Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH KULTUR JARINGAN

Di susun Oleh:
Ida Aprilia (1413015011)
S1 A 2014

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2015

BAB I
PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
Teknik budidaya tanaman dengan menggunakan metode konvensional
dalam medium tanah atau pasir seringkali menghadapi kendala teknis,
lingkungan maupun waktu. Sebagai contoh perbanyakan tanaman dengan
menggunakan biji memerlukan waktu yang relative lama dan seringkali
hasilnya tidak seperti tanaman induknya. Kendala lain yang juga sering
muncul adalah gangguan alam, baik yang disebabkan oleh jasad hidup,
misalnya hama dan penyakit, maupun cekaman lingkungan yang dapat
mengganggu keberhasilan perbanyakan tanaman di lapangan. Kebutuhan
akan bibit tanaman dalam jumlah besar, berkualitas, bebas hama dan

penyakit serta harus tersedia dalam waktu singkat seringkali tidak dapat
dipenuhi dengan menggunakan metode konvensional baik secara generatif
maupun vegetatif.
Pada tahun 1901 Morgan mengemukakan bahwa setiap sel mempunyai
kemampuan untuk berkembang menjadi suatu jasad hidup yang lengkap
melalui proses regenerasi. Kemampuan ini oleh morgan disebut sebagai
totipotensi (totipotency). Konsep totipotensi tersebut mempunyai makna
sangat penting dalam bidang kultur jaringan. Istilah kultur jaringan mengacu
pada teknik untuk menumbuhkan jasad multiseluler dalam medium padat
maupun cair menggunakan jaringan yang diambil dari jasad tersebut. Teknik
kultur jaringan tersebut dilakukan sebagai alternative perbanyakan tanaman
bukan dengan menggunakan media tanah, melainkan dalam medium buatan
di dalam tabung.teknik ini sekarang sudah berkembang luas sehingga bagian
tanaman yang digunakan sebagai awal perbanyakan tidak hanya berupa
jaringan melainkan juga dalam bentuk sel sehingga juga dikenal teknik kultur
sel. Berdasarkan dari hal tersebut diatas, maka diadakanlah penulisan
makalah ini dengan tujuan untuk mengetahui teknik kultur jaringan
tumbuhan dengann menggunakan kultur kalus atau kutur sel.
Kultur jaringan tanaman merupakan teknik budidaya (perbanyakan) sel,
jaringan, dan organ tanaman dalam suatu lingkungan yang terkendali dan
dalam keadaan aseptik atau bebas dari mikroorganisme. Secara umum
perbanyakan tanaman berdasarkan perkembangan dan siklus hidupnya dapat
digolongkan menjadi dua, yaitu perbanyakan secara seksual dan perbanyakan
secara aseksual.
Berdasarkan bagian tanaman yang dikulturkan secara lebih spesifik
terdapat tipe-tipe kultur yaitu, kultur kalus, kultur suspensi sel, kultur anter,
kultur akar, kultur pucuk tunas, kultur embrio, kultur ovul, dan kultur kuncup
bunga. Kultur jaringan bermula dari adanya pembuktian sifat totipotensi sel,
yaitu bahwa setiap sel tanaman yang hidup dilengkapi dengan informasi
genetik dan perangkat fisiologis yang lengkap untuk tumbuh dan
berkembang menjadi tanaman utuh, jika berada dalam kondisi yang sesuai.

Penemuan zat pengatur tumbuh (ZPT) dan upaya pengembangan formulasi


media sangat berperan penting dalam menentukan keberhasilan teknik kultur
jaringan. Prinsip utama dari teknik kultur jaringan adalah perbanyakan
tanaman

dengan

menggunakan

bagian

vegetatif

tanaman

dengan

menggunakan media buatan yang dilakukan di tempat yang steril.


1.2
1.

Tujuan
Dapat menjelaskan prinsip dasar dari pelaksanaan teknik kultur jaringan

2.

Dapat menjelaskan prinsip dasar dari pelaksanaan teknik kultur kalus

3.

Dapat menjelaskan prinsip dasar dari pelaksanaan teknik kultur sel

4.

Dapat menjelaskan prinsip dasar dari pelaksanaan teknik kultur organ

5.

Dapat menjelaskan prinsip dasar dari pelaksanaan teknik kultur anther

6.

Dapat menjelaskan prinsip dasar dari pelaksanaan teknik kultur pollen

7.

Dapat menjelaskan prinsip dasar dari pelaksanaan teknik kultur protoplasma

8.

Dapat menjelaskan produksi metabolit sekunder pada tanaman


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Kultur Jaringan
Kultur Jaringan adalah teknik perbanyakan tanaman dengan cara
mengisolasi bagian tanaman seperti daun, mata tunas, serta menumbuhkan
bagian-bagian tersebut dalam media buatan secara aseptik yang kaya nutrisi
dan zat pengatur tumbuh dalam wadah tertutup yang tembus cahaya sehingga
bagian tanaman dapat memperbanyak diri & bergenerasi menjadi tanaman
lengkap.

Prinsip

utamanya

adalah

perbanyakan

tanaman

dengan

menggunakan bagian vegetatif tanaman, menggunakan media buatan yang


dilakukan di tempat steril. Teknik kultur jaringan pada saat ini telah
berkembang menjadi teknik perkembangbiakan tanaman yang sangat penting
pada berbagai spesies tanaman.
Kultur jaringan tanaman pertama kali berhasil dilakukan ole White pada

tahun 1934. Pada tahun 1939, Whiter melaporkan keberhasilannya dalam


membuat kultur kalus dari wortel dan tembakau. Pada tahun 1957, tulisan
penting Skoog dan Miller dipublikasikan dimana mereka menyatakan bahwa
interkasi

kuantitatif

antara

auksin

dan

sitokinin

menentukan

tipe

pertumbuhan dan morfogenik yang akan terjadi. Penelitian mereka pada


tembakau mengindikasikan bahwa perbandingan auksin dan sitokinin yang
tinggi akan menginduksi pengakaran, sedangkan rasio sebaliknya akan
menginduksi pembentukan tunas. Akan tetapi pola respon ini tidak berlaku
universal.
Temuan penting lainnya adalah hasil penelitian Morel tentang
perbanyakan anggrek melalui kultur jaringan pada tahun 1960, dan
penggunaan yang meluas media kultur dengan konsentrasi garam mineral
yang tinggi, dikembangkan oleh Murashige dan Skoog tahun 1962.
Teknik kultur jaringan selain perbanyakan mikro umumnya memerlukan
pelaksanaan yang lebih canggih tapi memberi keuntungan yang lebih besar di
masa depan. Beberapa teknik sudah menjadi alat berharga untuk
mengeliminai penyakit dan perbaikan tanaman, termasuk rekayasa
genetika. Kultur jaringan tanaman mencakup : kultur sel, kultur jaringan,
kultur organ, proses proliferasi, diferensiasi dan regenerasi, medium kultur
dan faktor pertumbuhan lain, perbanyakan klonal, teknik sanitasi tanaman,
serta penyelamatan plasma nutfah.
Kelebihan dan Kekurangan Kultur Jaringan
Kelebihan:
o Sifat identik dengan induknya;
o Perbanyakan dalam waktu singkat;
o Tidak perlu areal pembibitan yang luas;
o Tidak dipengaruhi oleh musim;
o Tanaman bebas jamur dan bakteri.

Sedangkan kekurangannya:
o Bibit hasil kultur jaringan sangat rentan terhadap hama penyakit dan udara
luar;
o Bagi orang tertentu, cara kultur jaringan dinilai mahal dan sulit;
o Membutuhkan modal investasi awal yang tinggi untuk bangunan
(laboratorium khusus), peralatan dan perlengkapan;
o Diperlukan persiapan SDM yang handal untuk mengerjakan perbanyakan
kultur jaringan agar dapat memperoleh hasil yg memuaskan;
o Produk kultur jaringan pada akarnya kurang kokoh.
Landasan kultur jaringan didasarkan atas tiga kemampuan dasar dari
tanaman, yaitu: 1. Totipotensi adalah potensi atau kemampuan dari sebuah
sel untuk tumbuh dan berkembang menjadi tanaman secara utuh jika
distimulasi dengar benar dan sesuai. Implikasi dari totipotensi adalah bahwa
semua informasi tentang pertumbuhan dan perkembangan suatu organisme
terdapat di dalam sel. Walaupun secara teoritis seluruh sel bersifat
totipotensi, tetapi yang mengekspresikan keberhasilan terbaik adalah sel
yang meristematik. 2. Rediferensiasi adalah kemampuan sel-sel masak
(mature) kembali menjadi ke kondisi meristematik dan dan berkembang dari
satu titik pertumbuhan baru yang diikuti oleh rediferensiasi yang mampu
melakukan reorganisasi manjadi organ baru. 3. Kompetensi menggambarkan
potensi endogen dari sel atau jaringan untuk tumbuh dan berkembang dalam
satu jalur tertentu. Cantohnya embrioagenikali kompeten cel adalah
kemampuan untuk berkembang menjadi embrio funsional penuh. Sebaliknya
adalah non-kompeten atau morfogenetikali tidak mempunyai kemampuan.
2.2

Kultur Kalus
Tanaman dapat diperbanyak secara vegetatif menggunakan teknik kultur
in vitro dengan teknik kultur kalus atau kultur sel. Kultur kalus merupakan
pemeliharaan bagian kecil tanaman dalam lingkungan buatan yang steril dan
kondisi yang terkontrol. Kalus adalah suatu kumpulan sel amorphous yang

terjadi dari sel-sel jaringan yang berproliferasi secara terus menerus dan tidak
terorganisasi sehingga memberikan penampilan sebagai massa sel yang
bentuknya tidak teratur. Proliferasi jaringan ini dapat dilakukan secara tidak
terbatas dengan cara melakukan subkultur sepotong kecil jaringan kalus pada
medium yang segar dengan interval waktu yang teratur.
Penelitian pembentukan kalus pada jaringan terluka pertama kali
dilakukan oleh Sinnott pada tahun 1960. Pembentukan kalus pada jaringan
luka dipacu oleh zat pengatur tumbuh auksin dan sitokinin endogen. Secara
in vivo, kalus pada umumnya terbentuk pada bekas-bekas luka akibat
serangan infeksi mikro organisme seperti Agrobacterium tumefaciens, gigitan
atau tusukan serangga dan nematoda. Kalus juga dapat terbentuk sebagai
akibat stress. Kalus yang diakibatkan oleh hasil dari infeksi bakteri
Agrobacterium tumefaciens disebut tumor.
Kalus adalah jaringan meristematik yang merupakan wujud dari
dediferensiasi. Dalam kultur jaringan menginduksi terbentuknya kalus
merupakan langkah yang penting. Setelah terbentuknya kalus baru diberikan
perlakuan/rangsangan untuk berdiferensiasi membentuk akar atau tunas.
Tujuan kultur kalus adalah untuk memperoleh kalus dari eksplan yang
diisolasi dan ditumbuhkan dalam lingkungan terkendali. Kalus diharapkan
dapat memperbanyak dirinya (massa selnya) secara terus menerus.
Jika suatu eksplan ditanam pada medium yang sesuai, dalam waktu 2-4
minggu, tergantung spesiesnya, akan terbentuk massa kalus yaitu massa
amorf yang tersusun atas sel-sel parenkim berdinding sel tipis yang
berkembang dari hasil proliferasi sel-sel jaringan induk. Kalus dapat
disubkultur dengan cara mengambil sebagian kalus dan memindahkannya
pada medium baru. Dengan sistem induksi yang tepat, kalus dapat
berkembang menjadi tanaman yang utuh (plantlet).
Kultur kalus dapat dikembangkan dengan menggunakan eksplan yang
berasal dari berbagai sumber, misalnya tunas muda, daun, ujung akar, buah,
dan bagian bunga. Kalus dihasilkan dari lapisan luar sel-sel korteks pada
eksplan melalui pembelahan sel-sel berulang. Kultur kalus tumbuh

berkembang lebih lambat dibanding kultur yang berasal dari suspensi sel.
Kalus terbentuk melalui tiga tahapan, yaitu induksi, pembelahan sel, dan
diferensiasi. Pembentukan kalus ditentukan sumber eksplan, komposisi
nutrisi pada medium dan faktor lingkungan.eksplan yang berasal dari
jaringan meristem berkembang lebih cepat dibanding jaringan dari sel-sel
berdinding tipis dan mengandung lignin. Untuk memelihara kalus, maka
perlu dilakukan subkultur secara berkala, misalnya setiap 30 hari.
Eksplan terbaik untuk induksi kalus adalah jaringan bagian-bagian semai
(seedling) yang dikecambahkan secara in vitro, jaringan yang mengandung
parenkim tidak hijau, seperti parenkim empulur, mempunya respon yang
lebih baik dibandingkan dengan sel-sel daun yang mengandung kloroplas.
Ukuran eksplan juga penting untuk diperhatikan, idealnya ukuran eksplan
yang dikehendaki adalah yang kecil tetapi mempunyai kemampuan yang
tinggi untuk membelah, hal ini dimaksudkan agar diperoleh sel-sel yang
relatif homogen.
Sel yang berasal dari tanaman apapun dapat dibiakkan atau dikulturkan
secara aseptic pada atau dalam medium hara. Kultur biasanya dimulai dengan
menanamkan satu iris jaringan steril pada medium hara yang dipadatkan
dengan agar. Dalam waktu 2-3 minggu akan berbentuk kalus. Kalus
semacam ini dapat disubkulturkan dengan memindahkan potongan kecil pada
medium agar segar. Proses terbentuknya kalus sampai terjadi diferensiasi
berbeda-beda tergantung macam dan bagian tanaman yang dipakai untuk
eksplan, bahan kimia atau hormon yang terkandung pada media kultur.
Dalam perbanyakan mikro, produksi kalus biasanya dihindari karena
dapat

menimbulkan

variasi

dan,

terutama

pada

zona

perakaran,

mengakibatkan diskontinyuitas dengan sitem berkas pengangkut utama.


Kadang-kadang eksplan menghasilkan kalus, bukan tunas baru, khususnya
jika diberikan hormon dengan konsentrasi tinggi pada media. Dalam hal lain,
kalus sengaja diinduksi karena potensinya untuk produksi massal plantlet
baru. Faktor pembatasnya adalah sulitnya menginduksi inisiasi tunas baru,
terutama pada tanaman berkayu dan tingginya kejadian mutasi somatik.

Potensi terbesar penggunaan kultur kalus adalah dimana selsel kalus


dapat dipisahkan dan diinduksi untuk berdiferensiasi menjadi embrio
somatic. Secara morphologi, embryo ini mirip dengan yang ada pada biji,
tapi tidak seperti embrio biji, mereka secara genetik bersifat identik dengan
tanaman tetua, jadi, segregasi seksual materi genetik tidak terjadi. Karena 1
milimeter kalus berisi ribuan sel, masingmasing memiliki kemampuan
untuk membentuk embrio, sehingga kecepatan multiplikasi sangat tinggi.
Kultur kalus dapat dilakukan pada media cair dan embrio berkembang
sebagai individu terpisah, sehingga penanganan kultur relatif mudah.
Agar kalus dapat dijaga pertumbuhannya dan dapat diperbanyak secara
berkesinambungan, maka perlu dipindahkan secara teratur pada media baru
dalam jangka waktu terentu (subkultur). Apabila kalus disubkultur pada
media agar yang dilakukan secara regular, maka akan menunjukkan fase
pertumbuhan kurva S (sigmoid). fase pertumbuhan kalus terbagi menjadi
lima fase, yaitu:
1) Fase lag, dimana sel-sel mulai membelah.
2) Fase eksponensial, dimana laju pembelahan sel berada pada puncaknya
3) Fase linear, dimana pembelahan sel mengalami perlambatan tetapi laju
ekspansi sel meningkat.
4) Fase deselerasi, dimana laju pembelahan dan pemanjangan sel menurun.
5) Fase stationer, dimana jumlah dan ukuran sel tetap.
2.6

Kultur Suspensi Sel


Kultur suspensi sel adalah pemeliharaan sel, tunggal maupun gabungan
beberapa sel, dalam medium cair dan lingkungan buatan yang steril. Kultur
suspensi sel terdiri atas populasi sel dengan laju pertumbuhan yang cepat
karena seluruh permukaan sel dapat kontak langsung dengan medium nutrisi.
Hal ini menyebabkan metabolisme sel lebih tinggi jika dibandingkan dengan
kultur kalus.
Metode kultur suspensi sel dapat digunakan sebagai sarana untuk
produksi metabolit sekunder. Hal ini dapat terjadi karena setiap sel tumbuhan

yang diisolasi dari tumbuhan induknya mempunyai potensi genetik dan


fisiologi yang sama dengan induknya, atau yang dikenal dengan nama sifat
totipotensi. Sifat ini menyebabkan metabolit sekunder yang dihasilkan oleh
tanaman induk dapat pula dihasilkan pada sel yang dikultur secara in
vitro. Potensi kultur sel untuk memproduksi metabolit telah dibuktikan
pertama kali oleh perusahaan farmasi Amerika Pfizer Inc pada tahun 1956.
Sedangkan potensi kultur sel untuk memproduksi senyawa bermanfaat
terutama untuk obat-obatan, telah dimulai pada akhir tahun 1960.
Kultur suspensi sel dapat diperoleh dengan cara memindahkan kalus dari
medium padat ke medium cair dalam kondisi agitasi selama periode kultur
dalam waktu tertentu. Dalam kondisi agitasi, kalus meremah akan terpisah
membentuk kelompok sel dan sel-sel tunggal. Sel-sel tunggal akan
mengadakan

pembelahan

membentuk

kelompok-kelompok

sel

yang

kemudian terpisah lagi membentuk sel-sel tunggal dan kelompok-keompok


sel yang lebih kecil. Agitasi dalam kultur suspensi sel dapat meningkatkan
aerasi, reduksi polaritas tanaman dan dapat mempertahankan keseragaman
distribusi sel-sel dan kelompok sel di dalam medium. agitasi atau
pengocokan pada kultur suspensi sel dapat mempengaruhi ukuran agregat,
viabilitas dan pertumbuhan sel. Selain itu pengocokan berfungsi untuk
meningkatkan oksigen.
Diameter sel pada kultur suspensi sel pada umumnya berkisar antara 20150 m dan panjang 100-200 m. Ukuran ini setara dengan 10-100 kali
bakteri atau fungi dan mempunyai panjang maksimal 2 mm serta
mengandung 2-200 sel. ada fase pertumbuhan logaritmik pada masa awal
kultur sel, sel-sel berbentuk kecil dan dipenuhi dengan sitoplasma. Namun
pada fase stasioner, sel-sel ini memiliki ukuran tertentu, sel lebih tua dan
memiliki vakuola besar di pusat sel.
2.4

Kultur protoplasma
Protoplasma yang hidup diambil dalam jumlah memadai (frekuensi
protoplas viable 100 200 sel) selanjutnya ditanam pada media yang telah

disediakan dan dikulturkan dan disimpan tempat gelap pada temperatur


280 C selama semalam. Kultur protoplasma dipindahkan pada cahaya rendah
(10 20 mol.detik-1m-2) dengan cahaya lampu putih yang dingin dan
fotoperiode 16 jam, selama 2 hari. Kultur dipindahkan pada intensitas cahaya
yang lebih tinggi (50 75 mol.detik-1m-2).
Media yang digunakan untuk kultur protoplasma dapat berupa media.
media cair yang diletakkan dalam cawan petri kecil atau media padat media
padat

(dengan pemadat agarose). Media yang digunakan untuk kultur

protoplasma jauh lebih kompleks dibandingkan dengan media untuk teknik


kultur lainnya, karena protoplasma belum memiliki dinding sel sehingga
perlu ditanam pada media awal yang diperkaya dengan osmotikum (misalnya
sorbitol atau mannitol) untuk: menghindari plasmolisis.
Penanaman protoplasma ke dalam media dilakukan dengan cara
mencampur protoplasma dengan larutan agarose. Campuran disedot dengan
pipet pasteur steril kemudian diteteskan pada cawan petri steril (5 10 tetes
per petri). Cawan petri ditutup dengan parafilm selanjutnya kultur diletakkan
pada ruang kultur dengan suhu 25 C dan diberikan 16 jam penyinaran.
Setiap 2 minggu ditambahkan media baru ke bagian tetesan protoplasma
tersebut.
Protoplasma yang telah dimurnikan biasanya dikulturkan dengan dalam
medium agar semisolid dan liquid. Protoplasma sering dikulturkan dalam
media liquid untuk meregenerasi dinding sel terlebih dahulu, sebelum
dikulturkan ke media agar. Media semisolid agar, agar yang digunakan untuk
kultur protoplasma adalah khusus: yaitu gel agar lunak, salah satunya
agarose. Teknik media liquid biasanya digunakan pada fase awal kultur,
karena mudah larut dan diserap, beberapa spesies, protoplasmanya tidak
dapat membelah dalam media agar, tekanan osmotik media direduksi secara
efektif, kerapatan sel-sel dapat direduksi setelah beberapa hari dikulturkan,
kelemahan dari teknik ini tidak boleh diisolasi dari turunan koloni tunggal

yang berasal dari sel induk satu. Teknik media liquid dapat dibedakan
menjadi dua metode
1) Metode liquid tetes
Dengan menggunakan pipet ukuran 100-200 l, suspensi protoplasma dalam
media diteteskan pada cawan petri ukuran 60mx15m sebanyak 5-7 tetes. Cawan
petri ditutup dan direkatkan dengan parafilm atau plastik wrap selanjutnya
diinkubasikan. Setiap 5-7 hari tambahkan medium segar baru dengan cara
meneteskan langsung pada tetesan suspensi protoplasma yang telah mengalami
pertumbuhan. Metode ini biasanya baik untuk keperluan pengamatan dengan
mikroskop. Kelemahan dari metode ini adalah tetesan-tetesan suspensi menyatu
menjadi satu tetesan di pusat.
2) Metode tetes menggantung
Dengan menggunakan pipet volume 40-100 l, suspensi protoplasma
diteteskan di dalam tutup cawan petri, selanjutnya cawan petri, ditutup dengan
menggunakan tutup yang telah ditetesi suspensi protoplasma, sehingga tetesan
suspensi tersebut akan menggantung di dalam tutup cawan petri tersebut.
Proses yang terjadi setelah kultur protoplas dilakukan :
1) Fusi protoplas
Peleburan protoplasma dari 2 genom yang berbeda dapat diperoleh baik
secara spontan ataupun dengan teknik pemacuan peleburan.
a. Metode peleburan spontan
Peleburan protoplasma secara spontan biasanya terjadi karena membran
protoplas yang sangat tipis dan lunak sehingga mudah sobek atau pecah yang
dapat mengakibatkan peleburan protoplasma. Biasanya terjadi pada protoplasma
yang diisolasi dari kalus. Perleburan protoplasma dengan teknik ini biasanya

terjadi pada protoplasma yang mempunyai asal tanaman yang sama sehingga
tidak bernilai untuk perbaikan tanaman.
b. Metode pemacuan peleburan
Untuk mencapai peleburan protoplasma diperlukan adanya agensia untuk
memacu terjadinya peleburan protoplasma (dikenal sebagai fusagen) yang
berbeda jenis tanamannya. Larutan fusagen contohnya: Perlakuan dengan sodium
nitrat: 5,5% sodium nitrat dalam larutan 10% sukrose dan kultur diinkubasikan
dalam water bath bersuhu 350 C selama 5 menit selanjutnya disentrifuge dengan
kecepatan 200 g selama 5 menit. Subernatan dibuang dan pelet disimpan dalam
water bath bersuhu 350 C selama 30 menit. Pada beberapa saat protoplasma akan
terjadi peleburan. Agregat ditiangkan secara hati-hati pada medium kultur yang
telah ditambah 0,1% NaNO.
Teknik ini akan dihasilkan dengan frekuensi rendah bila asal protoplasmanya
dari mesofil daun. Perlakuan ion calsium padas pH tinggi. Teknik ini telah
digunakan pada protoplasma tembakau. Caranya protoplasma yang telah diisolasi
ditambahkan larutan fusagen berupa 0,5 M mannitol yang berisi 0,05 M CaCl2 .
2H2 O pada pH 10,5 selanjutnya disentrifuge dengan kecepatan 50 g selama 3
menit. Selanjutnya tabung sentrifuge disimpan dalam water bath bersuhu 370 C
selama 40-50 menit hingga protoplasma melebur.Perlakuan polyethelene glycol
(PEG). Dari sekian banyak metode peleburan protoplasma, metode ini yang
yang berhasil dengan baik untuk

melebur protoplasma. Suspensi protoplasma

dilarutkan dalam larutan PEG: 1 ml suspensi protoplasma dalam medium kultur


dicampur dengan 1 ml 28-56% PEG (1500-6000 MW).
Tabung digoyang selama 5 detik dan biarkan berhenti 10 menit. Selanjutnya
suspensi protoplasma tersebut dipindahkan dari larutan PEG dengan cara
mencucinya menggunakan medium kultur sebanyak 2 kali. Hasil peleburan
protoplasma ini berupa pembentukan heterokarion dengan frekuensi yang tinggi,
sedangkan kebanyakan tipe sel sitoplasmik dengan pembentukan hetekarion
binukleat rendah.

2. Pembentukan Dinding Sel


Perkembangan protoplasma diawali dengan regenerasi atau terbentuknya dinding
sel diikuti terbentuknya koloni sel menyerupai kalus. Pada beberapa spesies,
protoplasma membentuk kalus dan beregenerasi melalui organogenesis atau
embryogenesis.
3. Regenerasi Protoplasma
Regenerasi protoplasma membentuk koloni sel kemudian tanaman lebih sulit
dibandingkan dengan teknik kultur jaringan jaringan lain. Salah satu teknik yang
digunakan untuk merangsang regenerasinya adalah menggunakan sel-sel lain
(sebagai perawat) sehingga tekniknya disebut teknik Nurse Culture. Untuk
kultur satu protoplasma, nurse cells diletakkan berdekatan dengan kultur
protoplasmanya

untuk

mendukung

pertumbuhan

dan

perkembangan

protoplasma. Teknik ini pertama kali diperkenalkan oleh Muir dkk. Tanaman yg
dihasilkan dari kultur protoplasma bisa seragam atau bervariasi, disebut
protoclonal variation. Apabila dalam penanaman protoplasma ditambahkan
mutagen ke dalam media, maka hasil regenerasi akan berupa generasi baru.
Produksi tunas dapat dilakukan pada media cair, umumnya ke dalam media
ditambahkan hormon pertumbuhan sitokinin (misalnya 0,5 M BAP). Setelah
tunas terbentuk cukup besar, tunas selanjutnya dalat diakarkan. Salah satu contoh
media pengakatran protoplasma adalah 1/2 MS + 3-aminopyridine (untuk
tembakau) atau picloran (untuk tebu).
Plantlet yang cukup besar selanjutnya diaklimatisai kemudian ditanam di
lapangan. Perlakuan peleburan elektro (elektrofusion). Protoplasma diletakkan di
dalam sel kultur yang kecil dan berisi elektrode yang berbeda potensialnya,
protoplasma diletakkan diantara barisan elektrode-elektrode. Selanjutnya
protoplasma diberi shok gelombang pendek elektrik yang akan mengiduksi
terjadinya peleburan protoplasma.

Dalam metode ini ada dua tahapan prosedur yang dimulai dengan penggunaan
AC dari intensitas rendah untuk suspensi protoplasma. Kolektor dielektroforetik
diatur 1,5 V dan 1 MHz dan konduktivitas elektirk dari medium suspensi kurang
dari 10-5 detik/cm efek sebuah elektroforesis dijalankan akan membuat masingmasing sel berbenturan sepanjang alur barisan elektrode. Tahap kedua injeksi
aliran listrik DC dengan intensitas tinggi (750-1000V/cm) dengan waktu yang
sangat singkat yaitu 20-50 detik menyebabkan membran protoplasma robek dan
akan menghasilkan peleburan yang selanjutnya membran akan mengalami
reorganisasi. Teknik fusielektro sangat sederhana, cepat dan efisien. Sel-sel yang
telah di fusikan secara eletronik tidak menunjukkan respon yang sitotoxit. Namun
metode ini jarang digunakan.
2.5 Kutur anther
Keberhasilan kultur anther telah diujudkan pada tanaman seperti
Datura innoxia, nicotiana tabacum, karet, poplar, anggur, tanaman
Gramineae serta pada tanaman angrek. Teknik kultur anther relatif
sederhana dan efisien yang paling penting adalah kritis dalam penentuan
tingkat perkembangan pollen (androgenesis) yang tepat pada anther yang
akan dijadikan eksplan. Secara praktis tingkat perkembangan pollen dapat
ditentukan

berdasarkan

pengambilan

contoh

beberapa

tingkat

perkembangan kuncup bunga. Tingkat perkembangan androgenesis pollen


uninucleat paling sesuai bila digunakan sebagai eksplan.
Media dasar yang digunakan untuk tanaman dikotil, umumnya
adalah media MS, media White dan media Nitsch &Nitsch, dengan
berbagai modifikasi dengan penambahan sukrosa sekitar 20-40 gram/liter.
Zat Pengatur Tumbuh diberikan dalam konsentrasi serendah mungkin
untuk menghindari terbentuknya kalus dari jaringan-jaringan diploid yang
tidak diinginkan. Untuk mendapatkan double haploid dipergunakan
larutan colchicine: 0,5% dengan waktu perendaman 24-28 jam.
Tanaman monokotil terutama tanaman Gramineae seperti padi, media MS
juga dapat digunakan. Tetapi selain MS, dikembangkan juga beberapa

media lain misalnya media N6. Media N6 mempunyai ciri perbandingan


NH4+ dan NO3_ yang jauh perbedaannya. Ammonium yang diberikan
dalam bentuk (NH4)2SO4 hanya sebanyak 363 mg/l, sedangkan KNO3 :
2830 mg/l. Khusus untuk padi, ada beberapa media lain yang
dikembangkan di Cina, sesuai dengan kultivar padinya, misalnya media
SK3, He5 dan LB.
Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan produksi haploid
melaui kultur in vitro adalah:
1.

Tingkat Perkembangan
Pollen pada tanaman padi, frekuensi pembentukan kalus yang
tertinggi diperoleh pada kultur anther dengan pollen yang nukleusnya
terletak di pinggir sel (mid-uninucleate microspore stage).
2.

Perlakuan fisik sebelum inokulasi


Perlakuan temperatur rendah sebelum inokulasi, meningkatkan

keberhasilan kultur anther dalam: Nicotiana tabacum, Datura innoxia,


Hyosciamus niger, Hordeum vulgare dan Oryza sativa. Pada umumnya,
temperatur antara 3-10oC. Bila dipergunakan temperatur rendah 3-5oC,
maka waktu perlakuan dapat dipersingkat, sedangkan pada terperatur
rendah 10-15 oC,
3.

Perlakuan kimia sebelum inokulasi


Anther yang dikultur dalam media cair yang ditambah dengan
50-250 mg/l colchisine selama 4 hari, meningkatkan frekuensi
pembentukkan kalus dan diferensiasi. Colchicine dapat meningkatkan
tanaman double haploid hingga 79%, sedangkan anher tanpa perlakuan
pendahuluan, hanya menghasilkan 53,8% tanaman. Jika konsentrasi
colchicine ditingkatkan hingga 500 mg/l akan mengakibatkan frekuesi
tanaman anakan yang abnormal seperti albino akan meningkat. Selain
senyawa tersebut senyawa ethrel juga sering digunakan untuk
praperlakuan pada media cair + 5 g/l ethrel (Gunawan, 1988).

4.

Media tumbuh
Komposisi media dasar tidak begitu kritis, namun dalam kultur

anther, NH4+ yang tinggi (35mM) akan menghambat pembentukan


kalus. Sukrosa yang diberikan, berkisar 2-12%. Pada serealia
digunakan 6-9%, sedangkan pada tanaman diploid 2-4%.
Zat Pengatur Tumbuh pada kultur anther Solanaceae tidak diperlukan
cukup media dasar N6. ZPT yang biasa digunakan untuk memacu
pertumbuhan embriogenesis pada kultur anther adalah senyawa TIBA
(Tri iodobenzoic acid).
2.6

Kultur Polen
Pollen (mikrospora) merupakan sel tunggal dan haploid dari sel
kelamin jantan. Pollen ini baik bila digunakan untuk diinduksi mutasi
dan manipulasi genetik lain.Kultur pollen pertama kali yang berhasi pada
tanaman Datura innoxia dan Nicotiana tabacum. Disausul kemudian
pada tanaman Solanaceae. Pada tahun 1974, Nitsch mengembangkan
kutur terapung (Floating culture) menggunakan media cair. Setelah itu
pollen diletakkan di permukaan media cair selama 2-3 hari. Setelah itu
pollen ditekan keluar dan media disaring dengan filter berukuran 25-100
mm tergantung dari jenis. Suspensi kemudian dicentrifuge dan dicuci
dengan larutan media. Setelah dicuci disuspensikan kembali ke dalam
media baru. Suspensi dipipet dan dipindahkan ke media padat dalam
petri-dish.
Dalam metode ini kuncup bungan yang sudah diberi praperlakuan
suhu rendah, diisolasi anthernya . Anther kemudian diapungkan dimedia
cair. Beberapa hari kemudian, anther terbuka (dehiscent) dan melepaskan
pollen ke dalam media.Pada kultur anther padi setelah 10 hari setelah
inokulasi pada media cair, massa sel mendesak keluar dari dinding
pollen. Setelah beberapa hari kalus putih mulai terlihat. Regenerasi kalus
pada mulanya lebih rendah dari yang di media padat, tetapi setelah

medianya diperbaiki dengan penambahan asam amino dan 20% ekstrak


kentang, kemampuan regenerasi meningkat.
Teknik di atas dimodifikasi oleh Nitsch menjadi:
o Anther dikultur terus di dalam media cair sampai dehiscent.
o Polen yang ditaburkan di atas media akan tumbuh, tergantung pada
media dan jenis pertumbuhannya, melalui kalus atau embrio.
o Pada kultur serealia, kalus terbentuk seteleh dipindah ke media
diferensiasi.
2.7

Produksi Metabolit sekunder


Produksi metabolit sekunder pada tanaman biasanya memiloki kadar
yang sedikit. Metode biteknologi telah terbukti dapat meningkatkan
pproduksi beberapa metabolit sekunder pada tanaman. Metabolit
sekunder merupakan senyawa yang tidak terlibat langsung dalam
pertumbuhan, perkembangan, atau reproduksi makhluk hidupyang
fungsinya masih belum diketahui secara pasti.senyawa ini biasanya
digunakan untuk pertahanan dan perkembangbiakan tanaman.
Metode bioteknologi telah terbukti dapat meningkatkan produksi
beberapa metabolit sekunder pada tanaman. Salah satu metode
bioteknologi yang dimanfaatkan untuk memproduksi metabolit sekunder
adalah kultur jaringan tanaman. Kultur jaringan adalah budidaya organ,
jaringan, sel atau bagian sel didalam suatu media yang sesuai secara
aseptik dengan tujuan tertentu yang sifatnya akan sama dengan sifat
genetik induknya.
Beberapa keuntungan pemakaian teknik kultur jaringan untuk
memproduksi senyawa metabolit sekunder antara lain:
1. Tidak tergantung faktor lingkungan (hama, penyakit, iklim, hambatan
geografis)
2. Sistem produksi dapat diatur, produksi dapat dilakukan pada saat
dibutuhkan dan dalam jumlah yang diinginkan.
3. Kualitas hasil produksi lebih konsisten

4. Mengurangi penggunaan lahan


Teknologi kultur sel memerlukan modal besar pada awalnya, karena
memerlukan bangunan dan peralatan yang memadai. Tetapi ada hal yang
lebih penting lagi yaitu terdapat indikasi bahwa perkembangan teknologi
kultur sel berjalan sangat lambat karena kurangnya pengetahuan
mendasar tentang hal ini.
Industri farmasi merupakan industri yang didukung oleh senyawasenyawa alami dari tumbuhan. Sampai batas-batas tertentru senyawa
tersebut tidak dapat diganti dengan senyawa sintetik, karena daya kerja
aktifnya untuk dapat menyembuhkan penyakit.
Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi senyawa metabolit
sekunder:
1. Ekspresi Sintesis Senyawa Metabolit Sekunder
Sintesis senyawa metabolit sekunder dipengaruhi oleh beberapa faktor
yaitu: faktor genetik, faktor didalam kultur, dan faktor diluar kultur.
Faktor-faktor ini bervariasi tergantung pada jenis kultur jenis yang
dipergunakan. Faktor-faktor ini dapat dimanipulasi secara tertentu untuk
menghasilkan senyawa yang diinginkan dalam jumlah yang besar.
Sebelum membahas faktor-faktor tersebut akan diuraikan secara ringkas
ekspresi sintesis senyawa metabolit sekunder pada keadaan in vivo dan
in vitro. Ekspresi senyawa metabolit sekunder tergantung pada tahaptahap perkembangan organisme yang menghasilkannya. Diferensiasi sel
menentukan sintesis senyawa tersebut. Contoh jelas dalam hal ini
misalnya senyawa pigmen antosianin dihasilkan oleh tenaman pada umbi
sedang pada umbi sedang pada tanaman lainnya ditemukan pada bunga
atau buah, atau kadang-kadang pada daun.
Pada kultur in vitro produksi senyawa metabolit sekunder juga sering
kali berasosiasi dengan diferensiasi sel atau jaringan kultur yang
dikulturkan. Walaupun banyak seyawa metabolit sekunder berhasil
diproduksi oleh sel tetapi jumlah senyawa tersebut terkadang lebih renah
dari pada bila sel berdiferensiasi membentuk sel lain. Sebagai contoh,

kandungan senyawa vinblastin dan vincristin (yang merupakan senyawa


yang dapat digunakan sebagai obat anti kanker leukemia) pada daun
hasil kultur jaringan lebih tinggi dari pada kalus. Dengan demikian untuk
mendapat alkaloid tersebut dalam jumlah besar dengan teknik kultur
jaringan, eksplan yang ditanam harus diarahkan untuk membentuk daun
dari pada pembentukan kalus.
Pada kultur Polygonum thinchtorium Ait, senyawa anti jamur
(antifungal compound) yang dihasilkan oleh akar berambut jumlahnya
lebih besar daripada yang dihasilkan oleh kalus, sebaliknya dalam kultur
yang sama, kultur halus menghasilkan antosianin dalam jumlah yang
lebih besar dari pada kultur akar berambut. Hal ini berhubungan sekali
dengan tanaman in vivo, dimana senyawa anti jamur banyak ditemukan
pada akar dari pada dibagian lain dari tanaman, sedang senyawa
antosionin ditemukan pada batang dan bunga teapi tidak ditemukan pada
akar. Dengan demikian perlu untuk mengetahui jenis kultur paling tepat
untuk menghasilkan senyawa tertentu meskipun secara umum biasanya
diharapkan kultur kalus atau suspense sel karena dengan sel-sel tunggal
yang aktif membelah diri terus mnerus, maka diharapkan beberapa
perilaku sel tersebut akan menyerupai mikro organisme sehingga dapat
dikulturkan dalam fermentor atau bioreactor.
Selain diferensiasi sel, ekspresi senyawa metabolit sekunder juga
tergantung pada regulasi jumlah dan aktivitas enzim yang terlibat dalam
biosintesis senyawa tersebut. Jumlah enzim yang aktif dalam metabolism
sekunder merupakan resultan dari sintesis dan degradasi enzim yang
terjadi selama proses metabolism. Pada keadaan alami, jumlah aktivitas
enzim yang terlibat dalam metabolisme sekunder sering di induksi oleh
trigger alami seperti suhu, cahaya matahari, atau invasi mikroorganisme
yang dapat menyebabkan penyakit tertentu pada tanaman yang
menyebabkan terjadinya respon resistensi yang dapat diinduksi atau
keadaan stess lain. Trigger ini akan menginduksi sintesis enzim yang
ekspresinya tergantung pada sintesis de novo RNA dan protein.

Peningkatan jumlah enzim yang terlibat dalam metabolisme sekunder


juga aka meningkatkan senyawa metabolit sekunderyang dihasilkan.
Aktivitas enzim yang terlibat dalam metabolit sekunder dipengaruhi
antara lain oleh jalan masuknya oleh precursor senyawa yang
bersangkutan,

dan akumulasi

produk metabolit

sekunder

yang

dihasilkan. Hal ini berhubungan dengan sinknya berbeda dari


sourcenya maka kemungkinan terjadinya produk inhibitor dengan
interaksi allosterik atau kompetisi substrat pada sisi ikatannya dapat
dihindarkan. Senyawa-senyawa yang bersifat lipofilik berakumulasi
diluar sitoplasma sedang senyawa hidrofilik berakumulasi diluar
sitoplasma, misalnya dalam vakuola.
Dalam kultur in vitro kalus dapat dihasilkan dari potongan organ
yang telah steril, didalam media yang mengandung auksin dan kadangkadang dengan penambahan sitokinin. Secara ilmiah kalus pada
dasarnya dapat juga dibentuk oleh tanaman, umumnya kalus seperti ini
terbentuk dari upaya perlindungan tanaman. Kalus terbentuk pada
tanaman yang mengalami perlukaan (aksi bakteri, gigitan serangga).
Secara in vitro kalus dapat diinisiasi dari hampir semua bagian tanaman,
tetapi bagian yang berbeda dapat menunjukkan kecepatan inisiasi dan
pertumbuhan kalus yang berbeda pula. Secara in vivo, kalus pada
umumnya terbentuk pada bekas-bekas luka akibat serangan infeksi
mikroorganisme atau tusukan serangga dan nematode.
Kalus yang ditumbuhkan pada suatu media perlu dipindahkan secara
periodik dalam waktu tertentu. Masa kultur panjang dalam media
menyebabkan terjadinya kekurangan air dan hara. Kehilangan air terjadi
karena selain terhisap untuk pertumbuhan, juga karena media
menguapkan air dari masa kemasa. Selain kehilangan hara, sel-sel pada
kalus juga mengeluarkan senyawa-senyawa hasil metabolism yang dapat
menghambat pertumbuhan kalus itu sendiri.
Ekspresi senyawa metabolit sekunder juga tergantung pada regulasi
jumlah dan aktivitas enzim yang terlibat dalam biosintesis senyawa

tersebut. Pada keadaan alami jumlah aktivitas enzim yang terlibat dalam
metabolism sekunder sering diinduksi oleh suhu, cahaya matahari, atau
invasi microorganisme yang dapat menyebabkan penyakit tertentu pada
tanaman yang menyebabkan terjadinya respon resistensi yang dapat
diinduksi oleh keadaan sters lainnya.
Aktifitas enzim yang terlibat dalam metabolit sekunder dipengaruhi
antara lain oleh jalan masuknya dari prekursor senyawa yang
bersangkutan,

dan akumulasi

produk metabolit

sekunder

yang

dihasilkan. Dalam sistem in vitro cahaya matahari digantikan oleh lampu


neon

yang

berwarna

putih

atau

ultraviolet,

sedang

inisiasi

mikroorganisme digantikan dengan penggunaan elicitor.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kultur jaringan merupakan suatu tehnik membiakkan sel atau jaringan ke
dalam media kultur, sehingga tumbuh, membelah, dan menghasilkan tumbuhan
baru dengan cepat dan memiliki sifat yang sama dengan induknya.
Kultur jaringan merupakan teknik perbanyakan tanaman dengan mengisolasi
bagian tanaman seperti daun, mata tunas, serta menumbuhkan bagian-bagian
tersebut dalam media buatan secara aseptic yang kaya nutrisi dan zat pengatur
tumbuh dalam wadah tertutup yang tembus cahaya sehingga bagian tanaman
dapat memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi tanaman lengkap. Prinsip
utama dari teknik kultur jaringan adalah perbanyakan tanaman dengan
menggunakan bagian vegetatif tanaman menggunakan media buatan yang

dilakukan di tempat steril. Tanaman yang dimanfaatkan dalam kultur jaringan


harus memiliki sifat Autonom, dan sifat Totipotensi.
B. Saran
Pelaksanaan kultur jaringan di Indonesia belum cukup banyak dilakukan.
Saya

menyarankan

kepada

pemerintah,

sebaiknya

pemerintah

ikut

memperhatikan masalah mengenai pertanian terutama dalam metode kultur


jaringan yang seharusnya dapat menghasilkan keberhasilan yang besar.

DAFTAR PUSTAKA
Dixon, R. A and R. A. Gonzales. 1994. Plant cell Culture. Apractical Approach
Second Edition. Oxford University Press: Oxford.
Gunawan, I.W. 1995. Teknik In vitro Dalam Hortikultura. Penerbit Swadaya.
Jakarta.
Harmanto, N., 2002. Sehat Dengan Ramuan Tradisional Mahkotadewa. Cetakan
Ke empat, Tangerang, PT. Agromedia Pustaka, Jakarta.
Larkin P.J. and W.R. Scowcroft. 1981. Somaclonal variation-a novel source of
variability from cell culture for plant improvement. Theor.Appl.gen. 60 : 197
-214.
Linacero R and A.W. Vazquez. 1992. Cytogenetic variation in rye regenerated
plants and their progenies. Genome 35: 428-430.
Muller E, P.T.H Brown., S Hartke and H Lorz. 1990. DNA variation in tissue
culture derived rice plants. Theor. Appl. Genet. 80: 673-679.

Rahardja, PE. 1988. Kultur Jaringan Teknik Perbanyakan Tanaman Secara


Modern. Penebar Swadaya. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai