Manusia Dan Masyarakat Indonesia Bab I
Manusia Dan Masyarakat Indonesia Bab I
BAB I
Apakah kekhasan manusia di tengah makhluk yang lain? Inilah pertanyaan yang
terus-menerus terulang dalam sejarah, bahkan dalam kehidupan manusia secara pribadi.
Manusia adalah makhluk yang multidimensional, paradoksal dan dinamis. Maka, tidak
mengherankan bahwa pandangan atas manusia pun beraneka ragam. Keanekaragaman
pandangan tampak dalam keanekaragaman definisi. Yang paling terkenal adalah definisi dari
Aristoteles yang mengatakan: Manusia adalah animal rationale (hewan yang berakal budi).
Pandangan filsafat lainnya merumuskan bahwa manusia adalah animal loquens (makhluk
yang berbicara). Keunggulan manusia dalam hal bahasa sangatlah nyata dan bahasa hewan
sangatlah berbeda dengan bahasa manusia. Manusia mampu berbicara dalam bahasa lisan dan
mampu mengembangkannya dalam bahasa tulisan.
Filsuf lain merumuskan manusia sebagai a symbolic animal. Sebuah simbol bersifat
multidimensional. Bahasa simbol sangat khusus berperan dalam bahasa cinta dan bahasa
religius. Lain lagi dengan Karl Marx. Ia menemukan keunggulan manusia dalam
pekerjaannya. Maka, manusia juga disebut makhluk yang bekerja. Banyak definisi lainnya
yang muncul untuk merumuskan kekhasan manusia di tengah makhluk lainnya di dunia ini.
Manusia dirumuskan sebagai an ethical being, an aesthetical being, a metaphysical being, a
religious being.
Definisi-definisi yang dilontarkan banyak filsuf masih membawa berbagai kesulitan.
Misalnya Aristoteles yang mengatakan bahwa ciri khas manusia adalah sebagai animal
rationale atau dikuasai oleh kekuatan rasionya dan bukan oleh nafsu atau naluri, maka sulit
dimengerti untuk menjelaskan terjadinya keserakahan kapitalisme, peperangan dunia,
terorisme yang selalu memakan banyak korban dan membunuh ibu dan anak-anak dalam
jaman peradaban kita sekarang. Kita bisa mengatakan bahwa itu semua terjadi justru karena
penggunaan rasio yang semakin canggih, yang disalahgunakan dan diselewengkan.
Teilhard de Chardin dalam The Phenomenon of Man menjawab kesulitan definisi ciri
khas manusia ini. Ia mengatakan bahwa Hewan mengetahui, tetapi hanya manusia
mengetahui bahwa ia mengetahui. Manusia memiliki kemampuan refleksi diri atau
kesadaran reflektif. Hewan, di sisi lain, tidak mampu untuk berefleksi tentang dirinya.
Mereka tidak memiliki kemampuan refleksi mengenai tindakan berpikir itu sendiri.
Kesadaran diri atau refleksi diri itu merupakan ciri khas manusia yang menentukan. Refleksi
diri juga merupakan aktivitas manusia yang membedakan dirinya dengan orang lain. Dengan
menjadikan dirinya pusat refleksi, ia menarik diri dari lingkungan dan dari orang lain yang
berada
dalam
lingkungannya.
Kemampuan refleksi diri yang menjadi kekhasan manusia itu menjadi sumber dari berbagai
ciri lainnya: rasionalitas, ingatan kembali, kesadaran akan kematian, kemampuan bunuh diri,
aspirasi religius dan lain-lain. Refleksi-diri juga merupakan aktivitas yang membedakan
dirinya dengan orang lain. Dengan kemampuan refleksi-nya, manusia memiliki keterbukaan
terhadap dunia (openness to the world), tidak dibatasi oleh naluri dan stimulus spesifik.
Dengan demikian manusia mampu mengimbangi kelemahan nalurinya dengan kebebasan dan
rasionalitas. Kemampuan reflektif membuat manusia mampu menghadapi dirinya dan realitas
lainnya sebagai objek. Ia dapat mengambil jarak terhadap lingkungannya. Dengan demikian
kemampuan refleksi diri manusia merupakan dasar dari perbedaan-perbedaan yang lain
dengan binatang.
Tradisi kristiani dan metafisik menempatkan kekhasan manusia pada jiwa yang tidak
dapat mati, yang membuat martabat manusia mengatasi seluruh kosmos. Dalam
perkembangannya, filsafat modern tidak lagi mencari kekhasan manusia menurut tradisi
kristiani yaitu dalam kerangka hubungan manusia dengan kosmos atau Allah. Pada abad 19
diusahakan untuk mengatasi dualisme badan-jiwa dengan melihat keunikan manusia dalam
kejasmaniannya. Kekhasan manusia itu dicari melalui refleksi mengenai tempat manusia di
dalam alam semesta dan terutama dalam perbandingan manusia dengan binatang. Pendekatan
ini seolah-olah kembali pada pendekatan kaum stoa yang memahami manusia dalam
kerangka tertib kosmik sebagai mikrokosmos.
Selaras dengan teori evolusi Darwin, antropologi mengandaikan kontinuitas hewan
dan manusia dan kemudian mencoba menentukan tempat khas manusia dalam kontinuitas ini
dan bukannya memasukkan prinsip asing ke dalam alam. Pendekatan ini dipelopori oleh J.G.
Herder dan Friederich Nietzsche serta pendekatan psikologi yang tidak lagi mempelajari
psyche melalui introspeksi tetapi melalui observasi perilaku ekstrim. Cara pandang seperti ini
disebut perspektif antropo-biologi. Secara sederhana, bisa dikatakan bahwa pendekatan ini
merupakan cara pandang fenomenologis yang mencari kekhasan manusia sebagaimana
terlihat dalam perilaku dan kejasmaniannya. Pendekatan ini lebih-lebih dilakukan oleh
behaviourisme Amerika di satu sisi dan sisi lain oleh penelitian antropologi filsafat yang
bertolak dari penelitian biologis atas prilaku manusia.
Pendekatan behaviouristik dilakukan oleh J.B. Watson, B.F. Skinner dan I.P. Pavlov
dalam menggambarkan perilaku sebagai adaptasi terhadap lingkungan yang didasarkan pada
menganalisis dan mentransformasikan materi. Materi dilihat sebagai alam yang menjadi
objek kegiatan pembudayaan dan tranformasi dari pihak manusia. Ekspresi roh paling nyata
adalah rasionalitas impersonal ilmu pengetahuan. Hegel dan kaum idealis melihat roh
terutama dalam karya budaya, hasil aktivitas rasional manusia. Roh adalah pencipta budaya
(rasionalitas universal), maka dapat disebut roh yang mengobjektivasi-diri dan roh juga
keseluruhan perwujudan budaya.
Pendekatan ketiga mengatasi baik antitesis dengan materi (immateriale), maupun
afinitas dengan materi (roh objektif dan rasional), dengan menekankan hubungan antarpersonal/antar-pribadi. Dalam konteks ini, roh tidak memperlihatkan kualitas atau sifat yang
berbeda dari materi, tetapi keberlainan subjek atau persona. Roh manusia tidak berlainan
dengan dunia material, tetapi setiap orang ada sebagai subjek, persona, seseorang Aku
berhadapan dengan Engkau. Menjadi pribadi, persona, subjek yang unik dan tak
tertukarkan, bukan suatu kualitas (yang impersonal dan netral), tetapi sesuatu yang tidak
masuk lagi dalam kancah kualitas dan kepemilikan dan kita tidak dapat menemukan atau
merekonstruksikannya menurut akumulasi sifat-sifat. Pikiran, kehendak, kebebasan, dan lainlain tidak ada pada roh. Semuanya itu adalah abstraksi. Yang ada adalah persona konkrit yang
tak bida dipertukarkan. Berpikir, berkehendak, dan lain-lain itu adalah cara berada subjek
personal. Persoalan roh tidak menyangkut immaterialitas dari kemampuan intelektif atau
volitif, tetapi keberlainan dan keunikan setiap persona. Fakta intersubjektivitas persona
adalah tempat di mana dengan jelas hakekat roh memanifestasikan diri dan dengan kepastian
dimanifestasikan ketidakmungkinan direduksikannya roh ke dalam material badani dan
evolutif. Manusia lain tak bisa dipertukarkan secara mutlak dipertukarkan dengan bendabenda dunia. Yang lain itu nampak terutama sebagai subjek lain di hadapanku dan tak dapat
dicampuradukkan dengan aku. Ia dan aku unik dan eksterior. Pendekatan antar subjektiviatas
ini memungkinkan kerohanian manusia menjadi nyata.
Refleksi atas manusia yang memiliki eksistensi tubuh dan roh adalah bahwa
manusia sebagai persona yang melalui roh dan tubuh hadir di dunia. Tidak ada roh, tak
mungkin persona memikirkan suatu cara-berada yang sekaligus suatu cara-berada-didunia. Aku yang adalah roh dan badanku mempunyai pengalaman asasi bereksistensi.
Tidak akan ditemukan Aku yang terpisah dari dunia dan juga tidak ditemukan suatu dunia
yang terpisah dari aku. Rohku menjadi manusiawi karena kesatuannya dengan badanku. Jika
badanku sakit, rohku berteriak, dan akulah yang sakit. Badanku dan rohku identik, tetapi
sekaligus tidak identik. Wajahku tampak sangar, padahal sebenarnya hatiku baik. Aku bisa
melakukan
semuanya
itu
karena
aku
sebagai
manusia
yang
paradoksal.