adanya kebebasan berpendapatan apalagi mengkritisi pemerintah, dan dwifungsi ABRI. Sebelum
kejadian Mei 1998, mahasiswa telah banyak melakukan gerakan untuk menentang pemerintahan
presiden kala itu, sehingga menimbulkan pristiwa yang kita kenal sekarang dengan Malari, yaitu
gerakan mahasiwa untuk menolak investasi asing. Kemudian gerakan mahasiswa menolak
proyek pembangunan Taman Mini Indonesia Indah. Protes tersebut berujung pada penculikan
beberapa ketua organisasi mahasiswa. Kemudian pada tahun 1978 adanya pendudukan kampus
ITB oleh ABRI, dan masih banyak lagi. Hal tersebut menyebabkan banyak mahasiswa yang
bersembunyi karena takut ditangkap oleh antek-antek Soeharto setelah melakukan aksi
demonstrasi ataupun protes terhadap pemerintahan.
Keberhasilan social movement membawa keruntuhan rezim Soeharto pada kala itu, dimana
presiden sebagai satu-satunya penguasa di Indonesia dan keberhasilan ini tentu tidak lepas dari
gerakan yang dilakukan oleh mahasiswa. Karena seperti yang kita ketahui, saat itu mahasiswa
aktif melakukan demo-demo dan berhasil membentuk opini publik, sehingga sebagian
masyarakat berpihak pada mereka untuk turut menciptakan reformasi. Namun, dimana adanya
gerakan menuju perubahan biasanya ada musuh yang menghadang. Koloni-koloni Soeharto telah
banyak melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia pada kala itu demi mempertahankan
kedudukan mereka dan ABRI pasang senjata bagi siapa saja yang berani menentang. Penculikan
dan pembunuhan pun tidak segan-segan mereka lakukan.
Gerakan mahasiswa pada Mei 1998, merupakan masa paling bersejarah bagi seluruh mahasiwa
di Indonesia, dimana mereka dengan intelektualitasnya mempertaruhkan nyawa demi membawa
perubahan bagi bangsa, sehingga kini tertoreh dalam sejarah reformasi Indonesia dan sudah
sepatutnya dikenang dan dihargai. Bukan hanya mahasiswa di Jakarta, namun mahasiwa di
Bandung, Lampung, Bogor, dan kota-kota besar lainnya turut ambil bagian. Aktivis mahasiswa
kampus UI, ITB, Atma Jaya, IPB, Unpad, dan masih banyak lagi tidak tinggal diam. Seperti yang
sering kita dengar tentang pengorbanan yang dilakukan mereka dalam Tragedi Trisakti, Tragedi
Semanggi I dan Tragedi Semanggi II, Peristiwa Cimanggis, Peristiwa Gejayan, dan Tragedi
Lampung.
Meskipun pada masa orde baru semua masyarakat biasa termasuk mahasiswa yang dianggap
membahayakan kedudukan presiden sangat dibatasi ruang politiknya. Namun kenyataannya
gerakan yang dilakukan mahasiswa untuk membawa Indonesia ke era reformasi tidak mainmain, terbukti dengan berhasilnya mereka menciptakan iklim demokrasi di negara ini dengan
ruang gerak politik seluas-luasnya, sehingga masyarakat Indonesia pun perlahan menjadi civil
society, yaitu masyarakat yang mandiri dan turut ambil bagian dalam pembuatan kebijakan
pemerintah, sesuai moto dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Meski demikian, memang
bukan hanya mahasiswa yang berjasa dalam pendobrakan pintu otoriter karena mereka banyak
didukung oleh kaum-kaum intelek dan masyarakat lainnya yang turut berjuang untuk
menggulingkan rezim Soeharto.
bangsa dan negara melakukan suatu peregerakan untuk membawa perubahan. Dengan melihat
tipe gerakan yang dilakukan oleh mahasiswa yaitu untuk menuntut adanya demokrasi, maka
dapat digolongkan sebagai political violence, sebagaimana political violence hanya boleh terjadi
di negara-negara yang memiliki rezim yang otoriter yang tidak memiliki jalan lain ketika ingin
mencapai suatu tujuan. Mahasiswa benar-benar merasa jenuh saat itu dengan pemerintahan yang
membawa kesengsaraan kepada rakyat. Otoritarianisme yang dimiliki Soeharto membuat
mahasiswa yang memiliki intelektualitas tinggi merasa jengkel dan berusaha untuk merubah
suasana itu.
4. precipitating factors.
Masyarakat itu telah sampai pada puncak kegelisahan dan kefrustasian tentang apa yang telah
terjadi dalam diri sistem itu. Begitu muncul faktor pemicuh maka segera lahirlah gersospol ke
permukaan. Dengan segera masyarakat bergabung dalam gersospol tersebut. Cepat sekali
keadaan itu terjadi. Terjadinya dengan spontan. Mendadak. Dan penuh emosional. Dalam titik ini
Mahasiswa mengkoordinir aksi protes besar-besaran terhadap rezim Orde Baru yang semakin
hari semakin menunjukkan kebobrokannya.
5. mobilization of participants for action.
Begitu terjadi kasus pemicu maka dengan cepat gersospol tumbuh, menyebar, dan meluas.
Masyarakat semua mulai ikut partisipasi. Mereka segera dikomando atau dikoordinir para
pemimpin yang berkembang dengan cepat karena ketegangan sosial sehingga segera
berbondong-bondong masuk ke dalam crowd dan penuh emosional untuk merespon musuhmusuh mereka Gersospol dalam tahapan ini telah jadi dan kemudian muncul pimpinan-pimpinan
yang mengkoordinir massa di lapangan. Karena itu gerakan yang bersifat anomi itu dengan cepat
menyebar dan meluas sangat emosional. Mereka menjadi barbar, kata Le Bon.
Kejadian 12 Mei 1998, tidak akan pernah dapat kita lupakan karena telah memakan banyak
korban. Seperti tragedi Trisakti yang telah menewaskan 4 mahasiwa dan Tragedi Semanggi
menewaskan 1 orang mahasiswa dan 11 orang lainnya di seluruh Jakarta, serta menyebabkan 217
korban luka-luka. Dan banyak tragedi-tragedi lainnya yang telah menghilangkan nyawa baik itu
mahasiswa maupun masyarakat setempat. Gerakan yang keras dan mendapat dukungan penuh
dari masyarakat ini juga menyebabkan kerusuhan besar-besaran, yang kita kenal dengan
kerusuhan Mei 1998. Saat itu kondisi Indonesia benar-benar kacau secara social-politik-dan
ekonomi. Kerusuhan besar terjadi terutama di Jakarta dan beberapa kota besar lainnya. Banyak
pelanggaran HAM berat yang dilakukan baik oleh aparat maupun masyarakat sipil itu sendiri
yang tidak kunjung di usut hingga saat ini.
6. operation of social control.
Sosial kontrol merupakan faktor-faktor pembanding yang mencegah, menginterupsi,
membelokkan atau menghalangi faktor-faktor yang menimbulkan gerakan. Selain itu kontrol
sosial muncul pertama kali pada saat aksi represif mulai diberlakukan atau pada waktu
munculnya pembaharuan lebih dahulu atas gerakan sosial yang mulai nampak. Biasanya
tindakan suatu rezime bergantung pada, antara lain, sifat gerakan itu sendiri; persepsi pemerintah
terhadap sifat. Gerakan sosial 1998 memiliki struktur gerakan sosial yang mempunyai strategi
pergerakan yang berbeda. Setiap gerakan mempunyai ciri khas tersendiri dalam melakukan aksi
dan konsolidasi masa. Adanya pengawasan dari pihak intelejen yang begitu represif membuat
strategi perlawanan para mahasiswa kontra intelejen, dimana pada waktu itu mahasiswa juga
belajar cara bagaimana intelejen tentara melakukan aksinya. Selain itu aksi mahasiswa pada
tahun 1998 tidak memunculkan tokoh-tokoh mahasiswa seperti pada aksi diangkatan sebelumnya
seperti angkatan 66, 74, dan 77/78 dan juga tidak hanya difokuskan pada pergerakan mahasiswa
di kampus-kampus seperti ITB dan UI. Tetapi pergerakan strateginya adalah menggalang satu
kekuatan dibawah satu nama dengan mempersatukan mahasiswa atas nama Reformasi.