bila terdapat perdarahan sebanyak 5 ml/kgBB/jam.
b. Perforasi Usus
Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul pada
minggu ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu pertama. Penderita
demam tifoid dengan perforasi mengeluh nyeri perut yang hebat terutama
di daerah kuadran kanan bawah yang kemudian meyebar ke seluruh
perut. Tanda perforasi lainnya adalah nadi cepat, tekanan darah turun dan
bahkan sampai syok.
Komplikasi Ekstraintestinal
a. Komplikasi kardiovaskuler : kegagalan sirkulasi perifer (syok, sepsis),
miokarditis, trombosis dan tromboflebitis.
b. Komplikasi darah : anemia hemolitik, trombositopenia, koaguolasi
intravaskuler diseminata, dan sindrom uremia hemolitik.
c. Komplikasi paru : pneumoni, empiema, dan pleuritis
d. Komplikasi hepar dan kandung kemih : hepatitis dan kolelitiasis
e. Komplikasi ginjal : glomerulonefritis, pielonefritis, dan perinefritis
f. Komplikasi tulang : osteomielitis, periostitis, spondilitis, dan artritis
g. Komplikasi neuropsikiatrik : delirium, meningismus, meningitis,
polineuritis perifer, psikosis, dan sindrom katatonia.
Manajemen
Penderita demam tifoid dengan gejala klinik jelas sebaiknya dirawat di rumah sakit. Di
samping untuk optimalisasi pengobatan, hal ini bertujuan untuk meminimalisasi komplikasi
dan mencegah pencemaran dan atau kontaminasi.
Tirah baring
Penderita yang dirawat harus tirah baring (bed rest) dengan sempurna untuk mencegah
komplikasi, terutama perdarahan dan perforasi. Bila gejala klinis berat, penderita harus
istirahat total.
Nutrisi
oCairan Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun
parenteral. Cairan parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat, ada
komplikasi, penurunan kesadaran serta yang sulit makan. Cairan harus mengandung
elektrolit dan kalori yang optimal.
oDiet Diet harus mengandung kalori dan protein yang cukup. Sebaiknya rendah
selulosa (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi. Diet untuk
penderita demam tifoid, biasanya diklasifikasikan atas diet cair, bubur lunak, tim, dan
nasi biasa.
Terapi simptomatik
Terapi simptomatik dapat diberikan dengan pertimbangan untuk perbaikan keadaan umum
penderita, yakni vitamin, antipiretik (Paracetamol 10 mg/kgBB/kali, diberikan tiap 4-6 jam)
untuk kenyamanan penderita terutamaanak, dan antiemetik bila penderita muntah hebat.
Antibiotik
Antibiotik segera diberikan bila diagnosis telah dibuat. Antibiotik merupakan satu-satunya
terapi yang efektif untuk demam tifoid. Antibiotik yang diberikan sebagai terapi awal adalah
dari kelompok antibiotik lini pertama untuk demam tifoid. Sampai saat ini kloramfenikol
masih menjadi pilihan dengan dosis 100 mg/kgBB/ hari dibagi 4 kali pemberian. Ampisilin
100-200 mg/kgBB/hari dibagi 4 kali pemberian memberikan hasil yang kurang baik bila
dibandingkan kloramfenikol.
Saat ini yang sering digunakan untuk pengobatan demam tifoid adalah seftriakson dan
sefiksim.
Kortikosteroid

Digunakan pada kasus-kasus dengan penurunan kesadaran, dapat diberikan


dexametason dosis 1-3 mg/kgBB/hari selain antibiotic yang memadai.

A. Apa saja yang berpengaruh terhadap prognosis Tetanus?


B. Anamnesis apa saja yang diperlukan dalam mendiagnosis
Tetanus?
C. Langkah-langkah apa saja yang harus dilakukan untuk mencegah
terjadinya penyakkit Tetanus?
D. Apa saja yang perlu diperhatikan dalam merawat penderita
Tetanus di Rumah Sakit?

Prognosis Tetanus
Prognosis tetanus ditentuak oleh masa inkubasi, period of onset, jenis luka, dan
keadaan status imunitas pasien. Makin pendek masa indubasi makin buruk
prognosis. Letak, jenis luka dan luas kerusakan jaringan turut memegang peran
dalam menentukan prognosis. Sedangkan apabila kita menjumpai tetanus
neonatorum harus dianggap sebagai tetanus berat, oleh karena mempunyai
prognosis buruk.

Anamnesis yang diperluka dalam mendiagnosis tetanus:


Tetanus neonatorum:
- Siapa penolong persalinan, tenaga medis/paramedic, atau non
medis/dukun bayi yang telah mendapat pelatihan atau belum. Data ini
akan membantu membedakan persalinan yang bersih/ higienik atau tidak.
- Alat apa yang dipakai untuk memotong tali pusat.
- Ramuan apa yang dibubuhkan pada tindakan perawatan punting tali
pusat.
- Apakah ibu pernah mendapat imunisasi tetanus toksoid sebelum dan
selama kehamilannya.
- Sejak kapan bayi tidak dapat menetek (waktu inkubasi)
- Berapa lama selang antara waktu gejala tidak dapat menetek dengan
gejala kejang yang pertama (periode onset).
Tetanus pada anak
- Apakah dijumpai luka tusuk, luka kecelakaan/patah tulang terbuka, luka
dengan nanah atau gigitan binatang.
- Apakah pernah keluar nanah dari telinga.
- Apakah menderita gigi berlubang.

Apakah sudah mendapat imunisasi DT atau TT, kapan imunisasi yang


terakhir.
Selang waktu anatara timbulnya gejala klinis pertama (trismus atau
spasme local) dengan kejang yang pertama (periode onset).

Pencegahan tetanus
1. Perawatan luka
Perawatan luka harus segera dilakukan terutama pada luka tusuk, luka
kotor, atau luka yang diduga tercemar dengan spora tetanus. Terutama
perawatan luka guna mencegah timbulnya jaringan anaerob.
2. ATS Profilaksis
Profilaksis ATS hanya efektif pada luka baru (kurang dari 6 jam) dan harus
segera dilanjutkan dengan imunisasi aktif
3. Imunisasi aktif
Imunisasi aktif yang diberikan yaitu DPT, DT, atau toksoid tetanus. Jenisa
imunisasi tergantung dari golongan umur dan jenis kelamin. Toksoid
tetanus diberikan pada setiap wanita usia subur, gadis mulai umur 12
tahun, dan ibu hamil. Vaksin DPT diberikan sebagai imunisasi dasar,
diulang setahun setelah DPT III dan tiga tahun kemudian. DPT/DT
diberikan setelah pasien sembuh dilanjutkan imunisasi ulangan diberikan
sesuai jadwal, oleh karena tetanus tidak menimbulkan kekebalan yang
berlangsung lama sehingga harus dilanjutkan dengan imunisasi aktif.
4. Kebersihan pada waktu persalinan
Di Indonesia dikenal dengan program eliminasi tetanus neonatorum 3
bersih yaitu minimal bersih tangan, alas tempat bersalin, dan alat
pemotng tali pusat. Terutama alas tempat tidur, alat pemotong tali pusat
dan cara perawatan tali pusat, sebelum dan sesudah punting tali pusat
tanggal (sekitar 87,3% kasus neonatorum berasal dari persalinan yang
ditolong oleh tenaga non medis).
Yang diperhatiksan selama merawat pasien tetanus

A. Apa yang anda ketahui tentang penyakit Difteria?


B. Jelaskan faktor-faktor apa sajakah yang berpengaruh terhadap
manfestasi klinik ?
C. Komplikasi apa saja yang bisa terjadi ?
D. Jelaskan tentang Imunisasi untuk pencegahan Diferia dan
Tetanus !
E. Apa saja yang perlu diperhatikan dalam merawat penderita
Difteria di Rumah Sakit?
Penyakit Difteri
Factor yang berpengaruh terhadap manifestasi klinis difteri
Factor primer adalah imunitas penjamu terhadap tosin difteri, virulensi serta
toksigenitas C. diptherine (kemampuan kuman membentuk toksin), dan lokasi
penyakit serta anatomis.
Factor lain termasuk umur, penyakit sistemik penyerta dan penyakit pada
nasofaring yang sudah ada sebelumnya.

Komplikasi
- Obstruksi jalan nafas, disebabkan oleh tertutupnya jalan nafas oleh
membrane difteri atau oleh karena edema pada tonsil, faring, daerah
submandibular dan servikal.
- Dampak toksin, dapat bermanifestasi pada jantung berupa miokarditis
yang daapat terjadi pada pasien difteri ringan maupun berat daan
biasanya terjadi pada pasien yang terlambat mendapatkan pengobatan
antitoksin. Pada umumnya penyulit miokarditis ini terjadi pada minggu ke
2 tetapi bias lebih dini pada minggu pertama atau lebih lambat pada
minggu ke-6. Manifestasi miokarditis dapat berupa takikardia, suara
jantung redup, terdengar bising jantung, atau aritmia. Bias juga terjadi
gagal jantung. Kelainan pemeriksaan EKG dapat berupa elevasi segmen
ST, perpanjangan interval PR, dan heart block.
- Penyulit pada saraf biasanya terjadi lambat, bilateral, terutama mengenai
saraf motorik dan sembuh sempurna. Bila terjadi kelumpuhan pada
palatum molle pada minggu ke-3, suara menjadi sengau, terjadi
regurgitasi nasal, kesukaran menelan.
- Paralisis otot mata biasanya terjadi pada minggu ke-5, meskipun dapat
terjadi antara minggu ke-5 dan ke-7.
- Paralisis ekstremitas bersifat bilateral dan simetris disertai hilangnya deep
tendon reflexes, peningkatan kadar protein dalam LCS.
- Paralisis diafragma dapat terjadi pada minggu ke-5 dan ke-7 sebagai
akibat neuritis saraf frenikus. Hal ini dapat menyebabkan kematian apabila
tidak dibantu dengan ventilator mekanik.
- Bila terjadi kelumpuhan pada pusat vasomotor maka dapat terjadi
hipotensi dan gagal jantung
Inuisasi pada difteri dan tetanus

Anda mungkin juga menyukai