PENGARUH PERBEDAAN BUDAYA SETEMPAT DAN KONDISI LINGKUNGAN PADA
MASJID AGUNG BANTEN DAN MASJID AGUNG DEMAK
Andiqa Rizka Nugraha Pratama dan Rinatha Anadariona korespondensi penulis : andiqa_rnp@yahoo.co.id dan anadarionarinatha@yahoo.co.id mahasiswa Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Diponegoro Semarang abstrak Pada saat Islam masuk ke Pulau Jawa, kebudayaan Hindu-Budha sudah melekat kuat di masyarakat. Kebudayaan Islam di Jawa berkembang di masyarakat yang telah memiliki bangunan berciri kebudayaan Hindu-Budha yang kemudian terjadilah akulturasi budaya pada bangunannya. Dalam bahasan ini akan diuraikan bagaimana pengaruh budaya yang terjadi di lingkungan setempat terhadap perbedaan pada ruangruang Masjid Agung Banten dan Masjid Agung Demak. Bahasan ini mencakup bagaimana proses terjadinya pola ruang dan bentuk pada Masjid Agung Banten dan Masjid Agung Demak akibat dari akulturasi budaya Hindu-Budha dan Islam sekaligus arsitektur tradisional Jawa Kata kunci : budaya setempat, perbedaan keruangan masjid, akulturasi budaya Latar Belakang Pada masa lalu orang Islam saat melakukan sembahyang, dan terutama dilaksanakan secara bersama-sama atau berjamaah selalu menyediakan tempat tersendiri yang berupa sebuah tanah lapang yang diberi batas-batas tertentu atau pagar. Pada perkembangannya, masjid tidak lagi berupa sebuah tanah lapang yang diberi batasan tertentu saja. Melainkan umat muslim sudah memberikan batasan tertentu yang lebih pasti dengan bentuk berupa bangunan fisik. Maka dari itu tidak heran bila di masingmasing wilayah memiliki bentuk masjid yang beraneka ragam. Hal ini menunjukkan fleksibilitas dan sifat adaptif dari masjid yang dapat menyesuaikan diri dengan lokasi tertentu (Selasih, 2013) Kota Keraton di Jawa dahulu, rata-rata mempunyai Alun-Alun dengan poros (axis) yang bagi bangunan-bangunan yang ada disekitarnya dan merupakan satu kesatuan yang memiliki hubungan erat, sehingga
membentuk struktur tata ruang pusat kota
yang baik dengan perletakan gedung-gedung yang jelas. Alun-alun merupakan titik sentral dari jalan-jalan utama yang menghubungkan bangunan-bangunan penting di sekitarnya. Sebelum Islam masuk dan berkembang, Indonesia sudah memiliki corak kebudayaan yang dipengaruhi oleh agama Hindu dan Budha. Dengan masuknya Islam, Indonesia kembali mengalami akulturasi yang melahirkan kebudayaan baru yaitu kebudayaan Islam Indonesia. Masuknya Islam tersebut tidak berarti kebudayaan Hindu dan Budha hilang. Salah satu bentuk perwujudannya adalah adanya makam yang terdapat di area masjid. Antara kebudayaan lokal yang telah ada sebelumnya dengan kebudayaan baru yang sifatnya lebih membaur dan tidak dipaksakan sebagai suatu doktrin baru, maka terjadilah akulturasi kebudayaan Jawa Hindu Buddha dan kebudayaan Islam.
Pola ruang pada bangunan Masjid Agung
Demak dan Masjid Agung Banten Secara makro Masjid Agung Demak berdiri di tengah kota menghadap alun-alun yang diyakini masyarakat muslim sebagai pusat kemasyarakatan dan keumatan. Berdasarkan pola pembangunan kota-kota di Jawa yang diawali dari Dinasti Bintoro, menjadi satu kesatuan antara masjid, keraton dan sarana pendukungnya termasuk alun-alun di bagian tengah. Maka tidak jauh dari Masjid Agung Demak terdapat bekas keraton Demak Bintoro. Pada tahun 1947, peneliti Belanda G.F. Pijper telah menyebutkan bahwa tipe bentuk masjid di Indonesia berasal dari Masjid Jawa. Menurutnya ada enam karakter umum tipe Masjid Jawa itu yakni: 1) berdenah bujur sangkar, 2) lantainya langsung berada pada fundamen yang masif atau tidak memiliki kolong lantai sebagaimana rumah-rumah vernakular Indonesia atau tempat ibadah berukuran kecil seperti langgar (Jawa), tajug (Sunda), dan bale (Banten), 3) memiliki atap tumpang dari dua hingga lima tumpukan yang mengerucut ke satu titik di puncaknya, 4) mempunyai ruang tambahan pada sebelah barat atau barat laut untuk mihrab, 5) mempunyai beranda baik pada sebelah depan (timur) atau samping yang biasa disebutsurambi atau siambi (Jawa) atau tepas masjid (Sunda), dan 6) memiliki ruang terbuka yang mengitari masjid yang dikelilingi pagar pembatas dengan satu pintu masuknya di bagian muka sebelah timur (Akbar, 2011).
(a) Masjid Agung Demak(b) Masjid Agung Banten
gambar 1. Peta kawasan skala makro
Pada skala mezo, di dalam lokasi
kompleks Masjid Agung Demak terdapat beberapa makam raja-raja kesultanan Demak dan terdapat sebuah museum. Penempatan makam yang dekat dengan masjid serta terletak pada tempat yang lebih tinggi merupakan akulturasi antara kebudayaan lokal, Hindu-Budha dan Islam. Pada Masjid Agung Banten juga terdapat komplek makam sultan-sultan Banten serta keluarganya. Yaitu makam Sultan Maulana Hasanuddin dan istrinya, Sultan Ageng Tirtayasa, dan Sultan Abu Nasir Abdul Qohhar. Sementara di sisi utara serambi selatan terdapat makam Sultan Maulana Muhammad dan Sultan Zainul Abidin, dan lainnya. Masjid Agung Banten juga memiliki paviliun tambahan yang terletak di sisi selatan bangunan inti Masjid ini. Paviliun dua lantai ini dinamakan Tiyamah. Berbentuk persegi
panjang dengan gaya arsitektur Belanda kuno,
bangunan ini dirancang oleh seorang arsitek Belanda bernama Hendick Lucasz Cardeel. Menara yang menjadi ciri khas Masjid Banten terletak di sebelah timur masjid (Selasih, 2013).
gambar 1. Kolam air pada Masjid Agung Demak
gambar 2. Kompleks Masjid Agung Demak
Pada skala mikro (bangunan) bentuk
denah masjid keduanya berbentuk persegi dengan ruang yang luas menyerupai joglo seperti pada rumah tradisional Jawa. Masjid Agung Demak mempunyai bangunan-bangunan induk dan serambi. Bangunan induk memiliki empat tiang utama yang disebut saka guru. Bangunan serambi merupakan bangunan terbuka. Atapnya berbentuk limas yang ditopang delapan tiang yang disebut Saka Majapahit. Kolam air yang menghubungkan bagian luar dan masjid selain sebagai sarana mensucikan diri, terdapat maksud agar masyarakat selalu membersihkan diri dari berbagai kotoran yang menempel pada diri dan hati.
Bentuk pada bangunan Masjid Agung
Demak dan Masjid Agung Banten Masjid Agung Demak menggunakan atap bersusun tinggi berbentuk segitiga, konon setiap bagian terdapat makna yang tersirat dari bentuk-bentuk yang terwujud Pada Masjid Agung banten atap bangunan utama bertumpuk lima, mirip pagoda china. Ini adalah karya arsitektur china yang bernama Tjek Nan Tjut. Dua tumpukan atap paling atas itu tampak lebih berfungsi sebagai mahkota dibanding sebagai atap penutup ruang bagian dalam bangunan. Dua buah serambi yang dibangun kemudian menjadi pelengkap di sisi utara dan selatan bangunan utama (Ifan, 2012). Menara Masjid Agung Banten berbentuk mercusuar yang tinggi menjulang. Awalnya, sebelum difungsikan sebagai menara masjid, menara ini digunakan sebagai menara rambu dan pengintai untuk Pelabuhan Banten yang kerap menjadi sasaran serangan oleh kekuatan-kekuatan Eropa sebagai rival Belanda. Menara ini dibangun oleh seorang arsitek Belanda, Hendrik Lucasz Cardeel, yang bekerja di kota pelabuhan itu pada abad ke-17M.
gambar 2. Menara pada Masjid Agung Banten
Fisik bangunan pada makam dapat
dijumpai bangunan kijing (bangunan makam yang terbuat dari tembok batu bata) yang disertai cungkup di atasnya. Dalam ajaran Islam tidak ada aturan tentang adanya kijing atau cungkup. Adanya bangunan candi dalam ajaran Hindu-Budha. Kesimpulan Bentuk maupun pola ruang pada masjid tidak seluruhnya mengadaptasi dari asalnya yaitu negeri Islam melainkan memanfaatkan potensi-potensi setempat dan masih terdapat unsur budaya Hindu-Budha karena kebudayaan dan kebiasaan yang sudah melekat pada masyarakat pada saai itu. Senarai Pustaka Akbar, T. (2011). Academia.edu. Retrieved 2015, from Arsitektur Masjid Jawa: https://www.academia.edu/7443651/Ar sitektur_Masjid_Jawa
Budi, B. S. (2005). A Study on the History and
Development of the Javanese Mosque Part 2: The Historical Setting and Role of the Javanese Mosque under the Sultanates . journal of Asian Architecture and Building Engineering. Budi, B. S. (2006). A Study on the History and Development of the Javanese Mosque Part 3: Typology of the Plan and Structure of the Javanese Mosque and Its Distribution . Journal of Asian Architecture and Building Engineering. Handinoto, & Hartono, S. (2007). PENGARUH PERTUKANGAN CINA PADA BANGUNAN MESJID KUNO DI JAWA ABAD 15-16. Dimensi Journal of Architecture and Built Environment. Ifan, D. (2012). Struktur dan Arsitektur Masjid Agung Banten. Retrieved 2015, from Struktur dan Arsitektur Masjid Agung Banten: https://www.academia.edu/7962838/Ar sitektur_Islam_di_Indonesia Selasih, S. (2013). Academia.edu. Retrieved 2015, from Arsitektur Islam di indonesia: https://www.academia.edu/7962838/Ar sitektur_Islam_di_Indonesia