Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN
Kejang demam merupakan salah satu masalah neurologis yang paling sering
ditemukan pada anak. Terminologi kejang demam banyak mengalami perubahan
seiring dengan perkembangan teknologi. Pada tahun 1949, Lennox mengatakan
bahwa febrile convulsion ialah kelainan patologis pada otak akibat deficit neurologis
baik bersifat transient ataupun permanen. Sedangkan menurut Robinson tahun 1991,
kejang demam merupakan bangkitan kejang dengan prognosis yang baik (Robinson,
1991).
Berdasarkan definisi dari The international League Against Epilepsy
(Commision on Epidemiology and Prognosis, 1993), kejang demam adalah kejang
yang disebabkan oleh kenaikan suhu tubuh lebih dari 38.4 oC tanpa adanya infeksi
susunan syaraf pusat atau gangguan elektrolit akut pada anak berusia diatas 1 bulan
tanpa riwayat kejang demam sebelumnya (Pusponegoro et. al., 2006).
Kejadian kejang demam tergantung pada usia. 85% kejang demam pertama
terjadi pada anak sebelum berusia 4 tahun, terutama 17-23 bulan. Jarang yang
mengalami kejang demam pertama sebelum usia 5-6 bulan atau setelah usia 5-8 tahun
(Soetomenggolo, 2000).
2-5% anak pernah mengalami kejang demam minimal 1 kali, biasanya kejang
demam tipe sederhana. Kejang demam tipe sederhana tidak memiliki resiko
mortalitas yang tinggi meskipun memiliki riwayat pada keluarga. Sedangkan kejang
demam tipe kompleks memiliki resiko mortalitas 2 kali lipat setelah 2 tahun
menderita kejang demam, hal ini disebabkan oleh coexisting factors (Mikati, 2011).
Diantara anak-anak yang mengalami kejang demam sekitar 70-75% ialah kejang
demam sederhana, 20-25% kejang demam kompleks dan sekitar 5% adalah kejang
demam berulang (Baumann, 2001).

Anak yang mengalami kejang demam rentan untuk mengalami kekambuhan.


30% anak mengalami kejang demam ulangan setelah mengalami kejang demam
pertama kali dan 50% mengalami kejang demam ulangan setelah mengalami kejang
demam kedua atau lebih. Dimana 50% terjadi pada anak dengan onset kejang demam
pertama di bawah usia 1 tahun (Mikati, 2011).
Salah satu komplikasi yang paling dikhawatirkan ialah timbulnya epilepsi.
15% anak dengan epilepsi memiliki kejang demam. Namun hanya 2-7% anak dengan
kejang demam yang berkembang menjadi epilepsy di kemudian hari (Mikati, 2011).
Kemungkinan terjadinya epilepsi pada anak kejang demam tidak dapat dicegah
dengan pemberian obat rumatan sekalipun (Pusponegoro et. al., 2006).

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Kejang Demam
2.1.1 Definisi
Kejang demam berdasarkan The International League Against Epilepsy ialah
bangkitan kejang yang diikuti dengan peningkatan suhu tubuh (>100.4oF atau 38oC)
tanpa disertai infeksi susunan syaraf pusat atau gangguan elektrolit akut, terjadi pada
anak dengan rentan usia 6 bulan 5 tahun (AAP, 2010). Anak yang pernah
mengalami kejang tanpa demam kemudian kejang demam kembali maka tidak
termasuk dalam kejang demam (ILAE, 1993)
Kejang disertai demam pada bayi berumur kurang dari 1 bulan tidak termasuk
dalam kejang demam. Bila anak berumur kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun
mengalami kejang yang didahului oleh demam, pikirkan kemungkinan lain misalnya
infeksi SSP, atau epilepsy yang kebetulan terjadi bersama demam (Pusponegoro et.
al., 2006).

2.1.2 Faktor Resiko dan Etiologi


Hingga saat ini belum diketahui penyebab pasti dari kejang demam. Namun
faktor resiko yang paling penting terhadap kejadian kejang demam ialah demam.
Demam sering disebabkan oleh infeksi saluran pernafasan atas, otitis media,
pneumonia, gastroenteritis dan infeksi saluran kemih. Faktor resiko lainnya ialah
riwayat keluarga kejang demam, masalah pada masa neonatus dan kadar natrium
rendah (Mansjoer, 2000).

Seseorang yang sudah pernah mengalami kejang demam rentan mengalami


kejang demam ulangan. Adapun faktor faktor yang mempengaruhi dapat dilihat pada
tabel 2.1.
Tabel 2.1 Faktor resiko terjadinya kejang demam ulangan
Mayor
Usia < 1 tahun
Durasi demam < 24 jam
Demam 38-39oC
Minor
Riwayat keluarga kejang demam
Riwayat keluarga epilepsy
Riwayat kejang demam kompleks
Laki-laki
Kadar natrium yang rendah
*Jika tidak memiliki faktor resiko diatas maka resiko kejang demam ulangan 12%, 1 faktor resiko 2550%, 2 faktor resiko 50-59%, 3 atau lebih 73-100%.

Mikati MA, 2011. Febrile Seizures. In: Nelson textbook of pediatrics. Elsevier Ed.
19th;2017-2018

2.1.3 Klasifikasi
Secara umum kejang demam terbagi atas dua :
a. Kejang demam sederhana
Kejang demam berlangsung singkat, kurang dari 15 menit, dan
umumnya akan berhenti sendiri. Kejang berbentuk umum tonik dan atau
klonik tanpa adanya gerakan fokal. Kejang tidak berulang dalam waktu 24
jam. Kejang demam sederhana merupakan 80% diantara seluruh kejang
demam (Pusponegoro et. al., 2006).

b. Kejang demam kompleks


Kejang lama > 15 menit, bersifat fokal atau parsial satu sisi atau
kejang umum didahului kejang parsial, berulang atau lebih dari 1 kali
dalam 24 jam. Dikatakan kejang lama jika durasi lebih dari 15 menit atau
kejang berulang lebih dari 2 kali dan diantara bangkitan kejang anak tidak
sadar (Pusponegoro et. al., 2006).

2.1.4 Patofisiologi
Sel dikelilingi oleh suatu membrane yang terdiri dari permukaan dalam adalah
lipoid dan permukaan luar adalah ionic. Dalam keadaan normal membrane sel neuron
dapat dilalui dengan mudah oleh ion kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion
natrium (Na+) dan elektrolit lainnya, kecuali ion klorida (Cl-). Akibatnya konsentrasi
K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi Na+ rendah, sedangkan diluar sel
terdapat keadaan sebaliknya). Karena perbedaan jenis dan konsentrasi didalam dan
diluar sel, maka disebut potensial membrane. Untuk menjaga keseimbangan potensial
membaran diperlukan energi dan bantuan enzim Na-K-ATPase yang terdapat pada
permukaan sel (Hasan & Alatas dkk, 2002).
Pada keadaan demam kenaikan suhu 1C akan mengakibatkan kenaikan
metabolisme basal 10%-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada
seorang anak berumur 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh,
dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15%. Jadi pada kenaikan suhu tubuh
tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam
waktu yang singkat terjadi difusi dari ion Kalium maupun ion Natrium melalui
membran tadi, dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik (Hasan & Alatas dkk,
2002).
Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh
sel maupun ke membran sel tetangganya dengan bantuan bahan yang disebut

neurotransmitter dan terjadilah kejang. Tiap anak mempunyai ambang kejang yang
berbeda dan tergantung tinggi rendahnya ambang kejang seeorang anak menderita
kejang pada kenaikan suhu tertentu. Pada anak dengan ambang kejang yang rendah,
kejang telah terjadi pada suhu 38C sedangkan pada anak dengan ambang kejang
yang tinggi, kejang baru terjadi pada suhu 40C atau lebih. Dari kenyataan inilah
dapatlah disimpulkan bahwa terulangnya kejang demam lebih sering terjadi pada
ambang kejang yang rendah sehingga dalam penanggulangannya perlu diperhatikan
pada tingkat suhu berapa penderita kejang (Hasan & Alatas dkk, 2002).
Kejang demam yang berlangsung singkat pada umumnya tidak berbahaya dan
tidak menimbulkan gejala sisa. Tetapi pada kejang yang berlangsung lama (lebih dari
15 menit) biasanya disertai terjadinya apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen dan
energi untuk kontraksi otot skelet yang akhirnya terjadi hipoksemia, hiperkapnia,
asidosis laktat disebabkan oleh metabolisme anaerobik, hipotensi arterial disertai
denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh makin meningkatnya aktifitas otot
dan selanjutnya menyebabkan metabolisme otak meningkat. Rangkaian kejadian di
atas adalah faktor penyebab hingga terjadinya kerusakan neuron otak selama
berlangsungnya kejang lama (Hasan & Alatas dkk, 2002).
Faktor terpenting adalah gangguan peredaran darah yang mengakibatkan
hipoksia sehingga meninggikan permeabilitas kapiler dan timbul edema otak yang
mengakibatkan kerusakan sel neuron otak. Kerusakan pada daerah mesial lobus
temporalis setelah mendapat serangan kejang yang berlangsung lama dapat menjadi
matang di kemudian hari, sehingga terjadi serangan epilepsi yang spontan. Jadi
kejang demam yang berlangsung lama dapat menyebabkan kelainan anatomis di otak
hingga terjadi epilepsi (Hasan & Alatas dkk, 2002).

2.15 Manifestasi Klinis


Umumnya kejang demam berlangsung singkat, berupa serangan kejang klonik
atau tonik klonik bilateral. Seringkali kejang berhenti sendiri. Setelah kejang berhenti
anak tidak memberi reaksi apapun untuk sejenak, tetapi setelah beberapa detik atau
menit anak terbangun dan sadar kembali tanpa defisit neurologis. Kejang demam
diikuti hemiparesis sementara (Hemeparesis Tood) yang berlangsung beberapa jam
sampai hari. Kejang unilateral yang lama dapat diikuti oleh hemiparesis yang
menetap. Bangkitan kejang yang berlangsung lama lebih sering terjadi pada kejang
demam yang pertama. Kejang berulang dalam 24 jam ditemukan pada 16% paisen
(Soetomenggolo, 2000).
Kejang yang terkait dengan kenaikan suhu yang cepat dan biasanya
berkembang bila suhu tubuh (dalam) mencapai 39C atau lebih. Kejang khas yang
menyeluruh, tonik-klonik beberapa detik sampai 10 menit, diikuti dengan periode
mengantuk singkat pasca-kejang. Kejang demam yang menetap lebih lama dari 15
menit menunjukkan penyebab organik seperti proses infeksi atau toksik yang
memerlukan pengamatan menyeluruh (Soetomenggolo, 2000).
2.1.6

Diagnosis

a. Anamnesis
Beberapa informasi yang dapat mendukung diagnosis ke arah kejang demam,
seperti:
-

Menentukan adanya kejang, jenis kejang, kesadaran, lama kejang, suhu


sebelum dan saat kejang, frekuensi, interval pasca kejang, penyebab
demam diluar susunan saraf pusat.

Beberapa hal yang dapat meningkatkan risiko kejang demam, seperti


genetik, menderita penyakit tertentu yang disertai demam tinggi, serangan
kejang pertama disertai suhu dibawah 39 C.

Beberapa faktor yang memengaruhi terjadinya kejang demam berulang


adalah usia< 15 bulan saat kejang demam pertama, riwayat kejang demam
dalam keluarga, kejang segera setelah demam atau saat suhu sudah relatif
normal, riwayat demam yang sering, kejang demam pertama berupa
kejang demam kompleks (Dewanto dkk,2009).

b. Pemeriksaan Fisik
-

Suhu tubuh mencapai 39C.

Sering disertai kehilangan kesadaran saat kejang.

Kepala anak sering terlempar keatas, mata mendelik, tungkai dan lengan
mulai kaku, bagian tubuh anak menjadi berguncang.

Kulit pucat bahkan sianosis

Serangan terjadi beberapa menit setelah anak itu sadar (Dewanto dkk,
2009).

c. Pemeriksaan Penunjang
-

Pemeriksaan Darah
Pemeriksaan darah lengkapm dan elektrolit tidak secara rutin
direkomendasikan. Namun pemeriksaan ini dapat dilakukan untuk
mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam (Pusponegoro et.
al.,2006). Pemeriksaan kadar gula darah harus dilakukan jika kejang > 15
menit atau jika pasien mengalami penurunan kesadaran. Jika kadar gula

darah < 3 mmol/L perlu dilakukan koreksi dextrosa 10% dengan dosis 5
-

cc/kgBB (Farrel, 2011).


Lumbal Punksi
Pemeriksaan cairan cerebrospinal dilakukan untuk menyingkirkan
kemungkinan kejang yang diakibatkan oleh meningitis. Resiko terjadinya
meningitis bakterialis ialah 0.6-6.7%. Pemeriksaan ini terutama dilakukan
pada bayi kecil karena manifestasi klinis dari meningitis yang tidak jelas
atau anak yang sudah mendapat terapi antibiotik sehingga gejala klinis
sudah berkurang.
1.
2.
3.

Oleh karena itu lumbal punksi dianjurkan pada :


Bayi < 12 bulan sangat dianjurkan
Bayi 12-18 bulan dianjurkan
Bayi > 18 bulan tidak rutin

Namun apabila secara klinis yakin jika kejang bukan disebabkan oleh
meningitis makan pemeriksaan lumbal punksi tidak perlu dilakukan
(Baumer, 2004).
-

Elektroensefalografi (EEG)
Pada kejang demam sederhana yang pertama tidak perlu pemeriksaan
EEG tidak direkomendasikan. Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG)
tidak dapat memprediksi berulangnya kejang, atau memperkirakan
kemungkinan kejadian epilepsi pada pasien kejang demam. Oleh
karenanya tidak direkomendasikan.

Pemeriksaan EEG masih dapat

dilakukan pada keadaan kejang demam yang tidak khas. Misalnya: kejang
demam kompleks pada anak usia lebih dari 6 tahun, atau kejang demam
fokal (Pusponegoro et. al.,2006).

2.1.7 Penatalaksanaan
Adapun tujuan pengobatan kejang demam pada anak adalah
1.
2.
3.
4.

Mencegah demam berulang


Mencegah status epileptikus
Mencegah epilepsy dan atau retardasi mental
Normalisasi kehidupan anak dan keluarga

Terdapat 3 tahap dalam tatalaksana kejang demam :


1. Pengobatan Fase Akut
Biasanya kejang demam berlangsung singkat dan pada waktu pasien
datang kejang sudah berhenti. Apabila datang dalam keadaan kejang obat
yang paling cepat untuk menghentikan kejang adalah diazepam yang
diberikan secara intravena. Dosis diazepam intravena adalah 0,3-0,5 mg/kg
perlahan-lahan dengan kecepatan 1-2 mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit,
dengan dosis maksimal 20 mg (Pusponegoro et. al., 2006).
Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orang tua atau di rumah
adalah diazepam rektal. Dosis diazepam rektal adalah 0,5-0,75 mg/kg atau
diazepam rektal 5 mg untuk anak dengan berat badan kurang dari 10 kg dan
10 mg untuk berat badan lebih dari 10 kg. Atau diazepam rektal dengan dosis
5 mg untuk anak dibawah usia 3 tahun atau dosis 7,5 mg untuk anak di atas
usia 3 tahun. Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti,
dapat diulang lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5
menit (Pusponegoro et. al., 2006).
Bila setelah 2 kali pemberian diazepam rektal masih tetap kejang,
dianjurkan ke rumah sakit. Di rumah sakit dapat diberikan diazepam intravena
dengan dosis 0,3-0,5 mg/kg. Bila kejang tetap belum berhenti diberikan
fenitoin secara intravena dengan dosis awal 10-20 mg/kg/kali dengan

10

kecepatan 1 mg/kg/menit atau kurang dari 50 mg/menit. Bila kejang berhenti


dosis selanjutnya adalah 4-8 mg/kg/hari, dimulai 12 jam setelah dosis awal
(Pusponegoro et. al., 2006).
Bila dengan fenitoin kejang belum berhenti maka pasien harus dirawat
di ruang rawat intensif. Bila kejang telah berhenti, pemberian obat selanjutnya
tergantung dari jenis kejang demam apakah kejang demam sederhana atau
kompleks dan faktor risikonya (Pusponegoro et. al., 2006).
Tindakan suportif awal yang harus dilakukan pada anak kejang ialah
-

Memastikan bahwa jalan nafas terbuka bila perlu lakukan intubasi atau

trakeostomi.
Miringkan kepala pasien untuk mencegah terjadinya aspirasi.
Buka pakaian anak
Pengisapan lendir (suctioning) secara teratur
Pemberian oksigen
Kompres hangat (Deliana, 2002)

2. Mencari dan mengobati penyebab


Kejang demam dengan suhu tinggi dapat terjadi karena faktor lain
seperti meningitis atau ensefalitis. Oleh sebab itu pemeriksaan cairan
serebrospinal diindikasikan pada anak pasien kejang demam berusia
kurang dari 2 tahun, karena gejala rangsang meningeal sulit ditemukan
pada kelompok usia tersebut. Pemeriksaan laboratorium lain dilakukan
oatas indikasi untuk mencari penyebab seperti pemeriksaan darah rutin,
kadar gula dan dan elektrolit. Pemeriksaan CT-Scan dilakukan pada anak
dengan kejang demam yang tidak diprovokasi oleh demam dan pertama
kali terjadi terutama jika kejang atau pemeriksaan post iktal menunjukkan
abnormalitas fokal (deliana, 2002).
3. Pengobatan profilaksis terhadap kejang demam berulang
a. Profilaksis waktu demam

11

Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi risiko terjadinya kejang demam namun para ahli di Indonesia
sepakat bahwa antipiretik tetap dapat diberikan. Dosis parasetamol
yang digunakan adalah 10 15 mg/kg/kali diberikan 4 kali sehari dan
tidak lebih dari 5 kali. Dosis Ibuprofen 5-10 mg/kg/kali, 3-4 kali
sehari.
Selain pemberian antipiretik, perlu diberikan antikonvulsan.
Pemakaian diazepam oral dosis 0,3 mg/kg setiap 8 jam pada saat
demam menurunkan risiko berulangnya kejang pada 30%-60% kasus,
begitu pula dengan diazepam rektal dosis 0,5 mg/kg setiap 8 jam pada
suhu > 38,50C. Dosis tersebut cukup tinggi dan menyebabkan ataksia,
iritabel dan sedasi yang cukup berat pada 25-39% kasus.
Fenobarbital, karbamazepin, dan fenitoin pada saat demam tidak
berguna untuk mencegah kejang demam.
b. Profilaksis terus menerus
Indikasi pemberian profilaksis terus menerus ialah :
1.
Kejang lama > 15 menit
2.
Adanya kelainan neurologis yang nyata sebelum atau
sesudah kejang, misalnya hemiparesis, paresis Todd, cerebral
palsy, retardasi mental, hidrosefalus.
Kejang fokal
Kejang berulang dua kali atau lebih dalam 24 jam atau

3.
4.

kejang demam terjadi pada bayi kurang dari 12 bulan atau


kejang demam > 4 kali per tahun
Profilaksis terus menerus diberikan selama 1-2 tahun setelah
kejang demam terakhir dan dihentikan secara bertahap selama 1-2
tahun. Sebagai antikonvulsan profilaksis diberikan fenobarbital dosis
4-5 mg/KgBB perhari. Dosis 16 mg/ml dalam darah menunjukkan

12

hasil yang bermakna dalam pencegahan kejang demam berulang


(Saing, 1999).
Namun pemberian fenobarbital setiap hari dapat menimbulkan
gangguan prilaku dan kesulitan belajar pada 40-50% kasus Sehingga
obat yang kini menjadi pilihan ialah asam valproat dengan dosis 15-40
m/KgBB/hari dibagi dalam 2-3 kali sehari. Adapun efek samping yang
ditimbulkan dari asam valproat adalah hepatotoksik, tremor dan
alopesia (Pusponegoro et. al., 2006).
2.1.8

Prognosis
Kejadian kecacatan sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah

dilaporkan. Perkembangan mental dan neurologis umumnya tetap normal pada pasien
yang sebelumnya normal. Ditemukan kelainan neurologis pada sebagian kecil kasus,
namun hanya dijumpai biasanya pada kasus dengan kejang lama atau kejang berulang
baik umum atau fokal. Sedangkan kematian karena kejang demam tidak pernah
dilaporkan (Pusponegoro, 2006).

13

2.1.9 Edukasi
Kejang demam pada anak menimbulkan kekhwatiran bagi pada orangtua.
Oleh karena itu perlu edukasi dini dan tepat kepada orangtua diantaranya :
1. Menyakinkan bahwa kejang demam umumnya mempunyai prognosis baik
2. Memberitahukan cara penanganan kejang
Adapun hal yang harus dilakukan orangtua jika anak kembali kejang
diantaranya ialah :
- Tetap tenang dan tidak panik
- Kendorkan pakaian yang ketat terutama disekitar leher
- Bila tidak sadar, posisikan anak terlentang dengan kepala miring.
Bersihkan muntahan atau lendir di mulut atau hidung. Walaupun
-

kemungkinan lidah tergigit, jangan memasukkan sesuatu kedalam mulut.


Ukur suhu, observasi dan catat lama dan bentuk kejang.
Tetap bersama pasien selama kejang
Berikan diazepam rektal. Dan jangan diberikan bila kejang telah berhenti.
Bawa kedokter atau rumah sakit bila kejang berlangsung 5 menit atau

lebih
3. Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali
4. Pemberian obat untuk mencegah rekurensi memang efektif tetapi harus
diingat adanya efek samping (Pusponegoro, 2006).

14

BAB III
KESIMPULAN
Kejang demam berdasarkan The International League Against Epilepsy ialah
bangkitan kejang yang diikuti dengan peningkatan suhu tubuh (>100.4oF atau 38oC)
tanpa disertai infeksi susunan syaraf pusat atau gangguan elektrolit akut, terjadi pada
anak dengan rentan usia 6 bulan 5 tahun. Kejang demam dapat dicegah apabila
orangtua mengetahui tanda-tanda dini sebelum anak jatuh pada kejang demam.
Orangtua harus tetap tenang dan melakukan tindakan suportif awal apabila
menjumpai anak dengan kejang demam sebelum merujuk ke dokter untuk
pengobatan.

15

DAFTAR PUSTAKA

American Academy of pediatric, 2010. Febrile Seizure : Guideline for the


Neurodiagnostic Evaluation of the Child With a Simple Febrile Seizure. Pediatrics
:2011;2010-3318
Baumer JH, 2004. Evidence Based Guideline for Post-seizureManagement in
Children Presenting Acuteliy to Secondary Care. Arch Dis Child 2004; 89:278280.
Baumann, 2001. Febrile Seizure.
Available From: http://www.e-medicine.medscape.com/article//117620.htm
Deliana M, 2002. Tatalaksana Kejang Demam pada Anak. Sari Pediatri Vol.4(2):5962.
Dewanto, Suwono, Riyanto, Turana, 2009. Kejang pada Anak. In: Panduan Praktis
Diagnosis & Tatalaksana Penyakit Syaraf. Jakarta: EGC;91-94.
Farrell K. Goldman RD., 2011. The Management of Febrile Seizures. BCMJ Vol.
53(6):268-273.
Hasan & Alatas, dkk. 2002. Buku Kuliah 2 Ilmu Kesehatan Anak. Bagian Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta : Infomedika
Ed. 11:847-855.
ILAE, Commission on Epidemiology and Prognosis. Epilepsia 1993; 34;592-8.
Mansjoer, 2000. Kejang Demam.In: Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media
Aesculapius Ed. 3(2).

16

Mikati MA, 2011. Febrile Seizures. In: Nelson textbook of pediatrics. Elsevier Ed.
19th;2017-2018
Robinson, R.J. (1991) Febrile Convulsions. Further reassuring news about
prognosis. Br. Med. J. 303, 1345-1346.
Pusponegoro H., Widodo DP., Ismael S., 2006. Konsensus Penatalaksanaan Kejang
Demam. Unit Kerja Koordinasi Neurologi Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2006
Saing B, 1999. Faktor Pada Kejang Demam Pertama yang Berhubungan Dengan
Terjadinya Kejang Demam Berulang (Studi selama 5 tahun). Medan : Balai
Penerbit FK USU, 1999: 1-44.
Soetomenggolo, 2000. Kejang Demam. In: Soetomenggolo, Ismael, Buku Ajar
Neurologi Anak. Jakarta: Balai Penerbit IDAI, 244-252

17

Anda mungkin juga menyukai