Anda di halaman 1dari 5

Analisis Struktur Gerakan Sosial Reformasi '98

diposting oleh retno-ayu-fisip12 pada 20 April 2014


di Umum - 0 komentar
Gerakan Sosial reformasi 98
Indonesia sebagai Negara berkembang sempat melewati masa krisis dalam penyelenggaraan
Negara, khususnya di tahun 1998. Keterpurukan ini sangat menjamin adanya disintegrasi bangsa.
Bukan saja karena semata-mata mutlak atas kebobrokan pemerintah, tapi juga terjerat sebuah
permasalahan financial global yang memaksa rakyat Indonesia turut merasakan penderitaan
ekonomi yang tidak biasa. Rakyat menginginkan sebuah tatanan baru dan resolusi baru dalam
konstelasi eksekutif. Citra rezim Orde Baru sudah ternodai oleh KKN (Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme) maka rakyat sudah semestinya menghendaki adanya perubahan rezim untuk
memberi suasana baru. Namun ketika Pemimpin tetap berkata "tidak untuk pergantian rezim,
maka disinilah elemen rakyat bertindak. Bertindak dengan kapasitas sedikit tentunya merupakan
hal yang percuma. Meski macan Orde Baru sudah ompong tapi setidaknya ia masih mempu
mengunyah mangsa kecil. Dari sinilah sebuah kesadaran kolektif masyarakat sangat diperlukan,
bahwa jika gerakan dengan kapasitas yang besar maka macan Orde Baru ini bisa dilumpuhkan.
Itulah yang dinamakan dengan Reformasi.
Lalu bagaimana dengan peran mahasiswa? Soe Hok-Gie seorang aktivis angkatan 66
memantapkan hakikat mahasiswa ketika dihadapkan dalam permasalahan diatas. Dalam catatan
Hariannya tanggal 14 januari 1963 ia menuliskan:
"Dalam keadaan inilah seharusnya kaum intelegensia bertindak, berbuat sesuatu. . . . . . . .
Bidang seorang sarjana adalah berpikir dan mencipta yang baru. Mereka harus bisa bebas di
segala arus-arus masyarakat yang kacau. Seharusnya mereka bisa berpikir tenang karena
predikat kesarjanaan itu (atau walaupun mereka bukan sarjana). Tetapi mereka tidak bisa
terlepas dari fungsi sosialnya ialah bertindak demi tanggungjawab sosialnya bila keadaan telah
mendesak. Kelompok intelektual yang terus berdiam dalam keadaan yang mendesak telah
melunturkan semua kemanusiaanya. Ketika Hitler mulai membuas maka kelompok Inge School
berkata tidak. Mereka (pemuda-pemuda Jerman ini) punya keberanian untuk berkata "tidak.
Mereka, walaupun masih muda, telah berani menentang pemimpin-pemimpin gang-gang
bajingan, rezim Nazi yang semua identik. Bahwa mereka mati, bagiku bukan soal. Mereka telah
memenuhi panggilan seorang pemikir. Tidak ada indahnya (dalam arti romantic) penghukuman
mereka, tetapi apa yang lebih puitis selain bicara tentang kebenaran. (Gie. Catatan Seorang
Demonstran. Hal.143-144)
Pada masa Orde Baru, mahasiswa merupakan komponen masyarakat yang intelektual, jeli
politik dan sinisme terhadap pemerintahan rezim Soeharto. Hal ini dikarenakan korupsi, kolusi
dan nepotisme merajalela di panggung politik yang otoritatif, yang mana bangku-bangku politik
hanya dapat diduduki oleh keluarga pejabat, mengakarnya budaya patronase, kemudian
kemenangan Golkar karena PNS sebagai pilar utama, menumpuknya hutang luar negeri, tidak

adanya kebebasan berpendapatan apalagi mengkritisi pemerintah, dan dwifungsi ABRI. Sebelum
kejadian Mei 1998, mahasiswa telah banyak melakukan gerakan untuk menentang pemerintahan
presiden kala itu, sehingga menimbulkan pristiwa yang kita kenal sekarang dengan Malari, yaitu
gerakan mahasiwa untuk menolak investasi asing. Kemudian gerakan mahasiswa menolak
proyek pembangunan Taman Mini Indonesia Indah. Protes tersebut berujung pada penculikan
beberapa ketua organisasi mahasiswa. Kemudian pada tahun 1978 adanya pendudukan kampus
ITB oleh ABRI, dan masih banyak lagi. Hal tersebut menyebabkan banyak mahasiswa yang
bersembunyi karena takut ditangkap oleh antek-antek Soeharto setelah melakukan aksi
demonstrasi ataupun protes terhadap pemerintahan.
Keberhasilan social movement membawa keruntuhan rezim Soeharto pada kala itu, dimana
presiden sebagai satu-satunya penguasa di Indonesia dan keberhasilan ini tentu tidak lepas dari
gerakan yang dilakukan oleh mahasiswa. Karena seperti yang kita ketahui, saat itu mahasiswa
aktif melakukan demo-demo dan berhasil membentuk opini publik, sehingga sebagian
masyarakat berpihak pada mereka untuk turut menciptakan reformasi. Namun, dimana adanya
gerakan menuju perubahan biasanya ada musuh yang menghadang. Koloni-koloni Soeharto telah
banyak melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia pada kala itu demi mempertahankan
kedudukan mereka dan ABRI pasang senjata bagi siapa saja yang berani menentang. Penculikan
dan pembunuhan pun tidak segan-segan mereka lakukan.
Gerakan mahasiswa pada Mei 1998, merupakan masa paling bersejarah bagi seluruh mahasiwa
di Indonesia, dimana mereka dengan intelektualitasnya mempertaruhkan nyawa demi membawa
perubahan bagi bangsa, sehingga kini tertoreh dalam sejarah reformasi Indonesia dan sudah
sepatutnya dikenang dan dihargai. Bukan hanya mahasiswa di Jakarta, namun mahasiwa di
Bandung, Lampung, Bogor, dan kota-kota besar lainnya turut ambil bagian. Aktivis mahasiswa
kampus UI, ITB, Atma Jaya, IPB, Unpad, dan masih banyak lagi tidak tinggal diam. Seperti yang
sering kita dengar tentang pengorbanan yang dilakukan mereka dalam Tragedi Trisakti, Tragedi
Semanggi I dan Tragedi Semanggi II, Peristiwa Cimanggis, Peristiwa Gejayan, dan Tragedi
Lampung.
Meskipun pada masa orde baru semua masyarakat biasa termasuk mahasiswa yang dianggap
membahayakan kedudukan presiden sangat dibatasi ruang politiknya. Namun kenyataannya
gerakan yang dilakukan mahasiswa untuk membawa Indonesia ke era reformasi tidak mainmain, terbukti dengan berhasilnya mereka menciptakan iklim demokrasi di negara ini dengan
ruang gerak politik seluas-luasnya, sehingga masyarakat Indonesia pun perlahan menjadi civil
society, yaitu masyarakat yang mandiri dan turut ambil bagian dalam pembuatan kebijakan
pemerintah, sesuai moto dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Meski demikian, memang
bukan hanya mahasiswa yang berjasa dalam pendobrakan pintu otoriter karena mereka banyak
didukung oleh kaum-kaum intelek dan masyarakat lainnya yang turut berjuang untuk
menggulingkan rezim Soeharto.

Struktur Gerakan Sosial Neil Smelser


1. structural conduciveness.
Gersospol pada dasarnya sangat bergantung dari sistem sosio-ekonomi dan budaya
masyarakatnya. Jika tidak terjadi asimilasi maka berkembang keadaan dalam masyarakat yang
kontroversial, ambivalen, dan polarisasi (keadaan structural). Pada tahun 1997 krisis ekonomi
semakin melanda Indonesia, yang semakin mendorong keinginan masyarakat untuk melakukan
suatu perubahan. Sebenarnya krisis ini bukan satu-satunya penyebab gerakan mahasiswa yang
terjadi pada Mei 1998. Pada tahun 1974 terjadi aksi penolakan mahasiswa terhadap investor
asing yang masuk ke negara ini, hingga kini kita menganal peristiwa tersebut dengan sebutan
Malari (Malapetaka 15 hari). Namun, sejak adanya gerakan tersebut, arena politik mahasiwa
dipersempit sehingga ide-ide mereka yang kritis tidak dapat disalurkan, sehingga pada saat itu
mahasiswa hanya memiliki kewajiban belajar dan belajar tanpa perlu mengurusi keadaan politik
yang semakin bergejolag. Jika ada yang berani menentang, atau menyampaikan kritik mereka
terhadap pemerintahan maka orang tersebut akan berhadapan dengan angkatan bersenjata,
ditangkap atau di penjara.
2. structural strain.
Jika dalam masyarakat telah berkembang kondisi sosial yang mengarah ke disparitas,
ketimpangan, tidak ada asimilasi antar etnis, tidak ada komunikasi antar kelompok, maka secara
gradual akan berkembang keadaan structural strain. Berkembang keadaan ketegangan stuktural
karena dalam masyarakat itu tumbuh ambiguitas, ambivalensi, kontroversial, dan berbagai
disparitas lainnya. KKN yang dilakukan oleh pemerintah berdampak langsung pada masyarakat
yang tidak berdaya, tidandai dengan harga pangan yang naik namun tidak disertai dengan
kemampuan daya beli masyarakat. Nilai-nilai jawa yang ditanamkan oleh Soeharto juga
menciptakan patron-patron yang pada akhirnya panggung politik Indonesia hanya menjadi arena
suap-menyuap untuk mendapatkan jabatan, bukan berdasarkan pilihan rakyat. Dari sini
masyarakat mulai gelisah akan adanya ketimpangan yang terjadi sehingga muncullah tahapan
yang ke 3.
3. spread of a generalized belief.
Dalam masyarakat yang telah terjadi structural strain bisa berkembang ke arah spread of a
generalized belief (SGB). Keadaan SGB merupakan keadaan dimana masyarakat tersebut mulai
mengidentifikasi dan mencari sumber-sumber terjadinya ambiguitas, kontroversial, dan
ketegangan strutural dalam masyarakatnya. Seperti sejarah yang kita dengar, atau bahkan kita
masih dapat menyaksikan demonstrasi pada kala itu, dimana mahasiswa menggebu-gebu untuk
mencapai reformasi. Tidak ada kata takut mati demi membela masyarakat saat itu. Selain telah
bosan dengan permainan politik yang didalangi Soeharto, Mahasiswa juga berdemo karena
merasakan dampak langsung dari krisis ekonomi pada saat itu. Seperti terlambat mendapat
kiriman dari orang tua dan ada yang kiriman uangnya dikurangi karena orang tua mereka juga
mengalami kesulitan ekonomi. Hal tersebut menyebabkan banyak mahasiswa yang hidup paspasan atau bahkan ada yang berhenti kuliah kerena tidak ada biaya. Dengan alasan-alasan
demikian maka mahasiwa sebagai kelompok intelek yang merasa berkewajiban untuk membela

bangsa dan negara melakukan suatu peregerakan untuk membawa perubahan. Dengan melihat
tipe gerakan yang dilakukan oleh mahasiswa yaitu untuk menuntut adanya demokrasi, maka
dapat digolongkan sebagai political violence, sebagaimana political violence hanya boleh terjadi
di negara-negara yang memiliki rezim yang otoriter yang tidak memiliki jalan lain ketika ingin
mencapai suatu tujuan. Mahasiswa benar-benar merasa jenuh saat itu dengan pemerintahan yang
membawa kesengsaraan kepada rakyat. Otoritarianisme yang dimiliki Soeharto membuat
mahasiswa yang memiliki intelektualitas tinggi merasa jengkel dan berusaha untuk merubah
suasana itu.
4. precipitating factors.
Masyarakat itu telah sampai pada puncak kegelisahan dan kefrustasian tentang apa yang telah
terjadi dalam diri sistem itu. Begitu muncul faktor pemicuh maka segera lahirlah gersospol ke
permukaan. Dengan segera masyarakat bergabung dalam gersospol tersebut. Cepat sekali
keadaan itu terjadi. Terjadinya dengan spontan. Mendadak. Dan penuh emosional. Dalam titik ini
Mahasiswa mengkoordinir aksi protes besar-besaran terhadap rezim Orde Baru yang semakin
hari semakin menunjukkan kebobrokannya.
5. mobilization of participants for action.
Begitu terjadi kasus pemicu maka dengan cepat gersospol tumbuh, menyebar, dan meluas.
Masyarakat semua mulai ikut partisipasi. Mereka segera dikomando atau dikoordinir para
pemimpin yang berkembang dengan cepat karena ketegangan sosial sehingga segera
berbondong-bondong masuk ke dalam crowd dan penuh emosional untuk merespon musuhmusuh mereka Gersospol dalam tahapan ini telah jadi dan kemudian muncul pimpinan-pimpinan
yang mengkoordinir massa di lapangan. Karena itu gerakan yang bersifat anomi itu dengan cepat
menyebar dan meluas sangat emosional. Mereka menjadi barbar, kata Le Bon.
Kejadian 12 Mei 1998, tidak akan pernah dapat kita lupakan karena telah memakan banyak
korban. Seperti tragedi Trisakti yang telah menewaskan 4 mahasiwa dan Tragedi Semanggi
menewaskan 1 orang mahasiswa dan 11 orang lainnya di seluruh Jakarta, serta menyebabkan 217
korban luka-luka. Dan banyak tragedi-tragedi lainnya yang telah menghilangkan nyawa baik itu
mahasiswa maupun masyarakat setempat. Gerakan yang keras dan mendapat dukungan penuh
dari masyarakat ini juga menyebabkan kerusuhan besar-besaran, yang kita kenal dengan
kerusuhan Mei 1998. Saat itu kondisi Indonesia benar-benar kacau secara social-politik-dan
ekonomi. Kerusuhan besar terjadi terutama di Jakarta dan beberapa kota besar lainnya. Banyak
pelanggaran HAM berat yang dilakukan baik oleh aparat maupun masyarakat sipil itu sendiri
yang tidak kunjung di usut hingga saat ini.
6. operation of social control.
Sosial kontrol merupakan faktor-faktor pembanding yang mencegah, menginterupsi,
membelokkan atau menghalangi faktor-faktor yang menimbulkan gerakan. Selain itu kontrol
sosial muncul pertama kali pada saat aksi represif mulai diberlakukan atau pada waktu
munculnya pembaharuan lebih dahulu atas gerakan sosial yang mulai nampak. Biasanya
tindakan suatu rezime bergantung pada, antara lain, sifat gerakan itu sendiri; persepsi pemerintah

terhadap sifat. Gerakan sosial 1998 memiliki struktur gerakan sosial yang mempunyai strategi
pergerakan yang berbeda. Setiap gerakan mempunyai ciri khas tersendiri dalam melakukan aksi
dan konsolidasi masa. Adanya pengawasan dari pihak intelejen yang begitu represif membuat
strategi perlawanan para mahasiswa kontra intelejen, dimana pada waktu itu mahasiswa juga
belajar cara bagaimana intelejen tentara melakukan aksinya. Selain itu aksi mahasiswa pada
tahun 1998 tidak memunculkan tokoh-tokoh mahasiswa seperti pada aksi diangkatan sebelumnya
seperti angkatan 66, 74, dan 77/78 dan juga tidak hanya difokuskan pada pergerakan mahasiswa
di kampus-kampus seperti ITB dan UI. Tetapi pergerakan strateginya adalah menggalang satu
kekuatan dibawah satu nama dengan mempersatukan mahasiswa atas nama Reformasi.

Anda mungkin juga menyukai