Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Polemik antara hukum dan moral sepertinya suatu masalah yang tidak
pernah usai. Dalam penerapannya selalu saja ada ketidakseimbangan antara
hukum dan moral. Ada suatu peristiwa menarik yang terjadi pada awal 1960an di Amerika Serikat, khusunya untuk para ahli hukum. Kejadian itu adalah
ketika para aktivis pejuang hak-hak sipil kulit hitam dan kulit putih naik bus
bersama-sama di Negara bagian selatan. Tidak hanya itu, mereka juga
dengan sengaja makan bersama-sama (kulit putih dan kulit hitam) pada satu
restoran yng sama. Padahal di Negara bagian tersebut terdapat aturan yang
mengharuskan mengadakan pemisahan antara kulit hitam dan kulit putih
dalam pemanfaatan fasilitas-fasilitas umum, seperti restoran, kendaraan
umum, dan hotel-hotel. Dengan demikian, kegiatan para aktivis tersebut oleh
pemerintah setempat dipandang sebagai tindakan provokatif dan yang lebih
pentinganya lagi merupakan perbuatan melanggar hukum local. Karena
alasan itulah, para aktivis itu ditangkap oleh pemerintah setempat. Sekalipun
dianggap bersalah karena melakukan perbuatan melanggar hukum, para
aktivis tersebut tetap bersikeras bahwa apa yang mereka lakukan adalah
sesuatu yang benar. Alasan para aktivis itu adalah, pertama, yang mereka
lakukan telah berdasarkan nilai-nilai moral dari persamaan dan martabat
kemanusiaan untuk melawan diskriminasi ras. Kedua, yang mereka lakukan
telah sesuai pula dengan konstitusi Amerika Serikat yang menentang setiap
hukum lokal yang memasukkan realism.1

Ahmad Ali, 1996, Mengenal Kajian Empiris Terhadap Hukum, PT Yasrif Watampone, Jakarta, hal.
105-106, dikutip oleh AsmuI Syarkowi, Artikel Hukum, Moral, Dan Hakim; Refleksi Tentang Nuansa Di
Balik Konsep Satu Atap Lembaga Peradilan, hal. 1.

Kejadian tersebut menggambarkan kita bahwa aturan hukum dan


moral terkadang memang berjalan tidak searah. Bahkan dalam tataran
tertentu keduanya mengalami perbedaan yang sangat antagonis, yaitu
hukum di satu sisi dan moral di sisi lain. Oleh karena itu, tidak heran jika oleh
kalangan ahli hukum hubungan kedua istilah, yaitu hukum dan moral, telah
menjadi perdebatan yang tidak pernah selesai.

1.2 Rumusan Masalah


Sesuai dengan latar belakang masalah di atas, makalah ini
selanjutnya akan membahas beberapa hal-hal dasar yang berkaitan
dengan hukum dan moral, yaitu:
1. Apa yang dimaksud dengan moral?
2. Apa yang dimaksud dengan hukum?
3. Apa persamaan dan perbedaan antara hukum dan moral?
4. Mana yang lebih diutamakan antara hukum dan moral? Dan mengapa
demikian?

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Moral
Perkataan moral berasal dari bahasa latin Mores. Mores berasal dari
kata mos yang berarti kesusilaan, tabiat, atau kelakuan. Moral dengan
demikian dapat diartikan ajaran kesusilaan. Dalam Kamus Umum Bahasa
Indonesia dari W. J. S. Poerwadarminto terdapat keterangan bahwa moral
adalah ajaran tentang baik-buruk perbuatan dan kelakuan. 2
Adapun dalam literature lain menyebutkan bahwa Moral berasal dari
bahasa Latin (Yunanj) yaitu moralis - mos, moris yang diartikan sebagai adat,
istiadat, kebiasaan, cara, tingkah laku, dan kelakuan. Atau dapat pula
diartikan mores yang merupakan gambaran adat istiadat, kelakuan tabiat,
watak, akhlak, dan cara hidup. Istilah ini dikenal moral dalam bahasa Inggris. 3
Moral pada umumnya dapat diartikan sebagai berikut: 4

Menyangkut kegiatan-kegiatan manusia yang dipandang sebagai


baik/buruk, benar/salah, tepat/tidak tepat;

Sesuai dengan kaidah-kaidah yang diterima menyangkut apa yang


dianggap benar, bijak, adil, dan pantas;

Memiliki kemampuan untuk diarahkan oleh atau dipengaruhi oleh


keinsyafan

akan

benar

atau

salah,

dan

kemampuan

untuk

Drs. H. Burhanuddin Salam, Etika Individual; Pola Dasar Filsafat Moral, Jakarta: PT Rineka Cipta,
2000. Hal. 2.
3

Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005. Hal. 674 Dikutip Oleh Prof.
Dr. Soekarno. Dkk., Filsafat Hukum, Malang: Bayumedia Publishing, 2009. Hal 194.
4

Ibid. hlm. 194.

mengarahkan atau memengaruhi orang lain sesuai dengan kaidahkaidah perilaku yang dinilai benar atau salah;

Menyangkut cara seseorang bertingkah laku dalam hubungan dengan


orang lain.
Menurut Franz Magnis-Suseno,5 kata moral selalu mengacu kepada

baik-buruknya manusia sebagai manusia. Bidang moral adalah bidang


kehidupan manusia dilihat dari segi kebaikannya sebagai manusia. Normanorma moral adalah tolak-ukur untuk menentukan betul salahnya sikap dan
tindakan manusia dilihat dan segi-buruknya sebagai manusia dan bukan
sebagai pelaku peran tertentu dan terbatas.
Jadi, menurutnya (1991:14), yang dimaksud dengan ajaran moral
adalah

ajaran-ajaran,

wejangan-wejangan,

khotbah-khotbah,

patokan-

patokan, kumpulan peraturan dan ketetapan, entah lisan atau tertulis, tentang
bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar ia menjadi manusia
yang baik.6
Moral sebagai suatu ilmu merupakan salah satu cabang dari filsafat.
Sifatnya praktis, normatif dan fungsional, sehingga dengan demikian
merupakan suatu ilmu yang langsung berguna dalam pergaulan hidup seharihari. Moral juga dapat menjadi asas dan menjiwai norma-norma dalam
kehidupan, di samping sekaligus memberikan penilaian terhadap corak
perbuatan seseorang sebagai manusia.
Dari berbagai pendapat, penulis dapat menarik kesimpulan bahwa
moral merupakan suatu ilmu yang memuat ajaran tentang baik-buruknya
5

Astim Riyanto, Filsafat Hukum, Bandung: Yapemdo, 2003. Hal. 449 Dikutip Oleh Oleh Prof. Dr.
Soekarno. Dkk., Filsafat Hukum, Malang: Bayumedia Publishing, 2009. Hal 195.
6

Prof. Darji Darmodihardjo, S.H., M.Hum., Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 1995. Hal 258.

perbuatan guna menjadi manusia yang lebih baik. Karena tujuan dari baikburuknya tindakan yang kita lakukan itu sebenarnya guna untuk kepentingan
diri sendiri dan kepentingan orang lain di sekitarnya.

2.2 Hukum
Hukum merupakan sesuatu hal yang sifatnya abstrak, sehingga
menimbulkan kesulitan saat ingin memberikan jawaban tentang apakah
hukum itu. Dengan kata lain, persepsi orang tentang hukum itu beraneka
ragam, tergantung dari sudut mana orang memandangnya. Selain karena
sifatnya abstrak, hukum ini memiliki cakupan yang luas, buktinya, hukum
mengatur hampir seluruh kehidupan manusia.
Roscoe Pound (dalam Curzon, 1979: 26) memberikan definisi hukum
sebagai berikut:7
Law in the sense ofthe legal order has for its subject relations ofindividual
human beings with each other and the conduct of individuals so far as
they affect other or affect the social or economic order. Law in the sense
of the body of authoritative grounds of judicial decision and
administrative action has for its subject matter the expectation or claims or
wants held or asserted by individual human beings or groups of human
beings which affect their relations or determine their conduct.
Jadi, terlihat bahwa Rescoe Pound membedakan hukum dalam 2
(dua) arti, yaitu sebagai berikut:
a) Hukurn dalam arti sebagai tata hukum yang memunyai pokok bahasan:
1. Hubungan antara manusia dengan individu lainnya; dan
7

Prof. Dr. Ahmad Ali, S.H., M.H., Menguak Tabir Hukum, Bogor Selatan: Ghalia Indonesia, 2008. Hal.
18-19.

2. Tingkah laku individu yang memengaruhi individu lainnya atau yang


memengaruhi tata sosial atau tata ekonomi
b) Hukum dalam arti kumpulan dasar-dasar kewenangan dan putusanputusan pengadilan dan tindakan administrarif memunyai pokok bahasan,
yaitu harapan-harapan atau tuntutantuntutan oleh manusia sebagai
individu atau pun kelompok yang memengaruhi hubungan mereka atau
menentukan ringkah laku mereka.
Definisi hukum dari Pound menunjukkan dengan jelas pandangannya
yang realistis dan sosiologis. Dalam defInisi hukumnya, Pound menekankan
bahwa hukum merupakan realitas sosial. Hal itu sejalan dengan yang
dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo bahwa hukum harus dipandang sebagai
pranata social.
Adapun pendapat dari Prof. Dr. Ahmad Ali, S.H., M.H., hukum adalah
seperangkat kaidah atau ukuran yang tersusun dalam suatu sistem yang
menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh manusia sebagai
warga dalam kehidupan bermasyarakatnya. Hukum tersebut bersumber baik
dari masyarakat sendiri maupun dari sumber lain yang diakui berlakunya oleh
otonitas tertinggi dalam masyarakat tersebut, serta benan-benar diberlakukan
oleh warga masyarakat (sebagai satu keseluruhan) dalam kehidupannya.
Jika kaidah tersebut dilanggar akan memberikan kewenangan bagi otoritas
tertinggi untuk menjatuhkan sanksi yang sifatnya eksternal. 8
Jadi, unsur-unsur yang harus ada bagi hukum sebagai kaidah adalah: 9
1. Harus ada seperangkat kaidah atau aturan yang tersusun dalam satu
sistem;
8

Ibid. hlm. 30-31.

Ibid. hlm. 31.

2. Perangkat kaidah itu menentukan apa yang boleh dan tidak boleh
dilakukan oleh warga Masyarakat;
3. Berlaku bagi manusia sebagai masyarakat dan bukan manusia sebagai
individu;
4. Kaidah itu bersumber baik dan masyarakat sendiri maupun dan sumber
lain, seperti otonitas negara atau pun dan tuhan (hukum agama);
5. Kaidah itu secara nyata benar-benar diberlakukan oleh masyarakat
(sebagai satu kesatuan) di dalam kehidupan mereka, yakni sebagai living
law; dan
6. Harus ada sanksi eksternal jika terjadi pelanggaran kaidah hukum
tersebut, di mana dipertahankanoleh otoritas tertinggi.
Menurut penulis, pendapat dari Prof. Dr. Ahmad Ali, S.H., M.H. sudah
sangat jelas, di mana definisi yang diberikan oleh beliau telah mencakup
segala unsur yang seharusnya ada dalam suatu hukum. Bukan berarti
pendapat dari para ahli hukum lain tidak jelas, tetapi menurut penulis, isi dari
berbagai unsur yang terkandung di dalamnya telah menggambarkan tujuan
akhir dari hukum itu sendiri, yaitu bertujuan untuk mengatur tingkah laku
manusia secara keseluruhan dalam masyarakat agar tercipta ketertiban,
keadilan, kedamaian, dan kesejahteraan.

2.3 Persamaan Dan Perbedaan Hukum Dan Moral


Moral dan hukum mempunyai hubungan erat. Dalam kekaisaran Roma
sudah terdapat pepatah Quid Leges Sine Moribus10 yang artinya apa artinya
10

I Gede A. B. Wiranata, S.H., M.H., Dasar-Dasar Etika Dan Moralitas (Pengantar Kajian Etika Profesi
Hukum), Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2005. Hal. 131.

undang-undang, kalau tidak disertai moralitas, tanpa moralitas hukum akan


kosong. Kualitas hukum sebagian besar ditentukan oleh mutu moralnya
karena itu hukum selalu diukur dengan norma moral.
Setelah melihat pemahaman masing-masing antara hukum dan moral,
dapat terlihat bahwa hukum dan moral mempunyai persamaan, antara lain:
1. Hukum maupun moral, sama-sama berfungsi sebagai alat untuk mengatur
tertib dan teraturnya hidup dalam masyarakat;
2. Hukum maupun moral, sama-sama mempelajari dan menjadikan tingkah
laku manusia sebagai objek;
3. Hukum maupun moral, memberikan batas pada gerak, hak dan
wewenang seseorang dalam pergaulan hidup, agar tidak saling
merugikan satu sama lain;
4. Hukum dan moral bersumber dari pengalaman atau kenyataan hidup
manusia;
5. Hukum dan moral menggugah kesadaran manusiawi untuk bertindak.
Walaupun ada hubungan erat antara moral dan hukum, perlu
dipertahankan juga bahwa moral dan hukum tidak sama. Perbedaannya
antara lain:
1. Dari segi bentuk. Moral berbentuk tidak tertulis sedangkan hukum
memiliki bentuk tertulis, sistematis, dan lebih memiliki kepastian secar
formal.
2. Dari segi aspek yang diatur. Moral mengatur tingkah laku atau perbuatan
yang terletak pada hati nurani/ rasa batin. Sedangkan hukum mengatur

tingkah laku manusia secara lahiriah saja. Hukum menuntut penegasan


secara legalitas/ formal, sedangkan moral menuntut sikap bathinnya.
3. Dari segi sanksi. Moral sanksinya hanya bersifat imbauan, harapan, dan
seharusnya. Sedangkan hukum sanksinya pasti, harus, dan dapat
dipaksakan jika telah melanggar aturan-aturan yang ada.
4. Dari segi dasar kehendak. Moral mengatur norma atas dasar kehendak
bebas. Kehendak bebas yang sudah diakui kebenarannya sehingga tidak
perlu pembuktian dan moral juga dapat menilai hukum. Sedangkan
hukum mengatur norma atas dasar penetapan, karenanya atas dasar
kesepakatan bersama sangat mungkin hukum itu diubah dan berubah.
Hukum juga tidak dapat menilai moral.
Menurut filsuf Immanuel Kant11 pada sejumlah ulasan dalam bukunya,
seperti: critique of pure reason (1781), critique of practical reason (1788),
perpetual peace (1795), dan metaphysics of ethics (1797), memperlihatkan
betapa Kant ternyata sangat kritis mengkritik keberadaan antara hukum dan
moral. Menurutnya terdapat keterkaitan dan hubungan yang erat antara
kedua norma ini. Perbedaan antara hukum dan moral terletak pada tuntutan
terhadap dua jenis kaidah. Kaidah hukum mengarah diri hanya untuk
perbuatan

bathiniyah.

Jadi

berprilaku

hukum

sesuai

dengan

yang

diperintahkan. Lain dengan kaidah moral yang mempunyai kaitan dengan


alasan atau motivasi yang dilakukannya perbuatan lahiriah. Tapi hal ini sudah
ketinggalan di dalam hukum modern sehingga dapat disimpulkan lagi kaidah
tersebut dibagi menjadi tiga, yaitu:
1) Kaidah hukum yang tidak dapat dimasukkan dalam kaidah terpenting
yang dikenal dengan manusia. Di sini suatu kaidah hukum bersifat
netral atau teknikal dan secara moral adalah indiferen, namun
11

Ibid. hlm. 132.

tujuannya tetap mengacu pada moral dan perlindungan hidup


manusia.
2) Kaidah hukum yang dipandang sebagai kaidah yang penting bagi
manusia dan kaidah yang paling penting itu adalah kaidah hukum
moral. Sehingga di sini terjadi tumpang tindih antara moral dan hukum.
3) Kaidah moral yang mengatasi hukum. Banyak kaidah moral berada di
luar hukum positive seperti hubungan efektif, hubungan ikatan
keluarga, dan hubungan lingkungan persahabatan.

2.4 Hukum Atau Moralkah Yang Lebih Diutamakan


Setelah melihat bagaimana keterkaitan antara hukum dan moral,
misalnya seseorang yang kedapatan berbohong. Berbohong secara moral
adalah salah. Sedangkan dalam aturan hukum positif, berbohong atau tidak
jujur itu dapat diganjar dengan aturan perundang-undangan bila terbukti
melanggar janji yang dituangkan dalam kontrak yang telah disepakati. Selain
itu, kita juga telah mengetahui persamaan dan perbedaan antara keduanya,
maka penulis berpendapat bahwa hukum dan moral ini tidak dapat
dipisahkan. Menurut penulis, pertentangan antara hukum dan moral ini
disebabkan karena manusianya yang bersifat tidak jujur. Manusia yang
dimaksud di sini adalah orang-orang yang berkaitan langsung dengan dunia
hukum, misalnya para penegak hukum. Para penegak hukum inilah yang
sangat berperan dalam pertentangan antara hukum dan moral.
Dari semula kita ketahui bahwa Negara kita tidak pernah membuat
jarak yang jauh antara hukum dan moral. Dengan pernyataan Atas Berkat
Rahmat Allah sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 dan
Ketuhanan Yang Maha Esa yang merupakan Sila Pertama dari Pancasila.

10

Secara tidak langsung hal itu membuktikan kedua hal tersebut tidak mungkin
dapat dipisahkan. Semestinya moral agama sebagai sumber moral yang baik
harus mengilhami terbentuknya aturan hukum yang baik. Sebaliknya, aturan
hukum apapun yang tercipta di Negara kita ini, tidak boleh bertentangan
dengan moral yang baik tersebut.
Namun lain halnya jika hukum dan moral dipertentangkan dan harus
pilih salah satu diantaranya, dan manakah yang harus didahulukan. Maka
jawabannya jika kita konsisten dan konsekuen bahwa Pembukaan UUD 1945
dan Sila Pertama dari Pancasila tersebut merupakan sumber kekuatan
hukum dan moral bagi kita semua maka semestinya morallah yang harus
didahulukan.

BAB III
KESIMPULAN
Hukum merupakan realitas kodrati yang eksis dan tertanamkan di
setiap hati nurani manusia dan a priori terhadap segala bentuk perilaku
manusia. Dalam posisinya sebagai norma kehidupan seperti itu, maka hukum

11

merupakan ilmu amaliah, tidak ada ilmu hukum tanpa diamalkan, dan tidak
ada sesuatu amalan digolongkan bermoral kecuali atas dasar ilmu hukum.
Artinya kedua hal ini tak dapat dipisahkan satu sama lain meskipun memiliki
berbagai perbedaan namun memiliki tujuan yang sama.
Dengan

demikian,

bagaimanapun

kita

berkepentingan

agar

perkembangan hukum dapat berjalan secara wajar, sehat dan mampu


menjadi pendorong terwujudnya kehidupan yang lebih adil, bahagia dan
sejahtera. Dalam konteks pemikiran demikian, maka keutuhan moral dengan
hukum harus tetap dijaga, baik pada tataran teoretis maupun praktis.

12

Anda mungkin juga menyukai