Azyumardi Azra (233-244)
Azyumardi Azra (233-244)
Azyumardi Azra
Guru Besar Sejarah dan Peradaban UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Azyumardiazra1@gmail.com
Abstract
This article discusses two faces of Islam, political and cultural, which have
developed throughout the Muslim world, including Indonesia. The author
argues that political Islam has two faces, both of which, although represented
by two different groups, have the same agenda - the application by the state of
sharia and the establishment of an Islamic state. Arguing that political Islam
has brought about radicalism, the article proposes that the other face of Islam,
that is cultural Islam, should be maintained and empowered.
Abstrak
Paper ini mencoba mendiskusikan tentang dua wajah Islam, yaitu Islam
Kultural dan Islam Politik, yang berkembang di berbagai belahan dunia Muslim
termasuk Indonesia. Penulis berargumen bahwa Islam politik di Indonesia
memiliki dua bentuk yang, meskipun direpresentasikan oleh dua kelompok
Muslim yang berbeda, mempunyai agenda yang sama, yaitu, penerapan hokum
Islam secara formal oleh negara, dan pendirian negara Islam (negara
berdasarkan syariat Islam). Menyimpulkan bahwa Islam politik dengan
agendanya tersebut telah, dalam batas-batas tertentu, melahirkan radikalisme,
penulis menegaskan dan menawarkan bahwa wajah Islam yang lain, yaitu Islam
kultural, harus dipertahankan dan dikembangkan di Indonesia.
Kata kunci: Islam, political Islam, dan DI/TII
Pendahuluan
Political Islam dan cultural Islam merupakan dua istilah populer yang
berkembang di dunia Islam, termasuk Indonesia. Dalam bahasa Indonesia dan
Malaysia, political Islam lebih populer dengan istilah Islam politik, yang
umumnya diperhadapkan dengan cultural Islam atau Islam kultural.
Penggunaan dua istilah ini menunjukkan adanya dua jenis Islam, yaitu: Islam
politik dan Islam kultural. Yang dimaksud dengan Islam politik adalah Islam
yang memiliki orientasi yang kuat kepada politik dan kekuasaan; sebaliknya,
Islam kultural adalah Islam yang memiliki orientasi kepada pengembangan
aspek sosio-kultural dari kehidupan Islami melalui jalur non-politik, seperti
| 233
1
Lihat H Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda (Jakarta: LP3ES, 1985); Karel
Steenbrink, Dutch Colonialism and Islam: Contacts and Conflicts, 1596-1950 (Amsterdam-Atlanta:
Radopi, 1993).
2
Lihat Azyumardi Azra, The Megawati Presidency: The Challenge of Political Islam dalam
Hadi Soesastro, Anthony L. Smith & Han Mui Ling (ed.), Challenges Facing the Megawati
Presidency (Singapore: ISEAS, 2003).
234
| 235
3
Lihat Chaider S Bamualim, et al., 2001, Laporan Penelitian Radikalisme Agama dan
Perubahan Sosial di DKI Jakarta (Jakarta: Pusat Bahasa dan Budaya & Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah, 2001); Zainuddin Fananie, Atika Sabardila & Dwi Purnanto, Radikalisme
Agama & Perubahan Sosial (Surakarta: Muhammadiyah University Press & The Asia Foundation,
2002); Jamhari Makruf & Jahroni, Jajang (ed.), Gerakan Salafi Radikal di Indonesia (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2004); Bahtiar Effendy & Soetrisno Hadi (ed.), Agama dan Radikalisme di
Indonesia (Jakarta: Nuqtah, 2007); Haedar Nashir, Gerakan Islam Syariat: Reproduksi Salafiyah
Ideologis di Indonesia (Jakarta: PSAP, 2007).
236
| 237
5
Muh Nursalim, Faksi Abdullah Sungkar dalam Gerakan NII Era Orde Baru, Tesis MA,
Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2001.
238
6
Ausop, NII: Ajaran dan Gerakan (1992-2002); Makruf & Jahroni (ed.), Gerakan Salafi
Radikal di Indonesia; International Crisis Group (ICG), Indonesia Backgrounder: Why Salafism and
Terrorism Mostly Dont Mix (Southeast Asia/Brussel: ICG, September 2004).
| 239
yang mengetahui secara pasti apakah kelompok ini meninggalkan gagasan NII
atau tidak; namun jelas kelompok ini memilih jalan damai dengan aktivitas
dakwah, terutama pendidikan. Panji Gumilang menimbulkan keheranan di
kalangan masyarakat Muslim, karena mendirikan Pondok Pesantren al-Zaytun
di Indramayu, Jawa Barat, yang terkenal karena kemegahan bangunannya yang
spektakuler. Dengan segera ia dituduh kalangan Muslim tertentu menyebarkan
ajaran menyimpang di pesantren tersebut. Investigasi pihak berwenang dan
Badan Penelitian Departemen Agama Republik Indonesia menghasilkan
kesimpulan bahwa tidak ada penyimpangan dari ajaran Islam di dalam
Pesantren al-Zaytun, baik dalam segi akidah maupun praktik keagamaan.
Pemberdayaan Kaum Moderat
Sekarang ini saat yang tepat bagi para pemimpin Muslim Asia Tenggara
secara umum, khususnya lagi Indonesia, untuk menyadari bahwa ada masalah
radikalisme yang serius di antara individu dan kelompok Muslim tertentu.
Masalah ini haruslah ditanggapi secara bijaksana oleh para pemimpin moderat
secara bersama-sama dengan para penegak hokum. Inilah upaya yang tepat
mempertahankan wajah Islam sebagai agama damai dan demi kepentingan
Muslim Indonesia dan Asia Tenggara sebagai masyarakat Islam yang damai.
Jelas, radikalisme ini dapat dilihat pada dua level; pertama, kekerasan dan
manipulasi untuk membenarkan radikalisme dan terorisme dengan mengutip
doktrin-doktrin Islam tertentu. Tidak ragu lagi, kekerasan dapat muncul karena
interpretasi secara literal terhadap Islam. Kedua, penggunaan kekerasan dan
terorisme jelas bertolak belakang dengan nilai-nilai Islam.
Karena itu, sekarang saat yang tepat bagi para pemimpin Muslim moderat
untuk berbicara lebih jelas dan lantang bahwa interpretasi secara literal
terhadap Islam hanya menghasilkan ekstrimisme, dan itu tidak dapat diterima
dan ditoleransi nilai-nilai Islam. Tidak ada alasan apapun bagi setiap Muslim
untuk melakukan tindakan pengrusakan atau pembunuhan pihak lain, baik dari
kalangan Muslim atau non-Muslim. Berbagai macam kebencian dan kemarahan
yang dirasakan individu dan kelompok Islam manapun tidak seharusnya dibalas
dengan keputusasaan dan berbagai bentuk sikap tidak manusiawi.
Lebih jauh lagi, tidak semestinya para pemimpin Muslim moderat
terkecoh anggapan dan pernyataan para kaum radikal. Mereka sangat cerdik
dalam menyalahgunakan doktrin-doktrin keislaman demi kepentingan mereka
sendiri; dan memanipulasi masyarakat Muslim dengan penyalahgunaan dan
manipulasi media massa, khususnya media televisi. Pernyataan mereka, bahwa
penangkapan para pemimpin radikal merupakan penindasan terhadap Islam dan
ulama, adalah pernyataan yang menyesatkan. Sama halnya dengan pernyataan
yang mengatakan bahwa penyelidikan polisi di Indonesia terhadap pesantren
240
| 241
| 243
Jamhari & Jahroni, Jajang (ed.). Gerakan Salafi Radikal di Indonesia, Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2004.
Nursalim, Muh. Faksi Abdullah Sungkar dalam Gerakan NII Era Orde Baru,
Tesis MA, Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2001.
Reid, Anthony. Southeast Asia in the Age of Commerce, 1450-1680. New
Haven & London: Yale University Press, 1988 (Vol I); 1993 (Vol. II).
Ricklefs, M.C. The Seen and the Unseen Worlds in Java: History, Literature
and Islam in Court of Pakubuwana II, 1726-1749. Canberra: AAAS &
Allen Unwin, 1998.
Woodward, Mark R. Islam in Java: Normative Piety and Mysticism in the
Sultanate of Yogyakarta. Tucson: The University of Arizona Press, 1989.
Zada, Khamami. Islam Radikal: Pergulatan Ormas-ormas Islam Garis Keras di
Indonesia. Jakarta: Teraju, 2002.
244